• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK KIMIAWI TEPUNG BULU LIMBAH PENGOLAHAN KERUPUK KULIT SAPI MENGGUNAKAN NaOH DAN LAMA PERENDAMAN BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK KIMIAWI TEPUNG BULU LIMBAH PENGOLAHAN KERUPUK KULIT SAPI MENGGUNAKAN NaOH DAN LAMA PERENDAMAN BERBEDA"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KIMIAWI TEPUNG BULU

LIMBAH PENGOLAHAN KERUPUK KULIT SAPI

MENGGUNAKAN NaOH DAN LAMA PERENDAMAN

BERBEDA

SKRIPSI

M. SIDIK

I 111 11 289

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016

(2)

i

KARAKTERISTIK KIMIAWI TEPUNG BULU LIMBAH PENGOLAHAN KERUPUK KULIT SAPI MENGGUNAKAN NaOH DAN LAMA

PERENDAMAN BERBEDA SKRIPSI Oleh M. SIDIK I 111 11 289 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016

(3)

ii

KARAKTERISTIK KIMIAWI TEPUNG BULU LIMBAH PENGOLAHAN KERUPUK KULIT SAPI MENGGUNAKAN NaOH DAN LAMA

PERENDAMAN BERBEDA

SKRIPSI

Oleh M. SIDIK I 111 11 289

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2016

(4)
(5)
(6)

v

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan taufik-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang hadir ke muka bumi sebagai rahmatan lil alamin, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan Skripsi ini. Skripsi ini merupakan pengamatan dan hasil studi mengenai Karakteristik Kimiawi Tepung Bulu Limbah Pengolahan Kerupuk Kulit Sapi Menggunakan NaOH dan Lama Perendaman Berbeda. Besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan dunia peternakan kedepannya.

Limpahan rasa hormat, kasih sayang, cinta dan terima kasih yang tulus kepada orang tua saya. Ayahanda H. Abd. Halim. A dan Ibunda Hj. St. Rabi,

serta Mida, Megah, Alle, Sarif dan keluarga besarku yang selama ini banyak memberikan do’a, kasih sayang, semangat, saran dan dorongan kepada penulis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa penulis ucapkan kepada Bapak

Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt.,M.P selaku pembimbing utama dan juga Ibu

Dr. Fatma Maruddin, S.Pt.,M.P selaku pembimbing anggota, yang telah meluangkan waktu dan memberikan arahan dan bantuan dari perencanaan penelitian hingga selesainya skripsi ini.

Melalui kesempatan ini penulis dengan rendah hati mengucapakan terima kasih kepada semua pihak utamanya kepada :

1. Dekan Fakultas Peternakan Bapak Prof.Dr.Ir.H.Sudirman Baco,M.Sc.

beserta jajarannya, Bapak Ibu Dosen Fakultas Peternakan yang telah banyak memberikan arahan selama menjalani masa perkuliahan. Tak

(7)

vi lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Staff Tata Usaha Fakultas Peternakan. Kepala Laboratorium Nutrisi Kimia Makanan Ternak yang telah banyak membantu selama proses penelitian. Semoga Allah SWT membalas dikemudian hari.

2. Bapak Ir. Muhammad Aminawar, MM selaku dosen Pembimbing Akademik, yang senantiasa memberikan arahan selama menjalani studi. 3. Teman-teman LK-Uswah, Gema Pembebasan yang telah memberikan

kenangan dan membentuk keperibadian serta pemikiran selama aktif bersama dalam dakwah.

4. Teman-teman angkatan “SOLANDEVEN 11” atas bantuan, kenangan dan dukungan selama masa perkuliahan. Tak lupa ucapan terima kasih kepada saudara Ancy, Alim, Pak Sofyan dan Ridwan yang telah bersedia membantu selama penelitian hingga penulis menyelesaikan Skripsi ini. 5. Sahabat penelitian saudara Hamri yang selama ini telah menemani mulai

saat PKL sampai menyelesaikan studi bersama. Semoga balasan yang terbaik akan diberikan oleh Allah SWT.

6. Teman KKN Unhas Gel. 87 Kab. Bone Kec. Libureng Desa Mattirobulu terima kasih atas kenangan yang telah diberikan.

7. Teman Pondok Dermaga mengisi keseharian penulis dalam suka dan duka, semoga kita bisa dipertemukan kembali.

Makassar, November 2016

(8)

vii

RINGKASAN

M. SIDIK(I 111 11 289) Karakteristik Kimiawi Tepung Bulu Limbah Pengolahan Kerupuk Kulit Sapi Menggunakan NaOH dan Lama Perendaman Berbeda. Dibawah bimbingan Bapak MUHAMMAD IRFAN SAID sebagai pembimbing utama dan Ibu FATMA MARUDDIN sebagai pembimbing anggota.

Limbah bulu sapi memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, sehingga berpotensi diolah menjadi tepung bulu sapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimiawi tepung bulu sapi serta mengetahui level NaOH dan lama perendaman terbaik. Sampel yang digunakan adalah limbah bulu sapi yang diberi perlakuan NaOH (10%,15% dan 20%) dan lama perendaman berbeda (2 hari, 4 hari dan 6 hari). Data yang diperoleh dianalisis dengan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3x3 sebanyak 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan NaOH berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap kadar abu, tetapi tidak berpengaruh nyata (p>0,01) terhadap kadar protein dan kadar air. Perlakuan lama perendaman berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap kadar protein, tetapi tidak berpengaruh nyata (p>0,01) terhadap kadar air dan kadar abu. Sedangkan interaksi NaOH dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata (p>0,01) terhadap kadar protein, kadar air maupun kadar abu. Sehingga disimpulkan bahwa perlakuan NaOH hingga 15% dapat meningkatkan kadar abu dan lama perendaman hingga 6 hari dapat meningkatkan kadar protein.

(9)

viii

ABSTRACT

M. SIDIK (I 111 11 289) Chemical Characteristics of Hair Meal Waste From Cattle Skin Crackers Processing Using Different NaOH and Soaking Time. Under the guidance of MUHAMMAD IRFAN SAID (Supervisor) and FATMA MARUDDIN (Co Supervisor)

Hair waste contains high protein, that is potential to be processed into hair meal. This study aims to assess the chemical characteristics hair meal and to assess the level of NaOH and best best submersion time. The sample used is hair waste treated with NaOH (10%, 15% and 20%) and different submersion time (2 days, 4 days and 6 days). Data collected are analyzed through completely randomized design 3x3 factorial design as much as three-time repetitions. The results showed that NaOH treatment impacts significant (p <0.01) to the ash content, but not significantly (p> 0.01) on levels of protein and water content. Treatment of submersion time impacts significantly (p <0.01) on the protein content, but not significantly (p> 0.01) on water and ash content. Meanwhile, the interaction of NaOH and submersion time did not significantly impact (p> 0.01) on the protein, water, or ash content. Thus, it is concluded that the treatment of NaOH up to 15% could increase the levels of ash content and that submersion up to 6 days could increase the protein content.

Keyword: Hair waste cattle, NaOH, soaking time, protein content, ash content and water content.

(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Limbah Bulu dari Ternak ... 3

Bulu dan Komponen Nutrisi ... 5

Pengolahan Tepung Bulu ... 9

Karakteristik Tepung Bulu ... 11

Potensi Tepung Bulu Menjadi Pakan Ternak ... 12

METODE PENELITIAN ... 14

Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

Bahan dan Peralatan Penelitian ... 14

Metode Penelitian ... 14

Penyiapan Bulu ... 14

Penyiapan Larutan Perendaman ... 15

Pembuatan Tepung Bulu ... 15

Pengamatan Struktur Fisik dan Makrostruktur ... 17

Parameter yang Diukur ... 17

Rancangan Penelitian ... 20

Analisis Data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Kadar Protein ... 23

Kadar Air ... 24

(11)

x

Struktur Fisik dan Makro Struktur Limbah Bulu Sapi ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

LAMPIRAN ... 33

(12)

xi

DAFTAR TABEL

No. Halaman

Teks

1. Kandungan Zat Makanan Tepung Bulu Ayam (%) BK ... 12 2. Kadar Protein Tepung Bulu Ayam Sebelum dan Sesudah Uji in vitro 13 3. Pembuatan Larutan Perendam ... 15 4. Gambar Kombinasi Perlakuan ... 20 5. Komposisi Kimia Tepung Bulu Sapi Pada Perlakuan Konsentrasi NaOH dan

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

Teks

1. Bulu Pada Histologi Kulit ... 5

2. Struktur Kimia Keratin ... 8

3. Limbah Bulu Sisa Pengolahan Kerupuk Kulit Sapi ... 15

4. Diagram Alir Penelitian ... 16

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

Teks

1. Hasil Uji Statistik Kadar Protein Kasar ... 34

2. Hasil Uji Statistik Kadar Air ... 36

3. Hasil Uji Statistik Kadar Abu ... 37

(15)

1

PENDAHULUAN

Tepung bulu adalah produk yang dihasilkan dari bulu yang telah dihaluskan dengan cara digiling menggunakan mesin hingga berbentuk butiran atau halus seperti tepung pada umumnya. Bahan pembuatan tepung bulu secara umum diperoleh dari limbah bulu ayam dan sapi yang dapat diperoleh pada industri peternakan.

Limbah industri peternakan sangat mengganggu bagi lingkungan masyarakat. Selain karena bau busuk yang dihasilkan limbah juga mencemari tanah maupun air disekitarnya. Salah satu limbah yang berpotensi untuk dimanfaatkan adalah limbah bulu sapi sisa pengolahan kerupuk kulit. Hal yang sangat penting dilakukan adalah dengan memanfaatkan limbah tersebut menjadi bahan yang ramah lingkungan dan bernilai ekonomis.

Limbah bulu sapi yang dihasilkan dari industri peternakan sisa pengolahan kerupuk kulit yakni kurang lebih sebesar 1 kg/lembar kulit dalam keadaan basah. Rata-rata kulit sapi yang dipakai untuk pembuatan kerupuk kulit adalah 10 lembar, sehingga diperoleh sekitar 10 kg limbah bulu sapi hasil pengerokan setiap harinya di tempat pengolahan kerupuk kulit, Rumah Potong Hewan Kota Makassar, Antang. Bulu sisa pengerokan tersebut hanya dibuang saja.

Limbah bulu sapi tersebut memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, sehingga berpotensi diolah menjadi tepung bulu. Tepung bulu nantinya dimanfaatkan sebagai campuran bahan pakan bagi industri peternakan ayam.

Salah satu permasalahan saat ini adalah tingkat kecernaan limbah bulu sapi yang masih sangat rendah. Rendahnya tingkat kecernaan pada bulu sapi ini disebabkan oleh adanya keratin yang terkandung dalam bulu. Keratin memiliki

(16)

2 suatu ikatan kimia yang kompleks yang sulit untuk dipecah oleh sistem pencernaan ternak yaitu dengan adanya ikatan disulfida. Bulu dapat dimanfaatkan apabila ikatan ini bisa dipecah, sehingga ternak bisa mencernanya apabila dicampurkan ke dalam pakan. Cara yang dapat dilakukan untuk memecah ikatan ini yaitu dengan mengubah limbah bulu menjadi tepung bulu melalui perlakuan kimiawi dengan penambahan bahan kimia NaOH yang bersifat basa.

Tepung bulu yang baik memiliki kandungan protein tinggi, namun sebagian besar kandungan protein tersebut sulit untuk dicerna oleh ternak. Perlakuan kimiawi salah satunya dengan penggunaan NaOH dapat memecah ikatan disulfida yang ada pada bulu. Penambahan NaOH ini selanjutnya perlu diketahui persentase dan lama perendaman yang berpengaruh pada karakteristik kimia tepung bulu sapi.

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Bulu dari Ternak

Pencemaran merupakan suatu kondisi yang tidak nyaman yang ditimbulkan dari suatu limbah. Limbah bulu ayam menimbulkan bau yang tidak sedap dan merupakan sumber penyebaran penyakit (Ketaren, 2008). Hal ini merupakan permasalahan lingkungan yang perlu segera ditangani, seiring dengan peningkatan populasi ayam. Berat bulu ayam menurut Card (1972) berkisar antara 4-9 % dari bobot hidup.menurut Siregar (2003) berat bulu ayam 4% dari berat tubuh total. Populasi ayam di Indonesia tahun 1999 sebesar 726,1 juta ekor (Ketaren, 2008). Jumlah populasi 726,1 juta ekor berdasarkan data statistik tersebut, dengan bobot badan rata-rata 1,2 kg, maka akan diperoleh limbah bulu ayam sebesar 34.853 ton. Limbah ini terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi ayam dan kebutuhan masyarakat akan protein hewan. Jika limbah yang terus bertambah ini tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan dampak pencemaran yang sangat besar terhadap lingkungan khususnya lingkungan rumah potong ayam.

Bulu yang dihasilkan berbagai macam unggas, seperti bulu ayam, itik, entok, angsa, kalkun, dan burung merupakan produk sampingan ternak unggas. Produk ini akan mempunyai nilai yang lebih berharga apabila dimanfaatkan secara tepat guna. Potensi yang dimiliki cukup besar jika tanggap terhadap produk ini. Seekor itik dengan bobot 1,2 kg diperoleh bulu kurang lebih 100 g (8,4%). Persentase ini diduga tidak jauh berbeda dari jenis unggas yang lain. Berdasarkan data sederhana tersebut, dapat dikatakan bahwa potensi untuk mendapatkan bulu sangat besar dari suatu unit Rumah Potong Unggas (RPU) dan bisa dihitung jika

(18)

4 RPU tersebut memotong 1000 ekor ayam per harinya, maka dapat diperoleh kira-kira 84 kg bulu per hari (Said, 2014).

Industri pemotongan ayam merupakan sumber limbah bulu ayam yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan gangguan penyakit bagi masyarakat sekitar jika tidak dikelola dengan baik. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2006, produksi bulu ayam dari jenis ayam broiler berjumlah 25.690 ton (1999),42.050 ton (2000), 49.250 ton (2001), 68.510 ton (2002),72.680 ton (2003) dan 72.775 ton (2005) (Puastuti, 2007). Bulu unggas memiliki kandungan protein (keratin) sebesar 80-90%, melebihi kandungan protein pada kedelai (42,5%) (Adiati, et al., 2004).

Limbah yang dimanfaatan akan sangat membantu dalam mengurangi jumlah limbah yang ada di lingkungan. Pemanfaatan limbah berarti memberikan nilai tambah pada limbah yang semula tidak mempunyai nilai ekonomis, pelaksanaan pemanfaatan limbah dapat berlangsung secara on-site (di dalam pabrik yang bersangkutan) atau secara off-site (di luar pabrik yang bersangkutan) (Hidayah, 2007).

Pengelolaan limbah peternakan faktor keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh teknik penanganan yang dilakukan, yang meliputi teknik pengumpulan (collections), pengangkutan (transport), pemisahan (separation) dan penyimpanan (storage) atau pembuangan (disposal) (Merkel, 1981). Penanganan dan pemanfaatan limbah ternak merupakan inovasi dalam pengelolaan limbah ternak. Suatu inovasi tidak akan berguna tanpa adanya adopsi. Adopsi menyangkut proses pengambilan keputusan. Keputusan peternak untuk melakukan atau tidak

(19)

5 melakukan pengelolaan limbah ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan (Setiawan, 2013).

Peraturan ini bermanfaat tidak hanya karkas (badan ternak) tetapi juga komponen-komponen seperti darah, rambut, bulu, kulit, tanduk, kuku, tulang, dan wool harus dibuang ke lembaga khusus penanganan bangkai. Bahan-bahan tersebut pada kenyataannya tidak semua benar-benar bisa disisihkan secara sempurna, sebagian tetap akan terbuang melalui saluran limbah bersama dengan limbah seluruh proses pemotongan hewan (Padmono, 2005).

Bulu dan Komponen Nutrisi

Bulu pada dasarnya merupakan suatu struktur epidermis yang membentuk penutup luar dari tubuh dengan rasio kira-kira 6% dari bobot hidup ternak. Pada hewan vertebrata, bulu merupakan struktur yang tergolong paling rumit. Bagian seperti halnya dengan tanduk, kuku dan sisik, bulu adalah suatu tambahan integumenter. Bulu merupakan bagian dari kulit yang terbentuk dari proses pembiakan secara terkendali dari aktivitas sel-sel biologis dari jaringan epidermis atau lapisan terluar dari tubuh (Said, 2014).

(20)

6 Struktur penyusun protein pada bulu dan rambut secara umum adalah sama, terdiri atas sebagian besar protein keratin (97-100%), seperti halnya pada struktur penyusun tanduk dan kuku. Protein keratin merupakan salah satu jenis protein struktural yang secara kimiawi bersifat tidak reaktif dan secara mekanik memiliki sifat yang kuat (Said, 2014).

Hasil studi secara mikroskopik menunjukkan bahwa rambut yang tersusun a-keratin terdiri atas struktur hierarki. Bulu dan rambut juga memiliki perbedaan, yakni :

1. Khusus pada golongan aves, bulu hampir menutupi seluruh permukaan tubuh, sedangkan rambut hanya tumbuh pada bagian tertentu saja.

2. Bulu memiliki pigmen tertentu yang memungkinkan bulu dapat memperlihatkan beberapa variasi warna tertentu, sedangkan rambut cenderung memiliki variasi warna hitam dan gading.

3. Permukaan bulu relatif lebih lebar dari rambut yang memungkinkan aves dapat terbang

Hewan golongan aves, bulu banyak berfungsi sebagai pelindung dari pengaruh air dan suhu dingin, kadang-kadang dimanfaatkan sebagai organ penyamaran dan alat komunikasi visual. Anatomi pada burung walaupun tergolong organ yang ringan, bulu memiliki bobot hampir 2-3 kali bobot tulangnya. Para ahli memperkirakan bahwa bulu sebenarnya merupakan organ hasil evolusi dari sebuah sisik reptilia. Perkiraan tersebut diambil berdasarkan atas adanya kesamaan dalam fungsi (homolog) (Said, 2014).

Keratin adalah protein yang hampir terdapat dalam semua hewan dalam golongan vertebrata tingkat tinggi. Keratin diklasifikasikan sebagai a-keratin dan

(21)

7 b-keratin. a-keratin adalah golongan keratin yang menyusun rambut termasuk wol, tanduk, kuku, cakar yang didominasi oleh hewan mamalia dan b-keratin yang mendominasi kuku dan cakar pada reptil serta paruh burung, cangkang pada kura-kura dan punya, serta duri pada landak (Said, 2014).

Menurut Harrap dan Woods (1964), kandungan keratin dalam tepung bulu ayam berkisar antara 85-90% dari kandungan proteinnya. Protein keratin ini 11-12% terdiri sistin disulfida sebagai jembatan antar molekul (Haurowitz, 1984). Menurut Ketaren (2008) ikatan sistin disulfida atau ikatan silang terbentuk antara asam amino sistin yang mengandung gugus –SH. Jika dua unit sistin berikatan, maka terbentuklah sebuah jembatan disulfida S-S- melalui oksigen gugus-gugus – SH. Protein serat terbentuk dari molekul yang rapat dan teratur berupa ikatan silang antara rantai-rantai asam amino yang berdekatan sehingga molekul air sukar menerobos struktur ini, oleh karena itu protein serat tidak larut di dalam air (hidrofobik). Sifat fisik dan karakteristik keratin adalah tidak larut dan tidak dapat diubah kembali, tidak larut dalam air, eter atau alkohol tetapi perlahan-lahan larut dalam air yang dipanaskan pada suhu 150-2000C (Underhill, 1952).

Keratin tidak larut dalam pemanasan alkali dan tidak larut dalam saluran pencernaan atau pankreas (Underhill, 1952). Syarat untuk memanfaatkan bulu sebagai bahan pakan adalah dengan memutus ikatan-ikatan kimia terutama disulfida agar bulu dapat dicerna.

Keratin merupakan protein serat yang membentuk rambut, bulu (burung), kuku serta kaya akan sistein dan sistin. Sistin terdiri dari dua molekul sistein yang disajikan pada Gambar 2.

(22)

8

COOH COOH COOH

NH2 CH NH2 CH NH2 CH

CH2 CH2 CH2

S S SH

Gambar 2. Struktur kimia keratin (Tarmizi, 2001).

Keratin membuat bulu murni tidak dapat dicerna, untuk itu ikatan sulfur dari sistin pada bulu ayam harus dipecah agar memudahkan bulu dapat dicerna (Fauzy, 2007). Keratin dapat dipecah menjadi butiran-butiran melalui reaksi kimia dan enzim kemudian butiran ini dapat dicerna oleh enzim tripsin dan pepsin (Harrow dan Mazur, 1954). Logam berat dapat merusak ikatan disulfida karena afinitasnya yang tinggi dan kemampuannya untuk menarik sulfur sehingga mengakibatkan denaturasi protein. Pembentukan ikatan silang sistin disulfida atau ikatan peptida kompleks terjadi karena proses hidrolisis yang tidak sempurna, hal ini dapat diatasi dengan melakukan proses hidrolisis ulang melalui fermentasi (Gaman dan Sherrington, 1992).

Protein keratin menurut Said (2014) dalam saluran pencernaan ternak, sangat sulit untuk didegradasi menjadi protein tercerna sehingga sangat sulit untuk dimanfaatkan oleh ternak, untuk memaksimalkan pemanfaatannya, maka bulu tersebut harus mendapat perlakuan sebelumnya yakni melalui serangkaian proses pemecahan ikatan sulfur dari asam amino sistin yang menyusun hampir sebagian besar protein keratin. Keratin dapat didegradasi oleh mikroba dari jamur saprofit dan parasit (Dozie, et al., 1995) dan jamur dermatofit. Keratin juga dapat didegradasi oleh mikroorganisme termofilik yaitu mikroba yang dapat tumbuh

(23)

9 pada suhu 50-650C (Zerdani, et al., 2004). Ikatan keratin juga dapat diputuskan dengan bantuan enzim-enzim proteolitik.

Pengolahan Tepung Bulu

Bulu pada umumnya memiliki kandungan yang sama yaitu dengan adanya kadar protein yang tinggi berupa keratin, apabila dilihat dari sumbernya baik dari bulu unggas hingga ruminansia, kandungan utamanya tetap sama yaitu keratin. Keratin tersebut memiliki tingkat kecernaan yang rendah karena adanya ikatan kimia berupa disulfida yang terdapat pada bulu. Hal ini didukung oleh Tarmizi, (2001) yang mengatakan bahwa penggunaan bulu secara alami tanpa pengolahan sebagai bahan pakan mempunyai nilai nutrisi sangat rendah, karena adanya keratin yang membuat bulu murni tidak dapat dicerna, sehingga perlu dilakukan perlakuan untuk memecah ikatan ini, salah satunya dengan mengubah bulu menjadi tepung bulu.

Tepung bulu adalah produk yang dihasilkan dari bulu yang telah dihaluskan dengan cara digiling menggunakan mesin hingga berbentuk butiran atau halus seperti tepung pada umumnya. Bahan pembuatan tepung bulu secara umum diperoleh dari limbah bulu ayam dan sapi yang dapat diperoleh pada industri peternakan. Pembuatan tepung bulu ini erat kaitannya dengan perlakuan yang diberikan pada bulu sebelum diubah menjadi tepung bulu karena pada proses inilah dapat dilihat apakah keratin sebagai komponen utama bulu dapat dipecah dengan perlakuan yang diberikan. Kualitas tepung bulu menurut Papadopoulos et al. (1985) tergantung dari proses pengolahan dan lama pengolahan, sehingga harus teliti melihat teknologi apa yang dinilai bagus kemudian dipilih sebagai perlakuan untuk bulu tersebut.

(24)

10 Teknologi yang selama ini banyak digunakan untuk mendekomposisi terutama ikatan disulfida dalam tepung bulu ayam (TBA) ada beberapa macam, yaitu : perlakuan fisik dengan pengaturan temperatur dan tekanan, perlakuan kimia dengan penambahan asam dan basa (NaOH, HCl), perlakuan enzimatis dan biologis dengan mikroorganisme (fermentasi), serta kombinasi ketiga metode tersebut. Berbagai macam metode pengolahan telah dilakukan untuk meningkatkan kecernaan tepung bulu. Pengolahan tepung bulu ayam diketahui ada empat cara, yaitu pemanasan dan tekanan, perlakuan kimia, perlakuan enzimatik (Papadopaulos et al, 1985), serta fermentasi dengan mikroorganisme (Williams et al, 1991).

Kebutuhan akan tepung bulu sangat penting dari segi pemenuhan pemberian pakan pada ternak, sesuai yang dikemukakan Sonjaya (2001) penekanan biaya pakan serendah mungkin tanpa mengurangi produksi yang optimum perlu dilakukan yaitu dengan pencarian sumber-sumber pakan yang penggunaanya tidak bersaing dengan manusia, dapat memberikan nilai gizi ransum yang cukup, tersedia dalam jumlah banyak dan kontinyu serta harganya relatif murah. Tepung bulu memiliki nilai seperti yang diuraikan tersebut apabila diolah dengan baik, salah satu cara yang dapat diaplikasikan pada bulu yaitu pengolahan secara kimiawi dengan penambahan NaOH.

Penggunaan bahan kimia untuk mengolah bulu dilakukan dengan cara mencampur bulu ayam yang telah kering dengan larutan 0,4% NaOH, kemudian dikukus dengan autoclave, selanjutnya bulu ayam dimasukkan ke dalam oven dengan tujuan untuk dikeringkan dan akhirnya digiling menjadi tepung bulu ayam (Steiner et al, 1983). Penelitian ini kemudian dikembangkan oleh peneliti lain

(25)

11 dengan masih menggunakan bahan kimia bersifat basa yaitu NaOH tapi dengan level berbeda.

Pengolahan secara kimia menggunakan basa, dapat dilakukan dengan menambahkan NaOH 6% disertai pemanasan dan tekanan menggunakan autoclave. Bulu ayam yang sudah siap kemudian dikeringkan dan digiling. Pemrosesan kimiawi dan basa menggunakan NaOH 6% dengan pemanasan dan tekanan meningkatkan kecernaan bahan kering 64,4% (Puastuti, 2007). Pengolahan bulu ayam menggunakan suhu tinggi hingga menghasilkan hidrolisis bulu ayam dapat menyebabkan denaturasi protein, sehingga kualitas protein bulu ayam menurun (Adiati et al, 2004). Perlakuan kimia ini dapat berhasil berkat adanya bahan kimia yang bersifat basa yaitu NaOH sehingga perlu diketahui bagaimana karakteristik dari NaOH itu sendiri.

NaOH sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan. NaOH juga larut dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan NaOH dalam kedua cairan ini lebih kecil dari pada kelarutan KOH. NaOH tidak larut dalam dietil eter dan pelarut non-polar lainnya. NaOH berbentuk lembab dan bereaksi spontan dengan CO2 yang ada di udara, sehingga sering kali larutan NaOH akan

meninggalkan noda kuning pada kain dan kertas. NaOH juga dikenal sebagai soda kaustik atau Sodium Hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. NaOH murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh 50% (Alamsyah, 2013).

Karakteristik Tepung Bulu

Tepung bulu merupakan salah satu bahan pakan dengan kandungan protein relatif tinggi (Desi, 2002). Hal ini didukung pendapat Howie et al. (1996),

(26)

12 bulu ayam sangat potensial dijadikan sebagai sumber protein pada ransum ternak karena kandungan protein kasarnya sangat tinggi, yaitu antara 85%-95%. Kandungan zat-zat makanan yang terdapat dalam tepung bulu ayam menurut Desi (2002), dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan zat makanan tepung bulu ayam (% BK)

Zat Makanan Jumlah (%)

Bahan kering 93,00 Protein kasar 81,00 Lemak kasar 7,00 Serat kasar 1,00 Kalsium 0,33 Posphor 0,55

Energi metabolisme (kcal/kg) 2360 Sumber : Desi, 2002

Potensi Tepung Bulu Menjadi Pakan Ternak

Bulu memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai pakan, dapat dilihat dari kandungan yang terdapat pada bulu tersebut. Kecernaan dari bulu juga meningkat setelah diberi berbagai macam perlakuan yang terbukti dapat meningkatkan kecernaan dari bulu tersebut. Bulu yang telah diolah menjadi tepung bulu terlihat jelas potensi pemanfaatan kandungan protein yang sebelumnya tidak tercerna akhirnya dapat dicerna oleh ternak. Penggunaan hidrolisat bulu ayam (HBA) menurut pendapat dari Sari (2015) yang menyatakan bahwa tepung bulu hasil pemrosesan dengan berbagai cara memberikan respon yang positif terhadap kecernaan bahan kering dan protein.

(27)

13 Hidrolisat bulu ayam yang terbentuk dari semua proses memiliki kelebihan asam amino dalam jumlah asam amino leusin, isoleusin dan valin yang bermanfaat dalam membantu sintesis protein mikroba rumen (Sari, 2015). Taraf penggunaan HBA untuk pakan ternak memiliki batasan antara 2%-3%. Taraf ini merupakan taraf yang paling maksimal dalam membantu meningkatkan kecernaan bahan kering maupun protein (Puastuti, 2007). Kecernaan tepung bulu dapat dilihat perbandingannya dalam hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kadar protein tepung bulu ayam sebelum dan sesudah Uji in vitro

Substrat Kadar protein

sebelum uji in vitro (%) Kadar protein sesudah uji in vitro (%) Kadar protein tercerna (%)

Tepung bulu ayam tanpa fermentasi

94,17 80,06 14,11

Tepung bulu ayam setelah fermentasi

97,12 30,18 66,94

(28)

14

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei-Agustus 2016 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Sisa Hasil Ternak dan Laboratorium Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.

Bahan dan Peralatan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu NaOH 0,5 M, kertas label, akuades, air, bulu sapi, H2SO4, H3BO3, selenium dan indikator campuran.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pengkerok, kantong plastik, timbangan, terpal, labu kjedhal, tabung reaksi, pipet tetes, gelas erlenmeyer, penutup, cawan petri, oven, lemari asam, labu ukur, labu destilasi, desikator, neraca analitik, cawan porselin dan tanur.

Metode Penelitian Penyiapan Bulu

Sampel yang digunakan pada penelitian adalah bulu sapi. Bulu limbah pengolahan kerupuk kulit sapi dikumpulkan kemudian dibersihkan dari kotoran (plastik, pasir, kemasan snack, dan daun kering) kemudian dicuci bersih. Bulu selanjutnya diletakkan di atas terpal kemudian diratakan dengan ketebalan 1 cm. Bulu kemudian dikeringkan di bawah terik sinar matahari dengan hasil optimal dilakukan mulai pukul 10.00 – 14.00 selama dua hari.

(29)

15 Gambar 3. Limbah bulu sisa pengolahan kerupuk kulit sapi

Penyiapan Larutan Perendaman

Larutan yang digunakan pada penelitian ini yaitu larutan yang bersifat basa yaitu NaOH 0,5 M. NaOH memiliki berat molekul = 40 untuk konsentrasi 1 M, untuk mendapatkan larutan 0,5 M dibutuhkan 20 g/l dengan cara 20 g NaOH yang berbentuk padat dilarutan dalam 1 l akuades. Larutan NaOH ini selanjutnya dijadikan sebagai larutan induk untuk membuat larutan NaOH dengan level 10%, 15% dan 20% dari 200 ml larutan perendam. Cara pembuatan larutan perendam dengan level berbeda dari larutan induk NaOH 0,5 M disajikan Tabel 3.

Tabel 3. Pembuatan Larutan Perendam

NaOH Pembuatan Larutan Perendam

10% 20 ml NaOH + 180 ml akuades

15% 30 ml NaOH + 170 ml akuades

20% 40 ml NaOH + 160 ml akuades

(30)

16 Bulu yang telah kering ditimbang seberat 5 g kemudian ditambahkan larutan NaOH 0,5 M dengan persentase masing-masing 10%, 15%, dan 20% sebanyak 200 ml. Bulu kemudian direndam berturut-turut selama 2, 4, dan 6 hari. Bulu selanjutnya ditiriskan kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 1000C selama 8 jam untuk menghilangkan larutan perendaman yang masih ada pada bulu. Bulu selanjutnya digiling sampai halus.

Bulu Sapi

Pembersihan

Pengeringan

Penimbangan

Perendaman

Faktor A : Konsentrasi NaOH 10%, 15%, 20% Faktor B : Waktu perendaman 2 hari, 4 hari, 6 hari

Pencucian

Pengeringan

Tepung bulu di Hidrolisis

Dianalisis Penggilingan

(31)

17

Gambar 4. Diagram alir penelitian Pengamatan struktur fisik dan makrostruktur tepung bulu

Bulu yang telah dianalisis, selanjutnya diamati struktur baik secara fisik dan secara makrostruktur. Pengamatan struktur fisik dilakukan dengan cara melihat langsung dengan mata telanjang tanpa bantuan alat, pengamatan juga dilakukan dengan menggunakan tangan untuk merasakan struktur bulu. Sementara pengamatan makrostruktur dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah mikroskrop dan melihat bagaimana bentuk dari tepung bulu kemudian disajikan dalam bentuk gambar.

Parameter yang Diukur

Parameter yang diukur pada penelitian ini yaitu, kadar protein kasar, kadar air dan kadar abu (AOAC, 1995).

A. Kadar protein kasar

Metode penentuan kadar protein kasar digunakan analisis proksimat dengan cara sebagai berikut:

1) Sampel ditimbang kurang lebih 0,5 g dan dimasukkan kedalam labu kjedhal 100 ml

2) Sampel ditambahkan kurang lebih 1 g campuran selenium dan 25 ml H2SO4

pekat (teknis)

3) Selanjutnya labu kjedhal bersama isinya digoyangkan sampai semua sampel terbasahi dengan H2SO4, kemudian didestruksi dalam lemari asam sampai

(32)

18 4) Setelah dingin, dituang kedalam labu ukur 100 ml dan dibilas dengan air

suling.

5) Sampel kemudian dipipet 2 ml kedalam labu destilasi dan ditambahkan 15 ml larutan NaOH 30% dan air suling 100 ml.

6) Selanjutnya disiapkan labu penampung yang terdiri dari 10 ml H3BO3 2% dan

ditambahkan dengan 2-3 tetes larutan indikator campuran ke dalam erlenmeyer 100 ml.

7) Kemudian disuling hingga volume penampung menjadi lebih kurang 50 ml 8) Setelah itu ujung penyuling dibilas dengan air suling kemudian penampung

bersama isinya dititrasi dengan larutan H2SO4 0,0171 N. Kadar protein kasar

dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

(

)

Keterangan :

V = Volume titrasi contoh N = Normalitas larutan H2SO4

P = Faktor pengencer 100/2 B. Kadar Air

Analisa kadar air menggunkan metode analisis proksimat dengan cara sebagai berikut :

1) Cawan porselin terlebih dahulu dikeringkan selama kira-kira 1 jam dalam oven pada suhu 100°C kemudian didingankan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (contoh x) dengan menggunakan neraca analitik .

2) Sampel ditimbang dengan teliti sekitar 1 g (contoh y) dan dimasukkan kedalam cawan porselin

(33)

19 3) Cawan porselin yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan

suhu 100°C untuk dikeringkan kemudian dibermalamkan

4) Cawan porselin berisi sampel yang sudah di oven , didingan dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang beratnya (contoh z) menggunakan naraca analitik. Kadar air kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kadar Air = 100% - BK

Keterangan :

x = Berat cawan porselin y = Berat sampel

z = Berat setelah oven C. Kadar Abu

Analisis kadar abu menggunakan menggunakan motode analisis proksimat dengan cara sebagai berikut :

1) Cawan porselin dikeringkan selama kira-kira 1 jam dalam oven suhu 100°C, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (contoh a).

2) Cawan berisi sampel ditimbang dengan teliti sekitar 1 g (contoh b) dan dimasukkan ke dalam cawan porselin.

3) Cawan yang telah diisi sampel dimasukkan dalam tanur suhu 600°C kemudian dibiarkan bermalam sampai sempurna menjadi abu.

4) Cawan yang berisi sampel yang telah ditanurkan, dibiarkan agak dingin kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang (contoh c). Kadar abu kemudian dihitung dengan rumus :

(34)

20

( )

Keterangan :

a = Berat cawan porselin b = Berat sampel

c = Berat setelah tanur Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan faktorial 3x3 sebanyak tiga kali ulangan, faktor-faktor sebagai berikut :

Faktor A A1 : NaOH 10% A2 : NaOH 15% A3 : NaOH 20% Faktor B B1 : Perendaman 2 hari B2 : Perendaman 4 hari B3 : Perendaman 6 hari Tabel 4. Gambar kombinasi perlakuan Lama Perendaman (Hari) Jenis Bahan

Perendam (%)

2 (B1) 4 (B2) 6 (B3)

NaOH 10 (A1) A1B1 A1B2 A1B3

(35)

21

NaOH 20 (A3) A3B1 A2B2 A3B3

Keterangan :

A1B1 = Bahan perendam NaOH 10%, lama rendaman 2 hari A1B2 = Bahan perendam NaOH 10%, lama rendaman 4 hari A1B3 = Bahan perendam NaOH 10%, lama rendaman 6 hari A2B1 = Bahan perendam NaOH 15%, lama rendaman 2 hari A2B2 = Bahan perendam NaOH 15%, lama rendaman 4 hari A2B3 = Bahan perendam NaOH 15%, lama rendaman 6 hari A3B1 = Bahan perendam NaOH 20%, lama rendaman 2 hari A3B2 = Bahan perendam NaOH 20%, lama rendaman 4 hari A3B3 = Bahan perendam NaOH 20%, lama rendaman 6 hari

Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial (Widiharih, 2007), dengan model sebagai berikut:

Keterangan

Yijk : Hasil pengamatan karakteristik kimia bulu sapi dengan menggunakan bahan fermentasi ke-j, dengan lama rendaman ke-i dan ulangan ke-k μ : Nilai tengah umum

αi : Pengaruh perlakuan NaOH ke-i terhadap komposisi kimia tepung bulu βj : Pengaruh lama perendaman ke-j terhadap komposisi kimia tepung bulu i : Penggunaan bahan fermentasi

j : Lama perendaman yang berbeda

(αβ) : Pengaruh interaksi antara penggunaan bahan NaOH pada bulu sapi dengan lama perendaman yang berbeda

ε ij : Pengaruh galat perlakuan NaOH terhadap lama perendaman yang

berbeda

Hasil analisis yang diperoleh berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1991).

(36)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis menunjukkan komposisi kimia berupa kadar protein, kadar air dan kadar abu dari tepung bulu limbah kerupuk kulit sapi yang diberi perlakuan NaOH dengan lama perendaman berbeda. Komposisi kimia tepung bulu sapi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi kimia tepung bulu sapi pada perlakuan konsentrasi NaOH dan lama perendaman berbeda.

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5% (p<0,05).

*) Data berdasarkan berat kering sampel.

Tabel 4 menyajikan data yang menunjukkan parameter dari beberapa perlakuan yang telah diberikan serta menyajikan nilai kontrol sampel tepung bulu

N o Para meter NaOH (%)

Lama Perendaman (Hari)

Rata-rata Kon trol 2 4 6 1. Kadar Protein (%) *) 10 85,20±2,33 87,92±0,23 90,46±0,68 87,86±2,58 88,91 15 86,00±2,48 87,40±1,45 89,67±5,11 87,69±3,34 20 87,67±1,74 87,35±1,40 92,24±1,60 89,09±2,74 Rata-rata 86,29a±2,20 87,56a±1,05 90,79b±2,93 2. Kadar Air (%) 10 9,66±1,30 9,16±0,48 9,35±0,24 9,39±0,92 11,58 15 9,53±1,02 9,69±0,58 9,68±0,60 9,63±0,75 20 12,17±3,10 9,57±1,08 12,71±5,59 11,48±2,52 Rata-rata 10,45±2,18 9,47±0,70 10,58±3,24 3. Kadar Abu (%) *) 10 3,51±0,35 2,57±0,74 2,76±0,19 2,95b±0,60 3,01 15 3,69±0,39 4,45±0,39 3,65±0,55 3,93a±0,55 20 3,45±0,57 4,27±1,06 3,82±1,14 3,85a±0,90 Rata-rata 3,55±0,40 3,76±1,12 3,41±0,81

(37)

23 limbah pengolahan kerupuk kulit sapi. Beberapa parameter yang diamati dari hasil pengamatan yaitu kadar protein, kadar air dan kadar abu

Kadar Protein

Berdasarkan hasil uji data pada Tabel 4 (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perlakuan NaOH dan interaksi NaOH dengan lama perendaman tidak memiliki pengaruh yang nyata (p>0,01) terhadap kadar protein. Sementara itu lama perendaman berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap kadar protein. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama perendaman 6 hari (90,79%) berbeda nyata terhadap lama perendaman 2 hari (86,29%) dan 4 hari (87,56%). Hal ini disebabkan karena semakin lama perendaman nilai kadar protein semakin tinggi pula. Hal tersebut berarti bahwa molekul-molekul penyusun dari protein telah mengalami perbaikan struktur oleh partikel NaOH seiring lama perendaman sehingga kadar protein juga meningkat. Perlakuan NaOH berhasil memotong ikatan disulfida yang ada pada tepung bulu limbah kerupuk kulit sapi yang terdiri dari banyak protein keratin yang didalamnya terdapat unsur sistin yang membentuk ikatan disulfida.

NaOH adalah bahan kimia yang bersifat basa yang mampu merubah susunan protein pada limbah bulu sapi. Hal ini didukung pendapat Anonim (2012) yang menyatakan bahwa asam dan basa dapat memutus jembatan garam yang terdapat pada protein. Ion positif dan negatif pada garam dapat berganti pasangan dengan ion positif dan negatif dari asam ataupun basa sehingga jembatan garam pada protein yang merupakan salah satu jenis interaksi pada protein, menjadi terurai dan protein dapat dikatakan terdenaturasi.

(38)

24 Kandungan protein kasar tepung bulu limbah bulu sapi dengan lama perendaman 6 hari mencapai 90,79% jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 1,88% dari kadar protein kasar kontrol limbah bulu sapi dengan jumlah kadar protein 88,91% dari rata-rata perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman bulu menyebabkan peningkatan kadar protein kasar dari limbah bulu sapi.

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Puastuti (2007) yang menganalisis kadar protein kasar dari tepung bulu ayam yaitu 91,80%. Nilai tersebut hampir sama dengan protein kasar limbah bulu sapi dalam penelitian ini sebesar 90,79%. Potensi pemanfaatan limbah bulu sapi menjadi pakan ternak sumber protein cukup besar dengan kandungan kadar protein yang tinggi tersebut.

Kadar Air

Berdasarkan hasil uji data pada Tabel 4 (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi NaOH dan lama perendaman, serta interaksi antara konsentrasi NaOH dengan lama perendaman berbeda, tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air (p>0.01). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berhasil menurunkan jumlah kadar air pada tepung limbah bulu sapi. Menurunnya kadar air pada limbah bulu sapi disebabkan oleh asam amino non polar. Hal ini disebabkan karena larutan NaOH memiliki sifat yang larut dalam air sehingga meskipun limbah bulu sapi direndam dalam waktu yang lama tetap tidak memberikan dampak signifikan terhadap kandungan kadar air dalam limbah bulu sapi. NaOH sangat mudah larut dan memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, namun memiliki kelarutan yang lebih rendah dalam etanol atau metanol. Pada saat pencairan atau proses pelarutan NaOH ke dalam air, terjadi reaksi reaksi

(39)

25 eksotermis yang banyak melepaskan/membebaskan kalor ke udara. Hasil pelarutan menampilkan larutan NaOH yang berwarna bening seperti warna air pelarutnya (Anonim, 2016).

Kandungan rata-rata kadar air limbah bulu sapi yaitu sebesar 9-11%, nilai ini tidak berbeda jauh bahkan sama saja dari nilai kadar air limbah bulu sapi yang dijadikan sebagai kontrol (11%). Angka ini menunjukkan bahwa kadar air dari limbah bulu sapi, tergolong rendah dan semakin rendah nilai kadar air dari suatu bahan, maka semakin baik pula bahan tersebut karena bisa dipastikan mikroba tidak dapat hidup didalamnya. Hal ini didukung oleh pendapat Fardianz (1989) yang menyatakan bahwa adapun toleransi batas kadar air mikroba masih dapat tumbuh ialah 14-15%. Kandungan kadar air pada bahan pakan berperan pada daya tahan suatu bahan, hal ini didukung oleh pendapat Richana (2004) yang menyatakan bahwa jumlah air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga.

Kadar Abu

Berdasarkan hasil uji data pada Tabel 1 (Lampiran 3) menunjukkan perlakuan lama perendaman, interaksi antara NaOH dengan lama perendaman berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,01) terhadap kadar abu. Sementara perlakuan NaOH berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap kadar abu. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan konsentrasi NaOH 10% (2,95%) berbeda nyata terhadap NaOH 20% (3,85%) dan 15% (3,93%). Hal ini menunjukkan bahwa dengan konsentrasi NaOH 15% sudah didapatkan nilai maksimum dari kadar abu limbah bulu sapi sehingga tidak perlu dilanjutkan dengan pemberian NaOH pada level

(40)

26 20% karena nilai kadar abu cenderung sudah mengalami penurunan sehingga sudah tidak efektif lagi jika konsentrasi NaOH dinaikkan.

Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi NaOH 15% telah mampu merubah susunan mineral dari limbah bulu sapi yang terdiri atas karbon-karbon dalam susunan sistin yang membentuk keratin. Menurut Quanti (2015) keratin merupakan protein serat yang membentuk rambut, bulu, dan kuku, serta kaya akan sistein dan sistin. Kadar abu dari suatu bahan erat kaitannya dengan kandungan mineral dari bahan tersebut, hal ini sesuai dengan pendapat Purwanto (2013) yang menyatakan bahwa kadar abu suatu bahan berhubungan dengan mineral yang terkandung dalam bahan tersebut.

Kandungan kadar abu limbah bulu sapi hasil perlakuan memiliki nilai rata-rata 3,5-3,9% yang tidak jauh berbeda bahkan sama dengan nilai dari kadar abu limbah bulu sapi kontrol dengan nilai 3,0%. Jumlah kadar abu sebesar 3,9% ini menunjukkan bahwa kandungan kadar abu yang dimiliki limbah bulu sapi lebih tinggi dari kadar abu tepung bulu ayam yang dilaporkan Aminah (2005) yaitu sebesar 3,00%. Kadar abu limbah bulu sapi juga lebih baik 2% dari kandungan kadar abu tepung bulu ayam hasil penelitian Puastuti (2007) dengan nilai 1,90% saja. Hal ini membuktikan bahwa kadar abu pada limbah bulu sapi memiliki kandungan mineral lebih tinggi dari tepung bulu ayam.

Struktur Fisik dan Makrostruktur Limbah Bulu Sapi

Stuktur fisik limbah bulu sapi dapat dilihat secara kasat mata seperti pada gambar A dan B. Gambar A adalah bulu sapi yang belum diberi perlakuan, hanya dikeringkan di bawah sinar matahari untuk menghilangkan sisa air dari pembersihan yang dilakukan saat mengambil limbah bulu sisa pengolahan

(41)

27 kerupuk kulit. Bentuk dari limbah bulu terlihat masih kasar dan menggumpal menyatu dengan epidermis kulit yang ikut bersama dengan bulu hasil pengerokan. Setiap helai dari bulu sapi juga terlihat masih menyatu dengan yang lainnya serta ukuran bulu masih terlihat panjang dan besar. Secara umum tekstur dari bulu sapi yang belum diolah keras dan sulit patah.

Tepung bulu limbah kerupuk kulit sapi memiliki perbandingan struktur dari segi struktur fisik maupun makrostrukturnya. Adapun perbandingan struktur limbah bulu sapi disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Perbandingan struktur fisik dan makrostruktur limbah bulu sapi tanpa perlakuan (kontrol) dan dengan perlakuan NaOH (a) Struktur fisik limbah bulu sapi tanpa perlakuan (b) Struktur fisik tepung bulu sapi dengan perlakuan NaOH (c) Makro struktur limbah bulu sapi tanpa perlakuan (d) Makro struktur tepung bulu sapi dengan perlakuan NaOH.

Struktur fisik limbah bulu sapi tanpa perlakuan (Gambar A) saat diletakkan di bawah mikroskop memperlihatkan makrostruktur limbah bulu sapi tanpa

A B

(42)

28 perlakuan (Gambar C). Limbah bulu jelas terlihat masih panjang dan utuh. Hal ini mengindikasikan bahwa bulu tersebut sulit untuk dicerna oleh ternak, bahkan pada saat terjadi pencernaan mekanik dalam mulut, sehingga sangat perlu dilakukan pengolahan lanjutan untuk memperoleh limbah bulu yang dapat dimanfaatkan.

Gambar B menunjukkan struktur fisik limbah bulu sapi yang telah diberi perlakuan memiliki bentuk partikel yang sudah kecil dari sebelumnya, secara umum juga permukaannya telah halus, dari segi warna terlihat limbah bulu memiliki warna cokelat muda yang tidak berbeda dari warna bulu sebelum diberi perlakuan, sementara untuk tekstur bulu sapi mudah hancur dan mudah patah. Limbah bulu sapi setelah menjadi tepung ini juga memiliki bau yang khas dan sedikit menyegat yang disebabkan oleh kandungan protein yang telah mengalami degradasi. Deliani (2008) menyatakan bahwa proses degradasi protein dapat menghasilkan antara lain polipeptida asam amino, pepton, unsur N, dan komponen yang dapat menimbulkan bau busuk seperti NH3. Proses hidrolisis

berpengaruh terhadap meningkatnya kadar NH3 (amoniak) (Puastuti, 2004).

Makrostruktur tepung bulu sapi (Gambar D) dengan perlakuan NaOH di bawah mikroskop menunjukkan bentuk yang lebih kecil dan terlihat bulu telah terpotong menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan dengan NaOH telah mampu merubah struktur limbah bulu sapi dari bentuk yang panjang dan masih utuh, telah berubah menjadi pendek dan tersebar menjadi partikel yang lebih kecil.

(43)

29

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Perbedaan konsentrasi NaOH meningkatkan kadar abu, namun tidak meningkatkan kadar protein dan kadar air tepung bulu limbah kerupuk kulit sapi.

2. Perbedaan lama perendaman meningkatkan kadar protein tepung limbah bulu sapi, tetapi tidak menambah kadar abu dan kadar air tepung bulu limbah kerupuk kulit sapi.

3. Interaksi antara NaOH dan lama perendaman tidak memberikan kontribusi perubahan terhadap kadar protein kasar, kadar air dan kadar abu tepung limbah bulu sapi.

Saran

Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan untuk melihat tingkat kecernaan tepung limbah bulu sapi pada ternak dengan perlakuan NaOH 15% dan lama perendaman 6 hari.

(44)

30

DAFTAR PUSTAKA

Adiati, U., W. Puastuti, dan I.W. Mathius. 2004. Peluang pemanfaatan tepung bulu ayam sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Wartazoa 14 (1) : 39-44. Alamsyah, A.A.D., J. Christyawan, A.P. Tiarasukma, dan V. Paramita. 2013.

Pembuatan pangan ternak lele organik berbahan baku protein dari bulu ayam dengan metode fermentasi bio. Prosiding SNST ke-4. Semarang. Aminah, S. 2005. Pemanfaatan Hasil Ikutan Bulu Ayam Broiler Untuk Pakan

Ternak Ruminansia Kecil. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Bogor.

Anonim. 2012. Denaturasi Protein. https://bisakimia.com/2012/11/11/denaturasi-protein/. Diakses pada 19 Oktober 2016.

Anonim. 2016. NaOH / Soda Api / Caustic Soda / Natrium Hidroksida. http://bestekin.com/kimia/bahan-bahan-kimia/aneka-basa/naoh-soda-api-caustic-soda-natrium-hidroksida/. Diakses pada 19 Oktober 2016.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists, Washington D.C.

Card, L.E. 1972. Poultry Production. 9th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia.

Deliani. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Protein, Lemak, Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat Pada Pembuatan Tempe. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Desi, M. 2002. Aktivitas Keratinase Bacillus licheniformis. Tesis. Istitut Pertanian Bogor. Bogor.

Dozie, I. N. S., C.N. Okeke, dan N.C Unaeze. 1994. A thermostabil alkaline active keratinolytic proteinase from crysosporium keratinophylum. Word.J. Microbia. Biotechnol. 10 : 563-567.

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. PAU Pangan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fauzy, A. 2007. Peningkatan Kualitas Pupuk Organik Cair Keluaran Instalasi Biogas Fermentasi Lanjut dengan Penambahan Tepung Bulu Ayam dan Tepung Silase Kepala Ikan Patin. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gaman, P.M. dan K.B Sherrington. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan

Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Grazziotin, A., F.A. Pimentel, E.V. de Jong dan A. Brandelli. 2006. Nutritional improvement of feather protein by treatment with microbial keratinase. Animal Feed Science And Technology, 126 : 135-144.

(45)

31 Harrap, B.S. dan E.F. Woods. 1964. A soluble derivatives of feather keratine, isolation, fractionation and amino acid composition. Biochemical journal, 92 : 8-18.

Harrow, B. dan A. Mazur. 1954. Textbook of Biochemistry. 6th Ed. W.B Ders. Company. Philadelphia and London.

Hidayah, E.N. 2007. Minimisasi limbah industri kulit melalui optimasi produksi. Jurnal Teknik Kimia 1 (2).

Howie, S.A., S. Calsamiglin dan M.D. Stern. 1996. Variation in ruminal degradation and intestinal digestion of animal by product protein. Anim. Feed Sci. Technol. 63 (1-4) : 1-7.

Hussain, M. 2013. Skin (Comparison Dog, Cow, Horse’ Skin). http://www.slideshare.net/mujahiddr/skin-comparison-bw-dogcowhorse-skin. Diakses pada 27 mei 2016.

Ketaren, N. 2008. Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam sebagai Sumber Protein Ayam Pedaging dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Merkel, J.A. 1981. Managing Livestock Wastes. West Port. AVI Publishing Company Inc.

Padmono, D. 2005. Alternatif pengolahan limbah rumah potong Cakung (Suatu Studi Kasus). J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 6 (1) : 303-310.

Papadopoulos, M.C., A.R. El-Boushy dan E.M. Katelaars. 1985. Effect of different processing condition on amino acid digestibility of feather meal determined by chicken assay. Poult.Sci. 64 : 1729 – 1741.

Puastuti, W., D. Yulistiani dan I.W. Mathius. 2004. Bulu ayam yang diproses secara kimia sebagai sumber protein bypass rumen. JITV. 9(2): 73-80. Puastuti, W. 2007. Teknologi pemrosesan bulu ayam dan pemanfaatannya sebagai

sumber protein pakan ruminansia. Wartazoa, 17 (2) : 53-60.

Purwanto, C.C., D. Ishartani dan D. Rahadian. 2013. Kajian sifat fisik dan kimia tepung labu kuning (Curcubita maxima) dengan perlakuan blanching dan perendaman natrium metabisulfit (Na2S2O5). Jurnal Teknosains Pangan.

2 (2) : 121-130.

Quanti, M. 2015. Isolasi dan Potensi Bakteri Keratinolitik dari Feses Buaya (Crocodylus sp.) dalam Mendegradasi Limbah Keratin. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Richana, N., T.C. Sunarti. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan

tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubikelapa dan gembili. J. Pascapanen 1(1) : 29-37.

(46)

32 Said, M.I. 2014. By Product Ternak Teknologi dan Aplikasinya. IPB Press.

Bogor.

Sari, E.P., I.S.F. Putri, R.A. Putri, S. Imanda, D. Elfidasari, dan R.L. Puspitasari. 2015. Pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai pakan ternak ruminansia. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1 (1) : 136-138.

Setiawan, A., A.K. Benito dan A.H. Yuli. 2013. Pengelolaan limbah ternak pada kawasan budidaya ternak sapi potong di Kabupaten Majalengka. Jurnal Ilmu Ternak 13 (1).

Siregar, Z. 2003. Peningkatan Pertumbuhan Domba Persilangan dan Lokal Melalui Suplementasi Hidrolisat Bulu Ayam dan Mineral Esensial dalam Ransum Berbasis Limbah Perkebunan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Steel. R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Steiner, R.J., R.O. Kellems dan D.C. Church. 1983. Feather and hair meals for ruminant. Iv. Effects of chemical treatments of feathers and processing time on digestibility. J. Anim. Sci. 57: 495 – 502.

Tarmizi, A. 2001. Evaluasi Nilai Nutrisi Tepung Bulu yang Difermentasi dengan Menggunakan Bacillus licheniformis pada Ayam Broiler. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Underhill, L.P. 1952. A reference hand book of medical science. 5 : 717.

Widiharih, T. 2007. Buku Ajar Perancangan Percobaan. Program Studi Statistika Jurusan Matematika FMIPA. UNDIP. Semarang.

Williams, L.M., L.G. Lee, J.D. Garlich dan J.C.H. Shih. 1991. Evaluation of a bacterial feather fermentation product, feather-lysate as a feed protein. Poult. Sci. 70 : 85 – 95.

Zerdani, I., M. Faid dan A. Malki . 2004. Feather wastes digestion by new isolated strains bacillus sp. African J Biotechnol 3 (1) : 67-70.

(47)
(48)

34 Lampiran 1. Hasil uji statistik kadar protein kasar

KADAR PROTEIN

Descriptive Statistics

Dependent Variable:hasil_kadar_protein

perlakuan NaOH lama_perendaman Mean Std. Deviation N

dimension1 10% dimension2 2_hari 85,1989 2,32858 3 4_hari 87,9241 ,22594 3 6_hari 90,4592 ,67904 3 Total 87,8608 2,58344 9 15% dimension2 2_hari 86,0002 2,47733 3 4_hari 87,4015 1,45212 3 6_hari 89,6680 5,10719 3 Total 87,6899 3,33939 9 20% dimension2 2_hari 87,6715 1,74429 3 4_hari 87,3498 1,39819 3 6_hari 92,2372 1,59616 3 Total 89,0862 2,73696 9 Total dimension2 2_hari 86,2902 2,20093 9 4_hari 87,5585 1,05089 9 6_hari 90,7882 2,92773 9 Total 88,2123 2,86205 27 Output ANAVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:hasil_kadar_protein

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 117,356a 8 14,670 2,762 ,035 Intercept 210097,965 1 210097,965 39550,821 ,000 Perlakuan NaOH 10,441 2 5,220 ,983 ,393 Lama Perendaman 96,814 2 48,407 9,113 ,002 NaOH * Perendaman 10,102 4 2,525 ,475 ,753 Error 95,618 18 5,312 Total 210310,939 27 Corrected Total 212,974 26

(49)

35 Output Uji Duncan untuk Faktor B (Lama Perendaman)

hasil_kadar_protein lama_perendaman N Subset 1 2 Duncana,b dimension1 2_hari 9 86,2902 4_hari 9 87,5585 6_hari 9 90,7882 Sig. ,258 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

Nilai yang menempati subset berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.

The error term is Mean Square(Error) = 5,312. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b. Alpha = ,05.

(50)

36 Lampiran 2. Hasil uji statistik kadar air

KADAR AIR

Descriptive Statistics

Dependent Variable:hasil_kadar_air

perlakuan NaOH lama_perendaman Mean Std. Deviation N

dimension1 10% dimension2 2_hari 9,6640 1,29707 3 4_hari 9,1563 ,47560 3 6_hari 9,3533 ,24325 3 Total 9,3912 ,73558 9 15% dimension2 2_hari 9,5284 1,01774 3 4_hari 9,6856 ,58045 3 6_hari 9,6762 ,60396 3 Total 9,6301 ,66347 9 20% dimension2 2_hari 12,1674 3,10346 3 4_hari 9,5652 1,08432 3 6_hari 12,7139 5,58606 3 Total 11,4822 3,55329 9 Total dimension2 2_hari 10,4533 2,17797 9 4_hari 9,4690 ,70174 9 6_hari 10,5811 3,23808 9 Total 10,1678 2,25691 27 Output ANAVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:hasil_kadar_air

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 41,002a 8 5,125 1,009 ,463 Intercept 2791,381 1 2791,381 549,527 ,000 Perlakuan NaOH 23,578 2 11,789 2,321 ,127 Lama Perendaman 6,665 2 3,333 ,656 ,531 NaOH * Perendaman 10,759 4 2,690 ,530 ,716 Error 91,433 18 5,080 Total 2923,816 27 Corrected Total 132,435 26

(51)

37 Lampiran 3. Hasil uji statistik kadar abu

KADAR ABU

Descriptive Statistics

Dependent Variable:hasil_kadar_abu

perlakuan NaOH lama_perendaman Mean Std. Deviation N

dimension1 10% dimension2 2_hari 3,5072 ,34854 3 4_hari 2,5664 ,73590 3 6_hari 2,7614 ,19327 3 Total 2,9450 ,60001 9 15% dimension2 2_hari 3,6871 ,38589 3 4_hari 4,4527 ,37260 3 6_hari 3,6477 ,54939 3 Total 3,9292 ,54941 9 20% dimension2 2_hari 3,4524 ,56882 3 4_hari 4,2655 1,06269 3 6_hari 3,8215 1,14475 3 Total 3,8465 ,90285 9 Total dimension2 2_hari 3,5489 ,39975 9 4_hari 3,7615 1,12360 9 6_hari 3,4102 ,80923 9 Total 3,5735 ,81289 27 Output ANAVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:hasil_kadar_abu

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 9,074a 8 1,134 2,519 ,049 Intercept 344,795 1 344,795 765,589 ,000 Perlakuan NaOH 5,365 2 2,682 5,956 ,010 Lama Perendaman ,564 2 ,282 ,626 ,546 NaOH * Perendaman 3,146 4 ,786 1,746 ,184 Error 8,107 18 ,450 Total 361,976 27 Corrected Total 17,181 26

(52)

38 Output Uji Duncan untuk Faktor A (Kadar NaOH)

hasil_kadar_abu persentase NaOH N Subset 1 2 Duncana,b dimension1 10% 9 2,9450 20% 9 3,8465 15% 9 3,9292 Sig. 1,000 ,797

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

Nilai yang menempati subset berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.

The error term is Mean Square(Error) = ,450. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b. Alpha = ,05.

(53)

39 Lampiran 4. Dokumentasi

(54)

40 Pembuatan Tepung Bulu

(55)

41 Analisis Kadar Air dan Kadar Abu

(56)

42 Kadar Protein

(57)

43 Makro Struktur Tepung Bulu Sapi

(58)

44

RIWAYAT HIDUP

M. Sidik lahir di Mamuju, 04 November 1992, anak terakhir dari enam bersaudara dari pasangan Ayah H. Abd. Halim dan Ibu Hj. ST. Rabi. Penulis menempuh jenjang pendidikan sekolah dasar di SD INPRES Simboro pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2005. Ditahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di sekolah menengah pertama dan diterima di SMPN 2 Mamuju kemudian lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Mamuju dan lulus pada tahun 2011.

Penulis kemudian melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi negeri pada tahun 2011 dan diterima di Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar melalui ujian tertulis jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguran Tinggi Negeri) dan lulus pada tahun 2016.

Selama menempuh masa perkuliahan, penulis juga aktif di organisasi LDK (Lembaga Dakwah Kampus) yakni LK-Uswah (Lembaga Kajian Ukhuwah Mahasiswa Islam Universitas Hasanuddin), penulis tergabung menjadi anggota dan sempat menjabat sebagai sekretaris diakhir masa keanggotaan. Selain aktif sebagai aktivis penulis juga aktif dalam dunia Entrepreneurship dengan memasarkan merk dagang JBMB Jersey, dalam lingkup online marketing.

Adapun lomba yang pernah diikuti penulis adalah dalam kegiatan Lomba Generasi Berkarya yang dilaksanakan oleh Pustaka Rumah Hypatia kategori menulis cerpen, penulis berhasil meraih juara ke-2 dengan judul karya cerpen “Pejuang Di Kedai Proklamasi”.

(59)

Gambar

Gambar 1. Bulu pada histologi kulit (Hussain, 2013).
Gambar 2. Struktur kimia keratin (Tarmizi, 2001).
Tabel 1. Kandungan zat makanan tepung bulu ayam (% BK)
Tabel 2. Kadar protein tepung bulu ayam sebelum dan sesudah Uji in vitro  Substrat  Kadar protein
+4

Referensi

Dokumen terkait

Secara umumnya, perbincangan tentang golongan kata akan membincangkan aspek- aspek yang lazim dibincangkan oleh pengkaji-pengkaji bahasa, iaitu kata nama, kata kerja dan

[r]

Hal tersebut terjadi akibat proses erosi horizontal yang lebih besar dari erosi vertikal sehingga apabila sungai tersebut mulai berbelok maka terjadilah gerusan atau erosi

Dalam hal instrumen utang diklasifikasikan sebagai tersedia untuk dijual, penurunan nilai diuji berdasarkan kriteria yang sama dengan aset keuangan yang dinilai berdasarkan

Dalam aplikasi pati dan modifikasinya sebagai bahan campuran plastik sintetik, campuran PP dengan pati asetat atau amilosa asetatnya menunjukkan sifat morfologi dan

Kerajaan Islam berbentuk monarki yang kedua selepas Bani Umayyah ialah kerajaan Abbasiyah4. Walau bagaimanapun dalam masa yang hampir sama, kerajaan Bani Umayyah

Jaringan irigasi mempunyai potensi energi terbarukan yang dapat dikembangkan dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). PLTMH UMM juga

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vitalitas Amphiprion oscellaris yang hidup dilingkungan akuarium buatan dengan kondisi lingkungan perairan yang ideal tidak