• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tujuan-tujuan pribadi yang bersaing atau berlawanan dengan tujuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tujuan-tujuan pribadi yang bersaing atau berlawanan dengan tujuan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Agensi

Fakta yang mendasar pada teori agensi adalah para manajer memiliki tujuan-tujuan pribadi yang bersaing atau berlawanan dengan tujuan memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Para manajer diberi kekuasaan oleh para pemilik perusahaan untuk membuat keputusan, di mana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory). Hubungan keagenan (agency relationship) terjadi ketika satu atau lebih individu yang disebut sebagai principal menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut sebagai agen, untuk melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan kewenangan untuk membuat keputusan kepada agen tersebut. Potensi konflik kepentingan terjadi antara agen dengan pemegang saham luar atau antara agen dengan kreditor atau pemilik utang (Brigham, 2006: 36).

Agency problem akan timbul karena tindakan pajak agresif yang dilakukan perusahaan akan memperoleh keuntungan yang baik untuk pemilik atau pemegang saham perusahaan. Keuntungan yang diperoleh adalah penghematan pajak sehinggan kas yang dinikmati pemilik atau pemegang saham akan menjadi lebih besar. Tim manajer akan mendapatkan kompensasi pula dari para pemilik maupun pemegang saham perusahaan. Terlebih lagi, tim manajer bisa mempunyai kesempatan untuk melakukan rent extraction (Chen et al., 2008: 23). Agency

(2)

theory dapat diatasi dengan dua cara (Gitman, 2007 dalam Hidayanti, 2013: 29), sebagai berikut:

1. Market Forces

Cara ini dilakukan dengan cara pemegang saham yang memiliki saham mayoritas, seperti investor institusional yang biasanya berupa perusahaan asuransi jiwa, mutual fund, perusahaan dana pension. Melalui hak suara mayoritas maka diyakini akand apat mengatasi masalah agensi yang akan muncul. Hal yang dilakukan yaitu dengan memberikan tekanan pada manajer untuk bekerja lebih baik ataupun menggantikan manajemen yang dianggap tidak dapat memenuhi kesejahteraan pemegang saham ataupun pemilik perusahaan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan motivasi di tim manajer untuk bertindak sesuai dengan kepentingan para pemilik perusahaan.

2. Agency Cost

Cara ini dilakukan karena agency cost merupakan biaya yang akan dikeluarkan untuk mengurangi agency cost sekaligus untuk pemenuhan kesejahteraan para pemegang saham. Biaya yang dikeluarkan berasal dari biaya insentif yang nantinya akan diberikan kepada manajer untuk memaksimalkan harga saham perusahaan. Lalu, agency cost juga timbul oleh adanya pengawasan terhadap setiap tindakan manajer, yang dimana sistem pengawasan tersebut adalah corporate governance.

2.1.2 Tindakan Pajak Agresif

Agresivitas pajak didefenisikan sebagai kegiatan perencanaan pajak semua perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat pajak yang efektif (Hlaing, 2012: 4). Penelitian ini mengacu pada definisi pajak agresif yang digunakan Frank et al (2009) yaitu tindakan yang bertujuan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak baik menggunakan cara yang tergolong atau tidak tergolong ke dalam tax evasion. Perencanaan pajak dapat di golongkan dalam hambatan pajak dan dapat berakibat kurangnya penerimaan kas negara. Hal inilah yang termasuk tax evasion. Tindakan pajak agresif juga dinilai

(3)

dari seberapa besar perusahaan tersebut mengambil langkah penghindaran pajak dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam peraturan perpajakan. Dengan begitu, perusahaan akan dianggap semakin agresif. Dan untuk memerangi usaha penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan, pemerintah memakai peraturan corporate governance (Schon, 2008 dalam Sari dan Martani, 2010: 6)

Suatu agresivitas pelaporan pajak adalah situasi ketika perusahaan melakukan kebijakan pajak tertentu dan suatu hari terdapat kemungkinan tindakan pajak tersebut tidak akan diaudit atau dipermasalahkan dari sisi hukum, namun tindakan ini berisiko karena ketidakjelasan posisi akhir atau apakah tindakan pajak tersebut dianggap melanggar atau tidak melanggar hukum yang berlaku di kemudian hari (Murhpy, 2004 dalam Sari dan Martani, 2010: 4). Juga menurut Watson (2011 dalam Sari dan Martiani, 2010: 4), perusahaan yang sadar sosial (high level CSR) cenderung kurang agresif dibandingkan dengan perusahaan yang tidak bertanggung jawab secara sosial (low level CSR) dalam kebijakan penghindaran pajaknya.

2.1.2.1 Keuntungan dan Kerugian dari Pajak Agresif

Manajer selaku pihak yang membuat keputusan, ia akan memperhitungkan terlebih dahulu keuntungan ataupun kerugian dari keputusan yang akan diambilnya. Adapun keuntungan dari tindakan pajak agresif yang dijabarkan oleh Chen et al. (2008: 3), adalah:

1. Keuntungan berupa penghematan pajak yang akan dibayarkan perusahaan kepada negara, sehingga jumlah kas yang dinikmati pemilik/pemegang saham dalam perusahaan menjadi lebih besar.

(4)

2. Keuntungan bagi manajer (baik langsung atau tidak langsung) dengan mendapatkan kompensasi dari pemilik atau pemegang saham perusahaan atas tindakan pajak agresif yang dilakukannya.

3. Keuntungan bagi manajer dengan cara mempunyai kesempatan untuk melakukan rent extraction.

Sedangkan kerugian yang akan dialami ketika mengambil tindakan pajak agresif menurut Sari dan Martani (2010: 5) adalah:

1. Kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi atau penalti dari fiskus pajak, dan turunnya harga saham perusahaan.

2. Rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak.

3. Penurunan harga saham dikarenakan pemegang saham lainnya mengetahui tindakan pajak agresif yang dijalankan manajer dilakukan dalam rangka rent extraction.

2.1.3 Good Corporate Governance

Tata kelola sebuah perusahaan muncul karena adanya pemisahan antara kepemilikan dengan pengelola perusahaannya. Tata kelola ini disebut juga dengan Corporate Governance. Tata kelola pada perusahaan ini rentan pula dengan masalah, salah satu masalahnya adalah agency problem atau masalah agensi. Masalah agensi adalah konflik yang terjadi karena ada perbedaan tujuan juga kepentingan yang ada pada manajer dan pemilik perusahaan karena perusahaan ini memerlukan pengawasan. Pengawasan inilah yang disebut dengan corporate governance atau tata kelola perusahaan. Atau tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha (Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor. KEP 01/MBU/2011).

(5)

The Indonesian Institute for Corporate Governance atau IICG (2012) mengartikan Good Corporate Governance (GCG) sebagai struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya berdasarkan norma, etika, budaya dan aturan yang berlaku. Menurut IICG pula, manfaat dari pelaksanaan GCG adalah menjaga sustainability perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan dan kepercayaan pasar, mengurangi agency cost dan cost of capital, meningkatkan kinerja, efisiensi dan pelayanan kepada stakeholders, melindungi organ dari intervensi politik dan tuntutan hukum dan membantu terwujudnya good corporate citizen. Prinsip-prinsip GCG inilah yang dapat memberikan manfaat bagi perusahaan selain hanya terlihat baik di mata pemerintah juga masyarakat.

Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No KEP-117/M-MBU/2002 Pasal 1, Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan perundangan dan etika. Dari pengertian ini didapat bahwa Corporate Governance digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha juga akuntabilitasnya. Dapat juga mewujudkan nilai pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan pihak lainnya.

Pajak dan Corporate Governance dapat berinteraksi dalam berbagai aspek, dan interaksi ini dapat bersifat satu atau dua arah (Friese dan Mayer,

(6)

2008: 5). Pada tingkat internasional ada interaksi yang sudah mulai di observasi dari corporate governance, misalnya peraturan coroporate governance yang telah dijadikan alat oleh pemerintah untuk memerangi usaha penghindaran pajak yang kerap kali dilakukan oleh perusahaan (Schon, 2008 dalam Sari dan Martani, 2010:6). Begitu pula di Indonesia, peraturan perpajakan yang mempengaruhi governance perusahaan adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 43/PMK.03/2008 9 (DJP 2008) yang menyatakan wajib pajak (WP) dapat menggunakan nilai buku dalam pemekaran usaha jika wajib pajak pribadi atau badan hasil pemekaran tersebut akan melakukan penawaran umum perdana. Isi peraturan pemerintah ini terdapat dorongan untuk perusahaan melakukan transparansi dengan menjadikan perusahaan itu go public. Dengan keterbukaan informasi, perusahaan akan cenderung mengambil tindakan perpajakan yang tidak berisiko. Prinsip keterbukaan dan transparansi inilah yang termasuk dalam contoh prinsip corporate governance yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan perpajakan bagi perusahaan.

Menurut Pedoman Umum GCG Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), good corporate governance awalnya diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus

(7)

dilaksanakan oleh masing-masing pilar menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dalam Pedoman Pelaksanaan GCG Indonesia, adalah:

1. Negara dan perangkatnya menciiptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement).

2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.

3. Masyarakat sebagai pengguna porduk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol usaha (social control) secara objektif dan bertanggung jawab.

Prinsip dari GCG tertulis dalam Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP 01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) yaitu lima prinsip yang dikemukakan oleh perusahaan tersebut, yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), kemandirian (independency) dan kewajaran (fairness). Prinsip inilah yang diperlukan dalam penerapan GCG karena berkaitan dengan penyajian laporan keuangan perusahaan yang akan di tampilkan kepada publik.

Dalam perusahaan, terdapat organ-organ yang menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ perusahaan tersebut mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Organ perusahaan dalam Pedoman Umum GCG Indonesia oleh KNKG terdiri dari:

A. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

RUPS sebagai organ perusahaan merupakan wadah para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan

(8)

modal yang ditanam dalam perusahaan, dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS atau pemegang saham tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris dan Direksi dengan tidak mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan haknya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi. Penyelenggaraan RUPS merupakan tanggung jawab Direksi.

B. Dewan Komisaris

Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa Perusahaan melaksanakan GCG walaupun Dewan Komisaris tidak boleh ikut serta dalam mengambil keputusan operasional.

C. Direksi

Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya.

2.1.3.1 Asas Good Corporate Governance

Menurut KNKG, setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). Pedoman Umum GCG Indonesia yang dikeluarkan oleh KNKG menjabarkan asas GCG sebagai berikut:

1. Transparansi (Transarency) untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh

(9)

pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Akuntabilitas (Accountability) maksudnya adalah perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Responsibilitas (Responsibility) maksudnya adalah perusahaan harus memenuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

4. Independensi (Independency) gunanya untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, maka perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) yaitu dalam pelaksanaan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

Dari asas tersebut bisa diteladani beberapa pedoman perilaku yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan. Karena itu, prinsip tersebut haruslah diimbangi dengan Good Faith atau bertindak atas itikad baik dan kode etik perusahaan serta pedoman Corporate Governance yang dibuat oleh Komite Nasional Corporate Governance. Pedoman ini juga dapat dijadikan acuan atau dasar dari sikap yang akan di gunakan perusahaan.

(10)

2.1.4 Corporate Social Responsibility

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatakan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (Untung, 2009: 1).

CSR melakukan kegiatan-kegiatan dalam segala aspek dengan berdasarkan UU No. 40 tahun 2007 Pasal 74 Tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.” Dan semakin berkembangnya kegiatan perusahaan, maka dalam Pasal 15 huruf (b) UU No. 2007 Tentang Penanaman Modal telah mengatur kewajiban dalam kegiatan CSR bagi perusahaan. Isi pasal ini adalah “Setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan” Perusahaan yang melaksanakan kegiatan usahanya akan diwajibkan oleh Undang-Undang agar kegiatan usaha tersebut dapat berlangsung dengan baik. CSR sudah di tetapkan oleh Pemerintah menjadi suatu keharusan pada PP No. 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Di dalam suatu perusahaan, akan terdapat beberapa kompleksitas permasalahan sosial (social problems) yang semakin rumit dalam dekade terakhir dan implementasi desentralisasi telah CSR sebagai suatu konsep yang diharapkan

(11)

dapat memberikan alternative terobosan baru dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Latar belakang social problems ini berasal dari sejarah pembangunan ekonomi di Indonesia yang diyakini telah mencapai tingkat pertumbuhan yang cuukup tinggi, ternyata masih menyisakan permasalahan sosial yang cukup serius.

Masalah yang dapat diambil sebagai contoh adalah tahun 1993-1996 pemerintahan Indonesia telah mampu menekan angka kemiskinan dari 25,32% menjadi 17,44% (Untung, 2009: 2). Oleh karena itu, peranan negara dalam menyelesaikan permasalahan sosial ini adalah dengan desentralisasi sebagai wujud pengakuan pada peranan sektor privat yang telah memberikan peluang besar bagi sektor ini untuk menyumbangkan resources yang dimilikinya guna menyelesaikan masalah sosial ini. Dengan kata lain, CSR sebagai wujud keterlibatan sektor privat dalam memberdayakan masyarakat miskin yang berakibatkan terbebasnya warga dari permasalahan sosial.

Tetapi program CSR di Indonesia masih terbatas pada realisasi program charity yang belum mampu memberdayakan masyarakat miskin. Keterbatasan kontribusi tersebut disebabkan motif realisasi program CSR untuk meredam konflik dengan masyarakat sekitar dan karena program tersebut belum melibatkan masyarakat pada setiap tahapan pelaksanaan program. Banyak perusahaan yang telah beroprasi di Indonesia tetapi belum merealisasikan program CSR. Walaupun pada periode sekarang dan mendatang telah ada keterbukaan sistem politik yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya termasuk menuntut realisasi program CSR. Perusahaan yang takut terjadi konflik dengan masyarakat akan dengan tanggap merealisasikan tuntutan masyarakat tersebut.

(12)

Pada saat yang bersamaan, pendekatan yang digunakan oleh perusahaan belum mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam memberdayakan masyarakat.

Beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi CSR bidang lingkungan di Indonesia antara lain dalam Petunjuk Pelaksanaan CSR Bidang Lingkungan (2012: 11) adalah:

1. Komitmen pimpinan perusahaan. Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah-masalah sosial dan lingkungan, kecil kemungkinan akan mempedulikan aktifitas-aktifitas sosial dan lingkungan.

2. Ukuran dan kematangan perusahaan. Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. Namun, bukan berarti perusahaan mengengah, kecil, dan belum mapan tersebut tidak dapat menerapkan CSR bidang lingkungan.

3. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Semakin banyak regulasi dan penetapan pajak yang membebani perusahaan akan mengurangi ketertarikan perusahaan dalam mengalokasikan dana CSR nya. Sebaliknya, semakin kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi lebih kepada masyarakat dan lingkungan melalui penerapan CSR.

Besarnya pendanaan untuk melaksanakan CSR bisa diukur berdasarkan kesepakatan dengan warga setempat ataupun juga dana yang diambil dari sebagian margin keuntungan. Naiknya jumlah dana CSR disebabkan oleh semakin terbukanya perusahaan melaporkan dana yang disisihkan untuk CSR. Pelaksanaannya pun harus disesuaikan dengan Pedoman Penerapan CSR. Menurut Untung (2009: 22), kewajiban untuk melakukan CSR dalam UU Perseroan sebaiknya diimbangi insentif berupa pengurangan pajak. Jika tidak ada insentif pajak perusahaan bisa menempuh berbagai cara agar kewajiban tersebut tidak di laksanakan (perusahaan melakukan tindakan pajak agresif). Sebaliknya,

(13)

jika ada insentif sebagai imbangan, CSR tersebut tentunya akan dilaksanakan dengna baik dan benar.

Tanggung jawab sosial umumnya bermanfaat untuk memberdayakan masyarakat yang dilihat dari sisi perusahaan. Tetapi alasan yang lain dari pelaksanaan CSR adalah agar kedepannya operasional perusahaan berjalan lancer tanpa gangguan. Hubungan antara perusahaan dan masyarakat harus dibina dengan baik agar tidak ada masalah yang timbul di kemudian hari. Pelaksanaan program CSR belum benar-benar diterima oleh masyarakat maka masih banyak perusahaan yang tidak terlalu memperhatikan program CSR.

Menurut Untung (2009: 6) manfaat CSR bagi perusahaan, sebagai berikut:

a. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan

b. Mendapatkan lisensi untuk beroprasi secara sosial c. Mereduksi risiko bisnis perusahaan

d. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha e. Membuka peluang pasar yang lebih luas

f. Mereduski biaya (misalnya terkait dampak pembuangan limbah) g. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders

h. Memperbaiki hubungan dengan regulator

i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan j. Peluang mendapatkan penghargaan

Dilihat dari permasalahan ini, CSR dikaitkan dengan hal corporate citizenship atau keberlanjutan perusahaan juga triple bottom line. Istilah ini menggambarkan keterlibatan perusahaan dengan stakeholder dari pada hanya keterlibatan pemegang saham saja. Lanjutnya perusahaan ke masa depan mengacu pada perilaku perusahaan yang mungkin akan mempengaruhi keberlangsungan aktivitas perusahaan yang akan menciptakan peluang untuk pembangunan

(14)

berkelanjutan. Dengan sisi lain, triple bottom line menurut Bichta (2003: 7) mengacu pada keseimbangan dan kenaikan yang sama dalam kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan dari sebuah bisnis.

Dengan Triple bottom line, perusahaan jaman sekarang telah memperhatikan catatan keuangan perusahaan uang termasuk sosial dan aspek lingkungannya. Sinergi ketiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan menurut Siregar (2007) dalam Yoehana (2013: 35).

2.1.5 Perpajakan di Indonesia

Definisi atau pengertian pajak menurut Soemitro (dalam Mardiasmo, 2009: 1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negar berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut Departemen Keuangan Republik Indonesia, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Yoehana (2013: 46) menyatakan bahwa perusahaan merupakan salah satu subjek pajak penyumbang terbesar dalam penerimaan negara melalui pajak penghasilan pajak.

Perusahaan sebagai subjek pajak melakukan kegiatan yang menjadi tax deductible. Kegiatan tersebut adalah kegiatan CSR, walaupun tax deductible tersebut terbatas untuk jenis kegiatan tertentu. Kegiatan tersebut diatur pada UU

(15)

No. 36 tahun 2008 yang berisi beberapa aturan terkait biaya-biaya yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan yaitu yang berkaitan dengan isu konsumen, pengembangan masyarakat, lingkungan, ketenagakerjaan, dan hak asasi manusia. Biaya yang dapat dikurangi dari penghasilan bruto perusahaan yaitu biaya promosi, beasiswa, magang dan pelatihan, kupon makanan dan minuman bagi pegawai kriteria dan daerah tertentu beban pengolahan limbah, cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industry untuk usaha pengolahan limbah industri dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tindakan pajak agresif telah di teliti oleh beberapa peneliti terdahulu yang menghasilkan temuan yang beragam dan dengan memakai berbagai variabel yang berbeda. Penelitian terdahulu dengan tindakan pajak agresif sebagai variabel dependennya terdapat banyak perbedaan dari variabel-variabel independennya.

Penelitan Yoehana (2013) yang berjudul Analisis Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Agresivitas Pajak (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2011), mereplikasi penelitian dari Lanis dan Richardson (2012) dengan meneliti pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Agresivitas Pajak mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi pengungkapan CSR pada suatu perusahaan, semakin rendah pula tingkat agresivitas pajaknya. Penelitian Yoehana

(16)

ini menggunakan 98 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2010-2011 sebagai populasi penelitiannya. Sampel penelitian ini dipilih dengan metode purposive sampling dan memperoleh 49 perusahaan per tahun yang memenuhi kriteria sampel. Data penelitian ini dianalisis menggunakan model analisis regresi ordinary least square. Hasil penelitian Yoehana menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR suatu perusahaan, semakin rendah tingkat agresivitas pajaknya.

Penelitian lainnya mengambil judul Pengaruh Antara Kepemilikan Keluarga dan Corporate Governance Terhadap Tindakan Pajak Agresif oleh Hidayanti (2013). Penelitian ini mengambil populasi perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada periode tahun 2008 sampai tahun 2011. Data sampel penelitian dikumpulkan dengan metode purposive sampling, dan dianalisis dengan analisis regresi. Hasil yang di dapat dari penelitian ini adalah bahwa kepemilikan keluarga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tindakan pajak agresif. Sedangkan corporate governance memiliki pengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. Penelitian ini mengukur tindakan pajak agresif dengan pengukuran yang ada pada penelitian Yoehana (2013) sebelumnya yang mengukur tindakan pajak agresif dengan dua ukuran effective tax rates dan satu ukuran book tax differences.

Penelitian Winarsih, Prasetyono, dan Kusufi (2014) berjudul Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility Terhadap Tindakan Pajak Agresif (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Listing di BEI Tahun 2009-2012) mempunyai tujuan untuk menganalisis pengaruh dari GCG dan

(17)

CSR terhadap tindakan pajak agresif. Penelitian ini mengajukan hipotesis: (1) Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan (2) Ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan (3) Ukuran komite audit berpengaruh terhadap tindakan pajak agreisf perusahaan (4) Corporate Social Responsibility berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Populasi penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2012. Sampel penelitiannya telah dipilih sebanyak 80 perusahaan dengan metode purposive sampling. Metode analisis penelitian ini menggunakan analisis regresi linear berganda. Hasil dari penelitian ini adalah ukuran dewan komisaris berpengaruh pada tindakan pajak agresif perusahaan. Sedangkan ukuran dewan direksi, ukuran komite audit, dan Corporate Social Responsibility tidak berpengaruh pada tindakan pajak agresif perusahaan.

(18)

Tabel 2.1

Tinjauan Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti dan Tahun Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian 1. Lanis and Richardson (2012) Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness Variabel Independen: Corporate Social Responsibility Variabel Dependen: Corporate Tax Agressiveness.

The higher the level of CSR disclosure of a corporation, the lower is the level of corporate tax aggressiveness. 2. Hidayanti (2012) Pengaruh Antara Kepemilikan Keluarga dan Corporate Governance Terhadap Tindakan Pajak Agresif Variabel Independen: Kepemilikan Keluarga. Corporate Governance. Variabel Dependen: Tindakan Pajak Agresif.

Kepemilikan keluarga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tindakan pajak agresif. Corporate governance berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. 3. Winarsih, Prasetyono, dan Kusufi (2014) Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Sosial Responsibility Terhadap Tindakan Pajak Agresif (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Listing di BEI Tahun 2009-2012) Variabel Independen: Ukuran Dewan Direksi Ukuran Dewan Komisaris Ukuran Komite Audit Tanggung Jawab Sosial Variabel Dependen: Tindakan Pajak Agresif

Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Ukuran dewan direksi, ukuran komite audit dan corporate social responsibility tidak berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. 4. Yoehana (2013) Analisis Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Agresivitas Pajak (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2011) Variabel Independen: Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Variabel Dependen: Agresivitas Pajak Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR suatu perusahaan, semakin rendah tingkat agresivitas pajaknya.

(19)

2.3 Kerangka Konseptual

Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitan terdahulu yang sudah di jabarkan, penelitian ini menguji kembali pengaruh GCG dan CSR terhadap tindakan pajak agresif dengan kerangka konseptual dari penelitian ini pada gambar 2.1.

Good Corporate Governance (X1)

Gambar 2.1 Kerangka konseptual

Penelitian ini akan menjadikan Tindakan Pajak Agresif menjadi variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen (X) karena dengan menjadikan Tindakan Pajak Agresif menjadi variabel dependen akan dapat diketahui apakah konsep Tindakan Pajak Agresif ini dapat dipengaruhi dengan beberapa variabel independen yang sudah disebutkan pada perusahaan yang akan diteliti.

