BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Agensi
Teori agensi merupakan basis teori yang mendasari praktik
bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Menurut Eisenhardt dalam
Harmono (2014 : 3), menyatakan bahwa, “Teori keagenan dapat
menjelaskan kesenjangan antara manajemen sebagai agent dan para pemegang saham sebagai principal. Dalam hal ini, principal yang mendelegasi pekerjaan kepada pihak lain sebagai agent untuk melaksanakan pekerjaan.”
Teori keagenan mengasumsikan bahwa semua individu
bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai
prinsipal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang
bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedangkan para
agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan
syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut.
Adanya perbedaan kepentingan dan informasi antara prinsipal
dan agen, sehingga memacu agen untuk memikirkan bagaimana angka
akuntansi yang dihasilkan dapat lebih memaksimalkan kepentingannya.
Cara yang dapat dilakukan agen untuk mempengaruhi angka-angka
akuntansi dapat berupa rekayasa laba atau manajemen laba dalam
2.1.2 Manajemen Laba
Informasi laba menjadi bagian dari laporan keuangan yang
dianggap paling penting, karena informasi tersebut secara umum
dipandang sebagai representasi kinerja manajemen pada periode
tertentu. Menurut Ahmed dan Belkaoui (2000) dalam Handayani dan
Rachadi (2009) menyatakan bahwa
Informasi laba penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan, dengan alasan, yaitu:
1. Laba menjadi dasar bagi perusahaan dalam menentukan kebijakan deviden.
2. Laba merupakan dasar dalam memperhitungkan kewajiban perpajakan perusahaan.
3. Laba dipandang sebagai petunjuk dalam menentukan arah investasi dan pembuat keputusan ekonomi.
4. Laba diyakini sebagai sarana prediksi yang membantu dalam memprediksi laba dan kejadian ekonomi di masa mendatang.
5. Laba dijadikan pedoman dalam mengukur kinerja manajemen.
Menurut Harahap (2007) memberikan definisi manajemen laba
(earnings management) sebagai “disclosure management” dalam pengertian bahwa: “manajemen melakukan intervensi terhadap proses
pelaporan keuangan kepada pihak ekstern dengan maksud untuk
memperoleh kepentingan pribadi”.
Scott (2000) juga menambahkan bahwa pola manajemen laba
dapat dilakukan dengan cara:
a. Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan
Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa
mendatang. Strategi seperti ini dilakukan seolah-olah manajer baru
melakukan kebijakan yang agresif pada perusahaan yang
mengalami kerugian tersebut. Teknik taking a bath dilakukan dengan mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan
datang dan kerugian pada periode berjalan. Sehingga manajemen
menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan-perkiraan
biaya mendatang. Akibatnya laba pada periode berikutnya akan
lebih tinggi dari seharusnya.
b. Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas
yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang
diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba
periode sebelumnya.
c. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income
maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi
untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh
perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang.
d. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan
sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar
stabil.
Dalam fluktuasi ekonomi yang tidak menentu mendorong
manajemen perusahaan untuk bekerja lebih efektif dan efisien agar
perusahaan mampu menjaga kestabilan aktivitas operasinya sekaligus
meningkatkan kinerja manajemen untuk mendapatkan hasil yang
optimal bagi perusahaan. Sehingga diharapkan dapat menumbuhkan
kepercayaan dari luar, yaitu masyarakat dan para investor.
Apabila dikaitkan dengan keberadaan perusahaan di bursa
saham, maka dalam situasi perekonomian yang tidak menentu
manajemen melakukan manajemen laba dengan teknik income smoothing dengan motivasi utama yaitu selain untuk mendorong investor membeli saham perusahaan juga untuk meningkatkan nilai
pasar saham. Dengan demikian jelas terlihat bahwa tindakan tersebut
sangat dibutuhkan oleh manajemen dalam rangka menambah firm value
dan going concern perusahaan melalui berbagai teknik yang dilakukan seperti perubahan metode akuntansi yang digunakan penentuan estimasi
piutang tak tertagih, peninjauan kembali nilai residu penyusutan dan lain
sebagainya.
Menurut Gerald dan Jensen (2001) bahwa earnings management
(manajemen laba) memiliki cakupan yang lebih luas daripada income smoothing (perataan laba), karena manajemen percaya bahwa reaksi pasar didasarkan pada pengungkapan informasi akuntansi sehingga
Menurut Watt and Zimmerman dalam Suryani (2010)
menyebutkan 3 (tiga) hal yang melatarbelakangi terjadinya praktik
manajemen laba, antara lain:
1. Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya, yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba, lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit, cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi, pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya menaikkan pajak pendapatan perusahaan.
Walaupun menggunakan definisi yang berbeda-beda, namun inti
dari definisi-definisi tersebut menyebutkan bahwa manajemen laba
merupakan upaya manajemen secara sengaja untuk mempengaruhi
laporan keuangan dengan cara menaikkan atau menurunkan laba untuk
tujuan memenuhi kepentingannya sehingga informasi di dalam laporan
keuangan tidak mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang
sebenarnya dan pada akhirnya menyesatkan pemakai informasi tersebut.
2.1.3 Pajak
Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ke-empat atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang
tanggal 1 Januari 2008, pengertian pajak telah didefinisikan pada pasal
1 angka (1) sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2013 : 1), “pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.”
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut
berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara
langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni
pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.4 Koreksi Fiskal
Menurut Muljono dan Wicaksono (2009 : 105), “koreksi fiskal
adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya
perbedaan pengakuan metode, masa manfaat, dan umur, dalam
menghitung laba secara komersial dengan secara fiskal.”
Menurut IAI (2009), laba akuntansi adalah laba bersih selama
satu periode sebelum dikurangi beban pajak yang dihitung berdasarkan
prisnsip akuntansi yang berlaku umum, sedangkan laba fiskal (taxable profit) adalah laba selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak
penghasilan.
Koreksi fiskal harus dilakukan oleh Wajib Pajak ketika
menghitung besarnya PPH terutang pada akhir tahun. Apabila koreksi
fiskal tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, perhitungan besarnya PPh
terutang sangat dimungkinkan akan mengalami kesalahan karena banyak
ketentuan pengakuan atau cara perhitungan pada akuntansi komersial
yang diperlakukan secara khusus pada ketentuan perpajakan.
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara
1. Beda Tetap (Permanent Difference) menurut Agoes dan Trisnawati (2010 : 218) menyatakan bahwa:
Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan beban menurut akuntansi dengan pajak, yaitu adanya penghasilan dan beban yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba rugi menurut akuntansi (pre tax income) berbeda secara tetap dengan laba kena pajak menurut fiskal (taxable income).
Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan
mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan
Penghasilan Kena Pajak:
a. Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final (Pasal 4
ayat (2) UU PPh).
b. Penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat (3) UU
PPh).
c. Pengeluaran yang tak berhubungan langsung dengan kegiatan
usaha, yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan serta pengeluaran yang sifatnya pemakaian
penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran (Pasal 9
ayat UU PPh).
d. Biaya yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang
bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh
bersifat final.
e. Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
f. Sanksi perpajakan.
2. Beda Sementara (Temporary Difference)
Sesuai namanya, beda waktu merupakan perbedaan
perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer.
Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi
maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda alokasi
setiap tahunnya.
Menurut Waluyo (2012 : 271), “perbedaan temporer
adalah perbedaan antara dasar pengenaan pajak (tax base) dari suatu asset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada asset dan
kewajiban yang berakibat pada perubahan laba fiskal periode
mendatang.”
Terjadinya perubahan tersebut dapat bertambah (future taxable amount) atau berkurang (future deductible amount) pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi/dibayar. Perbedaan
temporer ini berakibat harus diakuinya aset dan/atau kewajiban
pajak tangguhan.
Beda temporer biasanya timbul karena perbedaan metode
yang dipakai antara pajak dengan akuntansi dalam hal:
1. Penyisihan Akrual dan Realisasi
Pembentukan penyisihan atas piutang tak tertagih (cadangan
piutang) dibebankan sebagai biaya untuk tujuan akuntansi,
benar-benar dihapuskan seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat
(1) UU PPh. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam metode
penghapusan piutang, dimana ketentuan perpjakan secara
umum hanya mengakui metode langsung (direct method).
2. Penyusutan Aset Tetap
Metode penyusutan menurut ketentuan perundang-undangan
perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 11 UU Pajak
Penghasilan:
a. Metode garis lurus atau metode saldo menurun untuk aset
tetap berwujud bukan bangunan.
b. Metode garis lurus untuk aset tetap berwujud berupa
bangunan.
3. Revaluasi Aset Tetap
Menurut Waluyo (2010 : 120), “revaluasi aset tetap adalah
suatu penilaian kembali atas aset tetap yang dimiliki
perusahaan sehingga sesuai dengan harga pasar saat
diberlakukannya revaluasi tersebut.”
Pengakuan suatu aset mengandung makna bahwa nilai tercatat
aktiva tersebut akan terpulihkan dalam bentuk manfaat
ekonomi yang akan diterima oleh perusahaan pada periode
mendatang. Apabila nilai tercatat aset lebih besar daripada
DPP-nya, jumlah manfaat ekonomi yang kena pajak akan
Perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak dan
kewajiban pajak penghasilan pada periode mendatang
merupakan kewajiban pajak tangguhan.
Pada saat perusahaan memulihkan (recover) nilai tercatat aset, perbedaan temporer kena pajak akan terealisasi menjadi laba
fiskal. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban pajak.
Oleh karena itu, Pernyataan ini menghendaki pengakuan semua
kewajiban pajak tangguhan, kecuali pada kondisi tertentu.
Perbedan nilai aset tetap antara akuntansi dan pajak akan
dipertanggungjawabkan secara akuntansi sesuai ketentuan
PSAK 46 sebagai pajak tangguhan.
Dalam rangka tahun pembinaan pada tahun 2015 telah
diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Penilaian
Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi
Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016.
Perlakuan khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini adalah terkait dengan pengenaan tarif yang lebih
kecil dari seharusnya (10%).
Perlakuan khusus tarif tersebut adalah sebagai berikut :
a. 3% (tiga persen), untuk permohonan yang diajukan sejak
berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal 31
Desember 2015;
1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; atau
c. 6% (enam persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1
Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016
Secara formal, tujuan kebijakan khusus ini adalah:
a. menjaga stabilitas ekonomi makro
b. mendorong pertumbuhan ekonomi
Karena khusus, maka Peraturan Menteri Keuangan nomor
191/PMK.010/2015 tidak mencabut atau mengubah Peraturan
Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008. Jadi, setelah 2016
ketentuan tentang PPh atas revaluasi kembali lagi ke Peraturan
Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008 dan tarif yang
dikenakan 10%. Namun dalam penelitian, penulis
menggunakan Peraturan Menteri Keuangan nomor
79/PMK.03/2008 karena data penelitian berlangsung pada
periode 2011-2014.
4. Penilaian Persediaan.
Menurut Pasal 10 ayat (6) Undang-undang Pajak
Penghasilan, “persediaan dan pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga
perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.”
Dengan demikian, hanya terdapat dua metode penilaian
metode rata-rata (average method) dan metode Fisrt In First Out (FIFO). Hal ini berbeda dengan prinsip akuntansi yang menganut tiga metode penilaian persediaan yaitu metode
LIFO, FIFO, dan average. Wajib Pajak harus memilih salah satu metode tersebut dan dilakukan secara konsisten.
Perubahan atas metode penilaian persediaan harus
mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
5. Kompensasi Kerugian Fiskal.
Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terkahir dengan Undang–undang nomor 36 tahun
2008 menyebutkan :
“Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
tahun.”
