• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAYA BELAJAR SISWA BERPRESTASI. yang menjelaskan mengenai bagaimana individu belajar atau cara yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAYA BELAJAR SISWA BERPRESTASI. yang menjelaskan mengenai bagaimana individu belajar atau cara yang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

20 1. Pengertian Gaya Belajar

Menurut M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S. dalam bukunya Gaya Belajar menjelaskan bahwa gaya belajar merupakan sebuah pendekatan yang menjelaskan mengenai bagaimana individu belajar atau cara yang ditempuh oleh masing-masing orang untuk berkonsentrasi pada proses, dan menguasai informasi yang sulit dan baru melalui persepsi yang berbeda.

James dan Gardner berpendapat bahwa gaya belajar adalah cara yang kompleks di mana para siswa menganggap dan merasa paling efektif dan efisien dalam memproses, menyimpan dan memanggil kembali apa yang telah mereka pelajari.

Definisi Keefe mengenai gaya belajar adalah faktor-faktor kognitif, afektif, dan fisiologis yang menyajikan beberapa indikator yang relatif stabil tentang bagaimana siswa merasa, berhubungan dengan lainnya dan berinteraksi terhadap lingkungan belajar.

Menurut Kolb bahwa gaya belajar merupakan metode yang dimiliki individu untuk mendapatkan informasi, sehingga pada prinsipnya

gaya belajar merupakan bagian integral dalam siklus belajar aktif.1

Sedangkan Menurut Eric Jensen dalam bukunya Guru Super dan Super

1 M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S., Gaya Belajar: Kajian Teoritik (Yogyakarta:

▸ Baca selengkapnya: bagaimana sikap belajar yang memuliakan tuhan

(2)

Teaching menjelaskan bahwa gaya belajar adalah satu cara yang disukai

untuk memikirkan, mengolah, dan memahami informasi.2 Menurut Bobbi

DePorter dan Mike Hernacki dalam bukunya Quantum Learning menjelaskan bahwa gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap, mengatur, dan

mengolah informasi.3

2. Macam-Macam Gaya Belajar a. Visual (Visual Learners)

Modalitas ini mengakses citra visual, yang diciptakan maupun diingat. Warna, hubungan ruang, potret mental, dan gambar menonjol dalam modalitas ini. Seseorang yang sangat visual bercirikan sebagai berikut:

1) Teratur, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan 2) Mengingat dengan gambar, lebih suka membaca daripada

dibacakan

3) Membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan menangkap

detail: mengingat apa yang dilihat.4

4) Berbicara dengan cepat

5) Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik 6) Teliti pada detail

2 Eric Jensen, Guru Super & Super Teaching, terjemahan Benyamin Molan (Jakarta:

Indeks, 2010), hlm. 54.

3 Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman

dan Menyenangkan, terjemahan Alwiyah Abdurrahman (Bandung: Kaifa, 2000), hlm. 110.

4

Bobbi DePorter, Mark Reardon dan Sarah Singer-Nourie, Quantum Teaching:

Mempraktikkan Quantum Teaching di Ruang-Ruang Kelas, terjemahan Ary Nilandari (Bandung:

(3)

7) Pengeja yang baik dan dapat melihat kata- kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka

8) Mengingat apa yang dilihat dari pada yang didengar 9) Biasanya tidak terganggu oleh keributan

10) Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya

11) Pembaca cepat dan tekun

12) Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat

13) Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain

14) Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak

15) Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato 16) Lebih suka seni daripada musik

17) Sering kali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata- kata

18) Kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin

memperhatikan5

19) Cenderung melihat sikap, gerakan, dan bibir guru yang sedang mengajar

5

(4)

20) Saat mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu, biasanya akan melihat teman-teman lainnya baru kemudian dia sendiri yang bertindak

21) Tak suka bicara di depan kelompok dan tak suka pula mendengarkan orang lain. Terlihat pasif dalam kegiatan diskusi. Gaya Belajar Visual (Visual Learners) menitikberatkan pada

ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus

diperlihatkan terlebih dahulu agar mereka paham.6 Gaya belajar

seperti ini mengandalkan penglihatan atau melihat dulu buktinya untuk kemudian bisa mempercayainya. Ada beberapa karakteristik yang khas bagi orang-orang yang menyukai gaya belajar visual ini. Pertama adalah kebutuhan melihat sesuatu (informasi/pelajaran) secara visual untuk mengetahuinya atau memahaminya, kedua memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, ketiga memiliki pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik, keempat memiliki kesulitan dalam berdialog secara langsung, kelima terlalu reaktif terhadap suara, keenam sulit mengikuti anjuran secara lisan, ketujuh

sering kali salah menginterpretasikan kata atau ucapan.7

b. Auditori (Auditory Learners )

Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata – diciptakan maupun diingat. Musik, nada, irama, rima, dialog internal, dan suara

6

Haryanto. Macam-macam Gaya Belajar. http://belajarpsikologi.com/macam-macam-gaya-belajar/ Diakses [13/09/2014]

7 Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara,

(5)

menonjol di sini. Seseorang yang sangat auditorial dapat bercirikan sebagai berikut:

1) Perhatiannya mudah terpecah 2) Berbicara dengan pola berirama

3) Belajar dengan cara mendengarkan, menggerakkan bibir/bersuara saat membaca

4) Berdialog secara internal dan eksternal.8

5) Senang membaca dengan keras dan mendengarkan

6) Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara

7) Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita 8) Biasanya pembicara yang fasih

9) Lebih suka musik dari pada seni

10) Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat

11) Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar

12) Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain

13) Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya

14) Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik9

8

(6)

15) Tak suka membaca dan umumnya memang bukan pembaca yang baik karena kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja dibacanya

16) Kurang cakap dalam mengerjakan tugas mengarang/ menulis 17) Kurang tertarik memperhatikan hal-hal baru di lingkungan

sekitarnya, seperti hadirnya anak baru, adanya papan pengumuman di pojok kelas, dan lain-lain.

Gaya belajar Auditori (Auditory Learners) mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan mengingatnya. Karakteristik model belajar seperti ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, kita harus mendengar, baru kemudian kita bisa mengingat dan memahami informasi itu. Karakter pertama orang yang memiliki gaya belajar ini adalah semua informasi hanya bisa diserap melalui pendengaran, kedua memiliki kesulitan untuk menyerap informasi dalam bentuk tulisan secara langsung, ketiga memiliki kesulitan menulis ataupun

membaca.10

c. Kinestetik (Kinesthetic Learners)

Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi - diciptakan maupun diingat. Gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional, dan

9 Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, op. cit., hlm. 118.

10

(7)

kenyamanan fisik menonjol di sini. Seseorang yang sangat kinestetik bercirikan:

1) Menyentuh orang dan berdiri berdekatan, banyak bergerak

2) Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca, menanggapi secara fisik

3) Mengingat sambil berjalan dan melihat.11

4) Berbicara dengan perlahan 5) Mudah terganggu oleh keributan

6) Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka 7) Mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar 8) Belajar melalui memanipulasi dan praktek

9) Banyak menggunakan isyarat tubuh

10) Tidak dapat duduk diam untuk waktu lama12

11) Mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan tangannya aktif. Contoh: saat guru menerangkan pelajaran, dia mendengarkan sambil tangannya asyik menggambar

12) Suka menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar

13) Sulit menguasai hal-hal abstrak seperti peta, simbol dan lambang 14) Menyukai praktek/ percobaan

15) Menyukai permainan dan aktivitas fisik.

11 Bobbi DePorter, Mark Reardon dan Sarah Singer-Nourie, loc. cit.

12

(8)

Gaya belajar Kinestetik (Kinesthetic Learners) mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Tentu saja ada beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa melakukannya. Karakter pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar bisa terus mengingatnya. Kedua, hanya dengan memegangnya saja, seseorang yang memiliki gaya ini bisa menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya. Karakter ketiga adalah kita termasuk orang yang tidak bisa/tahan duduk terlalu lama untuk mendengarkan pelajaran. Keempat, kita merasa bisa belajar lebih baik apabila disertai dengan kegiatan fisik. Karakter terakhir, orang yang memiliki gaya belajar ini memiliki

kemampuan mengoordinasikan sebuah tim dan kemampuan

mengendalikan gerak tubuh (athletic ability).13

3. Memanfaatkan Gaya Belajar

Semua orang belajar dengan cara yang berbeda-beda, dan semua cara sama baiknya. Dalam kenyataannya, kita semua memiliki ketiga gaya belajar itu (visual, auditorial, dan kinestetik), hanya saja biasanya satu

gaya mendominasi.14

Tip-tip yang bisa diberikan untuk membantu pelajar dengan masing-masing gaya belajarnya, yaitu:

13 Hamzah B. Uno, op. cit., hlm. 182.

(9)

a. Pelajar visual

Dorong pelajar visual membuat banyak simbol dan gambar dalam catatan mereka. Dalam matematika dan ilmu pengetahuan, tabel dan grafik akan memperdalam pemahaman mereka. Peta pikiran dapat menjadi alat yang bagus bagi para pelajar visual dalam mata pelajaran apa pun. Karena para pelajar visual belajar terbaik saat mereka mulai dengan “gambaran keseluruhan”, melakukan tinjauan umum mengenai bahan pelajaran akan sangat membantu. Membaca bahan secara sekilas, misalnya, memberikan gambaran umum mengenai bahan bacaan sebelum mereka terjun ke dalam perinciannya.

b. Pelajar auditorial

Mendengarkan kuliah, contoh, dan cerita serta mengulang informasi adalah cara-cara utama belajar mereka. Para pelajar auditorial mungkin lebih suka merekam pada kaset daripada mencatat, karena mereka suka mendengarkan informasi berulang-ulang. Mereka mungkin mengulang sendiri dengan keras apa yang anda katakan. Mereka tentu saja menyimak, hanya saja mereka suka mendengarkannya lagi. Jika anda melihat mereka kesulitan dengan peta konsep, bantulah mereka berbicara dengan diri mereka sendiri untuk memahaminya. Anda dapat membuat fakta panjang yang mudah diingat oleh siswa auditorial dengan mengubahnya menjadi lagu, dengan melodi yang sudah dikenal baik. Ada pelajar auditorial yang suka mendengarkan musik sambil belajar, ada yang menganggapnya sebagai gangguan. Pelajar

(10)

auditorial harus diperbolehkan berbicara dengan suara perlahan pada diri mereka sendiri sambil bekerja.

c. Pelajar kinestetik

Pelajar-pelajar ini menyukai proyek terapan. Lakon pendek dan lucu terbukti dapat membantu. Pera pelajar kinestetik suka belajar melalui gerakan, dan paling baik menghafal informasi dengan mengasosiasikan gerakan dengan setiap fakta. Tunjukkan caranya kepada mereka. Banyak pelajar kinestetik menjauhkan diri dari bangku, mereka lebih suka duduk di lantai dan menyebarkan pekerjaan di sekeliling

mereka.15 Bisa juga dengan membuat tulisan dan sebentuk pencatatan

mengubah input auditori (suatu kuliah atau ceramah) ke dalam bentuk fisik, belajar bersama dengan orang lain dalam kelompok, buatlah tanda-tanda dari stabilo pada akhir setiap paragraf untuk menunjukkan bahwa telah memahaminya, selanjutnya dapat mengidentifikasi di mana mulai kehilangan kaitan dengan materi sebelumnya, membaca ulang wacana-wacana yang sulit, bila perlu membaca dengan lantang.16

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gaya Belajar

Rita Dunn, seorang pelopor di bidang gaya belajar, telah menemukan banyak variabel yang mempengaruhi gaya belajar siswa. Ini mencakup faktor-faktor fisik, faktor emosional, faktor sosiologis, dan

15 Bobbi DePorter, Mark Reardon dan Sarah Singer-Nourie, op. cit., hlm. 168.

16

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for The 21 St Century: Cara

(11)

lingkungan. Sebagian orang, misalnya dapat belajar paling baik dengan cahaya yang terang, sedang sebagian yang lain dengan pencahayaan yang suram. Ada siswa yang belajar paling baik secara berkelompok, sedangkan yang lain lagi memilih adanya figur yang otoriter seperti orang tua atau guru, yang lain lagi merasa bahwa bekerja sendirilah yang paling efektif bagi mereka. Sebagian orang memerlukan musik sebagai iringan belajar, sedang yang lain tidak dapat berkonsentrasi kecuali dalam keadaan ruangan sepi. Ada siswa yang memerlukan lingkungan kerja yang teratur dan rapi, tetapi yang lain lagi lebih suka menggelar segala sesuatunya

supaya dapat dilihat.17

B. Siswa Berprestasi

1. Pengertian Siswa Berprestasi

Siswa adalah sekelompok orang dengan usia tertentu yang belajar baik secara kelompok atau perorangan. Siswa juga disebut murid atau pelajar. Ketika kita bicara mengenai siswa maka pikiran kita akan tertuju kepada siswa di lingkungan sekolah, baik sekolah dasar maupun menengah.

Siswa berprestasi dia selalu bermotivasi untuk menuntut ilmu yang ingin dia capai untuk meraih kesuksesan atau menjadi anak yang berprestasi, itu perincian arti anak berprestasi. Beda dengan arti dari seorang siswa arti secara detailnya anak berprestasi itu seorang anak atau murid yang terdidik dengan daya pikir yang selalu berpikiran ke depan

17

(12)

dalam artian selalu bermotivasi di mana pun dia berada. Ketika dia di lingkungan masyarakat maka pola pikir dia selalu mengikuti apa yang harus di kembangkan di lingkungannya. Biasanya hal itu terlihat dalam hal berikut :

a. Selalu aktif bermasyarakat

b. Banyak dikenal oleh masyarakat atas prestasinya c. Dan selalu menjadi anak kebanggaan ketua masyarakat

Dan ketika dia di lingkungan pendidikan atau sekolah dia selalu bermotivasi memajukan atau mengharumkan nama sekolahnya dan membuat bangga kepala sekolah dan guru-guru yang telah mengajarnya. Biasanya hal itu terlihat dalam hal berikut :

a. Terutama dia selalu tekun beribadah dan berdoa b. Selalu mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah

c. Rajin belajar untuk memotivasi menjadi anak yang berprestasi

d. Tidak pernah mengeluh ketika dia menemukan kesulitan.18

Tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) siswa tak dapat diragukan

lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.19 Mengenai

kecerdasan, Danah Zohar dan Ian Marshall, dalam bukunya yang disebut-sebut menerobos, SQ: Spiritual Intelligence, menegaskan bahwa kecerdasan itu beragam. Menurutnya ada tiga ragam kecerdasan, IQ

18 Prasojo Dwi Utomo. “Arti Siswa dan Anak Berprestasi”.

http://blog.umy.ac.id/prasojo89/2013/05/16/arti-siswa-dan-anak-berprestasi/ (16 Mei 2013). Diakses, 15 Juni 2015.

19 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.

(13)

(Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient). Mengenai hal ini Danah Zohar dan Ian Marshall menulis, ada pengorganisasian saraf yang memungkinkan kita berpikir rasional, logis dan taat asa. Ini kita sebut IQ. Jenis yang lain memungkinkan kita berpikir asosiatif, yang terbentuk oleh kebiasaan, dan membuat kita mampu

mengenali pola-pola emosi. Ini kita sebut EQ.20 Kecerdasan emosional ini

secara teknis, pertama kali digagas dan ditemukan oleh Daniel Goleman. Dalam bukunya, Emotional Intelligence, Daniel Goleman menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya yang 80%, ditentukan oleh sederetan faktor yang disebutnya

sebagai kecerdasan emosional.21 Jenis ketiga memungkinkan kita untuk

berpikir secara kreatif, berwawasan jauh, membuat dan bahkan mengubah aturan. Inilah jenis pemikiran yang memungkinkan kita menata kembali dan mentransformasikan dua jenis pemikiran sebelumnya. Ini kita sebut SQ.22

2. Pengertian Belajar

Belajar menurut Gagne sebagaimana dikutip Ratna Willis Dahar

dalam bukunya Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran didefinisikan sebagai

20

Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful

Intelligence atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 82.

21 Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial bagi Anak (Jogjakarta:

Katahati, 2011), hlm. 36.

