• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Mengenai Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Mengenai Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Mengenai Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku 2.1.1. Teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green

Menurut Green, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni :

1. Faktor-faktor perdisposisi (predisposing factors) : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan lain sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk perilaku kesehatan misalnya : pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. disamping itu kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu tersebut untuk periksa kehamilan. Misalnya orang hamil tidak boleh di suntik (periksa hamil termasuk suntik anti tetanus), karena suntikan bisa menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya : air bersih, temapat

▸ Baca selengkapnya: teori yang dikemukakan oleh pijnappel , moquette pada abad ke -13 adalah…

(2)

pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dan sebagainya. Untuk berprilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya: perilaku pemeriksaaan kehamilan. ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat perikksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil, misalnya : puskesmas, polindes, bidan praktek, ataupun rumah sakit. fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)

Faktor-faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas kesehatan. termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, lebih-lebih pada petugas kesehatan. disamping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut seperti perilaku periksa hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas periksa

(3)

hamil, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil periksa hamil (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Theory Health Believe Model (HBM)

Teori kepercayaan kesehatan adalah salah satu teori yang paling sering digunakan dalam aplikasi ilmu perilaku kesehatan yang dikembangkan pada tahun 1950 oleh sekelompok psikolog untuk membantu menjelaskan mengapa orang akan menggunakan pelayanan kesehatan. Sejak terbentuk teori HBM telah digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku kesehatan. yang dihipotesis oleh teori HBM adalah tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kesehatan beberapa kejadian simulasi yang terdiri dari 3 faktor yaitu :

1. Cukup motivasi (masalah kesehatan) untuk membuat masalah yang ada menjadi relevan.

2. keyakinan bahwa seseorang rentan atau serius mengalami masalah kesehatan dari suatu penyakit atau kondisi. hal ini sering dianggap sebagai ancaman yang dirasakan.

3. Keyakinan bahwa mengikuti rekomendasi tertentu akan bermanfaat dalam mengurangi ancaman yang dirasakan, pada biaya yang dikeluarkan. biaya mengacu pada hambatan yang dirasakan harus diatasi dalam rangka untuk mengikuti rekomendasi kesehatan, tetapi tidak terbatas pada pengeluaran keuangan (James F. McKenzie,1997).

(4)

2.1.3. Konsep Sehat Sakit

Kesehatan adalah suatu konsep yang telah sering digunakan namun sukar untuk dijelaskan artinya. faktor yang berbeda menyebabkan sukarnya mendefenisikan kesehatan, kesakitan dan penyakit. Meskipun demikian kebanyakan sumber ilmiah setuju bahwa defenisi kesehatan apapun harus mengandung paling tidak komponen biomedis, personal dan sosio kultural (Ryadi, 1982).

Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit sifatnya tidak selalu objektif. Bahkan lebih banyak unsur subjektivitasnya dalam menentukan tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat sakit ini sangat dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial budaya. sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang objektif berdasarkan symptom yang nampak guna mendiagnosa kondisi fisik seorang individu. Perbedaan persepsi antara masyarakat dan petugas kesehatan inilah yang sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan (Sarwono, 1992).

Gagasan orang tentang “sehat” dan “sakit” sangatlah bervariasi. gagasan ini dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai dan harapan-harapan, disamping juga pandanagan mereka tentang apa yang akan mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari dan kebugaran yang mereka perlukan untuk menjalankan peran mereka (Elwes dan Sinmett, 1994).

Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil dari

(5)

berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat dan pengobatan tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu; personalitik dan naturalistic (Foster/Anderson, 2005). Personalitik adalah suatu sistem dimana penyakit disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), Makhluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun manusia (Tukang sihir atau tukang tenung). Berlawanan dengan personalitik, naturalistic menjelaskan tentang penyakit dalam istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi, disini agen yang aktif menjalankan peranannya dalam sistem ini keadaan sehat sesuai dengan model keseimbangan : apabila unsur-unsur dasar dalam tubuh “humor”, yin dan yang, serta dosha dalam Ayurveda berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu, maka tercapailah kondisi sehat. Apabila keseimbangan ini terganggu dari luar maupun dalam oleh kekuatan-kekuatan alam panas, dingin, atau kadang-kadang emosi yang kuat, maka terjadilah penyakit.

