• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP KRIMINALISASI POLIGAMI SIRRI DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM MATERIAL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP KRIMINALISASI POLIGAMI SIRRI DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM MATERIAL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh: Ayu Dwi Lestari NIM: C01212010

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan dengan judul Analisis Mas}lah}ah Mursalah Terhadap Kriminalisasi Poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Material Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Rumusan masalah adalah: Mengapa Rancangan Undang-undang hukum material Peradilan Agama Bidang Perkawinan mengatur tentang Kriminalisasi terhadap pelaksanaan poligami sirri? Bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang kriminalisasi poligami dalam rancangan undang-undang hukum material peradilan agama bidang perkawinan?

Penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif yaitu untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara jelas tentang kriminalisasi poligami dalam Rancangan Undang-Undang hukum material Peradilan Agama bidang Perkawinan. Selanjutnya di analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu diawali dengan menggunakan teori atau dalil yang bersifat umum kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat khusus, atau data yang bersifat khusus kemudian ditarik diambil dengan bersifat umum tentang perkawinan, kemudian di analisis secara hukum Islam yang fokus pada mas}lah}ah mursalah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya rancangan undang-undang hukum material peradilan agama bidang perkawinan tentang kriminalisasi poligami menegaskan bahwa poligami yang dilakukan dengan tidak ada ijin terlebih dahulu dari pengadilan akan mendapat ancaman pidana. Dengan alasan banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkawinan tersebut terutama hak keperdataan istri dan anak jika timbul permasalahan di kemudian hari.

Hasil analisis menjelas bahwa sanksi pidana tersebut berlaku bagi pelaku poligami tanpa ada ijin dari Pengadilan dimaksudkan untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia terutama tidak merugikan pihak anak-anak dan perempuan (istri) dan menghindari dari kemadharatan. Sedangkan perubahan zaman dan waktu pasti berpengaruh pada perubahan hukum.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16

I. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG MAS}LAH}AH MURSALAH, POLIGAMI, DAN PERKAWINAN TIDAK DICATAT A. Teori Mas}lah}ah ... 22

1. Pengertian mas}lah}ah ... 22

2. Macam-macam mas}lah}a ... 25

(8)

1. Pengertian mas}lah}ah mursalah ... 31

2. Kehujahan dan syarat-syarat mas}lah}ah mursalah ... 34

3. Aplikasi mas}lah}ah mursalah dalam kehidupan ... 37

C. Teori Poligami ... 39

1. Pengertian poligami ... 39

2. Dasar hukum dan syarat-syarat poligami ... 41

D. Perkawinan Tidak Dicatat ... 45

BAB III : KRIMINALISASI POLIGAMI DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM MATERIAL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN A. Latar belakang lahirnya rancangan undang-undang hukum material Peradilan Agama bidang Perkawinan ... 48

B. Pengertian Kriminalisasi poligami... 51

C. Ketentuan kriminalisasi poligami sirri dalam rancangan undang-undang hukum material Peradilan Agama bidang perkawinan ... 54

BAB IV : KRIMINALISASI POLIGAMI DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM MATERIAL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH A. Analisis Latar belakang Rancangan Undang-Undang hukum material bidang Perkawinan ... 64

B. Analisis Pengertian terhadap Kriminalisasi ... 66

C. Ketentuan Hukum Kriminalisasi Poligami dalam Rancangan Undang-Undang hukum material Peradilan Agama Bidang Perkawinan ... 67

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

(9)

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu keluarga di bentuk mula-mula adanya suatu ikatan perkawinan

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, karena menurut ajaran Islam

perkawinan hal yang dianjurkan untuk mendapatkan ketentraman dan juga

melestarikan keturunan bagi yang melakukannya, sebagaimana yang

disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surat al-Sa@ffa@t ayat 77:







.

Artinya: “Dan Kami jadikan anak cucunya yang melanjutkan

keturunan”.1

Pernikahan merupakan sunna@tullah yang umum dan berlaku pada

semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan

bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.2

Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-d}hamu yang artinya kumpul.

Makna nikah (zawa@j) bisa diartikan dengan ‘aqdu al-tazwi@j yang artinya akad

nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.

Definisi yang hampir sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmat

1 Departeman Agama RI, Al Quran Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syammil Media Cipta, 2006), 995.

(11)

Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nika@h}un” yang

merupakan mas}dar dari kata kerja (fi’il ma@d}hi) “nakah}a”, sinonimnya

“tazawwaja” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.3

Dalam Islam juga mengenal istilah poligami. Kata poligami, secara

etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan

gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka

poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.

Jadi pengertian poligami, menurut bahasa Indonesia adalah sistem

perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan

jenisnya di waktu yang bersamaan. Seorang laki-laki yang mempunyai istri

lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, lebih tepat di sebut poligini

bukan poligam. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang

dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan

lebih dari seorang perempuan dalam waktu bersamaan.4

Islam membolehkan laki-laki melaksanakan poligami sebagai

alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks

laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar

tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas

diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar

suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan

mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat

(12)

bisa berlaku adil.5 Poligami dalam Islam dibatasi dengan syarat-syarat

tertentu yaitu:6

1. Jumlah istri yang boleh di poligami paling banyak empat orang wanita,

sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman Allah SWT surat

al-Nisa@’ ayat 3:

                                        

Artinya: “Maka kawinilah wanit-wanita (lain) yang kami senangi dua, tiga, aatau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki

yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

2. Laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang

menyangkut masalah-masalah lahiriyah seperti pembagian waktu,

pemberian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahir.

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan

atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan mempunyai nilai

ibadah. Maka, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 menegaskannya

sebagai akad yang sangat kuat (mi@tha@qan ghali@z}an) untuk menaati perintah

Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan

merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera

melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat

(13)

penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina.7 Sementara dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 1 dijelaskan bahwa, “perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.8 Selain itu, dalam KHI pada

Pasal 3,9 dijelaskan bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang saki@nah, mawaddah, dan rah}mah”.

Poligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang perkawinan

serta Pasal 56 dan 57 Kompilasi Hukum Islam yang intinya menyatakan:

seorang suami dapat mengajukan permohonan untuk poligami ke Pengadilan.

Adapun alasan poligami yang dibolehkan adalah: istri tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau

penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan

keturunan. dan untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan, harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: adanya perjanjian dari

istri/istri-sitri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami

akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.10

7Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,1997)., 69. 8 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan

Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,1995), 43.

