BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Desa senantiasa menjadi entitas marginal yang kerap tidak terlalu menjadi
bahasan yang menarik didalam semesta ketatanegaraan dan perpolitikan. Ketika
berbicara tentang desentralisasi,yang menjadi sorotan adalah konteks
Kota/Kabupaten. Desa merupakan satuan pemerintahan terendah atau terkecil
didalam republik ini, adalah sejatinya memiliki kadar politik tersendiri, memiliki
kharakteristik sendiri serta menjadi tempat bergaung nya “the real politics”.
Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik
dan pemerintahan di Indonesia.Jauh sebelum Negara-bangsa modern ini terbentuk,
entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat lain sebagainya, telah menjadi
institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan
institusi yang otonom tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri mengakar kuat.,
serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar. Desa dewasa ini
terus berkembang mengikuti perubahan-perubahan pola pikir ketatanegaraan, ada
itu sendiri tidaklah semua seragam entitasnya, sehingga relevansi pembaruan desa,
atau dalam hal ini sering disebut reformasi desa haruslah dilakukan secara hati-hati.
Pengusulan arah dan format penyelenggaraan pemerintahan desa memang
adalah hal yang yang penting, mengingat pertama, tingkat keberagamannya desa di
negeri ini sangatlah tinggi.Penyeragaman arah perlu senantiasa diwaspadai.Kedua,
desa merupakan wujud bangsa yang paling konkret. Di level desa itulah identitas
kolektif masyarakat dibentuk, dan memformat ulang tata pemerintahan pada dasarnya
mempertaruhkan kebangsaan, diatas bangunansosial desa itu telah berdiri suatu
perangkat kehidupan modern yang lebih sering dikenal sebagai nation state (Negara
bangsa). Nasib desa pada gilirannya tidak luput dari intervensi Negara.1
1
Purwo Santoso, 2006. Pembaharuan Desa secara Partisipatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Undang-Undang tentang Desa kerap kali berganti, Undang-undang No.
22/1999 telah meletakkan kerangka landasan desentralisasi, otonomi daerah dan
demokrasi lokal yang jauh lebih maju di era reformasi, setelah Republik Indonesia
dibelenggu oleh sistem yang sentralistik-otoritarian selama tiga dekade. Tetapi
undang-undang transisional itu telah memicu konflik kekuasaan-kekayaan antara
pusat, provinsi, kabupaten/kota dan Desa; mengundang multitafsir yang beragam
sehingga membuat pemahaman kacau-balau; serta memicu ketidakpuasan dan kritik
dari berbagai pihak.Karena itu semua pihak menghendaki revisi untuk
Arah dan substansi revisi telah lama diperdebatkan namun tidak terbangun
visi bersama untuk memperkuat otonomi daerah, karena fragmentasi
kepentingan.Pemerintah mempunyai kehendak kuat untuk merevisi karena UU No.
22/1999 dinilai melenceng jauh dari prinsip NKRI.Pemerintah kabupaten/kota sangat
risau dengan intervensi dan kontrol yang berlebihan oleh DPRD.Pihak Desa (kepala
Desa dan BPD) telah lama mengusulkan revisi karena UU No. 22/1999 tidak
memberikan ruang bagi desentralisasi kewenangan dan keuangan untuk mendukung
otonomi Desa.Pihak LSM terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap UU
No. 22/1999, tetapi yang paling krusial di mata mereka adalah lemahnya jaminan
legal partisipasi masyarakat dan lemahnya komitmen pada pembaharuan Desa.
Pada tanggal 15 Oktober 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini
pengaturan mengenai Desa terdapat dalam Bab XI yaitu dari Pasal 200 – Pasal 216.
Sedangkan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan di atas adalah dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 30
Desember 2005. Keluarnya Undang-Undang no. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72/ 2005
masih menyisakan beberapa persoalan dari sisi substansi dan regulasi.Ada beberapa
isu krusial yang muncul dalam kerangka substansi dan regulasi itu.
Salah satu persoalan mendasar dalam proses penyelenggaraan pemerintah,
baik ditingkat pusat, daerah maupun desa adalah cara membangun atau menciptakan
masyarakat yang sejahtera serta berkeadilan. Sejatinya, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 khususnya yang mengatur desa menjadi landasan reformasi kebijakan
desa, Pertama, roh (esensi dan visi) UU 32/2004 belum kuat mengarah pada
pencapaian cita-cita desa yang mandiri (otonom), demokratis dan sejahtera. Sejak
lahir UU No. 22/1999 otonomi (kemandirian) desa selalu menjadi bahan perdebatan
dan bahkan menjadi tuntutan riil dikalangan asosiasi desa (sebagai representasi desa),
tetapi belum terumuskan visi (roh) bersama apa makna otonomi desa. Apakah yang
disebut otonomi desa adalah”otonomi asli” sebagiamana menjadi sebuah prinsip
dasar yang terkandung dalam UU No. 32/2004, atau otonomi yang
didesentralisasikan seperti halnya otonomi daerah.Otonomi asli seringkali
dikemukakan banyak pihak namun substansinya masih kabur.
Ada banyak persepsi bahwa otonomi desa berdasar otonomi yang asli, yang
berarti desa mengurus sendiri sesuai dengan kearifan dan kapasitas lokal, tanpa
intervensi dan tanggung jawab Negara.Tetapi juga ada banyak pandangan bahwa
sekarang otonomi asli itu sudah hilang sebab semua urusan pemerintah sudah
menjadi milik Negara, tidak ada satupun urusan pemerintah yang luput dari
pengaturan Negara.
Makna dan nilai demokrasi desa juga menjadi perdebatan oleh banyak
kalangan.Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana makna demokrasi
substansial dan demokrasi prosedural yang tepat dan relevan dalam konteks lokal
desa. UU No. 32 Tahun 2004 mengusung demokrasi substansial yang universal,
menjadi institusi modern yang mengelola barang-barang publik, namun kendalanya
adalah penerimaan kondisi lokal atas nilai-nilai universal tersebut, tentunya akan
berbenturan dengan kearifan lokal.
Dari sisi kesejahteraan, desain desentralisasi adalah membangun
kesejahteraan rakyat.Pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab besar
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui kewenangan besar dan keuangan yang
dimilikinya.Tetapi visi tersebut belum tertuang didalam pengaturan mengenai
desa.Bagaimana hak-hak desa untuk mengelola sumber daya alam lokal.
Dalam menjalankan pemerintahan desa, desa dipimpin oleh kepala desa,
dimana kepala desa disebutkan bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa,
melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa. Dalam menjalankan tugasnya, kepala desa akan dibantu oleh
perangkat desa yang terdiri atas sekretariat desa, pelaksana kewilayahan dan
pelaksana teknis.
Pemerintahan desa sebagai unit lembaga pemerintah yang paling berdekatan
dengan masyarakat, posisi dan kedudukan hukumnya hingga saat ini selalu menjadi
perdebatan terutama ditingkat elite politik.Penerapan UU No. 32/2004 selain
menimbulkan implikasi pada perubahan tata hubungan desa dengan pemerintah
supradesa, juga membawa perubahan dalam relasi kekuasaan antar kekuatan politik di
level desa. Perubahan kearah yang itu yang demokratis itu terlihat dari beberapa
fenomena, diantaranya; dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan
sehari-hari. Misalnya dengan hadir BPD atau yang disebut nama lain, dimana badan
legislatif baru ini berperan sebagai pengayom adat-istiadat, membuat Peraturan Desa
bersama dengan Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat,
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, semangat
partisipasi masyarakat sangat ditonjolkan. Artinya proses politik, pemerintahan dan
pembangunan di desa tidak lagi bermuara dari kebijakan pemerintah pusat secara
terpusat (top-down), melainkan berasal dari partisipasi masyarakat.
