• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PERSEPSI GAYA KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF DENGAN KOMITMEN ORGANISASI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Sebagai Bagian dari Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata (S1)

Psikologi (S.Psi)

Habibul Akmal Fikri B07210074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi pada karyawan di Hotel Andita Syari'ah Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala komitmen organisasi dan skala persepsi gaya kepemimpinan partisipatif. Subyek penelitian ini berjumlah 42 karyawan dengan sistem sampling acak (Simpel Random Sampling) tanpa memperhatikan tingkatan dan jenis kelamin.

Hasil penelitian dianalisis menggunakan teknik Product Moment ditemukan signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 maka hipotesis diterima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi.

(7)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

INTISARI ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 16

A. Komitmen Organisasi ... 16

1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 16

2. Dimensi-dimensi Komitmen Organisasi ... 19

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 21

B. Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 29

1. Definisi Kepemimpinan ... 29

2. Fungsi Kepemimpinan ... 31

3. Definisi Gaya Kepemimpinan ... 32

4. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan ... 33

5. Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 36

6. Aspek Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 39

7. Keuntungan-keuntungan potensial dari kepemimpinan partisipatif 42 C. Persepsi ... 44

D. Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 45

E. Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif dengan Komitmen Organisasi... 47

F. Landasan Teoritis ... 48

(8)

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 52

A. Variabel dan Definisi Operasional ... 52

1. Variabel Penelitian ... 52

2. Definisi Operasional ... 53

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 54

C. Teknik Pengumpulan Data ... 55

1. Skala Komitmen Organisasi ... 56

2. Skala Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 57

D. Validitas dan Reliabilitas ... 59

1. Validitas ... 59

2. Reliabilitas ... 63

E. Analisis Data ... 64

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

A. Hasil Penelitian ... 68

1. Deskripsi Subyek ... 68

2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 70

3. Pengujian Hipotesis ... 74

B. Pembahasan ... 75

BAB V : PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(9)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Format Skoring Skala Likert ... 56

Tabel 2. Blue Print Skala Komitmen Organisasi ... 57

Tabel 3. Blue Print Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 58

Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 61

Tabel 5. Skala Penelitian Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 61

Tabel 6. Sebaran Aitem Skala Komitmen Organisasi ... 62

Tabel 7. Skala Penelitian Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 63

Tabel 8. Nilai Koefisien Korelasi... 67

Tabel 9. Deskripsi Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

Tabel 10. Deskripsi Subyek Berdasarkan Usia ... 69

Tabel 11. Deskripsi Subyek Berdasarkan Masa Kerja ... 70

Tabel 12. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 71

Tabel 13. Hasil Uji Normalitas ... 72

Tabel 14. Hasil Uji Linieritas ... 73

(10)

DAFTAR BAGAN

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Blue Print Skala Penelitian ... 83

A. Blue Print Skala Komitmen Organisasi ... 83

B. Blue Print Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif .... 85

Lampiran 2. Instrumen Penelitian ... 89

Lampiran 3. Data Mentah Skala Penelitian... 93

A. Skala Komitmen Organisasi ... 93

B. Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 97

Lampiran 4. Skoring Aitem Skala Penelitian ... 101

A. Skala Komitmen Organisasi ... 101

B. Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 103

Lampiran 5. Hasil Output SPSS ... 107

A. Deskripsi Data Penelitian ... 107

B. Uji Reliabilitas ... 114

C. Uji Normalitas ... 118

D. Uji Linieritas ... 119

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah organisasi dibentuk sebagai wadah atau media bagi

sekelompok individu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Berhasil

tidaknya organisasi tergantung kepada Sumber daya manusia (SDM) serta

kerjasama tim dalam mencapai tujuan bersama. Soeyitno (2013) menjelaskan bahwa usaha kerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama tersebut dilaksanakan oleh beberapa orang (dua orang atau lebih), dalam kegiatan yang terarah pada satu tujuan, hal itu lebih mudah dicapai daripada dikerjakan sendiri. Keseluruhan proses kerja sama tersebut diartikan sebagai organisasi.

Priyono dan Marnis (2008) menjelaskan bahwa organisasi memiliki

berbagai macam sumber daya sebagai „input’ untuk diubah menjadi „output’

berupa produk barang atau jasa. Sumber daya tersebut meliputi modal atau

uang, teknologi untuk menunjang proses produksi, metode atau strategi yang

digunakan untuk beroperasi, manusia dan sebagainya. Di antara berbagai

macam sumber daya tersebut, manusia atau sumber daya manusia (SDM)

merupakan elemen yang paling penting.

Sumber daya manusia dalam suatu bidang pekerjaan sekaligus

(13)

2

dan tingkat kompetensi terhadap bidang yang ditekuninya. Menurut Porter

(dalam Bell dan Mjoli, 2014) Karyawan yang hebat dapat memahami

nilai-nilai inti dan tujuan dari sebuah organisasi, merupakan level tinggi dari

komitmen karyawan. Northcraft dan Neale (dalam Suyasa, 2004)

menyebutkan bahwa umumnya karyawan yang memiliki komitmen tinggi

terhadap organisasi akan menunjukkan upaya lebih maksimal dalam

melakukan tugas. Armstrong (2003) dalam terjemahan bukunya “How to be an Even better Manager” menyebutkan ciri-ciri sebuah organisasi yang efektif, diantaranya adalah tenaga kerja yang termotivasi dengan baik,

memiliki komitmen, berketerampilan dan luwes.

Menurut Boshoff dan Mels (dalam Suyasa, 2004) European Journal of Marketing menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi, dipercaya dapat mendedikasikan waktu, energi, serta

talenta karyawan yang lebih besar kepada organisasi, dibandingkan dengan

karyawan yang tidak memiliki komitmen. Demikian pula diungkapkan dalam

Journal of Management mengenai penelitian oleh Watson Wyatt International yang melakukan survei terhadap 7.500 pekerja di Amerika Serikat. Hasil

penelitian menemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki

karyawan dengan komitmen tinggi terhadap organisasi, memperoleh hasil

lebih baik dalam “3 years total return to shareholder (total keuntungan

perusahaan dalam 3 tahun)” yaitu sebesar 112 %, dibandingkan dengan

(14)

3

rendah, yaitu 76 % (Whitener, 2001). Oleh sebab itu, dapat dilihat jika

komitmen terhadap organisasi tidak diperhatikan dalam suatu organisasi,

maka ada kemungkinan akan menghasilkan dampak yang kurang baik

terhadap kemajuan bidang usaha organisasi.

Meyer & Allen (1997) merumuskan suatu definisi mengenai

komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang

merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya,

dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan

keanggotaannya dalam berorganisasi. Menurut Dani (2016) Komitmen

organisasional dapat diartikan sebagai identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan

yang dinyatakan oleh karyawan untuk organisasi atau unit dari suatu

organisasi, termasuk pada saat pengelolaan konflik yang membutuhkan

komitmen organisasi yang tinggi.

Moyday, Poter, dan Streers (1979) menjelaskan ada dua pendekatan

dalam mengartikan komitmen organisasi yaitu pendekatan komitmen sikap

berfokus pada proses dimana karyawan berfikir mengenai hubungan

karyawan dengan organisasi, seperti kesamaan antara nilai dan tujuan yang

karyawan miliki, menunjukkan kepedulian terhadap nilai dan tujuan

organisasi, serta keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam

organisasi. Kedua pendekatan komitmen perilaku lebih terfokus pada sejauh

mana karyawan menetapkan keputusan untuk terikat pada organisasi

(15)

4

lain diluar pekerjaannya saat ini. Pendekatan ini lebih menekankan pada

proses dimana karyawan mengembangkan komitmen tidak pada organisasi,

tapi pada perilakunya terhadap organisasi. Pendekatan ini juga

menitikberatkan pada investasi karyawan (berupa waktu, pertemanan, dan

kenyamanan) yang membuat ia terikat dan loyal terhadap organisasi.

Perusahaan perlu meningkatkan komitmen karyawannya, salah

satunya dengan berusaha mencari faktor-faktor apa saja yang dapat

mempengaruhi terbentuknya komitmen terhadap organisasi. Menurut

Mowday dkk (dalam Bell dan Mjoli, 2014) salah satu faktor yang

mempengaruhi komitmen terhadap organisasi adalah karakteristik struktural

yang meliputi atas karakteristik organisasi beserta seluruh kebijakan yang

berlaku termasuk di dalamnya kebijakan pimpinan organisasi. Kebijakan

pimpinan organisasi akan mempengaruhi perilaku kerja yang ditampilkan

bawahan.

McShane dan Glinow (2008) menjelaskan bahwa pemimpin

perusahaan menjadi alasan yang kuat dalam kontribusinya terhadap loyalitas

dan komitmen karyawan, karena itu dapat memberikan keuntungan

kompetitif yang signifikan. Karyawan dengan tingkat komitmen tinggi, kecil

kemungkinan untuk keluar dari pekerjaan karyawan dan absen dari pekerjaan.

Sejalan dengan itu, (Starnes dan Truhon, 2006) menjelaskan bahwa

(16)

5

kinerja organisasi mulai memburuk diperlukan seorang pemimpin yang

mampu menyelamatkannya. Dalam kondisi demikian seorang pemimpin

harus melakukan langkah nyata demi memperbaiki komitmen dan

meningkatkan angka kinerja organisasi.

Pemimpin yang mampu menggerakkan anggotanya untuk mencapai tujuan dapat dikategorikan sebagai kepemimpinan yang efektif. Tetapi, efektivitas kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh pemimpin saja, melainkan hasil bersama antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin tidak dapat berbuat banyak tanpa partisipasi orang-orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, orang-orang yang dipimpin tidak akan efektif dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tanpa pengendalian, pengarahan dan kerja sama dengan pemimpin.

Faktor partisipasi ini sangat menentukan dalam kepemimpinan, semakin aktif orang-orang yang dipimpin, maka semakin dinamis kehidupan organisasi tersebut. Luthans (2005) gaya kepemimpinan partisipatif adalah tipe pemimpin yang mempertimbangkan masukan dari bawahan dalam

(17)

6

dan inovasi yang akan berpengaruh pada perkembangan dan kemajuan organisasi.

Nawawi dan Haidari (dalam Soeyitno, 2013) usaha mewujudkan partisipasi anggota organisasi tergantung pada kemampuan membina hubungan manusiawi yang efektif. Hubungan tersebut merupakan peluang bagi anggota untuk mengkomunikasikan hasil berpikir dengan para pemimpin atau para anggota. Pemimpin akan memperoleh kesempatan dalam menggali kreativitas dan inisiatif untuk memajukan dan mengembangkan organisasi. Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan bentuk kepemimpinan dimana atasan harus meminta ide dan saran dari bawahan dan mengundang partisipasi karyawan dalam keputusan yang secara langsung mempengaruhi karyawan.

Di perusahaan bidang pelayanan dan jasa, hotel termasuk perusahaan yang padat karya yang berarti dalam pengelolaannya butuh modal usaha yang besar dengan tenaga kerja yang banyak. Sebuah hotel besar pelayanan dan manajemennya sering beroperasi lebih seperti sebuah perusahaan besar

dengan dewan eksekutif dipimpin oleh General Manager dan terdiri dari

direktur utama menjabat sebagai kepala departemen hotel individu. Setiap

departemen biasanya terdiri dari bawahan line-level manajer dan supervisor yang menangani hari ke hari operasi. Akan tetapi, Sebuah hotel kecil biasanya

hanya terdiri dari tim manajemen inti kecil yang terdiri dari General Manager

(18)

7

Di dalam pengelolaannya, hotel beroperasi 24 jam perhari, sehingga diperlukan adanya komitmen yang besar bagi karyawannya untuk memaksimalkan upaya dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Hal inilah yang menjadi perhatian peneliti sebagai dasar pengambilan variabel komitmen organisasi. Di samping itu, terdapat beberapa faktor yang menjadikan karyawan memiliki komitmen tersebut. Di antara beberapa faktor

itu, McShane dan Glinow (2008) mengemukakan bahwa pemimpin

perusahaan menjadi faktor utama dalam kontribusinya pada loyalitas dan

komitmen karyawan.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti

pada hari Senin tanggal 6 Februari 2017, menemukan adanya fenomena

antara manajer hotel dengan karyawan. pada saat meeting dilakukan, manajer berencana membuat sebuah keputusan tentang beberapa perbaikan tugas, tata

letak ruang kerja dan mendiskusikan beberapa keluhan dari karyawan.

Suasana meeting tersebut terlihat karyawan dengan semangat memberikan masukan dan ide dalam strategi penyelesaian pekerjaan tersebut. Menjelang

meeting selesai, manajer mengajak seluruh karyawan berkumpul dalam satu lingkaran dan menjulurkan tangan masing-masing di tengah lingkaran

tersebut lalu bersorak untuk membangkitkan komitmen dalam bekerja.

Peneliti mengasumsikan satu gaya faktor kepemimpinan partisipatif

menurut persepsi karyawan hotel, bahwa kepemimpinan partisipatif dapat

(19)

8

penjelasan tentang ciri-ciri kepemimpinan partisipatif bahwa setiap keputusan

diambil melalui diskusi bersama pihak-pihak yang terkait dan memberikan

kesempatan kepada bawahan untuk mengajukan pendapat sejauh hal itu

sejalan dengan tujuan organisasi/manajemen. Hal ini membuat karyawan

lebih merasa memiliki perusahaan dan melakukan apapun untuk mendukung

dan bekerja sebaik-baiknya demi mencapai kualitas kerja yang diharapkan

perusahaan. Akan tetapi bagi peneliti itu hanya sekedar asumsi yang belum

dibuktikan, sehingga peneliti berminat untuk mencari jawaban secara

langsung dengan melakukan penelitian pada karyawan di Hotel Andita

Syari'ah Surabaya yang memperkuat peneliti untuk menganalisis hubungan

persepsi karyawan tentang gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen

organisasi.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat ditarik rumusan

masalah sebagai berikut:

“Apakah terdapat hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif

(20)

9

C. Tujuan Penelitian

Dari uraian diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen

organisasi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diantaranya adalah:

1. Secara teoritis

a. Untuk memberikan kontribusi pada ilmu psikologi terutama psikologi

industri dan organisasi dalam mengaplikasikan teori gaya

kepemimpinan partisipatif dan komitmen organisasi.

b. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian

selanjutnya dalam bidang yang sama.

2. Secara praktis

a. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi perusahaan dalam

mengelola sumber daya manusia berdasarkan gaya kepemimpinan

yang dianut terutama gaya kepemimpinan partisipatif.

b. Memberikan sumbangan kajian bagi para pemimpin-pemimpin

perusahaan yang dapat menjadi acuan dan sumbangan ilmu tentang

(21)

10

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan Bell dan Mjoli (2014) menyatakan efek

kepemimpinan partisipasi yang telah diujikan terhadap komitmen organisasi:

membandingkan dengan dua kelompok gender dari pegawai bank. Data yang

diambil dari sampel 70 pegawai bank di Alice dan King Williams Town,

menggunakan kuesioner kepemimpinan partisipatif adaptasi dari Arnold dkk.

(2000) dan kuesioner komitmen organisasi adaptasi dari Mowday dkk.(1979).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh

kepemimpinan partisipatif terhadap komitmen organisasi ditinjau dua

kelompok gender, dan pengaruh positif terhadap komitmen organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Huang, Iun, Liu dan Gong (2010)

memberikan deskripsi tentang kepemimpinan partisipatif diasosiasikan dengan

perbaikan kinerja melalui proses motivasi ataukah proses exchange-based, membedakan pengaruhnya pada karyawan manajer dan karyawan

non-manajer. Data yang dikumpulkan dari sampel 527 karyawan dari 500

perusahaan besar. Gambaran model alat ukur diusulkan Barnard (1938) lebih

dari setengah abad yang lalu, yaitu dua model teoritis dasar Motivational

Model dan Exchange-Based Model. Hasil Penelitian didapati adanya

perbedaan bahwa perilaku kepemimpinan partisipatif oleh manajer senior,

terhadap beban kerja dan Organizational Citizenship Behavior

keorganisasian(OCBO) pada karyawan manajer dimediasi oleh pemberdayaan

(22)

11

manajer, pengaruh kepemimpinan partisipatif pada beban kerja dan OCBO

dimediasi oleh kepercayaan kepada atasannya (Exchange-Based Mediator). Penelitian Anwar (2015) menganalisa pengaruh budaya organisasi

terhadap komitmen organisasi, pengaruh gaya kepemimpinan terhadap

komitmen organisasi dan pengaruh budaya organisasi dan gaya kepemimpinan

terhadap komitmen organisasi dengan tiga alat ukur, yaitu Komitmen

Organisasi, Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan. Metode penelitian

ini menggunakan penelitian kuantitatif berjenis penelitian survey. Populasi

sampel berjumlah 132 orang Purna Paskibraka Indonesia Kabupaten Kutai

Kartanegara. Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan skala

likert dan menggunakan uji coba terpakai atau try out dan diuji menggunakan uji regresi linier berganda dengan bantuan SPSS 22.0 for windows. Hasil

penelitian menunjukkan hipotesis minor pertama terdapat pengaruh yang

signifikan budaya organisasi terhadap komitmen organisasi dengan perolehan

beta = 0,200, t hitung > t tabel = (2,251 > 1.978) dan p = 0,026 < 0,050,

hipotesis minor kedua terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan

terhadap komitmen organisasi dengan perolehan beta = 0,203, t hitung > t

tabel = (2,285 > 1.978) dan p = 0,024< 0,050, hipotesis mayor didapatkan

hasil terdapat pengaruh yang sangat signifikan budaya organisasi dan gaya

kepemimpinan terhadap komitmen organisasi dengan perolehan F hitung > F

(23)

12

Penelitian yang dilakukan Rukmana (2016) bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan partisipatif terhadap work

engagement pada karyawan di PT. Saba Pratama Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan subjek berjumlah 52 karyawan bagian

teknisi. Pengambilan sampling pada penelitian ini adalah random sampling. Teknik pengumpulan data berupa skala work engagement dan skala gaya kepemimpinan partisipatif. Hasil penelitian dianalisis menggunakan teknik

Product Moment dengan menggunakan SPSS versi 16.00 for Windows dengan signifikansi sebesar 0,004 < 0,05 yang menunjukkan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara gaya kepemimpinan partisipatif dengan work engagement.

Penelitian yang dilakukan oleh Vries, Pathak dan Paquin (2010),

menganalisa hubungan antara kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan

partisipatif terhadap hasil kelompok (Team Outcome) dan kebutuhan terhadap kepemimpinan kelompok. Sampel penelitian berjumlah 132 responden yang

terdiri dari level top manajer, di CEO Pasifik Selatan yaitu: 62 orang dari Fiji,

22 orang dari Tonga, 23 orang dari Samoa, 7 orang dari Vanuatu, dan 18

orang dari Solomon Island. Setiap CEO perusahaan dihubungi melalui surat

formal dan tindak lanjut panggilan telepon untuk berpartisipasi dalam proyek

GLOBE. CEO perusahaan diminta 4 nominasi dari delapan manajer tertinggi

untuk mengisi kuesioner. Penelitian ini menggunakan standar pengukuran

(24)

13

dan kepuasan kerja. Pengukuran kepemimpinan menggunakan Multi-Culture

Leader Behavior Questionaire (MCLQ; Hanger & Dickson, 2004), Skala

kepemimpinan kharismatik oleh Bass (1985).Pengukuran pada kebutuhan

terhadap kepemimpinan menggunakan 17 aitem dari Vries dkk.(2002),

pengukuran hasil kelompok (Team Outcome) menggunakan 19 aitem dari Minnesota Satisfaction Questionaire (Weiss, dkk. 1967).Metode tes hipotesis

menggunakan multiple regresi dengan hasil sebagai berikut: Kepemimpinan

kharismatik dan kepemimpinan partisipatif terdapat hubungan yang signifikan

dengan kebutuhan terhadap kepemimpinan. Step kedua kepemimpinan

kharismatik dan kepemimpinan partisipatif dimediasi oleh hasil kelompok

(kepuasan kerja, komitmen dan efektifitas kelompok) menghasilkan pengaruh

interaksi yang signifikan. Kepuasan kerja dan kepemimpinan partisipatif

memiliki prediksi hubungan yang signifikan, tetapi tidak pada kepemimpinan

kharismatik. Sedangkan komitmen dan efektifitas kelompok memiliki

hubungan yang signifikan pada kepemimpinan kharismatik, tetapi tidak pada

kepemimpinan partisipatif.

Penelitian Widyastuti, dkk (2014) bertujuan untuk mengetahui

pengaruh gaya kepemimpinan transformasional dan iklim organisasi terhadap

komitmen organisasi. Subyek penelitian adalah karyawan dan dosen di

Universitas Setia Budi Surakarta sebanyak 65 orang. Analisa data

menggunakan teknik analisis regresi. Hasil analisis menunjukkan koefisien

(25)

14

berarti ada korelasi yang sangat signifikan antara kepemimpinan

transformasional dan iklim organisasi terhadap komitmen organisasi.

Koefisien determinan (R2) sebesar 57,8 % hal ini menunjukkan bahwa

variabel kepemimpinan transformasional dan iklim organisasi mempengaruhi

komitmen organisasi sebesar 57,8% dan 42,2% sisanya dipengaruhi oleh

variabel lain.

Perbedaan dan persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian kali ini

adalah:

1. Penelitian Bell dan Mjoli (2014) Perbedaannya adalah pendekatan yang

diambil menggunakan komparasi sedangkan penelitian ini menggunakan

korelasi dan persamaannya terletak pada variabel kepemimpinan

partisipatif.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Huang, Iun, Liu dan Gong (2010),

perbedaannya adalah sampel yang diambil berdasarkan klasifikasi antara

karyawan manajer dan karyawan non manajer sedangkan persamaannya

terletak pada variable kepemimpinan partisipatif.

3. Penelitian Anwar (2015), perbedaannya terletak pada metode

penelitiannya, yaitu dengan penelitian kuantitatif berbentuk survey serta

variable pengaruhnya dan persamaannya terletak pada variable komitmen

(26)

15

4. Penelitian yang dilakukan Rukmana (2016). Perbedaannya terletak pada salah satu variabel penelitiannya, yaitu work engagement dan persamaannya terletak pada Kepemimpinan partisipatif.

5. Penelitian Vries, Pathak dan Paquin (2010), perbedaannya terletak pada

wilayah penelitian, responden dan pengujian hipotesisnya, wilayah

penelitian dan sampel penelitian di atas digunakan pada CEO perusahaan

dengan responden top level manager dari masing-masing perusahaan, menggunakan pengujian multipel-regresi. Persamaannya terletak pada

korelasi variabel kepemimpinan partisipatif.

6. Penelitian Widyastuti, dkk (2014). Perbedaannya terletak pada jumlah

variabel x yaitu kepemimpinan transformasional dan iklim organisasi.

Meskipun berbeda dalam gaya kepemimpinannya, persamaannya terletak

(27)

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Komitmen Organisasi

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan

diteliti, baik sebagai variable terikat, variabel bebas, maupun variabel

mediator. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan

karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar

organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang

dihasilkannya.

Meyer & Allen (1997) merumuskan suatu definisi mengenai

komitmen organisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan

karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya, dan

memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan

keanggotaannya dalam berorganisasi. Komitmen organisasi sebagai

sebuah konsep yang memiliki tiga dimensi atau komponen, yaitu

affective, continuance, dan normative commitment Affective commitment adalah tingkat seberapa jauh keinginan individu untuk terikat secara

emosional dengan organisasi, mengidentifikasi serta terlibat di dalam

(28)

17

biaya-biaya yang akan ditanggung apabila tidak bergabung dengan

organisasi. Dimensi ini juga didasari oleh tidak adanya alternatif

pekerjaan lain. Normative Commitment adalah tingkat seberapa jauh individu secara psikologis terikat untuk menjadi anggota organisasi yang

didasarkan pada perasaan seperti kesetiaan, afeksi, kehangatan,

pemilikan, kebanggaan, kesenangan, kebahagiaan dan lain-lain.

Mowday, Porter & Steers (1979) mendefinisikan komitmen

terhadap organisasi sebagai (a) keyakinan (belief) dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan organisasi dan nilai-nilai organisasi, (b) Kemauan

(willingness) berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan, dan (c) keinginan (desire) yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Mowday, dkk. (1979) melanjutkan, Ada dua pendekatan dalam

mengartikan komitmen organisasi yaitu pendekatan komitmen sikap

berfokus pada proses dimana karyawan berfikir mengenai hubungan

karyawan dengan organisasi, seperti kesamaan antara nilai dan tujuan

yang karyawan miliki, menunjukkan kepedulian terhadap nilai dan tujuan

organisasi, serta keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya

dalam organisasi. Kedua pendekatan komitmen perilaku lebih terfokus

pada sejauh mana karyawan menetapkan keputusan untuk terikat pada

organisasi berkaitan dengan kerugian bila ia memutuskan untuk

(29)

18

lebih menekankan pada proses dimana karyawan mengembangkan

komitmen tidak pada organisasi, tapi pada perilakunya terhadap

organisasi. Pendekatan ini juga menitikberatkan pada investasi karyawan

(berupa waktu, pertemanan, dan kenyamanan) yang membuat terikat dan

loyal terhadap organisasi.

Menurut Dani (2016) Komitmen organisasi dapat diartikan

sebagai identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang dinyatakan oleh

karyawan untuk organisasi atau unit dari suatu organisasi, termasuk pada

saat pengelolaan konflik yang membutuhkan komitmen organisasi yang

tinggi.

Menurut Djati dan Khusaini (dalam Budianto, 2014), komitmen

organisasi bukan hanya kesetiaan pada organisasi, tetapi suatu proses

mengekspresikan kepedulian karyawan terhadap organisasi dan prestasi

kerja yang tinggi. Komitmen organisasi sebagai suatu sikap karyawan,

bagaimanapun juga akan menentukan perilakunya sebagai perwujudan

dari sikap.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

komitmen organisasi merupakan sikap yang dimiliki oleh karyawan dan

bertujuan untuk memajukan organisasi tempat kerja, berhubungan

dengan kemauan menerima nilai serta tujuan dari organisasi, kesetiaan

dan kemauan karyawan berkorban demi pencapaian tujuan organisasi,

(30)

19

2. Dimensi-dimensi Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi dikemukakan oleh Allen dan Meyer

(1990) dengan tiga komponen organisasi yaitu: komitmen afektif

(affective commitment), komitmen kontinuans (continuance commitment), dan komitmen normative (normative commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah dilihatnya

komitmen sebagai kondisi psikologis yang: (1) menggambarkan

hubungan individu dengan organisasi, dan (2) mempunyai implikasi

dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam

organisasi.

Adapun definisi dan penjelasan dari setiap komponen komitmen

organisasi adalah sebagai berikut.

a. Komitmen afektif mengarah pada the employee's emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada

organisasi, serta keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan

demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan

(31)

20

b. Komitmen kontinuans berkaitan dengan an awareness of the costs associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan

dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan

organisasi. Komitmen kontinuans sejalan dengan pendapat Becker

yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran akan

ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif

tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar.

Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans

ini bertahan dalam organisasi karena karyawan butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain.

c. Komitmen normatif merefleksikan a feeling of obligation to continue employment. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti,

karyawan yang memiliki komitmen normative yang tinggi merasa

bahwa karyawan wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Wiener (dalam Allen & Meyer, 1990) mendefinisikan komponen komitmen

ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan

untuk bertingkah laku tertentu sehingga memenuhi tujuan dan minat

organisasi. Oleh karena itu, tingkah laku karyawan didasari pada

adanya keyakinan tentang “apa yang benar” serta berkaitan dengan

(32)

21

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

a. Faktor yang menyebabkan Komitmen Afektif

Beberapa faktor yang menyebabkan komitmen afektif,

antara lain karakteristik organisasi, karakteristik pribadi, dan

pengalaman kerja. Pertama, karakteristik organisasi yang

mempengaruhi komitmen afektif adalah cara pengambilan kebijakan

perusahaan. Kedua, karakteristik pribadi yang mempengaruhi

komitmen afektif, antara lain variabel demografis, seperti gender,

usia, tingkat pendidikan, dan masa kerja, serta variabel seperti

kepribadian, dan nilai (value) yang dianut. Secara keseluruhan hubungan antara variabel demografis dan komitmen afektif tidak

konsisten dan kurang kuat. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

menyatakan bahwa wanita memiliki komitmen organisasi yang lebih

tinggi daripada pria (Meyer & Allen, 1997).

b. Faktor yang menyebabkan komitmen continuance

Menurut Meyer dan Allen (1997), faktor yang menyebabkan

komitmen rasional adalah investasi yang diberikan pada organisasi

dan alternatif pekerjaan lain. Komitmen rasional (continuance commitment) berkorelasi negatif dengan jumlah alternatif pekerjaan lain serta menariknya pekerjaan lain tersebut (Meyer dan Allen,

(33)

22

berdampak apapun terhadap komitmen rasional apabila karyawan

tidak menyadari dan tidak mengetahui akibatnya.

c. Faktor yang menyebabkan komitmen normatif

Menurut Meyer dan Allen (1997), faktor-faktor yang

menyebabkan komitmen normatif antara lain proses sosialisasi dan

investasi yang diberikan organisasi pada karyawannya. Proses

sosialisasi terjadi di lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja.

Komitmen pada suatu organisasi tidak begitu saja terjadi,

melainkan melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Schultz

(dalam Novianti, 2011) mengidentifikasi bahwa terdapat beberapa faktor

yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:

a. Faktor personal

1) Usia

Hasil penelitian Schultz (1998) menunjukkan bahwa seorang

karyawan atau anggota organisasi yang berusia lebih tua dan

karyawan tersebut telah bergabung dengan organisasi lebih dari

satu tahun dan mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi maka

mereka memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi. Hal

yang sama dikemukakan oleh Robbins (dalam Novianti, 2011)

yang menyatakan bahwa semakin tua usia pegawai, makin tinggi

komitmennya terhadap organisasi, hal ini disebabkan karena

(34)

23

lebih terbatas sejalan dengan meningkatnya usia. Keterbatasan

tersebut di pihak lain dapat meningkatkan persepsi yang lebih

positif mengenai atasan sehingga dapat meningkatkan komitmen

mereka terhadap organisasi.

2) Masa kerja

Penelitian yang dilakukan O’driscoll (dalam Novianti 2011)

terdapat 119 karyawan Bank di New Guinea menunjukkan bahwa

komitmen organisasi berkembang enam bulan setelah karyawan

bergabung dengan organisasi. Hasil penelitian tersebut

memperlihatkan bahwa masa kerja berkorelasi positif dengan

komitmen anggota terhadap organisasi, karyawan dengan masa

kerja yang lebih lama memiliki komitmen terhadap organisasi

yang lebih tinggi.

3) Tingkat pendidikan

Pendidikan sering membentuk keterampilan yang kadang-kadang

tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya dalam pekerjaan sehingga

harapan individu sering tidak terpenuhi dan menimbulkan

kekecewaan terhadap organisasi. Dapat dikatakan semakin tinggi

tingkat pendidikan individu, semakin banyak pula harapan yang

mungkin tidak dapat dipenuhi atau tidak dapat diakomodir oleh

organisasi tempat ia bekerja. Karyawan yang tidak mendapatkan

(35)

24

maupun kuantitas, akan menurunkan komitmennya terhadap

organisasi. Menurut Schultz (1998), karyawan dengan tingkat

pendidikan yang tinggi seperti ilmuan, insinyur atau seorang ahli

spesialis menunjukkan bahwa mereka memiliki komitmen yang

lebih rendah.

4) Jenis kelamin

Hasil penelitian Bell dan Mjoli (2014) menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan pengaruh positif komitmen organisasi ditinjau

dua kelompok gender. Karyawan perempuan memiliki komitmen

organisasi yang lebih tinggi daripada karyawan pria. Tetapi

penelitian yang dilakukan Seniati (Novianti, 2011) pada

penelitiannya mengenai komitmen karyawan di Jakarta, meskipun

responden pria dan perempuan memiliki skor komitmen yang

cukup tinggi, tetapi ditemukan justru karyawan pria memiliki skor

secara signifikan lebih tinggi dibandingkan karyawan perempuan.

b. Peran karyawan dan karakteristik pekerjaan

Mowday, dkk (1979) mengungkapkan terdapat tiga aspek yang

berhubungan dengan peran karyawan dan karakteristik pekerjaan

yang mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu:

1) Tantangan dalam pekerjaan

Menurut Lyman (dalam Mowday, 1979) komitmen organisasi

(36)

25

kebebasan untuk melakukan dan menggunakan keterampilannya

serta keahliannya dalam menjalankan tugas tanpa dipengaruhi

keputusan-keputusan dari atasan. Adanya tantangan dalam

bekerja dapat menaikkan komitmen karyawan. Tantangan kerja

dapat dibangun dengan memperkaya pekerjaan dan tugas-tugas

yang diberikan pada karyawan.

2) Karakteristik peran

Menurut Lyman (dalam Mowday, 1979), karyawan yang

berkaitan dengan karakteristik peran, dalam hal ini adalah

komitmen terhadap organisasi cenderung dimiliki oleh karyawan

yang mempunyai pekerjaan yang bernilai tinggi.

3) Karakteristik unit kerja

Penelitian yang dilakukan Dahesihsari (dalam Novianti, 2011)

karakteristik unit kerja yakni kebijakan-kebijakan organisasi dan

perilaku atasan kepada bawahan, pekerjaan dengan resiko atau

bahaya yang rendah. Kebijakan-kebijakan organisasi menyangkut

nilai, tujuan dan tuntutan organisasi kepada karyawan.

c. Pengalaman kerja

Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi penting

yang mempengaruhi kelekatan psikologis karyawan terhadap

perusahaan. Pengalaman kerja terbukti berkorelasi positif dengan

(37)

26

karyawan percaya bahwa perusahaan memperhatikan minatnya,

merasakan adanya kepentingan pribadi dengan perusahaan dan

seberapa besar harapan-harapan karyawan dapat terpenuhi dalam

pelaksanaan pekerjaannya. Hasil penelitian Widyastuti (2014) yang

menemukan pengaruh kepemimpinan transformasional dan iklim

organisasi yang merupakan bentuk pengalaman kerja terhadap

komitmen organisasi.

Mowday, Steers dan Porter (1979) mengembangkan model

anteseden komitmen organisasi yang meliputi: (1) karakteristik personal,

(2) karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, dan (3)

pengalaman kerja. Beberapa hasil penelitian di luar negeri menunjukkan

bahwa:

a. Karakteristik personal yang terdiri dari usia, masa kerja, tingkat

pendidikan, jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian berkolerasi

dengan komitmen organisasi. (Mathieu & Zajac, 1990; Mowday dkk,

1982).

b. Karakteristik yang berkaitan dengan jabatan atau peran memiliki

sumbangan yang bermakna pada komitmen organisasi. Karakteristik

ini meliputi tantangan pekerjaan, konflik peran, dan ambiguitas

(38)

27

c. Pengalaman kerja memberikan kontribusi yang paling besar terhadap

komitmen organisasi. Pengalaman kerja ini meliputi keterandalan

organisasi (Buchanan, 1974; Herbeniak, 1974; Steers, 1977),

perasaan dipentingkan (Buchanan, 1974; Steers, 1977), realisasi

harapan (Grusky, 1966; Steers, 1977), sikap rekan kerja yang positif

terhadap organisasi (Buchanan, 1974; Steers, 1977), persepsi

terhadap gaji, serta norma kelompok yang berkaitan dengan kerja

keras (Buchanan, 1974).

Allen & Meyer (1990) membagi anteseden komitmen organisasi

berdasarkan tiga komponen komitmen organisasi, yaitu:

a. Anteseden komitmen afektif terdiri dari: karakteristik pribadi,

karakteristik jabatan, pengalaman kerja, serta karakteristik struktural.

Karakteristik structural meliputi besarnya organisasi, kehadiran

serikat kerja, luasnya kontrol, dan sentralisasi otoritas. Dari keempat

anteseden tersebut, anteseden yang paling berpengaruh adalah

pengalaman kerja, terutama pengalaman atas kebutuhan psikologis

untuk merasa nyaman dalam organisasi dan kompeten dalam

menjalankan peran kerja.

b. Anteseden komitmen kontinuans terdiri dari besarnya dan/atau

jumlah investasi atau taruhan sampingan individu, dan persepsi atas

kurangnya alternatif pekerjaan lain. Karyawan yang merasa telah

(39)

28

organisasi akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi karena

akan kehilangan apa yang telah diberikan selama ini. Sebaliknya,

karyawan yang merasa tidak memiliki pilihan kerja lain yang lebih

menarik akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi karena

belum tentu memperoleh sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah

diperolehnya selama ini.

c. Anteseden komitmen normatif terdiri dari pengalaman individu

sebelum masuk ke dalam organisasi (pengalaman dalam keluarga

atau sosialisasi budaya) serta pengalaman sosialisasi selama berada

dalam organisasi. Komitmen normative karyawan dapat tinggi jika

sebelum masuk ke dalam organisasi, orang tua karyawan yang juga

bekerja dalam organisasi tersebut menekankan pentingnya kesetiaan

pada organisasi. Sementara itu, jika organisasi menanamkan

kepercayaan pada karyawan bahwa organisasi mengharapkan

loyalitas karyawan maka karyawan juga akan menunjukkan

komitmen normatif yang tinggi.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anteseden

komitmen organisasi terdiri dari karakteristik personal (usia, masa kerja,

tingkat pendidikan, jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian),

karakteristik jabatan (tantangan pekerjaan, konflik peran, dan ambiguitas

peran), pengalaman kerja (keterandalan organisasi, perasaan

(40)

29

organisasi, persepsi terhadap gaji, serta norma kelompok yang berkaitan

dengan kerja keras dan kepuasan kerja), karakteristik struktural

organisasi (besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol,

dan sentralisasi otoritas), besarnya jumlah investasi individu, persepsi

atas kurangnya alternatif pekerjaan lain, pengalaman individu sebelum

dan selama berada dalam organisasi.

B. Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan Partisipatif 1. Definisi Kepemimpinan

Sujak (1990) menerangkan bahwa kepemimpinan adalah usaha

untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan suatu tindakan

pada diri seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan

tertentu pada situasi tertentu. Selaras dengan pendapat Yukl (dalam

Rukmana, 2016) bahwa kepemimpinan merupakan suatu aktivitas untuk

mempengaruhi dan membuat seluruh karyawan ikut turut serta

memberikan kontribusinya kepada perusahaan agar dapat berjalan sesuai

dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa sikap pemimpin tidak hanya

mempengaruhi tetapi ikut serta dalam memajukan perusahaan.

Menurut Gibson (dalam Kumandang 2016), kepemimpinan

adalah suatu usaha menggunakan gaya mempengaruhi dan tidak

memaksa untuk memotivasi individu dalam mencapai tujuan. Menurut

(41)

30

seni atau proses mempengaruhi sekelompok orang, sehingga mereka mau

bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompok.

Sedangkan kepemimpinan menurut E. Mulyasa dapat diartikan sebagai

kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan untuk

pencapaian tujuan bersama atau organisasi.

Luthans (2005) berpendapat, selain sebagai pengaruh,

kepemimpinan juga didefinisikan sebagai sekelompok proses,

kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang,

pencapaian tujuan, interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan

kombinasi dari dua atau lebih dari hal-hal tersebut. Sedangkan menurut

Haidari & Nawawi (2006) kepemimpinan merupakan proses rangkaian

yang saling berhubungan satu dengan yang lain, meskipun tidak

mengikuti rangkaian yang sistematis. Rangkaian itu berisi kegiatan

menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan serta mengawasi orang

lain dengan berbuat sesuatu, baik secara perorangan ataupun

bersama-sama. Oleh karena itu, kepemimpinan juga merupakan proses interaksi

pemimpin dengan sekelompok orang lain, yang menyebabkan

orang-orang atau kelompok berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan adalah kemampuan yang sanggup meyakinkan orang lain

(42)

31

pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai tujuan perusahaan yang

diinginkan.

2. Fungsi Kepemimpinan

Fungsi kepemimpinan menurut Hill dan Caroll (1997) yaitu

memiliki dua dimensi diantaranya:

a. Dimensi tingkat kemampuan mengarahkan (direction) tindakan atau aktifitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang

dipimpinnya.

b. Dimensi tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas kelompok atau organisasi,

yang dijabarkan melalui keputusan dan kebijaksanaan pemimpin.

Terdapat lima fungsi kepemimpinan, yakni:

a. Pemimpin sebagai penentu arah yang hendak ditempuh oleh

organisasi menuju tujuannya sedemikian rupa sehingga

mengoptimalkan penempatan segala sarana dan prasarana yang

tersedia.

b. Pemimpin sebagai wakil atau juru bicara resmi organisasi dalam

hubungan dengan berbagai pihak di luar organisasi.

c. Pemimpin sebagai komunikator yang efektif yaitu suatu proses

pemeliharaan hubungan yang baik ke dalam maupun keluar oleh

(43)

32

d. Pemimpin sebagai moderator yang handal yang berfungsi sebagai

mediator dalam menyelesaikan situasi kompleks yang mungkin

timbul dalam organisasi, tanpa mengurangi pentingnya situasi konflik

dalam hubungan keluar yang dihadapi dan diatasi.

3. Definisi Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Sadili (2006) yaitu

merupakan perilaku yang unik dan tidak dapat diwariskan secara

otomatis kepada siapapun. Setiap pemimpin memiliki karakteristik yang

timbul pada situasi yang berbeda. Sedangkan menurut Suad Husnan

(2002) gaya kepemimpinan sendiri dapat didefinisikan sebagai pola

tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi

dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Menurut Veihzal Rivai & Deddy Mulyadi (dalam Kumandang

2016) Gaya kepemimpinan merupakan sekumpulan ciri yang digunakan

pemimpin untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai

atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola

perilaku dan strategi yang dikuasai dan sering diterapkan oleh pemimpin.

Adapun definisi gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh

Thoha (dalam Kumandang 2016), merupakan norma perilaku yang

digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi

perilaku orang lain seperti yang dilihat. Gaya kepemimpinan merupakan

(44)

33

mempengaruhi bawahannya, apa yang dipilih oleh pemimpin untuk

dikerjakan, cara pemimpin bertindak dalam mempengaruhi anggota

kelompok membentuk kepemimpinannya.

Dari beberapa pengertian tentang definisi gaya kepemimpinan,

dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh

dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak

tampak oleh bawahannya. Pola perilaku yang khas pada saat

mempengaruhi bawahannya, apa yang dipilih oleh pemimpin untuk

dikerjakan, cara pemimpin bertindak dalam mempengaruhi anggota

kelompok membentuk kepemimpinan.

4. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan

Kurt Lewin (wikipedia.org/wiki/Kurt_Lewin) menyebutkan tiga

gaya kepemimpinan:

a. Otokratik, yaitu gaya kepemimpinan berpusat pada seorang

pemimpin sebagai penentu segala keputusan dan anak buah tidak

mempunyai hak untuk berpendapat. Anak buah hanya menjalankan

instruksi yang diberikan. Pola komunikasi terjadi satu arah dari

pemimpin ke anak buah. Dengan pola kepemimpinan ini, semua

tugas yang diberikan harus diselesaikan karena pemimpin

memastikan semuanya berjalan sesuai yang diperintahkan.

b. Demokratik, yaitu gaya kepemimpinan yang memberikan tanggung

(45)

34

dan fungsi masing-masing. Semua terlibat aktif dalam mengambil

keputusan dan boleh memberikan masukan kepada anggota maupun

kepada pimpinan. Pemimpin bersikap terbuka kepada usul yang

diberikan karena menganggap semua usul baik adanya untuk

kemajuan perusahaan. Pemimpin merasa bahwa semua anggota pasti

mempunyai kelebihan dan merupakan pribadi yang unik. Gaya

kepemimpinan ini menyeimbangkan antara tugas yang diberikan

harus terselesaikan dengan baik dan penting menjaga hubungan

harmonis antar anggota tim.

c. laissez-faire, yaitu gaya kepemimpinan yang memberikan kebebasan mutlak kepada anak buah untuk berkreasi. Dalam hal ini, pemimpin

bersifat pasif dan menunggu semuanya dari anak buah. Pola

kepemimpinan yang terjadi adalah satu arah dari anak buah kepada

pimpinan. Gaya kepemimpinan ini cocok diterapkan jika mempunyai

anak buah dengan inisiatif yang baik. Pemimpin hanya memberikan

arahan singkat berupa tujuan umum saja dan selebihnya diberikan

kepada anak buah. Pembagian tugas dan kelompok juga diserahkan

kepada anak buah.

Adapun jenis kepemimpinan yang lain, yaitu kepemimpinan

transformatif, menurut Bass dan Avolio (1996) yang dikutip oleh

Kushariyanti (2007), kepemimpinan transformatif merupakan salah satu

(46)

35

kepemimpinan atasan yang nyata ada dan mampu memuat pola-pola

perilaku dari teori kepemimpinan lain.

Selanjutnya menurut Bass (1996), gaya kepemimpinan

transformasional cenderung membangun kesadaran para bawahannya

mengenai pentingnya nilai kerja dan tugas mereka. Pemimpin berusaha

memperluas dan meningkatkan kebutuhan melebihi minat pribadi serta

mendorong perubahan tersebut kea rah kepentingan bersama termasuk

kepentingan organisasi.

Sedangkan menurut Robert House (1971), terdapat empat

macam gaya kepemimpinan.

a. Kepemimpinan Direktif: Pemimpin yang memberikan kesempatan

kepada bawahan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan

bagaimana cara melakukannya, menjadwalkan pekerjaan dan

mempertahankan standar kinerja.

b. Kepemimpinan Partisipatif: Pemimpin yang berkonsultasi dengan

para karyawan dan secara serius mempertimbangkan gagasan

karyawan pada saat pengambilan keputusan.

c. Kepemimpinan Suportif: Pemimpin yang menunjukkan kepedulian

terhadap kesejahteraan dan kebutuhan karyawan, bersikap ramah dan

dapat didekati serta memperlakukan para pekerja sebagai orang yang

(47)

36

d. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi: dengan menetapkan

tujuan yang menantang untuk mendorong para karyawan berprestasi

pada tingkat tertinggi karyawan untuk menghasilkan kesempurnaan

yang bisa membangkitkan kepercayaan diri para karyawan akan

kemampuan karyawan.

5. Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Sutikno (1990) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan

partisipatif artinya pemimpin dan anggota berada dalam satu kesatuan

dan bekerjasama menyelesaikan masalah. Yukl (2010) menjelaskan

kepemimpinan partisipatif yaitu menyangkut usaha-usaha seorang

pemimpin untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang lain

dalam membuat keputusan. Partisipasi memiliki banyak bentuk, dimulai

dari melakukan revisi keputusan tentatif setelah menerima protes,

meminta saran sebelum membuat keputusan, meminta seseorang atau

kelompok untuk bersama-sama membuat suatu keputusan, mengizinkan

orang lain untuk membuat suatu keputusan bergantung pada persetujuan

akhir pemimpin. Mengikutsertakan orang lain dalam membuat keputusan

sering merupakan kebutuhan agar keputusan tersebut diterima dan

diimplementasikan.

Menurut Sujak (1990) pemimpin yang memiliki gaya partisipatif

mempunyai kepercayaan yang sempurna terhadap bawahannya. Dalam

(48)

37

dan pendapat-pendapat lainnya dari bawahan, dan mempunyai niat untuk

mempergunakan pendapat bawahan serta konstruktif. Gaya

kepemimpinan partisipatif memiliki kekuatan untuk memotivasi

bawahannya, dengan meningkatnya motivasi kerja tersebut dan

pemimpin melaksanakannya dengan persuasif maka akan terciptanya

kerjasama yang serasi antara pemimpin dan bawahannya, menumbuhkan

loyalitas bawahan, dan yang terpenting mampu menumbuhkan partisipasi

bawahan.

Menurut Hasibuan (dalam Kumandang 2016), kepemimpinan

partisipatif yaitu jika seorang pemimpin dalam melaksanakan

kepemimpinannya dilakukan secara persuasif, menciptakan kerjasama

yang serasi, menumbuhkan loyalitas dan partisipasi bawahan. Pemimpin

memotivasi para bawahan agar mereka serasa ikut memiliki perusahaan.

Falsafah pemimpin, pemimpin adalah untuk bawahan, dan bawahan

diminta untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan

dengan memberikan informasi, saran-saran dan pertimbangan. Pemimpin

menerapkan sistem manajemen terbuka (open management). Informasi dan kaderisasi mendapatkan perhatian yang serius.

Manfaat dari kepemimpinan partisipatif itu sendiri adalah untuk

menghasilkan kualitas keputusan yang lebih baik dan penerimaan

keputusan lebih besar oleh orang yang akan menerapkannya.

(49)

38

efektif pada situasi tertentu, tetapi tidak pada waktu lainnya. Yang perlu

diingat adalah bahwa partisipasi tidak mungkin efektif jika partisipan

potensial tidak memiliki sasaran yang sama dari pemimpin tersebut, jika

karyawan tidak ingin menerima tanggung jawab untuk membantu dalam

pengambilan keputusan serta tidak mempercayai pemimpin tersebut.

Yukl (2010) menambahkan bahwa kepemimpinan partisipatif

mengandung beberapa hal positif:

a. Dalam hal kualitas keputusan, melibatkan orang lain dalam proses

pembuatan keputusan akan berdampak positif terhadap kualitas

keputusan. mengingat para partisipan bisa jadi memiliki informasi

dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh pemimpin sehingga kerja

sama banyak pihak akan menemukan solusi yang baik atas masalah

yang dihadapi.

b. Dalam hal tingkat penerimaan terhadap suatu keputusan, proses yang

partisipatif akan memperoleh kepuasan terhadap proses keputusan

karena pihak yang terkait dengan keputusan tersebut memandang

bahwa karyawan diperlakukan dengan bermartabat dan rasa hormat

dengan adanya kesempatan untuk terlibat dalam proses kebijakan

yang akan berdampak terhadap karyawan.

c. Dalam hal pengembangan keterampilan partisipan melalui

(50)

39

sehingga karyawan bisa belajar lebih banyak daripada hanya

berpartisipasi dalam beberapa aspek proses saja.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya

kepemimpinan partisipatif adalah gaya kepemimpinan yang

menyeimbangkan keterlibatan pemimpin dengan bawahannya yaitu

memberikan informasi, saran-saran dan pertimbangan, serta menerima

tanggung jawab untuk membantu dalam pengambilan keputusan dalam

penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi perusahaan.

6. Aspek Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Sutikno (1990) memberi penjelasan tentang ciri-ciri

kepemimpinan partisipatif, yaitu:

a. Setiap keputusan diambil melalui diskusi bersama pihak-pihak yang

terkait.

b. Dalam menyelesaikan tugas-tugas, karyawan diberi wewenang, hak,

dan tanggung jawab secukupnya untuk menerapkan caranya sendiri

yang dianggap efisien.

c. Menilai bawahan secara rasional, dengan melihat data dan fakta.

d. Memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengajukan

pendapat sejauh hal itu sejalan dengan tujuan organisasi/manajemen.

e. Tidak kaku dalam mengawasi pekerjaan bawahan karena

membangun sinergi melalui interaksi yang selaras dengan falsafah

(51)

40

Sedangkan menurut Nawawi (2006) kepemimpinan partisipatif

sama pemahamannya dengan kepemimpinan kompromi (compromiser)

yang menunjukkan karakteristik, sebagai berikut:

a. Seorang pemimpin dalam gaya ini untuk mempertahankan

kekuasaannya tidak berorientasi pada anggota organisasi, tetapi pada

pimpinan atasannya yang berpengaruh dan menentukan jabatan

kepemimpinannya.

b. Mengikutsertakan bawahan dalam mengambil keputusan, bukan

untuk kesempatan menyampaikan gagasan, kreativitas dan lain-lain.

c. Dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan, pemimpin

selalu memperhitungkan untung rugi bagi dirinya bukan bagi

bawahan atau organisasinya.

d. Tidak tertarik pada pengembangan pekerjaan dan organisasi

melainkan untuk menjalankan tugas guna mempertahankan

kepemimpinannya.

e. Mampu bekerja sama dengan bawahan dalam melaksanakan

pekerjaan.

f. Memberikan dorongan (motivasi) secara selektif pada anggota

(52)

41

Adapun dimensi dan indikator dari kepemimpinan partisipatif

menurut Vroom dan Yetto (1973), House dan Mitchell (1974) yaitu:

a. Proses pengambilan keputusan

1) Konsultasi

Dengan indikator: pemecahan masalah yang relevan dengan

bawahan secara individual dan kelompok, kesesuaian saran atau

ide atasan dengan bawahan secara individual dan kelompok.

2) Partisipatif

Dalam partisipatif, pemimpin dalam memecahkan masalah

bersama yang relevan dengan bawahan secara kelompok, tingkat

keserasian antara atasan dan bawahan dalam menciptakan dan

mengevaluasi dalam memecahkan masalah, peran atasan

terhadap bawahannya.

b. Variabel situasi

1) Karakteristik tugas

Pemimpin memberikan tugas yang tidak terstruktur kepada

bawahannya, memberikan peran yang jelas kepada bawahannya.

2) Lingkungan karakteristik bawahan

Bawahan merasa senang dalam bekerja, bawahan puas dengan

pekerjaannya, bawahan mempunyai keinginan untuk berhasil

(53)

42

c. Penerimaan keputusan

1) Komitmen

Bawahan berkomitmen untuk melaksanakan suatu keputusan.

2) Keputusan

Bawahan memiliki kepuasan terhadap keputusan yang diambil.

d. Peraturan keputusan

1) Waktu

Adanya tekanan waktu pekerjaan terhadap bawahan.

2) Motivasi

Pemimpin mempunyai keinginan untuk mengembangkan

bawahannya.

7. Keuntungan-keuntungan potensial dari kepemimpinan partisipatif

Kepemimpinan partisipatif menawarkan sejumlah keuntungan

yang potensial. Pemimpin kemungkinan akan meningkatkan kualitas bila

para karyawan mempunyai informasi dan pengetahuan yang tidak

dipunyai pemimpin tersebut dan bersedia untuk kerja sama dalam

mencari suatu pemecahan yang baik untuk suatu masalah keputusan. Di

samping itu, peluang untuk memperoleh suatu pengaruh terhadap hak

tersebut, jika semakin banyak pengaruh yang dipunyai seseorang

terhadap sebuah keputusan, maka semakin besar pula kemungkinan akan

(54)

43

Konsultasi kepada bawahan dapat digunakan untuk:

a. Meningkatkan kualitas keputusan-keputusan dengan menarik

pengetahuan dan keahlian para bawahan dalam pemecahan masalah.

b. Meningkatkan penerimaan bawahan terhadap keputusan-keputusan

dengan memberikan bawahan rasa turut memiliki.

c. Mengembangkan keterampilan dalam keputusan para bawahan

dengan memberikan pengalaman kepada bawahan dalam membantu

menganalisis masalah-masalah keputusan dan mengevaluasi

pemecahan-pemecahannya.

d. Membatasi keputusan-keputusan yang dibutuhkan sehingga waktu

tidak dibuang-buang dalam pertemuan yang tidak perlu.

Konsultasi kepada atasan dapat digunakan untuk:

a. Memungkinkan bawahan untuk dapat menarik keahlian pemimpin

b. Pemimpin agar mengetahui masalah yang dihadapi bawahan dan

dapat bereaksi terhadap usulan bawahan tersebut.

c. Mengurangi rasa percaya diri dari kemungkinan terlalu tergantung

pada pemimpin dalam membuat keputusan.

Konsultasi dengan pihak luar digunakan untuk:

a. Membantu memastikan bahwa keputusan-keputusan yang

mempengaruhi mereka dipahami dan diterima oleh para langganan

dan pemasok.

(55)

44

c. Memperkuat jaringan kerja eksternal

d. Memperbaiki koordinasi

e. Memecahkan masalah bersama yang berhubungan dengan pekerjaan.

C. Persepsi

Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (2011) adalah

proses penerimaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh

informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, atau

peraba), sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.

Menurut Irwanto (2002) persepsi merupakan proses diterimanya

rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai

rangsang itu disadari dan dimengerti. Karena persepsi bukan sekedar

penginderaan, maka persepsi disebut juga sebagai the interpretation of experience (penafsiran pengalaman). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Gibson (dalam kumandang, 2016) bahwa persepsi mencakup kognisi

(pengetahuan). Persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian

stimulus, dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi

dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap.

Menurut Robbins (1998) persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu

proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra agar memberi makna

pada lingkungan. Persepsi seseorang terhadap suatu realitas akan mendasari

(56)

45

mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses yang terintegrasi dari

individu seperti pengalaman, emosi, kemampuan berpikir serta aspek-aspek

lain yang ada dalam diri individu ikut berperan aktif dalam proses tersebut.

Proses yang terintegrasi tersebut menyebabkan stimulus yang sama dapat

dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda pula.

Menurut Moskowitz dan Orgel (dalam Kushariyanti, 2007) bahwa

persepsi merupakan proses yang terintegrasi dari individu terhadap stimulus

yang diterimanya sehingga seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti

pengalaman, emosi, kemampuan berfikir serta aspek-aspek lain yang ada

dalam diri individu ikut berperan aktif dalam proses tersebut. Proses yang

terintegrasi tersebut menyebabkan stimulus yang sama dapat dipersepsikan

berbeda oleh individu yang berbeda pula.

Jadi, persepsi merupakan proses mengorganisasikan, menafsirkan dan

memandang kesan indera agar memberi makna pada lingkungan atau

peristiwa berdasarkan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat

mempengaruhi perilaku yang muncul.

D. Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa persepsi merupakan

pemaknaan terhadap peristiwa, objek ataupun manusia berdasarkan

pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan gaya kepemimpinan partisipatif yaitu

(57)

46

untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi

perusahaan.

Menurut Soeyitno (2013), persepsi karyawan terhadap gaya

kepemimpinan partisipatif atasan yaitu merupakan suatu proses pemaknaan

(yang terdiri dari memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan dan

menafsirkan) mengenai gaya kepemimpinan partisipatif yang diterapkan oleh

atasan, dimana atasan harus meminta ide dan saran dari bawahan serta

mengundang partisipasi karyawan dalam keputusan yang secara langsung

mempengaruhi karyawan.

Siagian (dalam Kumandang, 2016) mengungkapkan gaya

kepemimpinan partisipatif juga merupakan suatu cara yang dimiliki oleh

seseorang dalam mempengaruhi sekelompok orang atau bawahan untuk

bekerja sama dan berupaya dengan penuh semangat, motivasi dan keyakinan

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dapat dikatakan bahwa mutu

kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan

yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut terutama dalam

membentuk suatu komitmen pada pegawainya.

Dapat disimpulkan mengenai persepsi terhadap gaya kepemimpinan

partisipatif yaitu suatu proses pemaknaan karyawan berdasarkan pengamatan

mengenai kepemimpinan atasan yang melibatkan partisipasi pemimpin dan

karyawan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perusahaan termasuk

(58)

47

Penelitian yang dilakukan Bell dan Mjoli (2014) menyatakan efek

kepemimpinan partisipasi yang telah diujikan terhadap komitmen organisasi.

Membandingkan dengan dua kelompok gender dari pegawai bank. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh kepemimpinan

partisipatif terhadap komitmen organisasi ditinjau dua kelompok gender dan

terdapat pengaruh yang positif terhadap komitmen organisasi.

E. Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif dengan Komitmen Organisasi

Persepsi gaya kepemimpinan partisipatif merupakan penilaian

karyawan tentang kepemimpinan yang melibatkan karyawan dalam

aktifitasnya di perusahaan, termasuk mencari ide atau solusi untuk

pemecahan masalah dan memerlukan pertimbangan atau saran dari karyawan

untuk mengambil keputu

Gambar

tabel = (2,285 > 1.978) dan p = 0,024< 0,050, hipotesis mayor didapatkan
  Table 1 Format Skoring Skala Likert
Tabel 2 Blue Print Skala Komitmen Organisasi
 Tabel 3 Blue Print Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan pada penelitian , terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan berupa

Dalam penulisan skripsi ini, penulis bekerja sama dengan pengelola Bunga Tanjung Home Industry untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan melakukan penelitian untuk

[r]

Saran yang dapat diberikan kepada Pihak Bank Mandiri sebaiknya memperhatikan pelayanan berupa pemberian perhatian khusus bagi nasabah pada saat bertransaksi agar nasabah

Selisih jumlah pendapatan dengan jumlah beban merupakan saldo (sisa) laba atau saldo (sisa) rugi. Bentuk ini banyak digunakan dalam perusahaan jasa. Bentuk laporan Rugi laba

Pada triwulan I-2012 porsi penyaluran kredit oleh bank umum dan BPR di Kota Padang sebesar 36,3% dari total kredit di Sumbar, menurun secara perlahan dibandingkan periode yang

Pembuktian kualifikasi dilakukan oleh direktur atau yang mewakili (orang yang mewakili diwajibkan membawa surat tugas dan/atau surat kuasa).. Apabila Saudara tidak hadir

Saudara dianjurkan untuk menghadiri pemberian penjelasan pada tempat dan waKu yang ditentukan dalam Lembar Data Pemilihan (LDP), aqar Saudara lebih memahami linqkup