• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Responden Deskripsi Karakteristik Responden

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Responden Deskripsi Karakteristik Responden"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Partisipasi Responden

Kegiatan pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan selama 45 hari dan diperoleh hasil ada 49 UPTKP yang berpartisipasi dalam penelitian ini dari 50 UPTKP yang direncanakan. UPTKP yang berpartisipasi terdiri dari tiga kelompok yaitu UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR impor-antar area sebanyak 10, UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR antar area sebanyak 21 dan 18 UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR. Dari UPTKP tersebut berhasil terkumpul sampel sebesar 101 yang terdiri dari 75 pejabat fungsional medik veteriner dan 26 pejabat struktural. Realisasi tingkat partisipasi responden selengkapnya pada Lampiran 6.

Deskripsi Karakteristik Responden

Karakteristik reponden yang diperhatikan dalam penelitian ini meliputi 1) UPT, 2) pendidikan, 3) masa kerja, 4) jabatan dan 5) pelatihan terkait rabies yang pernah diikuti responden.Pengamatan kelima aspek ini selain untuk mengetahui kondisi faktual karakteristik responden, sekaligus menggambarkan kesiapan Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP) untuk menciptakan prakondisi dan implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06.

Hasil survei terhadap 101 responden dari 49 UPTKP diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan terakhir adalah dokter hewan (86.1%). Responden dengan pendidikan terakhir pascasarjana (12.9%) sebelumnya juga memiliki pendidikan dokter hewan, dengan demikian bahwa 99% responden memiliki pendidikan dokter hewan sehingga layak untuk memberikan penilaian tentang prakondisi dan tingkat implementasi SK No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP, secara rinci terdapat pada Tabel 9.

(2)

Tabel 9 Pendidikan terakhir responden

No Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase (%)

1 Sarjana muda 1 1

2 Dokter hewan 87 86.1

3 Pascasarjana 13 12.9

Total responden 101 100

Karakteristik terkait masa kerja bahwa 39.6% responden memiliki masa kerja antara 2-5 tahun dengan jabatan sebagian besar calon medik veteriner (34.7%), pejabat struktural 25.7% dan medik veteriner pertama 21.8%, secara rinci pada Tabel 10. Secara keseluruhan bahwa 74% responden adalah pejabat fungsional medik veteriner dan 26% pejabat struktural. Bila dikaitkan dengan ukuran sampel bahwa realisasi sampel untuk pejabat fungsional adalah 96% (75/78) dan pejabat struktural 52% (26/50) serta realisasi UPTKP 98% (49/50) secara rinci pada Tabel 11.

Tabel 10 Masa kerja responden

No Masa Kerja Jumlah Persentase (%)

1 < 2 tahun 16 15.8 2 2-5 tahun 40 39.6 3 6-10 tahun 17 16.8 4 11-15 tahun 11 10.9 5 >15 tahun 17 16.8 Total responden 101 100

Tabel 11 Jabatan responden

No Jabatan Jumlah Persentase (%) 1 Paramedik veteriner 1 1.0 2 Calon medik veteriner 35 34.7 3 Medik veteriner pertama 22 21.8 4 Medik veteriner muda 10 9.9 5 Medik veteriner madya 7 6.9 6 Pejabat structural 26 25.7

Total responden 101 100

Tabel 12 Pelatihan terkait rabies yang pernah diikuti responden No Keberadaan Pelatihan Jumlah Persentase (%)

1 Tidak 23 22.8

2 Ada 78 77.2

(3)

Responden sebanyak 77.2% pernah mengikuti pelatihan terkait rabies baik pelatihan laboratorium tentang pemeriksaan titer antibodi rabies, epidemiologi/ pemantauan/surveilans rabies maupun penyakit hewan, selengkapnya pada Tabel 12. Dari karakteristik responden baik pendidikan, masa kerja dan jabatan serta pelatihan terkait rabies bahwa responden layak untuk memberikan penilaian tentang prakondisi implementasi dan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP.

Prakondisi Implementasi Kebijakan di UPTKP

Prakondisi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi/sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Dari hasil penelitian, kualitas prakondisi di UPTKP sebagian besar berkategori sedang yaitu 81.6% UPTKP, sebesar 6.1% berkategori baik dan 12.2% berkategori kurang, secara rinci pada Tabel 13.

Tabel 13 Kualitas prakondisi implementasi di UPTKP

No Aspek Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Komunikasi Baik 18 (18/49) 36.7

Sedang 19 (19/49) 38.8

Kurang baik 12 (12/49) 24.5

2 Sumber daya Baik 6 (6/49) 12.2

Sedang 37 (37/49) 75.5

Kurang baik 6 (6/49) 12.2

3 Disposisi Baik 13 (13/49) 26.5

Sedang 24 (24/49) 49

Kurang baik 12 (12/49) 24.5

4 Struktur birokrasi Baik 8 (8/49) 16.3

Sedang 32 (32/49) 65.3

Kurang baik 9 (9/49) 18.4

Total Prakondisi Baik 3 (3/49) 6.1

Implementasi Sedang 40 (40/49) 81.6

Kurang baik 6 (6/49) 12.2

Aspek Komunikasi

Hasil penelitian bahwa komunikasi untuk mentransformasikan pedoman pencegahan penyebaran rabies kualitasnya sedang (38.8%) sampai baik (36.7%)

(4)

dan 24.5% UPTKP yang berkualitas kurang (lihat Tabel 13). Indikator untuk mengukur dukungan komunikasi dalam implementasi kebijakan adalah transmisi, kejelasan dan konsistensi. Indikator-indikator ini kualitasnya sedang sampai baik (lihat Tabel 14). Dalam indikator tersebut, pernyataan dengan kategori baik yaitu 95.9% UPTKP mengetahui tentang pedoman, 73.5% UPTKP melakukan apresiasi pedoman kepada medik dan paramedik veteriner namun UPTKP yang rutin melakukan apresiasi pedoman hanya 14.3%. Responden 87.8% mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman serta 93.9% responden mengetahui apa yang harus dilakukan (lihat Tabel 15).

Prakondisi dengan modal pengetahuan tentang pedoman yang baik, informasi yang jelas tentang pedoman serta responden mengetahui apa yang harus dilakukan, kemungkinan interpretasi yang salah bahkan bertentangan dengan pedoman peluangnya akan kecil sehingga diharapkan implementasi sesuai dengan pedoman.

Dalam beberapa kasus informasi yang diterima implementor sering kali kabur. Prakondisi ini sering dieksploitasi oleh implementor untuk menjalankan kepentingan-kepentingan tertentu. Selain itu kekaburan informasi akan memberikan suatu lingkungan yang menyebabkan para implementor dapat dengan mudah salah menafsirkan maksud-maksud yang sebenarnya.

Tabel 14 Kualitas indikator kumunikasi dalam pencegahan penyebaran rabies

No Indikator

Komunikasi Kategori UPTKP

Persentase (%) 1 Transmisi Baik 6 12.2 Sedang 32 65.3 Kurang baik 11 22.4 2 Kejelasan Baik 30 61.2 Sedang 19 38.8 3 Konsistensi Baik 29 59.2 Sedang 20 40.8

(5)

Tabel 15 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori baik

No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Pengetahuan tentang

pedoman

Mengetahui 47 95.9

Kurang mengetahui 2 4.1

2 Apresiasi pedoman Dilakukan 39 73.5

Kadang-kadang 6 12.2 Tidak 7 14.3 3 Kejelasan informasi tentang pedoman Jelas 43 87.8 Kurang jelas 6 12.2

4 Tahu apa yang harus dilakukan

Faham 46 93.9

Kurang faham 3 6.1

Metoda transmisi yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 30.8% responden mendapatkan informasi tentang pedoman dengan membaca pedoman yang ada di UPTKP, 23.6% dari publikasi elektronik/internet dan 17.8% dari teman sejawat, selengkapnya pada Tabel 16. Bila disimpulkan bahwa 72.2% responden mendapat informasi tentang pedoman secara mandiri baik melalui internet, teman sejawat dan membaca pedoman yang ada di UPTKP sedangkan 22.8% responden mendapatkan informasi tentang pedoman secara kedinasan/formal yaitu melalui forum fungsional, atasan langsung, apresiasi dari pusat karantina hewan dan apresiasi dari UPTKP. Metoda transmisi seperti ini harus mulai diperbaiki dengan mengupayakan trasmisi secara formal karena transmisi secara formal akan mengeliminir persepsi yang salah tentang pedoman. Transmisi yang ditemukan ini bisa saja menjadi penyebab rendahnya tingkat implementasi. Mengutip pendapat Edwards III (dalam Winarno 2002) bahwa penyimpangan-penyimpangan transmisi dapat menjadi penyebab utama kegagalan implementasi.

Tabel 16 Cara/media komunikasi untuk mensosialisasikan pedoman (transmisi)

No. Transmisi Jawaban UPTKP (%)

1 Publikasi elektronik / Internet 23.6 2 Membaca sendiri dari peraturan di UPT 30.8

3 Teman sejawat/kolega 17.8

4 Apresiasi dari Pusat KH 7.6

5 Apresiasi dari UPT 3.3

6 Forum fungsional 8.5

7 Atasan lansung 8.4

(6)

Ada beberapa hambatan yang mungkin timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi antara lain 1) pertentangan pendapat antara implementor dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan pendapat ini akan menimbulkan hambatan komunikasi. 2) Informasi melewati hierarkhi birokrasi dan kondisi ini akan mempengaruhi tingkat efektifitas komunikasi yang dijalankan. 3) Persepsi implementor dan ketidakmauan implementor untuk mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Kadang-kadang implementor mengabaikan apa yang sudah jelas dan mencoba menduga-duga makna yang lain (Sumiteri 2008).

Tabel 17 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori sedang

No. Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Frekuensi apresiasi Rutin 7 14.3

Kadang-kadang 26 53.1

Tidak pernah 16 32.

2 Apa yang dilakukan sudah sesuai pedoman

Tepat 31 63.3

Kadang tidak tepat 16 32.7 Tidak tepat Tidak tahu 1 1 2 2

3 Konsistensi pedoman Sama 29 59.2

Kurang sama 18 36.7

Tidak sama 2 4.1

Komunikasi merupakan tolok ukur seberapa jauh kebijakan dalam bentuk peraturan telah disampaikan secara jelas dengan interpretasi yang sama dan dapat dilakukan secara konsisten oleh implementor. Pada penelitian responden telah mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman (87.8%) dan responden mengetahui apa yang harus dilakukan (93.9%) namun apa yang dilakukan sesuai pedoman baru mencapai 63.3% (lihat Tabel 17) artinya ada sekitar 36.7% implementasi yang dilakukan “kadang-kadang tidak tepat” sampai dengan “tidak tepat”. Pernyataan ini agak kontradiksi karena jika implementor mengatakan sudah mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman dan tahu apa yang harus dilakukan maka implementasipun seharusnya sudah sesuai pedoman. Namun hal ini bisa dimengerti karena pengetahuan/sikap tidak selalu muncul dalam tindakan/implementasi, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain yaitu adanya kesempatan dan juga adanya sarana dan prasarana (Panjaitan 2012).

(7)

Konsistensi kebijakan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran oleh implementor. Konsistensi yang “sama” terhadap pedoman dijawab oleh 59.2% UPTKP dan 36.7% penafsiran terhadap pedoman “kurang sama” (lihat Tabel 17). Kualitas konsistensi seperti ini perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran karena kebijakan dengan konsistensi yang kurang baik akan menyebabkan ketidakefektifan implementor dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Konsistensi tidak saja pada tatanan implementor tetapi juga pada pejabat di tingkat atas. Jika pejabat tidak konsisten maka implementor akan mengalami kebingungan, sehingga implementasi kebijakan tidak akan efektif karena tujuan dan sasaran yang ingin dicapai tidak terwujud.

Aspek Sumber Daya

Secara keseluruhan aspek sumber daya dalam pencegahan penyebaran rabies kualitasnya termasuk kategori sedang yaitu 75.5% dan 12.2% yang kualitasnya berkategori baik. Indikator untuk mengukur dukungan sumber daya adalah staf, informasi, wewenang, fasilitas dan sumber dana. Indikator-indikator sumber daya secara umum adalah berkategori sedang kecuali indikator wewenang kualitasnya baik dan indikator dana kualitasnya kurang, lihat Tabel 18.

Dari indikator-indikator tersebut pernyataan yang kategorinya baik adalah ketersediaan dokumentasi pedoman di UPTKP, kepatuhan implementor dan intervensi dari atasan yang menyebabkan implementasi menyimpang (pada Tabel 19). Petugas yang patuh dan jarangnya intervensi yang menyimpang merupakan modal yang akan membuat suatu kebijakan berjalan dengan baik, karena dengan prakondisi ini akan lebih mudah memberikan arahan sebagaimana yang diputuskan dalam pedoman.

(8)

Tabel 18 Kualitas indikator sumber daya dalam pencegahan penyebaran rabies

Tabel 19 Pernyataan dalam aspek sumber daya dengan kategori baik No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Dokumentasi

pedoman di UPT

Ada 44 89.8

Tidak ada 4 8.2

Tidak tahu 1 2

2 Kepatuhan petugas Patuh 40 81.6

Kurang patuh 9 18.4

3 Intervensi yang menyimpang

Tidak ada 41 83.7

Kadang-kadang 8 16.3

Terkait wewenang, pada PP 82/2000 tentang karantina hewan, petugas karantina telah diberi kewenangan penuh untuk melaksanakan tindakan karantina termasuk pencegahan penyebaran rabies. Wewenang yang mungkin langka atau tidak diatur adalah mengatur implementor-implementor lain agar tidak mengimplementasikan kebijakan yang menyimpang. Kewenangan seperti ini sebenarnya sangat diperlukan namun kebanyakan implementor lebih mengambil sikap tutup mata dari pada mengatur implementor lain yang melaksanakan kebijakan yang menyimpang. Selain itu kewewenangan petugas karantina ada batasnya yaitu pada pengawasan lalulintas HPR di entry dan exit point sedangkan di daerah sebar menjadi wewenang Dinas terkait. Oleh karena itu perlu kerjasama dengan pelaksana lain agar memperoleh program dengan hasil yang baik.

Pernyataan-pernyataan pada indikator staf, fasilitas dan dana kualitasnya cenderung sedang sampai kurang, dapat dilihat pada Tabel 20. Jumlah, kompetensi dan tingkat kemampuan implementor terkategori ”kurang sesuai”

No Indikator

Sumber Daya Kategori UPTKP

Persentase (%) 1 Staf Baik 17 34.7 Sedang 28 57.1 Kurang baik 4 8.2 2 Informasi Baik 13 26.5 Sedang 22 44.9 Kurang baik 14 28.6 3 Wewenang Baik 41 83.7 Sedang 8 16.3 4 Fasilitas Baik 13 26.5 Sedang 23 46.9 Kurang 13 26.5 5 Dana Baik 3 6.1 Sedang 10 20.4 Kurang 36 73.5

(9)

dan ”kurang memadai”, padahal sumber daya inti setiap organisasi adalah sumber daya manusia yang akan mempengaruhi efektivitas implementasi. Ibaratnya, pedoman sudah ditransmisikan dengan metode yang tepat, jelas dan konsisten namun kekurangan implementor akan mengakibatkan implementasi cenderung tidak efektif. Maka dari itu indikator staf harus ditingkatkan bukan saja kuantitas tapi juga kualitasnya karena kuantitas staf tidak selalu memberikan efek positif dalam implementasi kebijakan, namun kekurangan staf yang terlatih akan menghambat implementasi kebijakan tersebut (Edwards III 1980). indikator staf yang kurang memadai juga mengakibatkan implementasi pedoman menjadi kurang tepat, seperti pemeriksaan titer antibodi rabies seharusnya menjadi dasar pembebasan HPR tetapi akhirnya menjadi monitoring saja dengan alasan kekurangan pegawai di laboratorium.

Indikator staf (sumber daya manusia) ini dapat menjadi contoh kasus yang menjelaskan rendahnya kualitas pelayanan birokrasi di Indonesia. Pelayanan publik di Indonesia sering dikatakan lamban dan cenderung tidak efisien. Penyebabnya bukan terletak pada kurangnya jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut tetapi lebih pada kurangnya kemampuan sumber daya manusia dan rendahnya motivasi pegawai. Mengatasi hal tersebut tidaklah cukup dengan jumlah implementor yang memadai untuk melaksanakan suatu kebijakan namun implementor harus memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menjangkau banyak pembaharuan.

Hal lain yang mungkin juga berkontribusi terhadap kualitas indikator staf adalah seringnya petugas yang berlatar belakang profesional di UPTKP dinaikkan pangkatnya menjadi administrator (terutama tata usaha) karena kurangnya pejabat yang memiliki keterampilan pengelolaan, sehingga tidak lagi menggunakan keterampilan profesional dalam bekerja. Selain itu pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada implementor cukup minim, sehingga kemampuan profesional mengalami kenaikan yang cukup lambat. Pejabat ditingkat atas yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat. Pejabat ini sering kali kurang menanamkan

(10)

pengembangan keterampilan jangka panjang juga tidak menekankan latihan pengelolaan.

Tabel 20 Pernyataan pada aspek sumber daya dengan kualitas sedang-kurang No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Jumlah petugas Memadai 11 22.4 Kurang memadai 32 65.3 Tidak memadai 6 12.2 2 Kompetensi petugas Sesuai 18 36.7 Kurang sesuai 29 59.2 Tidak sesuai 2 4.1 3 Pengetahuan dan kemampuan petugas Memadai 22 44.9 Kurang memadai 25 51 Tidak memadai 2 4.1 4 Ketersedian pedoman di wilayah kerja Memadai 18 36.7 Kurang memadai 20 40.8 Tidak memadai Tidak tahu 7 4 14.3 8.2 5 Laboratorium yang

mampu memeriksa titer antibodi rabies

Tersedia 6 12.2 Tersedia, tdk difungsikan 6 12.2 Tidak tersedia 37 75.5 6 Ketersediaan IKH Tersedia 14 28.6 Tersedia, tdk difungsikan 7 14.3 Tidak tersedia 28 57.1 7 Ketersediaan sarana (kendaraan) Tersedia 31 63.3 Tidak 18 36.7 8 Anggaran untuk mengapresiasikan pedoman Ada 18 36.7 Tidak ada 21 42.9 Tidak tahu 10 20.4 9 Ketersediaan anggaran Memadai 7 38.9 Kurang memadai 11 61.1 10 Ketepatan penggunaan

anggaran

Tepat sasaran 10 56 Kurang tepat sasaran 8 44

Bangunan IKH dan fasilitasnya hanya tersedia di 14 UPTKP (28.6%) dan ada tujuh UPTKP yang tersedia IKH tetapi tidak difungsikan. Hal ini akan menyebabkan observasi HPR lebih banyak dilakukan diluar IKH. Selain itu hanya sebagian kecil saja UPTKP (12.2%) yang mampu melaksanakan pemeriksaan titer antibodi rabies (lihat Tabel 20). Kedua komponen ini menurut peneliti merupakan fasilitas mendasar yang harus dimiliki UPTKP. Laboratorium tidak harus dengan fasilitas yang modern tetapi lebih kepada pemanfaatan teknologi terapan yang cepat seperti rapid test, qualitative test dan sebagainya. Disinilah letak pentingnya fasilitas dalam implementasi kebijakan. Ibaratnya, UPTKP memiliki staf yang memadai, memahami apa yang harus dilakukan, patuh, mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya tetapi tanpa fasilitas yang menunjang untuk mengimplementasikan kebijakan, besar kemungkinan

(11)

implementasi yang dirancang akan terhambat. Sesuai dengan apa yang dikatakan Grindle (1980) bahwa implementasi kebijakan akan mudah dilaksanakan jika didukung oleh ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan, sebaliknya jika tidak tersedia maka implementasi akan terganggu.

Akibat dari kekurangan fasilitas ini “mungkin” menjadi salah satu penyebab masih tingginya kasus rabies di beberapa tempat. Misalkan saja ketika pemasukan HPR dari daerah bebas rabies ke daerah endemis, tidak diketahui (tidak diperiksa) titer antibodinya dan ternyata titernya tidak protektif, maka di daerah tujuan yang endemis rabies akan memperbesar peluangnya untuk tertular rabies dan akan meningkatkan prevalensi rabies di daerah tersebut. Begitu juga sebaliknya ketika ada pemasukan HPR dari daerah endemis ke daerah bebas rabies (menurut pedoman tidak diperbolehkan), sehingga memperluas daerah sebar rabies.

Dalam hal anggaran, hanya 36.7% UPTKP yang menyatakan ketersediaan anggaran untuk mengapresiasikan pedoman kepada implementor, dan anggaran tersebut dianggap “memadai” dan “tepat sasaran” dalam penggunaannya masing-masing dinyatakan oleh 38.9% dan 56% UPTKP (lihat Tabel 20). Oleh karena itu perlu memasukan anggaran untuk mengapresiasikan pedoman atau petunjuk teknis kepada implementor, tidak hanya pedoman No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 tetapi juga petunjuk teknis yang lain.

Aspek Disposisi/Sikap Implementor

Secara keseluruhan kecenderungan sikap implementor dalam melaksanakan pedoman kualitasnya sedang (49%) sampai baik (26.5%) dan 24.5% UPTKP kualitasnya kurang. Indikator untuk mengukur dukungan disposisi adalah komitmen dan insentif. Sebesar 83.7% UPTKP mempunyai komitmen dan 73.5% mempunyai motivasi dalam melaksanakan pedoman, dapat dilihat pada Tabel 21. Indikator komitmen berkategori baik, namun di sebagian besar UPTKP (67.3%) tidak ada insentif untuk petugas jika berhasil mencapai tujuan pedoman, menyebabkan aspek disposisi secara keseluruhan menjadi berkategori sedang.

Disposisi atau sikap yang positif merupakan modal yang sangat berharga untuk mendukung keberhasilan implementasi pedoman pencegahan penyebaran

(12)

rabies. Edwards III menjelaskan bahwa sikap positif menunjukkan adanya dukungan dari implementor untuk melaksanakan pedoman sehingga akan lebih mudah untuk memberikan arahan dan pemahaman sebagaimana yang telah diputuskan dalam kebijakan. Demikian pula sebaliknya bila sikap implementor berbeda dengan pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit.

Tabel 21 Pernyataan dalam aspek disposisi dan kualitasnya

No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Komitmen Ada komitmen 41 83.7

Kurang komitmen 7 14.3

Tidak ada komitmen 1 2

2 Motivasi Ada motivasi 36 73.5

Kurang motivasi 12 24.5 Tidak ada motivasi 1 2

3 Insentif Ada insentif 3 6.1

Kadang ada insentif 13 26.5 Tidak ada insentif 33 67.3

Sikap implementor juga dapat ditunjukkan melalui keberanian implementor mengambil inisiatif dalam melaksanakan pedoman. Tentunya inisiatif tersebut dilandasi argumentasi ilmiah. Namun dalam penelitian ini pertanyaan mengenai inisiatif/improvisasi yang mungkin dapat dilakukan oleh implementor dalam pencegahan penyebaran rabies tidak dimunculkan. Improvisasi yang mungkin seperti dalam kondisi yang sangat mendesak, HPR memungkinkan diberangkatkan 15 hari post vaksinasi tidak harus menunggu 30 hari. Tentunya setelah HPR di periksa titer antibodi rabiesnya dan menunjukan hasil yang protektif. Hal ini seperti yang dikatakan Riasari (2009) bahwa 83.3% titer sudah protektif ketika pengambilan sampel serum dilakukan antara 8-15 hari post vaksinasi.

Aspek Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies sebagian besar kualitasnya berkategori sedang, yakni 65.3% UPTKP, 16.3% berkategori baik, dan 18.4% berkategori kurang, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 13. Indikator untuk mengukur dukungan struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan adalah SOP dan struktur birokrasi pelaksana. Hasil penelitian menunjukan

(13)

ketersediaan SOP di UPTKP termasuk kategori kurang yaitu dinyatakan oleh 69.4%, sedangkan struktur birokrasi pelaksana sebagian besar berkategori sedang yaitu 55.1%, secara rinci terdapat pada Tabel 22.

Tabel 22 Indikator struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies No Indikator Struktur Birokrasi Kategori UPTKP Persentase (%)

1 SOP Baik 7 14.3

Sedang 8 16.3

Kurang 34 69.4

2 Struktur birokrasi Baik 11 22.4

Sedang 27 55.1

Kurang 11 22.4

Pernyataan-pernyataan dalam aspek struktur birokrasi pelaksana kecenderungannya pada kategori sedang sampai kurang (lihat Tabel 23). Sejumlah 59.2% UPTKP menilai bahwa struktur organisasi UPTKP yang ada saat ini masih kurang sesuai bila dikaitkan dengan cakupan wilayah kerja dan beban kerja yang ada. Namun demikian komposisi petugas dinilai sudah terpadu, hal ini dinyatakan oleh 61.2% UPTKP. Kondisi ini memungkinkan koordinasi dengan instansi terkait yang dilakukan oleh UPTKP sebesar 63.3%. UPTKP yang terkategori ”sering” dalam melakukan koordinasi baru mencapai 51%.

Struktur birokrasi pada dasarnya adalah mekanisme kerja yang memungkinkan terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan. Bentuk koordinasi yang dilakukan dalam rangka pencegahan penyebaran rabies 43% adalah melakukan pertemuan secara berkala, 28.6% terlibat dalam rakor rabies provinsi dan 28.4% terlibat dalam rakor rabies kepulauan. Sementara tindak lanjut dari kooordinasi yang menonjol adalah pertukaran data/informasi tentang rabies 43.8%, pengawasan bersama 18.9% dan surveilans bersama 14.3% seperti tergambar pada Tabel 24. Namun koordinasi yang dilakukan hasilnya masih kurang memuaskan, yakni 57.1% UPTKP.

(14)

Tabel 23 Pernyataan aspek struktur birokrasi dengan kualitas sedang-kurang No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Kesesuaian struktur organisasi pelaksana Sesuai 19 38.8 Kurang sesuai 29 59.2 Tidak sesuai 1 2 2 Keterpaduan petugas Ya 30 61.2 Tidak 19 38.8

3 Koordinasi dengan instansi terkait

Ada 31 63.3

Kadang-kadang 18 36.7

4 Intensitas koordinasi Sering 25 51 Jarang 24 49

5 Hasil koordinasi Memuaskan 19 38.8 Kurang memuaskan 28 57.1 Tidak memuaskan 1 2

6 Evaluasi hasil koordinasi terhadap jumlah kasus

Dilakukan Kadang-kadang Tidak 14 26 9 28.6 53.1 18.4 7 Laporan ke Barantan Ya Kadang-kadang Tidak tahu 13 10 8 41.9 52.3 25.8

8 Ketersediaan SOP Tersedia Tidak Tidak tahu 17 30 2 34.7 61.2 4.1

9 SOP dapat menjadi acuan Ya Tidak 16 1 94.1 5.8 10 Ketersediaan SOP di counter pelayanan Ya Tidak 8 9 47.1 52.9

11 Manfaat SOP Bermanfaat Kurang bermanfaat

14 3

83.3 17.6

Tabel 24 Tindak lanjut dari koordinasi yang dilakukan dengan instansi terkait

No Tindak Lanjut UPTKP (%)

1 Pertukaran data/informasi tentang rabies 43.8

2 Pengawasan bersama 18.9

3 Surveilans bersama 14.3

4 Sosialisasi terintegrasi 12

5 Eliminasi dan vaksinasi bersama 11

SOP dibuat dengan tujuan untuk mengatasi keterbatasan sumber daya dan waktu serta menciptakan keseragaman perilaku bagi implementor. SOP atau mekanisme implementasi layaknya tertulis secara formal dalam kerangka kerja yang jelas dan sistematis.

Hasil penelitian menunjukan bahwa 34.7% UPTKP sudah memiliki SOP dan SOP tersebut sebagian besar digunakan sebagai acuan oleh UPTKP (94.1%) dalam lalulintas pemasukan HPR. Dari prakondisi ini, ketersediaan SOP di UPTKP menjadi hal yang penting dan harus disegerakan sehingga diharapkan implementasi pedoman menjadi seragam.

(15)

Dari uraian ke empat aspek yang mempengaruhi implementasi pedoman, dapat disimpulkan bahwa aspek yang paling kritis dan harus segera ditingkatkan kualitasnya adalah aspek komunikasi dari indikator metoda transmisi dan konsistensi. Kedua indikator ini proporsinya paling besar membuat aspek komunikasi menjadi aspek yang kritis. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa metoda transmisi yang kurang tepat dapat menjadi penyebab utama kegagalan implementasi dan konsistensi yang kualitasnya rendah akan mendorong implementor melaksanakan pedoman dengan sangat longgar sehingga akhirnya menyebabkan implementasi tidak optimal.

Prakondisi Implementasi di UPTKP yang Tidak Ada Lalulintas HPR Ada sejumlah 18 UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR baik impor maupun antar area masuk. Tidak ada lalulintas pemasukan HPR bisa karena memang tidak ada kegiatan tersebut atau karena adanya peraturan daerah yang melarang pemasukan HPR dari luar provinsi seperti pelarangan pemasukan HPR ke Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, NTB, Papua, dan Bali. Pelarangan pemasukan HPR dimungkinkan karena sedang terjadi wabah seperti Bali atau dalam rangka melindungi daerah tersebut dari terjangkitnya penyakit rabies seperti Kepulauan Riau, NTB, Papua dan sebagainya.

Karantina Pertanian dalam rangka mencegah masuk, tersebar dan keluarnya hama penyakit hewan karantina (HPHK) dalam hal ini penyakit rabies, meskipun tidak ada lalulintas pemasukan HPR ke UPTKP tersebut tetapi dalam rangka pengawasan untuk mencapai tujuan karantina maka petugas karantina harus mengetahui peraturan perundangan terkait lalulintas HPR, pengetahuan teknis laboratorium pemeriksaan rabies dan sebagainya. Pada penelitian ini juga dilakukan wawancara menggunakan kuesioner kepada petugas karantina di UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR. Hasil penelitian pada Tabel 25 menunjukkan bahwa kualitas prakondisi implementasi di UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR adalah berkategori sedang.

(16)

Tabel 25 Prakondisi implementasi di UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR No Variabel Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Komunikasi Baik 6 33.3

Sedang 6 33.3

Kurang baik 6 33.3

2 Sumber daya Baik 1 5.6

Sedang 14 77.8

Kurang baik 3 16.7

3 Disposisi Baik 6 33.3

Sedang 8 44.4

Kurang baik 4 22.2

4 Struktur birokrasi Baik 2 11.1

Sedang 10 55.6

Kurang baik 6 33.3

Total Prakondisi Baik 1 5.5

Implementasi Sedang 13 72.2

Kurang baik 4 22.2

Tingkat Implementasi SK No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP Jumlah pertanyaan menyangkut implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 sebanyak 38 yang terbagi ke dalam kegiatan pemasukan HPR impor-antar area dan pemasukan antar area. Menilai implementasi pedoman ini di UPTKP dilakukan dengan mengelompokan UPTKP yang ada kegiatan pemasukan HPR impor-antar area dan UPTKP yang hanya ada kegiatan pemasukan HPR antar area.

Tingkat Implementasi Pedoman pada Kegiatan Pemasukan HPR Impor-Antar Area

Ada sejumlah 10 UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR impor-antar area (IAA). Secara umum tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies di UPTKP tersebut termasuk dalam kategori sedang yakni sebesar 90% seperti tergambar pada Tabel 26.

Tabel 26 Tingkat implementasi pedoman pada kegiatan pemasukan HPR IAA No Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Baik 1 10

2 Sedang 9 90

Rata-rata Sedang

Berdasarkan jawaban responden, masih ditemukan implementasi yang tidak sesuai pedoman (implementation gap), namun implementasi yang sesuai

(17)

pedoman persentasenya masih lebih tinggi. Implementasi yang persentase kesesuaiannya dengan pedoman lebih tinggi yaitu 1) tidak ada impor HPR dalam keadaan bunting/menyusui dinyatakan oleh 90% UPTKP, 2) umur HPR impor minimal enam bulan dinyatakan 90% UPTKP dan 3) jarak post vaksin dengan HPR dilalulintaskan minimal 30 hari dan maksimal satu tahun 100% sesuai pedoman, 4) semua UPTKP (100%) melakukan tindakan penahanan jika persyaratan karantina tidak lengkap, 5) surat persetujuan pemasukan (SPP) selalu dipenuhi (100%), 6) sebesar 80% UPTKP melakukan observasi pada masa karantina selama 14 hari, 7) semua HPR yang masuk selalu dilakukan pemeriksaan fisik (100%) dan 8) 86% HPR yang dibebaskan adalah HPR dengan titer antibodi protektif, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 27.

Tabel 27 Implementasi yang sesuai pedoman pada pemasukan HPR IAA

No Implementasi Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Impor HPR sedang bunting/

menyusui

Ada 1 10

Tidak ada 9 90

2 Umur HPR dilalulintaskan Sesuai 9 90

Kadang tidak sesuai 1 10 3 Jarak post vaksin dengan

HPR dilalulintaskan Sesuai 10 100

4 Tindakan karantina Penahanan 5 100

5 SPP dari Ditjenak Keswan Dipenuhi 10 100 6 Pengamatan dalam masa

karantina

14 hari 8 80

Kurang 14 hari 2 20

7 Pemeriksaan fisik HPR Selalu dilakukan 10 100 8 Pembebasan jika titer

protektif Selalu dilakukan Kadang-kadang 6 1 86 14

Implementation gap yang ditemukan pada pemasukan HPR impor-antar area antara lain 1) masih ada pemasukan HPR dari negara endemis rabies, 2) persyaratan karantina yang tidak lengkap, 3) pemeriksaan titer antibodi rabies dan protektifitasnya serta 4) revaksinasi jika titer tidak protektif, secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 28.

Data yang tercantum pada Tabel 27, kecuali butir terkait protektifitas antibodi (yaitu no 2,3 dan 8), bila diamati satu per satu bahwa butir-butir tersebut bukanlah merupakan faktor utama dalam pencegahan penyebaran rabies. Dengan kata lain bilapun butir-butir pada Tabel 27 menjadi

(18)

implementations gap tidak besar kontribusinya dalam membawa rabies bila dibandingkan dengan implementations gap yang ditemukan pada penelitian ini, seperti pada Tabel 28.

Tabel 28 Implementations gap dalam pemasukan HPR impor-antar area (IAA) No Implementasi Kategori UPTKP Persentase (%)

1 HPR dari negara tidak bebas rabies

Ada 5 50

Tidak ada 5 50 2 persyaratan karantina Selalu lengkap 5 50 Kadang tidak lengkap 5 50 3 Persyaratan yang tidak

lengkap

Paspor/microchip 70.83 Hasil lab titer Ab 29.17 4 Lokasi masa karantina Di rumah pemilik 6 60

Di IKH 4 40

5 Pemeriksaan titer Antibodi rabies

Selalu dilakukan 5 50 Kadang-kadang 2 20 Tidak dilakukan 3 30 6 Hasil pemeriksaan titer

antibodi rabies

Semua protektif 3 43 Lebih banyak protektif 4 57 7 Jika titer tidak protektif

dilakukan?

Divaksin di IKH 4 57 Divaksin diluar IKH 3 43

Pemasukan HPR dari negara yang tidak bebas rabies, status HPR yang tidak jelas karena persyaratan karantina yang tidak lengkap ditambah dengan tidak dilakukan pemeriksaan titer antibodi di entry point dan ternyata titer antibodi tidak semuanya protektif maka peluang implementations gap sebagai pembawa rabies besar sekali. Pelepasan HPR dengan antibodi yang tidak protektif dan hanya mengeluarkan rekomendasi untuk di vaksin rabies, menurut penulis resikonya cukup besar karena bila HPR telah dibebaskan dari karantina tidak ada yang dapat menjamin bahwa HPR akan divaksin. Selain itu HPR yang telah berada di daerah sebar bukan lagi kewenangan karantina tetapi menjadi kewenangan Dinas terkait.

Pada kelompok pemasukan HPR impor-antar area, implementasi pedoman pada kegiatan pemasukan HPR antar area ternyata banyak yang tidak sesuai pedoman. Artinya pada UPTKP yang sama dimana implementations gap pada pemasukan HPR impor tidak menonjol ternyata pada kegiatan pemasukan HPR antar area yang terjadi malah sebaliknya, seperti terlihat pada Tabel 29. UPTKP berperilaku lebih longgar ketika ada pemasukan HPR antar area. Dalam implementasi kebijakan, perilaku ambigu ini seharusnya tidak

(19)

terjadi karena dengan perilaku ini terkesan bahwa implementor tidak mempunyai komitmen dalam mengimplementasikan pedoman.

Tabel 29 Implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies di UPTKP pada pemasukan HPR antar area dalam kelompok impor-antar area No Indikator Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Persyaratan karantina Kadang tidak lengkap 10 100 2 Persyaratan yang tidak

lengkap

HC 3.86

SKKH 5.61

Buku vaksin 11.07 Hasil laboratorium 79.39 3 Dikoordinasi dengan UPT

asal

Selalu dikoordinasikan 5 50 Kadang-kadang saja 4 40 Tidak dikoordinasikan 1 10 4 Tindakan karantina Penahanan 8 80 Pembebasan 2 20 5 Pemasukan HPR dengan

persyaratan tidak lengkap

Jarang 7 70

Sering 3 30

6 Rekomendasi pemasukan Selalu disertai 4 40 Kadang-kadang tidak 5 50 Tidak disertai 1 10 7 Koordinasi dengan Dinas

terkait

Selalu dikoordinasikan 3 50 Kadang-kadang 2 33 Tidak pernah 1 17 8 Pemeriksaan fisik HPR Selalu dilakukan 9 90 Kadang-kadang tidak 1 10 9 Umur HPR saat

dilalulintaskan

Sesuai pedoman 4 40 Kadang-kadang tidak 6 60 10 Jarak post vaksin dengan

waktu HPR dilalulintaskan

Sesuai pedoman 4 40 Kadang-kadang tidak 6 60 11 Masa karantina 14 hari 4 40 Kurang 14 hari 3 30 Tidak dilakukan 3 30 12 Lokasi masa karantina Di rumah pemilik 7 100 13 Hasil pemeriksaan titer Ab Dipenuhi 1 10

Kadang-kadang 5 50 Tidak dipenuhi 4 40 14 Tindakan karantina jika

tidak dilengkapi hasil lab.

Dibebaskan 8 80 Pemeriksaan titer Ab 2 20

Tingkat Implementasi Pedoman Pada Kegiatan Pemasukan HPR Antar Area

Ada sejumlah 21 UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR antar area. Sebagian besar tingkat implementasi berkategori sedang yaitu 90.5% dan 4.8% berkategori baik dan kurang, seperti tertera pada Tabel 30. Dilihat dari kategorinya, kualitas implementasi pada dua kelompok pemasukan HPR tidak jauh berbeda namun bila dirinci setiap butir kegiatan maka implementation gap lebih banyak ditemukan pada kelompok pemasukan HPR antar area seperti

(20)

terdapat pada Tabel 31. Hanya pemeriksaan fisik HPR yang tingkat kesesuaiannya dengan pedoman lebih baik yaitu mencapai 81%.

Tabel 30 Tingkat implementasi pedoman pada pemasukan HPR antar area. No Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Baik 1 4.8 2 3 Sedang Kurang 19 1 90.5 4.8 Rata-rata Sedang

Implementations gap pada kelompok pemasukan HPR antar area sangat

mendominasi mulai dari aspek administrasi sampai pada aspek teknis. Bila dilihat lebih rinci, UPTKP pada kelompok ini memiliki status rabies endemis dan bebas historis namun implementations gap cenderung lebih sedikit pada UPTKP dengan status rabies bebas historis. Artinya UPTKP dengan status tersebut kualitas implementasinya lebih baik dengan segala keterbatasan fasilitas yang dimiliki. Disini secara tidak langsung terlihat bahwa aspek disposisi atau komitmen implementor sangat mempengaruhi kualitas implementasi pedoman. Selain itu, dari data yang ada bahwa UPTKP pada kelompok impor-antar area dengan prakondisi yang berkategori baik tidak menunjukan kualitas implementasi pedoman yang baik pula.

Secara keseluruhan kualitas implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies baik pada kelompok impor antar-area maupun kelompok antar area adalah sedang meskipun ada masing-masing satu UPTKP kualitas implementasinya baik. Inilah yang dikemukan Jones (1991) bahwa implementasi dengan mudah dapat dipahami, akan tetapi dalam pelaksanaannya bukanlah sesuatu yang mudah.

Kualitas implementasi berkategori sedang terjawab dari hasil penelitian bahwa terdapat banyak implementations gap. Implementations gap yang ada dapat dikelompokan kepada aspek teknis seperti tindakan karantina (observasi, pemeriksaan fisik HPR, penahanan, pemeriksaan titer antibodi rabies, dan vaksinasi), aspek administrasi seperti persyaratan karantina, rekomendasi, persyaratan negara asal, umur HPR, jarak post vaksin serta aspek sumber daya fisik yaitu IKH dan laboratorium.

(21)

Ketersediaan IKH untuk observasi HPR hanya di 14 UPTKP (28.6%) dan konsekuensinya lokasi untuk observasi HPR dilakukan di rumah pemilik. Hal ini bisa dilakukan tetapi terlebih dahulu lokasi tersebut harus ditetapkan sebagai instalasi karantina hewan sementara dengan ketetapan Kepala Badan Karantina Pertanian. Namun kembali lagi apakah tujuan observasi untuk mengamati kemungkinan gejala klinis yang timbul dapat dilaksanakan secara optimal ketika HPR yang mau diamati berada di rumah pemilik?. Laboratorium yang mampu melaksanakan pemeriksaan titer antibodi rabies hannya 12.2% (6 UPTKP). Dari hasil ini terlihat bahwa sumber daya belum mendukung untuk mewujudkan implementasi yang diharapkan pembuat kebijakan.

Tabel 31 Implementation gap pada lalulintas pemasukan HPR antar area No Indikator Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Persyaratan karantina Selalu dilengkapi 3 14.3 Kadang tidak lengkap 18 85.7 2 Persyaratan yang tidak

lengkap

HC 63.1

SKKH 13.8

Buku vaksin 5.9 Hasil laboratorium 2.8 3 Dikoordinasi dengan UPT

asal

Selalu dikoordinasikan 8 47 Kadang-kadang saja 9 53 4 Tindakan karantina yang

dilakukan

Penahanan 13 65 Penolakan 2 11 Pemusnahan 1 6 Pembebasan 2 11 5 Rekomendasi pemasukan Selalu disertai 11 52.4

Kadang-kadang tidak 7 33.3 Tidak disertai 3 14.3 6 Koordinasi dengan Dinas

terkait Selalu dikoordinasikan 3 30 Kadang-kadang 6 50 Tidak pernah 1 10 7 Umur HPR saat dilalulintaskan Sesuai pedoman 11 55 Kadang-kadang tidak 6 30 Tidak sesuai 3 15 8 Jarak post vaksin dengan

waktu HPR dilalulintaskan

Sesuai 7 35

Kadang-kadang tidak 9 45 Tidak sesuai 4 20 9 Masa karantina 14 hari 10 47.6

Kurang 14 hari 5 23.8 Tidak dilakukan 6 28.6 10 Lokasi masa karantina Di rumah pemilik 15 100 11 Pengasingan 6 bulan di

rumah pemilik, lalulintas endemis ke endemis rabies

Tidak dilakukan 14 100

12 Hasil pemeriksaan titer Ab Kadang dipenuhi 11 52.4 Tidak dipenuhi 10 47.6 13 Tindakan karantina jika tidak

dilengkapi hasil pemeriksaan laboratorium

Penolakan 2 9.5 Pemeriksaan titer Ab 2 9.5 Dibebaskan 17 81

(22)

Implementation gap dari aspek teknis pada pemasukan HPR impor terlihat dari UPTKP yang melakukan pemeriksaan titer antibodi rabies hanya 50% dan ketika titer tidak protektif tidak semua UPTKP melakukan revaksinasi di IKH.

Iimplementation gap dari aspek administrasi adalah masih adanya pemasukan

HPR dari negara yang tidak bebas rabies 50% (5/10), masih tingginya persentase pemasukan HPR dengan persyaratan karantina yang tidak lengkap yaitu 50% walaupun 70.83% yang tidak lengkap adalah microchip/paspor hewan dan 29.17% tidak ada surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi rabies. Pada kelompok pemasukan HPR antar area, semua pernyataa/item kecenderungannya selalu ada

implementation gap kecuali pada pemeriksaan fisik HPR.

Implementation gap yang diuraikan diatas kecuali IKH sebenarnya dapat dikurangi. Pemeriksaan titer antibodi rabies bisa dilakukan di laboratorium pemerintah yang lain, sedangkan negara asal yang endemis dan persyaratan karantina dapat ditertibkan dengan melaksanakan tindakan karantina. Kedepan yang penting adalah konsistensi/penafsiran yang sama terhadap butir-butir kegiatan yang terdapat dalam pedoman, komitmen dan keberanian implementor untuk menerapkan pencegahan penyebaran rabies sesuai dengan pedomannya sehingga implementation gap dalam lalulintas pemasukan HPR dapat menjadi berkurang bahkan tidak ada.

Banyaknya implementations gap yang ditemukan dalam penelitian ini disebabkan oleh lemahnya proses implementasi. Proses implementasi yang lemah terbukti dari kualitas prakondisi yang belum sepenuhnya mendukung untuk mengimplementasikan kebijakan sebagaimana diharapkan oleh pembuat kebijakan. Oleh karena itu implementasi kebijakan yang efektif harus ditunjang oleh prakondisi yang mendukung untuk pelaksanaan kebijakan.

Korelasi Prakondisi dengan Tingkat Implementasi Pedoman

Analisa korelasi dilakukan untuk mencari bukti terdapat tidaknya hubungan antara variabel prakondisi (X) dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies (Y) baik peraspek maupun secara bersama-sama serta melihat tingkat keeratan hubungan apakah signifikan atau tidak. Variabel yang dikorelasikan adalah skala pengukuran numerik, sehingga

(23)

analisa yang digunakan untuk menggambarkan hubungan tersebut adalah uji Pearson.

Analisa dilakukan pada dua kelompok, yaitu:

1. Korelasi prakondisi dengan tingkat implementasi pada kelompok impor-antar area. Hasil uji Pearson tidak ditemukan adanya korelasi baik peraspek maupun keempat aspek tersebut dianalisa secara bersama-sama. Hasil uji Pearson terdapat pada Lampiran 7.

2. Korelasi prakondisi dengan tingkat implementasi pada kelompok antar area. Hasil uji Pearson ditemukan adanya korelasi, seperti tercantum pada Lampiran 8.

Tabel 32 Hasil analisa uji Pearson antara prakondisi dengan tingkat implementasi pada pemasukan HPR antar area.

No Prakondisi (Independen) Implementasi (Dependen) Sig. (2. tailed) Korelasi Pearson Ket. Kekuatan Korelasi 1 Komunikasi Implementasi kebijakan 0.002* 0.644 Ada korelasi Kuat 2 Sumber daya Implementasi

kebijakan 0.062 0.414 Tidak ada 3 Disposisi Implementasi kebijakan 0.440 0.178 Tidak ada 4 Struktur birokrasi Implementasi kebijakan 0.542 0.141 Tidak ada Total Prakondisi Implementasi

kebijakan

0.037* 0.457 Ada korelasi

Sedang

Keterangan: *menunjukan hubungan yang nyata pada nilai p<0.05

Dari analisa uji Pearson, hanya aspek komunikasi ditemukan memiliki korelasi dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies dengan kekuatan korelasi yang kuat sedangkan tiga aspek yang lain yaitu sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi tidak ada korelasi. Namun jika di analisa secara bersama keempat aspek tersebut ditemukan korelasi dengan kekuatan korelasi sedang. Hasil analisa ini menunjukan hubungan yang positif yaitu semakin tepat metoda komunikasi yang dilakukan maka kualitas implementasi semakin baik. Edwards III (dalam Winarno 2002) menyatakan dengan menganalisa hubungan komunikasi dengan implementasi maka dapat diambil generalisasi yakni semakin cepat pedoman disosialisasikan maka semakin tinggi probabilitas pedoman tersebut diimplementasikan.

(24)

Menurut Edwards III (1980), aspek komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi secara lansung dan tidak lansung serta simultan mempengaruhi implementasi. Tabel 32 di atas sesuai dengan yang dikemukan Edwards III bahwa komunikasi mempengaruhi implementasi secara lansung namun tiga aspek yang lain mempengaruhi implementasi secara tidak lansung. Pendapat Winarno (2002) bahwa komunikasi mempengaruhi sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang pada gilirannya mempengaruhi implementasi.

Pada penelitian ini tidak semua aspek berkorelasi apalagi pada kelompok impor-antar area. Memang itulah kondisinya saat ini dan dapat berubah bila dilakukan penelitian pada saat yang akan datang. Tidak adanya korelasi antara prakondisi (X) dengan implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies (Y) pada kegiatan pemasukan HPR impor-antar area yang terungkap pada penelitian ini agak berbeda dengan teori yang dikemukan Edwards III. Salah satu penyebab adalah karena nilai prakondisi dan nilai implementasi kecenderungannya tidak mengelompok pada satu satuan nilai.

Rendahnya kekuatan korelasi yang terungkap dari penelitian ini, bisa juga mengindikasikan bahwa masih ada faktor lain yang mempengaruhi implementasi selain empat aspek yang diuraikan di atas tetapi faktor-faktor tersebut tidak dianalisa dalam penelitian ini. Seperti yang dikemukan Makinde (2005) bahwa implementasi dapat menjadi lebih baik dengan melibatkan masyarakat penerima manfaat dari tahap formulasi kebijakan agar masyarakat dapat memberi masukan. Hal ini akan membuat masyarakat mempunyai rasa memiliki dan mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan kebijakan. Hal lain yang tak kalah pentingnya menurut Makinde adalah kebijakan harus dipantau dengan cara yang tepat sehingga diketahui apakah kebijakan telah dilaksanakan dengan efektif atau kebijakan tersebut ternyata sudah tidak bermanfaat untuk masyarakat.

Van Meter dan Van Horn (1975) juga mengemukan bahwa selain empat aspek prakondisi yang diuraikan diatas, kondisi sosial, ekonomi dan politik juga mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Aspek ini menekankan pada kondisi sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok yang berkepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik

(25)

partisipan yang mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan tersebut. Oleh karena itu untuk penelitian yang akan datang, mengkombinasikan model implementasi untuk mengukur tingkat implementasi suatu kebijakan mungkin akan memberikan gambaran yang senyatanya mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut.

Gambar

Tabel 15 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori baik
Tabel 20 Pernyataan pada aspek sumber daya dengan kualitas sedang-kurang  No  Pernyataan  Kategori  UPTKP  Persentase (%)
Tabel 22 Indikator struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies  No  Indikator Struktur Birokrasi  Kategori  UPTKP  Persentase (%)
Tabel 24 Tindak lanjut dari koordinasi yang dilakukan dengan instansi terkait
+2

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi K+ dlm larutan tanah merupakan indeks ketersediaan kalium, karena difusi K+ ke arah permukaan akar berlangsung dalam larutan tanah dan kecepatan difusi tgt pada

47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat menjadi dasar kebijaksanaan dalam upaya menjaga pemanfaatan dan pengelolaan danau dan waduk yang tetap

Pseudomonas cepacia S2 mampu menggunakan ABS sebagai sumber karbon utama dan dapat tumbuh pada kondisi asam, sehingga biakan tersebut berpotensi untuk dapat

Secara periodik, sistem administrasi PT.(Persero) Bank Rakyat Indonesia Cabang Pembantu Unit Keera harus di teliti atau di periksa oleh pihak yang bebas dari tugas rutin yaitu

Gambar 4.11 merupakan Perancangan Form data transaksi, berfungsi untuk melihat total harga penawaran untuk semua barang lelang yang diajukan oleh setiap vendor.. Di

Dugaan subdivisi genetik pada populasi ikan ini juga didukung oleh data frekuensi ha- plotipe; frekuensi dua jenis haplotipe yang pa- ling sering muncul (ABA dan ABB), pada po-

Dalam tahapan studi literatur ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang bersifat teori dari jurnal lokal dan internasional, buku pengantar terkait dengan

Upaya penyelesaian dalam perjanjian kerjasama jika terjadi sengketa dari penelitian yang telah dilakukan menerangkan bahwa dalam pasal 18 pada perjanjian tersebut telah diatur