Berangkat dari beberapa hal ini, sesungguhnya UU No. 6 Tahun 2014
menjawab persoalan-persoalan substansi didalam pengaturan desa itu sendiri,
termasuk hal yang menjadi salah satu fundamen penting adalah kekuasaan kepala
desa. Cita-cita dan visi mulia UU No. 6 Tahun 2014 yaitu sebagai “Upaya
mewujudkan Desa yang maju, kuat dan demokratis”, tentunya menjadi tolak ukur
salah satunya adalah mengenai kewenangan atau kekuasaan kepala desa yang diatur
sedemikian rupa, berkesinambungan dengan pengaturan desa yang di reformasi.
Secara garis besar, UU No. 6 Tahun 2014 menjawab semua persoalan yang dihadapi
dalam tata kelola desa, semua hal pokok mendapat porsi dan garis haluan sendiri
yang jelas, tentangKepala Desa Sendiri diatur dari pasal 26 sampai pasal 47. Salah
satu yang menjadi poin penting mengenai kepala desa dalam mewujudkan desa yang
maju, kuat dan demokratis adalah kepala desa memegang kekuasaan atas pengelolaan
keuangan dan asset desa, menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes ), serta ayat-ayat lain yang mengisyaratkan betapa besarnya kewenangan
Mengingat beban yang dipikul oleh kepala desa untuk mencapai cita-cita desa,
kekuasaan nyaris tak terbatas dari Kepala Desa, serta implikasi dari itu semua adalah
Kepala Desa menjadi barang yang seksi untuk diperebutkan, maka dinamika
demokrasi di desa akan kian berwarna, maka didasari dari hal itu, peneliti mencoba
menyajikan gambaran-gambaran serta analisis mengenai Kekuasaan Kepala Desa
tersebut, dengan judul skripsi sebagai berikut: Undang-Undang Desa sebagai
Upaya mewujudkan Desa yang Maju, Kuat, dan Demokratis (Studi Deskriptif:
UU Desa No. 6 Tahun 2014 Tentang Kekuasaan Kepala Desa).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka perumusan masalah
penelitian ini adalah: “Bagaimana Relevansi Kekuasaan Kepala Desa terhadap
Desa yang Mandiri, Maju, Kuat dan Demokratis berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014?”
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan
penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengindentifikasi
faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana saja
yang tidak masuk kedalam ruang penelitian tersebut.
Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis, yaitu: Penelitian
ini akan menganalisis relevansi kekuasaan kepala desa terhadap desa berdasarkan
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain:
A. Untuk dapat mengetahui deskripsi jelas mengenai Undang-Undang
Desa No 6 Tahun 2014 tentang Kekuasaan Kepala Desa
B. Untuk mengetahui relevansi Kekuasaan Kepala Desa terhadap Desa
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat bagi Pengembangan Ilmu
Penelitian ini dapat menambah wawasan serta pengembangan ilmu pengetahuan di
bidang Ilmu Politik khususnya masalah yang berkaitan dengan Kekuasan Kepala
Desa terkait dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014
2. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian menjadi masukan
yang berguna bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di daerah-daerah
desa untuk memahami peran Kepala Desa atas UU. No 6 Tahun 2014
3. Manfaat bagi institusi
Manfaat bagi Kantor-kantor Desa sebagai suatu bahan masukan dan bahan
pertimbangan dalam proses konstelasi pemilihan, serta tugas pokok dan fungsi kepala
Desa, serta bagi pengembangan penelitian di Departemen Ilmu Politik FISIP USU
F. Kerangka Teori
F.1. Desa
Desa merupakan salah satu kesatuan terkecil masyarakat dimana masyarakat
mendefinisikan Desa sebagai entitas terkecil komunitas bernegara, yang memiliki
kearifan lokal dan masih terjalin interaksi yang hangat antar individu serta terikat
dengan kebiasaan-kebiasaan atau adat masing-masing.
Desa sejak dahulu identik dengan pemilihan Kepala Desa, disinilah praktek
demokrasi yang substansial berlangsung, warga desa biasanya akan menyambut
hangat pesta pemilihan Kepala Desa. Ini yang menjadi salah satu ciri utama desa,
selain dengan mata pencaharian yang relatif sama, kebutuhan yang seragam, serta
keterikatan masyarakat terhadap tempat tinggal mereka.
Selanjutnya, Pengertian Desa menurut Rahardjo dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Sosiologi Pedesaandan Pertanian yaitu desa dalam arti umum adalah desa
sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat dimanapun di dunia ini., sebagai
suatu komunitas terkecil, yang terdapat didalam likalitas tertentu baik sebagai tempat
tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhan, dan terutama yang
tergantung kepada pertanian, desa-desa cenderung mempunyai
karakteristik-karakteristik tertentu yang sama.2
Sedangkan, didalam buku Otonomi Desa, Prof. Drs. HAW. Widjaja sebagai
berikut: Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli
berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam
mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.Desa dapat melakukan perbuatan
hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda
2
dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan.Untuk itu, kepala desa
dengan bersetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum dengan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.3
Desa memiliki desa adat atau memiliki penyebutan nama lain, hal ini diatur
dalam azas rekognisi desa, namun secara substantif desa itu adalah kesatuan Bertolak dari pengertian diatas, desa memiliki prinsip tersendiri, dikarenakan
terdapat asal-usul yang menjadi pegangan didesa, selain itu masyarakat desa biasanya
memiliki warna yang dekat dengan pemerintahan, dalam hal ini pemerintahan desa,
karena lingkupnya kecil maka pembauran antara warga dan pemerintahan atau
penyelenggara desa terjadi, maka sepatutnya semua permasalahan desa dihadapi
dengan musyawarah dan gotong royong.
Ditinjau secara perundang-undangan, pengertian desa didalam UU. No 6 Tahun 2014
yaitu:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
3
masyarakat yang memiliki wilayah dan pemerintahan sendiri, mengatur kepentingan
sesuai dengan kehendak masyarakat dan menjadi bagian didalam Negara, tidak
menjadi persoalan bentuk desanya seperti apa, seperti Nagari, Dusun, Gampong,
Pesirah, semuanya kemudian didalam undang-undang disebut Desa.
F.2. Pemerintahan Desa
Berjalannya institusi suatu lembaga tak terlepas dari pemerintahan yang
berada didalamnya, tak terkecuali desa.Desa memiliki pemerintahan sendiri yang
berjalan sesuai landasan yang berlaku. Embrio masyarakat politik dan pemerintahan
di Indonesia berada di desa, dengan mengandalkan tradisi, adat istiadat institusi
masing-masing pemerintahan desa menjelma pemerintahan yang memiliki nilai-nilai
tersendiri.Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Sebagaimana yang diungkapkan Dwipayana dkk, bahwa pemerintahan desa
yang demokratis (partisipatif, akuntabel, transparan dan responsive) bisa semakin
kokoh, legitimate, dan mampu bekerja secara efektif bila ditopang dengan
kesejajaran, keseimbangan dan kepercayaan antar elemen governance di desa.4
Pemerintahan Desa, didalam PP. No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 1
ayat (6) menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan
4
pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa itu ada dua institusi yang mengendalikan, yaitu Pemerintahan
Desa dan BPD.
Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa, pemerintah desa mempunyai
tugas menyelenggarakan urusan pembangunan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan.Karena itu, kalau dilihat dari segi fungsi, maka pemerintah desa
memiliki fungsi; menyelenggarakan urusan rumah tangga desa, melaksanakan
pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, melaksanakan pembinaan
perekonomian desa, melaksanakan pembinaan partisipasi dan swadaya gotong royong
masyarakat, melaksanakan musyawarah penyelesaian perselisihan, dan lain
sebagainya.5
5
Solekhan, Moch. 2012. Penyelenggaraan pemerintahan desa. Malang: Setara Press
Sementara itu, didalam UU No 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
“Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu
perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa”. (Pasal 1 ayat 3)
Dilihat dari uraian UU No. 6 Tahun 2014 diatas jelas tercantum bahwa
Pemerintahan Desa dalah Kepala Desa. Segala bentuk urusan pemerintahan, yang
berkaitan dengan desa akan menjadi tugas pokok dari Kepala Desa. Tercermin bahwa
betapa besarnya kekuasaan yang diemban oleh kepala desa, maka kekuasaan itu
haruslah dikondisikan dengan baik dan dikembangkan secara relevan berdasarkan
azas-azas pengaturan desa.
F.3. Kepala Desa
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Pasal 26 dan Pasal 27 adalah:
1. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa
2. Dalam melaksanakan tugas sebagaiman dimaksud ayat (1), Kepala Desa
berwenang:
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan memberhentikan perangkat desa;
d. menetapkan Peraturan Desa;
e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan masyarakat Desa;
g. membina ketentraman dan ketertiban masyarakat desa
h. membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta
mengintegrasikan agar mencapai perekonomian skala produktif untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber pendapat desa;
j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan Negara
guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. memanfaatkan teknologi tepat guna
l. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif
m. mewakili Desa didalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa
hokum untuk mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
n. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
F.4. Teori Kekuasaan
Kekuasaan adalah konsep di dalam ilmu politik yang paling banyak dibahas
dan dipermasalahkan.Bahkan ada banyak orang awam menganggap bahwa politik
Machiavelli, seorang pemikir filsafat politik dari Florenze, Italia, pernah mengatakan
bahwa, Politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan,
mempertahankan kekuasaan, yang memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai
kegunaan yang maksimal.dan bahkan kekuasaan dipandang sebagai gejala yang
selalu terdapat (atau serba hadir) dalam proses politik.6
Dalam ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat dengan
konsep kekuasaan (power), misalnya seperti influence (pengaruh), kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau mengubah sikap dan perilakunya
secara sukarela; force, penggunaan tekanan non fisik guna bertindak sesuai dengan
kehendak yang memerintah, seperti menimbulkan rasa takut ataupun membatasi
pemenuhan kebutuhanj biologis, (makan dan minum) terhadap pihak lain; persuasion
(persuasi), yakni kekuasaan yang bersinggungan dengan kemampuan
pemberi-perintah dalam meyakinkan orang lain dengan argumentasi logis-rasional untuk
melakukan sesuatu; manipulation (manipulasi), penggunaan pengaruh, dimana orang
yang dipengaruh tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenanrnya sedang
mematuhi keinginan pemegang kekuasaan, coercion atau coercive, peragaan
kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
(biasanya menyertakan tindakan fisik/kekerasan) terhadap pihak lain agar bersikap
dan berprilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan
perilaku yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi;
6
authority(kewenangan), atau dalam bahasa Max Weber sebagai otoritas legal-formal,
dimana seseorang memiliki kekuasaan oleh karena legalitas yang melekat pada
dirinya.7
Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan
dua pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan
yang lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau
tunduk pada kekuasaan.Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni
berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi Ada pemahaman yang komprehensif yang termasuk dalam sumber kekuasaan
yaitu, Sarana Paksaan Fisik, Kekayaan dan Harta Benda (Ekonomi), Jabatan,
Keahlian, Informasi, Status Sosial, Popularitaspribadi, dan Massa yang terorganisasi. Kerja paksa, senjata, dan aparat yang menggunakan senjata merupakan
sejumlah contoh sarana paksaan fisik.Uang, tanah, emas merupakan contoh sumber
kekayaan harta benda.Penggunaan kekuasaan adalah dengan maksud dan tujuan,
berupa tujuan objektif dan subjektif yang dapat melekat pada hasil penggunaan
sumber-sumber kekuasaan maupun kewenangan.Namun setidaknya terdapat tiga hasil
yang dapat dilihat dari hasil penggunaan sumber-sumber kekuasaan, mulai dari
jumlah individu yang dikendalikan, bidang-bidang kehidupan yang dikendalikan,
sampai dengan dimana pengaruh kekuasaan.
7
dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah
pembatasan.
Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan
berasal.Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan.Teori
ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad
XV.Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius.
Sementara menurut teori hukum alam.Kekuasaan itu berasal dari
rakyat.Pendapat seperti itu dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang
dipelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal
dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak lagi dianggap dari
Tuhan, melainkan dari alam kodrat.Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini
diserahkan kepada seseorang, yang disebut raja, untuk menyelenggarakan
kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Raja tersebut,
dalam teori hukum alam terdapat perbedaan pendapat.Menurut J. J. Rousseau yang
mengatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian,
kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja.Mekanisme penyerahan tersebut dimulai
dari penyerahan masing-masing orang kepada masyarakat sebagai suatu kesatuan,
kemudian melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada
Hobbes, yang juga dari aliran teori hukum alam, penyerahan kekuasaan tersebut dari
masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja dengan melalui perjanjian
masyarakat.Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui masyarakat dahulu
baru diserahkan kepada raja.
Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kekuasaan dengan;
suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan
seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Definisi
Laswell dan Kaplan sejalan dengan definisi yang ditawarkan oleh Charles Andrain
dimana ia mengatakan bahwa, kekuasaan sebagai penggunaan sumber daya (asset,
kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang
lain. Sementara itu Ramlan Surbakti misalnya yang mengatakan bahwa kekuasaan
sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk
mempengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan
kehendak pihak yang mempengaruhi. Ketiga definisi ini memaparkan bahwa
kekuasaan lebih luas dari kemampuan untuk menggerakkan keinginan diri sendiri,
tetapi jauh daripada itu, yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan
memanfaatkan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh pemberi kekuasaan.8
8
ibid
Legitimasi dibutuhkan untuk diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi
juga untuk unsur-unsur lain di dalam suatu sistem politik. Menurut Charles F.
Andrain, misalnya, mengatakan bahwa terdapat empat objek dalam sistem politik
yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan
fungsional. Keempat objek legitimasi ini meliputi, struktur-struktur politik; termasuk
masyarakat politik dan lembaga-lembaga politik; keyakinan-keyakinan, baik
nilai-nilai kebebasan dan persamaan) maupun norma-norma (hukum, undang-undang);
kekuasaan oleh orang-orang tertentu; dan kebijakan-kebijakan.Sementara itu David
Easton menyebutkan tiga objek pada sistem politik yang memerlukan legitimasi agar
suatu sistem tidak hanya berlangsung secara terus meneruis tetapi juga untuk
mentransformasikan tuntutan-tuntutan yang berserak menjadi kebijakan-kebijakan
publik demi terciptanya kebaikan dan kesejahteraan bersama.Ketiga objek legitimasi
itu adalah komunitas politik, rezim, dan pemerintahan.9
Secara sederhana legitimasi diartikan sebagai pembenaran moral atas
wewenang (hak untuk berkuasa) dan dengan demikian menunjukkan bahwa penguasa
memiliki hak moral untuk berkuasa. Berdasarkan dukungan dan pengakuan
masyarakat terhadap seseorang atau sekelompok orang untuk berkuasa (memerintah),
maka legitimasi dapat dikelompokkan menjadi lima tipologi: pertama, klaim
legitimasi tradisional. Individu dan warga masyarakat menerima aturan atau
keyakinan lama sebagai suatu hal yang benar secara moral dan wajar., karena atelah
9
terlembaga sejak lama. Para pemimpin tradisional sering menggunakan pendekatan
primordial guna melanggengkan legitimasinya, misalnya pembenaran suatu kebijakan
public dengan mengatasnamakan keingingan para leluhur.Kedua, klaim legitimasi
ideologis, masyarakat memberikan dukungan terhadap pemimpin pemerintah karena
pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideology.Ideology yang
dimaksud tidak hanya doktriner, seperti komunisme, tetapi juga pragmatis seperti
liberalism atau gabungan keduanya. Sebagai contoh, penguasa dapat menggunakan
ideology komunisme untuk mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari klas buruh
dengan cara menjadi penafsir yang lebih tahu daripada buruh itu sendiri dan berusaha
untuk melaksanakan perjuangan klas demi kepentingan para buruh. Ini artinya
seorang penguasa, demi terlegitimasi dari kelompok tertentu, harus menjadi
“wakil-ideologis” kelompok tersebut agar berlegitimasi.