22

(14)

suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat

pengalaman.23

Bimo Walgito dalam bukunya Pengantar Psikologi Umum mengatakan bahwa mengenai pengertian belajar dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Belajar merupakan suatu proses, yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku (change in behavior of performance). Ini berarti sehabis belajar individu mengalami perubahan dalam perilakunya. Perilaku dalam arti yang luas dapat over behavior atau inner behavior. Karena itu perubahan itu dapat dalam segi kognitif, afektif dan dalam segi psikomotorik.

b. Perubahan perilaku itu dapat aktual, yaitu yang menampak, tetapi juga dapat bersifat potensial, yang tidak menampak pada saat itu, tetapi akan nampak di lain kesempatan.

c. Perubahan yang disebabkan karena belajar itu bersifat relatif permanen, yang berarti perubahan itu akan bertahan dalam waktu yang relatif lama. Tetapi perubahan itu tidak akan menetap terus menerus, sehingga pada suatu waktu hal tersebut dapat berubah lagi sebagai akibat belajar. d. Perubahan perilaku, baik yang aktual maupun yang potensial, yang merupakan hasil belajar, merupakan perubahan yang melalui pengalaman atau latihan. Ini berarti bahwa perubahan itu bukan terjadi karena faktor kematangan yang ada pada diri individu, bukan karena

23 Ratna Willis Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Erlangga, 2011),

(15)

faktor kelelahan dan juga faktor temporer individu seperti keadaan

sakit serta pengaruh obat-obatan.24

Menurut Oemar Hamalik dalam bukunya Proses Belajar Mengajar mengatakan bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan

kelakuan.25

Adapun belajar bercirikan adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahan tingkah laku tersebut bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun nilai dan sikap (afektif). Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja, melainkan menetap atau dapat disimpan. Perubahan itu tidak terjadi begitu saja, melainkan harus dengan usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan. Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik atau kedewasaan,

tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan.26

Secara pragmatis teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan

24

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Cet. 5 (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005), hlm. 185-186.

25 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), hlm. 27.

26 Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Ghalia

(16)

penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Di antara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni: Connectionism, Classical Conditioning, dan Operant Conditioning.

a. Connectionism (Koneksionisme)

Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.

Berdasarkan eksperimennya, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Selain itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.

b. Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)

Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini

berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning

(17)

ini adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.

Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned respons (CR), dan unconditioned respons (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang yang tidak dipelajari itu disebut UCR.

Berdasarkan eksperimennya, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, pada prinsipnya hasil eksperimen E. L. Thorndike di muka kurang lebih sama dengan hasil eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike yang behavioristik itu. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.

Selanjutnya, Skinner berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung dalam eksperimen Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda, yakni: law of responden conditioning dan law of

(18)

responden extinction. Secara harfiah, law of responden conditioning berarti hukum pembiasaan yang dituntut, sedangkan law of responden extinction adalah hukum pemusnahan yang dituntut.

c. Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respons)

Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner, seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontroversial.

Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat. Tidak seperti dalam responden conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical responden conditioning.

Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Eksperimen Skinner mirip sekali dengan

trial and error learning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu

(19)

melibatkan satisfaction (kepuasan), sedangkan menurut Skinner, fenomena tersebut melibatkan reinforment (penguatan). Dengan demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of effect.

Selanjutnya, proses belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. Menurut law of operant conditioning jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah. Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan Hukum-hukum-Hukum-hukum yang

melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasaan yang klasik.27

3. Pengertian Prestasi Belajar

Prestasi belajar terdiri dari dua kata, yaitu prestasi dan belajar. Menurut Departemen Pendidikan Nasional, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah

27 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.

(20)

dilakukan, dikerjakan dan sebagainya).28 Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian, berlatih, berubah tingkah laku atau

tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.29

Pengertian prestasi belajar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan yang bersifat kognitif dan

biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian.30

Menurut M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita dalam bukunya Gaya Belajar menjelaskan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh siswa atau mahasiswa setelah melakukan aktivitas belajarnya yang

dinyatakan dalam bentuk nilai angka atau huruf.31

4. Macam-Macam Prestasi Belajar

Benyamin S. Bloom secara garis besar membagi prestasi belajar dalam 3

ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.32

a. Ranah kognitif

Untuk mengukur keberhasilan siswa dalam ranah kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis, tes lisan, maupun tes perbuatan. Akan tetapi untuk mengetahui kemampuan siswa bidang kognitif ini lebih tepat menggunakan tes pencocokan

28 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3 (Jakarta:

Balai Pustaka, 2003), hlm. 700.

29

Ibid., hlm. 17

30 Ibid., hlm. 895.

31

M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita, op. cit., hlm. 9.

(21)

(matching test), tes isian dan tes esai.33 Menurut Bloom, kemampuan berpikir secara hierarkis yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.34

1) Tingkat pengetahuan (knowledge), pada tahap ini menuntut siswa

untuk mampu mengingat (recall) berbagai informasi yang telah diterima sebelumnya, misalnya fakta, rumus, terminologi strategi problem solving dan lain sebagainya.

2) Tingkat pemahaman (comprehension), pada tahap ini kategori

pemahaman dihubungkan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Pada tahap ini peserta didik diharapkan menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri.

3) Tingkat penerapan (application), penerapan merupakan

kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi yang baru, serta memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.

4) Tingkat analisis (analysis), analisis merupakan kemampuan

mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi,

33

Muhibbin Syah, op. cit., hlm. 245.

34 Mimin Haryati, Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi, Cet. 2 (Jakarta: Gaung Persada

(22)

hipotesa atau kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada atau tidaknya kontradiksi. Dalam tingkat ini peserta didik diharapkan menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari.

5) Tingkat sintesis (synthesis), sintesis merupakan kemampuan

seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.

6) Tingkat penilaian (evaluation), evaluasi merupakan level tertinggi

yang mengharapkan peserta didik mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau

benda dengan menggunakan kriteria tertentu.35

b. Ranah afektif

Pengukuran ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif. Pengukuran ranah afektif tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) karena perubahan tingkah laku siswa tidak dapat berubah sewaktu-waktu. Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Demikian juga pengembangan minat dan penghargaan serta nilai-nilai. Pertanyaan afektif tidak menuntut jawaban benar atau salah, tetapi jawaban yang khusus tentang dirinya

(23)

mengenai minat, sikap, dan internalisasi nilai. Untuk mengetahui prestasi siswa yang berdimensi afektif dapat menggunakan bentuk tes yang berupa “skala likert” (likert scale). Bentuk skala ini disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima respons yang menunjukkan tingkatan dan mencerminkan sikap sangat setuju, setuju,

ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju.36 Krathwohl membagi

hasil belajar afektif menjadi lima tingkat yaitu penerimaan, partisipasi,

penilaian, organisasi dan internalisasi.37

1) Penerimaan (receiving) atau menaruh perhatian (attending) adalah kesediaan menerima rangsangan dengan memberikan perhatian kepada rangsangan yang datang kepadanya.

2) Partisipasi atau merespons (responding) adalah kesediaan memberikan respons dengan berpartisipasi. Pada tingkat ini siswa tidak hanya memberikan perhatian kepada rangsangan tapi juga berpartisipasi dalam kegiatan untuk menerima rangsangan.

3) Penilaian atau penentuan sikap (valuing) adalah kesediaan untuk menentukan pilihan sebuah nilai dari rangsangan tersebut.

4) Organisasi adalah kesediaan mengorganisasikan nilai-nilai yang dipilihnya untuk menjadi pedoman yang mantap dalam perilaku. 5) Internalisasi nilai atau karakterisasi (characterization) adalah

menjadikan nilai-nilai yang diorganisasikan untuk tidak hanya

36

Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Cet. 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 193-195

(24)

menjadi pedoman perilaku tetapi juga menjadi bagian dari pribadi

dalam perilaku sehari-hari.38

c. Ranah psikomotorik

Pengukuran ranah psikomotorik dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang berupa penampilan. Namun demikian biasanya pengukuran ranah ini disatukan atau dimulai dengan pengukuran ranah kognitif sekaligus. Misalnya, penampilannya dalam menggunakan termometer diukur mulai dari pengetahuan mengenai alat tersebut, pemahaman tentang

alat dan penggunaannya (aplikasi), kemudian baru cara

menggunakannya dalam bentuk keterampilan. Untuk pengukuran yang terakhir ini harus diperinci antara lain: cara memegang, cara meletakkan/menyelipkan ke dalam ketiak atau mulut, cara membaca angka, cara mengembalikan dalam tempatnya, dan sebagainya. Ini semua tergantung dari kehendak kita, asal tujuan pengukuran dapat tercapai. Instrumen yang digunakan mengukur keterampilan biasanya berupa matriks. Ke bawah menyatakan perperincian aspek (bagian keterampilan) yang diukur dan ke kanan menunjukkan besarnya skor

yang dapat dicapai.39 Menurut Simpson hasil belajar psikomotorik

dapat diklasifikasikan menjadi enam: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks dan kreativitas.

38

Ibid., hlm. 52.

(25)

1) Persepsi (perception) adalah kemampuan hasil belajar psikomotorik yang paling rendah. Persepsi adalah kemampuan membedakan suatu gejala dengan gejala lain.

2) Kesiapan (set) adalah kemampuan menempatkan diri untuk memulai suatu gerakan.

3) Gerakan terbimbing (guided response) adalah kemampuan melakukan gerakan meniru model yang dicontohkan.

4) Gerakan terbiasa (mechanism) adalah kemampuan melakukan gerakan tanpa ada model contoh. Kemampuan dicapai karena latihan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

5) Gerakan kompleks (adaptation) adalah kemampuan melakukan serangkaian gerakan dengan cara, urutan dan irama yang tepat. 6) Kreativitas (origination) adalah kemampuan menciptakan

gerakan-gerakan baru yang tidak ada sebelumnya atau mengombinasikan

gerakan-gerakan yang ada menjadi gerakan baru yang orisinal.40

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono dalam bukunya Psikologi Belajar menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ada 3, yaitu:41

a. Faktor-faktor stimuli belajar

40

Ibid., hlm. 53.

41 Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),

(26)

Yang dimaksud stimuli belajar yaitu segala hal di luar individu itu untuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar. Stimuli dalam hal ini mencakup material, penugasan, serta suasana lingkungan eksternal yang harus diterima atau dipelajari oleh pelajar.

b. Faktor-faktor metode belajar

Metode mengajar yang dipakai oleh guru sangat mempengaruhi metode belajar yang dipakai oleh pelajar. Faktor-faktor metode belajar ini menyangkut; kegiatan berlatih atau praktek, overlearning dan drill, resitasi selama belajar, pengenalan tentang hasil-hasil belajar, belajar dengan keseluruhan dan dengan bagian-bagian, penggunaan modalitet indera, bimbingan dalam belajar, kondisi-kondisi intensif.

c. Faktor-faktor individual

Kecuali faktor-faktor stimuli dan metode belajar, faktor-faktor individual sangat besar pengaruhnya terhadap belajar seseorang. Adapun faktor-faktor individual dua itu menyangkut kematangan fisiologis, faktor usia kronologis, faktor perbedaan jenis kelamin, pengalaman sebelumnya, kapasitas mental, kondisi kesehatan jasmani dan rohani, dan motivasi.

Menurut Wasliman sebagaimana dikutip Ahmad Susanto dalam bukunya Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar, bahwa hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal:

(27)

a. Faktor internal

Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik, yang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Faktor internal ini meliputi: kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan. b. Faktor eksternal

Faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang mempengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Keluarga yang morat-marit keadaan ekonominya, pertengkaran suami istri, perhatian orang tua yang kurang terhadap anaknya, serta kebiasaan sehari-hari berperilaku yang kurang baik dari orang tua dalam kehidupan

sehari-hari berpengaruh dalam hasil belajar peserta didik.42

Menurut Djaali dalam bukunya Psikologi Pendidikan,

mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:

a. Faktor Internal 1) Kesehatan

Apabila orang selalu sakit (sakit kepala, pilek, demam) mengakibatkan tidak bergairah belajar dan secara psikologi sering mengalami gangguan pikiran dan perasaan kecewa karena konflik. 2) Inteligensi

42 Ahmad Susanto, Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar (Jakarta: Kencana,

(28)

Faktor inteligensi dan bakat besar sekali pengaruhnya terhadap kemajuan belajar.

3) Minat dan motivasi

Minat yang besar (keinginan yang kuat) terhadap sesuatu merupakan modal yang besar untuk mencapai tujuan. Motivasi merupakan dorongan diri sendiri, umumnya karena kesadaran akan pentingnya sesuatu. Motivasi juga dapat berasal dari luar dirinya yaitu dorongan dari lingkungan, misalnya guru dan orang tua. 4) Cara belajar

Perlu diperhatikan teknik belajar, bagaimana bentuk catatan yang dipelajari dan pengaturan waktu belajar, tempat serta fasilitas belajar lainnya.

b. Faktor Eksternal 1) Keluarga

Situasi keluarga (ayah, ibu, saudara, adik, kakak, serta famili) sangat berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam keluarga. Pendidikan orang tua, status ekonomi, rumah kediaman, persentase hubungan orang tua, perkataan, dan bimbingan orang tua, mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak.

2) Sekolah

Tempat, gedung sekolah, kualitas guru, perangkat instrumen pendidikan, lingkungan sekolah, dan rasio guru dan murid per kelas (40-50 peserta didik), mempengaruhi kegiatan belajar siswa.

(29)

3) Masyarakat

Apabila di sekitar tempat tinggal keadaan masyarakat terdiri atas orang-orang yang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata bersekolah tinggi dan moralnya baik, hal ini akan mendorong anak lebih giat belajar.

4) Lingkungan Sekitar

Bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas, dan iklim dapat mempengaruhi pencapaian tujuan belajar, sebaliknya tempat-tempat dengan iklim yang sejuk dapat menunjang proses belajar.43

Menurut Morgan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Tingkah laku dan karakteristik model yang ditiru oleh anak melalui observational learning.

Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh tingkah laku dan karakteristik model yang ditiru anak melalui observational learning. Melalui observational learning anak mengambil beberapa karakteristik dari model, termasuk kebutuhan untuk berprestasi.

b. Harapan orang tua

Harapan orang tua terhadap anaknya berpengaruh terhadap perkembangan motivasi berprestasi. Orang tua yang mengharapkan

(30)

anaknya bekerja keras akan mendorong anak tersebut untuk bertingkah laku yang mengarah pada pencapaian prestasi.

c. Lingkungan

Faktor yang menguasai dan mengontrol lingkungan fisik dan sosial sangat erat dengan motivasi berprestasi, bila menurun akan merupakan faktor pendorong dalam menuju kondisi depresi.

d. Penekanan kemandirian

Terjadi sejak tahun-tahun awal kehidupan. Anak didorong mengandalkan dirinya sendiri, berusaha keras tanpa pertolongan orang lain, serta diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan penting bagi dirinya akan meningkatkan motivasi berprestasi yang tinggi. e. Praktek pengasuhan anak

Pengasuhan anak yang demokratis, sikap orang tua yang hangat dan sportif, cenderung menghasilkan anak dengan motivasi berprestasi yang tinggi atau sebaliknya, pola asuh yang cenderung otoriter

menghasilkan anak dengan motivasi berprestasi yang rendah.44

44 Mubiar Agustin, Permasalahan Belajar dan Inovasi Pembelajaran (Bandung: PT.

Referensi

Dokumen terkait

After giving the treatment, the result of the post test indicated that most of the students were in good and fairly good classification. The percentage of post test as we

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Lingkungan internal yang menjadi kekuatan KRB adalah (1) pusat konservasi ex-situ , (2) panorama arsitektur lanskap yang bernuansa alami, (3) KRB memiliki aksesbilitas tinggi

Penggunaan attractor berupa rumpon dan umpan ikan hidup dalam proses kegiatan penangkapan ikan kapal pole and line membutuhkan biaya yang cukup besar.Belum adanya

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Personalisasi reward dalam penelitian ini masih terbatas karena menggunakan Finite State Machine yang perilakunya terbatas, sehingga jika dimainkan berulangkali maka

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap