• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Skpd Melalui Kejelasan Sasaran Anggaran Pada Pemerintah Kabupatan Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Skpd Melalui Kejelasan Sasaran Anggaran Pada Pemerintah Kabupatan Karo"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Konsep Kinerja Manajerial Sektor Publik 2.1.1.1. Pengertian

Mulyadi (1999) menjelaskan bahwa Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengn wewenang dan tanggung jawab masingmasing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang yang memegang posisi manajerial diharapkan mampu menghasilkan suatu kinerja manajerial, Kinerja manajerial merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan keefektifan organisasional (Mahoney, dkk, 1963). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kinerja manajerial didefinisikan didasarkan pada fungsi-fungsi manajemen yang ada dalam teori klasik, yaitu seberapa jauh manajer mampu melaksanakan fungsi-fungsi yang meliputi : perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi, supervisi, pemilihan staf, negosiasi dan perwakilan.

(2)

2.1.1.2. Pengukuran Kinerja Manajerial Sektor Publik

Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik atau pimpinan perangkat daerah dalam menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadiakan sebagai pengendalian organisasi karena pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan reward and punishment system. Schiff dan Lewin dalam Srimulyo (1999), mengemukakan bahwa anggaran yang telah disusun memiliki peranan sebagai perencanaan dan sebagai kriteria kinerja, yaitu anggaran digunakan sebagai sistem pengendalian untuk mengukur kinerja manajerial.

Pengukuran Kinerja merupakan alat yang bermanfaat dalam meningkatkan pelayanan publik secara efisien dan efektif, oleh karena itu melalui pengukuran kinerja dilakukan proses penilaian terhadap pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dan penilaian kinerja dapat memberikan penilaian (justifikasi) yang obyektif dalam pengambilan keputusan.

Omar (1999) mengatakan strategi yang ditetapkan dalam sistem pengukuran kinerja dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan, antara lain :

1. Partisipasi unsur pimpinan dalam pertanggungjawaban tugas pokok dan fungsi

(3)

Kinerja yang disusun telah melibatkan seluruh pimpinan unit organisasi baik Kepala Dinas, Kepala Badan maupun Kepala Kantor sebagai bagian pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pokok dan fungsi selama satu periode tahun anggaran.

2. Kerangka kerja konseptual; dan komunikasi yang efektif.

Sistem pengukuran kinerja Pemerintah Kabupaten merupakan bagian integral dalam keseluruhan proses manajemen dan secara langsung dapat mendukung pencapaian tujuan pemerintah. Dalam setiap pelaporannya pengukuran kinerja dapat dijadikan tolok ukur akan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan tugas selama satu periode tahun anggaran, dilengkapi dengan alasan-alasan keberhasilannya berupa faktor-faktor yang mendorong keberhasilan tersebut. Demikian pula apabila terjadi kegagalan diungkapkan pula hambatan-hambatan dan kendala-kendala yang dihadapinya dan alternatif pemecahan masalah.

Pengukran kinerja ini dapat dijadikan alat monitor dan evaluasi pelaksanaan kinerja dan perbaikannya dimasa-masa yang akan datang. Komunikasi merupakan hal penting dalam penciptaan dan pemeliharaan sistem pengukuran kinerja, komunikasi sebaiknya dari berbagai arah (multidirectional), berasal dari top down, bottom up dan secara horizontal berada di dalam dan lintas instansi pemerintah.

3. Keterlibatan aparatur pemerintah dan orientasi pelayanan kepada masyarakat.

(4)

Apabila aparatur pemerintah memiliki masukan untuk kepentingan penciptaan sistem pengukuran kinerja maka pemerintah kabupaten akan mendapatkan sistem pengukuran kinerja yang sesuai dengan kebutuhannya.