Ketiga, legitimasi personal, adalah pengakuan dan pemberian dukungan oleh
masyarakat kepada seseorang atau sekelompok orang (pemimpin) karena pemimpin
tersebut memiliki kualitas pribadi berupa charisma maupun penampilan pribadi dan
prestasi cemerlang dalam bidang-bidang tertentu.Keempat, klaim atas legitimasi
procedural. Legitimasi procedural bertolak belakang dengan legitimasi kharismatik,
karena dalam legitimasi procedural masyarakat memberikan pengakuan dan
dukungan kepada seseorang atau sekelompok orang karena pemimpin tersebut
mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
kapabel, dan total di bidangnya. Kelima,klaim legitimasi instrumental. Akuan dan
dukungan masyarakat kepada seseorang atau sekelompok orang (pemimpin) terjadi
karena sang pemimpin menjanjikan atau menjamin kesejahteraan material
(instrumental) kepada masyarakat. Pengakuan dan dukungan itu akan semakin kuat
manakala sang pemimpin merealisasikan janjinya dalam bentuk konkret.
G. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu
hanya mendeskripsikan atau menggambarkan sajian Kekuasaan Kepala Desa di
dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014,.Hal itu sejalan dengan pendapat Moh.
Nazir dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Sosial yang mendefinisikan
metode deskriptif sebagai berikut: Metode dekstriptif adalah suatu metode dalam
meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk membuat deskriptif, gambaran / lukisan secara sistematis, factual dan
akurat mengenai faktor-faktor, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang
diselidiki.10
Metode ini menggambarkan atau menjelaskan sesuatu hal kemudian
diklasifikasikan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Adapun pengertian lain
dari metode penelitian deskriptif menurut Soehartono bahwa penelitian ini bertujuan
10
untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu
atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan dua gejala atau lebih11
Penelitian ini menggunakan data Sekunder
. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran mengenai Undang-Undang Desa sebagai Upaya mewujudkan Desa yang
maju, kuat, dan demokratis (Studi Kasus: UU Desa No 6 Tahun 2014 Tentang
Kekuasaan Kepala Desa)
G.1. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperoleh penulis dalam penelitian ini berupa data kualitatif,
sebagai berikut:
12
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan member gambaran mengenai
situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisis kualitatif. Data-data
yang telah dikumpul, baik data primer maupun sekunder di eksplorasi secara , yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan, yaitu mengumpulkan data yang relevan dengan masalah penelitian,
melalui: buku-buku, majalah, surat kabar dan literature-literatur yang berkaitan
dengan Undang-Undang Desa dan Kekuasaan Kepala Desa.
G.1.2. Teknik Analisa Data
11
Irawan Soehartono, 2002. Metode Penelitian Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya. Hlm 35
12
mendalam, selanjutnya memperoleh kesimpulan yang menjelaskan masalah yang
akan diteliti.
G.1.3. Sistematika Penulisan
Bab I : Bab ini akan menguraikan latar belakang masalah penelitian,
perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka teori penelitian, dan metodologi penelitian
Bab II : Bab ini akan menguraikan deskripsi kekuasaan Kepala Desa dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Bab III : Pada Bab III dalam penulisan penelitian ini nantinya akan dianalisis
relevansi kekuasaan kepala desa yang diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 terhadap Desa
Bab IV : Pada penulisan penelitian ini adalah Bab penutup yang di dalamnya
akan berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari bab-bab