Menurut Jordan dan Sudarti yang dikutip Sarwono (1992), mengatakan bahwa persepsi masyarakat tentang sehat sakit dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial budaya.

Sudarti dan Soejati (2006) menggambarkan secara deksriptif persepsi masyarakat beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan.

(6)

Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau “kantong kering” (tidak punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian yaitu:

1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia. 2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin. 3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain).

Untuk mengobati sakit yang termasuk golongan pertama dan ke dua, dapat digunakan obat-obatan, ramu-ramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga kesehatan. untuk penyebab sakit yang ketiga harus dimintakan bantuan dukun, Kyai dan lain-lain. dengan demikian upaya penyalahgunaan tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit.

2.2. Pasien

Bila seseorang menderita suatu penyakit maka akan memerlukan pelayanan kesehatan atau berusaha untuk mendapatkan pengobatan. Dalam usaha mencari pengobatan seseorang memiliki kesamaan, orang tersebut akan mengunjungi Rumah Sakit atau pengobatan lainnya guna mendapatkan pengobatan demi mendapatkan kesembuhan.

Menurut H. Dalmy Iskandar dalam Yaser, 2004 yang dikatakan pasien adalah orang sakit yaitu orang yang dirawat dokter, seorang penderita (menderita sakit). Dalam praktek sehari-hari pasien dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu :

(7)

1. Pasien dalam, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan tunggal atau dirawat pada satu unit pelayanan kesehatan tertentu, atau dapat juga disebut dengan pasien yang dirawat di Rumah Sakit.

2. Pasien jalan/luar, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan tertentu atau disebut juga dengan pasien jalan.

3. Pasien opname, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara menginap dan di rawat di Rumah Sakit atau disebut juga dengan pasien rawat inap.

Dalam memperoleh pelayanan kesehatan pasien juga memiliki hak yang harus didapatkannya. Hak tersebut yaitu hak atas pelayanan kesehatan yang merupakan aspek sosial, dan hak untuk menentukan nasib sendiri yang merupakan aspek pribadi.

Kedua aspek ini saling terkait. Dalam aspek pribadi dimana seorang pasien untuk menentukan nasib sendiri terutama dalam hal penyembuhan pengobatan harus percaya sepenuhnya kepada kemampuan profesional tenaga kesehatan. Demikian juga sebaliknya, pihak tenaga kesehatan bila sudah diberikan kepercayaan penuh oleh pasien harus memberikan pelayanan kesehatan dengan standart pasien yang mereka miliki, yang merupakan aspek sosial.

Menurut Wikipedia (2009) Asal mula kata-kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patients dari bahasa inggris. Patients diturunkan dari bahasa latin yaitu patients yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya “menderita”. Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis.

(8)

2.3. Pengobatan Alternatif 2.3.1. Pengertian

Pengo batan tradis io nal atau alternat if merupakan bentuk pela yana n pengobatan yang menggunakan cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standart pengobatan kedokteran modern (pelayanan kedokteran standart) dan dipergunakan sebagai alternatif atau pelengkap pengobatan kedokteran modern tersebut. Manfaat atau khasiat serta mekanisme dari pengobatan alternatif biasanya masih dalam taraf diperdebatkan (Turana, 2003).

Menurut Agoes, (1992) Pengobatan Alternatif adalah suatu upaya kesehatan dengan cara lain dari ilmu kedokteran dan berdasarkan pengetahuan yang diturunkan secara lisan maupun tulisan yang berasal dari Indonesia atau luar Indonesia.

Sedangkan menurut WHO (1978), Pengobatan Tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan himpunan pengetahuan dan pengalaman praktek, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah ataupun tidak dalam melakukan diagnosis, prevensi dan pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik, mental ataupun sosial. Pedoman utama adalah pengalaman praktek, yaitu hasil-hasil pengamatan yang diteruskan dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan (Plus+,2005).

Penggunaan kata “alternatif” untuk menyatakan pengobatan non barat yang merupakan salah satu bukti bahwa pengobatan alternatif merupakan kearifan yang tidak berada pada posisi yang setara dengan ilmu pengobatan modren. Pada hakekatnya, sistem pengobatan modern dan pengobatan alternatif berjalan secara berdampingan dan saling melengkapi, tetapi sering karena terjadi kegagalan dan keterbatasan pengobatan modern terjadi peralihan kepada sistem alternatif

(9)

(Harmanto,2004).

Sesuai dengan Keput usan Seminar Pela yana n Pengo bat an Alt e mat if Departemen Kesehatan RI (1978), terdapat dua defenisi untuk pengobatan tradisional Indonesia (PETRIN), yaitu:

a. llmu dan seni pengobatan yang dilakukan oleh Pengobatan Tradisional Indonesia dengan cara yang tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai upaya penyembuhan, pencegahan penyakit, pemulihan dan peningkatan kesehatan jasmani, rohani dan sosial masyarakat.

b. Usaha yang dilakukan untuk mencapai kesembuhan, pemeliharaan dan peningkatan taraf kesehatan masyarakat yang berlandaskan cara berpikir, kaidah-kaidah atau ilmu di luar pengobatan ilmu kedokteran modern, diwariskan secara turun temurun atau diperoleh secara pribadi dan dilakukan dengan cara-cara yang tidak lazim dipergunakan dalam ilmu kedokteran.

Dalam UU Kesehatan R.I no 23 Tahun 1992 pasal 47 tentang pembinaan, pengawasan dan pengembangan pengobatan alternatif sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Sedangkan menurut rencana pembangunan dari Departemen Kesehatan RI tahun 1994/1995-1998/1999 telah membuat program pembinaan alternatif antara lain:

1. Pembentukan 12 sentra pengembangan dari penerapan pengobatan alternatif. Tugasnya mengadakan pengkajian, penelitian, pengujian, pendidikan, pelatihan, dan pelayanan pengobatan alternatif sebelum

(10)

pengobatan tersebut diterapkan secara luas di masyarakat atau diintegrasikan ke dalam jaringan pelayanan kesehatan Menurut Dalimarta dalam Batubara, 2004.

2. Pengembangan dan pembinaan obat alternatif melalui inventarisasi, penapisan dan pemanfaatan TOGA (Tanaman Obat Keluarga).

3. Pengembangan dan pembinaan metode pengobatan alternatif. 4. Pengembangan dan pembinaan tenaga pengobatan alternatif. 5. Pengembangan dan pembinaan sarana pengobatan alternatif.

6. Penggalian dan komunikasi Pusaka Nusantara melalui telaah dokumentasi pengobatan alternatif.

7. Peningkatan sarana penunjang program seperti penyiapan peraturan dan sistem yang ada.

8. Peningkatan pembinaan dan pengembangan pemanfaatan obat alternatif melalui kegiatan pembudidayaan tanaman obat.

Pengo bat a n a lt er nat if ada la h cara pe ng o bat an at au pera wat a n ya ng diselenggarakan dengan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan yang lazim dikenal, mengacu kepada pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang diperoleh secara turun temurun atau berguru melalui pendidikan, baik asli maupun dari luar Indonesia. Pengobatan alternatif adalah upaya kesehatan yang diselenggarakan dengan cara alternatif untuk meningkatkan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan

(rehabilitative) (Anwar, 2005).

(11)

berkembang dan pengobatan perdukunan/kebatinan cukup lama dilakukan dalam agama-agama suku. Penyembuhan perdukunan/kebatinan bergantung pada konsep yang beranggapan bahwa kesembuhan terjadi bila kita hidup sesuai dengan roh-roh di alam baka (animisne, okultisme) atau hidup selaras dengan kekuatan semesta

(mistisime/pantheisme), kalau tidak sesuai akan celaka atau sakit (Anwar, 2005).

2.3.2. Jenis Pengobatan Alternatif di Indonesia

Secara garis besar, Seminar Pelayanan Pengobatan Alternatif Indonesia (1978) telah menetapkan 4 (empat) jenis pengobatan alternatif yaitu:

1. Pengobatan alternatif dengan ramuan obat:

– pengobatan alternatif dengan ramuan asli Indonesia – pengobatan alternatif dengan ramuan obat Cina – pengobatan alternatif dengan ramuan obat India 2. Pengobatan alternatif spiritual/kebatinan:

– pengobatan alternatif atas dasar kepercayaan – pengobatan alternatif atas dasar agama – pengobatan dengan dasar getaran magnetis

3. Pengobatan alternatif dengan memakai peralatan/perangsangan: − akupunktur

− pengobatan alternatif urut pijat − pengobatan alternatif patah tulang

− pengobatan tradisional dengan peralatan (tajam/keras) − pengobatan alternatif dengan peralatan benda tumpul

(12)

4. Pengobatan alternatif yang telah mendapat pengarahan dan pengaturan pemerintah:

− dukun beranak

− tukang gigi tradisional.

2.3.3. Pengobat Alternatif

a. Pengertian Pengobat Alternatif

Pengobat Alternatif adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau perawatan dengan cara yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan pendidikan atau pelatihan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Ruang lingkup pelayanan yang dilakukan oleh Pengobat alternatif meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (profil Pengobat Pengobat Tradisional, 2007).

b. Pengobat Alternatif ditinjau dari klasifikasi dan jenisnya

a. Pengobat Alternatif keterampilan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan perawatan alternatif berdasarkan keterampilan fisik dengan menggunakan anggota gerak dan atau alat bantu lain. Meliputi Pengobat Alternatif pijat urut, patah tulang, sunat, dukun bayi, refleksi, akupresuris, akupunturis, chiropractor dan SPA.

b. Pengobat alternatif ramuan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan atau perawatan alternatif dengan mengunakan obat/ramuan tradisional yang berasal dari tanaman (flora), fauna, bahan mineral, air dan bahan alam lain. Meliputi Pengobat alternatif ramuan Indonesia (jamu), gurah, tabib,

(13)

shinse, homoeopathy, aroma therapist dan oukup.

c. Pengobat alternatif pendekatan agama adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan atau perawatan alternatif dengan menggunakan pendekatan agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Meliputi Pengobat alternatif dengan pendekatan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

d. Pengobat Alternatif Supranatural adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan atau perawatan alternatif, dengan menggunakan tenaga dalam, meditasi, olah pernafasan, indra keenam (pewaskita) dan kebatinan. Meliputi pengobat alternatif tenaga dalam (prana), paranormal, reiky master, gigong dan kebatinan (profil Pengobat Tradisional, 2007).

c. Pengobat Alternatif akupuntur

Pengobat alternatif akupuntur adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dengan perangsangan pada titik-titik akupuntur dengan cara menusukkan jarum dan sarana lain seperti elektro akupuntur.

2.3.4. Tujuan Pengobatan Alternatif A. Tujuan Umum

Meningkatnya pendayagunaan pengobatan alternatif baik secara tersendiri atau terpadu pada sistem pelayanan kesehatan, dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dengan demikian pengobatan alternatif merupakan salah satu alternatif yang relatif lebih disenangi masyarakat. Oleh karenanya kalangan kesehatan berupaya mengenal dan jika dapat mengikut sertakan pengobatan alternatif tersebut (Zulkifli, 2005).

(14)

B. Tujuan Khusus

1. Meningkatkan mutu pelayanan pengobatan alternatif, sehingga masyarakat terhindar dari dampak negatif karena pengobatan alternatif.

2. Meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan dengan upaya pengobatan alternatif

3. Terbinanya berbagai tenaga pengobatan alternatif dalam pelayanan kesehatan. 4. Terintegrasinya upaya pengobatan alternatif dalam program pelayanan

kesehatan, mulai dari tingkat rumah tangga, puskesmas sampai pada tingkat rujukannya (Zulkifli, 2005).

2.3.5. Standarisasi Pengobatan Alternatif

Untuk dapat dimanfaatkannya sebagai pengobatan alternatif dalam pelayanan kesehatan, banyak yang harus diperhatikan. Salah satu diantaranya yang dinilai mempunyai peranan yang sangat penting adalah upaya standarisasi. Diharapkan, dengan adanya standarisasi ini bukan saja mutu pengobatan alternatif akan dapat ditingkatkan, tetapi yang penting lagi munculnya berbagai efek samping yang secara medis tidak dapat dipertanggung jawabkan, akan dapat dihindari.

Pengertian standarisasi adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna, yang dipakai sebagai batas penerimaan minimal. Standar menunjukkan pada tingkat ideal tercapai tersebut tidak disusun terlalu kaku, tetapi masih dalam batas-batas yang dibenarkan disebut dengan “toleransi”:

(15)

Syarat suatu standar yang baik dipandang cukup penting adalah : 1. Bersifat jelas

Artinya dapat diukur dengan baik, termasuk ukuran terhadap penyimpangan- penyimpangan yang mungkin terjadi.

2. Masuk akal

Suatu standar yang tidak masuk akal, bukan saja akan sulit dimanfaatkan tetapi juga akan menimbulkan frustasi para profesional.

3. Mudah dimengerti

Suatu standar yang tidak mudah dimengerti juga akan menyulitkan tenaga pelaksana sehingga sulit terpenuhi.

4.Dapat dipercaya 5. Absah

Artinya ada hubungan yang kuat dan dapat didefenisikan antara standar dengan sesuatu (misalnya mutu pelayanan) yang diwakilinya.

6. Meyakinkan

Artinya mewakili persyaratan yang ditetapkan. Apabila terlalu rendah akan menyebabkan persyaratan menjadi tidak berarti.

7. Mantap, Spesifik dan Eksplisit

Artinya tidak terpengaruh oleh perubahan oleh waktu, bersifat khas dan gamblang.

Dari standar pengobatan alternatif yang dikemukakan di atas, bahwa upaya standarisasi pengobatan alternatif di Indonesia, tidak semudah yang diperkirakan. Karena ditemukannya konsep pengobatan alternatif yang supranatural menyebabkan

(16)

standarisasi akan sulit dilakukan. Untuk ini, menerapkan pendekatan kesembuhan penyakit masih sulit dilakukan, maka untuk sementara diterapkan pendekatan pengobatan tidak sampai menimbulkan komplikasi atau kematian (Zulkifli, 2005).

2.3.6. Peminat Pengobatan Alternatif

Peminat pengobatan alternatif dipengaruhi oleh beberapa faktor : (Zulkifli, 2005)

1. Faktor Sosial

Alasan masyarakat memilih pengobatan alternatif adalah selama mengalami pengobatan alternatif keluarganya dapat menjenguk dan menunggui setiap saat. Hal tersebut sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu ingin berinteraksi langsung dengan keluarganya atau kerabatnya dalam keadaan sakit. Selama perawatan yang dialaminya mereka dapat berkomunikasi dengan akrab dengan keluarganya. Namun ada juga informasi yang mengemukakan bahwa masyarakat lebih senang dirawat atau diobati di rumah sakit daripada dirawat atau diobati di tempat-tempat pengobatan alternatif. Mereka dibawa ke pengobatan alternatif bukan atas kemauan sendiri tetapi atas desakan biaya pengobatan. Biasanya mereka belum pernah ke rumah sakit sehingga tidak bisa dibandingkan pengobatan alternatif dengan pengobatan di rumah sakit. Disini tampak adanya faktor pasrah akibat dari keterbatasan pengalaman-pengalaman dalam interaksi sosial.

2. Faktor Ekonomi

(17)

murah daripada rumah sakit, cara pembayarannya juga tidak memberatkan karena pasien tidak tertarik uang muka. Selain itu bagi yang tidak mampu membayar sekaligus dapat dicicil setelah pulang. Jika ditinjau dari klasifikasi pasien yang datang ke tempat pengobatan alternatif ini sebagian besar pekerjaannya adalah buruh kasar, sopir, tukang parkir, sehingga wajar faktor ekonomi menentukan dalam memilih tempat pengobatan.

3. Faktor Budaya

Salah satu alasan mengapa para penderita memilih tempat pengobatan alternatif karena pengobatan di tempat ini memiliki seorang ahli yang mempunyai kekuatan supranatural yang mampu mempercepat kesembuhan penyakit. Disamping itu hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Foster dan Anderson bahwa sistem med is adalah bag ian int egral dari kebudayaan. Salah satu faktor lain yang menyebabkan pengobatan alternatif ini masih diminati masyarakat adalah kategori penyembuhan yaitu siapa yang berhak atau yang tepat dalam menyembuhkan, misalnya untuk penyakit C hanya D yang berhak, penyakit A hanya B yang tepat menyembuhkan. Dalam persepsi masyarakat juga menganggap penyakit yang tidak parah tidak perlu dibawa ke rumah sakit, karena penyakit yang diderita dianggap tidak mengancam jiwanya, tidak menggangu nafsu makan serta masih mampu melakukan kegiatan sehari-hari walaupun agak terganggu.

4. Faktor Sosial

Kenyamanan yang diperoleh pada saat pengobatan karena tidak menggunakan peralatan-peralatan yang bisa menakutkan mereka, terutama patah tulang tidak perlu

(18)

diamputasi atau digips. 5. Kemudahan

Pasien dapat segera ditangani tanpa harus menunggu hasil rontgen dan hasil laboratorium lainnya.

2.4. Akupuntur

2.4.1. Pengertian Akupuntur

Kata akupuntur berasal dari bahasa Yunani, yaitu acus yang berarti jarum dan

punctura yang berarti menusuk. Di dalam bahasa Inggris menjadi to puncture,

sedangkan kata asal dalam bahasa Cina adalah cenciu. Kata tersebut kemudian diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi akupuntur atau tusuk jarum. Istilah akupuntur lebih dikenal dan berkembang luas di dunia Internasional dari pada kata aslinya cenciu karena orang di luar Cina banyak mempelajari ilmu akupuntur dari buku-buku yang diterbitkan dalam bahasa selain Cina, terutama bahasa Inggris (Dharmojono, 2001).

Sebagai suatu sistem pengobatan, akupuntur merupakan pengobatan yang dilakukan dengan cara menusukkan jarum di titik-titik tertentu pada tubuh pasien. Maksudnya adalah untuk mengembalikan sistem keseimbangan tubuh sehingga pasien sehat kembali (Dharmojono, 2001).

Akupuntur adalah teknik pengobatan yang digunakan dalam pengobatan tradisional Cina. Jarum-jarum yang sangat tajam digunakan untuk menstimulasi titik-titik tertentu pada tubuh. Titik-titik-titik ini terdapat pada jalur-jalur energi yang disebut

(19)

keseimbangan energy. (Anonimous, 2007).

2.4.2. Sejarah perkembangan akupuntur

Ilmu akupuntur mulai berkembang sejak zaman Batu, yaitu kira- kira 4000 - 5000 tahun yang lalu, dimana digunakan jarum batu untuk menyembuhkan penyakit. Buku "Huang Ti Nei Cing" adalah sebuah buku ensiklopedi Ilmu Pengobatan China. Diterbitkan pada jaman "Cun Ciu Can Kuo" yaitu tahun - tahun antara 770 - 221 sebelum Masehi. Pada zaman itu Ilmu Akupunktur berkembang seperti juga ilmu - ilmu lainnya di negara itu. Bahan jarum akupunktur berubah dari batu ke bambu, dari bambu ke tulang dan dari tulang menjadi perunggu. Menurut catatan sejarah negara tersebut, pada jaman dinansti Tang (tahun 265-960), Ilmu Akupunktur berkembang dengan pesat dan mulai tersebar ke luar negara asalnya, yaitu: Korea, Jepang dan negara lainnya.

Sedangkan di Amerika Serikat, Ilmu Akupunktur telah berkembang lama dalam lingkungan " China Town " di kota San Francisco dan New York. Dalam delapan tahun ini Ilmu Akupunktur telah merebut perhatian di negara tersebut ; para dokternya mulai mempelajari, menyelidiki, riset dan mempraktekkannya.

Perkembangan akupunktur di Indonesia setua adanya perantau China yang tiba di Indonesia. Hanya saja Ilmu Akupunktur hanya hidup terbatas dalam lingkungan sendiri dan sekitarnya. Pada tahun 1963 atas instruksi Menteri Kesehatan masa itu " Prof. Dr. Satrio, Departemen Kesehatan meneliti dan mengembangkan cara pengobatan Timur, termasuk Akupunktur untuk membentuk sebuah Team Riset Ilmu Pengobatan Tradisional Timur. Maka mulai saat itu praktek akupunktur diadakan

(20)

secara resmi di Rumah Sakit Umum Pusat, Jakarta yang kemudian berkembang menjadi sebuah Sub Bagian dibawah bagian Penyakit Dalam, dan selanjutnya menjadi Unit Akupunktur Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada masa ini. Disamping memberikan pelayanan poliklinis terhadap pengunjung/pederita, Unit Akupunktur Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo juga menyelenggarakan pendidikan untuk menghasilkan dokter ahli akupunktur baru (Ferry, 2007).

2.4.3. Cara Kerja Akupuntur

Titik-titik tertentu di tubuh pasien ditusuk dengan jarum. Murni hanya jarum, tanpa ada bahan lain atau obat pada jarumnya. Fungsi jarum tersebut ‘membantu’ membenahi sistem energi tubuh yang bermasalah. Karena itulah tusukan pada titik-titik tersebut disesuaikan dengan jenis penyakit yang diderita pasien.

Perawatan akupuntur saat ini sedikit berbeda dengan cara yang dilakukan masyarakat Cina Kuno. Dahulu, masyarakat Cina Kuno menggunakan batu-batu tajam, kayu dan buluh sebagai alat untuk menekan dan menusuk bagian-bagian tertentu. Tetapi kini, alat-alat ini diganti dengan cara yang lebih modern, yaitu penggunaan jarum-jarum halus yang telah disterilkan. Jarum-jarum ini dibuat dari berbagai bahan logam seperti jarum silver atau jarum perak, jarum copper atau jarum tembaga, dan jarum emas.

Jarum yang ditusukkan itu tidak akan terasa sakit, hanya ada sedikit rasa ditusuk jarum dan bila jarum ditusukkan lebih dalam mungkin akan terasa seperti disetrum, sebab jarum yang digunakan sangat tajam, padat, dan jauh lebih halus

(21)

dibandingkan jarum suntik. Panjang jarum berkisar antara 12 mm-10 cm, dan dapat ditusukkan sedalam 6 mm-7.5 cm, tergantung kurus-gemuknya pasien, lokasi titik pengobatan, dan gangguan (di dalam atau permukaan).

Jarum dapat dibiarkan tertancap selama beberapa detik sampai satu jam, tetapi umumnya 20 menit. Bagi yang menghadapi penyakit yang agak kronis perawatan dijalankan sebanyak sekali atau dua kali seminggu. Sebaliknya, perawatan ringan diberikan bagi penyakit yang tidak terlalu kritis.

Dalam pengobatan, pasien mungkin perlu membuka sebagian pakaiannya agar jarum dapat ditusukkan pada titik-titik yang perlu sementara pasien berbaring. Umumnya titik-titik pengobatan terletak di lengan bawah dan tangan, tungkai bawah dan kaki, walaupun titik-titik akupuntur terdapat di seluruh tubuh.

Titik penusukan tergantung pada lokasi gangguan dan cara akupunturis untuk mempengaruhi tubuh. Titik ini tidak harus langsung berhubungan dengan keluhan pasien, misalnya untuk pengobatan gangguan kepala dapat saja diambil titik pengobatan pada kaki yang terletak pada kanal yang bersangkutan (Anonim, 2004).

2.4.4. Upaya Standarisasi Pelayanan Akupuntur

Dengan upaya dan perjuangan yang cukup panjang, pengobatan akupuntur sebagai sistem pengobatan alternatif telah memiliki pegangan standar, tidak seperti hanya dengan sistem pengobatan tradisional lainnya. Hal ini terjadi karena akupuntur merupakan suatu sistem pengobatan yang telah memiliki falsafah (cara berpikir, teori-teori dasar, teknik memeriksa pasien, teknik mendiagnosis, teknik terapi, teknik evaluasi, dan berbagai aspek lainnya. Oleh karena itu, dapat

(22)

dikatakan bahwa akupuntur tidak lagi disebut sebagai cara pengobatan tradisional, melainkan merupakan cara pengobatan alternatif karena sifatnya yang akomodatif pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, adanya inovasi dalam pengobatan akupuntur dengan berkembangnya sistem elektro akupuntur, laser, ultarsonik, magnet, akuapuntur, dan sebagainya.

Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka peranan para akupunturis dituntut untuk lebih meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu disegala aspek pengobatan akupunturnya. Hal ini akan berjalan lancar apabila diimbangi dengan adanya pengawasan dari pemerintah melalui Depkes sebagai tindak lanjut keberadaan pelayanan akupunturis. Aspek-aspek utama yang harus dimiliki oleh para akupunturis sebagai berikut :

1. Sumber daya manusia (akupunturis) 2. Bentuk pelayanan akupuntur

3. Proses pelayanan akupuntur

4. Penampilan (performance) pelayanan akupuntur (Dharmojono, 2001)

a. Sumber Daya Manusia (akupunkturis)

Pada saat ini, akupunkturis terdiri dari dokter dan nondokter (selanjutnya disebut akupunkturis). Apabila tenaga medik/dokter akan menyelenggarakan pelayanan akupunktur tidak memerlukan izin praktek khusus terlebih dahulu karena pelayanan akupunktur dianggap merupakan salah satu ragam pelayanan. Izin praktek dokter secara langsung sudah termasuk izin praktek akupunkturisnya. Namun demikian, tenaga medik/dokter akupunkturis tetap harus memiliki sertifikat yang

(23)

menunjukkan telah mengikuti dan lulus dari pendidikan akupuntur yang memiliki izin penyelenggaraan kursus dari Depdikbud. Akupunturis yang telah dinyatakan lulus dari pendidikan akupuntur akan mendapat ijazah lokal. Selanjutnya, merekapun harus lulus dari ujian nasional akupunturis yang diselenggarakan oleh depdikbud, baik teori maupun praktek (Dharmojono, 2001).

b. Bentuk Pelayanan Akupuntur

1. Bentuk pelayanan/praktek perorangan (praktek mandiri) 2. Bentuk praktek berkelompok

3. Bentuk praktek bersama 4. Bentuk praktek di puskesmas

5. Bentuk praktek akupunturis di rumah sakit c. Proses Pelayanan Akupuntur

1. Proses teknis medik

Akupunturis harus mampu melakukan tindakan medik dengan prosedur standar secara sistematis dan akurat meliputi teknik pengumpulan data pasien (cara memeriksa pasien), teknik mendiagnosis, teknik terapi dan teknik evaluasi terhadap tindakan mediknya. Akupunturis pun harus memiliki kartu pasien standar, memahami cara pengisian dan dapat menyimpannya.

2. Proses non teknik medik

Akupunturis memahami proses penanganan pasien sejak pendaftaran konsultasi

(penyuluhan), alur rujukan (apabila diperlukan), sampai pada urusan administrasi

(24)

d. Penampilan Pelayanan Akupuntur 1. Penampilan fisik

a. Ruangan praktek akupuntur

b. Sarana teknis pelayanan akupuntur c. Pakaian praktek akupuntur

2. Penampilan non fisik

a. Penampilan non fisik berupa hasil keluaran (output) dari pelayanan akupuntur yang diselenggarakan (medical output performance), dengan adanya evaluasi mengenai angka kesembuhan, angka efek samping, dan angka terjadinya kompilasi.

b. Penampilan non fisik yang sifatnya non medis (non medical performance) perlu dimiliki oleh seorang akupunturis dengan rujukan sumpah/janji akupunturis dan kode etik akupunturis Indonesia (Dharmojono,2001).

2.5. Pelayanan Akupuntur Mudah Diterima Masyarakat

Menurut Dharmojono (2001) motto akupuntur terkenal dengan nama MAREM (Murah, aman, Rasional, efektif, mudah). Motto ini sangat sesuai denga GBHN (1988) yang menyatakan bahwa: “Pembangunan kesehatan terutama ditujukan kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di pedesaan maupun di perkotaan”.

Pada dasarnya, jumlah akupunturis di Indonesia masih sangat sedikit dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar, seperti, jakarta, Surabaya, Jogja, Bandung dan beberapa kota di luar pulau jawa. Apabila akupunturis ingin berperan dalam

(25)

upaya pelayanan kesehatan masyarakat maka harus dihasilkan akupunturis yang berkualitas tinggi dan bersedia terjun ke pedesaan (Dharmojono, 2001).

2.6. Kerangka Konsep Teori L. Green Predisposing Factors - Umur - Jenis kelamin - Suku - Pekerjaan - Tingkat pendidikan - Penghasilan - Pengetahuan - Sikap Enabling Factors - Fasilitas pelayanan - Tempat pelayanan pengobatan akupuntur Reinforcing Factors - Keluarga - Teman - Petugas Akupuntur - Media cetak/elektronik

(26)

Skema diatas menunjukkan bahwa predisposing factors meliputi umur, jenis kelamin, suku, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap, kepercayaan dan enabling factors meliputi fasilitas pelayanan, tempat pelayanan serta reinforcing factors meliputi keluarga, teman, petugas akupuntur, media cetak/elektronik merupakan faktor-faktor yang memengaruhi pasien terhadap pengobatan akupuntur.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, indikator Good Corporate Governance yang digunakan adalah Kepemilikan Institusional (X1), Kepemilikan Manajerial (X2), Dewan Komisaris Independen

Meskipun perpustakaan bermanfaat sebagai salah satu sumber belajar untuk semua mata pelajaran (termasuk pelajaran sejarah), namun dalam kenyataan ada kecenderungan

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Penegakan s Penegakan sanksi anksi pidana pidana pada pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan pada pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

 Wanita pada zaman Rasulullah juga berperan mengislamkan orang yang masih kafir, sebagaimana yang dilakukan oleh Fathimah binti Khathab.. Suatu ketika, Umar yang waktu itu