Kravchuk dan Shack (1996) memberikan beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam merumuskan ukuran kinerja:

1. Memformulasikan tujuan, strategi, dan misi yang koheren dan jelas. 2. Mengembangkan strategi pengukuran yang eksplisit

3. Melibatkan pengguna–pengguna kunci dan konsumen pada fase 4. perancangan dan pengembangan sistem pengukuran kinerja

5. Merasionalisasi struktur rencana sebagai awal dari pengukuran kinerja 6. Mengembangkan beberapa ukuran untuk pengguna yang beragam sesuai

dengan yang dibutuhkan

7. Mempertimbangkan konsumen selama proses penyusunan program dan sistem

8. Menyediakan pengguna sebuah gambaran jelas dari kinerja

9. Adanya review dan revisi terhadap sistem pengukuran secara periodik

10.Take accounts of upstream, downstream, and lateral complexities

11.Menghindari aggregasi informasi yang berlebihan

Menurut Mahmudi (2005) terdapat beberapa jenis indikator kinerja Pemerintah Daerah antara lain :

1. Indikator biaya (misalnya biaya total, biaya unit)

(5)

3. Tingkat penggunaan (misalnya sejauhmana layanan yang tersedia digunakan)

4. Target waktu (misalnya waktu rata-rata rata yang digunakan untuk menyelesaikan satu unit pekerjaan)

5. Volume pelayanan (misalnya perkiraan atas tingkat volume pekerjaan yang harus diselesaikan pegawai)

6. Kebutuhan pelanggan (jumlah perkiraan atas tingkat volume pekerjaan yang harus diselesaikan pegawai)

7. Indikator kualitas pelayanan 8. Indikator kepuasan pelanggan 9. Indikator pencapaian tujuan.

Konsep pengukuran kinerja di sektor publik mengacu pada konsep value for money (VFM). Konsep value for money terdiri dari tiga elemen utama, yaitu:

1. Ekonomi

Ekonomi terkait dengan pengkonversian input primer berupa sumber daya keuangan (uang / kas) menjadi input sekunder berupa tenaga kerja, bahan, infrastruktur, dan barang modal yang dikonsumsi untuk kegiatan operasi organisasi. Organisasi harus memastikan bahwa dalam perolehan sumber daya input tidak terjadi pemborosan.

2. Efisiensi

(6)

3. Efektivitas

Efektivitas terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya tercapai. Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program, atau kegiatan.

Konsep VFM menekankan pada hasil atau pelayanan terhadap publik. Organisasi tidak hanya berfokus pada pendapatan saja, tetapi bagaimana meningkatkan pelayanan terhadap publik. Untuk mengukur tingkat ekonomi, efisiensi dan efektivitas diperlukan pengembangan indikator kinerja dalam desain sistem pengukuran kinerja organisasi (Greiling,2005).

Mahmudi (2005) mengatakan bahwa indikator kinerja hendaknya memiliki beberapa karakteristik, antara lain sederhana dan mudah dipahami; dapat diukur; dapat dikuantifikasikan (rasio, persentase, angka); dikaitkan dengan standar atau target kinerja; berfokus pada customer service, kualitas, dan efisiensi; dan dikaji secara teratur.

2.1.1.3. Tujuan Pengukuran/Penilaian Kinerja Sektor Publik

Pengukuran/penilaian kinerja merupakan bagian penting dari proses pengendalian manajemen, baik sektor publik maupun swasta. Menurut De Bruijn (2002); dan Mahmudi (2005), tujuan pengukuran/penilaian kinerja dalam sektor publik antara lain sebagai berikut:

1. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi

(7)

pengendalian internal, sistem pengukuran kinerja didesain untuk memonitor implementasi rencana-rencana organisasi, emnentukan kapan rencana tersebut berhasil dan bagaimana cara memperbaikinya. Sistem pengukuran kinerja untuk memfokuskan perhatian pada pencapaian tujuan organisasi, mengukur dan melaporkan kinerja, serta untuk memahami bagaimana proses kinerja mempengaruhi pembelajaran organisasi.

2. Menyediakan sarana pembelajaran pegawai

Sistem pengukuran kinerja bertujuan untuk memperbaiki hasil dari usaha yang dilakukan oleh pegawai tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak, dan memberikan dasar dalam perubahan perilaku, sikap, skill, atau pengetahuan kerja yang harus dimiliki pegawai untuk mencapai hasil kerja terbaik.

3. Memperbaiki kinerja periode-periode berikutnya

Penerapan sistem pengukuran kinerja dalam jangka panjang bertujuan untuk membentuk budaya berprestasi di dalam organisasi. Budaya kinerja atau budaya berprestasi dapat diciptakan apabila sistem pengukuran kinerja mampu menciptakan atmosfir organisasi sehingga setiap orang dalam organisasi dituntut untuk berprestasi. Atmosfir tersebut dapat terwujud dengan perbaikan kinerja yang dilakukan secara terus menerus. Kinerja saat ini harus lebih baik dari kinerja sebelumnya, dan kinerja yang akan datang harus lebih baik daripada sekarang.

(8)

Pengukuran kinerja bertujuan memberikan dasar sistematik bagi manajer untuk memberikan reward (kenaikan gaji, tunjangan, promosi), atau

punishment (pemutusan kerja, penundaan promosi, teguran). Sistem manajemen kinerja modern diperlukan untuk mendukung sistem gaji berbasis kinerja (performance based pay). Organisasi yang berkinerja tinggi berusaha menciptakan reward, insentif, dan gaji yang memiliki hubungan yang jelas dengan knowledge, skill, dan kontribusi individu terhadap kinerja organisasi.

5. Memotivasi pegawai

Dengan adanya pengukuran kinerja yang dihubungkan dengan manajemen kompensasi, maka pegawai yang berkinerja tinggi akan memperoleh

reward. Reward tersebut memberikan motivasi pegawai untuk berkinerja lebih tinggi dengan harapan kinerja yang tinggi akan memperoleh kompensasi yang tinggi.

6. Menciptakan akuntabilitas publik

Pengukuran kinerja menunjukkan seberapa besar kinerja manajerial dicapai, seberapa bagus kinerja finansial organisasi, dan kinerja lainnya yang menjadi dasar penilaian akuntabilitas. Kinerja tersebut harus diukur dan dilaporkan dalam bentuk laporan kinerja.

2.1.1.4. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Manajerial Sektor Publik

(9)

pengawasannya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktifitas mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor (As'ad, 1991), yaitu : faktor individu dan situasi kerja.

Menurut Mahmudi (2005) ada beberapa elemen pokok yang mempengaruhi kinerja manajerial sektor publik, yaitu :

1. Menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi organisasi. 2. Merumuskan indikator dan ukuran kinerja.

3. Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi. 4. Evaluasi kinerja/feed back, penilaian kemajuan organisasi, meningkatkan

kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.

Berdasarkan Mahmudi (2005) di atas, jelas terlihat bahwa salah satu elemen pokok yang mempengaruhi kinerja manajerial adalah sasaran. Dalam koteks anggaran, sasaran dimaksud diinterpretasikan melalui karakteristik sasaran anggaran (budgetary goal characteristics).

(10)

umur, jenis kelamin, pendidikan, serta faktor individual lainnya. Sedangkan variabel situasional, meliputi : (1) Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari; metode kerja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan fentilasi). (2) Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi, perilaku organisasional, jenis latihan dan pengendalian, sistem upah dan lingkungan sosial.

Dalam hal perilaku organisasional Tiffin dan Cormick dalam Srimuiyo (1999), lebih lanjut Greenberg (1990) mencatat bahwa teori keadilan dalam organisasi berawal dari pemahaman untuk menguji prinsip-prinsip interaksi sosial secara umum, bukan secara khusus pada organisasi. Namun demikian, teori-teori ini justru berkembang pesat ketika dikaitkan untuk menjelaskan beberapa bentuk perilaku keorganisasian. Model yang dibangun yaitu variabel dan isu-isu yang berhubungan dengan fungsi organisasional. Dengan model ini, para peneliti mengarahkan penelitian untuk menjelaskan dan menggambarkan peran keadilan dalam lingkungan kerja (Greenberg, 1986).

(11)

ketiga yaitu penilaian terhadap kewajaran mengenai hubungan antarpersonal yang disebut sebagai keadilan interaksional. Dari ketiga isu keadilan di atas, sesuai dengan topik penelitian ini, maka keadilan yang akan dibahas lebih lanjut hanyal keadilan distributif dan keadilan prosedural.

2.1.2. Karakteristik Sasaran Anggaran (Budgetary Goal Characteristics) 2.1.2.1. Goal Setting Theory

Teori penentuan tujuan (Goal setting theory) yang dikemukakan Murray (1990) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen tujuan tinggi akan mempengaruhi kinerja manajerial. Partisipasi penyusunan anggaran sebagai suatu mekanisme dalam pertukaran informasi memungkinkan karyawan untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang pekerjaan mereka. Sebaliknya, karyawan yang tidak memiliki komitmen tujuan maka kinerja yang dicapai tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain manajer yang tidak komitmen pada tujuan, tidak memiliki keinginan memperbaiki kesalahan dengan memanfaatkan partisipasi dalam penyusunan anggaran, sehingga kinerja yang diperoleh tetap rendah.

2.1.2.2. Konsep Budgetary Goal Characteristics

(12)

Kenis (1979) mengemukakan lima karakteristik sistem penganggaran atau

Budgetary Goal Characteristics yang meliputi partisipasi penganggaran, evaluasi anggaran, umpan balik anggaran, kejelasan anggaran dan kesulitan anggaran.

Partisipasi penganggaran menggambarkan keterlibatan manajer dalam menyusun aggaran pada pusat pertanggungjawaban manajer yang bersangkutan. Secara lebih rinci meliputi keterlibatan individual, penyusun target, evaluasi kinerja dan mungkin penghargaan (Brownell, 1982).

Kenis (1979) menyatakan evaluasi anggaran adalah tindakan yang dilakukan untuk menelusuri penyimpangan anggaran ke departemen yang bersangkutan dan digunakan sebagai dasar untuk penilaian kinerja departemen. Tse (1979) dalam Ratnawati (2004) menjelaskan bahwa evaluasi anggaran secara mendasar memiliki empat tujuan, yaitu (1) untuk meyakinkan bahwa kinerja yang sesungguhnya sesuai dengan kinerja yang diharapkan; (2) memudahkan untuk membandingkan antara kinerja individu satu dengan yang lainnya; (3) sistem evaluasi kinerja dapat memicu suatu isyarat tanda bahaya, memberi sinyal masalah-masalah yang mungkin terjadi; (4) evaluasi dimaksudkan untuk menilai pembuatan keputusan manajemen.

(13)

mencantumkan sasaran anggaran secara spesifik adalah lebih produktif dibandingkan dengan tidak adanya sasaran yang spesifik dan hanya akan mendorong karyawan yang melakukan yang terbaik.

Kesulitan sasaran anggaran menggambarkan adanya rentang sasaran dari sangat longgar dan mudah dicapai sampai dengan sangat ketat dan tidak dapat dicapai (Kenis, 1979) Locke (1968) menyimpulkan bahwa sasaran anggaran yang lebih sulit akan mengakibatkan kinerja yang lebih baik dibanding dengan sasaran anggaran yang lebih mudah. Hofstede (1967) menyatakan bahwa sasaran anggaran yang lebih ketat menimbulkan motivasi yang lebih tinggi, namun apabila melewati batas limitnya, maka pengetahuan sasaran anggaran justru akan mengurangi motivasi.

2.1.3. Konsep Keadilan Organisasional 2.1.3.1. Keadilan Distributif

Keadilan distributif didefinisikan sebagai persepsi karyawan tentang keadilan pendistribusian sumberdaya organisasi yang mengevaluasi distribusi hasil-hasil organisasi, dengan memperhatikan beberapa aturan distributif, yang paling sering digunakan adalah hak menurut keadilan dan kewajaran.

(14)
(15)

2.1.3.2. Keadilan Prosedural

Teori tentang keadilan procedural yang berkaitan dengan prosedur-prosedur yang digunakan organisasi untuk mendistribusikan hasil-hasil dan sumber daya organisasi kepada para anggotanya. Para peneliti umumnya mengajukan dua penjelasan teoritis mengenai proses psikologis yang mendasari pengaruh keadilan prosedural, yaitu: kontrol proses atau instrumental dan perhatian-perhatian relasional atau komponen-komponen struktural (Taylor et a1,1995 and Gilliland, 1993).