(14)

Perkawinan yang dilakukan menurut fiqh muna@ka@ha@t, harus

memenuhi rukun nikah yaitu ada calon suami, calon istri, wali nikah, saksi,

akad nikah dan mahar.11 Selain harus memenuhi rukun nikah, dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (2) menyatakan

“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.12

Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan melalui

jenjang perkawinan. Dengan demikian, menikah menjadi hal yang sangat

urgen dikalangan masyarakat yang mengacu pada prosedur yang telah

ditetapkan. Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat

maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi, dan kehidupan

masyarakat moderen menginginkan akta surat sebagai bukti otentik, karena

saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan. Dengan demikian akta adalah salah

satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.13

Dalam KHI Pasal 5 ayat (1) mengatakan “agar terjamin ketertiban

perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.

Pencatatn perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, yakni bagi mereka yang

11 Selamet Abidin, Fiqih Muna@ka@ha@t, (Jakarta:CV. Pustaka Setia,1999), 64. 12 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,

13I’is Inayatal Afiyah, “Pencatatan Nikah Perspektif Mas}lah}ah (Analisis RUU Hukum Materiil

(15)

beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk di

Kantor Urusan Agama (KUA).14

Dari berbagai fiqh muna@ka@ha@t yang ada, dapat kita ketahui bahwa

pengaturan pernikahan yang sesuai dengan fiqh muna@ka@ha@t dan hukum

positif yang berlaku adalah bertujuan untuk memuliakan baik suami maupun

istri yang terikat dalam tali perkawinan tersebut. Akan tetapi fenomena

pernikahan yang terjadi sekarang ini sudah banyak yang menyimpang aturan

fiqh muna@ka@ha@t maupun hukum positif, khususnya pernikahan sirri yang

banyak terjadi di Indonesia karena berbagai alasan. Mulai dari alasan

ekonomi, sosial, dan perbedaan pemahaman.15

Dan dalam prakteknya di masyarakat, ketentuan pembatasan

poligami melalui izin Pengadilan, tidak cukup efektif untuk mengurangi

poligami yang dilakukan di luar Pengadilan. dan sekarang banyak

perkawinan semu dimana para suami melakukan hubungan dengan

perempuan lain, apakah melalui poligami di luar Pengadilan dengan

melakukan nikah di bawah tangan (nikah sirri).16 Poligami tanpa izin dari

Pengadilan dilarang oleh Pemerintah. Karena masalah ini sangat besar

dampaknya terhadap akibat hukum dari perkawinan itu, terutama yang

14 Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, 35-36.

15Khilyatus Sa’adah, “Analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan terhadap Hukuman Pelaku Nikah Sirri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan”, (Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya,2014), 4-5.

(16)

menyangkut dengan pembuktian nasab (hubungan darah atau keturunan),

masalah harta bersama antara suami istri, hak saling mewaris antara anak

dan orang tua, demikian juga suami istri.17

Maka dari itu pada saat ini banyak pemberitaan tentang kriminalisasi

poligami dalam Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan

Agama bidang perkawinan. Bahkan perkawinan tersebut dianggap sebuah

tindak pidana pelanggaran. Bahkan perkawinan tersebut akan di berikan

ancaman hukuman denda maksimal sebesar 6 juta atau kurungan 6 bulan.

Dengan munculnya Rancangan Undang-undang hukum materiil

Peradilan Agama bidang perkawinan bahwa perkawinan yang tidak

dicatatkan dan poligami yang dilakukan tidak ada izin dari Pengadilan di

sebut sebuah tindak pidana yaitu tindak pidana pelanggaran dan mendapat

ancaman kurungan dan/atau denda, dan ini menarik untuk diteliti. Dengan

adanya hal ini banyak diperdebatkan oleh berbagai pihak,ada yang pro juga

ada yang kontra. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD sepakat dengan

pelanggaran pernikahan sirri dalam RUU hukum materiil Peradilan Agama

bidang perkawinan dipidanakan, karena di nilai banyak pihak-pihak yang

dirugikan.18 Maka adanya Rancangan Undang-Undang hukum materiil

Peradilan Agama bidang Perkawinan ini mereka yang mendukung

beranggapan bahwa RUU ini bukanlah sebuah batasan atau kejahatan yang

17 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan…, 71. 18M. Nurul Irfan, “Kriminalisasi Poligami dan Nikah Sirrî”, dalam

(17)

menghalangi orang untuk melaksanakan perkawinan, akan tetapi membawa

kemaslahatan, yang mencegah adanya kerugian yang akan dialami oleh salah

satu pihak.

Dari latarbelakang yang diuraikan di atas peneliti akan mengkaji

lebih mendalam dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Mas}lah}ah

Mursalah terhadap Kriminalisasi Poligami Sirri dalam Draft Rancangan

Undang-Undang Hukum Material Peradilan Agama”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,

penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau dilaksanakan di depan Pejabat

Pencatat Nikah (PPN).

2. Poligami yang tidak ada izin dari Pengadilan.

3. Akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah.

4. Sebab-sebab yang melatarbelakangi dibentuknya Rancangan

Undang-Undang hukum material Peradilan Agama bidang perkawinan.

5. Analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang kriminalisasi

poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum material

(18)

Dari beberapa identifikasi masalah diatas, peneliti membatasi

masalah untuk menghindari munculnya berbagai permasalahan di luar

pembahasan skripsi ini sebagai berikut:

1. Sebab-sebab yang melatarbelakangi dibentuknya Rancangan

Undang-Undang hukum material Peradilan Agama bidang perkawinan..

2. Analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang kriminalisasi

poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum material

Peradilan Agama.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah yang

dijelaskan di atas, muncul beberapa masalah penelitian yang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengapa Rancangan Undang-Undang Hukum Material Peradilan Agama

mengatur tentang Kriminalisasi pelaksanaan poligami sirri?

2. Bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang

kriminalisasi poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum

material Peradilan Agama.?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau

(19)

sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak

merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah

ada.