Dewan Komisaris (X1.1)

Dewan Direksi (X1.2)

Komite Audit (X1.3)

Corporate Social Responsibility (X2)

Tindakan Pajak Agresif (Y)

(20)

Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen di penelitian ini di jelaskan sebagai berikut:

1. Dewan komisaris terhadap pajak agresif

Dewan komisaris adalah salah satu organ perusahaan yang mempunyai tugas juga tanggung jawab yang secara kolektif dalam perusahaan untuk mengawasi dan memberikan nasihat pada direksi. Dewan komisaris juga harus memastikan bahwa perusahaan tersebut sudah memenuhi standar GCG apa tidak. Semakin besar ukuran dewan komisaris yang bekerja dalam perusahaan, maka semakin besarlah kemungkinan akan terjadi tindakan pajak agresif yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

2. Dewan direksi terhadap tindakan pajak agresif

Dewan direksi mempunyai tanggung jawab dalam perusahaan yaitu untuk mengelola manajemen perusahaan agar manajemen itu bekerja secara efektif dan efisien. Dengan tugas direksi, manajemen perusahaan tersebut akan menjadi lebih baik lagi dalam menyusun laporan tahunan dan juga laporan kegiatan perusahaan yang memuat laporan pelaksanaan GCG. Dalam melaksanakan tugasnya, direksi akan menemukan benturan kepentingan antara perusahaan dengan pemerintah. Benturan kepentingan ini terjadi karena perusahaan ingin memiliki laba yang tinggi sedangkan pemerintah memandang kenaikan laba sebagai kenaikan objek pajak yang nantinya akan ditagih. Maka direksi perlu mengurangi benturan kepentingan yang terjadi di perusahaan.

(21)

3. Komite audit terhadap tindakan pajak agresif

Komite audit bertugas membantu komisaris dalam pengawasan laporan keuangan agar disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip yang berlaku umum (KNKG, 2006). Peraturan BAPEPAM menyatakan komite audit minimal beranggotakan tiga orang yang sudah diketuai oleh seorang dewan komisaris independen yang menjabat sebagai ketua komite audit. Maka untuk perilaku komite audit akan dilihat dari segi perilaku manajemen dalam mengawasi laporan keuangan dengan pajak, yaitu perusahaan akan cenderung mengharapkan komite audit untuk dapat meminimalkan tindakan pajak agresif yang ada di perusahaan.

4. Corporate Social Responsibility terhadap tindakan pajak agresif.

Motif pelaksanaan CSR oleh perusahaan sulit dibedakan motifnya antara CSR yang dilakukan dengan motif altruistic dengan CSR yang dilakukan untuk menguntungkan reputasi perusahaan (William, 2007 dalam Lanis dan Richardson, 2012). Dengan motif yang berbeda ini pula, penting untuk mempertimbangkan bagaimana CSR dapat mempengaruhi agresifnya pajak suatu perusahaan tanpa membuat adanya upaya untuk membedakan tindakan yang diambil perusahaan jika perusahaan tersebut memang ingin mempertanggungjawabkan usahanya dengan alasan tertentu. Jika semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR, maka akan semakin tinggi reputasi perusahaan di lingkungan sekitarnya. Jika pengungkapan tersebut dikaitkan dengan pajak yang dibayarkan, reputasi baik akan diperoleh perusahaan yang membayarkan pajak perusahaan kepada negara dengan benar.

(22)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual yang telah di jabarkan, maka diajukan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Dewan komisaris terhadap pajak agresif

Dewan komisaris adalah salah satu organ perusahaan yang mempunyai tugas juga tanggung jawab yang secara kolektif dalam perusahaan untuk mengawasi dan memberikan nasihat pada direksi. Dewan komisaris juga harus memastikan bahwa perusahaan tersebut sudah memenuhi standar GCG apa belum. Semakin besar ukuran dewan komisaris yang bekerja dalam perusahaan, maka semakin besarlah kemungkinan akan terjadi tindakan pajak agresif yang dilakukan oleh perusahaan tersebut (Annisa dan Kurniasih, 2012).

Berdasarkan uraian di atas diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1.1: Good Corporate Governance (diproksikan dewan komisaris) berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif.

2. Dewan direksi terhadap tindakan pajak agresif

Dewan direksi mempunyai tanggung jawab dalam perusahaan yaitu untuk mengelola manajemen perusahaan agar manajemen itu bekerja secara efektif dan efisien. Dengan tugas direksi, manajemen perusahaan tersebut akan menjadi lebih baik lagi dalam menyusun laporan tahunan dan juga laporan kegiatan perusahaan yang memuat laporan pelaksanaan GCG. Dalam melaksanakan tugasnya, direksi akan menemukan benturan kepentingan antara perusahaan dengan perusahaan.

(23)

Benturan kepentingan ini terjadi karena perusahaan ingin memiliki laba yang tinggi sedangkan pemerintah memandang kenaikan laba sebagai kenaikan objek pajak yang nantinya akan ditagih. Maka direksi perlu mengurangi benturan kepentingan yang terjadi di perusahaan (Winarsih, Prasetyono dan Kusufi, 2014).

Berdasarkan uraian di atas diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1.2: Good Corporate Governance (diproksikan dewan direksi) berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif.

3. Komite audit terhadap tindakan pajak agresif

Komite audit bertugas membantu komisaris dalam pengawasan laporan keuangan agar disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip yang berlaku umum (KNKG, 2006). Peraturan BAPEPAM menyatakan komite audit minimal beranggotakan tiga orang yang sudah diketuai oleh seorang dewan komisaris independen yang menjabat sebagai ketua komite audit. Maka untuk perilaku komite audit akan dilihat dari segi perilaku manajemen dalam mengawasi laporan keuangan dengan pajak, yaitu perusahaan akan cenderung mengharapkan komite audit untuk dapat meminimalkan tindakan pajak agresif yang ada di perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1.3: Good Corporate Governance (diproksikan komite audit) berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif.

(24)

4. Corporate Social Responsibility terhadap tindakan pajak agresif.

Motif pelaksanaan CSR oleh perusahaan sulit dibedakan motifnya antara CSR yang dilakukan dengan motif altruistic dengan CSR yang dilakukan untuk menguntungkan reputasi perusahaan (William, 2007 dalam Lanis dan Richardson, 2012). Dengan motif yang berbeda ini pula, penting untuk mempertimbangkan bagaimana CSR dapat mempengaruhi agresifnya pajak suatu perusahaan tanpa membuat adanyaupaya untuk membedakan tindakan yang diambil perusahaan jika perusahaan tersebut memang ingin mempertanggungjawabkan usahanya dengan alasan tertentu. Jika semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR, maka akan semakin tinggi reputasi perusahaan di lingkungan sekitarnya. Jika pengungkapan tersebut dikaitkan dengan pajak yang dibayarkan, reputasi baik akan diperoleh jika perusahaan membayarkan pajak perusahaan kepada negara dengan benar.

Berdasarkan uraian di atas diajukan hipotesis kedua sebagai berikut:

H2: Corporate Social Responsibility berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif.

Berdasarkan uraian di atas diajukan hipotesis ketiga sebagai berikut:

H3: Good Corporate Governance (diproksikan pada dewan komisaris, dewan direksi dan komite audit) dan Corporate Social Responsibility secara simultan berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif.

Gambar

Gambar 2.1              Kerangka konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pembuatan sistem administrasi pada Toko Gypsum Mulia Jaya dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain pembelian barang material dapat dicatat ke

(Mohon untuk tidak melewatkan satu pertanyaan pun). Saya tidak mudah terpancing untuk marah. Saya merasa cemas bila berada dalam lin _I. Saya akan berusaha mawas diri jib

Perlawanan melalui demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat desa lingkar tambang khususnya di Desa Tolong dan Todoli di tahun 2017 silam dengan mengusung

Memperhatikan minat masyarakat di Kota Surabaya yang cukup besar untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi dan melihat sebaran tiga etnis mayoritas (Jawa, Madura, Tionghoa)

Dalam komposisi ini akan di kolaborasikan instrumen yang berbeda asal, yaitu Arumba yang berasal dari Indonesia, kuartet gesek, dan instrumen tiup yang merupakan alat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji/membuktikan: (1) ada tidaknya perbedaan keterampilan menulis narasi siswa kelas VII antara kelompok yang diberi model

Mendapatkan hasil kebutuhan air bersih, mengetahui spesifikasi pompa yang digunakan dari perhitungan volume Roof Tank dan Ground Reservoir, penyaluran air buangan

Sedangkan pada kelas kontrol peningkatan hasil belajar siswa lebih rendah dibanding kelas eksperimen, hal ini terjadi karena pada kelas kontrol siswa tidak