Perspektif kontrol atau proses berpendapat bahwa prosedur yang digunakan aleh organisasi akan dipersepsikan lebih adil manakala individu yang terpengaruh suatu proses keputusan memiliki kesempatan untuk mempengaruhi proses penetapan keputusan atau menawarkan masukan (Thibaut and Walker,dalam Tayloe et a1,1495). Sedangkan perspektif komponen struktural mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan - aturan prosedural dipenuhi atau dilanggar (Leventhal, dalam Gilliand 1993).

(16)

yang akurat, dengan kepentingan - kepentingan individu yang terpengaruh terwakili dengan cara – cara yang sesuai dengan nilai - nilai etis mereka, dan dengan suatu hasil yang dapat dimodifikasi (Gilliand,1993).

Keadilan prosedural berhubungan dengan keadilan yang digunakan untuk menentukan hasil-hasil yang terdistribusi seperti beban kerja, penghasilan dan lainnya (Leventhal, dalam Gilliand 1993). McFarlin dan Sweeny (1992) menjelaskan bahwa keadilan prosedural berhubungan dengan persepsi bawahan mengenai seluruh proses yang diterapkan oleh batasan mereka, sebagai sarana untuk mengkomunikasikan feedback kinerja dan untuk menentukan reward bagi mereka seperti promosi atau kenaikan gaji. Pengaruh keadilan prosedural juga disebut sebagai pengaruh proses yang adil karena persepsi mengenai keadilan dari proses dapat berpengaruh dalam meningkatkan outcome bahkan ketika outcome tersebut mempunyai implikasi yang tidak diinginkan (Saunders et al, 2002).

Pinder yang dikutip oleh Ahadiyat (2005), mengajukan enam dimensi dalam konstruk keadilan prosedural, yaitu: suatu prosedur dikatakan fair

manakala perusahaan berbuat 1) konsisten dengan prosedur, 2) tidak adanya kepentingan pribadi di atas kepentingan umum, 3) selalu berdasarkan informasi akurat, 4) selalu

diberi peluang untuk melakukan koreksi, 5) menyertakan semua kepentingan yang

legitimate dan 6) selalu memperhatikan standar moral dan etis. Jauh sebelum Pinder, Laventhal dalam Gilliand 1993mengajukan sembilan aspek dari fairness, yaitu: trust, consistency, truthfulness, integrity, expectation, influence, justice dan

(17)

Beberapa penelitian yang dilakukan sebagai tindak lanjut atas teori ekuitas menyimpulkan bahwa individual mendefinisikan keadilan bukan hanya dalam hal hasil yang diterima tetapi juga prosedur yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut yang diterima tetapi juga prosedur yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut (Laventhal, dalam Gilliand 1993; Thibaut dan Walker, 1975). Anggapan adil atau tidak adil mengenai proses dan prosedur yang diterapkan menunjukkan tinggi atau rendahnya keadilan prosedural menurut bawahan. Keadilan prosedural juga berkaitan dengan apakah karyawan percaya atau menganggap prosedur dan hasil telah adil, bukan apakah prosedur dan hasil telah adil dalam pengertian yang lebih obyektif (Lind dan Tyler, 1988).

Prosedur yang berbeda dapat dipandang secara berbeda oleh orang berbeda dalam situasi yang berbeda pula. Thibaut dan Walker (1975) dalam penelitiannya menemukan bukti bahwa prosedur yang berbeda diperlukan untuk menyelesaikan prosedur yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa keadilan prosedural dipengaruhi oleh sejauh mana pihak-pihak yang berselisih diperbolehkan untuk bersuara dalam penyelesaian perselisihan hukum.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

(18)

dengan kinerja manajer. Mereka menemukan bukti bahwa persepsi manajer lini terhadap cara mengevaluasi, proses promosi dan umpan balik dalam mengkomunikasikan kinerja akan mempengaruhi kinerja manajerial para manajer lini. Kinerja manjerial akan meningkat jika persepsi bawahan (manajer lini) terhadap keadilan prosedural dapat diterima.

Adoe (2002) menunjukkan kejelasan sasaran anggaran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manajerial. Darma (2004) mendukung adanya hubungan antara kejelasan sasaran anggaran dengan kinerja dalam konteks pemerintah daerah. Hal ini didukung penelitian Abdullah (2004) yang mengatakan terdapat hubungan yang signifikan antara kejelasan sasaran anggaran dengan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Mulyasari dan Sugiri (2004) melakukan penelitian terhadap manajer tingkat menengah yang memiliki atasan dan bawahan dan bertanggung jawab atas divisi yang dipimpinnya. Hasilnya menunjukkan bahwa hubungan beberapa variabel yang mempengaruhi kinerja akan lebih kuat jika terdapat keadilan prosedural.

(19)

umpan balik anggaran, kejelasan sasaran anggaran merasa bahwa prosedur yang adil dapat mempengaruhi kinerja manajerial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh langsung antara keadilan prosedural dengan kinerjal manajerial lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh tidak langsung melalui budgetary goal characteristic

Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti

Judul Penelitian Variabel Yang Digunakan

Hubungan kejelasan sasaran anggaran dengan kinerja manajerial menunjukkan

memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kinerja manajer.

3. Early dan lind (1987)

Prosedural Justice and Partisipation in Task Selection: The

berkorelasi positif dengan kinerja manajer. Mereka menemukan bukti bahwa persepsi manajer lini terhadap cara mengevaluasi, proses promosi dan umpan

balik dalam

mengkomunikasikan kinerja akan mempengaruhi kinerja manajerial para manajer lini. Kinerja manjerial akan meningkat jika persepsi bawahan (manajer lini) terhadap keadilan prosedural dapat diterima.

(20)

5. Mulyasari

Hubungan beberapa variabel yang mempengaruhi kinerja akan lebih kuat jika terdapat

Terdapat hubungan yang signifikan antara kejelasan sasaran anggaran dengan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

merupakan keyakinan dan

dukungan yang kuat

terhadap nilai dan sasaran

(goal) yang ingin dicapai

organisasi. Komitmen

organisasi yang tinggi akan

cenderung menurunkan

senjangan anggaran dan signifikan terhadap kinerja.

Terdapat pengaruh secara simultan maupun secara parsial partisipasi anggaran dan kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja aparat perangkat daerah di

Keadilan prosedural secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja manajerial dan keadilan prosedural terhadap kinerja manajerial melalui budgetary goal characteristic juga terbukti berpengaruh positif. Hasil penelitian Bawono (2009) secara keseluruhan dapat menjelaskan bahwa pejabat eselon III dan IV yang diberi

(21)

Gambar

Tabel 2.1.  Review Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Mengingat terdapatnya suatu kesenjangan tersebut, merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh lagi mengenai bagaimana sebenarnya hubungan motivasi santri mengikuti

Untuk nilai kekerasan tertinggi pada baja AISI 4340 adalah pada proses hardening 850°C dengan VHN sebesar 548, sedangkan nilai terendah pada proses Tempering 600 0C dengan waktu

yang terdapat pada ekstrak biji pepaya muda memiliki efek toksik yang lemah dibandingkan dengan senyawa alkaloid pada ekstrak biji pepaya matang. Kami

“Yang pertama itu tentunya stakeholdernya dinas pendidikan kemudian pemprov dan sekolah karna bagaimanapun sekolah itu adalah lapangan dia tempat dia untuk

Berikan mereka luang yang selesa untuk tanya apa sahaja kepada kita tentang produk & servis kita... Ayat reply

Seperti yang dikemukakan Akhadiah dalam Darmiyati Zuchdi dan Budiasih (2001:57), bahwa pembelajaran membaca, guru dapat berbuat banyak dalam proses pengindonesiaan

siswa yang tidak ikut mengomentari hasil dari temannya. Selain dua aspek tersebut semua sudah dilakukan dengan sangat baik oleh semua siswa dikarenakan siswa juga sudah