Kompensasi kerugian berpengaruh pada Penghasilan Kena
Pajak di masa yang akan datang, dan efek pajaknya akibat
dari kompensasi kerugian adalah menghematan pada di masa
yang akan datang (future tax saving). Realisasi keuntungan pajak dimasa yang akan datang tergantung pada Penghasilan
diramalkan dan tidak pasti.
Keuntungan pajak akibat kompensasi rugi diakui sebagai aset
pajak tangguhan dalam hal kompensasi pajak tangguhan
tersebut dapat dikompensasi dengan jumlah Penghasilan
Kena Pajak pada masa mendatang. Keuntungan pajak
dihitung dengan mengalikan jumlah yang dapat dikompensasi
tersebut dengan tarif pajak yang akan berlaku pada periode
kompensasi terjadi. Pada saat aset pajak tangguhan tersebut
dicatat, beban pajaknya pun akan berkurang. Pada
tahun-tahun berikutnya, pada saat penghasilan terealisasi, aset pajak
tangguhan pun akan berkurang. Keuntungan pajak karena
kompensasi kerugian tidak akan terealisasi apabila tidak
terdapat Penghasilan Kena pajak yang memadai untuk
menutupi kerugian tersebut.
Dalam PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan
par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal yang dapat
dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila
besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan
memadai untuk dikompensasi.
2.1.5 Pajak Tangguhan
Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di
masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer
fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu.
Dampak PPh di masa yang akan datang tersebut perlu diakui,
dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik
neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak
lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak
yang lebih besar di masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja
perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya
memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang. Bila
dampak pajak di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan
laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya.
PSAK No.46 : Pajak Penghasilan mengatur bagaimana entitas
menyajikan dan mengungkapkan kewajiban pajak penghasilan entitas.
Peraturan pajak dan standar akuntansi memiliki perbedaan pengakuan
dan pengukuran pendapatan dan beban yang dapat memunculkan aset
atau liabilitas pajak tangguhan yang harus diungkapkan dan disajikan
dalam laporan keuangan.
Intisari PSAK No.46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Mengatur perlakuan Akuntansi PPh, dimana masalah utama
adalah bagaimana mempertanggungjawabkan konsekwensi pajak
dengan perbedaan temporer.
b. Dalam akuntansi PPh, agar dilakukan pengakuan terhadap future tax effect yg timbul sebagai akibat adanya transaksi dan peristiwa lain yg telah diakui dalam laporan keuangan dan SPT. Disamping
itu, agar dilakukan pengakuan terhadap future tax effect dari kompensasi kerugian fiskal yang belum digunakan apabila
persyaratan tertentu dipenuhi.
c. Pengakuan future tax effect diakui dengan mengakui adanya aktiva pajak tangguhan (deffered tax assets) dan kewajiban pajak tangguhan (deferred tax labilities). Pengakuan pajak tangguhan dalam PSAK No.46 dilakukan dengan menggunakan Balance Sheet Liability Method.
d. Pengakuan aktiva atau kewajiban pada laporan keuangan, secara
tersirat, berarti bahwa perusahaan pelapor akan dapat memulihkan
nilai tercatat aktiva tersebut atau akan melunasi nilai tercatat
kewajiban tersebut dalam periode mendatang. Pemulihan nilai
tercatat aktiva pajak tangguhan akan mengakibatkan perusahaan
pelapor membayar pajak lebih kecil di periode mendatang dan
pemulihan nilai tercatat kewajiban pajak tangguhan akan
mengakibatkan perusahaan pelapor membayar pajak lebih besar
di periode mendatang.
e. Mengatur tentang penyajian Pajak Penghasilan pada Laporan
Menurut Waluyo (2012 : 273), pajak tangguhan sebagai
“jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan pada periode mendatang
sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dari sisa
kerugian yang dapat di kompensasikan.”
2.1.5.1Metode Penangguhan Pajak Penghasilan
Pengakuan pajak tangguhan dalam PSAK No.46
dilakukan dengan menggunakan Balance Sheet Liability Method (Metode Aktiva-Kewajiban). Metode ini menggunakan pendekatan neraca (balance sheet approach) yang menekankan pada kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi
keuangan dan memprediksikan aliran kas pada masa yang akan
datang. Pendekatan neraca memandang perbedaan perlakuan
akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang neraca, yaitu
perbedaan antara saldo buku menurut komersial dan dasar
pengenaan pajaknya.
Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan temporer
dan perbedaan non temporer. Pada metode ini terjadi
pengakuan pajak tangguhan (deferred tax) atas konsekuensi pajak di masa mendatang berupa aset (kewajiban) pajak
tangguhan yang harus dilaporkan di neraca. Beban pajak
tangguhan dilaporkan di laba rugi bagian taksiran PPh sebagai
komponen pajak tangguhan, sedangkan penghasilan pajak
negatif dari beban pajak tangguhan.
Menurut Zain (2007 : 194) Kewajiban pajak
tangguhan maupun aset pajak tangguhan dapat terjadi dalam
hal-hal sebagai berikut :
1. Apabila penghasilan sebelum pajak-PSP (Pretax Accounting Income) lebih besar dari penghasilan kena pajak-PKP (taxable income), maka beban pajak–BP (Tax Expense) pun akan lebih besar dari pajak terutang-PT (Tax Payable), sehingga akan menghasilkan Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Taxes Liability). Kewajiban pajak tangguhan dapat dihitung dengan mengalikan
perbedaan temporer dengan tarif pajak yang berlaku.
2. Sebaliknya apabila penghasilan sebelum pajak (PSP)
lebih kecil dari penghasilan kena pajak (PKP), maka
beban pajak (BP) juga lebih kecil dari pajak terutang
(PT), sehingga akan menghasilkan Aktiva Pajak
Tangguhan (Deferred Tax Assets). Aktiva pajak tangguhan adalah sama dengan perbedaan temporer
dengan tarif pajak pada saat perbedaan tersebut
terpulihkan.
Penghasilan Kena Pajak (PKP-Taxable Income) dihitung berdasarkan Ketentuan Peraturan
(PSP-Accounting Income atau Pretax Book Income) dihitung berdasarkan standar yang disusun oleh profesi yang dikenal
sebagai Standar Akuntansi keuangan (SAK).
Oleh karena basis pengenaan penghasilan untuk
keperluan perhitungan Pajak Penghasilan berbeda dengan basis
penghitungan penghasilan untuk keperluan komersial, atau
dengan perkataan lain, akibat dari perbedaan penghasilan dan
biaya, maka akan terdapat perbedaan yang cukup signifikan
antara keddua basis tersebut. Pajak Penghasilan yang dihitung
berbasis pada Penghasilan Kena Pajak yang sesungguhnya
dibayar kepada pemerintah disebut sebagai PPh
terutang-Income Tax Payable atau Income Tax Liability, sedangkan Pajak Penghasilan yang dihitung berbasis Penghasilan
Sebelum Pajak, disebut sebagai Beban Pajak
Penghasilan-Income Tax Expense.
2.1.5.2Kegiatan yang Dilakukan dalam Menentukan Pajak Tangguhan
Sama halnya dengan proses akuntansi lainnya,
Akuntansi Pajak Tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan
berikut ini :
dalam laporan keuangan. Pengakuan ini menyiratkan
bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai tercatat
aset pajak tangguhan atau deferred tax asset (DTA) dan akan melunasi nilai tercatat dalam kewajiban pajak
tangguhan atau deferred tax liability (DTL) tersebut.
Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan
yang disebabkan oleh perbedaan temporer akan
terpulihkan di masa datang karena jumlah yang akan
diakui sebagai biaya atau pendapatan akan sama antara
akuntansi dan pajak, hanya berbeda alokasi waktunya saja.
Sedangkan aset pajak tangguhan yang timbul dari
kompensasi rugi akan terpulihkan bila perusahaan
menggunakan kompensasi rugi tersebut pada tahun di
mana perusahaan memperoleh laba fiskal. Bila
kompensasi rugi tersebut tidak terpakai dan menjadi
hangus, maka aset pajak tangguhan yang timbul harus
disesuaikan.
2. Pengukuran (measurement) yaitu cara menghitung jumlah yang harus dibukukan dalam buku besar perusahaan.
Pajak tangguhan dapat dihitung dengan cara mengalikan
beda waktu yang terjadi dengan tarif pajak yang berlaku
pada saat aktiva dipulihkan atau kewajiban dilunasi. Tarif
tarif sebenarnya dilihat dari jenis Badan Hukum dan
Omsetnya.
3. Penyajian (presentation) yaitu standar yang menentukan cara penyajian di dalam laporan keuangan, baik dalam
neraca ataupun laba rugi. Aset pajak tangguhan (DTA)
atau kewajiban pajak tangguhan (DTL) harus disajikan
secara terpisah dari aktiva atau kewajiban pajak kini dan
disajikan dalam unsur non current dalam neraca. Sedangkan beban atau penghasilan pajak tangguhan harus
disajikan terpisah dengan beban pajak kini dalam laporan
keuangan.
4. Pengungkapan (disclosure) yaitu berkaitan dengan standar informasi yang perlu diungkapkan dalam catatan atas
laporan keuangan. Misalnya unsur-unsur utama perbedaan
temporer yang menimbulkan pajak tangguhan,
unsur-unsur yang dibebankan langsung ke laba ditahan,
perubahan tarif pajak dan sebagainya.
Aset Pajak Tangguhan dapat disamakan seperti lebih
bayar pajak yang akan digantikan di masa yang akan datang
pada saat pemulihan perbedaan temporer. Sementara itu
Kewajiban Pajak Tangguhan dapat disamakan seperti kurang
bayar pajak yang akan dibayar di masa yang akan datang pada
pajak tangguhan menyebabkan pengurangan beban pajak
perusahaan sedangkan sebaliknya kenaikan neto kewajiban
pajak tangguhan menyebabkan kenaikan beban pajak
perusahaan.
Beban pajak menurut pembukuan dapat dihitung
sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Terutang Rp XXX
Kenaikan neto kewajiban pajak tangguhan Rp XXX (+)
Kenaikan neto aset pajak tangguhan Rp XXX (-)
Beban pajak menurut pembukuan Rp XXX
Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan
terjadi akibat perbedaan temporer antara pembukuan dan pajak
sedangkan perbedaan permanen antara pembukuan dan pajak
tidak mempunyai efek, baik terhadap perhitungan beban pajak
menurut pembukuan maupun terhadap perhitungan pajak
terutang. Oleh karena perbedaan permanen tidak menghasilkan
pajak tangguhan.
2.1.6 Aset Pajak Tangguhan
PSAK yang khusus mengatur tentang akuntansi pajak
tangguhan adalah PSAK No. 46 yang menjelaskan bahwa:
“Aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan
dan sisa kompensasi kerugian (berasal dari koreksi positif)”.
“Aset pajak tangguhan adalah aktiva yang terjadi apabila
perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang berakhibat
beban pajak menurut akuntansi komersial lebih kecil dibanding
beban pajak menurut Undang-Undang Pajak” dalam Waluyo (2012
: 273).
Aset pajak tangguhan disebabkan jumlah pajak penghasilan
terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan
temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian.
Besarnya aset pajak tangguhan dicatat apabila dimungkinkan
adanya realisasi manfaat pajak di masa yang akan datang.
2.1.7 Beban Pajak Tangguhan
Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer
antara laba akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK
untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut
aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar
penghitungan pajak). Suandy (2008 : 91) mengungkapkan bahwa
“apabila pada masa mendatang akan terjadi pembayaran yang lebih
besar, maka berdasarkan SAK harus diakui sebagai suatu kewajiban.”
Sebagai contoh apabila beban penyusutan aset tetap yang
diakui secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan aset tetap
yang diakui secara komersial sebagai akibat adanya perbedaan metode
pengakuan beban pajak yang lebih besar secara komersial pada masa
yang akan datang. Dengan demikian selisih tersebut akan
menghasilkan kewajiban pajak tangguhan. “Kewajiban pajak
tangguhan timbul apabila beda waktu menyebabkan terjadinya koreksi
negatif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih besar daripada
beban pajak menurut peraturan perpajakan” dalam Agoes dan
Trisnawati (2010 : 245).
Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer
antara laba akuntansi (yaitu laba dalam laporan keuangan untuk
kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba yang digunakan
sebagai dasar perhitungan pajak). Perbedaan antara laporan keuangan
akuntansi dan fiskal disebabkan dalam penyusunan laporan keuangan,
standar akuntansi lebih memberikan keleluasaan bagi manajemen
dalam menentukan prinsip dan asumsi akuntansi dibandingkan yang
diperbolehkan menurut peraturan pajak.
2.2 Hubungan Antara Variabel Dependen dengan Variabel Independen
Hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen
menjelaskan tentang adanya keterkaitan antara variabel dependen dengan
variabel independen.
2.2.1 Hubungan Aset Pajak Tangguhan dengan Manajemen Laba
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009), nilai tercatat aset
Perusahaan harus menurunkan nilai tercatat apabila laba fiskal tidak
mungkin memadai untuk mengkompensasi sebagian atau semua
aset pajak tangguhan. Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali
apabila besar kemungkinan laba fiskal memadai. Dengan adanya
kewajiban untuk melakukan peninjauan kembali pada tanggal
neraca, maka setiap tahun manajemen harus membuat suatu
penilaian untuk menetukan saldo aset pajak tangguhan dan
pencadangan aset pajak tangguhan, sedangkan penilaian manajemen
untuk menentukan saldo cadangan aset pajak tangguhan tersebut
bersifat subjektif.
Dengan diberlakukannya PSAK No.46 yang mensyaratkan
para manajer untuk mengakui dan menilai kembali aset pajak
tangguhan yang dapat disebut pencadangan nilai aset pajak
tangguhan. Penilaian manajemen untuk menentukan saldo cadangan
aset pajak tangguhan tersebut bersifat subjektif. Hal ini memicu
terjadinya manajemen laba karena setiap tahun manajer harus
membuat penilaian untuk menentukan apakah akan mencatat atau
akan menyesuaikan aset pajak tangguhan dan besarnya penyisihan
aset pajak tangguhan.
Aset pajak tangguhan yang jumlahnya diperbesar oleh
manajemen dimotivasi adanya pemberian bonus, beban politis atas
besarnya perusahaan dan minimalisasi pembayaran pajak agar tidak
diekspektasikan adanya peranan antara aset pajak tangguhan yang
dapat dimungkinkan dapat digunakan sebagai indikator adanya
manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan semakin besar
maka semakin tinggi kesempatan manajemen melakukan manajemen
laba (earnings management).
2.2.2 Hubungan Beban Pajak Tangguhan dengan Manajemen Laba
Perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal memliki
hubungan positif dengan insentif pelaporan keuangan seperti
pemberian bonus sehingga dengan adanya hla tersebut maka
dimungkinkan manajer dapat melakukan rekayasa laba (earnings management) dengan memperbesar atau memperkecil jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dengan laporan laba rugi. Beban yang
besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh suatu perusahaan,
begitu pula sebaliknya beban yang sedikit akan menaikkan tingkat
laba yang diperoleh perusahaan.
Berdasarkan Philips et al (2003) membuktikan adanya praktik
manajemen laba dengan menggunakan beban pajak tangguhan.
Penelitian yang dilakukan Yulianti (2005) juga menemukan bukti
empiris bahwa beban pajak tangguhan memiliki hubungan positif
signifikan dengan probabilitas perusahaan untuk melakukan
manajemen laba guna menghindari kerugian perusahaan.
Manajemen laba merupakan peluang manajemen untuk
menurunkan tingkat labanya. Beban pajak tangguhan mengakibatkan
tingkat laba yang diperoleh menurun dengan demikian memiliki
peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba yang lebih besar di
masa yang akan datang dan mengurangi besarnya pajak yang
dibayarkan. Dari penjelasan diatas dapat terjadi rekayasa laba
(earnings management) dengan menaikkan atau menurunkan jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dalam laporan laba rugi.
2.3 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian yang sejenis yang sebelumnya telah dilakukan
untuk mengetahui pengaruh pajak tangguhan terhadap manajemen laba
diantaranya :
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu NAMA
Do Managers Use the Valuation
Variabel independen :
Aset Pajak Tangguhan (X2)
Variabel dependen :
Manajemen Laba (Y)
Aset pajak tangguhan mempunyai pengaruh
Variabel dependen :
Manajemen Laba(Y)
Beban pajak tangguhan dan akrual berpengaruh secara signifikan dapat mendeteksi manajemen
Variabel independen :
Akrual (X1), Aktiva
Pajak Tangguhan (X2)
Variabel dependen :
Akrual memiliki hubungan positif
terhadap manajemen
H1
H2
terhadap manajemen laba.
Ulfah (2012) Pengaruh beban
pajak tangguhan dan perencanaan pajak terhadap praktik
manajemen laba
Variabel independen :
Beban Pajak Tangguhan (X1) ,
Perencanaan Pajak (X2)
Variabel dependen :
Manajemen Laba(Y)
Beban pajak tangguhan berpengaruh positif terhadap manajemen laba, perencanaan pajak berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
Wiryandari (2008)
Hubungan Laba Akuntansi dan Laba Pajak dalam Perilaku
Variabel dependen :
Manajemen Laba(Y)
Beban pajak tangguhan dan akrual secara
signifikan tidak
berpengaruh terhadap
Tangguhan Dalam Mendeteksi Manajemen Laba
Variabel Independen:
Beban Pajak Tangguhan (X1)
Akrual (X2)
Variabel Dependen:
Manajemen Laba (Y)
Beban pajak tangguhan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba beban pajak tangguhan tidak konsisten dengan metode akrual sebagai proksi manajemen laba.
2.4 Kerangka Konseptual
Aset pajak tangguhan yang jumlahnya diperbesar oleh manajemen
dimotivasi adanya pemberian bonus, beban politis atas besarnya perusahaan
dan minimalisasi pembayaran pajak agar tidak merugikan perusahaan.
Mengacu pada pernyataan tersebut, maka diekspektasikan adanya peranan
antara aktiva pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan
sebagai indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan
semakin besar maka semakin tinggi kesempatan manajemen melakukan
manajemen laba (earnings management).
“Semakin besar persentase beban pajak tangguhan terhadap total
beban pajak perusahaan menunjukkan standar akuntansi yang semakin
liberal,” menurut Yulianti (2005 : 118). Dan perbedaan antara laba
akuntansi dengan laba fiskal memiliki hubungan positif dengan insentif
pelaporan keuangan seperti pemberian bonus, dengan adanya hal tersebut
maka dimungkinkan manajer dapat melakukan manajemen laba dengan
memperbesar atau memperkecil jumlah beban pajak tangguhan yang diakui.
Beban yang besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh suatu
perusahaan, begitu pula sebaliknya beban yang sedikit akan menaikkan
tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Manajemen laba merupakan
peluang bagi manajemen untuk merekayasa besarnya beban pajak
tangguhan guna menaikan dan menurunkan tingkat labanya. Beban pajak
tangguhan mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh menurun dengan
demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba yang
dibayarkan.
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara atau kesimpulan yang diambil
untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam suatu penelitian yang
sebenarnya masih harus diuji secara empiris. Hipotesis yang dimaksud
merupakan dugaan yang mungkin benar atau mengkin salah. Hipotesis yang
akan diuji dalam penelitian ini adalah: