SKRIPSI
Oleh: Ayu Dwi Lestari NIM: C01212010
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan dengan judul Analisis Mas}lah}ah Mursalah Terhadap Kriminalisasi Poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Material Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Rumusan masalah adalah: Mengapa Rancangan Undang-undang hukum material Peradilan Agama Bidang Perkawinan mengatur tentang Kriminalisasi terhadap pelaksanaan poligami sirri? Bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang kriminalisasi poligami dalam rancangan undang-undang hukum material peradilan agama bidang perkawinan?
Penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif yaitu untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara jelas tentang kriminalisasi poligami dalam Rancangan Undang-Undang hukum material Peradilan Agama bidang Perkawinan. Selanjutnya di analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu diawali dengan menggunakan teori atau dalil yang bersifat umum kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat khusus, atau data yang bersifat khusus kemudian ditarik diambil dengan bersifat umum tentang perkawinan, kemudian di analisis secara hukum Islam yang fokus pada mas}lah}ah mursalah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya rancangan undang-undang hukum material peradilan agama bidang perkawinan tentang kriminalisasi poligami menegaskan bahwa poligami yang dilakukan dengan tidak ada ijin terlebih dahulu dari pengadilan akan mendapat ancaman pidana. Dengan alasan banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkawinan tersebut terutama hak keperdataan istri dan anak jika timbul permasalahan di kemudian hari.
Hasil analisis menjelas bahwa sanksi pidana tersebut berlaku bagi pelaku poligami tanpa ada ijin dari Pengadilan dimaksudkan untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia terutama tidak merugikan pihak anak-anak dan perempuan (istri) dan menghindari dari kemadharatan. Sedangkan perubahan zaman dan waktu pasti berpengaruh pada perubahan hukum.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
MOTTO ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional ... 15
H. Metode Penelitian ... 16
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG MAS}LAH}AH MURSALAH, POLIGAMI, DAN PERKAWINAN TIDAK DICATAT A. Teori Mas}lah}ah ... 22
1. Pengertian mas}lah}ah ... 22
2. Macam-macam mas}lah}a ... 25
1. Pengertian mas}lah}ah mursalah ... 31
2. Kehujahan dan syarat-syarat mas}lah}ah mursalah ... 34
3. Aplikasi mas}lah}ah mursalah dalam kehidupan ... 37
C. Teori Poligami ... 39
1. Pengertian poligami ... 39
2. Dasar hukum dan syarat-syarat poligami ... 41
D. Perkawinan Tidak Dicatat ... 45
BAB III : KRIMINALISASI POLIGAMI DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM MATERIAL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN A. Latar belakang lahirnya rancangan undang-undang hukum material Peradilan Agama bidang Perkawinan ... 48
B. Pengertian Kriminalisasi poligami... 51
C. Ketentuan kriminalisasi poligami sirri dalam rancangan undang-undang hukum material Peradilan Agama bidang perkawinan ... 54
BAB IV : KRIMINALISASI POLIGAMI DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM MATERIAL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH A. Analisis Latar belakang Rancangan Undang-Undang hukum material bidang Perkawinan ... 64
B. Analisis Pengertian terhadap Kriminalisasi ... 66
C. Ketentuan Hukum Kriminalisasi Poligami dalam Rancangan Undang-Undang hukum material Peradilan Agama Bidang Perkawinan ... 67
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 77
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu keluarga di bentuk mula-mula adanya suatu ikatan perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, karena menurut ajaran Islam
perkawinan hal yang dianjurkan untuk mendapatkan ketentraman dan juga
melestarikan keturunan bagi yang melakukannya, sebagaimana yang
disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surat al-Sa@ffa@t ayat 77:
.
Artinya: “Dan Kami jadikan anak cucunya yang melanjutkan
keturunan”.1
Pernikahan merupakan sunna@tullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan
bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.2
Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-d}hamu yang artinya kumpul.
Makna nikah (zawa@j) bisa diartikan dengan ‘aqdu al-tazwi@j yang artinya akad
nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.
Definisi yang hampir sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmat
1 Departeman Agama RI, Al Quran Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syammil Media Cipta, 2006), 995.
Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nika@h}un” yang
merupakan mas}dar dari kata kerja (fi’il ma@d}hi) “nakah}a”, sinonimnya
“tazawwaja” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.3
Dalam Islam juga mengenal istilah poligami. Kata poligami, secara
etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan
gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka
poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.
Jadi pengertian poligami, menurut bahasa Indonesia adalah sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan
jenisnya di waktu yang bersamaan. Seorang laki-laki yang mempunyai istri
lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, lebih tepat di sebut poligini
bukan poligam. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang
dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan
lebih dari seorang perempuan dalam waktu bersamaan.4
Islam membolehkan laki-laki melaksanakan poligami sebagai
alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks
laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar
tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas
diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar
suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan
mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat
bisa berlaku adil.5 Poligami dalam Islam dibatasi dengan syarat-syarat
tertentu yaitu:6
1. Jumlah istri yang boleh di poligami paling banyak empat orang wanita,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman Allah SWT surat
al-Nisa@’ ayat 3:
Artinya: “Maka kawinilah wanit-wanita (lain) yang kami senangi dua, tiga, aatau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
2. Laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang
menyangkut masalah-masalah lahiriyah seperti pembagian waktu,
pemberian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahir.
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan
atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan mempunyai nilai
ibadah. Maka, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 menegaskannya
sebagai akad yang sangat kuat (mi@tha@qan ghali@z}an) untuk menaati perintah
Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan
merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera
melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat
penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina.7 Sementara dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 1 dijelaskan bahwa, “perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.8 Selain itu, dalam KHI pada
Pasal 3,9 dijelaskan bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang saki@nah, mawaddah, dan rah}mah”.
Poligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang perkawinan
serta Pasal 56 dan 57 Kompilasi Hukum Islam yang intinya menyatakan:
seorang suami dapat mengajukan permohonan untuk poligami ke Pengadilan.
Adapun alasan poligami yang dibolehkan adalah: istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan
keturunan. dan untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: adanya perjanjian dari
istri/istri-sitri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.10
7Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,1997)., 69. 8 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan
Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,1995), 43.
Perkawinan yang dilakukan menurut fiqh muna@ka@ha@t, harus
memenuhi rukun nikah yaitu ada calon suami, calon istri, wali nikah, saksi,
akad nikah dan mahar.11 Selain harus memenuhi rukun nikah, dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (2) menyatakan
“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.12
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan melalui
jenjang perkawinan. Dengan demikian, menikah menjadi hal yang sangat
urgen dikalangan masyarakat yang mengacu pada prosedur yang telah
ditetapkan. Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat
maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi, dan kehidupan
masyarakat moderen menginginkan akta surat sebagai bukti otentik, karena
saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan. Dengan demikian akta adalah salah
satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.13
Dalam KHI Pasal 5 ayat (1) mengatakan “agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
Pencatatn perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, yakni bagi mereka yang
11 Selamet Abidin, Fiqih Muna@ka@ha@t, (Jakarta:CV. Pustaka Setia,1999), 64. 12 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,
13I’is Inayatal Afiyah, “Pencatatan Nikah Perspektif Mas}lah}ah (Analisis RUU Hukum Materiil
beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk di
Kantor Urusan Agama (KUA).14
Dari berbagai fiqh muna@ka@ha@t yang ada, dapat kita ketahui bahwa
pengaturan pernikahan yang sesuai dengan fiqh muna@ka@ha@t dan hukum
positif yang berlaku adalah bertujuan untuk memuliakan baik suami maupun
istri yang terikat dalam tali perkawinan tersebut. Akan tetapi fenomena
pernikahan yang terjadi sekarang ini sudah banyak yang menyimpang aturan
fiqh muna@ka@ha@t maupun hukum positif, khususnya pernikahan sirri yang
banyak terjadi di Indonesia karena berbagai alasan. Mulai dari alasan
ekonomi, sosial, dan perbedaan pemahaman.15
Dan dalam prakteknya di masyarakat, ketentuan pembatasan
poligami melalui izin Pengadilan, tidak cukup efektif untuk mengurangi
poligami yang dilakukan di luar Pengadilan. dan sekarang banyak
perkawinan semu dimana para suami melakukan hubungan dengan
perempuan lain, apakah melalui poligami di luar Pengadilan dengan
melakukan nikah di bawah tangan (nikah sirri).16 Poligami tanpa izin dari
Pengadilan dilarang oleh Pemerintah. Karena masalah ini sangat besar
dampaknya terhadap akibat hukum dari perkawinan itu, terutama yang
14 Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, 35-36.
15Khilyatus Sa’adah, “Analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan terhadap Hukuman Pelaku Nikah Sirri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan”, (Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya,2014), 4-5.
menyangkut dengan pembuktian nasab (hubungan darah atau keturunan),
masalah harta bersama antara suami istri, hak saling mewaris antara anak
dan orang tua, demikian juga suami istri.17
Maka dari itu pada saat ini banyak pemberitaan tentang kriminalisasi
poligami dalam Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan
Agama bidang perkawinan. Bahkan perkawinan tersebut dianggap sebuah
tindak pidana pelanggaran. Bahkan perkawinan tersebut akan di berikan
ancaman hukuman denda maksimal sebesar 6 juta atau kurungan 6 bulan.
Dengan munculnya Rancangan Undang-undang hukum materiil
Peradilan Agama bidang perkawinan bahwa perkawinan yang tidak
dicatatkan dan poligami yang dilakukan tidak ada izin dari Pengadilan di
sebut sebuah tindak pidana yaitu tindak pidana pelanggaran dan mendapat
ancaman kurungan dan/atau denda, dan ini menarik untuk diteliti. Dengan
adanya hal ini banyak diperdebatkan oleh berbagai pihak,ada yang pro juga
ada yang kontra. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD sepakat dengan
pelanggaran pernikahan sirri dalam RUU hukum materiil Peradilan Agama
bidang perkawinan dipidanakan, karena di nilai banyak pihak-pihak yang
dirugikan.18 Maka adanya Rancangan Undang-Undang hukum materiil
Peradilan Agama bidang Perkawinan ini mereka yang mendukung
beranggapan bahwa RUU ini bukanlah sebuah batasan atau kejahatan yang
17 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan…, 71. 18M. Nurul Irfan, “Kriminalisasi Poligami dan Nikah Sirrî”, dalam
menghalangi orang untuk melaksanakan perkawinan, akan tetapi membawa
kemaslahatan, yang mencegah adanya kerugian yang akan dialami oleh salah
satu pihak.
Dari latarbelakang yang diuraikan di atas peneliti akan mengkaji
lebih mendalam dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Mas}lah}ah
Mursalah terhadap Kriminalisasi Poligami Sirri dalam Draft Rancangan
Undang-Undang Hukum Material Peradilan Agama”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau dilaksanakan di depan Pejabat
Pencatat Nikah (PPN).
2. Poligami yang tidak ada izin dari Pengadilan.
3. Akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah.
4. Sebab-sebab yang melatarbelakangi dibentuknya Rancangan
Undang-Undang hukum material Peradilan Agama bidang perkawinan.
5. Analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang kriminalisasi
poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum material
Dari beberapa identifikasi masalah diatas, peneliti membatasi
masalah untuk menghindari munculnya berbagai permasalahan di luar
pembahasan skripsi ini sebagai berikut:
1. Sebab-sebab yang melatarbelakangi dibentuknya Rancangan
Undang-Undang hukum material Peradilan Agama bidang perkawinan..
2. Analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang kriminalisasi
poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum material
Peradilan Agama.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah yang
dijelaskan di atas, muncul beberapa masalah penelitian yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa Rancangan Undang-Undang Hukum Material Peradilan Agama
mengatur tentang Kriminalisasi pelaksanaan poligami sirri?
2. Bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang
kriminalisasi poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum
material Peradilan Agama.?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak
merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah
ada.
Setelah peneliti melakukan pencarian terhadap penelitian sebelumnya
terkait analisis hukum Islam terhadap kriminalisasi poligami sirri dalam
Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang
perkawinan belum di bahas pada penelitian sebelumnya. Dari pencarian yang
dilakukan oleh peneliti terdapat beberapa penelitian sebelumnya tentang
kriminalisasi poligami dan nikah sirri, adalah sebagai berikut:
1. “Kriminalisasi Poligami Pegawai Negeri Sipil di Indonesia Menurut
Hukum Islam”, oleh Achmad Munir, Fak. Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah, 2011. Penelitian ini membahas tentang penjatuhan
hukuman pidana untuk pegawai negeri sipil (PNS) yang melakukan
poligami sekalipun didalam peraturan undang-undang tersebut ada syarat
PNS untuk berpoligami seperti yang tercantum pada Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Pasal 419, yang hasilnya bahwa
pandangan hukum Islam terhadap penjatuhan hukuman atau sanksi
terhadap Pegawai Sipil Negeri belum relevan dengan kaidah-kaidah atau
aturan-aturan yang terdapat di dalam ajaran Islam, disebabkan karena
hukum karena hukum Islam sama sekali tidak mencantumkan hukuman
bagi siapa saja yang ingin berpoligami hanya saja Islam mengatur
19 Achmad Munir, “Kriminalisasi Poligami Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia Menurut Hukum
bilangan maksimal berpoligami dan membicarakan panjang lebar tentang
keadilan terhadap istri-istri yang dipoligami, dan poligami di dalam
hukum Islam bukanlah suatu tindakan kriminal akan tetapi poligami yang
terdapat di dalam hukum Islam bertujuan membantu bagi wanita agar
dapat menyempurnakan hidupnya dengan jalan pernikahan. Jika memang
poligami itu menjadi tindak kejahatan dan membawa kemafsadatan
pemerintah menciptakan peraturan-peraturan yang tidak merugikan untuk
masyarakat khususnya untuk PNS. 20
2. “Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi
Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia-Tunisia)”, oleh
Dinda Choerul Ummah, Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, 2014. Penelitian ini membahas tentang aturan sanksi
hukum terhadap pelaku poligami di Indonesia yang di komparasikan
dengan Negara Tunisia. Bahwa poligami di Indonesia dibatasi dengan
ketat. Dan poligami harus ada izin dari Pengadilan, ketentuan sanksi
poligami di Indonesia hanya berlaku untuk kalangan tertentu yakni PNS
(Pegawai Negeri Sipil)/atasan dan di atur dalam PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa pelaku
poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.
Sedangkan di Negara Tunisia poligami mutlak dilarang diatur dalam
MajAllah SWT al Ahwal al Syahsiyyah (Code of Personal Status) 1956 .
Di Tunisia sanksi poligami berlaku bagi seluruh warga Tunisia, siapa saja
yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar
berakhir, lalu menikah akan dikenakan hukuman penjara selama satu
tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya. dan siapa
yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3
Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak
pernikahan kedua dan masih terikat perkawinan akan di kenakan hukuman
yang sama.21
3. “Analisis Maslahah Mursalah Tentang Pandangan Hakim Pengadilan
Agama Pasuruan terhadap Hukuman Pelaku Nikah Sirri dalam Rancangan
Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan”
oleh Khilyatus Sa’adah, Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel
2014. Peneliti ini membahas Draf Rancangan Undang-Undang hukum
materiil Peradilan Agama bidang perkawinan dan lebih mefokuskan
kajianya pada analisis mas{lah{ah mursalah pandangan hakim Pengadilan
Agama Pasuruan mengenai hukuman pelaku pernikahan sirri dalam
Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang
perkawinan. Bahwa ada dua versi pendapat hakim mengenai hukuman
pelaku nikah sirri yang pertama menyetujui pelaku nikah sirri diberi
hukuman untuk menjaga kemaslahatan umat manusia dan menghindari
kemadaratan. Kedua tidak menyetujui karena tidak sesuai dengan syari’at
Islam dan tidak ada dalil atau ketentuan yang melarang pernikahan sirri
dan dianggap melemahkan hukum Allah SWT SWT.22
Sebelumnya sudah ada yang membahas tentang pandangan hakim
terhadap hukuman pelaku nikah sirri dalam Draf Rancangan Undang-Undang
hukum materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan dan Kriminalisasi
Poligami yang membahas aturan sanksi hukum terhadap pelaku poligami,
tetapi perbedaan dari penelitian sebelumnya yaitu peneliti ini membahas
kriminalisasi poligami sirri dalam Draf Rancangan Undang-Undang hukum
material bidang perkawinan, bahwa pemidanaan terhadap pelaku poligami
yang tidak ada izin dari pengadilan itu merupakan perbuatan tindak pidana
yaitu tindak pidana pelanggaran. dan fokus kajiannya dari segi mas}lah}ah
mursalah mengenai kriminalisasi poligami sirri dalam Rancangan
Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang perkawinan.
E. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang tertulis diatas maka tujuan penelitian ini
adalah untuk:
22Khilyatus Sa’adah, “Analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan terhadap Hukuman Pelaku Nikah Sirri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum
1. Untuk mengetahui alasan dan gambaran terhadap kriminalisasi poligami
sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama
bidang Perkawinan.
2. Untuk mengetahui analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang
kriminalisasi poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum
materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian Kriminalisasi Poligami sirri dalam draft Rancangan
Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang perkawinan ini
diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat baik secara teoritis maupun
praktis, antara lain:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam rangka mengembangkan wacana keilmuan tentang
adanya Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama
bidang perkawinan dan kriminalisasi poligami dalam rancangan
undang-undang tersebut. Khususnya dibidang keluarga Islam.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini pedoman atau rujukan dan dasar
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari dari terjadinya kesalahan dalam memahami
terhadap penelitaian skripsi ini, maka penulis perlu menjelaskan atau
memberikan definisi terhadap istilah-istilah pokok yang tercantum di
dalamnya yaitu:
Mas}lah}ah Mursalah : sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak
ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya
dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang
mendukung maupun yang menolaknya.23
Kriminalisasi Poligami sirri : proses yang memperlihatkan perilaku yang
semula tidak dianggap sebagai peristiwa
pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai
peristiwa pidana.24 poligami yang dimaksudkan
adalah poligami tanpa izin terlebih dahulu dari
Pengadilan yang dalam rancangan
undang-undang tersebut akan mendapat ancaman
pidana.
Rancangan Undang-Undang : aturan hukum material bidang perkawinan da-
Hukum Material Peradilan lam Program Legislasi Nasional 2010, untuk
Agama Bidang Perkawinan menaikkan status Instruksi Presiden Nomor 1
23 H. Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 149.
Tahun 1991 tentang KHI menjadi
undang-undang.
H. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang dikategorikan sebagai
penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah salah satu bentuk
penelitian yang menekankan pada pustaka sebagai suatu objek studi. Dalam
skripsi ini peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Penelitian kepustakaan bukan berarti melakukan penelitian terhadap
bukunya, tetapi lebih ditekankan kepada esensi dari yang terkandung pada
buku tersebut mengingat berbagai pandangan seseorang maupun
sekelompok orang selalu ada variasinya.25 Oleh karena data yang
dikumpulkan peneliti peroleh adalah Pasal 145 dalam draf Rancangan
Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang perkawinan
yang mengatur kriminalisasi poligami sirri.
2. Sumber Data
Berdasarkan dari jenis penelitian yaitu penelitian kepustakaan maka
sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data
sekunder:
a. Sumber data primer yaitu sumber data yang dibutuhkan untuk
memperoleh data-data yang berkaitan langsung dengan objek
penelitian. Data primer tersebut diperoleh dari draf Rancangan
Undang-undang hukum materiil Peradilan Agama bidang perkawinan.
b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang berupa buku-buku yang
menjadi dasar acuan dan bacaan-bacaan lain yang memiliki keterkaitan
dengan bahan skripsi, antara lain:
1) M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Muna<ka<ha<t: Kajian Fikih
Nikah Lengkap.
2) Departeman Agama RI, Al Quran Tajwid dan Terjemahnya.
3) Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia.
4) Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam.
5) Kompilasi Hukum Islam.
6) Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam
Hukum Islam di Indonesia.
7) Selamet Abidin, Fiqh Muna@ka@ha@t.
8) Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak
Dicatat.
9) M. Nurul Irfan, “Kriminalisasi Poligami dan Nikah Sirri”, dalam
https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/168.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka
peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data
yang diterapkan.26 Dokumentasi yaitu suatu cara pengumpulan data
yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada, atau catatan-catatan
yang tersimpan.27 Yaitu data-data yang penting yang berkaitan historis
tentang kriminalisasi poligami sirri dalam rancangan undang-undang
hukum material peradilan agama bidang perkawinan.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul di atas di olah dengan teknik editing
dan pengorganisasian, sebagai berikut:
a. Teknik Editing
Yaitu kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai
menghimpun data. Kegiatan ini menjadi penting karena
kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadang kala belum
memenuhi harapan peneliti, untuk itu diperlukan pemeriksaan
kembali semua data yang di peroleh, kejelasan makna, kesesuaian
26 Sugiyono, Metodo Penalitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, cet.8, 2009), 224.
makna satu dengan lainnya, relevansi, kesesuaian satuan dan
kelompok data.28
b. Teknik Pengorganisasian
Yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga dapat
memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.29
5. Teknik Analisis Data
Data yang berhasil dikumpulkan Pasal 145 dari draf rancangan
undang-undang hukum material peradilan agama bidang perkawinan
akan di analisis secara kualitatif yakni berupa bentuk kalimat,
uraian-uraian, bahkan sapat berupa cerita pendek.30 Dengan tataran analisis
deskriptif untuk menggambarkan secara jelas tentang kriminalisasi
poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum materiil
Peradilan Agama bidang Perkawinan.
Selanjutnya di analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif
yaitu diawali dengan teori yang bersifat khusus yaitu tentang
kriminalisasi poligami sirri dalam rancangan undang-undang hukum
material Peradilan Agama kemudian di analisis dengan teori yang
bersifat umum yaitu dengan teori mas}lah}ah mursalah.
28 Ibid, 182.
29 Ibid., 192.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk
memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dan agar
dapat di pahami permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka
pembahasan ini akan di susun sebagai berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua tentang landasan teori yang terdiri dari tiga sub bab, sub
bab pertama ini membahas tentang teori mas}lah}ah yang menjelaskan
pengertian, macam-macam mas}lah}ah, pengertian mas}lah}ah mursalah,
syarat-syarat mas}lah}ah mursalah, kehujjahan mas}lah}ah mursalah, dan kaidah fiqh
mas}lah}ah mursalah. Sub bab kedua tentang poligami dalam hukum Islam dan
hukum positif. Dan sub bab yang ketiga adalah tentang perkawinan tidak
dicatat.
Bab Ketiga, membahas sekilas pengertian dari kriminalisasi poligami
dan membahas tentang latar belakang munculnya Rancangan
Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan,
ketentuan-ketentuan yang tekait dengan kriminalisasi poligami sirri dalam rancangan
Bab keempat, membahas tentang analisis terhadap kriminalisasi
poligami dalam Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan
Agama bidang Perkawinan yang di tinjau dari mas}lah}ah mursalah.
Bab kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pokok masalah yang pada bab
pertama yang selanjutnya penyusun memberikan sarannya sebagai refleksi
BAB II
TEORI MAS{LAH{AH MURSALAH, POLIGAMI DAN
PERKAWINAN TIDAK DICATAT
A.Teori Mas{lah{ah
1. Pengertian Mas{lah{ah
Mas{lah{ah )
ُةَحَلْصَم
( berasal dari kata s}alah}a (ََحَلَص) denganpenambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan dari
buruk atau rusak. Mas{lah{ah adalah mas}dar dengan arti kata s}alah}u (َ حَلَص)
yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian mas{lah{ah
dalam bahasa arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada
kebaikan manusia.1 Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa
al-mas{lah{ah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik melalui cara
mengambil dan melakukan sesuatu tindakan maupun dengan menolak dan
menghindarkan segala bentuk menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.2
Ulama us}u@l fiqh mengemukakan pengertian terminologi al-mas}lah{ah
dalam beberapa definisi dan uraian, yang satu sama lain memiliki
persamaan-persamaan. Definisi-definisi tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan sebagai berikut:3
َأ م
ْلا ا
َم
ْص َل
َح ُة
َف
ِه
َي
ِع َب
َرا ة
ِف
ْا
َﻷ
ْص
ِل
َع ْن
َج ْل
ِب
َم ْ ن
َف َع
ٍة
َأ ْو
َد ْف
ِع
َم
َض
ر ٍة
سلو .
َ ن ان
ْع ِن
ذ
ِل
َك
،
َف ا
ن
َج ْل
ِب
ْلا
َم ْ ن
َف َع
ِة
َم َق
ِصا
ُد
َْلا
ْل ِق
َو
َص
َل
ِح
َْلا
ْل ِق
ِف
ََْ
ِص
ْي ِل
َم َق
ِصا
ِد
ِ ْم
َل
ِك ن
َ ن ا
ْع ِن
ِب ْلا
َم
ْص َل
َح ِة
ْلا
ُم
َح
َفا
َظ ِة
َع َل
َم ى
ْق
ُص
ْو ِد
ْلا
َش ْر
ِع
“Pada dasarnya al-mas}lah{ah ialah, suatu gambaran yang meraih manfaat atau menghindarkan kemudharatan. Tetapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih manfaat dan menghindarkan kemudharatan tersebut adalah tujuan dan kemaslahatan manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami maksudkan dengan al-mas}lah{ah ialah memelihara tujuan-tujuan
syara’”.
Uraian al-Ghazali tersebut menjelaskan bahwa al-mas}lah{ah
dalam pengertian syar’i ialah meraih manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara'.4 Tujuan
syara’ yang harus dipelihara tersebut menurut al-Ghazali, ada
lima bentuk yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada
intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas,
maka dinamakan mas{lah{ah.5 Sejalan dengan prinsip mas{lah{ah
sebelumnya, Syatibi menjelaskan bahwa kemaslahatan tidak
dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan
akhirat, karena kedua bentuk kemaslahatan ini selama bertujuan
memelihara al-Kulliyat al-Khams, termasuk dalam ruang lingkup
mas{lah{ah.6
a. Menurut pandangan al-Buthi al-mas{lah{ah adalah:7
َا ْل
َم
ْص َل
َح ُة
َا :
ْل َم ْ ن
َف َع
ُة َا
ل
ِت
ََ
َص
َد َ
ْلا ا
ش
ِرا
ُع
َْلا
ِك ْي
ُم ِل
ِع َب
ِدا
ِ
ِم
ْن
ِح
ْف
ِظ
ِد
ْي ِن ِه
ْم
َو ُ ن ُف
ْو ِس
ِه
ْم
َو ُع
ُق ْو
ِِل
ْم
َو َن
ْس ِل
ِه
ْم
َو َأ ْم
َو ِِلا
ْمء
َط َب
َق
َ ت ْر ِت ْي
ُب
ِف ْي
َم
َ ب ا
ْ ي َ ن َه
ا
Artinya: Al-mas{lah{ah adalah manfaat yang ditetapkan Syari’
untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan, dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu di antaranya.
Dari definisi ini, tampak yang menjadi tolak ukur mas{lah{ah
adalah tujuan-tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syari’,
meskipun kelihatan bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia
yang seringkali dilandaskan pada hawa nafsu semata.8
b. Menurut Khawarizmi menjelaskan yang dimaksud dengan
al-mas}lah{ah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara
menghindarkan kemafsadahan dari manusia.9
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mas{lah{ah
adalah tujuan dari syari’at Islam yaitu memelihara agama, jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan atau kehormatan, serta
memelihara harta.
6 Firdaus, Ushul Fiqh, 82. 7 Ibid., 81.
2. Macam-macam Mas{lah{ah
Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mas{lah{ah,
jika dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut:
a. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, para ahli
ushul fiqh membagi tiga macam mashlahah, yaitu: 10
1) Mas{lah{ah al-D}aru@riyyah yaitu kemaslahatan yang berhubungan
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu: memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan
memelihara harta.11 Pemeliharaan kelima bentuk
kemashlahatan ini juga terwujud dengan adanya ketentuan
hukum jinayat dan perintah menegakkan yang ma’ruf dan
mencegah yang mungkar.12 Tercapainya pemeliharaan kelima
unsur pokok tersebut akan melahirkan keseimbangan dalam
kehidupan keagamaan dan keduniaan. Jika kemaslahatan ini
tidak ada, maka akan timbul kekacauan dalam hidup
keagamaan dan keduniaan manusia. Akibat lanjutan dari hal itu
ialah mereka akan kehilangan keselamatan dan kebagahiaan di
akhirat.13 Kelima kemaslahatan ini disebut dengan al-mashalih
al-khamsah.14
2) Mas{lah{ah al-H}a@jiyyah yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan
dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar)
sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan
dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.15 Dengan kata
lain, jika tingkat kemaslahatan ini tidak tercapai, manusia akan
mengalami kesulitan memelihara kelima kebutuhan pokok
mendasar mereka.16 Misalnya dalam bidang ibadah diberi
keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi
orang yang sedang musafir.
3) Mas{lah{ah al-Tah}si@niyyah yaitu kemaslahatan yang sifatnya
sebagai pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya (d}aru@riyyah dan h}a@jiyyah).
Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan
budi pekerti. Kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam
kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan
kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun
demikian kemaslahatan ini tetap penting dan dibutuhkan
manusia.17 Misalnya dianjurkan untuk memakan yang bergizi,
13 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 309. 14 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, 115. 15 Ibid, 116.
berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah
sebagai amalan tambahan, dan lain-lain.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang
muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu
kemaslahatan.18
b. Dilihat dari segi kandungan mas{lah{ah, para ulama ushul fiqh
membaginya sebagai berikut:
1) Mas{lah{ah al-‘Ammah yaitu kemaslahatan umum yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum
ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa
berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya para ulama
memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat
merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang
banyak.19
2) Mas{lah{ah al-Kha@s}s}ah yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat
jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan
pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan
hilang (maqfu@d).20
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan
prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan
umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan
kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum
daripada kemaslahatan pribadi.21
c. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mas{lah{ah, menurut
Muhammad Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di
Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:22
1) Mas{lah{ah al-Thabitah yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap,
tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya berbagai
kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2) Mas{lah{ah al-Mutaghayyirah yaitu kemaslahatan yang
berubah-ubah sesuai dengan perberubah-ubahan tempat, waktu, dan subjek
hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan
permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam
masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan
daerah lainnya.
d. Dilihat dari segi eksistensi (keberadaan) mas}lah{ah menurut syara’
terbagi menjadi tiga, yaitu:23
1) Mas}lah{ah al-Mu’tabarah yaitu suatu kemashlahatan yang
dijelaskan dan diakui keberadaannya secara langsung oleh nash.
Misalnya:24
a) Untuk memelihara dan mewujudkan kemashlahatan
kehidupan manusia, Islam menetapkan hukuman qishash
terhadap pembunuhan yang dilakukan secara sengaja,
dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 178:25
... ..
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik,dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari
Tuhanmu….. ”.26
b) Untuk memelihara dan menjamin keamanan pemilikan harta,
Islam menetapkan hukuman potong tangan bagi pelaku
pencurian, sebagaimana terdapat dalam surat al-Ma@idah ayat
38:27 ... .
Artinya: “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari
Allah SWT”.28
25 Firdaus, Ushul Fiqh, 84.
c) Untuk memelihara kehormatan manusia, Islam melarang
melakukan qadhaf dan zina. Larangan zina telah diatur
dalam surat al-Isra@’ ayat 32:29
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji
dan suatu jalan yang buruk”.30
2) Mas}lah{ah al-Mulgha@ yaitu suatu kemashlahatan yang
bertentangan dengan ketentuan nash. Karenanya segala bentuk
kemaslahatan seperti ini ditolak syara’. Menurut Abdul Wahab
Khallaf salah satu contoh relevan dengan ini fatwa seorang
ulama mazhab Maliki di Spanyol yang bernama Laits ibn Sa’ad
(94-175H) dalam menetapkan kaffarat orang yang melakukan
hubungan suami istri pada siang bulan Ramadhan. Berdasarkan
hadits Nabi saw. kaffarat bagi orang yang demikian adalah
memerdekakan budak, atau puasa dua bulat berturut-turut, atau
memeberi makan 60 orang fakir miskin (HR. Bukhari dan
Muslim). Kasus ini terjadi di Spanyol dan orang yang
melakukan hubungan suami istri siang Ramadhan tersebut
seorang penguasa. Mengingat orang ini penguasa, apabila
kaffaratnya memerdekakan budak tentu dengan mudah ia dapat
membayarnya karena mempunyai banyak uang dan dengan
mudah ia kembali melakukan pelanggaran. Laits ibn Sa’ad
menentapkan kaffarat bagi penguasa ini puasa dua bulan
berturut-turut.31
3) Mas}lah{ah mursalah yaitu kemashlahatan yang keberadaannya
tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’
melalui dalil yang rinci.32 Said Ramadhan al-Buthi
mendefinisikan mas}lah{ah al-mursalah yaitu:33
َا ْل
َم
َص
ِلا
ُح
ْلا ُم
ْر َس
َل ُة
ِ
َي
:
ُك
ل
َم ْ ن َف
َع ٍة
َد
ِخا
َل ٍة
ِف
َم َق
ِصا
ِد
ْلا
َش
ِرا
ِع
َأ
ْن
َي ُك
ْو َن
ََل
َش ا
ِا
د
ِب
ِْلا
ْع ِت َب
ِرا
َأ
ِو
ِْلا
ْل َغ
ِءا
.
Artinya: “Mashlaha al-mursalah adalah setiap manfaat yang
termasuk dalam maqasid al-syari’, baik ada nash yang mengakui
atau menolaknya”.
Dengan demikian mas}lah{ah mursalah ini sejalan dengan
tujuan syara’ sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam
mewujudkan kemashlahatan yang dibutuhkan manusia dan
menghindarkan mereka dari kemudharatan.34
B.Teori Mas}lah{ah mursalah
1. Pengertian Mas}lah{ah mursalah
Mas}lah{ah mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu
mas}lah{ah dan mursalah. Kata mas}lah{ah menurut bahasa berarti
“manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Gabungan dari dua kata
tersebut yaitu mas}lah{ah mursalah menurut istilah, seperti yang
dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, berarti “sesuatu yang dianggap
mashlahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya
dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang
menolaknya”, sehingga ia disebut mas}lah{ah mursalah (mas}lah{ah yang
lepas dari dalil secara khusus).35
Menurut Abu Nur Zubair, mas}lah{ah mursalah adalah suatu sifat
yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh
syara’. Abu Zahrah mendefinisikan mas{lah{ah mursalah adalah segala
kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan shari’ah (dalam
mensyariatkan hukum Islam) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang
secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.36
Sedangkan menurut al-Ghazali menyatakan setiap mas}lah{ah yang
kembali kepada pemeliharaan maksud syara’ yang diketahui dari al
-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar
tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas, maka di
pakai al-mas}lah{ah al-mursalah. Cara mengetahui mas}lah{ah yang sesuai
dengan tujuan itu adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas. Oleh
sebab itu, cara penggalian mas}lah{ah seperti itu disebut mas}lah{ah
al-mursalah. Artinya terlepas dari dalil secara khusus, tetapi termasuk pada
petunjuk umum dari beberapa dalil syara’. Kesimpulannya mas}lah{ah
mursalah menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal (mencari
dalil) dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash
syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’.37
Mas{lah{ah mursalah adalah kemashlahatan yang tidak disyariatkan
oleh syar’i dalam wujud hukum, di dalam rangka menciptakan
kemashlahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau
menyalahkan. Karenanya mas}lah{ah mursalah itu disebut mutlak, lantaran
tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.38
Asy-Syatibi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengatakan
bahwa al-mas}lah{ah al-mursalah adalah setiap prinsip syara’ yang tidak
disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta
maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.39
Berdasarkan pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan
kemashlahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari
kemashlahatan manusia. Maksudnya didalam rangka mencari yang
menguntungkan, dan menghindari kemadharatan manusia yang bersifat
sangat luas. Mas}lah{ah itu merupakan sesuatu yang berkembang berdasar
perkembangan yang selalu ada disetiap lingkungan.40
37 Ibid,.
38 Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh, Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), 142.
2. Kehujjahan dan syara-syarat mas}lah{ah mursalah
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa mas}lah{ah
al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum
Islam. Kemashlahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka
juga sepakat bahwa mas}lah{ah al-mulghah tidak dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga dengan mas}lah{ah
al-gharibah, karena tidak ditemukan dalam praktik syara’. Adapun terhadap
kehujjahan mas}lah}ah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum saya’,
sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda
pendapat.
Mazhab Hanafi mengatakan bahwa untuk menjadikan mas{lah{ah
mursalah sebagai dalil, disyaratkan maslahat tersebut berpengaruh pada
hukum. Artinya terdapat ayat, hadis atau ijmak yang menunjukkan bahwa
sifat tersebut merupakan illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu
hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut
dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Menghilangkan
kemudharatan bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan syara’ yang
wajib dilakukan. Dengan demikian, mazhab Hanafi menenrima mas{lah{ah
mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum.41
Menghilangkan kemudharatan, bagaimana pun bentuknya
termasuk ke dalam konsep mas{lah{ah mursalah. Dengan demikian, ulama
Hanafiyah menerima mas{lah{ah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan
hukum dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’
dan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Penerapan konsep
mas{lah{ah mursalah di kalangan Hanafiyah terlihat secara luas dalam
metode istihsan (pemalingan hukum dari kehendak qiyas atau kaidah
umum kepada hukum lain disebabkan beberapa indikasi). Indikasi-indikasi
yang dijadikan pemalingan hukum tersebut, pada umumnya adalah
mas{lah{ah mursalah.42
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mas{lah{ah mursalah
sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai
ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka
mas{lah{ah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan
dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam
Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mas{lah{ah mursalah
itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat z}anni
(relatif).43
Ulama golongan Syafi’iyyah pada dasarnya, juga menjadikan
mas{lah{ah mursalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam
Syafi’I memasukkannya ke dalam qiyas. Misalnya, ia mengqiyaskan
hukuman bagi peminum minuman keras kepada hukuman orang yang
menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk akan
mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang lain
berbuat zina.44
Ulama yang menerima mas{lah{ah mursalah sebagai dalil untuk
menetapkan hukum, menetapkan sejumlah syarat yaitu:45
a. Bahwa kemaslahatan tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan
pada praduga semata. Maksudnya, maslahat dapat diterima
secara logika keberadaannya. Sebab, tujuan persyariatan suatu
hukum dalam Islam bertujuan untuk mendatangkan manfaat
atau menghilangkan kemudharatan. Hal ini tidak akan terwujud
apabila penetapan hukum didasarkan pada kemaslahatan yang
berdasarkan praduga.
b. Kemaslahatan itu sejalan dengan maqa>s{id al-shari>‘ah dan tidak
bertentangan dengan nash atau dalil-dalil qath’i. Dengan kata
lain, kemaslahatan tersebut sejalan dengan kemaslahatan yang
telah ditetapkan syari’. Atas dasar ini, tidak diterima pendapat
yang menyamakan hak anak laki-laki dan anak perempuan
dalam kewarisan meskipun didasarkan atas alasan maslahat.
Sebab, kemaslahatan seperti ini bertentangan dengan nash
qath’i dan ijma’ ulama.
c. Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan
kemaslahatan bagi individu tertentu atau sejumlah individu. Ini
mengingatkan bahwa syariat Islam itu berlaku bagi semua
manusia. Oleh sebab itu, menetapkan hukum atas dasar
maslahat bagi kalangan tertentu, seperti penguasa, pemimpin,
dan keluarganya tidak sah dan tidak boleh karena bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam yang berlaku bagi semua manusia.
3. Aplikasi mas{lah{ah mursalah dalam kehidupan
Telah diketahui bahwa perbedaan lingkungan dan waktu ternyata
berpengaruh pada pembentukan hukum-hukum shara’, sebagaimana firman
Allah SWT:
َم
َ ن ا
ْن َس
ْخ
ِم
ْن
َء َيا
ٍة
َأ ْو
ُ ن ْن
ِس
َه
َن ا
ْأ
ِت
َِب
ِْي
ِم ْ ن
َه
َأ ا
ْو
ِم ْث ِل
َها
ص ََأ
َْل
َ ت ْع َل
ْم َأ
ن
َلا
َع َل
ِلُك ى
َش
ْى ٍء
ََ
ْ يد
ر
ٔٓ1
Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Al-Baqarah : 106).46
Dalam hal ini, Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir al-Manar
menginterprestasikan sebagai berikut:
Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan) dan situasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkannya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menghentikannya dengan hukum lain yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan
(akhir) itu.47
Dengan adanya penafsiran terhadap ayat 106 surah al-Baqarah di
atas, maka para ulama menetapkan sebuah kaidah ushul fiqh yaitu:
ِلاَوْحَاْاَو ِةَنِكْمَاْاَو ِةَنِمْزَاا ُرِ يَغَ تِب مِاَكْحَاا ُرِ يَغَ ت
Hukum-hukum itu bisa berubah karena perubahan zaman, tempat,
dan keadaan.48
Lebih lanjut Ibn Qayyim mengemukakan dalam kitab I‘la>m al
-Muwaqqi‘i>n” tersebut sebagai berikut:
Syariat itu adalah keadilan dan seluruhnya merupakan rahmat, dan kemaslahatan bagi umat secara keseluruhan, dan mempunyai kebijaksanaan semuanya. Maka setiap maslahat yang keluar dari garis keadilan kepada keaniayaan, dari rahmat kepada lawannya, dan dari kemaslahatan kepada kerusakan, dan dari kebijaksanaan kepada kesia-siaan, semuanya tidaklah termasuk dalam syariat
walaupun dimasukkan ke dalamnya segala macam dalil.49
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa penggunaan kepentingan
umum ini adalah sebagai salah satu sumber yurisprudensi hukum Islam dan
merupakan suatu hal yang telah disepakati sebagai metode alternatif dalam
menghadapi perkembangan hukum Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari kemaslahatan (mas{lah{ah mursalah)
sering dilakukan oleh para sahabat dan ulama terdahulu, hal itu dilakukan
dalam rangka untuk mencari alternatif terhadap berbagai masalah yang
timbul dalam masyarakat dimana tidak diterangkan secara jelas dalam
nas}.50
Keputusan dan berbagai kebijaksanaan Imam baik yang berupa
undang-undang atau pembuatan pada berbagai fasilitas umum untuk
kemanfaatan masyarakat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum
karena hal tersebut mengandung kemaslahatan bagi kemaslahatan dunia
atau akhirat. Misalnya dalam pembentukan Bank sebagai kekuatan
ekonomi rakyat, membentuk untuk menjaga kelangsungan dan kestabilan
negara Islam, sehingga dengan sendirinya orang kafir tidak dapat
memberontak terhadap keberadaan negara Islam. dan
permasalahan-permasalahan lain yang menyangkut kebijakan Imam yang adil pada
berbagai pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan umum.51
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa karena kebijakan Imam
yang mengandung kemaslahatan, maka hal itu dapat dijadikan sebagai
landasan hukum sesuai dengan ketentuan “mas{lah{ah mursalah” dimana
semuanya tidak terkandung secara rinci dalam Alquran.
C. Teori Poligami
1. Pengertian poligami
Secara etimologi, poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu
polus yang berarti “banyak” dan gamos yang berarti “perkawinan”.
Sehingga bisa diartikan perkawinan dengan banyak pasangan.52 Jadi
poligami adalah kawin banyak artinya seorang pria mempunyai
beberapa orang istri pada waktu yang bersamaan. Dalam bahasa Arab,
poligami disebut ta’addud al-zawjat (berbilang pasangan), sedangkan
dalam bahasa Indonesia disebut pemaduan.53
Sedangkan menurut istilah, poligami didefinisikan sebagai
berikut:
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami adalah
ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan.54
b. Menurut Kamus Internasional sebagaimana dikutip Sufyan
Raji Abdullah, poligami adalah laki-laki yang beristeri lebih
dari seorang wanita dalam satu ikatan perkawinan.55
c. Menurut Kamus Hukum, poligami adalah perkawinan
seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan.
Dengan demikian yang dimaksud poligami di sini adalah
ikatan perkawinan sah antara seorang laki-laki dengan lebih
seorang dalam waktu yang bersamaan.56
52 Abraham Silo Wilar, Poligini Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hal. 3 53 Mutada Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 1995), 206.
54 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 693
Sedangkan menurut Siti Musda Mulia dalam bukunya yang
berjudul Pandangan Islam Tentang Poligami mendefinisikan poligami
sebagai ikatan perkawinan yang satu (suami) mengawini beberapa
(lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang
melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligam.
Jika dalam poligami, suamilah yang memiliki beberapa istri, dalam
poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suami
dalam waktu yang bersamaan. Kebalikan dari poligami adalah
monogami, yaitu ikatan perkawinan yang hanya membolehkan suami
mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.57
Jadi, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
poligami –lebih tepatnya poligini– adalah perkawinan seorang laki-laki
dengan lebih dari satu perempuan sekaligus dalam satu masa
perkawinan.
2. Dasar hukum dan syarat-syarat poligami
Dasar hukum poligami adalah sebagai berikut:
a. Al-Quran surat al-Nisa@’ ayat 3:58
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
57 Siti Musda Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Lembaga Kajian Agama dan Gender: Jakarta, 1999), 2.
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, hatau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar
kamu tidak berbuat zalim”.
Dan al-Quran surat al-Nisa@’ ayat 129:59
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh,
Allah SWT Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
b. Hadits diriwayatkan Ibnu Majah:60
ِِ نلا ُتْيَ تَأَف ٍةَوْسِن ُناَََ ىِدْنِعَو ُتْمَلْسَأ َلاََ ِثِراَْلا ِنْب ِسْيَ َ ْنَع
–
ملسو يلع ّللا ىلص
ُتْلُقَ ف
َلاَقَ ف َُل َكِلَذ
»
اًعَ بْرَا نُهْ نِم ْرَ تْخا
“Dari Qais bin Al-Haris ia berkata, “Aku masuk Islam sementara aku mempunyai delapan istri. Lalu aku mendatangi Nabi
SallAllahu ‘alaihi Wasallam dan menuturkan masalah itu”. Maka
beliau bersabda: “Pilihlah empat di antara mereka”.”
Di Indonesia mengenai masalah poligami telah di atur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara
tegas juga menyatakan bahwa asas yang dianut adalah asas
monogami. Mengenai asas monogami ini terdapat dalam Pasal 3
ayat (1-2):
Pasal 3
1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) poligami juga diatur dan
mengharuskan izin pengadilan pada Pasal 55 dan Pasal 56,
sebagaimana berikut:61
Pasal 55
1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas
hanya sampai empat orang istri.
2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Pasal 56
1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus
mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)
dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab. VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dan syarat-syarat poligami telah diatur pada Pasal 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebagai
berikut:62
1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Adanya persetujuan dari istri/istri-istrinya.
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin