• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN STRATEGI COPING STRESS DILIHAT DARI PREFERENSI JENIS MUSIK KLASIK DAN JAZZ PADA MAHASISWA JURUSAN MUSIK INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN STRATEGI COPING STRESS DILIHAT DARI PREFERENSI JENIS MUSIK KLASIK DAN JAZZ PADA MAHASISWA JURUSAN MUSIK INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN STRATEGI COPING STRESS

DILIHAT DARI PREFERENSI JENIS MUSIK KLASIK DAN JAZZ PADA MAHASISWA JURUSAN MUSIK INSTITUT SENI INDONESIA

YOGYAKARTA Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

LAURENSIUS MAHARDIKA K. 149114095

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

v

“THE BEAUTIFUL ABOUT LEARNING IS THAT NO ONE CAN TAKE IT AWAY FROM YOU”

(3)

vi

PERBEDAAN STRATEGI COPING STRESS DILIHAT DARI PREFERENSI JENIS MUSIK KLASIK DAN JAZZ PADA MAHASISWA MUSIK DI INSITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA

Laurensius Mahardika K.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan strategi coping stress jika dilihat dari jenis musik (klasik dan jazz) pada mahasiswa musik. Subyek pada penelitian ini menggunakan 121 mahasiswa musik klasik (N= 69) dan mahasiswa musik jazz (N= 52) Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Peneliti berhipotesis bahwa 1) terdapat perbedaan problem-focused coping stress pada mahasiswa musik klasik dan jazz, serta 2) terdapat perbedaan emotional-focused coping pada mahasiswa musik klasik dan jazz. Penelitian ini menggunakan skala coping stress berbasis teori dari Aldwin dan Revenson coping stress yang dibagi menjadi dua, yaitu problem-focused coping (= 0,686) serta emotional-focused coping (= 0,761). Peneliti juga menggunakan uji statistik Mann-Whitney U untuk menganalisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) terdapat perbedaan

problem-focused coping yang signifikan antara mahasiswa musik klasik dan jazz (U= 1332, p= 0,015), serta 2) tidak ada perbedaan emotional-focused coping yang signifikan antara mahasiswa musik klasik dan jazz (U= 1793, p= 0,996). Peneliti juga telah mendiskusikan hasil penelitian, serta menyoroti beberapa kekurangan dalam penelitian ini.

(4)

vii

THE DIFFERENCE OF COPING STRESS STRATEGIES

SEEN FROM THE PREFERENCE OF CLASSICAL AND JAZZ MUSIC ON MUSIC COLLAGE STUDENT AT INDONESIA INSTITUTE OF THE

ARTS YOGYAKARTA Laurensius Mahardika K.

ABSTRACT

This research aimed to investigate the difference strategies of coping stress seen from type of music (classic and jazz music) on music collage student. Subjects of this research were 121 undergraduate classical music student (N=69) and jazz music student (N=52) in Institute of the Arts Yogyakarta. The hypothesis were that (1 there was difference between classical and jazz music collage student in problem-focused coping and (2 there was difference between classical and jazz music collage student in emotional-focused coping. This research also used coping strategies scales based on Aldwin and Revenson’ theory that separated into two scales, problem-focused coping scale (=0,686) and emotional-focused coping (=0,761). Researcher also used Mann-Whitney U test to analyze the data . The result showed that 1) there was significant difference in problem-focused coping between classical and jazz music collage students (U= 1332, p= 0,015), and 2) there was no significant difference in emotional-focused coping between classical and jazz music collage students (U= 1793, p= 0,996). Researcher had discussed the results more further and also highlighted the limitations of this research.

(5)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas penyertaan dan rahmat yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis juga menyadari keterbatasan diri serta kekurangan yang ada pada proses penyusunan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih pada pihak yang dengan tulus membantu proses penyusunan skripsi ini. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Monica E. Madyaningrum, M.App., Ph.D selaku Ketua Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak YB. Cahya Widiyanto, M.Si., Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik maupun Dosen Pembimbing Skripsi yang senantiasa menginspirasi dan menuntun penulis dalam menjalani proses belajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

4. Seluruh dosen Institut Seni Indonesia khususnya Pak Hari dan Pak Mardi yang membantu diskusi dan proses pengambilan data skripsi saya.

5. Teman-teman mahasiswa Insititut Seni Indonesia, Gega dan kawan-kawan yang bersedia membantu proses pengambilan data.

(6)

x

6. Keluarga dari penulis: Ibu, Bapak, dan Ignas yang senantiasa mendukung serta mendoakan penulis dalam proses belajar maupun pilihan yang diambil oleh penulis.

7. Simbah penulis, baik Almarhum Mbah Anna Sakinem maupun Mbah Minto yang selalu setia mendoakan cucunya agar mendapatkan hal terbaik. 8. Teman-teman satu bimbingan skripsi yang saling bahu-membahu dalam

mengerjakan skripsi: Pakde, Gerry, Hoho, Arya, Ella, Restu, Tita, Fany. 9. Teman-teman “Misfits” dari Cirebon: Rio, Calvin, Janice, Geraldi dan

Andrea yang telah memberikan semangat (dan hujatan) kepada penulis selama berproses menjalani skripsi.

10.Seluruh teman-teman Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma yang telah berdinamika bersama dengan penulis.

(7)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

(8)

xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Musik ... 14

1. Definisi Musik ... 14

2. Jenis Musik ... 16

a. Sejarah dan Pengertian Musik Klasik ... 16

b. Karateristik Musik Klasik ... 18

c. Sejarah dan Pengertian Musik Jazz ... 19

d. Karateristik Musik Jazz ... 21

3. Musisi ... 23

a. Tuntutan Musisi Klasik ... 23

b. Karateristik Musisi Klasik... 25

c. Tuntutan Musisi Jazz ... 27

d. Karateristik Musisi Jazz ... 28

B. Stres ... 29

1. Definisi Stres ... 29

(9)

xiii

3. Gejala-gejala Stres Pada Musisi ... 33

4. Coping Stress ... 34

a. Definisi Coping Stress ... 34

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Coping Stress ... 37

c. Strategi Coping Stress ... 42

C. Perbedaan Strategi Coping Stress Dilihat Dari Preferensi Jenis Musik Pada Mahasiswa Musik Klasik dan Jazz ... 45

D. Skema ... 51

E. Hipotesis ... 52

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 53

A. Jenis Penelitian ... 53

B. Variabel Penelitian ... 54

C. Definisi Operasional... 54

a. Strategi Coping Stress ... 54

b. Jenis Musik ... 56

D. Subjek Penelitian ... 57

E. Prosedur Penelitian... 57

F. Metode Pengumpulan Data ... 58

G. Validitas dan Reliabilitas Penelitian ... 61

1. Uji Validitas ... 61

(10)

xiv

3. Uji Analisis Aitem ... 62

H. Metode Analisis Data ... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 67

A. Persiapan Penelitian ... 67

B. Pelaksanaan Penelitian ... 68

C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 68

D. Hasil Penelitian ... 69 4. Uji Asumsi... 69 a. Uji Normalitas ... 69 b. Uji Homogenitas ... 70 5. Uji Hipotesis ... 71 E. Pembahasan ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Keterbatasan Penelitian ... 77

C. Saran ... 77

1. Bagi Mahasiswa Musik ... 77

2. Bagi |Pengajar Musik ... 78

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 78

(11)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1: SKALA ... 83

LAMPIRAN 2: DATA PENELITIAN ... 92

LAMPIRAN 3: UJI RELIABILITAS DAN KORELASI ITEM-TOTAL………100

LAMPIRAN 4: UJI NORMALITAS ………..108

(12)

xvi

DAFTAR GAMBAR

(13)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Blueprint Skala Strategi Coping Stress (sebelum ujicoba) ... 60

Tabel 2: Pemberian Skor Aitem ... 61

Tabel 3: Blueprint Strategi Coping Stress (setelah diseleksi) ... 64

Tabel 4: Blueprint Skala Strategi Coping Stress (final) ... 65

Tabel 5: Uji Normalitas Data Kelompok Subjek ... 69

Tabel 6: Uji Homogenitas dengan Levene’s Test ... 70

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Musik adalah suatu seni yang lekat dengan kehidupan manusia. Seperti apa yang disampaikan oleh Nietzsche (dalam Muttaqin, 2008), “Without music, life would be an error”, yang berarti bahwa musik tersebut

memiliki peran penting sehingga kita tidak bisa lepas dari keberadaan musik itu sendiri. Musik juga memiliki peran sendiri bagi kehidupan manusia. Musik dapat menjadi media dalam berekspresi, menyampaikan sesuatu, hiburan, dan bahkan sebagai media konformitas dan norma sosial (Hallam dkk., 2016). Tidak hanya itu, terdapat beragam manfaat musik yang kita temukan dalam penelitian, mulai dari media dalam penanganan depresi (Hernandez; dalam Alagha & Ipradjian, 2017), meningkatkan kognitif dalam jangka pendek (Schellenberg; dalam Alagha & Ipradjian, 2017), serta dapat mengontrol agresi maupun kecemasan individu (Dissanayake; dalam Hallam dkk., 2016).

Sayangnya, manfaat positif dari musik tidak dirasakan oleh pelaku musik, yaitu musisi yang justru mengalami stres. Hal tersebut tergambar pada survei terkini yang dilakukan oleh University of Westminster pada tahun 2016 yang berjudul “Can Music Make You Sick?” yang menemukan bahwa terdapat 71,1% musisi mengalami kecemasan dan serangan panik serta 68,5% terindikasi mengalami depresi. Data ini juga menunjukkan bahwa para musisi mengalami depresi tiga kali lebih banyak daripada

(15)

masyarakat umum. Selain itu, fenomena stres juga terjadi pada pelaku musik di tingkat universitas. Penelitian Spahn dkk. (2017) menunjukkan bahwa mahasiswa jurusan musik memiliki tingkat depresi dan kecemasan lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa jurusan lain. Faktor-faktor seperti tekanan dan ekspektasi akademi, kelelahan, keseimbangan kehidupan personal dan musik, serta tekanan sosial dapat menjadi pemicu stres pada mahasiswa musik (Barney Dews, 1989; Stenbach, 2008; Orzel, 2010).

Stres, dalam porsi yang cukup, nyatanya juga dapat berdampak positif pula bagi para musisi (Kenny, 2012). Dalam penelitian Ascenso, Williamon dan Perkins (2016) menunjukkan bahwa stres karena banyaknya aktivitas, latihan serta penampilan justru menjadi kesempatan yang baik bagi musisi untuk menunjukkan ekspresi diri dan kebebasan dalam bermusik. Tekanan dalam relasi antar-musisi juga membuat mereka dapat mengembangkan kemampuan bersosial yang baik dalam konteks profesionalitas. Tidak hanya itu, kompetisi dan tuntutan yang tinggi pada musisi juga dapat membuat mereka belajar untuk jujur pada diri sendiri, terbuka, dan dapa mempererat kesatuan antar musisi yang memiliki identitas yang berbeda-beda.

Gejala-gejala stres yang dialami para pelaku musik sangatlah beragam dan khas. Stres pada musisi dapat terlihat pada beberapa perilaku seperti bibir, tangan, dan kaki yang gemetar; keringat berlebih; sesak nafas; serta gangguan konsentrasi dan memori yang berdampak pula penurunan

(16)

performa (Jacukowicz, 2016). Steptoe (dalam Sinico, 2012) menyebutkan bahwa rasa cemas pada musisi berdampak pada stres yang dapat dilihat dari berusaha menjaga postur tubuh, berusaha bergerak natural, dan kesalahan teknik dalam bermain. Selain itu, terdapat pula gejala secara kognitif seperti hilangnya konsentrasi, distraksi, dan kesalahan dalam memainkan partitur.

Dari sekian banyak jenis musik, salah satu musik yang memiliki tingkat kesulitan dan tuntutan yang tinggi ialah musik klasik. Dalam kamus musik Oxford Dictionary of Music (2016), musik klasik dikenal oleh masyarakat awam sebagai musik yang “tinggi” jika dibandingkan dengan musik lainnya. Ciri khas yang kental dari musik klasik adalah penggunaan permainan musik klasik adalah penggunaan notasi nada atau yang biasa disebut partitur. Partitur yang dibuat oleh komposer berfungsi sebagai petunjuk bagi pemain untuk mengetahui tinggi nada, kecepatan, metrum, ritme individual sehingga memiliki pembawaan yang tepat pada musik yang dimainkannya (Harvard Dictionary; dalam Dharmasasmitha, 2017). Dalam hal ini, musisi klasik juga perlu memiliki teknik permainan tinggi, terutama dalam membaca notasi serta kesempurnaan dalam memainkan nada (Steptoe, 1989; Barney Dews & William; Dobson, 2010a; Benedek dkk. 2014). Selain itu, musisi klasik juga kurang memiliki kebebasan dan bahkan kreativitas karena mereka perlu tunduk pada notasi nada dan konduktor (Steptoe, 2001; Dobson, 2010a; Holst, 2011; Parasuraman & Puhorit, 2000).

(17)

Dengan tuntutan dan tingkat kesulitan yang tinggi dari musik klasik, tak heran jika tingkat stres pada musisi klasik lebih tinggi daripada musisi non-klasik. Hal tersebut tergambar pada penelitian Papageorgi, Creech, dan Welch (2011) yang menjelaskan bahwa musisi klasik memiliki pengalaman kecemasan yang lebih tinggi, terutama pada penampilan solo, dibandingkan musisi dengan genre lain seperti pop maupun jazz. Hasil survei penelitian Perdomo-Guevara (2014) juga menunjukkan bahwa musisi klasik memiliki pengalaman kecemasan dan ketakutan pada penampilan musiknya, tidak seperti musisi non-klasik yang lebih merasakan pengalaman gembira, senang, serta memiliki gairah positif pada penampilannya.

Stres yang tinggi pada musisi klasik dapat dilihat dari beberapa faktor yang telah dipaparkan dalam beberapa penelitian. Steptoe (1989) menemukan kondisi lingkungan pada musisi klasik di mana mereka kurang memiliki waktu dengan keluarga, jadwal latihan yang tidak tetap, serta latihan yang monoton menjadi penyebab terbesar munculnya stres pada musisi klasik. Ekspektasi diri yang tinggi disertai tidak maksimalnya kemampuan yang diberikan menjadi faktor internal dari musisi yang dapat menimbulkan stres (Parasuraman & Puhorit, 2000; Osorio, 2017). Selain itu, faktor eksternal berupa ketegangan sosial, relasi interpersonal antar-musisi, serta kekhawatiran terhadap audiens dapat pula menjadi sumber stres bagi musisi klasik (Parasuraman & Puhorit, 2000; Holst, 2011; Osorio, 2017).

(18)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa musik klasik memiliki standar teknik serta kedisiplinan yang tinggi. Standar yang tinggi tersebutlah yang mengasilkan tuntutan yang tinggi serta dapat menyebabkan stres bagi musisinya. Namun, bagaimanakah dengan musisi yang memainkan musik dengan karater berlawanan dengan musik klasik?

Salah satu jenis musik yang memiliki karakter yang sangat kontras dengan musik klasik adalah musik jazz. Musik tersebut lahir dari Amerika pada abad ke-20 yang umumnya identik dengan pola ritmis khas yang biasa digunakan untuk mengiringi orang dalam menari. Pada awal terbentuknya, musik jazz jarang terdapat notasi tertulis serta bagian instrumental dimainkan secara spontan oleh pemain musik yang seringnya tidak bisa membaca notasi (Harvard Dictionary of Music, 1974). Hingga sekarang, spontanitas dalam memainkan nada menjadi ciri khas dan elemen penting bagi musik jazz. Spontanitas tersebut dinamakan sebagai improvisasi, yang berarti musisi jazz membuat komposisi lagu dan menampilkannya secara bersamaan (Gridley dkk. 1989). Improvisasi ini memungkinkan musisi jazz memiliki kebebasan serta kreativitas dalam bermusik daripada memperhatikan akurasi nada (Brown; dalam Dobson, 2010a). Hal inilah yang membedakan musisi klasik dengan musisi jazz, dimana keduanya memiliki perlakuan yang berbeda akan musik walaupun mereka membutuhkan teknik yang tinggi pula (Kingsbury; dalam Dobson, 2010a).

(19)

Karakter permainan yang mengutamakan improvisasi menjadikan para musisi jazz memiliki kontrol serta kebebasan dalam memainkan musiknya. Sayangnya, kebebasan dalam bermusik tidak serta-merta membuat musisi jazz memiliki catatan buruk dalam kesejahteraan psikologisnya. Wills (2003) menemukan bahwa kreativitas yang tinggi dari musisi sangatlah erat berhubungan dengan kecenderungan gangguan mental. Pada studinya yang merangkum 40 musisi jazz terkenal di Amerika Serikat, ditemukan bahwa 52,5% subjek memiliki gangguan kecanduan heroin, 27,5% subjek memiliki gangguan kecanduan alkohol, 28,5% mengalami gangguan mood, 7,5% menderita skizofrenia, serta 5% mengalami gangguan kecemasan.

Data di atas membuktikan bahwa musisi jazz dengan segala kebebasan yang dimiliki juga mengalami tuntutan dalam bermusik. Namun, sumber stres yang dialami musisi jazz jelas berbeda daripada musisi klasik. Pada penelitian yang dilakukan Dobson (2010a), menemukan bahwa musisi jazz dituntut untuk memiliki eksplorasi dan eksperimen yang tidak terbatas pada musiknya agar dapat mempersiapkan “hal baru” di setiap penampilannya. Selain itu, kreativitas juga menimbulkan persaingan yang ketat yang berdampak pada musisi jazz yang seringkali membandingkan diri dengan musisi lain. Dobson (2010b) dalam penelitian lanjutan juga menemukan bahwa persaingan yang ketat antar-musisi juga menimbulkan tekanan akan kritik dari orang lain. Faktor tersebutlah yang mengakibatkan musisi jazz memiliki keraguan akan permainan musiknya, sehingga

(20)

cenderung mengkritik dirinya sendiri. Reputasi juga menjadi hal yang berharga bagi musisi jazz untuk mendapatkan atensi dari orang lain. Maka dari itu, musisi jazz juga perlu bersosialisasi dengan baik serta perlu menjaga mood-nya agar menjaga karirnya sebagai musisi.

Dari penjabaran di atas membuktikan bahwa musisi klasik dan musisi jazz memiliki pola permainan serta sumber stres yang berbeda-beda pada setiap musisi (Brodsky; dalam Dobson, 2010). Dengan permainan dan tuntutan yang berbeda, musisi klasik dan musisi jazz juga memiliki karateristik serta pandangan individu yang berbeda-beda. Musisi klasik yang mengutamakan teknik dan kesempurnaan nada cenderung memiliki keterampilan penyelesaian masalah, mawas diri, memiliki hubungan interpersonal yang baik, serta menganggap penampilan sebagai sebuah pekerjaan mereka (Creech dkk., 2008; Dobson, 2010a; Dobson, 2015). Di sisi lain, musisi jazz yang memiliki kebebasan serta mengandalkan kreativitas cenderung menganggap penampilannya sebagai manifestasi diri, membuat musik hanya karena kesenangan mereka, serta tidak memiliki keterikatan antara musik dengan pekerjaan (Creech dkk., 2008; Dobson, 2010a). Selain itu, Bianco dkk. (2017) dalam penelitiannya juga menemukan perbedaan antara musisi klasik dengan musisi jazz. Musisi klasik ditemukan lebih fokus pada tahap demi tahap dalam bermain musik, sedangkan musisi jazz lebih mempersiapkan pada improvisasi yang membuat mereka sering menghasilkan nada yang sulit ditebak serta tidak acuh dalam kesalahan yang mereka buat.

(21)

Lingkungan eksternal serta karateristik individu yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan pula dalam memandang stres. Stres sendiri secara umum diartikan sebagai relasi antara individu dengan lingkungan yang dinilai sebagai sesuatu yang mengancam kesejahteraan individu (Folkman dan Lazarus, 1984). Penilaian akan stres (cognitive appraisal) dibagi menjadi dua tahap yang paling penting, yaitu primary appraisal dan secondary appraisal. Primary appraisal adalah bagaimana individu melakukan interpretasi terhadap situasi stres. Situasi tersebut dapat dinilai sebagai situasi mengancam, membahayakan, maupun kehilangan. Di sisi lain, individu juga dapat memandang situasi tersebut sebagai tantangan yang dapat membawa hal yang positif di masa depan. Sedangkan, tahap secondary appraisal adalah dimana individu mencoba menilai serta mengevaluasi kemampuan yang dimilikinya. Perbedaan interpretasi serta kemampuan individu tersebut itulah yang menghasilkan respon yang berbeda-beda pada setiap individu.

Respon individu pada stres menghasilkan usaha dalam mengatasi stres itu sendiri. Hal ini yang disebut coping stress, dimana individu melakukan upaya untuk mengatasi tuntutan yang melebihi sumber daya yang mereka miliki (Folkman & Lazarus; dalam Passer 2007). Secara umum, coping stress dibedakan menjadi dua jenis, yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping. Problem-focused coping adalah usaha individu dalam menghadapi stres langsung pada sumber masalahnya. Di sisi lain, emotional-focused coping lebih menekankan pada mengatur

(22)

emosi yang dihasilkan oleh masalah. Kedua jenis coping tersebut dapat saling membantu maupun berlawanan satu sama lain. Di samping itu, pemilihan strategi coping stress ditentukan pada situasi apa yang dihadapi individu serta bagaimana cara pandang maupun tindakan individu pada stres tersebut (Folkman & Lazarus, 1984).

Perbedaan pola permainan serta faktor yang menyebabkan stres pada musisi klasik dan jazz membuat peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat perbedaan strategi coping stress pada kedua musisi tersebut. Hal tersebut didasari oleh situasi lingkungan eksternal individu yang dapat mempengaruhi pemilihan strategi coping stress (Aldwin & Werner, 2007). Dengan melihat hal tersebut, kita dapat mengetahui bagaimana kedua musisi tersebut dalam berpikir maupun bertindak pada situasi stres bermusiknya.

Pada musisi klasik, penggunaan notasi nada atau partitur membuat musisi dituntut untuk memiliki teknik yang tinggi serta ketepatan nada yang baik. Tuntutan tersebut membuat musisi klasik memiliki konsep “benar” dan “salah” dalam permainannya, mengevaluasi kesalahan dalam bermusik,

komunikasi antar-kolega, serta memiliki problem-solving yang baik dalam menangani masalah (Creech, dkk., 2008; Dobson, 2010; Dobson, 2015). Hal tersebut berhubungan dengan problem-focused coping di mana individu bertindak langsung pada sumber masalah dengan cara berhati-hati dalam memainkan musiknya serta bertindak langsung dalam mengevaluasi kesalahan permainan musiknya.

(23)

Di sisi lain, musisi jazz lebih mengutamakan kreativitas serta eksplorasi tidak terbatas, terutama dalam improvisasi. Selain itu, musisi jazz mengutamakan inovasi sehingga tidak takut pada kesalahan dalam bermusik. Improvisasi menjadi sebuah manifestasi diri dari para musisi jazz, serta tidak memiliki keterikatan antara musik dengan pekerjaan mereka (Dobson, 2010; MacDonald & Wilson, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa musisi jazz lebih mengutamakan emotional-focused coping dimana mereka tidak khawatir pada kesalahan dalam melakukan inovasi, tidak terikat pada pekerjaan dalam bermusik, menjaga mood dalam berhubungan dengan kolega serta mengambil sisi positif jika mereka mengalami kegagalan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam upaya menangani tuntutan serta tantangan dalam bermusik pada mahasiswa jurusan musik klasik dan jazz. Hal ini didasari karena penelitian sebelumnya hanya berfokus pada bagaimana upaya teknis musisi dalam menangani satu masalah seperti musical performance anxiety (Boucher, 2010; Osorio, 2017; Sinico, 2012; Steptoe 1989). Nyatanya, penelitian sebelumnya juga menemukan permasalahan lainnya pada mahasiswa musik. Ditemukan bahwa terdapat pula permasalahan psikologis dan lingkungan sosial pada mahasiswa musik dalam penelitian sebelumnya (Dobson, 2010, 2013; Holst dkk., 2011; Parasuraman & Puhorit, 2000). Selain itu, karakteristik musik yang dimainkan, kondisi psikososial lingkungan, serta cara pandang mahasiswa musik terhadap musik itu sendiri juga dapat mempengaruhi cara berpikir maupun bertindak (Bianco dkk.

(24)

2017; Creech dkk., 2008; Dobson, 2010, 2013; Holst dkk., 2011; Parasuraman & Puhorit, 2000; Steptoe, 1989).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode komparasi untuk melihat apakah ada perbedaan strategi coping stress pada mahasiswa yang memiliki preferensi musik klasik dan jazz. Skala yang digunakan menggunakan aspek teori dari Aldwin dan Revenson (1987) yang telah disesuaikan dengan kehidupan secara umum pada mahasiswa musik dalam menghadapi masalah bermusiknya sehingga lebih fokus dan relevan. Pentingnya dalam mengetahui strategi coping stress pada kedua kelompok tersebut agar dapat mengetahui apakah perbedaan preferensi jenis musik yang dipilih menimbulkan kecenderungan strategi yang digunakan dalam menghadapi masalah bermusiknya. Hal tersebut dapat menjadi acuan bagi mahasiswa musik untuk mengembangkan maupun mengevaluasi cara dalam menghadapi masalah sesuai dengan pilihan preferensi musik.

Penelitian ini menggunakan mahasiswa musik sebagai subjek penelitian mengingat mereka memiliki tuntutan yang spesifik pada pengembangan kemampuan bermusik. Selain itu, jenis musik klasik dan jazz yang dipilih memang merupakan preferensi musik yang disenangi oleh mahasiswa. Berlokasi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mahasiswa musik di sana memiliki konsentrasi musik klasik dan musik jazz. Dengan begitu, mereka difokuskan pada pengembangan bermusik sesuai dengan preferensi jenis musik yang dipilih, sehingga relevan untuk dijadikan subjek dalam penelitian ini.

(25)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang sudah dijabarkan pada latar belakang, maka pertanyaan yang diajukan peneliti untuk penelitian ini adalah “Apakah

terdapat perbedaan strategi coping stress dilihat dari preferensi jenis musik pada mahasiswa musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah ingin mengetahui perbedaan strategi usaha dalam mengatasi masalahnya pada mahasiswa musik jika dilihat dari jenis musik yang mereka miliki, yaitu musik klasik dan musik jazz. Dalam hal ini, musik klasik dan musik jazz memiliki perbedaan karakteristik bermusik mereka sehingga dari hal tersebut dapat mempengaruhi pemilihan strategi coping stress.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan terkait psikologi klinis terutama tentang coping stress pada situasi yang spesifik, yaitu mahasiswa musik dengan preferensi jenis musik yang berbeda.

(26)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa Musik

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan strategi coping stress yang munculpada mahasiswa musik klasik dan jazz. Dengan begitu, mahasiswa musik klasik dan jazz dapat menyadari kemampuan serta kecenderungan strategi yang digunakan dalam menghadapi masalah bermusiknya, sehingga dapat mengevaluasi maupun mengembangkan strategi coping stress yang sudah pernah dilakukan.

b. Bagi Pengajar Musik

Penelitian ini dapat menjadi informasi bagi para pengajar musik tentang strategi coping stress yang digunakan oleh mahasiswa musik dengan preferensi yang berbeda, yaitu klasik dan jazz. Dengan mengetahui perbedaan kecenderungan strategi coping stress pada kedua mahasiswa musik tersebut, pengajar dapat mengembangkan maupun mengevaluasi kembali strategi mereka dalam menghadapi masalahnya sehingga lebih efektif dan sesuai

(27)

14 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Musik

1. Definisi Musik

Walaupun belum ada rumusan lengkap dan pasti tentang definisi musik, namun terdapat beberapa ahli yang menjelaskan pengertian tentang musik. Jamalus (dalam Muttaqin, 2008) mendefinisikan musik sebagai karya seni bunyi dalam bentuk sebuah lagu atau komposisi musik yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu, serta ekspresi sebagai satu kesatuan.

Sejalan dengan hal itu, Rina (dalam Muttaqin, 2008) juga berpendapat bahwa musik merupakan salah satu cabang kesenian yang pengungkapannya dilakukan melalui suara atau bunyi-bunyian.

Di samping itu, Syafiq (2003) menyatakan pula bahwa musik adalah seni pengungkapan gagasan melalui bunyi, yang unsur dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa gagasan, sifat, dan warna bunyi. Dalam penyajiannya, sering masih berpadu dengan unsur-unsur lain, seperti bahasa, gerak ataupun warna.

(28)

Musik juga dapat disejajarkan dengan bahasa karena musik memiliki karakter yang serupa dengan bahasa. Seperti pemahaman dari Machlis (dalam Muttaqin, 2008) yang menyatakan bahwa musik adalah bahasa emosi-emosi yang bertujuan untuk mengkomunikasikan makna dari sebuah musik itu sendiri. Seperti halnya bahasa, musik juga memiliki tata bahasa, sintaksis, serta retorika yang pengertiannya disampaikan dengan hubungan antar nada. Jika dalam bahasa mengekspresikan ide melalui kata-kata, musik lebih mengekspresikan suatu pernyataan misterius dari pikiran maupun perasaan.

2. Jenis Musik

Jenis musik atau biasa pula disebut genre musik adalah pengelompokan musik berdasarkan kesamaan tradisi musik maupun yang telah dilakukan sebelumnya (Samson, 2001). Dalam penelitian ini, jenis musik yang digunakan adalah musik klasik dan musik jazz.

a. Sejarah dan Pengertian Musik Klasik

Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa kata “klasik” sendiri bermakna sebagai sesuatu yang berkelas “tinggi”. Era klasik

muncul pada abad ke-16 setelah era barok dan sebelum era romantisme. Klasikalisme dapat dipahami sebagai idealisme dari para pemuja dewa Apollo era Yunani Kuno. Neitzsche menjelaskan makna dewa Apollo adalah sebagai dewa kebijaksanaan, pembentuk kepribadian, pikiran analitis, pemahaman, serta refleksi diri.

(29)

Dalam Harvard Dictionary of Music (1974), klasikalisme memiliki prinsip dan karakteristik utama dari literatur dan seni bergaya Yunani dan Roma. Prinsip klasikalisme dipandang sebagai sesuatu perwujudan pada ke-elegan-an formal, kesederhanaan, martabat, ketepatan, konsep yang jelas, serta keteraturan. Pada orang awam, kata “klasik” sendiri bisa

dimaknai sebagai musik yang memiliki nilai dan ketenaran. Orang awam juga menganggap bahwa musik klasik adalah musik yang berseni atau musik untuk orang cendekiawan yang berlawanan dengan musik populer atau musik hiburan. Pada era ini juga muncul nama-nama legenda musik klasik seperti Haydn, Beethoven, Mozart, dan Schubert. Musik klasik yang mereka mainkan memiliki kesan yang tinggi akan stabilitas, ketenangan, kejelasan, keseimbangan, kepercayaan diri, objektif, serta tradisional.

Hal yang sama dijelaskan pula oleh Oxford Dictionary of Music yang menyatakan bahwa musik klasik adalah musik yang memiliki keteraturan alamiah dengan memiliki kualitas yang tinggi pada ketepatan dan keseimbangan, serta lebih menekankan keindahan formal daripada ekspresi emosi. Musik klasik juga diartikan sebagai lawan dari musik-musik ringan atau musik populer.

(30)

Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa bentuk khas musik pada era klasik adalah sonata. Sonata berasal dari bahasa Italia (sonare atau sounare), yang berarti membunyikan atau bermain. Sonata pada umumnya juga diterapkan pada berbagai komposisi solo, ensambel, maupun orkestra.

Orkestra menjadi formasi paling umum yang terdapat di musik klasik. Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa orkestra adalah formasi kelompok musik besar yang memiliki susunan instrumen yang lengkap. Terkadang orkestra juga dibentuk secara fleksibel dengan melibatkan instrumen-instrumen lain. Instrumen dalam orkestra terbagi menjadi beberapa seksi, yaitu seksi gesek, seksi tiup kayu, seksi tiup logam, dan seksi perkusi. Formasi orkestra berkembang dari waktu ke waktu, dan sejak awal abad ke-20 susunan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan komposisi sehingga terdapatnya perubahan kecil tidak terlalu mengubah kemapanan formasi yang standar.

Dari segi jumlah pemain, orkestra dibagi menjadi dua macam. Orkes kamar (chamber orchestra) biasanya didukung oleh 40 pemain atau kurang, sedangkan orkes penuh (biasa disebut orkes simponi) didukung oleh 100 orang. Dalam formasinya, Master Konser (concert master) serta kondaktor berdiri di depan orkestra dengan menghadap pemain serta membelakangi penonton. Di sisi lain, pemain menghadap ke

(31)

arah kondaktor serta penonton. Tugas dari Master Konser ialah memimpin orkestra untuk mengikuti arahan yang diberikan kondaktor pada saat pertunjukan musik berlangsung. Jika terdapat solis, kondaktor dapat menjadi penyelaras di antara solis dan orkestra. Formasi tersebut secara umum digunakan agar mempermudah koordinasi pada seluruh bagian orkestra (Muttaqin, 2008).

b. Karakteristik Musik Klasik

Dalam Harvard Dictionary of Music (dalam Dharmasasmitha, 2017) menyebutkan bahwa ciri khas yang kental dari musik klasik adalah penggunaan notasi nada atau yang biasa disebut partitur. Partitur yang dibuat oleh komposer berfungsi sebagai petunjuk bagi pemain untuk mengetahui tinggi nada, kecepatan, metrum, ritme individual sehingga memiliki pembawaan yang tepat pada musik yang dimainkannya. Hal tersebutlah yang membatasi para pemain untuk tidak melakukan improvisasi pada permainan musiknya (Harvard Dictionary; dalam Dharmasasmitha, 2017).

(32)

Dobson (2010) juga mengatakan bahwa penggunaan partitur serta arahan dari konduktor adalah dua hal yang mengontrol para musisi klasik dalam memainkan musiknya. , Cook (dalam Dobson, 2010) menjelaskan, “the idea that the performer’s role is to reproduce what the composer has created” yang artinya

tugas musisi klasik hanyalah untuk memproduksi apa yang komposer telah buat dalam bentuk partitur. Penggunaan partitur juga menuntut musisi klasik untuk memiliki teknis bermusik yang tinggi, terutama dalam hal membaca notasi serta kualitas nada yang baik. Hal ini juga digambarkan oleh Cook (dalam Dobson, 2010) tentang kultur musik klasik yang “an authoritarian power structure” dimana teknik akurasi nada

menjadi bagian penting yang harus ditaati para pemain.

c. Sejarah dan Pengertian Musik Jazz

Menurut Harvard Dictionary of Music (1974), musik jazz adalah musik yang lahir di Amerika pada abad ke-20 yang musiknya berkaitan dengan pengiring orang menari dengan ritmis yang khas. Lahirnya kata “jazz” muncul tertulis pada

tahun 1917 yang sayangnya tidak memiliki definisi yang pasti. Musik jazz sangat erat kaitannya dengan musik ragtime dan blues yang mengandalkan improvisasi. Berbeda dengan musik ragtime yang musiknya dapat ditulis menjadi partitur, masa awal musik jazz jarang terdapat partitur tertulis. Hal tersebut

(33)

dikarenakan komposisi bagian instrumental musik jazz juga dibuat secara spontan oleh pemain musik yang rata-rata tidak dapat membaca not.

Musik blues juga menjadi cikal bakal musik jazz. Pada masanya, perbedaan band blues dengan jazz terletak pada musik jazz yang tidak menggunakan instrumen pengiring penyanyi. Dengan begitu, setiap instrumen berimprovisasi secara bebas, mulai dari ritme hingga melodinya. Musik jazz yang diturunkan oleh musik blues memiliki irama khas yang disebut “jazz beat”. Irama jazz memiliki ketepatan nada yang sulit dinalar, sehingga keberhasilan membuat irama tersebut tergantung pada pengalaman, tradisi, serta sensitivitas pemain musik itu sendiri. Biasanya setiap pemain instrumen pada musik jazz juga sering menambahkan nada ke-tujuh (seventh) pada akor sehingga memperkaya harmoni sebuah lagu.

Pada masa awal, musik jazz menerapkan improvisasi yang tinggi. Improvisasi tersebut terbentuk berdasarkan pada keterampilan, intuisi, serta pengalaman dari setiap musisi daripada apa yang sudah dituliskan dalam notasi. Beberapa musisi jazz pada masa awal tidak terlatih secara formal, tetapi mereka seorang musisi lepas yang mengandalkan idiom tradisional ataupun membuat idiom musik yang baru. Selain itu,

(34)

variasi jenis dan era dari musik jazz sendiri terus berkembang dan secara konsisten berubah dari masa ke masa.

d. Karakteristik Musik Jazz

Gridley dkk. (1989) dalam jurnalnya yang berjudul “Defining Jazz” merangkum beberapa definisi-definisi musik

jazz terdahulu. Akhirnya, disimpulkan bahwa terdapat dua elemen penting yang terdapat dalam musik jazz. Swing dan improvisasi. Swing adalah kualitas khas ritme musik jazz yang membuat para pendengar memiliki persepsi dan perasaan mengayun. Improvisasi sendiri diartikan dimana musisi membuat komposisi musik dan berpenampilan secara bersamaan.

Joachim Berendt (dalam Gridley dkk., 1989) menjelaskan bahwa terdapat 3 elemen yang membedakan antara musik jazz dengan musik klasik Eropa:

1. Swing

2. Spontanitas yang dimana improvisasi menjadi peran vital 3. Melodi yang dibuat mencerminkan individu yang

memainkannya

Sama halnya dengan musik klasik, musik jazz juga perlu memiliki kemampuan teknik bermain musik yang baik (Kingsbury; dalam Dobson, 2010). Akan tetapi, hal yang membedakan musik jazz dengan musik klasik adalah bagaimana

(35)

“perlakuan” terhadap musik itu sendiri. Hal ini digambarkan

oleh pernyataan Sigmund Spaeth (dalam Gridley dkk., 1989) bahwa musik jazz berusaha untuk merubah, membelokkan ataupun memutarbalikkan sebagai bentuk perlawanan pada normalitas dalam bermusik (partitur). Untuk memperjelasnya, Gridley dkk. (1989) menyampaikan bahwa teknik serta elemen-elemen bermusik yang sudah dilatih oleh musisi jazz “dirubah” dengan cara diatur ulang sedemikian rupa sesuai dengan apa yang diinginkan musisi pada saat berimprovisasi. Dengan begitu, melodi yang telah dibuat oleh musisi jazz dapat mencerminkan kepribadian dari musisi jazz. Hal itulah yang membedakan musik jazz dengan musik klasik (Joachim Berendt; dalam Gridley dkk., 1989).

Improvisasi menuntut musisi jazz untuk memiliki spontanitas serta kreativitas ketimbang mengutamakan akurasi dan kesempurnaan dalam memainkan nada (Brown; dalam Dobson, 2010). Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Kingsbury (dalam Dobson, 2010) yang menyatakan bahwa kreativitas memegang peran penting dalam musik jazz. Kreativitas dalam memainkan musik jazz inilah yang membuat para musisi memiliki kontrol lebih atas musik yang mereka mainkan (Dobson, 2010a).

(36)

3. Musisi

Menurut KBBI, musisi sama artinya dengan musikus. Musikus adalah orang yang menciptakan, memimpin, atau menampilkan musik. Secara singkat musisi bisa dikatakan sebagai pencipta maupun pemain musik.

a. Tuntutan Musisi Klasik

Steptoe (1989) dalam penelitiannya mencoba mengungkapkan faktor psikologis dan faktor kognitif apa saja yang berhubungan dengan kecemasan bermusik pada pemain musik orkestra. Survei tersebut melibatkan 65 anggota dari Royal Philharmonic Orchestra dan London Philharmonic Orchestra, serta 41 mahasiswa musik tingkat akhir dari Guildhall School of Music and Drama. Hasilnya, 19% responden merasakan stress dikarenakan oleh kritik diam-diam (backstabbing) dari kolega serta tekanan agar memiliki relasi sosial yang baik. Di sisi lain, 48% responden menyatakan stres karena terpisah dari keluarga. Di samping itu, permasalahan seperti jadwal latihan yang tidak tetap, terpisah dari keluarga, serta latihan yang monoton juga menjadi sumber stres terutama pada musisi profesional.

(37)

Parasuraman dan Puhorit (2000) juga melakukan survei pada 63 musisi profesional pada sebuah orkestra simfoni kecil di Amerika Serikat untuk melihat efek stres kerja apa saja yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan psikologis. Pada hasil analisis survei tersebut ditemukan terdapat 3 sumber stres yang kuat pada musisi tersebut, yaitu tantangan pada tugas yang sulit, tidak maksimalnya kemampuan yang dikeluarkan dalam penampilan, serta ketegangan sosial dalam lingkungan.

Di samping itu, Dobson (2010) melakukan wawancara semi-terstruktur 18 musisi muda (9 musisi klasik, 9 musisi jazz) untuk mengetahui tuntutan yang terdapat pada musisi dalam penampilan musiknya. Dari musisi klasik sendiri, Dobson mengatakan bahwa tuntutan musisi klasik tertekan oleh kurangnya kebebasan dalam musik dikarenakan karakteristik permainan musik klasik yang berfokus pada penggunaan partitur. Hal ini berdampak pada proses latihan dimana musisi klasik tertekan karena harus memenuhi kesempurnaan diri dalam hal teknis.

Selain itu, Osorio (2017) juga melakukan penelitian pada 214 musisi orkestra di Brasil untuk melihat penyebab munculnya kecemasan dalam bermusik pada musisi. Hasilnya, ditemukan sebanyak 57% yang mengeluh tentang tingkat kesulitan dalam

(38)

berlatih, 52% khawatir akan tanggapan dari pendengar, serta 51% musisi tertekan karena tuntutan diri sendiri.

b. Karakteristik Musisi Klasik

Dalam penelitiannya, Creech dkk. (2008) ingin perbedaan mengetahui kemampuan bermusik, aktivitas bermusik, serta lingkup keahlian bermusik pada musisi klasik dan non-klasik (musisi jazz dan musisi tradisional skotlandia). Terdapat 244 musisi yang menjadi partisipan dalam penelitian ini. Hasilnya, terdapat perbedaan kemampuan dan aktivitas pada musisi klasik dengan musisi non-klasik. Musisi klasik ditemukan lebih condong mengacu pada keterampilan teknik bermusik dan pembuatan musik berbasis notasi. Musisi klasik juga terikat pada aktivitas musik yang serius dimana mereka mengambil tanggung jawab individual, seperti memberikan pelajaran, tampil pada penampilan solo, serta terlibat dalam latihan mental.

Musisi klasik juga cenderung lebih kuat dalam keterampilan seperti penyelesaian masalah (problem-solving), pengawasan diri (self-monitoring), serta menangani kesalahan yang dapat mengganggu penampilan. Di samping itu, musisi klasik juga banyak menghabiskan waktunya dalam penampilan grup, mendengarkan musik klasik maupun berinteraksi dengan kolega yang lebih profesional (Creech dkk., 2008).

(39)

Dobson (2010) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa musisi klasik cenderung memiliki konsep “benar” dan “salah” dalam permainan musiknya. Hal ini disebabkan karena secara sosial dan kultur dari musik klasik yang menuntut partitur harus dimainkan secara sempurna setiap nadanya. Tuntutan teknis yang tinggi juga membuat musisi klasik menganggap penampilan musiknya ada sebuah ‘pekerjaan’ yang harus

diselesaikan secara sempurna.

Dobson (2013) melanjutkan penelitiannya pada 20 musisi orkestra di London untuk mengetahui kemampuan dan kualitas apa yang dibutuhkan, serta bagaimana cara mereka dalam menghadapi tantangan dalam karir bermusik. Dalam hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa pentingnya berhubungan dengan musisi lain untuk mengetahui bagaimana proses yang harus dilakukan selanjutnya serta mendapatkan wawasan dari musisi yang lebih profesional untuk mendapatkan pengetahuan dalam menganalisis permainan musik sendiri. Selain itu, musisi klasik juga perlu memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik antar pemain yang dibutuhkan agar tepat dalam mengikuti arahan konduktor.

(40)

c. Tuntutan Musisi Jazz

Pada penelitian Dobson (2010) yang meneliti tentang tuntutan apa saja yang ada pada musisi klasik dan musisi jazz, ditemukan bahwa musisi jazz lebih menuntut pada pengembangan eksplorasi serta kebebasan dalam bermusiknya. Hal tersebut yang membuat musisi jazz tertekan agar mempersiapkan “hal baru” dalam setiap penampilannya. Selain

itu musisi jazz memiliki proses yang dinamakan “listening” dimana mereka belajar dan menyerap dari lagu atau musik lain untuk memperkaya kreativitas mereka. Hal tersebut-lah yang membuat musisi jazz cenderung menilai cara musisi lain bermain, sehingga musisi jazz cenderung membandingkan permainan musiknya dengan musisi lain.

Penelitian lanjutan Dobson (2010) juga meneliti hubungan antara kreativitas musik dengan gangguan mental pada 9 subjek komposer klasik dan 9 subjek musisi jazz. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa terdapat persaingan antar kolega soal kreativitas dalam bermusik. Musisi jazz perlu bersaing untuk mempertahankan reputasi mereka sebagai musisi di mata koleganya. Hal tersebutlah yang membuat musisi jazz tertekan sehingga mereka ragu akan dirinya sendiri dalam soal kreativitas bermusik.

(41)

d. Karakteristik Musisi Jazz

Creech dkk. (2008) dalam penelitiannya juga terdapat perbedaan kemampuan serta aktivitas musik pada musisi jazz dengan musisi klasik. Jika musisi klasik lebih mengutamakan kemampuan teknik dan pembuatan notasi, musisi jazz lebih mengembangkan keterampilan improvisasi dan memori pada musik. Maka dari itu, musisi jazz cenderung membuat musik hanya karena kesenangan mereka.

MacDonald dan Wilson (2005) juga meneliti bagaimana musisi jazz memandang identitas mereka sebagai musisi. dalam hal ini, musisi jazz menganggap improvisasi adalah sebuah inovasi spontan yang penting dalam musik jazz. Inovasi ini dibatasi oleh kreativitas musik yang dimiliki setiap musisi. Dalam beberapa kelompok musik jazz ditemukan pula kecenderungan melakukan inovasi dalam bermusik dan bereksperimen dengan ‘kesalahan’. Selain itu, musisi jazz juga cenderung mementingkan reputasi diri agar mendapatkan apresiasi dari orang lain.

Dobson (2010) juga menemukan bahwa musisi jazz lebih memiliki keterlibatan yang penuh dalam membentuk musiknya daripada musisi klasik. Hal tersebut yang membuat musisi jazz cenderung menganggap bermain musik sebagai manifestasi diri, terutama dalam berimprovisasi. Dalam hal ini, manifestasi diri

(42)

diartikan sebagai pemberian makna dari ekspresi diri pada penampilan yang dijalaninya. Musisi jazz juga menganggap penampilan musiknya tidak memiliki keterikatan sebagai sebuah ‘pekerjaan’.

Di samping itu, penelitian lanjutan Dobson (2010) juga melaporkan bahwa terdapat persaingan ketat antar kolega dari para musisi jazz. Persaingan soal kreativitas antar musisi jazz dikarenakan tuntutan untuk menjaga reputasi diri sebagai musisi. Persaingan dalam musisi jazz lebih bersifat subjektif dalam membangun ‘rasa’ dalam permainan, bukan soal menentukan

kesalahan dari permainan. Karena persaingan ketat tersebut, musisi jazz terkadang mengkritik diri sendiri ketika bermain buruk. Selain itu, persaingan antar-musisi juga membuat musisi jazz perlu untuk menjaga mood-nya agar dapat berhubungan baik dengan sesama koleganya.

B. Stres

1. Definisi Stres

Kata “stres” memang umum didengar oleh kita di kehidupan

sehari-hari. Seperti apa yang diungkapkan oleh Yusuf (dalam Azmi dkk., 2017) yang menyatakan bahwa stress merupakan fenomena psikofisik yang bersifat manusiawi dimana hal tersebut berhubungan erat dengan diri setiap orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Folkman dan

(43)

Lazarus (1984) yang menyatakan bahwa stress adalah pola penilaian kognitif, respon fisiologis, serta kecenderungan perilaku yang terjadi sebagai respon terhadap ketidakseimbangan yang dirasakan individu antara tuntutan dengan kemampuan individu untuk mengatasinya. Hal tersebut selaras pula dengan pemahaman Aldwin dan Werner (2007) menjelaskan lebih lanjut bahwa stres merujuk pada kualitas pengalaman individu yang berasal dari interaksi antara individu tersebut dengan lingkungan, baik menyenangkan maupun kurang menyenangkan, yang menghasilkan tekanan secara fisik maupun psikologis.

Beck & Judith (dalam Azmi, 2017) menjelaskan bahwa stres yang dialami seseorang dapat berdampak negatif jika individu tersebut menilai dirinya tidak mampu mengatasi tekanan yang datang sehingga mempengaruhi pola pikir maupun tingkah laku individu.

Lebih lanjut lagi, Aldwin dan Werner (2007) berpandangan bahwa stress dipengaruhi oleh kejadian eksternal atau di luar individu yang memberikan tekanan atau tuntutan terhadap individu tersebut. Lebih lanjut lagi, Passer (2007) menjelaskan bahwa tuntutan ataupun tekanan, baik secara fisik maupun psikologis yang mengancam kesejahteraan individu sehingga individu tersebut perlu beradaptasi dengan cara tertentu disebut dengan stressor.

(44)

Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan di atas, stres adalah tekanan dari lingkungan eksternal pada individu yang dinilai sebagai ancaman bagi kesejahteraan individu. Individu akan menilai apakah tekanan tersebut mengancam kesejahteraan atau tidak dan akan berdampak negatif jika individu tersebut tidak mengatasi tekanan tersebut.

2. Cognitive Appraisal

Dalam merespon suatu stres, individu menggunakan fisik dan pikiran yang keduanya saling berkaitan satu sama lain. Folkman dan Lazarus (1984) menjelaskan bahwa ada tiga komponen pembentuk respon stres yaitu kognitif, psikologis, dan perilaku.

Individu merespon keadaan stres dengan melihat apa yang individu tersebut lihat. Hal ini disebut dengan cognitive appraisal. Ada empat aspek yang membentuk proses cognitive appraisal:

a. Primary appraisal

Menurut Lazarus (dalam Passer, 2007), primary appraisal adalah interpretasi individu terhadap situasi stres yang menimpanya. Situasi stres tersebut dapat dipandang individu sebagai sesuatu yang mudah ditaklukkan, netral, ataupun mengancam tergantung bentuk stres yang dialami individu. Folkman dan Lazarus (1984) menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk yang dihasilkan dalam primary appraisal, yaitu situasi yang tidak relevan; situasi yang

(45)

dapat dikendalikan dan menghasilkan hal positif; serta situasi yang menyebabkan stres.

Situasi yang menyebabkan stres dapat berupa sesuatu yang membahayakan/ kehilangan, ancaman, dan tantangan. Bahaya atau kehilangan dapat berupa sesuatu yang telah terjadi berkelanjutan seperti cedera ataupun penyakit, bahaya pada harga diri atau sosial, ataupun kehilangan orang yang disayangi. Di lain pihak, ancaman dinilai sebagai suatu bahaya yang akan terjadi kedepannya dan dapat diantisipasi. Sedangkan, tantangan dinilai sebagai sesuatu ancaman yang dapat membuat individu bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Situasi yang menantang tersebut dapat menimbulkan emosi yang positif seperti rasa ambisius dan gembira. Di sisi lain, ancaman lebih menimbulkan emosi negatif seperti takut, cemas dan marah. Baik ancaman maupun tantangan, keduanya dapat terjadi bersamaan.

b. Secondary appraisal

Dalam proses ini, individu mencoba melihat kemampuan dalam dirinya sendiri yang dapat digunakan untuk mengatasi situasi stres. Kemampuan dalam menghadapi stres dapat berupa pengetahuan dan keterampilan maupun kemampuan verbal dan kemampuan bersosialisasi.

(46)

c. Potential Consequences

Individu dalam tahap ini melihat konsekuensi yang membuatnya gagal dalam menghadapi situasi stres tersebut.

d. Psychological meaning of the consequences

Proses terakhir ini berkaitan dengan kepercayaan individu itu sendiri tentang dirinya ataupun tentang dunia. Kepercayaan atau standar personal individu dapat membentuk tipe situasi stres tertentu.

3. Gejala-gejala Stres Pada Musisi

Sama seperti pekerjaan lain, musisi juga memiliki tekanan yang spesifik dalam melakukan permainan musik. Para pelaku musik dihadapkan oleh tekanan fisik tinggi yang dapat mengakibatkan stres. Hal itu disebabkan karena gerakan repetitif, kesalahan posisi lengan, serta memaksa postur tubuh sehingga tidak natural dan tidak simetris (Janiszewski; dalam Jacukowicz, 2016). Selain itu, mereka juga menghadapi tekanan psikososial seperti disalahkan orang lain, persaingan antar-kolega, kesalahan dalam penampilan, serta latihan musik yang sistematis (Jacukowicz, 2016). Kedua bentuk tekanan tersebut akhirnya berdampak pada munculnya beberapa gejala khas yang hanya dialami oleh musisi. Mereka mengalami gejala-gejala seperti tangan, bibir, dan kaki yang gemetar; keringat berlebih; sesak nafas; serta gangguan konsentrasi dan memori yang berdampak pula pada penurunan performa (Jacukowicz, 2016).

(47)

Rasa cemas adalah bentuk stres yang paling umum terjadi pada musisi. Rasa cemas ini biasanya terjadi pada saat musisi tersebut tampil di atas panggung. Marshall (dalam Sinico, 2012) menyebukan bahwa gejala-gejala rasa cemas pada musisi serupa dengan pengalaman pada situasi apapun. Gejala-gejala tersebut meliputi rasa terguncang, gemetar, kaku, ekspresi tegang, serta penurunan performa dalam musik itu sendiri. Lebih lanjut lagi, Steptoe (dalam Sinico, 2012) menambahkan beberapa gejala seperti berusaha menjaga postur tubuh, berusaha untuk bergerak natural, serta kesalahan teknik dalam bermain. Terdapat pula gejala secara kognitif seperti hilangnya konsentrasi, distraksi, kegagalan dalam mengingat, serta kesalahan dalam memainkan partitur. Selain itu, gejala emosional juga dapat terlihat, seperti perasaan cemas, rasa tegang, rasa takut, serta rasa gelisah maupun panik.

4. Coping Stress

a. Definisi Coping Stress

Manusia dalam menjalani kehidupannya memiliki kebutuhan maupun keinginan yang ingin dipenuhi. Kebutuhan tersebut dapat berupa aspek psikis, fisik, maupun sosial. Akan tetapi, tidak semua kebutuhan tersebut terpenuhi. Hal tersebut disebabkan oleh situasi yang tidak selaras antara sumber daya individu dengan tekanan yang

(48)

dihadapinya. Hal tersebutlah yang mengakibatkan individu mengalami stress dalam kehidupannya.

Situasi stres yang dialami oleh individu berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan jenis masalah, kemampuan individu, maupun cara pandang akan masalah dari setiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang mempengaruhi individu memiliki cara masing-masing dalam menangani masalahnya. Upaya individu dalam menangani stres itulah disebut dengan coping (Folkman & Lazarus, 1984).

Rustiana (dalam Wardani, 2009) menyatakan bahwa kata coping sendiri berasal dari kata cope yang berarti sebagai tindakan menghadapi, melawan, maupun mengatasi. Sayangnya, belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat mewakili kata coping itu sendiri. Istilah coping juga kerap dikaitkan dengan penyesuaian (adjustment). Penyesuaian mengandung makna yang lebih luas dari coping, yaitu semua respon individu dalam menghadapi tuntutan yang berasal dari lingkungan maupun yang berasal dari diri individu itu sendiri. Sedangkan coping lebih berpusat pada bagaimana cara seseorang dalam menghadapi tuntutan tersebut.

Lazarus & Folkman (1984) dalam bukunya yang berjudul Stress, Appraisal, and Coping merangkum dari beberapa teori bahwa coping stress sebagai usaha secara kognitif maupun perilaku (yang konstan mengalami perubahan) untuk mengatur tuntutan spesifik baik dari luar diri maupun dalam diri yang dinilai sebagai

(49)

ancaman bagi sumber daya individu tersebut. Cara individu dalam melakukan coping berbeda-beda tergantung sumber daya yang mencakup tenaga dan kesehatan, kepercayaan yang muncul, ataupun pandangan terhadap kontrol maupun komitmen yang ada dalam individu.

Kendala yang membuat sumber daya individu berkurang juga menjadi penentu proses dalam melakukan coping stress. Kendala personal seperti nilai kultural serta kepercayaan yang dianut membuat individu memiliki batasan tersendiri soal apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahnya. Kendala dari luar diri (lingkungan) individu juga mempengaruhi proses coping. Contohnya, individu harus berhadapan dengan tuntutan lingkungan yang serupa sehingga menghalangi individu untuk melakukan coping stress dengan cara tertentu (Folkman & Lazarus, 1984).

Di sisi lain, Aldwin dan Werner (2007) dalam bukunya yang berjudul Stress, Coping and Development mendefinisikan coping stress sebagai strategi individu dalam mengatasi masalah serta emosi yang negatif dalam diri individu. Lebih lanjut lagi, individu sebenarnya secara aktif berusaha untuk mengatasi masalahnya, tetapi strategi maupun respon emosi tidak selalu secara sadar dipikirkan individu. Lingkungan sosial dan budaya dapat menjadi pengaruh bagi individu dalam menilai tuntutan yang dialami serta cara penanganan masalahnya.

(50)

Selaras dengan pernyataan di atas, Hapsari, dkk. (dalam Wardani, 2009) menjelaskan bahwa coping merupakan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi untuk menyelesaikan, mengurangi dan menggantikan kondisi yang menekan tersebut. Di samping itu, Chaplin (dalam Wardani, 2009) menyatakan bahwa perilaku coping adalah dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya untuk menyelesaikan suatu masalah.

b. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Strategi Coping Stress

Walaupun ada banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana individu dalam menangani masalahnya, Folkman dan Lazarus (1984) mengelompokkan sumber-sumber dalam diri individu yang dirasa berpengaruh penting dalam proses coping, yaitu mencakup: sumber dari fisik yang mencakup tenaga dan kesehatan, sumber dari psikis yang mencakup pandangan positif yang dianut individu, serta kompetensi yang mencakup kemampuan memecahkan masalah serta kemampuan sosial.

Kesehatan serta tenaga yang dimiliki individu menjadi hal yang dapat menentukan individu tersebut dapat melakukan coping atau tidak. Individu yang sakit maupun kelelahan akan memiliki tenaga yang kurang dalam melakukan coping stress. Dalam hal ini, faktor kesehatan dan tenaga individu menjadi hal yang dapat

(51)

membantu individu dalam usaha mereka melakukan coping stress, dimana individu akan lebih mudah untuk melakukan coping dalam keadaan sehat. Sedangkan individu yang dalam keadaan tidak sehat hanya melakukan coping secukupnya dengan resiko yang lebih tinggi.

Keadaan psikis dari individu juga dapat mempengaruhi coping stress. Dalam hal ini, coping stress juga dipengaruhi oleh pandangan positif akan diri sendiri dalam individu. Pandangan tersebut bisa berupa pandangan umum seperti keyakinan individu akan hasil yang lebih baik, keyakinan individu dalam memiliki kekuatan yang dimiliki, maupun keyakinan akan program ataupun orang yang dipercaya untuk membantu dalam melakukan coping stress.

Di sisi lain, kemampuan individu yang mempengaruhi coping adalah keterampilan memecahkan masalah (problem-solving skills) serta keterampilan sosial (social skills). Problem-solving skills mencakup bagaimana individu dalam mencari informasi serta menganalisis situasi dimana hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan tindakan tertentu dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan social skills mencakup bagaimana individu berkomunikasi dan bertindak pada lingkungan sosialnya. Social skills dapat membantu individu untuk bekerja sama dengan orang lain serta mendapatkan dukungan dan bantuan dari orang lain.

(52)

Pada literatur lain, Aldwin & Revenson (2007) lebih memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam menentukan strategi coping. Aldwin & Revenson menggunakan tiga pendekatan untuk menjabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam menentukan strategi coping, diantaranya:

1. Person-based Definition of Coping

Dalam pendekatan ini, strategi dalam menghadapi masalah dipengaruhi oleh karakteristik individu. Aldwin & Werner (2007) menjelaskan bahwa faktor personal individu mempengaruhi penilaian individu akan stres itu sendiri sehingga mempengaruhi pula strategi pemilihan coping. Struktur personal individual memiliki andil untuk menentukan perilaku, perasaan, dan kognitif seseorang dalam menghindari situasi stres yang dimana sudah terbentuk dari kecil dan relatif menetap. Dengan begitu, kecenderungan perilaku coping seseorang dapat menjadi kebiasaan, dan juga dapat muncul sewaktu-waktu pada kondisi trauma yang berat.

2. Situational Determinant of Coping

Dalam pendekatan ini, perilaku coping yang dipengaruhi tuntutan dari lingkungan maupun jenis stressor dapat mempengaruhi individu dalam memilih strategi coping. Hal ini disebabkan karena karakteristik dari tipe

(53)

stressor yang berbeda-beda sehingga membutuhkan solusi dan proses coping yang berbeda-beda pula. Aldwin & Werner (2007) menjelaskan bahwa situation determinant of coping lebih menekankan pada adaptasi manusia dalam merespon perubahan situasi atau masalah daripada menekankan perilaku yang spesifik dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai contoh, Lazarus dan Folkman (dalam Aldwin & Werner, 2007) berdasarkan hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa problem-focused coping dan emotional-focused coping dapat digunakan pada situasi yang berbeda. Problem-focused coping lebih digunakan individu pada saat munculnya ancaman atau tantangan pada hal-hal praktikal atau hubungan interpersonal. Di sisi lain, emotional-focused coping digunakan individu pada saat keadaan kehilangan, seperti terkena penyakit atau sedang berduka. Dengan demikian, individu sanggup beradaptasi dalam memilih teknik coping sesuai dengan situasi yang ada.

3. Cognitive Approach

Dalam pendekatan ini, perilaku coping yang ditentukan oleh proses kognitif individu terhadap masalah yang dihadapi, dan hal tersebut akan menentukan strategi coping yang digunakan oleh individu tersebut. Aldwin &

(54)

Werner (2007) menjabarkan cognitive approach dengan berlandaskan pada empat pernyataan. Pernyataan pertama adalah cara individu dalam menangani masalah tergantung pada penilaian individu tersebut pada masalah itu. Dalam hal ini ditekankan bahwa terdapat proses adaptasi secara sadar dari individu. Dengan begitu, individu akan menggunakan coping berdasarkan penilaian yang mereka dapat dari pengalaman sebelumnya.

Pernyataan kedua adalah individu dapat secara fleksibel memilih strategi coping dan dapat dimodifikasi sesuai dengan masalah yang dihadapi. Hal ini bukan berarti individu tidak konsisten dalam menghadapi masalah, tetapi lebih memperhitungkan berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di lingkungan eksternal. Dengan begitu, individu memilih strategi coping berdasarkan gabungan antara faktor personal individu dengan tuntutan dari lingkungan yang saling berkaitan.

Pernyataan ketiga adalah kedua strategi coping, yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping dapat digunakan pada situasi yang membutuhkan pemecahan masalah maupun situasi yang emosional. Contohnya adalah individu bisa saja menggunakan problem-focused coping pada masalah yang emosional karena mereka berpikir bahwa

(55)

dengan memecahkan masalah adalah cara terbaik untuk mengatur emosi.

Pernyataan terakhir adalah strategi coping ditentukan berdasarkan pendekatan secara empirik. Maksudnya, individu menggunakan strategi coping dalam situasi dan kondisi tertentu yang dimana strategi tersebut dapat atau tidak dapat memberikan adaptasi yang positif. Lebih jelasnya lagi, Lazarus (dalam Aldwin & Werner, 2007) memberi contoh bahwa denial tidak sebatas mekanisme pertahanan diri yang bersifat maladaptif, tetapi dapat berguna pada situasi tertentu. Misalnya pada saat situasi yang sudah tidak ada lagi harapan, individu tetap meyakinkan diri untuk percaya bahwa harapan tersebut tetap ada.

c. Strategi Coping Stress

Ada beragam teori yang dikemukakan ahli tentang strategi coping stress yang ada dalam individu. Namun, yang paling umum dan pertama kali dikemukakan yaitu dari Folkman dan Lazarus (1984) yang menyatakan bahwa terdapat dua strategi umum yang digunakan oleh individu, yaitu: problem-focused coping dan emotional-focused coping.

(56)

Problem-focused coping sendiri diartikan sebagai upaya individu yang mencoba menghadapi secara langsung sumber stres yang ada. Bentuknya bisa berupa usaha untuk mengidentifikasi masalah, membuat alternatif solusi, mempertimbangkan untung-rugi, serta bertindak langsung dari masalah. Strategi ini akan digunakan individu jika situasi stres yang dialami terkendali oleh individu tersebut.

Sedangkan emotional-focused coping dijelaskan sebagai upaya individu untuk mengurangi atau mengatur tekanan emosional dari situasi stres yang sedang dihadapinya. Bentuknya bisa berupa menghindari masalah, meminimalisir emosi, menjaga jarak dengan masalah, serta mengambil sisi positif dari masalah tersebut. Emotional-focused coping akan muncul pada saat individu mengalami situasi yang tidak terkendali.

Dalam perkembangan penelitiannya, kedua strategi tersebut memiliki beberapa aspek yang dikemukakan oleh ahli sebelumnya. Namun, peneliti menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Aldwin & Revenson (1987) yang memperbarui teori yang telah dikemukakan Folkman dan Lazarus.

(57)

Aldwin dan Revenson (1987) membagi aspek problem-focused coping menjadi tiga, yaitu:

1. Cautiousness (kehati-hatian) adalah dimana individu berpikir dan mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta pendapat orang lain, berhati-hati dalam menentukan masalah serta mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan sebelumnya. 2. Instrumental Action (tindakan instrumental) adalah tindakan

individu yang diarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung, serta menyusun langkah yang akan dilakukannya. 3. Negotiation (negosiasi) adalah usaha yang dilakukan individu dengan cara melibatkan orang lain yang berhubungan dengan masalah untuk membantu dalam penyelesaian masalah.

Sedangkan, emotional-focused coping dibagi menjadi 4 bagian, diantaranya:

1. Escapism. Individu berusaha menghindari masalah dengan cara membayangkan seandainya berada dalam situasi lain yang lebih menyenangkan, menghindari masalah dengan makan ataupun tidur, merokok maupun meminum minuman keras.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini tes yang dilakukan adalah tes perbuatan yaitu teknik yang digunakan untuk mengetahui hasil dari proses pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar mahasiswa yang proses pembelajarannya menggunakan blended learning dan e-learning

Pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan pemberian terapi imajinasi terpimpin dan mendengarkan musik keroncong

Hasil penelitian menunjukkan bahwa relationship officer sangat berperan dalam meningkatkan nasabah funding, dan berbagai macam pelayanan yang dilakukan oleh relationship officer

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar mahasiswa yang proses pembelajarannya menggunakan blended learning dan e-learning

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui nilai korelasi dan koefisien regresi untuk mengetahui hubungan antara diameter batang pohon dengan

Oleh karena itu, metode dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang sejauh mana hasil dari analisa yang dilakukan terhadap obyek penelitian mengarah kepada

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa perbedaan proporsi data learning dan testing yang digunakan untuk klasifikasi CART akan memberikan