• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Nefroprotektif Ekstrak Etanol Temu Mangga (Curcuma mangga Val) Pada Mencit Jantan yang Diinduksi Parasetamol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Nefroprotektif Ekstrak Etanol Temu Mangga (Curcuma mangga Val) Pada Mencit Jantan yang Diinduksi Parasetamol"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Temu mangga merupakan tanaman asli daerah Indo-Malesian yaitu di daerah tropis dan subtropis India. Pada umumnya temu mangga tumbuh di India, Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Jawa. Tanaman ini lebih dikenal dengan sebutan kunir mangga karena memiliki bau mangga yang khas pada potongan rimpangnya (Ibrahim, dkk., 1999).

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan temu mangga menurut Hutapea (1993) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae, Divisi: Spermatophyta, Sub divisi: Angiospermae, Kelas : Monocotyledoneae, Bangsa : Zingiberales, Suku : Zingiberaceae, Marga : Curcuma, Jenis : Curcuma mangga Val. Et Zijp.

2.1.2 Nama Daerah

Sunda : Koneng joho, Madura: Temu pao (Hariana, 2008) 2.1.3 Nama Asing

Inggris : Mango ginger (Aggarwal, 2007) 2.1.4 Morfologi Tumbuhan

(2)

menjadi kuning pada kondisi kering. Daging rimpang berwarna kuning muda dengan aroma yang harum seperti buah mangga kweni (Sudewo, 2004).

2.1.5 Kandungan Kimia

Rimpang dan daun Curcuma mangga mengandung saponin dan flavonoid, disamping itu daunnya juga mengandung polifenol (Hutapea, 1993). Temu mangga juga mengandung senyawa antioksidan alamiah, yaitu kurkuminoid (Sudewo, 2004). Minyak atsiri, tanin, amilum, gula dan dammar (Darwis, dkk., 1991). Minyak atsiri temu mangga adalah golongan monoterpen hidrokarbon terdiri dari 4 komponen utama yang teridentifikasi sebagai mirsen (78,6%), β-osimen (5,1%), β-pinen (3,7%), dan α-pinen (2,9%) (Wong, dkk., 1999), dan senyawa yang memberikan aroma seperti mangga adalah δ-3-karen dan (Z)-β-osimen (Hernani dan Suhirman, 2001).

2.1.6 Kurkuminoid

(3)

Gambar 2.1 Struktur Kurkuminoid (Aggarwal, 2007)

Kurkumin akan terdegradasi oleh sinar ultra violet, temperatur tinggi, dan oksidasi. Oleh sebab itu pada proses pengeringan menggunakan sinar matahari perlu diperhatikan, agar efikasi kurkumin tetap terjamin (Revathy, dkk., 2011). Di dalam tubuh kurkumin diabsorpsi ke dalam darah, dengan cepat dimetabolisme di dalam hati dan disekresi bersama kotoran (Bermawie, dkk., 2008).

2.1.7 Penelitian Terkait dan Khasiat

(4)

2.1.8 Mekanisme Antioksidan Kurkumin

Beberapa penelitian melaporkan mekanisme kerja kurkumin sebagai antioksidan yaitu menekan stres oksidatif, meningkatkan aktivitas enzim GSH dan gluthation peroksidase (Venkatesan, 2000) meningkatkan enzim GST-ase (Glutathion-S-Transferase) yang akan meningkatkan ekskresi dari metabolit toksik parasetamol (Susan, 1992). Hasil penelitian Cekmen, dkk (2009) melaporkan bahwa kurkumin juga meningkatkan enzim katalase dan superoksid dismutase (SOD).

2.2 Parasetamol

Dosis oral parasetamol sebesar 325-1000 mg (secara rektal 650 mg), dan dosis total harian tidak melebihi 4000 mg (Goodman dan Gilman, 2006). Menurut Food and Drug Administration (FDA), dosis aman penggunaan parasetamol untuk dewasa dan anak yang lebih dari 12 tahun adalah maksimal 4 gram/hari. Konsumsi parasetamol dosis toksik sebesar 15 gram akan menyebabkan kerusakan hati dan kerusakan hati ini akan diiringi kerusakan organ lain, salah satunya adalah ginjal berupa nekrosis tubulus akut (Rini, dkk., 2013).

2.2.1 Farmakokinetik

(5)

Reaksi tahap kedua terjadi juga melalui hepar. Sekitar 5% parasetamol dosis terapi akan dioksidasi oleh enzim mikrosom P-450 menjadi reaksi intermediet yang sangat reaktif, N-asetil-p-benzoquinone imine (NAPQI) (Goodman dan Gilman, 2006; Mazer dan Perone, 2008). Hasil metabolit tersebut akan direduksi oleh glutation dan diekskresikan sebagai asam merkapturik.

Hanya 1 % dari obat yang diekskresi diubah dalam bentuk urin. Sekitar 90-100% obat ini mungkin ditemukan dalam urin selama hari pertama pada dosis terapeutik, terutama setelah konjugasi hepatik dengan asam glukoronat, asam sulfat atau sistein, sejumlah kecil metabolit hasil hidroksilasi dan deasetilasi juga telah terdeteksi (Goodman dan Gilman, 2006). Proses metabolisme parasetamol ini dijelaskan oleh Gambar 2.2.

(6)

2.2.2 Efek Nefrotoksik

Efek toksik parasetamol terhadap ginjal dapat terjadi melalui mekanisme berikut:

a. Jalur sitokrom P-450

Efek ini berasal dari sintesis reaksi intermediet N-asetil-p-benzoquinone imine (NAPQI) oleh sitokrom P-450. Saat overdosis parasetamol, simpanan glukuronida dan sulfat di hati yang terbatas terpakai dengan cepat sehingga produksi NAPQI berlebihan (Gunawan, dkk., 2009; Mazer dan Perone, 2008). Metabolit ini direduksi oleh glutation sampai simpanan glutation seluler berkurang sehingga akan mengikat sitosol protein di jaringan (Blakely dan McDonald, 1995). Hal ini mengganggu proses homeostasis dan enzim lysosomal yang melakukan apoptosis sehingga terjadi nekrosis jaringan yang berakhir dengan disfungsi organ (Mazer dan Perone, 2008). Enzim mikrosom P-450 yang terlibat dalam proses ini ditemukan di hati dan ginjal, meskipun agak berbeda di setiap organ. Tingkat keparahan kerusakan ginjal dan kuantitas dari reaksi di jaringan dapat berkurang secara signifikan bila inhibitor dari sitokrom P-450 tersedia (Mazer dan Perone, 2008).

b. Prostaglandin

(7)

mengakibatkan iskemia reversibel ginjal, penurunan tekanan hidrolik ginjal (faktor pendorong utama untuk filtrasi glomerulus) dan gagal ginjal akut (Rose, 2001).

Selain inhibisi sintesis prostaglandin (PGE2), mekanisme potensial lainnya berkaitan dengan prostaglandin endoperoxide synthetase (PGES), walaupun efeknya lebih subtansial pada kejadian kronik daripada kejadian akut. PGES merupakan sebuah enzim pada ginjal yang mengaktifkan parasetamol menjadi metabolit toksik, yaitu NAPQI. Proses ini banyak terjadi di medula ginjal, sedangkan sitokrom P-450 memainkan peran yang lebih penting di korteks ginjal (Mazer dan Perrone, 2008). Titik akhir kedua jalur tetap sama, yaitu pembentukan metabolit toksik, kovalen mengikat protein seluler, diikuti dengan kematian sel dan nekrosis jaringan.

c. Enzim N-deacetylase

Enzim ini bekerja pada parasetamol atau NAPQI dengan melakukan deasetilasi substrat untuk p-aminophenol dan dikonversi menjadi radikal bebas yang dapat berikatan dengan protein seluler (Mazer dan Perrone, 2008). Proses ini mungkin terjadi bersama sistem enzim sitokrom P-450 dan telah diteliti pada hewan.

(8)

2.3 Ginjal

2.3.1 Anatomi Ginjal

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 g. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting, karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur dari ginjal tersebut (Price dan Wilson, 2006).

2.3.1.1 Struktur Makroskopis Ginjal

Lapisan kapsul ginjal terdiri atas lapisan fibrous bagian dalam dan bagian luar. Bagian dalam memperlihatkan anatomis dari ginjal. Pembuluh-pembuluh darah ginjal dan drainase ureter melewati hilus dan cabang sinus renal. Bagian luar merupakan lapisan tipis yang menutup ginjal dan menstabilkan struktur ginjal. Korteks ginjal merupakan lapisan bagian luar dan bersentuhan dengan kapsul ginjal. Medula terdiri atas 6-18 piramid ginjal. Bagian dasar piramid bersambungan dengan korteks dan diantara piramid dipisahkan oleh jaringan kotrikal yang disebut kolum ginjal (Muttaqin dan Sari, 2011).

(9)

2.3.1.2 Stuktur Mikroskopis Ginjal

1. Nefron

Nefron merupakan unit dasar dari ginjal. Setiap ginjal memiliki 400.000-800.000 nefron walupun jumlah ini terus berkurang seiring usia. (O’Callaghan, 2007). Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu secara bertahap jumlah nefron yang berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap tahun (Muttaqin dan Sari, 2011).

2. Glomerulus

Glomerulus merupakan suatu bola kapiler yang dikelilingi oleh kapsula bowman, kumpulan epitel tubulus berbentuk kapsul cekung dimana urin difiltrasi. Glomerulus juga mengandung sel mesangial, yang merupakan penggantung bentuk mengangga lengkung kapiler dan memiliki kemampuan kontraktil dan fagositosik (O’Callaghan, 2007). Laju filtrasi glomerulus dipengaruhi oleh tekanan arteri renalis, namun hubungannya tidak linear (George dan Nielson, 2013).

3. Tubulus Proksimal

(10)

4. Ansa Henle

Ansa henle yang merupakan terusan dari tubulus proksimal memiliki bentuk sel yang lebih gepeng dengan sedikit mikrovilli. Struktur berlanjut menjadi segmen asendens tipis, kemudian asendens tebal yang sebagian besar selnya kuboid dan bergerak menuju glomerulus dan berakhir di macula densa (O’Callaghan, 2007). Ansa henle berperan dalam mereabsorpsi 15-25% NaCl pada asendens tebal dan memekatkan urin, selain itu ansa henle juga menjadi tempat kerja sebagian besar obat diuretik paling poten dan berkontribusi dalam mereabsorpsi ion kalsium dan magnesium (George dan Neilson, 2013).

5. Asparatus Jukstaglomerular

Asparatus jukstaglomerular merupakan struktur yang terdiri dari tiga jenis sel utama yaitu: sekumpulan sel yang disebut macula densa, sel mesangial ektraglomerulus dan sel granular. Sel granular terdapat pada dinding arteriol aferen dan menghasilkan renin (O’ Callaghan, 2007).

6. Tubulus Distal

(11)

Gambar 2.4 Struktur Mikroskopis Ginjal (Medscape, 2012)

2.3.2 Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam yang sesuai dan sekresi berbagai hormon autokoid (Robbins dan Kummar, 2004).

Darah yang membawa sisa–sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di tublus ginjal, beberapa zat masih diperlukan tubuh untuk mengalami reabsorbsi dan zat–zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urin. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghaslkan urin 1-2 liter. Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalis ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2003).

(12)

1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh

2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca2+, Mg2+, SO42-, PO42-, dan H+. Bahkan fluktuasi minor pada konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat menimbulkan pengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ di CES dapat menimbulkan disfungsi jantung yang fatal.

3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O. 4. Membantu memelihara keseimbangan asam - basa tubuh dan

menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin.

5. Memelihara osmolaritas berbagai cairan, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O.

6. Mengekskresikan produk - produk sisa dari metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat - zat sisa tersebut bersifat toksik bagi tubuh, terutama otak.

7. Mensekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat zat penambah pada makanan, pestisida, dan bahan - bahan eksogen non nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh.

8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan sel darah merah.

9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.

(13)

Beberapa uji faal ginjal yang sering diperiksa adalah pemeriksaan kadar kreatinin, kadar ureum atau BUN (Blood Urea Nitrogen), dan klirens kreatinin. Pemeriksaan BUN, ureum, atau kreatinin di dalam serum merupakan uji faal ginjal yang paling sering dipakai di klinik. Sayangnya kedua uji ini baru menunjukkan kelainan, pada saat ginjal sudah kehilangan 2/3 dari fungsinya (Purnomo, 2003)

Kreatinin adalah hasil dari katabolisme otot skeletal, diekskresikan oleh ginjal, dan tidak terpengaruh oleh kondisi hidrasi seseorang. Oleh karena kreatinin pada orang yang dalam keadaan aktif, setiap hari relatif konstan, yakni lebih kurang 1 mg/menit pada orang dewasa, maka pemeriksaan ini cukup dipercaya sebagai uji pemeriksaan faal ginjal. Nilai kreatinin dipengaruhi oleh usia, besar atau volume massa otot, dan jenis kelamin. Pada orang yang berotot, nilai kreatinin lebih tinggi daripada yang tidak, dan pada usia yang semakin tua, nilai kreatininnya semakin meningkat. Demikian pula pada lelaki, laju katabolisme otot relatif lebih tinggi daripada perempuan sehingga nilai kreatininnya lebih tinggi (Purnomo, 2003). Nilai kreatinin darah normal (metode Jaffe reaction) pada pria yaitu 0,7-1,1 mg/dl dan wanita yaitu 0,6-0,9 mg/dl (Mangarengi, 2003).

2.3.3 Patologi Ginjal

Reaksi ginjal terhadap rangsangan dari luar serupa dengan organ tubuh lainnya, yaitu sesuai dengan mekanisme patologi pada umumnya. Bagian ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring adalah glomerulus yang bekerja berdasarkan faktor - faktor hemodinamika dan osmotik (Ganong, 2003).

(14)

(Junquiera dan Carneiro, 2002). Sel tubulus selain berfungsi mereabsorbsi, juga menambahkan zat - zat kimiawi seperti yodium, amonia dan hippuric acid. Pada disfungsi glomerulus, bahan - bahan asing tiba di tubulus dalam kadar yang abnormal melalui ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus mengalami degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak bahan - bahan yang harus diserap kembali (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Tubulus proksimal memiliki fungsi utama yaitu menyerap kembali natrium, albumin, glukosa dan air, dan juga bermanfaat dalam penggunaan kembali bikarbonat. Epitelium tubulus proksimalis merupakan bagian yang paling sering terserang iskemia atau rusak akibat toksin, karena kerusakan yang terjadi akibat laju metabolisme yang tinggi (Suyanti, 2008).

Salah satu bagian ginjal yang sering mengalami kelainan adalah glomerulus (Soeksmanto, 2006). Menurut Soeksmanto (2006), kerusakan yang terjadi sering di sebabkan oleh adanya deposisi imun kompleks, trombosis, emboli, dan infeksi virus pada komponen glomerulus. Kerusakan dapat menyebabkan berbagai dampak baik secara morfologi maupun fungsional. Secara morfologis kerusakan glomerulus di tandai dengan terjadinya nekrosis dan ploriferasi dari sel membran serta infiltrasi leukosit. Rusaknya glomerulus secara fungsional ditandai dengan berkurangnya perfusi aliran darah, lolosnya protein dan makromolekul lain dalam jumlah yang besar pada filtrat glomerulus. Kerusakan pada glomerulus juga dapat berupa atrofi dan fibrosis sehingga menyebabkan atrofi sekunder pada tubulus renalis (Soekmanto, 2006).

(15)

albuminuria dan sedimen abnormal di urin. Secara mikroskopis kelainan dijumpai pada tubulus kontortus proksimal berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, nekrosis dan kalsifikasi (Suyanti, 2008).

Kerusakan yang terjadi pada tubulus, disebabkan karena dua pertiga dari ultrafiltrat glomerulus, secara terus - menerus direabsorpsi pada tubulus. Proses transpor yang terjadi pada tubuli juga memungkinkan terjadinya akumulasi toksin - toksin intrarenal, sehingga mempertinggi konsentrasi lokal dari bahan – bahan berbahaya tersebut. Bahan - bahan asing yang masuk ke dalam tubuh, pada umumnya dapat dimetabolisme melalui proses enzimatik sebagai pertahanan untuk melindungi tubuh dari bahan - bahan kimia berbahaya. Secara simultan, bahan - bahan berbahaya hasil buangan metabolisme tersebut diproses dan diekskresikan dalam bentuk urin yang dikeluarkan setiap hari. Kemampuan untuk memproteksi kerusakan akibat bahan kimia di atas, umumnya dimiliki oleh semua jenis mamalia, meskipun kemampuan melawan partikel - partikel bahan tersebut bervariasi diantara species, terutama dalam memindahkan 1 group etil melalui oksidasi mikrosomal (Soeksmanto, 2006).

2.3.4 Penyakit Ginjal

2.3.4.1 Pengertian Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atautransplantasi ginjal (Brenner & Lazarus, 2012).

(16)

dengan berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi, nefron yang tersisa akan beralih mengambil fungsi nefron yang rusak, dengan kata lain nefron bekerja untuk nefron yang sehat sekaligus menggantikan kerja nefron yang sudah rusak. Hal ini akan mempercepat proses patofisologis karena semakin banyaknya nefron yang harus bekerja ekstra. Jika ginjal sudah tidak mampu melakukan fungsinya, penderita akan membutuhkan terapi pengganti ginjal atau transplantasi (O’Callaghan, 2007).

Kriteria penyakit ginjal kronik adalah:

a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)

b. Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2010)

2.3.4.2 Etiologi

(17)

2.3.4.3 Patofisiologis Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Patofisiologi awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan pada perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama. Adanya pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Keadaan ini diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth Factor β (TGF-β) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas. Selain itu progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia (Price & Wilson, 2006).

(18)

mudah terjadi infeksi pada saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. Pada LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat dan memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2010).

2.3.4.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (GGK)

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dasar derajat (stage) Klasifikasi derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG dengan juga mempertimbangkan klirens kreatinin yang memberi pengaruh pada LFG. Perhitungan digunakan dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault yang menggunakan konsentrasi kreatinin serum pada perhitungannya, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Rumus Cockcroft-Gault

Perkiraan Klirens Kreatinin (mL/menit) =

(140) − usia x berat badan Kg) 72 x Pcr (mg/dL)

*Pada perempuan dikalikan 0,85

(19)

Klasifikasi penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut (KDIGO, 2012): Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Derajat Penjelasan LFG

(ml/mnt/1,73m²) G1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90 G2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89 G3a Kerusakan ginjal dengan LFG ↓

ringan-G4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

G5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

2.3.4.5 Penatalaksanaan

a. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit seperti keseimbangan diet, kebutuhan jumlah kalori, kebutuhan cairan, dan kebutuhan elektrolit & mineral (Sukandar, 2006).

1. Peranan diet

Terapi diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

2. Kebutuhan jumlah kalori

(20)

3. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

4. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik 1. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

2. Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

3. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari PGK.

c. Terapi pengganti ginjal

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Kurkuminoid (Aggarwal, 2007)
Gambar 2.2 Jalur Metabolisme Parasetamol (Medscape, 2005)
Gambar 2.3 Struktur Makroskopis (Medscape, 2013)
Gambar 2.4 Struktur Mikroskopis Ginjal (Medscape, 2012)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan padi transgenik DB 1, Taichung-65, IR64 dan Ciherang terhadap penggerek batang padi kuning ( Scirpophaga incertulas )

“Geisha,” Wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Geisha (diakses 2 Desember 2015). https://ayatayatadit.wordpress.com/2015/12/06/status-wanita-jepang-dari-masa-

frekuensi tertinggi Kebiasaan makan makanan pokok mahasiswa Toraja dan Sumba ada di 1x/bulan dengan frekuensi 32:36 atau jika dirata-ratakan adalah 16:18 yang

Sedangkan matematisasi progresif merupakan upaya mengarahkan pemikiran matematis siswa atau memformulasikan masalah secara matematis, dikatakan progresif karena dapat

Langkah-langkah perkuliahan aljabar linear dengan menggunakan model Jigsaw ini yaitu: (1) Dosen membagi materi ajar yang akan diberikan menjadi tiga bagian; (2)

Pengukuran tekanan darah dilakukan berulang pada 1 responden selama 4 kali dalam 1 bulan untuk mendapatkan hasil yang baik untuk bisa membandingkan tekanan darah masing- masing

Sedangkan nilai kuat tekan bebas (UCT) untuk semua variasi yang paling optimum berada pada variasi campuran 8% kapur dan 4% abu. gunung vulkanik dimana nilai kuat

Sebelum kerangka teori dan kerangka konsep dibangunkan, adalah menjadi tanggungjawab penyelidik untuk membuat bacaan secara komprehensif dan membuat sorotan