Setelah peneliti melakukan pencarian terhadap penelitian sebelumnya

terkait analisis hukum Islam terhadap kriminalisasi poligami sirri dalam

Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang

perkawinan belum di bahas pada penelitian sebelumnya. Dari pencarian yang

dilakukan oleh peneliti terdapat beberapa penelitian sebelumnya tentang

kriminalisasi poligami dan nikah sirri, adalah sebagai berikut:

1. “Kriminalisasi Poligami Pegawai Negeri Sipil di Indonesia Menurut

Hukum Islam”, oleh Achmad Munir, Fak. Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah, 2011. Penelitian ini membahas tentang penjatuhan

hukuman pidana untuk pegawai negeri sipil (PNS) yang melakukan

poligami sekalipun didalam peraturan undang-undang tersebut ada syarat

PNS untuk berpoligami seperti yang tercantum pada Peraturan

Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Pasal 419, yang hasilnya bahwa

pandangan hukum Islam terhadap penjatuhan hukuman atau sanksi

terhadap Pegawai Sipil Negeri belum relevan dengan kaidah-kaidah atau

aturan-aturan yang terdapat di dalam ajaran Islam, disebabkan karena

hukum karena hukum Islam sama sekali tidak mencantumkan hukuman

bagi siapa saja yang ingin berpoligami hanya saja Islam mengatur

19 Achmad Munir, “Kriminalisasi Poligami Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia Menurut Hukum

(20)

bilangan maksimal berpoligami dan membicarakan panjang lebar tentang

keadilan terhadap istri-istri yang dipoligami, dan poligami di dalam

hukum Islam bukanlah suatu tindakan kriminal akan tetapi poligami yang

terdapat di dalam hukum Islam bertujuan membantu bagi wanita agar

dapat menyempurnakan hidupnya dengan jalan pernikahan. Jika memang

poligami itu menjadi tindak kejahatan dan membawa kemafsadatan

pemerintah menciptakan peraturan-peraturan yang tidak merugikan untuk

masyarakat khususnya untuk PNS. 20

2. “Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi

Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia-Tunisia)”, oleh

Dinda Choerul Ummah, Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah, 2014. Penelitian ini membahas tentang aturan sanksi

hukum terhadap pelaku poligami di Indonesia yang di komparasikan

dengan Negara Tunisia. Bahwa poligami di Indonesia dibatasi dengan

ketat. Dan poligami harus ada izin dari Pengadilan, ketentuan sanksi

poligami di Indonesia hanya berlaku untuk kalangan tertentu yakni PNS

(Pegawai Negeri Sipil)/atasan dan di atur dalam PP No. 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa pelaku

poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.

Sedangkan di Negara Tunisia poligami mutlak dilarang diatur dalam

MajAllah SWT al Ahwal al Syahsiyyah (Code of Personal Status) 1956 .

(21)

Di Tunisia sanksi poligami berlaku bagi seluruh warga Tunisia, siapa saja

yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar

berakhir, lalu menikah akan dikenakan hukuman penjara selama satu

tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya. dan siapa

yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3

Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak

pernikahan kedua dan masih terikat perkawinan akan di kenakan hukuman

yang sama.21

3. “Analisis Maslahah Mursalah Tentang Pandangan Hakim Pengadilan

Agama Pasuruan terhadap Hukuman Pelaku Nikah Sirri dalam Rancangan

Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan”

oleh Khilyatus Sa’adah, Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel

2014. Peneliti ini membahas Draf Rancangan Undang-Undang hukum

materiil Peradilan Agama bidang perkawinan dan lebih mefokuskan

kajianya pada analisis mas{lah{ah mursalah pandangan hakim Pengadilan

Agama Pasuruan mengenai hukuman pelaku pernikahan sirri dalam

Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang

perkawinan. Bahwa ada dua versi pendapat hakim mengenai hukuman

pelaku nikah sirri yang pertama menyetujui pelaku nikah sirri diberi

hukuman untuk menjaga kemaslahatan umat manusia dan menghindari

(22)

kemadaratan. Kedua tidak menyetujui karena tidak sesuai dengan syari’at

Islam dan tidak ada dalil atau ketentuan yang melarang pernikahan sirri

dan dianggap melemahkan hukum Allah SWT SWT.22

Sebelumnya sudah ada yang membahas tentang pandangan hakim

terhadap hukuman pelaku nikah sirri dalam Draf Rancangan Undang-Undang

hukum materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan dan Kriminalisasi

Poligami yang membahas aturan sanksi hukum terhadap pelaku poligami,

tetapi perbedaan dari penelitian sebelumnya yaitu peneliti ini membahas

kriminalisasi poligami sirri dalam Draf Rancangan Undang-Undang hukum

material bidang perkawinan, bahwa pemidanaan terhadap pelaku poligami

yang tidak ada izin dari pengadilan itu merupakan perbuatan tindak pidana

yaitu tindak pidana pelanggaran. dan fokus kajiannya dari segi mas}lah}ah

mursalah mengenai kriminalisasi poligami sirri dalam Rancangan

Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang perkawinan.

E. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang tertulis diatas maka tujuan penelitian ini

adalah untuk:

22Khilyatus Sa’adah, “Analisis Mas}lah}ah Mursalah tentang Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan terhadap Hukuman Pelaku Nikah Sirri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum

(23)

1. Untuk mengetahui alasan dan gambaran terhadap kriminalisasi poligami

sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama

bidang Perkawinan.

2. Untuk mengetahui analisis mas}lah}ah mursalah terhadap latar belakang

kriminalisasi poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum

materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian Kriminalisasi Poligami sirri dalam draft Rancangan

Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang perkawinan ini

diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat baik secara teoritis maupun

praktis, antara lain:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi dalam rangka mengembangkan wacana keilmuan tentang

adanya Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama

bidang perkawinan dan kriminalisasi poligami dalam rancangan

undang-undang tersebut. Khususnya dibidang keluarga Islam.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini pedoman atau rujukan dan dasar

(24)

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari dari terjadinya kesalahan dalam memahami

terhadap penelitaian skripsi ini, maka penulis perlu menjelaskan atau

memberikan definisi terhadap istilah-istilah pokok yang tercantum di

dalamnya yaitu:

Mas}lah}ah Mursalah : sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak

ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya

dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang

mendukung maupun yang menolaknya.23

Kriminalisasi Poligami sirri : proses yang memperlihatkan perilaku yang

semula tidak dianggap sebagai peristiwa

pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai

peristiwa pidana.24 poligami yang dimaksudkan

adalah poligami tanpa izin terlebih dahulu dari

Pengadilan yang dalam rancangan

undang-undang tersebut akan mendapat ancaman

pidana.

Rancangan Undang-Undang : aturan hukum material bidang perkawinan da-

Hukum Material Peradilan lam Program Legislasi Nasional 2010, untuk

Agama Bidang Perkawinan menaikkan status Instruksi Presiden Nomor 1

23 H. Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 149.

(25)

Tahun 1991 tentang KHI menjadi

undang-undang.

H. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang dikategorikan sebagai

penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah salah satu bentuk

penelitian yang menekankan pada pustaka sebagai suatu objek studi. Dalam

skripsi ini peneliti menggunakan metode sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Penelitian kepustakaan bukan berarti melakukan penelitian terhadap

bukunya, tetapi lebih ditekankan kepada esensi dari yang terkandung pada

buku tersebut mengingat berbagai pandangan seseorang maupun

sekelompok orang selalu ada variasinya.25 Oleh karena data yang

dikumpulkan peneliti peroleh adalah Pasal 145 dalam draf Rancangan

Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang perkawinan

yang mengatur kriminalisasi poligami sirri.

2. Sumber Data

Berdasarkan dari jenis penelitian yaitu penelitian kepustakaan maka

sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data

sekunder:

(26)

a. Sumber data primer yaitu sumber data yang dibutuhkan untuk

memperoleh data-data yang berkaitan langsung dengan objek

penelitian. Data primer tersebut diperoleh dari draf Rancangan

Undang-undang hukum materiil Peradilan Agama bidang perkawinan.

b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang berupa buku-buku yang

menjadi dasar acuan dan bacaan-bacaan lain yang memiliki keterkaitan

dengan bahan skripsi, antara lain:

1) M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Muna<ka<ha<t: Kajian Fikih

Nikah Lengkap.

2) Departeman Agama RI, Al Quran Tajwid dan Terjemahnya.

3) Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia.

4) Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum

Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam.

5) Kompilasi Hukum Islam.

6) Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam

Hukum Islam di Indonesia.

7) Selamet Abidin, Fiqh Muna@ka@ha@t.

8) Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak

Dicatat.

9) M. Nurul Irfan, “Kriminalisasi Poligami dan Nikah Sirri”, dalam

https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/168.

(27)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling

strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka

peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data

yang diterapkan.26 Dokumentasi yaitu suatu cara pengumpulan data

yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada, atau catatan-catatan

yang tersimpan.27 Yaitu data-data yang penting yang berkaitan historis

tentang kriminalisasi poligami sirri dalam rancangan undang-undang

hukum material peradilan agama bidang perkawinan.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul di atas di olah dengan teknik editing

dan pengorganisasian, sebagai berikut:

a. Teknik Editing

Yaitu kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai

menghimpun data. Kegiatan ini menjadi penting karena

kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadang kala belum

memenuhi harapan peneliti, untuk itu diperlukan pemeriksaan

kembali semua data yang di peroleh, kejelasan makna, kesesuaian

26 Sugiyono, Metodo Penalitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, cet.8, 2009), 224.

(28)

makna satu dengan lainnya, relevansi, kesesuaian satuan dan

kelompok data.28

b. Teknik Pengorganisasian

Yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga dapat

memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.29

5. Teknik Analisis Data

Data yang berhasil dikumpulkan Pasal 145 dari draf rancangan

undang-undang hukum material peradilan agama bidang perkawinan

akan di analisis secara kualitatif yakni berupa bentuk kalimat,

uraian-uraian, bahkan sapat berupa cerita pendek.30 Dengan tataran analisis

deskriptif untuk menggambarkan secara jelas tentang kriminalisasi

poligami sirri dalam Rancangan Undang-Undang hukum materiil

Peradilan Agama bidang Perkawinan.

Selanjutnya di analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif

yaitu diawali dengan teori yang bersifat khusus yaitu tentang

kriminalisasi poligami sirri dalam rancangan undang-undang hukum

material Peradilan Agama kemudian di analisis dengan teori yang

bersifat umum yaitu dengan teori mas}lah}ah mursalah.

28 Ibid, 182.

29 Ibid., 192.

(29)

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk

memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dan agar

dapat di pahami permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka

pembahasan ini akan di susun sebagai berikut:

Bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

rumusan masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,

metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua tentang landasan teori yang terdiri dari tiga sub bab, sub

bab pertama ini membahas tentang teori mas}lah}ah yang menjelaskan

pengertian, macam-macam mas}lah}ah, pengertian mas}lah}ah mursalah,

syarat-syarat mas}lah}ah mursalah, kehujjahan mas}lah}ah mursalah, dan kaidah fiqh

mas}lah}ah mursalah. Sub bab kedua tentang poligami dalam hukum Islam dan

hukum positif. Dan sub bab yang ketiga adalah tentang perkawinan tidak

dicatat.

Bab Ketiga, membahas sekilas pengertian dari kriminalisasi poligami

dan membahas tentang latar belakang munculnya Rancangan

Undang-Undang hukum materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan,

ketentuan-ketentuan yang tekait dengan kriminalisasi poligami sirri dalam rancangan

(30)

Bab keempat, membahas tentang analisis terhadap kriminalisasi

poligami dalam Rancangan Undang-Undang hukum materiil Peradilan

Agama bidang Perkawinan yang di tinjau dari mas}lah}ah mursalah.

Bab kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pokok masalah yang pada bab

pertama yang selanjutnya penyusun memberikan sarannya sebagai refleksi

(31)

BAB II

TEORI MAS{LAH{AH MURSALAH, POLIGAMI DAN

PERKAWINAN TIDAK DICATAT

A.Teori Mas{lah{ah

1. Pengertian Mas{lah{ah

Mas{lah{ah )

ُةَحَلْصَم

( berasal dari kata s}alah}a (ََحَلَص) dengan

penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan dari

buruk atau rusak. Mas{lah{ah adalah mas}dar dengan arti kata s}alah}u (َ حَلَص)

yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian mas{lah{ah

dalam bahasa arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada

kebaikan manusia.1 Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa

al-mas{lah{ah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik melalui cara

mengambil dan melakukan sesuatu tindakan maupun dengan menolak dan

menghindarkan segala bentuk menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.2

Ulama us}u@l fiqh mengemukakan pengertian terminologi al-mas}lah{ah

dalam beberapa definisi dan uraian, yang satu sama lain memiliki

persamaan-persamaan. Definisi-definisi tersebut antara lain adalah sebagai

berikut:

(32)

a. Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan sebagai berikut:3

َأ م

ْلا ا

َم

ْص َل

َح ُة

َف

ِه

َي

ِع َب

َرا ة

ِف

ْا

َﻷ

ْص

ِل

َع ْن

َج ْل

ِب

َم ْ ن

َف َع

ٍة

َأ ْو

َد ْف

ِع

َم

َض

ر ٍة

سلو .

َ ن ان

ْع ِن

ذ

ِل

َك

،

َف ا

ن

َج ْل

ِب

ْلا

َم ْ ن

َف َع

ِة

َم َق

ِصا

ُد

َْلا

ْل ِق

َو

َص

َل

ِح

َْلا

ْل ِق

ِف

ََْ

ِص

ْي ِل

َم َق

ِصا

ِد

ِ ْم

َل

ِك ن

َ ن ا

ْع ِن

ِب ْلا

َم

ْص َل

َح ِة

ْلا

ُم

َح

َفا

َظ ِة

َع َل

َم ى

ْق

ُص

ْو ِد

ْلا

َش ْر

ِع

“Pada dasarnya al-mas}lah{ah ialah, suatu gambaran yang meraih manfaat atau menghindarkan kemudharatan. Tetapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih manfaat dan menghindarkan kemudharatan tersebut adalah tujuan dan kemaslahatan manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami maksudkan dengan al-mas}lah{ah ialah memelihara tujuan-tujuan

syara’”.

Uraian al-Ghazali tersebut menjelaskan bahwa al-mas}lah{ah

dalam pengertian syar’i ialah meraih manfaat dan menolak

kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara'.4 Tujuan

syara’ yang harus dipelihara tersebut menurut al-Ghazali, ada

lima bentuk yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan

harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada

intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas,

maka dinamakan mas{lah{ah.5 Sejalan dengan prinsip mas{lah{ah

sebelumnya, Syatibi menjelaskan bahwa kemaslahatan tidak

dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan

akhirat, karena kedua bentuk kemaslahatan ini selama bertujuan

(33)

memelihara al-Kulliyat al-Khams, termasuk dalam ruang lingkup

mas{lah{ah.6

a. Menurut pandangan al-Buthi al-mas{lah{ah adalah:7

َا ْل

َم

ْص َل

َح ُة

َا :

ْل َم ْ ن

َف َع

ُة َا

ل

ِت

ََ

َص

َد َ

ْلا ا

ش

ِرا

ُع

َْلا

ِك ْي

ُم ِل

ِع َب

ِدا

ِ

ِم

ْن

ِح

ْف

ِظ

ِد

ْي ِن ِه

ْم

َو ُ ن ُف

ْو ِس

ِه

ْم

َو ُع

ُق ْو

ِِل

ْم

َو َن

ْس ِل

ِه

ْم

َو َأ ْم

َو ِِلا

ْمء

َط َب

َق

َ ت ْر ِت ْي

ُب

ِف ْي

َم

َ ب ا

ْ ي َ ن َه

ا

Artinya: Al-mas{lah{ah adalah manfaat yang ditetapkan Syari’

untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan, dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu di antaranya.

Dari definisi ini, tampak yang menjadi tolak ukur mas{lah{ah

adalah tujuan-tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syari’,

meskipun kelihatan bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia

yang seringkali dilandaskan pada hawa nafsu semata.8

b. Menurut Khawarizmi menjelaskan yang dimaksud dengan

al-mas}lah{ah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara

menghindarkan kemafsadahan dari manusia.9

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mas{lah{ah

adalah tujuan dari syari’at Islam yaitu memelihara agama, jiwa,

memelihara akal, memelihara keturunan atau kehormatan, serta

memelihara harta.

6 Firdaus, Ushul Fiqh, 82. 7 Ibid., 81.

(34)

2. Macam-macam Mas{lah{ah

Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mas{lah{ah,

jika dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut:

a. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, para ahli

ushul fiqh membagi tiga macam mashlahah, yaitu: 10

1) Mas{lah{ah al-D}aru@riyyah yaitu kemaslahatan yang berhubungan

dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.

Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu: memelihara agama,

memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan

memelihara harta.11 Pemeliharaan kelima bentuk

kemashlahatan ini juga terwujud dengan adanya ketentuan

hukum jinayat dan perintah menegakkan yang ma’ruf dan

mencegah yang mungkar.12 Tercapainya pemeliharaan kelima

unsur pokok tersebut akan melahirkan keseimbangan dalam

kehidupan keagamaan dan keduniaan. Jika kemaslahatan ini

tidak ada, maka akan timbul kekacauan dalam hidup

keagamaan dan keduniaan manusia. Akibat lanjutan dari hal itu

ialah mereka akan kehilangan keselamatan dan kebagahiaan di

(35)

akhirat.13 Kelima kemaslahatan ini disebut dengan al-mashalih

al-khamsah.14

2) Mas{lah{ah al-H}a@jiyyah yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan

dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar)

sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan

dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.15 Dengan kata

lain, jika tingkat kemaslahatan ini tidak tercapai, manusia akan

mengalami kesulitan memelihara kelima kebutuhan pokok

mendasar mereka.16 Misalnya dalam bidang ibadah diberi

keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi

orang yang sedang musafir.

3) Mas{lah{ah al-Tah}si@niyyah yaitu kemaslahatan yang sifatnya

sebagai pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi

kemaslahatan sebelumnya (d}aru@riyyah dan h}a@jiyyah).

Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan

budi pekerti. Kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam

kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan

kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun

demikian kemaslahatan ini tetap penting dan dibutuhkan

manusia.17 Misalnya dianjurkan untuk memakan yang bergizi,

13 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 309. 14 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, 115. 15 Ibid, 116.

(36)

berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah

sebagai amalan tambahan, dan lain-lain.

Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang

muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu

kemaslahatan.18

b. Dilihat dari segi kandungan mas{lah{ah, para ulama ushul fiqh

membaginya sebagai berikut:

1) Mas{lah{ah al-‘Ammah yaitu kemaslahatan umum yang

menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum

ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa

berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya para ulama

memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat

merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang

banyak.19

2) Mas{lah{ah al-Kha@s}s}ah yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat

jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan

pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan

hilang (maqfu@d).20

Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan

prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan

umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan

(37)

kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum

daripada kemaslahatan pribadi.21

c. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mas{lah{ah, menurut

Muhammad Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di

Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:22

1) Mas{lah{ah al-Thabitah yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap,

tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya berbagai

kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.

2) Mas{lah{ah al-Mutaghayyirah yaitu kemaslahatan yang

berubah-ubah sesuai dengan perberubah-ubahan tempat, waktu, dan subjek

hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan

permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam

masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan

daerah lainnya.

d. Dilihat dari segi eksistensi (keberadaan) mas}lah{ah menurut syara’

terbagi menjadi tiga, yaitu:23

1) Mas}lah{ah al-Mu’tabarah yaitu suatu kemashlahatan yang

dijelaskan dan diakui keberadaannya secara langsung oleh nash.

Misalnya:24

a) Untuk memelihara dan mewujudkan kemashlahatan

kehidupan manusia, Islam menetapkan hukuman qishash

(38)

terhadap pembunuhan yang dilakukan secara sengaja,

dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 178:25

                                                          ... ..

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik,dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari

Tuhanmu….. ”.26

b) Untuk memelihara dan menjamin keamanan pemilikan harta,

Islam menetapkan hukuman potong tangan bagi pelaku

pencurian, sebagaimana terdapat dalam surat al-Ma@idah ayat

38:27                  ... .

Artinya: “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari

Allah SWT”.28

25 Firdaus, Ushul Fiqh, 84.

(39)

c) Untuk memelihara kehormatan manusia, Islam melarang

melakukan qadhaf dan zina. Larangan zina telah diatur

dalam surat al-Isra@’ ayat 32:29

















Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina;

sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji

dan suatu jalan yang buruk”.30

2) Mas}lah{ah al-Mulgha@ yaitu suatu kemashlahatan yang

bertentangan dengan ketentuan nash. Karenanya segala bentuk

kemaslahatan seperti ini ditolak syara’. Menurut Abdul Wahab

Khallaf salah satu contoh relevan dengan ini fatwa seorang

ulama mazhab Maliki di Spanyol yang bernama Laits ibn Sa’ad

(94-175H) dalam menetapkan kaffarat orang yang melakukan

hubungan suami istri pada siang bulan Ramadhan. Berdasarkan

hadits Nabi saw. kaffarat bagi orang yang demikian adalah

memerdekakan budak, atau puasa dua bulat berturut-turut, atau

memeberi makan 60 orang fakir miskin (HR. Bukhari dan

Muslim). Kasus ini terjadi di Spanyol dan orang yang

melakukan hubungan suami istri siang Ramadhan tersebut

seorang penguasa. Mengingat orang ini penguasa, apabila

kaffaratnya memerdekakan budak tentu dengan mudah ia dapat

membayarnya karena mempunyai banyak uang dan dengan

(40)

mudah ia kembali melakukan pelanggaran. Laits ibn Sa’ad

menentapkan kaffarat bagi penguasa ini puasa dua bulan

berturut-turut.31

3) Mas}lah{ah mursalah yaitu kemashlahatan yang keberadaannya

tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’

melalui dalil yang rinci.32 Said Ramadhan al-Buthi

mendefinisikan mas}lah{ah al-mursalah yaitu:33

َا ْل

َم

َص

ِلا

ُح

ْلا ُم

ْر َس

َل ُة

ِ

َي

:

ُك

ل

َم ْ ن َف

َع ٍة

َد

ِخا

َل ٍة

ِف

َم َق

ِصا

ِد

ْلا

َش

ِرا

ِع

َأ

ْن

َي ُك

ْو َن

ََل

َش ا

ِا

د

ِب

ِْلا

ْع ِت َب

ِرا

َأ

ِو

ِْلا

ْل َغ

ِءا

.

Artinya: “Mashlaha al-mursalah adalah setiap manfaat yang

termasuk dalam maqasid al-syari’, baik ada nash yang mengakui

atau menolaknya”.

Dengan demikian mas}lah{ah mursalah ini sejalan dengan

tujuan syara’ sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam

mewujudkan kemashlahatan yang dibutuhkan manusia dan

menghindarkan mereka dari kemudharatan.34

B.Teori Mas}lah{ah mursalah

1. Pengertian Mas}lah{ah mursalah

Mas}lah{ah mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu

mas}lah{ah dan mursalah. Kata mas}lah{ah menurut bahasa berarti

(41)

“manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Gabungan dari dua kata

tersebut yaitu mas}lah{ah mursalah menurut istilah, seperti yang

dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, berarti “sesuatu yang dianggap

mashlahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya

dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang

menolaknya”, sehingga ia disebut mas}lah{ah mursalah (mas}lah{ah yang

lepas dari dalil secara khusus).35

Menurut Abu Nur Zubair, mas}lah{ah mursalah adalah suatu sifat

yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh

syara’. Abu Zahrah mendefinisikan mas{lah{ah mursalah adalah segala

kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan shari’ah (dalam

mensyariatkan hukum Islam) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang

secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.36

Sedangkan menurut al-Ghazali menyatakan setiap mas}lah{ah yang

kembali kepada pemeliharaan maksud syara’ yang diketahui dari al

-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar

tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas, maka di

pakai al-mas}lah{ah al-mursalah. Cara mengetahui mas}lah{ah yang sesuai

dengan tujuan itu adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas. Oleh

sebab itu, cara penggalian mas}lah{ah seperti itu disebut mas}lah{ah

al-mursalah. Artinya terlepas dari dalil secara khusus, tetapi termasuk pada

petunjuk umum dari beberapa dalil syara’. Kesimpulannya mas}lah{ah

(42)

mursalah menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal (mencari

dalil) dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash

syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’.37

Mas{lah{ah mursalah adalah kemashlahatan yang tidak disyariatkan

oleh syar’i dalam wujud hukum, di dalam rangka menciptakan

kemashlahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau

menyalahkan. Karenanya mas}lah{ah mursalah itu disebut mutlak, lantaran

tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.38

Asy-Syatibi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengatakan

bahwa al-mas}lah{ah al-mursalah adalah setiap prinsip syara’ yang tidak

disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta

maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.39

Berdasarkan pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan

kemashlahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari

kemashlahatan manusia. Maksudnya didalam rangka mencari yang

menguntungkan, dan menghindari kemadharatan manusia yang bersifat

sangat luas. Mas}lah{ah itu merupakan sesuatu yang berkembang berdasar

perkembangan yang selalu ada disetiap lingkungan.40

37 Ibid,.

38 Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh, Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), 142.

(43)

2. Kehujjahan dan syara-syarat mas}lah{ah mursalah

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa mas}lah{ah

al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum

Islam. Kemashlahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka

juga sepakat bahwa mas}lah{ah al-mulghah tidak dapat dijadikan hujjah

dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga dengan mas}lah{ah

al-gharibah, karena tidak ditemukan dalam praktik syara’. Adapun terhadap

kehujjahan mas}lah}ah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama

menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum saya’,

sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda

pendapat.

Mazhab Hanafi mengatakan bahwa untuk menjadikan mas{lah{ah

mursalah sebagai dalil, disyaratkan maslahat tersebut berpengaruh pada

hukum. Artinya terdapat ayat, hadis atau ijmak yang menunjukkan bahwa

sifat tersebut merupakan illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu

hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut

dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Menghilangkan

kemudharatan bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan syara’ yang

wajib dilakukan. Dengan demikian, mazhab Hanafi menenrima mas{lah{ah

mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum.41

Menghilangkan kemudharatan, bagaimana pun bentuknya

(44)

termasuk ke dalam konsep mas{lah{ah mursalah. Dengan demikian, ulama

Hanafiyah menerima mas{lah{ah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan

hukum dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’

dan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Penerapan konsep

mas{lah{ah mursalah di kalangan Hanafiyah terlihat secara luas dalam

metode istihsan (pemalingan hukum dari kehendak qiyas atau kaidah

umum kepada hukum lain disebabkan beberapa indikasi). Indikasi-indikasi

yang dijadikan pemalingan hukum tersebut, pada umumnya adalah

mas{lah{ah mursalah.42

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mas{lah{ah mursalah

sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai

ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka

mas{lah{ah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan

dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam

Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mas{lah{ah mursalah

itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat z}anni

(relatif).43

Ulama golongan Syafi’iyyah pada dasarnya, juga menjadikan

mas{lah{ah mursalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam

Syafi’I memasukkannya ke dalam qiyas. Misalnya, ia mengqiyaskan

hukuman bagi peminum minuman keras kepada hukuman orang yang

menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk akan

(45)

mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang lain

berbuat zina.44

Ulama yang menerima mas{lah{ah mursalah sebagai dalil untuk

menetapkan hukum, menetapkan sejumlah syarat yaitu:45

a. Bahwa kemaslahatan tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan

pada praduga semata. Maksudnya, maslahat dapat diterima

secara logika keberadaannya. Sebab, tujuan persyariatan suatu

hukum dalam Islam bertujuan untuk mendatangkan manfaat

atau menghilangkan kemudharatan. Hal ini tidak akan terwujud

apabila penetapan hukum didasarkan pada kemaslahatan yang

berdasarkan praduga.

b. Kemaslahatan itu sejalan dengan maqa>s{id al-shari>‘ah dan tidak

bertentangan dengan nash atau dalil-dalil qath’i. Dengan kata

lain, kemaslahatan tersebut sejalan dengan kemaslahatan yang

telah ditetapkan syari’. Atas dasar ini, tidak diterima pendapat

yang menyamakan hak anak laki-laki dan anak perempuan

dalam kewarisan meskipun didasarkan atas alasan maslahat.

Sebab, kemaslahatan seperti ini bertentangan dengan nash

qath’i dan ijma’ ulama.

c. Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan

kemaslahatan bagi individu tertentu atau sejumlah individu. Ini

mengingatkan bahwa syariat Islam itu berlaku bagi semua

(46)

manusia. Oleh sebab itu, menetapkan hukum atas dasar

maslahat bagi kalangan tertentu, seperti penguasa, pemimpin,

dan keluarganya tidak sah dan tidak boleh karena bertentangan

dengan prinsip-prinsip Islam yang berlaku bagi semua manusia.

3. Aplikasi mas{lah{ah mursalah dalam kehidupan

Telah diketahui bahwa perbedaan lingkungan dan waktu ternyata

berpengaruh pada pembentukan hukum-hukum shara’, sebagaimana firman

Allah SWT:

َم

َ ن ا

ْن َس

ْخ

ِم

ْن

َء َيا

ٍة

َأ ْو

ُ ن ْن

ِس

َه

َن ا

ْأ

ِت

َِب

ِْي

ِم ْ ن

َه

َأ ا

ْو

ِم ْث ِل

َها

ص َ

َأ

َْل

َ ت ْع َل

ْم َأ

ن

َلا

َع َل

ِلُك ى

َش

ْى ٍء

ََ

ْ يد

ر

ٔٓ1

Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu.

(QS. Al-Baqarah : 106).46

Dalam hal ini, Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir al-Manar

menginterprestasikan sebagai berikut:

Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan) dan situasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkannya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menghentikannya dengan hukum lain yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan

(akhir) itu.47

(47)

Dengan adanya penafsiran terhadap ayat 106 surah al-Baqarah di

atas, maka para ulama menetapkan sebuah kaidah ushul fiqh yaitu:

ِلاَوْحَاْاَو ِةَنِكْمَاْاَو ِةَنِمْزَاا ُرِ يَغَ تِب مِاَكْحَاا ُرِ يَغَ ت

Hukum-hukum itu bisa berubah karena perubahan zaman, tempat,

dan keadaan.48

Lebih lanjut Ibn Qayyim mengemukakan dalam kitab I‘la>m al

-Muwaqqi‘i>n” tersebut sebagai berikut:

Syariat itu adalah keadilan dan seluruhnya merupakan rahmat, dan kemaslahatan bagi umat secara keseluruhan, dan mempunyai kebijaksanaan semuanya. Maka setiap maslahat yang keluar dari garis keadilan kepada keaniayaan, dari rahmat kepada lawannya, dan dari kemaslahatan kepada kerusakan, dan dari kebijaksanaan kepada kesia-siaan, semuanya tidaklah termasuk dalam syariat

walaupun dimasukkan ke dalamnya segala macam dalil.49

Sehingga dapatlah dikatakan bahwa penggunaan kepentingan

umum ini adalah sebagai salah satu sumber yurisprudensi hukum Islam dan

merupakan suatu hal yang telah disepakati sebagai metode alternatif dalam

menghadapi perkembangan hukum Islam.

Dalam kehidupan sehari-hari kemaslahatan (mas{lah{ah mursalah)

sering dilakukan oleh para sahabat dan ulama terdahulu, hal itu dilakukan

dalam rangka untuk mencari alternatif terhadap berbagai masalah yang

(48)

timbul dalam masyarakat dimana tidak diterangkan secara jelas dalam

nas}.50

Keputusan dan berbagai kebijaksanaan Imam baik yang berupa

undang-undang atau pembuatan pada berbagai fasilitas umum untuk

kemanfaatan masyarakat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum

karena hal tersebut mengandung kemaslahatan bagi kemaslahatan dunia

atau akhirat. Misalnya dalam pembentukan Bank sebagai kekuatan

ekonomi rakyat, membentuk untuk menjaga kelangsungan dan kestabilan

negara Islam, sehingga dengan sendirinya orang kafir tidak dapat

memberontak terhadap keberadaan negara Islam. dan

permasalahan-permasalahan lain yang menyangkut kebijakan Imam yang adil pada

berbagai pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan umum.51

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa karena kebijakan Imam

yang mengandung kemaslahatan, maka hal itu dapat dijadikan sebagai

landasan hukum sesuai dengan ketentuan “mas{lah{ah mursalah” dimana

semuanya tidak terkandung secara rinci dalam Alquran.

C. Teori Poligami

1. Pengertian poligami

Secara etimologi, poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu

polus yang berarti “banyak” dan gamos yang berarti “perkawinan”.

(49)

Sehingga bisa diartikan perkawinan dengan banyak pasangan.52 Jadi

poligami adalah kawin banyak artinya seorang pria mempunyai

beberapa orang istri pada waktu yang bersamaan. Dalam bahasa Arab,

poligami disebut ta’addud al-zawjat (berbilang pasangan), sedangkan

dalam bahasa Indonesia disebut pemaduan.53

Sedangkan menurut istilah, poligami didefinisikan sebagai

berikut:

a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami adalah

ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau

mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang

bersamaan.54

b. Menurut Kamus Internasional sebagaimana dikutip Sufyan

Raji Abdullah, poligami adalah laki-laki yang beristeri lebih

dari seorang wanita dalam satu ikatan perkawinan.55

c. Menurut Kamus Hukum, poligami adalah perkawinan

seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan.

Dengan demikian yang dimaksud poligami di sini adalah

ikatan perkawinan sah antara seorang laki-laki dengan lebih

seorang dalam waktu yang bersamaan.56

52 Abraham Silo Wilar, Poligini Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hal. 3 53 Mutada Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 1995), 206.

54 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 693

(50)

Sedangkan menurut Siti Musda Mulia dalam bukunya yang

berjudul Pandangan Islam Tentang Poligami mendefinisikan poligami

sebagai ikatan perkawinan yang satu (suami) mengawini beberapa

(lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang

melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligam.

Jika dalam poligami, suamilah yang memiliki beberapa istri, dalam

poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suami

dalam waktu yang bersamaan. Kebalikan dari poligami adalah

monogami, yaitu ikatan perkawinan yang hanya membolehkan suami

mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.57

Jadi, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

poligami –lebih tepatnya poligini– adalah perkawinan seorang laki-laki

dengan lebih dari satu perempuan sekaligus dalam satu masa

perkawinan.

2. Dasar hukum dan syarat-syarat poligami

Dasar hukum poligami adalah sebagai berikut:

a. Al-Quran surat al-Nisa@’ ayat 3:58

                                                     

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu

57 Siti Musda Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Lembaga Kajian Agama dan Gender: Jakarta, 1999), 2.

(51)

menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, hatau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar

kamu tidak berbuat zalim”.

Dan al-Quran surat al-Nisa@’ ayat 129:59

                                       

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh,

Allah SWT Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

b. Hadits diriwayatkan Ibnu Majah:60

ِِ نلا ُتْيَ تَأَف ٍةَوْسِن ُناَََ ىِدْنِعَو ُتْمَلْسَأ َلاََ ِثِراَْلا ِنْب ِسْيَ َ ْنَع

ملسو يلع ّللا ىلص

ُتْلُقَ ف

َلاَقَ ف َُل َكِلَذ

»

اًعَ بْرَا نُهْ نِم ْرَ تْخا

“Dari Qais bin Al-Haris ia berkata, “Aku masuk Islam sementara aku mempunyai delapan istri. Lalu aku mendatangi Nabi

SallAllahu ‘alaihi Wasallam dan menuturkan masalah itu”. Maka

beliau bersabda: “Pilihlah empat di antara mereka”.”

Di Indonesia mengenai masalah poligami telah di atur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara

tegas juga menyatakan bahwa asas yang dianut adalah asas

monogami. Mengenai asas monogami ini terdapat dalam Pasal 3

ayat (1-2):

(52)

Pasal 3

1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang

isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.

2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk

beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) poligami juga diatur dan

mengharuskan izin pengadilan pada Pasal 55 dan Pasal 56,

sebagaimana berikut:61

Pasal 55

1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas

hanya sampai empat orang istri.

2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu

berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

Pasal 56

1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus

mendapat izin dari Pengadilan Agama.

2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)

dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab. VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau

keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dan syarat-syarat poligami telah diatur pada Pasal 5

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap

seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebagai

berikut:62

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan

Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(53)

a) Adanya persetujuan dari istri/istri-istrinya.

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh website quality terhadap urge to buy impulsively yang dimoderasi dengan impulsiveness pada konsumen online shop

Analisis kualitatif ini ditujukan untuk mengetahui reaksi yang akan timbul jika larutan yang mengandung kation tersebut direaksikan dengan ion hidroksida yang

Zat uji direaksikan dengan 2 mL H2SO4 pekat kemudian dikocok, maka akan terbentuk: — Warna kuning: Streptomisin, Eritromisin, Oksitetrasiklin, Klortetrasiklin, Kloramfenikol —

- Perkakas ini tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh orang (termasuk kanak-kanak) yang kurang upaya dari segi fizikal, deria atau mental, atau kurang berpengalaman dan

Penelitian di Jordan tahun 2010 tentang Anticipatory Grief pada orangtua yang hidup dengan anak yang terdiagnosis kanker menyatakan orang tua yang anak memiliki anak

Perbedaan status ini muncul sebagai akibat dari perbedaan dalam transaksi pertukaran ketika pengepul memberikan pinjaman dana secara terus- menerus dan pengrajin tidak mampu

Integrated methods in pest control: effect of insecticides on entomopathogenic fungi Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., B.. brogniartii (Sacc.), and nematodes

[r]