• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK USAHA AYAM LOKAL MENGISI PANGSA PASAR NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSPEK USAHA AYAM LOKAL MENGISI PANGSA PASAR NASIONAL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK USAHA AYAM LOKAL

MENGISI PANGSA PASAR NASIONAL

(Prospect on Native Chicken Bussines to Meet National Market Share)

HARYONO1,B.TIESNAMURTI2 danC.HIDAYAT3

1Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jl. Ragunan 29, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151

criansci@indo.net.id 3

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

The development of local chicken role is in line with government needs with a vision to realize food availability based on local resources. Indonesia is a country that rich of local chicken genetic resources, along with abundant of natural resources and farmers participation had resulted local chicken business as one of the strategic nasional livestock development. There are two constraints to improve local chicken performance towards livestock development, i.e. limited stocks avalibility and relatively low productivity. There is a need to build network/collabotarion to produce stocks between DG of livestock services and research institution. Improved productivity could be achieved through increasing on genetic quality, feeding and management.

Key Words: Prospect, Local Chickens, National Market Share ABSTRAK

Pengembangan peran ayam lokal seirama dengan harapan pemerintah dengan visi mewujudkan ketersediaan pangan berbasis sumber daya lokal. Indonesia sebagai negara yang kaya dengan sumber daya genetik ayam lokal, disertai pula dengan keberlimpahan sumber daya alam dan keikutsertaan peternak rakyat, usaha ayam lokal menjadi strategis dalam pembangunan peternakan nasional. Terdapat dua permasalahan yang menjadi tantangan dalam rangka meningkatkan kinerja usaha pengembangan ayam lokal, yakni Menjadikan keterbatasan penyediaan bibit dan rendahnya produktivitas bibit ayam lokal. Perlunya dijalin kerjasama antara institusi yang membidangi aspek perbanyakan bibit dengan lembaga penelitian peternakan. Peningkatan produktivitas dapat ditempuh melalui upaya perbaikan mutu genetik, pakan dan manajemen.

Kata Kunci: Prospek Ayam Lokal, Pangsa Pasar Nasional

PENDAHULUAN

Peran ayam lokal dalam kehidupan masyarakat Indonesia cukup erat dengan perkembangan budaya masyarakat, sekaligus dijadikan sumber konsumsi daging dan telur. Produk pangan yang berasal dari ayam lokal memiliki posisi yang baik karena karakteristik yang khas yang terdapat di dalamnya yang secara umum disukai oleh “lidah” masyarakat.

Populasi ayam lokal berjumlah sekitar 275 juta ekor (DITJEN PKH, 2011) yang sebagian besar dikuasai oleh rumah tangga di pedesaan yaitu sebanyak 20,8 juta rumah tangga (kepemilikan 5 – 30 ekor/keluarga). Populasi tersebut memberikan kontribusi produksi daging sebanyak 267,6 ribu ton/tahun.

Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat plasma nutfah ayam di dunia selain daratan

China dan India. Sejauh ini telah tercatat 33 rumpun ayam lokal di Indonesia seperti ayam Kedu, ayam Pelung, ayam Kokok-Balenggek dan berbagai rumpun ayam lokal lainnya.

Sebagai sumber daya genetik (SDG) asli Indonesia, ayam lokal dapat dikembangkan guna mendukung kemandirian penyediaan pangan sumber protein hewani nasional. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan yang menekankan pentingnya kemandirian penyediaan pangan berbasis sumber daya lokal.

Selain kaya akan SDG ayam lokal, Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang beragam dan dapat dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam pengembangan peternakan ayam lokal. Makalah ini membahas

(2)

peluang dan strategi pengembangan ayam lokal dalam upaya meningkatkan kontribusinya dalam penyediaan kebutuhan daging dan telur unggas nasional.

Kondisi perunggasan lokal saat ini

Secara nasional populasi ternak unggas lokal (ayam dan itik) di Indonesia berada pada posisi kedua dan ketiga dari empat jenis unggas (ayam ras pedaging, ayam ras petelur, ayam lokal, dan itik lokal) yang digunakan sebagai sumber pangan (daging dan telur). Dari total populasi ternak unggas pada tahun 2011 (1,4 milyar ekor), populasi ayam dan itik lokal berturut-turut sebanyak 274.893.000 dan 49.392.000 ekor atau 18,61 dan 3,34% dari total populasi ternak unggas nasional (Tabel 1). Populasi unggas nasional, sampai saat ini masih didominasi oleh ayam ras pedaging.

Produksi daging nasional pada tahun 2010 mencapai 2,3 juta ton, dengan kontributor daging utama adalah ayam ras pedaging (63,3%), diikuti oleh ternak sapi (18,4%), ayam lokal (14%), dan gabungan dari daging lain-lainnya (18,9%) (DITJEN PKH, 2011).

Produksi telur nasional, pada lima tahun terakhir berada pada kisaran 1,3 – 1,4 juta ton (Tabel 3). Sampai saat ini, kontributor telur terbesar masih dikuasai oleh ayam ras petelur. Kontribusi telur unggas lokal (ayam dan itik) dalam memenuhi kebutuhan telur nasional masih relatif rendah, yakni pada kisaran dibawah 20%.

Tingkat kontribusi daging ayam ras dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat yang lebih besar, tidak kemudian dapat disimpulkan bahwa preferensi masyarakat terhadap daging ayam ras jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ayam lokal. Hal ini lebih disebabkan oleh ketersediaan daging ayam ras

Tabel 1. Populasi ternak unggas di indonesia

Jenis unggas (000 ekor) 2007 2008 2009 2010 2011

Ayam lokal 272.251 243.423 249.963 257.544 274.893 Ayam ras pedaging/broiler 891.659 902.052 1.026.379 986.872 1.041.968 Ayam ras petelur/layer 111.489 107.955 111.418 105.210 110.300 Itik lokal 35.867 39.840 40.676 44.302 49.392 Total 1.311.266 1.293.270 1.428.436 1.393.928 1.476.553

Sumber: DITJEN PKH (2011)

Tabel 2. Produksi daging unggas pada tahun 2007 – 2011 (000 ekor)

Jenis unggas 2007 2008 2009 2010 2011

Ayam ras impor pedaging 942,8 1,018,7 1.101,8 1.214,3 1.270,4

Ayam lokal 294,9 273,5 247,7 267,6 283,1

Ayam ras impor petelur 58,2 57,3 55,1 57,7 222,8

Itik lokal 44,1 31,0 25,8 26,0 29,2

Sumber: DITJEN PKH (2011)

Tabel 3. Produksi telur tahun 2007 – 2011 (000 ton)

Jenis Unggas 2007 2008 2009 2010 2011

Ayam lokal 230,5 166,6 160,9 175,5 179,6

Ayam ras petelur 944,1 956,0 909,5 945,6 986,8

Itik lokal 207,5 201,0 236,4 245,0 265,8

Total 1.382,1 1.323,6 1.306,9 1.366,2 1.432,2

(3)

jauh lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan daging ayam lokal. Apresiasi harga yang diberikan oleh konsumen pada daging ayam lokal jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daging ayam ras (ISKANDAR, 2005; ISKANDAR 2010). Fakta ini

menggambarkan kekurang- mampuan para peternak ayam lokal dalam mensuplai daging dan telur unggas lokal kepada masyarakat. Hal ini disebabkan oleh sistem budidaya ayam lokal dengan pemilikan populasi sangat kecil, sehingga tidak dapat menyediakan populasi yang memadai. Oleh karena itu, upaya peningkatan populasi ayam lokal melalui berbagai program masyarakat yang didukung oleh pemerintah merupakan hal yang tepat. Kerjasama masyarakat peternak dan pemerintah dengan para investor besar perlu digagas secara serius.

Kendala dalam pengembangan ayam lokal Di tengah geliat meningkatnya permintaan terhadap produk pangan yang berasal dari ayam lokal, dalam perkembangannya, “industri kerakyatan” ayam lokal menghadapi beberapa kendala. Hal ini meliputi skala usaha relatif kecil (kepemilikan tidak lebih dari 30 ekor, dengan jumlah induk betina kurang dari 10 ekor), produksi telur rendah (30 – 60 butir/tahun), kelangkaan bibit, pertumbuhan lambat, mortalitas tinggi, mahalnya biaya ransum, serta diusahakan secara perorangan dengan pemeliharaan tradisional (GUNAWAN, 2002; ROHAENI et al., 2004). Hal tersebut mengakibatkan para peternak ayam lokal tidak mampu memenuhi besarnya permintaan pasar. Atas dasar itu, maka dalam pengembangan ayam lokal, terdapat dua simpul titik tekan yang penting dicarikan jalan keluar bagi penyelesaiannya, yakni: (1) Kelangkaan bibit di kalangan para peternak ayam lokal, dan (2) Masih rendahnya produktivitas (daging dan telur) ayam lokal.

Menghadapi permasalahan produktivitas ayam lokal yang rendah, SUPRIADI et al. (2005) menjelaskan bahwa rendahnya produktivitas ayam lokal diakibatkan oleh tiga faktor, yaitu input usaha yang rendah, sifat genetik yang belum dimuliakan serta tingginya mortalitas. Input usaha yang rendah dapat terjadi karena usaha peternakan ayam lokal lebih bersifat

sebagai usaha sambilan dengan modal dan penguasaan teknologi yang terbatas. Mortalitas yang tinggi diakibatkan oleh ekses dari penggunaan sistem pemeliharaan secara tradisional yang umumnya tidak memperhatikan dan melaksanakan aspek biosecurity dan sistem vaksinasi.

Strategi mengatasi kelangkaan bibit

Kesulitan untuk mendapatkan bibit, merupakan hal yang sering disuarakan oleh peternak ayam lokal. Investasi modal yang besar untuk penyediaan induk, seleksi kualitas induk, produksi telur induk, alat mesin tetas, tenaga kerja dan penerapan teknologi menjadi kendala paling utama, sehingga menyebabkan terbatasnya para pelaku usaha dalam “industri kerakyatan” ayam lokal. Menyadari akan permasalahan di atas, ISKANDAR (2006)

merekomendasikan bahwa pada sektor hulu (perbibitan), peran serta instansi pemerintah (pusat dan daerah) yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait, perlu diperbesar guna mengatasi permasalahan dalam “industri kerakyatan” ayam lokal.

ISKANDAR (2006) membagi upaya pemecahan kelangkaan bibit ayam lokal ke dalam dua mekanisme kerja. Mekanisme kerja pertama dilakukan di antara instansi milik pemerintah pusat (Gambar 1), yaitu antara Direktorat Perbibitan (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan) dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Badan Litbang Pertanian) dimana antara ke duanya mensinergikan diri untuk saling bekerjasama dalam kebijakan, program, fasilitas, pendanaan serta tenaga kerja guna mengatasi kelangkaan bibit ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Badan Litbang Pertanian) dimana antara keduanya bersinergi diri untuk saling bekerjasama dalam kebijakan, program, fasilitas, pendanaan serta tenaga kerja guna mengatasi kelangkaan bibit ayam lokal. Secara teknis, Balai Penelitian Ternak yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Puslitbang Peternakan, melakukan penelitian untuk menghasilkan ayam lokal unggul. Ayam lokal unggul tersebut kemudian diuji untuk dipastikan memiliki kelebihan (produktivitas) dibandingkan dengan ayam

(4)

Gambar 1. Mekanisme kerja pengembangan ayam lokal di tingkat pusat (ISKANDAR, 2006)

lokal yang ada di masyarakat. Ketika ayam lokal unggul tersebut telah di hasilkan, maka peran Direktorat Perbibitan melalui UPT Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sembawa dilakukan perbanyakan dan selanjutnya didistribusikan kepada UPTD milik pemerintah daerah (Dinas Peternakan Provinsi).

UPTD milik dinas peternakan provinsi, melanjutkan tahap berikutnya melalui mekanisme kerja di tingkat daerah, seperti diperlihatkan dalam Gambar 2. UPTD melakukan perbanyakan kembali ayam lokal unggul tersebut untuk disebarkan kepada para kelompok peternak ayam lokal yang ada di wilayah kabupaten/kota, baik melalui dinas peternakan kabupaten/kota maupun langsung kepada para peternak. Dinas peternakan kabupaten/kota dilibatkan untuk menjadi pembina, pemonitor serta evaluator dari pengembangan ayam lokal di tingkat kelompok peternak. Proses pembinaan terhadap para

kelompok peternak ini sangat penting dilakukan, sehubungan bahwa para peternak sangat membutuhkan bimbingan dalam pelaksanaan teknis pemeliharaan ternak yang baik, dan perbaikan memanajemen pembagian peran dalam setiap kelompok.

Setiap kelompok peternak ayam lokal dapat bekerjasama dengan mitra usaha yang berperan dalam menyediakan sarana produksi ternak (sapronak) serta memasarkan produk (DOC, daging dan telur). Dalam dinamika kelompok sebaiknya dipetakan peran para anggota secara fungsional. Satu orang dari anggota kelompok dapat menjalankan peran sebagai pembibit, dan fokus sebagai penyedia DOC untuk anggota kelompok yang lain. Sementara itu, anggota kelompok yang lain dapat berperan sebagai pelaku usaha penggemukan untuk produksi ayam potong dan/atau usaha untuk menghasilkan telur konsumsi.

Gambar 2. Mekanisme kerja pengembangan ayam lokal di tingkat daerah (ISKANDAR, 2006) UPTD Pembibitan Unggas

(Perbanyakan dan distribusi bibit niaga)

Program dan proyek

Dinas atau Sub-Dinas (Peternakan kabupaten/kota pembinaan, monitoring dan evaluasi)

Bibit unggul

Info kualitas Pelayanan umpan balik

Kelompok peternak Produksi telur dan ayam

Mitra usaha sapronak Pasar induk

Info bisnis

Kelompok peternak Produksi telur dan ayam Direktorat Perbibitan bersepakat dengan Pusat Penelitian

dan Pengembangan Peternakan (dalam kebijakan, program, fasilitas, pendanaan dan tenaga kerja)

Balai Pembibitan Ternak Unggul Sembawa (Perbanyak bibit unggul dan program

pengembangan)

Unit Perbanyakan Ternak Unggas Daerah (Perbanyakan bibit dan distribusi ayam niaga)

Balai Penelitian Ternak (Inventarisir jenis ayam lokal; seleksi dan

(5)

Sesuai dengan kesepakatan bersama di dalam kelompok, produk sebaiknya dijual lewat satu pintu, yaitu anggota kelompok yang bertugas sebagai pemasar produk. Penyediaan pakan dapat dilakukan dengan membentuk divisi pakan dalam kelompok peternak. Divisi ini bertugas mencari bahan-bahan lokal yang melimpah dan berharga murah di wilayah sekitar kelompok peternak tersebut. Bahan-bahan pakan lokal tersebut kemudian diramu menjadi ransum yang disediakan guna mencukupi kebutuhan pakan seluruh anggota kelompok.

Strategi peningkatan produktivitas ayam lokal

Peningkatan produktivitas ternak unggas dapat dilakukan dengan tiga pendekatan perbaikan yakni: (1) Perbaikan breeding (mutu genetik); (2) Perbaikan feeding (pakan); dan (3) Perbaikan managemen (KETAREN, 2010).

Perbaikan breeding (mutu genetik)

Penelitian perbaikan mutu genetik ayam lokal melalui proses seleksi serta perkawinan silang dilaporkan telah dilakukan oleh peneliti Badan Litbang Pertanian, dimana kedua proses tersebut mampu memperbaiki produktivitas ayam lokal menjadi lebih tinggi (GUNAWAN et

al., 1998; SARTIKA et al., 2002; ISKANDAR, 2005). Sementara itu, SARTIKA et al. (2002), melaporkan bahwa ayam lokal yang diseleksi berdasarkan penghilangan sifat mengeram, produksi telurnya meningkat dari 29,53% hen

day menjadi 48,89% hen day pada generasi ke

tiga selama 6 bulan masa produksi. Dalam pelaksanaannya, perbaikan mutu genetik memerlukan proses yang teliti dengan waktu yang panjang serta mengeluarkan biaya yang besar. Proses perbaikan genetik ayam lokal dilakukan melalui beberapa proses yaitu; inventarisasi sumber daya genetik, selanjutnya dilakukan proses seleksi berdasarkan sifat-sifat unggul, untuk menghasilkan galur unggul. Sehubungan dengan proses di atas maka pelaksanaan perbaikan mutu genetik tersebut tidak mungkin dapat dilakukan oleh para peternak biasa. Oleh karenanya, maka upaya perbaikan mutu genetik ayam lokal seyogyanya diserahkan kepada lembaga

penelitian milik pemerintah, untuk kemudian hasilnya disebarkan kepada para peternak ISKANDAR (2006).

Perbaikan pakan

Perbaikan pakan dalam menunjang peningkatan produktivitas (daging dan telur) ayam lokal dapat dilakukan melalui: (a) Penerapan teknologi formulasi pakan; (b) Optimalisasi penggunaan bahan pakan lokal; dan (c) Efisiensi aplikasi teknologi (RESNAWATI, 2010). Masih banyak peternak ayam lokal yang menggunakan 100% rasum komersial ayam ras. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman dan penerapan teknologi formulasi pakan penting untuk dipahami dan dikuasai oleh para anggota kelompok peternak ayam lokal. Kemampuan produksi ayam lokal yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras, berakibat rendah pula tingkat kebutuhan gizi ayam lokal (MAEDA, 2005). Oleh karenanya, pemberian 100% ransum komersial ayam ras pada ayam lokal merupakan suatu pemborosan.

NATAAMIJAYA et al. (1992) merekomendasikan bahwa kalau seandainya para peternak ayam lokal belum mampu memformulasi pakan sendiri, maka pola pemberian ransum berikut ini dapat diikuti yaitu: (a) Untuk ayam lokal umur 1 – 7 hari dapat digunakan 100% ransum ayam ras petelur komersil; dan (b) Di atas umur itu ransum komersial ayam ras petelur tersebut dicampur dengan dengan dedak halus dengan perbandingan 1 : 1, dan ditambah Ca (2%) serta P (1%). Cara pemberian ransum ini dapat menurunkan biaya pakan sebesar 25% dan meningkatkan pendapatan sekitar 30% (NATAAMIJAYA et al., 1992).

Dalam penerapan teknologi formulasi pakan, terdapat beberapa pengetahuan yang penting untuk diketahui, yaitu: (a) Tingkat kebutuhan gizi ayam lokal pada setiap fase umur; (b) Kandungan gizi bahan pakan yang akan digunakan; dan (c) Batasan penggunaan bahan pakan dalam ransum. Sebagai zat gizi dominan, protein dan energi sering menjadi zat gizi yang digunakan sebagai patokan dalam penyusunan ransum untuk unggas (NRC, 1994; SWENNEN et al., 2004). Seperti yang disampaikan oleh NATAAMIJAYA et al. (1988)

(6)

Gambar 3. Proses perbaikan mutu genetik ayam lokal

bahwa optimalisasi protein dan energi dalam pakan dapat menurunkan harga pakan dan meningkatkan keuntungan peternak sekitar 10 – 20%.

Perbaikan manajemen (budidaya)

Perbaikan manajemen melalui intensifikasi system pemeliharaan sebagaimana disajikan dalam Tabel 4 serta pengendalian penyakit, menjadi strategi berikutnya yang dapat dilakukan guna meningkatkan kapasitas produksi daging dan telur ayam lokal (DIWYANTO et al., 1996). NATAAMIJAYA et al. (1989) mengemukakan bahwa perubahan sistem pemeliharaan ayam Pelung dari dari tradisional ke semi intensif mampu meningkatkan produksi telur ayam pelung

sampai 200% serta meningkatkan daya tetas telur hingga 86,40%. Sebelumnya NATAAMIJAYA et al. (1986) juga melaporkan bahwa perubahan sistem pemeliharaan ayam lokal dari tradisional menjadi intensif mampu meningkatkan 40% produksi telur, bahkan mampu meningkatkan sampai 250% populasi ayam pada umur potong. Pada gilirannya hal ini mampu meningkatkan penghasilan peternak dari penjualan ayam lokal bobot potong hingga 200%. Penerapan sistem pemeliharaan secara intensif mampu menurunkan mortalitas ayam lokal hingga 44%. Lebih lanjut, RESNAWATI dan

BINTANG (2005) melaporkan bahwa perubahan sistem pemeliharaan ayam lokal dari tradisional ke intensif mampu meningkatkan produksi telur dari 30 – 80 butir/ekor/tahun menjadi 105 – 115 butir/ekor/tahun.

Tabel 4. Kinerja ayam lokal yang dipelihara dalam tiga sistem pemeliharaan

Uraian Cara pemeliharaan

Ekstensif Semi intensif Intensif

Produksi telur (butir/induk/tahun) 47 59 146

Produksi telur (%) 13 29 40

Frekuensi bertelur (kali/tahun) 3 6 7

Daya tetas telur (%) 74 79 84

Bobot telur (g/butir) 39 – 48 39 – 48 39 – 43

Konsumsi pakan (g/ekor/hari) < 60 60 – 68

Konversi pakan > 10 8 – 10 4,9 – 6,4

Mortalitas sampai 6 minggu (%) 50 – 56 34 – 42 < 27 Mortalitas mulai produktif sampai afkir (%) > 15 15 < 6

Sumber: DIWYANTO et al. (1996)

Eksplorasi SDG ayam lokal; Seleksi sifat-sifat unggul (bobot badan, sifat mengeram, produksi telur, resistensi penyakit)

SDG terseleksi

Seleksi sebagai calon galur unggul Disilangkan untuk membuat galur baru

(7)

Pelaksanaan sistem pemeliharaan ayam lokal secara intensif memberi keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pemeliharaan secara tradisional (RASYID, 2002). ROHAENI et al. (2004) melaporkan bahwa dalam sebuah penelitian di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, usaha peternakan ayam lokal dengan menggunakan sistem pemeliharaan intensif pada kandang baterai dengan skala kepemilikan 200 – 2000 ekor/keluarga, memberikan kontribusi pendapatan keluarga hingga 100%. Lebih lanjut GUNAWAN (2005) merekomendasikan bahwa skala kepemilikan ayam lokal yang menguntungkan adalah minimal 40 ekor induk untuk sektor perbibitan (penjualan DOC) dan 30 ekor untuk usaha telur ayam lokal konsumsi.

KESIMPULAN

Pengembangan ayam lokal sangat penting dilakukan untuk mengisi kebutuhan daging dan telur unggas nasional. Dalam pengembangan ayam lokal terdapat dua titik simpul yang menjadi kendala, yaitu kelangkaan bibit dan masih rendahnya kinerja produksi (daging dan telur). Kelangkaan bibit dapat diatasi dengan dijalinnya kerjasama yang erat antara institusi penelitian dengan institusi-institusi perbibitan peternakan milik pemerintah baik pusat dan daerah. Perbaikan kinerja produksi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu perbaikan mutu genetik (breeding), pakan, serta manajemen.

DAFTAR PUSTAKA

DITJEN PKH. 2011. Statistika Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Jakarta. 269 hlm. DIWYANTO, K., D. ZAINUDDIN, T. SARTIKA, S.

RAHAYU,DJUFRI,C.ARIFIN dan CHOLIL. 1996. Model Pengembangan Peternakan Rakyat Terpadu Berorientasi Agribisnis. Komoditi Ternak Ayam Buras. Laporan. Ditjennak bekerjasama dengan Balitnak.

GUNAWAN, B., D. ZAINUDDIN, T. SARTIKA and ABUBAKAR. 1998. Crossbreeding of Cock Pelung and hen native chicken to increase meat quality of native chicken. Proc. National Conference Animal Science and Veteriner, CRIAS, Indonesia. pp. 348 – 355.

GUNAWAN. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya (Kasus di Kabupaten Jombang Jawa Timur). Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 179 hlm. GUNAWAN. 2005. Evaluasi Model pengembangan

ayam buras di Indonesia: Kasus di Jawa Timur. Pros. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25 Agustus 2005. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Fakultas Peternakan, Universitas Dipenogoro, Semarang. hlm. 260 – 271.

ISKANDAR,S. 2005. Pertumbuhan dan Perkembangan Karkas Ayam Silangan Kedu x Arab pada dua sistem pemberian ransum. JITV 10(4): 253 – 259.

ISKANDAR,S. 2006. Strategi Pengembangan Ayam Lokal. Wartazoa 16(4): 190 – 197.

ISKANDAR, S. 2010. Native chicken: Small scale enterprise and conservation in Indonesia. International Seminar-Workshop on the Utilization of Native Animals in Building Rural Enterprise in Warm Climate Zones. 19 – 23 July 2010 at the Philippine Carabao Center, Monoz City, Nueva Ecija, Philippine. KETAREN,P.P. 2010. Kebutuhan Gizi Ternak Unggas

di Indonesia. Wartazoa 20(4): 172 – 180. MAEDA, Y. 2005. Science and technology for

indigenous poultry development in South East Asia. Kumpulan Makalah Utama. Seminar Nasional Tentang Unggas ras lokal III. Semarang, 25 Agustus 2005. Fakultas Peternakan, Universitas Dipenogoro, Semarang. hlm 1 – 22.

NATAAMIJAYA,A.G.,D.SUGANDI,D.MUSLICH dan MIJONO. 1989. Performans Ayam Pelung di Daerah Transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. Pros. Seminar Nasional tentang Unggas Lokal, 29 September 1989. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. hlm. 77 – 80.

NATAAMIJAYA, A.G., D. SUGANDI, D. MUSLIH, U. KUSNADI,H.SUPRIADI dan I.G.ISMAIL. 1986. Peningkatan keragaan ayam bukan ras (buras) di Daerah Transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. Risalah Lokakarya Pola Usaha Tani. 2 − 3 September 1986. Buku 1. Badan Litbang Pertanian - International Development Research Center. hlm. 68 – 87.

(8)

NATAAMIJAYA, A.G., A.P. SINURAT, A. HABIBIE, YULIANTI, NURDIANI, SUHENDAR dan SUBARNA. 1992. Pengaruh penambahan kalsium terhadap anak ayam buras yang diberi ransumkomersial dicampur dedak padi. Pros. Seminar Agro Industri Peternakan di Pedesaan, 10 − 11 Agustus 1992. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 400 − 406.

NATAAMIJAYA, A.G.,T.HERAWATI, H.RESNAWATI dan A. HABIBIE. 1988. Penggunaan tepung sagu sebagai bahan ransum anak ayam buras. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak II, 18 − 29 Juli 1988. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 231 − 237.

NRC. 1994. Nutrient Requirement For Poultry. National Research Council National Academic Press, Washington DC, USA. 163 p.

RASYID, T.G. 2002. Analasis Perbandingan keuntungan peternak ayam buras dengan sistem pemeliharaan yang berbeda. Bull. Nutrisi dan Makanan Ternak 3(1): 15 – 22. RESNAWATI, H. dan I.A.K. BINTANG. 2005.

Produktivitas ayam lokal yang dipelihara secara intensif. Pros. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25 Agustus 2005. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Fakultas Peternakan, Universitas Dipenogoro, Semarang. hlm. 121 – 125.

RESNAWATI, H. 2010. Inovasi Teknologi Pemanfaatan Bahan Pakan Ras Lokal Mendukung Pengembangan Industri Ayam Kampung. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak. Bogor, 21 Juni 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 66 hlm.

ROHAENI,E.S.,D.ISMADI,A.DARMAWAN,SURYANA dan A.SUBHAN. 2004. Profil usaha peternakan ayam ras lokal di Kalimantan Selatan (Studi kasus di Desa Murung Panti Kecamatan Babirik. Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Desa Rumintin Kecamatan Tambangan, Kabupaten Tapin). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004, Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 555 – 562.

SARTIKA,T.,B.GUNAWAN,R.MATONDANG dan P. MAHYUDIN. 2002. Seleksi Generasi Ketiga untuk Mengurangi Sifat Mengeram dalam Meningkatkan Produksi Telur Ayam Lokal. Laporan No. UAT/BRE/F-01/APBN/2001. Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 1 – 9. SUPRIADI, H., D. ZAINUDDIN dan P.P. KETAREN.

2005. Kajian sosial ekonomi pengembangan ayam ras lokal di lahan marginal. Pros. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25 Agustus 2005. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Fakultas Peternakan, Universitas Dipenogoro, Semarang. hlm. 217 – 227.

SWENNEN,Q.,G.P.J.JANSSENS,E.DECUYPERE and J. BUYSE. 2004. Effect of substitution between fat and protein on feed intake and its regulatory mechanism in broiler chicken : Energy and protein metabolism and diet-induced thermogenesis. Poult. Sci. 83: 731 – 742.

Gambar

Gambar 2. Mekanisme kerja pengembangan ayam lokal di tingkat daerah (I SKANDAR , 2006) UPTD Pembibitan Unggas
Gambar 3. Proses perbaikan mutu genetik ayam lokal

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Abdel-Tawwab et al., (2008) menunjukan bahwa penambahan 1 g ragi roti per kg pakan yang diberikan selama 12 minggu pada ikan nila (Oreochromis niloticus L),

Hal ini disebabkan karena jumlah butiran lemak dalam susu kambing memiliki diameter yang lebih kecil dan homogen dibandingkan dengan susu sapi, sehingga selama proses

4am&#34;ung dapat disimpulkan &#34;a!wa cairan #ang diperiksaa mempun#ai keadaan ,isik tidak &#34;erwarna$ tidak &#34;er&#34;au$tidak ada lendir$ tadak ada sisa makanan$ tidak

Bagi yang melanggaraturan tidak ter tulis akan mendapat sanksi  juga.Sanksinya bisa ditentukan oleh masyarakat.Contohnya, aturan untuk selalu menjaga kebersihanlingkungan

Perubahan dimensi temu putih selama proses pengeringan meliputi panjang, lebar dan tebal untuk bentuk persegi beruhungan dengan waktupengeringan dan kadar air basis

Adapun hasil simulasi dengan menggunakan data curah hujan terkecil pada tahun 2015 maka akan didapatkan ukuran tangki optimum yang dapat dibangun adalah ukuran 202 m 3

Menurut Martina (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi diantaranya 1) faktor personal dengan indikator berupa sikap, motivasi, kepercayaan, pengalaman dan pengharapan

PLN (Persero) Area Bogor dalam menghadapi berita pencabutan subsidi listrik tahun 2017 di media online yang di dalam penelitian ini menjawab masalah-masalah