• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS NUTRISI ABON IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis) HASIL PENGAWETAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA DOSIS 15 KGY SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS NUTRISI ABON IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis) HASIL PENGAWETAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA DOSIS 15 KGY SKRIPSI"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KUALITAS NUTRISI ABON IKAN SAPU-SAPU

(Pterygoplichthys pardalis) HASIL PENGAWETAN IRADIASI

SINAR GAMMA PADA DOSIS 15 KGY

SKRIPSI

LUSI ANGGRAINI

11140960000054

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

LUSI ANGGRAINI. Kualitas Nutrisi Abon Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys

Pardalis) Hasil Pengawetan Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 15 kGy. Dibimbing

oleh ANNA MUAWANAH dan IRAWAN SUGORO.

Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) yang belum banyak dimanfaatkan dapat diolah menjadi produk abon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas nutrisi abon ikan sapu-sapu hasil pengawetan 30 hari menggunakan iradiasi sinar gamma dengan dosis 15 kGy. Tahapan penelitian ini meliputi pembuatan abon, proses iradiasi sinar gamma dengan dosis 15 kGy dan penyimpanan abon selama 30 hari. Kualitas nutrisi abon yang dianalisis adalah kadar air, abu, lemak dan protein. Analisis komposisi asam lemak dengan Gas

Chromatography Mass spectrophotometer (GC-MS) dan cemaran logam dengan X-Ray Fluorescence (XRF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa abon ikan

sapu-sapu yang diiradiasi dengan dosis 15 kGy dan disimpan selama 30 hari masih memiliki stabilitas nutrisi yang baik. Kualitas proksimat abon yang meliputi kadar air, abu, protein dan lemak sebesar 15,78; 8,94; 49,13 dan 26,67%. Komposisi asam lemak hasil analisis dengan GC-MS mengandung asam lemak total sebesar 83,84% dengan kandungan asam lemak linoleat dan arakidonat sebesar 9,17 dan 0,43%. Kandungan cemaran logam hasil analisis dengan XRF sebesar 3,2 (Pb) dan 1 mg/kg (Cd). Abon ikan sapu-sapu hasil iradiasi sinar gamma mengandung cemaran logam yang melebihi ketetapan syarat mutu abon ikan sesuai SNI tahun 2013, walaupun kualitas nutrisinya memenuhi. Sehingga produk abon ikan sapu-sapu ini tidak layak untuk dikonsumsi karena dapat mengganggu kesehatan.

(7)

ABSTRACT

LUSI ANGGRAINI. Nutrition Quality of Sapu-sapu Fish Shredded

(Pterygoplichthys Pardalis) from Gamma Ray Irradiation Preservation at 15 kGy Doses. Supervised by ANNA MUAWANAH and IRAWAN SUGORO.

Sapu-sapu fish (Pterygoplichthys pardalis) which has not been widely used can be processed into shredded products. This study aims to determine the nutritional quality of sapu-sapu fish shredded as a result of 30 days preservation using gamma ray irradiation at a dose of 15 kGy. The stages of this research include the manufacture of shredded, the process of gamma ray irradiation with a dose of 15 kGy and shredded storage for 30 days. The nutritional quality of the abon that was analyzed was the content of water, ash, fat and protein. Analysis of fatty acid composition by Gas Chromatography Mass spectrophotometer (GC-MS) and metal contamination by X-Ray Fluorescence (XRF). The results showed that the shredded broomfish which was irradiated at a dose of 15 kGy and stored for 30 days still had good nutritional stability. The proximate quality of shredded which includes moisture, ash, protein and fat content is 15.78; 8.94; 49.13 and 26.67%. The fatty acid composition of the analysis by GC-MS contains a total fatty acid of 83.84% with linoleic and arachidonic fatty acid content of 9.17 and 0.43%, respectively. The metal contamination content of the analysis by XRF was 3.2 (Pb) and 1 mg/kg (Cd). Sapu-sapu fish shredded resulting from gamma ray irradiation contains metal contamination that exceeds the quality requirements for fish shredded according to the 2013 SNI, even though the nutritional quality meets the requirements. So that the shredded fish products are not suitable for consumption because they can interfere with health.

(8)

i KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur penulis haturkan ke hadirat

Allah Subhanahu wa Ta‟ala atas segala rahmat, nikmat, izin dan pertolongan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad Shallalahu „Alayhi wa Salam beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini berjudul Kualitas Nutrisi Abon Ikan

Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) Hasil Pengawetan Iradiasi Sinar Gamma pada Dosis 15 kGy. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

1. Anna Muawanah, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi.

2. Dr. Irawan Sugoro, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, nasihat serta arahan dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi.

3. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan pada skripsi ini.

4. Dr. Hendrawati, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan pada skripsi ini.

5. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si, selaku ketua Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

ii

6. Nurhasni, M.Si selaku sekretaris Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ir. Nashrul Hakiem, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Dr. Sandra Hermanto, M.Si selaku pembimbing akademik, atas bimbingan dan masukannya selama perkuliahan.

9. Orang tua dan keluarga tercinta Widianingsih (ibu), Lamirun (bapak), Nurita, Toha Hadi, Hanifah Salsabila Hadi, Abyan Muzakki Hadi, Dwi Marini, Brama Halilintar, dan Daniswara Bramaputra yang selalu memberikan doa, semangat, dan dukungan baik moril maupun materil.

10. Nana, Intan, dan Dhanti selaku teman seperjuangan selama kegiatan penelitian berlangsung.

11. Habibah Rosyidah Alhusaini, Diah Praditya Rahmasari, Widyaningsih, Titik Tiara Sukma, Yuniar Chandra, dan Lien Sururoh, Arkadas terdabes!

12. Maelawati Syafitri, Ahmad Rivaldi Sudrazat, M. Asef Saifuddin, Putri Sahara, Rahmat Setiadi, Nuraini Syukur, dan Fitri Maharani selaku teman seperjuangan yang selalu membantu dan memberikan semangat. Wakanda

Forevah!

13. Seluruh teman-teman Antracene Program Studi Kimia angkatan 2014 atas dukungan dan kerjasama selama penulis belajar pada Program Studi Kimia. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu„alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Jakarta, Juni 2021 Lusi Anggraini

(10)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Hipotesis ... 4 1.4 Tujuan Penelitian ... 4 1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Ikan Sapu-sapu ... 6

2.2 Abon Ikan Sapu-sapu ... 9

2.3 Iradiasi Pangan ... 11

2.4 Kromatografi Gas-Spektometri Massa ... 13

2.5 Flouresensi Sinar-X ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

3.2 Alat dan Bahan ... 18

3.3 Diagram Alir Penelitian ... 19

3.4 Prosedur Penelitian ... 20

3.4.1 Pembuatan Abon Ikan Sapu-sapu ... 20

3.4.1.1 Penyiapan Bahan ... 20

3.4.1.2 Pembuatan Bumbu ... 20

3.4.1.3 Pemasakan Abon Ikan Sapu-sapu ... 21

3.4.2 Proses Iradiasi Sinar Gamma ... 21

3.4.3 Uji Proksimat ... 21

3.4.3.1 Kadar Abu ... 21

3.4.3.2 Kadar Lemak ... 22

3.4.3.3 Kadar Protein ... 22

3.4.4 Analisis Kandungan Asam Lemak dengan GC-MS ... 23

3.4.5 Analisis Kandungan Mineral dengan XRF ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 26

4.1 Kualitas Proksimat ... 26

4.1.1 Kadar Air, Organik, dan Abu... 26

4.1.2 Kadar Protein ... 28

4.1.3 Kadar Lemak ... 31

4.2 Komposisi Asam Lemak dengan GC-MS ... 33

(11)

iv BAB V PENUTUP... 39 5.1 Simpulan... 39 5.2 Saran... 39 DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN ... 45

(12)

v DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat mutu abon berdasarkan SNI... 10

Tabel 2. Kadar abu dan kadar air pada sampel... 26

Tabel 3. Kadar protein pada sampel... 28

Tabel 4. Kadar lemak pada sampel... 31

Tabel 5. Persentase komposisi asam lemak... 35

Tabel 6. Kandungan cemaran logam pada sampel... 37

(13)

vi DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Morfologi Ikan Sapu-sapu... 7

Gambar 2. Struktur kimia asam arakidonat dan linoleat... 8

Gambar 3. Proses terjadinya sinar-X... 15

Gambar 4. Skema spektrometer XRF DX-95... 17

Gambar 5. Diagram alir penelitian... 19

(14)

vii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Perhitungan kadar air, organik dan abu... 45

Lampiran 2. Perhitungan kadar protein... 46

Lampiran 3. Perhitungan lemak... 47

(15)
(16)

2

Artinya: “dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, dan sedap

diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur”.

Ayat al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa, Allah Subhanahu wa Ta‟ala menghalalkan daging segar (ikan) yang berasal dari laut. Menurut Sugeng (2019) pengertian laut di sini ialah: sungai, danau, kolam, ataupun laut dan samudra itu sendiri. Dua laut ini masing-masing mempunyai hasil yang berbeda yang semuanya halal untuk dikonsumsi oleh manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Ikan sapu-sapu yang merupakan jenis ikan air tawar artinya masuk kategori makanan yang halal untuk dikonsumsi, hanya saja perlu diketahui lebih lanjut kandungan dari ikan tersebut apakah mengandung nutrisi yang cukup dan bebas dari cemaran.

Daging ikan sapu-sapu dapat diolah menjadi abon, agar aman dikonsumsi abon ikan sapu-sapu harus memenuhi syarat mutu sesuai dengan SNI 7690.1:2013 tentang abon ikan. Penelitian mengenai pengolahan daging ikan menjadi abon telah banyak dilakukan, dengan maksud untuk memperpanjang masa simpan produk abon tersebut. Proses pengawetan yang dilakukan untuk pembuatan abon pada umumnya adalah teknologi pengawetan konvensional yaitu proses pemanasan. Seiring berkembangnya teknologi dalam bidang pangan, teknik pengawetan bahan pangan dapat menggunakan aplikasi teknik nuklir yaitu proses iradiasi sinar gamma untuk peningkatan daya awet, keamanan pangan, dan sterilisasi. Proses iradiasi ini memiliki beberapa keuntungan dibanding proses pengawetan konvensional, yaitu hemat energi dan bahan, mudah dikontrol, dapat

(17)

3

diproses dalam kemasan yang tidak tahan panas, tidak meninggalkan residu, dan ramah lingkungan (Yarosita et al., 2014).

Yarosita et al., (2014) dalam penelitiannya tentang mutu bakso patin yang diiradiasi sinar gamma melaporkan bahwa perlakuan iradiasi pada sampel bakso dengan dosis 1, 3 dan 5 kGy masing-masing memiliki umur simpan selama 15, 30 dan 60 hari. Kemudian penelitian Kadir (2010), tentang pemanfaatan iradiasi untuk memperpanjang masa simpan sampel jamur tiram melaporkan bahwa dosis iradiasi gamma 5 Gy dapat menekan pertumbuhan mikroba dan meningkatkan daya simpannya dari 2 bulan (kontrol) menjadi 3 bulan.

Hasnidar (2021) dalam penelitiannya tentang analisis kimia ikan sapu-sapu melaporkan bahwa ikan sapu-sapu memiliki kandungan asam lemak esensial yang terdiri dari asam dekosaheksanoat (DHA) sebesar 0,23%, eikosapentanoat (EPA) sebesar 0,06%, linolenat (HUFA) sebesar 0,09%, linoleat (LA) sebesar 0,10% dan arakidonat sebesar 0,15%. Selanjutnya penelitian Ghaisani (2019) tentang karakteristik abon ikan sapu-sapu (Loricariidae) hasil iradiasi sinar gamma selama masa simpan 30 hari melaporkan bahwa iradiasi sinar gamma mampu menekan pertumbuhan mikroba dengan dosis iradiasi terbaik 15 kGy.

Mengacu pada penelitian Ghaisani (2019) belum dilakukan analisis lanjutan seperti analisis komposisi asam lemak dan kandungan cemaran logam pada sampel abon ikan sapu-sapu. Hal ini menjadi dasar dilakukannya penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui kelayakan mutu abon ikan sapu-sapu seperti kadar air, abu, protein, lemak, komposisi asam lemak serta cemaran logam sesuai dengan acuan mutu SNI abon ikan.

(18)

4 1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah abon ikan sapu-sapu yang diiradiasi dengan dosis 15 kGy yang disimpan selama 30 hari masih memiliki stabilitas nutrisi yang baik? 2. Apakah proses pengawetan dengan iradiasi sinar gamma dengan dosis 15

kGy dapat mempengaruhi kualitas nutrisi abon ikan sapu-sapu?

3. Bagaimana komposisi asam lemak dan cemaran logam yang terkandung dalam abon ikan sapu-sapu dari proses pengawetan iradiasi sinar gamma?

1.3 Hipotesis

1. Abon ikan sapu-sapu yang diiradiasi dengan dosis 15 kGy yang disimpan selama 30 hari masih memiliki stabilitas nutrisi yang baik.

2. Proses pengawetan dengan iradiasi sinar gamma dengan dosis 15 kGy dapat mempengaruhi kualitas nutrisi abon ikan sapu-sapu.

3. Komposisi asam lemak dan cemaran logam yang terkandung dalam abon ikan sapu-sapu dari proses pengawetan iradiasi sinar gamma sesuai dengan standar SNI.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui abon ikan sapu-sapu yang diiradiasi dengan dosis 15 kGy yang disimpan selama 30 hari masih memiliki stabilitas nutrisi yang baik. 2. Mengetahui pengaruh dosis 15 kGy dari proses pengawetan iradiasi sinar

gamma terhadap kualitas nutrisi abon ikan sapu-sapu.

3. Mengetahui komposisi asam lemak dan cemaran logam yang terkandung dalam abon ikan sapu-sapu dari proses pengawetan iradiasi sinar gamma.

(19)

5 1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tambahan mengenai pengaruh proses pengawetan dengan iradiasi sinar gamma terhadap kualitas nutrisi (kadar air, abu, lemak, protein, komposisi asam lemak dan cemaran logam) abon ikan sapu-sapu yang sesuai dengan SNI.

(20)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Sapu-sapu

Pterygoplichthys pardalis ya n g dikenal dengan nama ikan sapu-sapu

adalah sekelompok ikan air tawar yang berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Ikan ini merupakan salah satu spesies dari famili Loricariidae. (Armbruster, 2004). Genus ikan sapu-sapu yang ada di Indonesia adalah

Pterygoplichthys. Page dan Robins (2006) mengatakan bahwa di Indonesia hanya

terdapat 2 spesies ikan sapu-sapu yaitu Pterygoplichthys pardalis dan

Pterugoplichthys disjunctivus.

Klasifikasi ikan sapu-sapu menurut Page dan Robins (2006) yaitu: Filum : Chordota Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Ordo : Siluriformes Subordo : Siluridea Famili : Loricariidae Genus : Pterygoplichthys

Spesies : 1. Pterygoplichthys pardalis

2. Pterygoplichthys disjunctivus.

Ikan sapu-sapu secara morfologi memiliki tubuh yang ditutupi dengan sisik keras yang fleksibel. Bentuk kepala ikan Ordo Siluriformes adalah picak atau

depressed. (Bhagawati et al., 2013). Bagian abdomen memiliki pola titik-titik

putih besar dengan beberapa pola menyatu yang dilengkapi dengan mulut penghisap pada bagian bawah (Hoover et al., 2004).

(21)

7

Gambar 1. Morfologi ikan sapu-sapu [kiri] tampak samping dan [kanan] tampak atas

(Elfidasari et al., 2016)

Ikan ini memiliki karakteristik bentuk tubuh pipih dorsoventral tertutup oleh kulit keras (Kottelat et al., 1993), kepala dengan pola garis gelap terang geometris, letak mulut subterminal bertipe penyaring-penghisap, habitat air tawar, serta mempunyai kemampuan bertahan hidup pada lingkungan ekstrim (Armbruster dan Page 2006; Hossain et al., 2008). Spesies dewasa mempunyai bintik-bintik hitam berukuran besar di bagian ventral tubuh (Armbruster dan Page 2006).

Ikan sapu-sapu sering ditemukan hidup di sungai, danau, dan rawa. Ikan ini bisa beradaptasi dengan perairan yang kandungan oksigen terlarutnya rendah dan pertumbuhannya relatif cepat tanpa membutuhkan pemeliharaan yang intensif seperti jenis ikan lainnya. Menurut Wowor (2010), ikan sapu-sapu mempunyai area persebaran yang luas, salah satunya adalah Sungai Ciliwung Jawa Barat. Dua genus Loricariidae diintroduksi di sekitar Jakarta, salah satu yang teridentifikasi adalah Pterygoplichthys pardalis (Kottelat et al., 1993). Keberadaan ikan sapu-sapu dapat diketahui dari lubang-lubang yang terlihat dalam bentuk kumpulan di sepanjang lereng pinggir sungai. Lubang tersebut berfungsi sebagai tempat peletakan telur ikan (Nico et al., 2012).

Menurut Hasnidar et al., (2021) ikan sapu-sapu memiliki kandungan gizi yang lengkap, diantaranya yaitu memiliki kandungan protein sebesar 15,20% dan lemak sebesar 6,27%. Selain itu ikan sapu-sapu juga mengandung asam amino

(22)
(23)

9

2.2 Abon Ikan Sapu-sapu

Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan yang berasal dari daging sapi, kerbau ataupun ikan yang disuwir dengan berbentuk serabut kemudian ditambahkan bumbu dan dimasak. Dalam SNI 7690.1:2013 tentang abon ikan disebutkan bahwa abon ikan memiliki definisi sebagai produk olahan dari ikan segar yang mengalami perebusan atau pengukusan, pencabikan, penambahan bumbu dan pemasakan. Pada prinsipnya abon merupakan suatu proses pengawetan yaitu kombinasi antara perebusan dan penggorengan dengan menambahkan bumbu-bumbu. Produk yang dihasilkan mempunyai tekstur, aroma, rasa yang khas dan mempunyai daya simpan yang relatif lama. Selain itu proses pembuatan abon merupakan proses pengurangan kadar air dalam bahan daging ikan untuk memperpanjang proses penyimpanan. Abon ikan dikenal masyarakat sebagai bahan pangan pendamping dan memiliki banyak gizi seperti omega 3, omega 6 serta rendah kolesterol sehingga baik dikonsumsi untuk anak-anak dalam menunjang perkembangan otak (Leksono dan Syahrul 2001).

Jenis ikan yang biasa diolah menjadi abon adalah ikan yang memiliki serat daging yang kasar seperti ikan tuna, tongkol, tenggiri, bawal dan ikan yang tidak memiliki banyak duri. Abon ikan yang layak dikonsumsi adalah abon ikan yang mutunya telah sesuai dengan standar SNI yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (BSN), syarat mutu abon berdasarkan SNI 7690.1:2013 tentang abon ikan adalah sebagai berikut:

linoleat dan arakidonat memiliki peran penting dalam transpor dan metabolisme lemak, fungsi imun, mempertahankan fungsi dan integritas membran sel (Mayes, 2003).

(24)

10

Tabel 1. Syarat mutu abon berdasarkan SNI 7690.1:2013

Jenis Uji Satuan Persyaratan

A Sensori Angka (1-9) Min 7

B Cemaran mikroba - ALT - Escherichia coli - Salmonella - Staphylococcus aureus Koloni/g APM/g Per 25 g Koloni/g Maks 5,0x104 < 3 Negatif Maks 1,0x103 C Cemaran logam - Kadmium (Cd) - Timbal (Pb) - Merkuri (Hg) - Arsen (As) - Timah (Sn) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks 0,1 Maks 0,3 Maks 0,5 Maks 1,0 Maks 40,0 D Kimia - Kadar air - Kadar abu - Kadar protein - Kadar Lemak %b/b %b/b %b/b %b/b Maks 15 Maks 15 Min 30 Maks 30 Sumber : (SNI 7690.1:2013)

Dalam pembuatan abon juga diperlukan teknik sanitasi dan higienitas yang baik saat proses penanganan daging sebelum diolah, saat pengolahan, pengemasan, penyimpanan, pendistribusian dan pemasaran abon ikan untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu abon karena kesalahan penanganan dan kontaminasi bakteri patogen (SNI Abon Ikan, 2013).

Suryani et al., (2005) menjelaskan bahwa proses pembuatan abon ikan di mulai dari pengukusan daging ikan yang sudah dibersihkan dari kulit dan durinya. Proses pengukusan daging ikan tersebut dilakukan selama 20 menit. Kemudian daging disuwir hingga menjadi halus dan dimasak bersama bumbu halus yang telah ditumis mingga mengental. Bumbu tersebut terdiri dari lengkuas, cabai merah, bawang putih, bawang merah dan kemiri. Selanjutnya daging ikan digoreng hingga kering. Proses pemasakan tersebut dilakukan hingga potongan ikan dan bumbu benar-benar kering. Waktu yang diperlukan untuk daging menjadi abon yaitu selama 35 menit.

(25)

11 2.3 Iradiasi Pangan

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari mikroba patogen. Sedangkan menurut Stefano et al., (2010) iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap bahan pangan yang memanfaatkan radiasi pengion (sinar gamma dan sinar-X) untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan kualitas bahan pangan, strerilisasi dan karantina bahan pangan dengan dosis tertentu.

Iradiasi sendiri merupakan suatu proses fisika yang dapat digunakan untuk mengawetkan dan meningkatkan keamanan bahan pangan. Jenis radiasi yang digunakan adalah radiasi berenergi tinggi yang disebut radiasi pengion, karena menimbulkan ionisasi pada materi yang dilaluinya. Energi yang dihasilkan oleh sumber radiasi dapat dimanfaatkan untuk tujuan menghambat pertunasan dan pematangan serta membasmi serangga (dosis rendah) dan membunuh mikroba patogen (dosis sedang), serta membunuh seluruh jenis bakteri yang ada (dosis tinggi), sehingga mutu bahan pangan dapat tetap dipertahankan di dalam kemasan yang baik selama penyimpanan (Irawati, 2007).

Sumber radiasi yang dapat digunakan untuk proses pengawetan bahan pangan terdiri dari 4 macam, yaitu: Co-60 dan Cs-137 sebagai sumber radiasi pemancar sinar gamma, mesin berkas elektron, dan mesin generator sinar-X. Dengan menggunakan batas dosis iradiasi dan batas maksmum energi dari keempat sumber tersebut, maka bahan pangan yang diawetkan dengan proses

(26)

12

iradiasi tidak menjadi radioaktif. Dalam teknologi iradiasi ini, terjadinya interaksi antara materi atau sel hidup dapat menimbulkan berbagai proses fisika dan kimia di dalam meteri tersebut yang diantaranya dapat menghambat sintesa DNA sel hidup, misalnya mikroba. Sehingga proses ini selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai tujuan seperti menunda pertunasan, membunuh serangga, dan membunuh bakteri untuk proses pengawetan makanan.

Berdasarkan peraturan standar internasional Codex General Standard (2003), terdapat tiga sumber radiasi ionisasi yang dapat digunakan untuk iradiasi pangan yaitu; sinar gamma, sinar-X dan elektron, pada proses iradiasi, energi serap dinyatakan dalam satuan gray (Gy). Batasan radiasi yang direkomendasikan pada sinar gamma yang dihasilkan dari radioisotop adalah 60Co dan 137Cs dengan energi sebesar 1,33 MeV dan 0,66 MeV, pada sinar-X yang dihasilkan sumber dioperasikan pada tingkat energi di bawah 5 MeV dan pada elektron yang dihasilkan dari mesin sumber yang dioperasikan pada tingkat dibawah 10 MeV.

Menurut Kalyani dan Manjula (2014), teknologi iradiasi pada bahan pangan disebut juga sebagai Green Technology karena penggunaannya tanpa bahan kimia dan tidak meninggalkan residu sehingga akan memperlambat proses pembusukan makanan. Selain itu iradiasi yang dilakukan pada produk pangan dapat menurunkan jumlah bakteri yang prosesnya mirip dengan pasteurisasi. Tujuan iradiasi pangan sendiri dibagi menjadi sterilisasi, sanitasi dan desinfestasi.

Sterilisasi pada bahan makanan menggunakan iradiasi dengan dosis lebih dari 10 kGy dapat berfungsi efektif menurunkan jumlah bakteri patogen dan mencegahnya bereproduksi. Sanitasi dengan iradiasi lebih sering dilakukan pada bahan makanan berupa rempah-rempah, jamu, atau campuran bumbu untuk

(27)

13

makanan. Sanitasi juga dilakukan pada buah dan umbi tertentu untuk menunda pertunasan. Desinfestasi dengan iradiasi digunakan untuk mengurangi jumlah hama serangga pada buah yang akan disimpan dalam waktu yang lama (Kalyani et al., 2014)

Terdapat tiga proses iradiasi dalam industri pangan yang diklasifikasikan berdasarkan dosis, yaitu:

a. Radipertasi (dosis tinggi) yang digunakan untuk sterilisasi dengan dosis yang digunakan berkirar antara 30 sampai 50 Gy sehingga dapat membunuh mikroorganisme pada makanan.

b. Radisidasi (dosis sedang) yang digunakan untuk membunuh seluruh bakteri patogen non spora dengan dosis berkisar 1 sampai 10 Gy. Penggunaan dosis ini sama dengan proses pasteurisasi termal (thermal pasteurization) yang umumnya dilakukan pada produk makanan beku.

c. Radurisasi (dosis rendah) yang digunakan untuk mengujari jumlah bakteri yang ada pada produk pangan serta menunda pematangan dengan dosis berkisar 0,40-2,50 Gy. Penggunaan dosis ini sama dengan proses pasteurisasi panas (heat pasteurization).

2.4 Kromatografi Gas-Spektromeri Massa (GC-MS)

Kromatografi merupakan suatu metode pemisahan senyawa untuk mendapatkan senyawa murni dan senyawa campuran. Metode pemisahan didasarkan pada perbedaan distribusi zat dalam dua fasa yang berbeda yaitu fasa gerak dan fasa diam. Fasa diam berupa padatan atau cairan yang terlapis pada padatan pendukung, sedangkan fasa gerak adalah zat cair atau dapat berupa gas.

(28)

14

Instrumen GC-MS adalah kombinasi dari dua teknik analisis yaitu kromatografi gas dan spektrofotometri massa. Kromatografi gas memisahkan komponen dari campuran dalam waktu tertentu dan spektrofotometer massa menghasilkan informasi yang membantu dalam identifikasi struktur masing-masing komponen serta untuk mengetahui massa relatif (Mr) dari setiap puncak kromatogram (Kitson et al., 1996).

Mekanisme kerja kromatografi gas merupakan satu sistem yang terdiri dari tangki gas pembawa yang bertekanan tinggi, lubang suntik sampel atau lubang injeksi, kolom serta detektor yang berfungsi untuk mendeteksi jenis maupun jumlah komponen. Kemudian hasil pemisahan sampel akan dianalisis oleh spektrometer massa. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi sampel campuran dari beberapa komponen. Puncak-puncak komatogram memberikan informasi jumlah komponen yang ada dalam sampel dan spektra dari spektrometer massa memberikan informasi kunci-kunci penting dalam proses identifikasi (Hendayana, 2006).

Prinsip instrumen GC-MS adalah menguapkan senyawa organik dan mengionkan uapnya ke dalam spektrometer, molekul-molekul organik ditembak dengan berkas elektron dan diubah menjadi ion-ion yang bermuatan positif (ion molekul) yang dapat dipecah menjadi ion-ion lebih kecil. Molekul organik mengalami proses pelepasan satu elektron menghasilkan ion radikal yang mengandung satu elektron tidak berpasangan. Ion-ion radikal ini kemudian akan dipisahkan dalam medan magnet dan akan menimbulkan arus ion pada kolektor yang sebanding dengan limpahan relatifnya. Spekrta massa merupakan gambar

(29)
(30)

16

dengan baik bila temperatur dijaga pada kondisi suhu dibawah 0°C (-115°C) dengan cara merendamnya dalam nitrogen cair. Berdasarkan manual alat, spektrometer XRF mampu mendeteksi unsur-unsur dengan energi karakteristik sinar-X >0,840 keV dengan kebolehjadian terjadinya sinar yang dideteksi spektrometer XRF dengan konsentrasi lebih besar dari 0,01%. Hasil analisis kualitatif ditunjukkan dalam bentuk spektrum yang mewakili komposisi unsur yang terkandung dalam suat bahan sesuai dengan energi karakteristik sinar-X masing-masing unsur, sedangkan analisis kuantitatif dihitung menggunakan metode komparatif (PEBN, 1993).

Prinsip kerja sinar-X adalah sebagai berikut: sinar-X fluoresensi yang dipancarkan oleh sampel dihasilkan dari penyinaran sampel dengan sinar-X primer dari tabung sinar-X (X-Ray Tube), yang dibangkitkan dengan energi listrik dari sumber tegangan sebesar 1200 volt. Bila radiasi dari tabung sinar-X mengenai suatu bahan maka elektron dalam bahan tersebut akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih rendah, sambil memancarkan sinar-X karakteristik. Sinar-X karakteristik ini ditangkap oleh detektor diubah ke dalam sinyal tegangan (voltage), diperkuat oleh Preamp dan dimasukkan ke analyzer untuk diolah datanya. Energi maksimum sinar-X primer (keV) tergantung ada tegangan listrik (kVolt) dan kuat arus ( Ampere). Fluoresensi sinar-X tersebut dideteksi oleh detektor SiLi. Pada gambar 3 ditunjukkan skema analisis sistem menggunakan DX-95 (PEBN, 1993).

(31)
(32)

18 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2019 di Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Teknologi Nuklir Nasional (PAIR-BATAN), Pasar Jumat, Jakarta Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kompor, kuali masak, alat kukus, plastik ziplock ukuran 9x15 cm, cool box, alat vacuum, neraca analitik, alat-alat gelas, kertas saring, tabung soxhlet, alat-alat soxletasi Gerhardt®, heater, oven, tanur, alat destilasi, rotary evaporator Laborota 4000 Heidolph®, spektrometer GC-MS QP2010 Shimadzu® dan spektrometer XRF (X-Ray Fuorescence) spektro xepos Ametex®.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 kg daging ikan sapu-sapu segar yang berasal dari Sungai Ciliwung (dengan titik lokasi sampling di daerah Cawang, Jakarta Selatan), bahan bumbu abon ikan (bawang merah, bawang putih, lengkuas, kemiri, cabai merah), daun salam, serai, ketumbar bubuk, garam, gula, dan minyak goring. Bahan yang digunakan untuk analisis diantaranya adalah larutan H3BO3 40%, larutan HCl 0,1 N, larutan NaOH 0,1 N, petroleum ether p.a (Mallincrodt AR®), larutan asam sulfat pekat p.a (Mallincrodt AR®), selenium (Merck®) dan akuades.

(33)

19

Ikan sapu-sapu segar

3.3 Diagram Alir Penelitian

Pencucian ikan sapu-sapu

Daging ikan sapu-sapu Pengeringan T=105°C Sampling 25 gram Pengukusan (t=20menit)

Proses Iradiasi dengan sinar gamma (variasi dosis 0 dan 15 kGy) Pemasakan abon dengan bumbu

Abon ikan sapu-sapu

Analisis proksimat (abu, lemak, dan protein), analisis kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh dengan GCMS, dan analisis cemaran logam

dengan XRF

Penyimpanan 30 hari Tanpa penyimpanan

Gambar 5. Diagram alir penelitian

Bumbu dan minyak goreng

(34)

20 3.4 Prosedur Penelitian

Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode eksperimental, abon diberikan perlakuan iradiasi sinar gamma pada dosis 0 dan 15 kGy dilakukan 3 kali pengulangan dan penyimpanan abon selama 30 hari. Pengujian kualitas abon yang dilakukan meliputi analisis abu, lemak, dan protein yang dilakukan juga terhadap abon tanpa penyimpanan sebagai kontrol. Proses pada penelitian ini meliputi; pembuatan abon ikan sapu-sapu, iradiasi sinar gamma, analisis proksimat, analisis kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta analisis cemaran logam Pb dan Cd dengan XRF (X-Ray Fuorescence).

3.4.1 Pembuatan Abon Ikan Sapu-sapu

Tahap-tahap pengolahan abon ikan sapu-sapu terdiri dari: penyiapan bahan, pembuatan bumbu dan pemasakan.

3.4.1.1 Penyiapan bahan (Suryani et al., 2005)

Ikan sapu-sapu yang akan digunakan dalam pembuatan abon dicuci hingga bersih dan dilakukan pengambilan daging dengan cara membedah ikan dari bagian bawah yaitu dari kepala hingga bagian anus, kemudian dibersihkan dari isi perut dan kotoran, lalu dipisahkan dari kulit dan durinya. Selanjutkan daging ikan dicuci hingga bersih dan ditambahkan air jeruk nipis untuk mengurangi aroma amis pada ikan dan dilakukan pengukusan selama 20 menit hingga daging ikan sau-sapu matang.

3.4.1.2 Pembuatan Bumbu (Suryani et al., 2005)

Bahan pembuatan bumbu abon ikan yang terdiri dari 10 siung bawang merah, 7 siung bawang putih, 3 ruas lengkuas, 6 cabai merah, dan 4 buah kemiri. Kemudian di haluskan dengan blender, selanjutnya bumbu halus di tumis dengan

(35)

21

minyak goreng, kemudian ditambahkan serai serta daun salam dan dimasak selama 4 menit hingga matang.

3.4.1.3 Pemasakan Abon Ikan Sapu-sapu (Suryani et al., 2005)

Sebanyak 10 kg daging ikan sapu-sapu yang sudah dikukus selama 20 menit dipotong kecil hingga daging menjadi halus, bumbu abon yang sudah halus ditumis selama 4 menit kemudian ditambahkan 500 mL santan dan diaduk hingga mendidih. Setelah mendidih, tambahkan 4 sdm garam, 2 sdm gula dan 2 sdm ketumbar halus kemudian dimasukkan daging ikan lalu diaduk perlahan hingga bumbu merata selama 35 menit hingga daging menyatu dengan bumbu. Daging didiamkan hingga dingin kemudian siap untuk dikemas.

3.4.2 Proses Iradiasi Sinar Gamma

Sampel abon yang sudah dingin dimasukkan ke dalam plastik ziplock ukuran 9x15 cm dan di vacuum dengan alat vacuum dan diberi label. Proses iradiasi sinar gamma pada sampel abon ikan sapu-sapu dilakukan di iradiator Co-60 IRKASENA (Iradiator Karet Alam Serba Guna) dengan dosis radiasi 0 dan 15 kGy. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali pada setiap dosis.

3.4.3 Uji Proksimat

Uji proksimat dilakukan pada abon tanpa penyimpanan dan abon yang telah disimpan 30 hari pada dosis 0 dan 15 kGy secara duplo, uji proksimat meliputi:

3.4.3.1 Kadar Abu (AOAC, 2005)

Analisis kadar abu dilakukan dengan cara mengeringkan abon di dalam oven selama 1 jam pada suhu 115°C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api, lalu

(36)

22

dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600°C selama 1 jam lalu di timbang berat konstan. Perhitungan kadar abu dihitung dengan rumus:

...(1)

3.4.3.2 Kadar Lemak (AOAC, 2005)

Abon sebanyak 5g dimasukkan ke dalam kertas saring kemudian dibungkus dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya lalu disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut petroleum eter dan di refluks selama 6 siklus. Pelarut lemak didestilasi hingga pelarut lemak menguap, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C dan didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan.

Kadar lemak dihitung dengan rumus:

...(2) Keterangan:

W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak kosong (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

3.4.3.3 Kadar Protein (AOAC, 2005)

Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Abon ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan selenium dan H2SO4 pekat. kemudian didestruksi pada suhu 410°C selama 15 menit hingga larutan berwarna hijau jernih, lalu didinginkan. Setelah dingin, ditambahhkan 10 mL akuades dan 20 mL HCl 50%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100°C. Hasil destilasi

(37)

23

dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 20 mL HCl 0,1 N dan tetes indikator metil merah. Setelah volume destilat mencapai 40 mL dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut:

...(3) % Kadar protein = % N faktor konversi (6,25) ...(4)

3.4.4 Analisis Kandungan Asam Lemak dengan GC-MS (Abdullah et al., 2013) Ekstraksi lemak terlebih dahulu dilakukan sebelum melakukan analisis

kandungan asam lemak dalam abon dengan GC-MS. Ekstraksi lemak dilakukan dengan metode soxhletasi. Abon sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam kertas saring kemudian dibungkus dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam labu lemak lalu disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut petroleum eter dan direfluks selama 6 siklus. Lemak yang didapat kemudian ditampung untuk dilakukan analisis kandungan asam lemaknya menggunakan instrumen GC-MS.

Analisis kandungan asam lemak pada sampel dengan GC-MS disiapkan 5 ml larutan sampel hasil ekstraksi, kemudian dilakukan pemisahan antara lemak dengan pelarutnya dengan proses evaporasi. Larutan lemak murni yang didapatkan kemudian diesterifikasi dengan NaOH-metanol 0,5 N dan boron trifluorida (BF3) sebanyak 2 mL. Setelah sampel lemak sudah dalam bentuk ester, maka sampel siap dianalisis menggunakan spektrometer GC-MS.

GC-MS diatur dengan menggunakan kolom Phonomenex ZB-5 dengan ukuran 30 mm x 0,25 mm x 0,25 mm. Kondisi suhu injektor 230°C, tekanan 57,5

(38)

24

kPa dengan total aliran 204,3 mL/menit, dan kecepatan linier 36,5 cm/detik. Suhu kolom diatur pada suhu 60-230°C. Gas pembawa yang digunakan adalah gas helium dengan laju aliran konstan 3 mL per menit. Sampel disuntikkan sebanyak 1 L ke dalam injektor kemudian dilakukan analisis GC-MS. Hasil kromatogram dan analisis komponen dari MS kemudian dianalisis melalui studi pustaka.

3.4.5 Analisis Kandungan Mineral dengan XRF (JAERI, 1983)

Sampel abon dan daging sebanyak 5g di oven pada suhu 110°C selama 1 jam. Kemudian setelah di oven, sampel tersebut dimasukkan ke dalam wadah tabung plastik dan dipadatkan. Sampel dalam wadah tersebut dimasukkan ke dalam spektrometer X-Ray Fluoresence (XRF) untuk kemudian dianalisis kandungan mineralnya (Cd dan Pb). Sebelum melakukan pengukuran kadar mineral, spektometer XRF dikalibrasi dan diukur sensitivitasnya menggunakan beberapa plat logam. Kemudian dilakukan pengujian kandungan mineral atau logam pada sampel abon dan daging ikan sapu-sapu. Semua sampel yang akan dianalisis dalam bentuk press powder. Langkah awal penggunaan alat yaitu dengan membuka kunci HT on untuk menyalakan alat. Selanjutnya komputer dinyalakan dan program aplikasi Minipal dibuka. Untuk menstabilkan alat dibutuhkan waktu 10-15 menit agar X-Ray Fluoresence dan komputer tersinkronisasi dengan baik. Sampel disimpan dalam sampel holder yang sudah dilapisi plastik khusus analisis dan dimasukkan ke dalam chamber sampel spektrometer XRF. Kemudian program aplikasi pada komputer di setting dengan memilih Measures-standardless dan menulis kode sampel sesuai sampel yang diukur. Setelah itu ditunggu sekitar 60 menit sambil diamati pergerakan X-Ray Spectrum hingga proses pergerakan spektrum berhenti yang menandai bahwa pengukuran selesai. Hasil pengukuran

(39)

25

logam dapat dilihat dalam program dengan membuka menu Result sehingga akan didapat nilai berupa grafik, spektrum, dan tabel.

Data yang terukur berupa intensitas dan energi unsur yang kemudian dikonversi dalam bentuk angka sehingga data yang dihasilkan berupa persentase absorben dalam konsentrasi part per milion (ppm) atau mg/kg unsur logam dalam sampel. Alat XRF memanfaatkan sinar X yang dipancarkan oleh bahan atau sampel yang selanjutnya akan diteruskan ke detektor dan akan diubah menjadi sinyal yang intensitasnya sesuai dengan jumlah analat yang terdapat dalam sampel.

(40)

26 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kualitas Proksimat Abon Selama Penyimpanan 4.1.1 Kadar Air, Organik dan Abu

Bahan pangan mengandung zat nutrisi yang terdiri dari air, bahan kering dan bahan organik yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak dan vitamin. Kualitas pangan olahan dipengaruhi oleh kadar air, organik dan abu. Kadar air berpengaruh secara langsung terhadap stabilitas dan kualitas pangan. Kadar abu merupakan parameter penting untuk mengetahui adanya zat mineral yang akan berperan dalam sistem metabolisme. Hasil kadar air, organik, dan abu pada penyimpanan 30 hari dan kontrol nol hari ditunjukkan pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Kadar air, organik dan abu pada daging dan abon ikan sapu-sapu Parameter uji

Daging segar Abon

Hari ke-0 Hari

ke-30 Hari ke-0

Hari ke-30

SNI (%)

Kadar air (%) 81,37 - 29,42 15,78 Maks 15 Kadar Organik (%) 94,77 - 91,47 91,06 -

Kadar abu (%) 5,23 - 8,53 8,94 Maks 15

Daging ikan pada hari ke-0 (tanpa penyimpanan) memiliki kadar air, organik, dan abu masing-masing sebesar 81,37; 94,77; dan 5,23%. Saat diolah menjadi abon (kontrol) kadar air dan organiknya turun menjadi 29,42 dan 91,47%, dan kadar abunya naik menjadi 8,53%. Setelah penyimpanan 30 hari, kadar air dan organik abon ikan sapu-sapu mengalami penurunan menjadi 15,78 dan 91,06%, dan kadar abunya mengalami kenaikan menjadi 8,94%. Kadar air abon ikan kontrol (tanpa penyimpanan) dan setelah penyimpanan 30 hari tidak memenuhi standar kelayakan mutu SNI tahun 2013 tentang abon ikan dimana abon ikan harus memiliki kadar air

(41)

27

maksimal sebesar 15%. Kadar abu abon ikan kontrol (tanpa penyimpanan) dan setelah penyimpanan 30 hari memenuhi standar kelayakan mutu SNI tahun 2013 tentang abon ikan dimana abon ikan harus memiliki kadar abu maksimal sebesar 15%.

Penurunan kadar air dan peningkatan kadar abu pada abon ikan sapu-sapu dipengaruhi oleh proses pembuatan abon yakni pada tahap penggorengan dan penambahan bumbu. Pada tahap penggorengan abon, lama waktu dan suhu pemasakan yang tinggi dapat menguapkan air yang terdapat pada bahan pangan sehingga menyebabkan penurunan kadar air. Kemudian penambahan bumbu dapat mempengaruhi ketersediaan mineral pada bahan pangan tersebut sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan kadar abu (Andarwulan et al., 2007).

Meskipun kadar air pada abon mengalami penurunan, namun persentase kadar air yang didapat masih berada diatas standar kelayakan mutu SNI tahun 2013 tenang abon ikan. Hal ini dapat terjadi akibat proses pemanasan pada pembuatan abon yang kurang lama sehingga kadar air masih berada pada nilai yang tinggi. Semakin tinggi suhu dan lamanya waktu pemasakan pada abon menyebabkan semakin cepat terjadi penguapan, sehingga kandungan air pada bahan akan semakin rendah.

Analisis kadar air, dan abu abon ikan sapu-sapu tidak dilakukan pada abon hasil radiasi. Hal ini karena mineral yang terdapat pada abu merupakan suatu unsur yang tidak dapat berubah melalui peluruhan secara radioaktif sehingga tidak akan mengalami pemecahan, begitu juga pada kadar air yang tidak akan dipengaruhi oleh radiasi. Hal ini dinyatakan oleh Purwaningtyas (2004) bahwa dosis iradiasi tidak

(42)

28

mempengaruhi kandungan air di dalam bahan pangan secara nyata karena iradiasi sinar gamma hanya sedikit meningkatkan suhu pada bahan pangan.

Kadar air dapat mempengaruhi kualitas dan masa simpan abon karena dapat menjadi media berkembang biak mikroba yang mengkontaminasi, sehingga semakin sedikit kadar air pada bahan pangan akan semakin lama masa simpannya. Komponen abu berupa mineral berperan penting dalam tahap metabolisme terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim. Kekurangan mineral pada tubuh manusia dapat menyebabkan ganggung kesehatan, pemenuhan kebutuhan mineral dalam tubuh dapat diperoleh dengan mengonsumsi bahan pangan yang berasal dari tumbuhan dan hewan (Salamah et al., 2012).

4.1.2 Kadar Protein

Daging ikan pada hari ke-0 (tanpa penyimpanan) memiliki kadar protein sebesar 86,36% berat kering, saat diolah menjadi abon ikan (kontrol) kadar proteinnya sebesar 43,94%, kemudian setelah abon ikan diiradiasi sinar gamma dengan dosis 15 kGy kadar proteinnya turun menjadi 41,61%. Setelah penyimpanan 30 hari, keduanya mengalami peningkatan dengan kadar protein abon ikan iradiasi lebih besar dari kadar protein abon ikan kontrol masing-masing sebesar 49,13 dan 44,10%. Kadar protein abon ikan kontrol (tanpa penyimpanan) dan abon ikan hasil iradiasi sinar gamma keduanya memenuhi standar kelayakan mutu SNI tahun 2013 dimana abon ikan harus memiliki kadar protein minimal sebesar 15% (tabel 3).

Jenis Sampel Kadar Protein (%) SNI (%)

Hari ke-0 Hari ke-30

Daging Ikan 86,36 -

Min. 15 Abon Ikan Kontrol 43,94 44,10

Abon Ikan 15 kGy 41,61 49,13

(43)

29

Kadar protein pada daging ikan sapu-sapu mengalami penurunan setelah diolah menjadi abon ikan sapu-sapu. Hal ini terjadi akibat adanya proses pemanasan pada pembuatan abon ikan sapu-sapu yang menyebabkan protein pada daging ikan sapu-sapu mengalami denaturasi oleh suhu pemanasan tersebut. Kadar protein abon ikan sapu-sapu kontrol mengalami penurunan setelah abon diiradiasi dengan sinar gamma dosis 15 kGy. Perunurunan tersebut disebabkan karena penggunaan dosis tinggi (>10 kGy) dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein serta perubahan fungsi dan komposisi dari asam-asam amino esensial (Cahyani et al., 2015). Denaturasi ini diduga disebabkan oleh radikal bebas yang terbentuk selama proses iradiasi karena tingginya kadar air. Pada umumnya kandungan nutrisi bahan pangan yang diiradiasi terutama makronutrisinya (karbohidrat, protein, lemak) tidak berubah. Perubahan ini tergantung pada komposisi bahan pangan, dosis iradiasi, suhu, dan tidak adanya oksigen. Akan tetapi penurunan kadar protein yang terjadi akibat iradiasi secara kuantitatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan proses pemanasan. Hal ini disebabkan proses iradiasi tidak menimbulkan kenaikan suhu pada bahan yang dilaluinya sehingga energi yang diserap oleh bahan pangan yang diiradiasi jauh lebih rendah (Irawati, 2007).

Kemudian peningkatan kadar protein terjadi pada abon ikan sapu-sapu (kontrol dan iradiasi dosis 15 kGy) setelah masa penyimpanan selama 30 hari. Peningkatan ini berhubungan dengan kadar air pada abon yang mengalami penurunan sehingga kadar protein menjadi terkonsentrasi (Susanto dan Fahmi, 2012). Selain itu peningkatan kadar protein abon selama penyimpanan diduga terjadi karena selama penyimpanan terjadi dekomposisi dan hidrolisis protein yang

(44)

30

disebabkan oleh aktivitas bakteri proteolitik yang mampu menguraikan protein menjadi asam-asam amino. Karena protein mengalami hidrolisis maka kandungan proteinnya meningkat (Sutjipto dan Sarjono 2007). Menurut Corapci dan Kaba (2011), penggunaan iradiasi gamma cukup efektif untuk menurunkan jumlah bakteri, namun beberapa bakteri memiliki kemampuan untuk bertahan dan memperbanyak diri pasca iradiasi.

Menurut Irawati (2007), pemilihan dosis yang salah pada iradiasi suatu makanan dapat menyebabkan percepatan kerusakan mutu pada bahan pangan, sehingga menurunkan nilai gizi makanan. Secara umum, ikan dikategorikan memiliki kandungan protein yang rendah jika kadarnya 20%, komposisi protein pada ikan umumnya 15-24%. Abon ikan sapu-sapu yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma 15 kGy mengalami peningkatan dari 41,61% menjadi 49,13%. Hal tersebut membuktikan bahwa dosis 15 kGy dapat meningkatkan mutu abon ikan sapu-sapu. Dosis tersebut dapat mempertahankan nilai gizi abon dan memperpanjang masa simpan dengan menghambat pertumbuhan mikroba yang mendekomposisi dan menghidrolisis protein sehingga kadar protein mengalami perubahan. Sesuai dengan penelitian Ghaisani (2019) bahwa dosis iradiasi sinar gamma sebesar 15 kGy dapat menekan pertumbuhan mikroba setelah penyimpanan selama 30 hari.

Penelitian Chaidir (2001) menyatakan bahwa kadar protein daging ikan sapu-sapu yang berada di Sungai Cirata, Purwakarta mencapai 19,71% pada daging ikan sapu-sapu kondisi segar, sedangkan pada pengukuran kadar protein yang dilakukan Elfidasari et al., (2019) hasilnya mencapai 50,05%. Komposisi kimia ikan dapat berbeda-beda tergantung dari tingkat umur, habitat, dan kebiasaan makan ikan

(45)

31

tersebut. Selain itu, kondisi daging saat pengukuran juga bisa mempengaruhi besar atau kecilnya nilai protein.

4.1.3 Kadar Lemak

Daging ikan pada hari ke-0 (tanpa penyimpanan) memiliki kadar lemak sebesar 25,11% berat kering, saat diolah menjadi abon ikan (kontrol) kadar lemaknya sebesar 22,35% kemudian setelah abon ikan diiradiasi sinar gamma dengan dosis 15 kGy kadar lemaknya turun menjadi 21,51%. Setelah penyimpanan 30 hari, keduanya mengalami peningkatan dengan kadar lemak abon ikan iradiasi lebih besar dari kadar lemak abon ikan kontrol masing-masing sebesar 26,67 dan 26,49%. Kadar lemak abon ikan kontrol (tanpa penyimpanan) dan abon ikan hasil iradiasi sinar gamma keduanya memenuhi standar kelayakan mutu SNI tahun 2013 tentang abon ikan dimana abon ikan harus memiliki kadar lemak maksimal sebesar 30% (tabel 4).

Tabel 4. Kadar lemak pada daging dan abon ikan sapu-sapu

Jenis Sampel Kadar Lemak (%) SNI (%)

Hari ke-0 Hari ke-30

Daging Ikan 25,11 -

Maks. 30 Abon Ikan Kontrol 22,35 26,49

Abon Ikan 15 kGy 21,51 26,67

Kadar lemak abon ikan sapu-sapu kontrol mengalami penurunan setelah abon diiradiasi dengan sinar gamma dosis 15 kGy. Perunurunan tersebut disebabkan karena terjadinya pemecahan struktur lemak akibat terbentuknya radikal bebas yang terbentuk selama proses iradiasi karena tingginya kadar air. Peningkatan kadar lemak pada abon (kontrol dan iradiasi dosis 15 kGy) setelah penyimpanan 30 hari berkaitan dengan penurunan kadar air pada abon. Peningkatan kadar lemak berpotensi terhadap peningkatan laju oksidasi lemak. Oksidasi lemak yang mungkin

(46)

32

terjadi yaitu proses oksidasi pada lemak yang diakibatkan oleh adanya udara (auto-oksidasi) pada kemasan makanan. Auto-oksidasi atau ketengikan oksidatif dapat menghasilkan rasa dan bau yang tidak sedap pada produk pangan (Irawati, 2008).

Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap kadar lemak suatu bahan pangan sangat bergantung pada susunan asam lemak jenuh dan tak jenuhnya. Asam lemak tak jenuh lebih mudah dioksidasi dibandingkan dengan asam lemak yang jenuh. Perubahan kimia berkurang apabila iradiasi produk dilakukan dengan tidak adanya cahaya dan oksigen (Aquino, 2012). Adanya oksigen pada saat proses iradiasi pangan, autooksidasi dipercepat dengan mekanisme yang sama seperti autooksidasi akibat cahaya atau keberadaan logam. Jika udara tidak dikeluarkan dari kemasan, maka peroksida dapat mencapai nilai tinggi (Diehl, 1995).

Penyimpanan produk pangan kering yang kurang baik dapat memicu terjadinya ketengikan yang disebabkan oleh reaksi oksidasi lemak. Oksidasi tersebut dapat terjadi akibat dari adanya kontak antara oksigen dengan lemak yang terkandung dalam bahan. Oksidasi lemak tersebut dapat mengakibatkan kerusakan mutu dan mengurangi masa simpan dari suatu produk pangan. Karo et al., (2017) melaporkan bahwa perlakuan suhu penyimpanan 40, 50 dan 60oC pada abon ikan Motan dan ikan Palau tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak abon ikan Motan dan Palau selama penyimpanan 28 hari. Artinya penyimpanan pada suhu tersebut tidak menyebabkan lemak mengalami oksidasi.

Abon ikan sapu-sapu pada penelitian ini disimpan pada suhu ruang selama 30 hari dalam kemasan plastik ziploc yang divakum sebagai upaya untuk mengurangi kerusakan akibat oksidasi lemak oleh udara sehingga dapat memperpanjang masa simpan abon tersebut. Abon yang dikemas dalam plastik ziploc yang divacum dapat

(47)

33

mereduksi oksigen karena memiliki fungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen dan lemak. Menurut Christie (2016) Transfer oksigen pada produk pangan kering mengakibatkan kemunduran mutu secara kimiawi, yaitu timbulnya bau tengik sebagai akibat dari bereaksinya lemak dengan oksigen yang berasal dari udara sekitar. Selain oksigen, abon yang tidak dikemas dengan baik akan mudah terpapar cahaya karena paparan cahaya dan suhu tinggi juga merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi oksidasi.

4.2 Komposisi Asam Lemak dengan GC-MS

Sebelum sampel diinjeksikan pada instrumen GC-MS, sampel terlebih dahulu diesterifikasi. Esterifikasi adalah tahap konversi asam lemak bebas menjadi ester, dengan mereaksikan asam lemak dengan alkohol. Asam lemak bebas dari abon hasil iradiasi sinar gamma direaksikan dengan NaOH-metanol dan boron triflourida (BF3) sebagai katalis sehingga terbentuk senyawa asam lemak metil ester. Proses esterifikasi ini dilakukan untuk kererluan analisis kadar asam lemak menggnakan GC-MS. Hal ini dikarenakan asam lemak yang diperoleh dari ekstaksi lemak dengan metode sokletasi bersifat nonvolatil (tidak mudah menguap), sementara syarat senyawa yang diperlukan untuk keperluan analisis harus bersifat volatil (mudah menguap). Sehingga diperlukan adanya konversi asam lemak bebas menjadi senyawa asam lemak metil ester yang memiliki sifat volatil.

Kromatogram hasil analisis GC MS sampel daging dan abon ikan sapu sapu pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 6a dan 6b.

(48)
(49)

35

berhasil diidentifikasi melalui pendekatan pustaka terhadap spektrum massa masing-masing puncak. Kesebelas puncak yang terdeteksi tersebut adalah asam lemak jenuh yaitu asam kaprilat, dekanoat, laurat, miristat, palmitat, stearat dan arakidat. Kemudian asam lemak tak jenuh yaitu asam 13-oktadekenoat, linoleat, dan arakidonat.

Persentase berdasarkan nilai %area komposisi asam lemak daging dan abon ikan sapu-sapu hasil analisis dengan GC-MS disajikan dalam tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Persentase komposisi asam lemak daging dan abon ikan sapu-sapu

Asam Lemak %Area

Nama IUPAC Nama Trivial Daging Abon

Asam Lemak Jenuh

Asam oktanoat (C8:0) Asam Kaprilat - 0,40% Asam Dekanoat (C10:0) - - 0,53% Asam dodekanoat (C12:0) Asam Laurat 0,45% 4,93% Asam tetradekanoat (C14:0) Asam Miristat 1,21% 3,04% Asam Pentadekanoat (C15:0) - 0,78% - Asam heksadekanoat (C16:0) Asam Palmitat 14,14% 26,34% Asam Heptadekanoat (C17:0) - 0,53% - Asam oktadekanoat (C18:0) Asam Stearat 5,01% 4,63% Asam eikosanoat (C20:0) Asam Arakidat - 0,20%

Total Asam Lemak Jenuh 22,12% 40,07%

Asam Lemak Tak Jenuh

Asam 13-oktadekenoat (C18:1) Asam oleat 17,60% 34,17%

Asam 9,12-oktadekadienoat

(C18:2) Asam Linoleat 5,55% 9,17%

Asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat

(C20:4) Asam Arakidonat 1,55% 0,43%

Total Asam Lemak Tak Jenuh 24,70% 43,77%

Total Asam Lemak 46,82% 83,84%

Berdasarkan tabel 5, hasil analisis komposisi asam lemak daging dan abon ikan sapu-sapu menggunakan GC-MS diketahui bahwa total asam lemak pada sampel daging sebesar 46,82% dengan total asam lemak jenuh sebesar 22,12% dan total asam lemak tak jenuh sebesar 24,70%. Sampel abon ikan sapu-sapu memiliki komposisi asam lemak total sebesar 83,84% dengan total asam lemak jenuh sebesar

(50)

36

40,07% dan total asam lemak tak jenuh sebesar 43,77%. Dari hasil analisis komposisi asam lemak tersebut juga diketahui bahwa sampel daging dan abon ikan sapu-sapu mengandung asam lemak esensial yaitu asam linoleat dan arakidonat masing-masing sebesar 5,5 (sampel daging); 9,17% (sampel abon) dan 1,5 (sampel daging); 0,43% (sampel abon).

Asam lemak linoleat dan arakidonat termasuk ke dalam asam lemak omega-6 yang ditemukan dalam kacang-kacangan, roti gandum, minyak tumbuhan, daging ayam, dan ikan. Asam lemak omega-6 tidak dapat disintesis oleh tubuh dan didapatkan dari asupan makanan (Diana, 2013). Asam lemak linoleat dan arakidonat memiliki manfaat untuk kesehatan diantaranya yaitu dapat menurunkan gejala-gejala peradangan, tekanan darah, tingkat kolesterol, dan memperbaiki resistensi insulin (Frenzen-Castle dan Gooder, 2010).

Pada penelitian Ackman (1967) dijelaskan bahwa pada ikan air tawar umumnya mengandung lebih banyak asam lemak rantai karbon C16 dan C18. Asam-asam lemak tersebut termasuk ke dalam asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal. Lebih lanjut Gutierrez dan Silva (1993) menyatakan bahwa asam lemak yang terkandung dalam ikan air tawar umumnya cenderung jenuh dibandingkan dengan ikan laut. Persentase asam lemak jenuh umumnya ditemukan lebih besar di ikan air tawar.

Menurut Adawyah (2007) lemak daging ikan mengandung asam-asam lemak tak jenuh dengan rantai panjang C14-C22 dan asam lemak tak jenuh dengan jumlah ikatan 1-6. Adanya asam lemak tak jenuh menyebabkan lemak pada ikan mudah teroksidasi (Adawiyah, 2007). Proses oksidasi dapat menyebabkan flavor dan rasa yang tidak disukai serta penurunan nilai gizi.

(51)

37

Akan tetapi, hasil analisis komposisi lemak abon ikan sapu-sapu dengan GC-MS menunjukkan bahwa jumlah asam lemak jenuh lebih banyak daripada jumlah asam lemak tak jenuh, sehingga produk abon ikan sapu-sapu ini dianggap memiliki laju oksidasi yang lambat. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji bilangan asam, peroksida dan thiobarbituric acid (TBA) sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti besar dari nilai oksidasi lemaknya.

4.3 Kadar Cemaran Logam dengan XRF

Sampel yang dianalisis dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan dengan pengovenan untuk menghilangkan kadar airnya. Hasil analisis XRF menunjukkan nilai konsentrasi dalam satuan ppm. Berdasarkan hasil analisis diketahui nilai konsentrasi logam timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam sampel daging dan abon ikan sapu-sapu tabel 6.

Kandungan logam yang berada pada daging ikan sapu-sapu tersebut dikaji dan dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 7690.1 tahun 2013 tentang abon ikan. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 7690.1 tahun 2013 bahwa persyaratan keamanan abon ikan harus memenuhi batas maksimum cemaran logam berat. Cemaran logam berat yang dimaksud meliputi logam timbal (Pb), dan kadmium (Cd).

Tabel 6. Kandungan cemaran logam pada sampel daging dan abon ikan sapu-sapu

Hasil analisis yang didapatkan menunjukkan bahwa pada sampel daging dan abon ikan sapu-sapu terdapat logam Pb dengan konsentrasi masing-masing sebesar 1,9 dan 3,2 mg/kg dan melebihi nilai ambang batas yaitu maksimal 0,3 mg/kg.

Cemaran Logam Jenis Sampel SNI (mg/kg) Daging Ikan (mg/kg) Abon Ikan (mg/kg) Timbal (Pb) 1,9 3,2 Maks 0,3 Kadmium (Cd) 1,7 1 Maks 0,1

(52)

38

Paparan bahan tercemar logam Pb dapat menyebabkan gangguan pada organ neurologi, fungsi ginjal, sistem reproduksi, sistem saraf, dan hemopoitik (Sudarmaji, 2006). Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa jika logam Pb yang dikonsumsi dari daging ikan sapu-sapu tersebut mengandung logam Pb yang sudah melebihi nilai ambang batas maka dapat mempengaruhi kesehatan tubuh manusia.

Kandungan logam Cd pada sampel daging dan abon ikan sapu-sapu memiliki konsentrasi masing-masing sebesar 1,7 dan 1 mg/kg. Nilai yang didapatkan lebih tinggi dari SNI tahun 2013 sebesar maksimal 0,1 mg/kg. Menurut Sudarmaji (2006) gejala umum keracunan Cd adalah sakit di dada, nafas sesak, batuk-batuk dan lemah.

Tingginya kandungan logam Pb dan Cd pada sampel diduga karena adanya akumulasi logam akibat dari tingginya cemaran logam di air dan di sedimen. Berdasarkan hasil penelitian Cahyani et al., (2016), bahwa kandungan rata-rata kandungan logam tertinggi terjadi saat musim hujan serta akibat akumulasi dari air dan sedimen. Selain itu menurut Ismi et al., (2019) bahwa berdasarkan hasil observasi yang dilakukan sepanjang bantaran Ciliwung ditemukan adanya beberapa industri dan pemukiman warga yang beraktivitas di bantaran sungai sungai Ciliwung. Sebagai daerah yang dilalui sungai Ciliwung, kegiatan industri tersebut dapat mempengaruhi peningkatan pencemaran sungai.

(53)

39 BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Abon ikan sapu-sapu yang diiradiasi dengan dosis 15 kGy yang disimpan selama 30 hari masih memiliki stabilitas nutrisi yang baik.

2. Kualitas nutrisi abon hasil iradiasi sinar gamma yang meliputi kadar air, abu, protein dan lemak masing-masing sebesar 15,78; 8,94; 49,13 dan 26,67%. Sesuai dengan syarat mutu SNI tahun 2013 yaitu maksimum sebesar 15% untuk kadar air dan abu, minimum sebesar 15% untuk kadar protein dan maksimum sebesar 30% untuk kadar lemak, kecuali hasil untuk kadar air tidak memenuhi syarat mutu SNI.

3. Komposisi asam lemak yang terkandung dalam abon ikan sapu-sapu hasil analisis dengan GC-MS mengandung asam lemak total sebesar 83,84% dengan kandungan asam lemak linoleat dan arakidonat sebesar 9,17 dan 0,43%. Kandungan cemaran logam pada abon ikan sapu-sapu hasil analisis dengan XRF sebesar 3,2 mg/kg (Pb) dan 1 mg/kg (Cd). Kandungan cemaran logam abon ikan sapu-sapu melebihi batas maksimum ketetapan syarat mutu SNI tahun 2013 dimana kandungan timbal (Pb) dan kadmium (Cd) masing-masing sebesar 0,3 dan 0,1 mg/kg.

5.2 Saran

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan analisis uji bilangan asam, peroksida, dan thiobarbituric acid (TBA) untuk mengetahui tingkat oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan abon. Selain itu

(54)

40

diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai cara mereduksi logam berat pada ikan sapu-sapu yang digunakan untuk pembuatan produk pangan. Serta disarankan untuk menggunakan ikan sapu-sapu hasil budi daya sebagai bahan pangan agar kebersihan dan keamanannya lebih terjamin dan mampu mempertahankan dan menambah karakteristik gizi abon ikan sapu-sapu.

(55)

41

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official methods of analysis of the association of analytical chemists, Washington D.C.

Ackman RG. 1967. Characteristic of the fatty acid composition and biochemistry of some fresh-water fish oil and lipids in comparison with marine oil and lipids. Comparative of Biochemical and Physiology. 22: 907-922.

Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis pangan. Jakarta (ID): Dian Rakyat.

Armbruster JW. 2004. Phylogenetic relationships of the suckermouth armoured catfishes (Loricariidae) with emphasis on the hypostominae and the

ancistrinae. Zoological Journal of the Linnean Society. 141(1):1-80.

Armbruster JW, Page LM. 2006. Redescription of Pterygoplichthys punctatus and description of a new species of Pterygoplichthys (siluriformes :

Loricariidae). Zoological Journal of the Linnean Society. 4(4):401-409.

Aquino KAS. 2012. Sterilization by gamma irradiation. Europe (ID): inTech Cahyani AFK, Wiguna LC, Putri RA, Masduki VV, Harsojo. 2015. Aplikasi

teknologi hundle menggunakan iradiasi sinar gamma dan penyimpanan beku untuk mereduksi bakteri patogen pada bahan pangan. Jurnal pangan

dan agroindustri. 3(1): 73-79

Cahyani N, Djamar, Sulistino. 2016. Heavy metal contain Pb, Hg, Cd, and Cu in whiting fish (Sillago sihama) muscle in estuary of Donan river, Cilacap, Central Java. JPHPI. 19(3):267-276.

Chaidir A. 2001. Pengaruh pencucian daging lumat (minced fish) ikan sapu-sapu (Hypostomus sp) terhadap kualitas minced fish dalam pembuatan bakso ikan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Chisrtie TM, Ma’aruf WF, Susanto E. 2016. Mereduksi oksidasi ikan manyung (Arius thalassinus) jambal roti dengan implikasi edible film selama penyimpanan suhu ruang. JPeng&BiotekHasilPi. 5(1):94-100.

Codex STAN. 2013. General standard for irradiated foods: 1-3.

Elfidasari D, Qoyyimah FD, Fahmi MR, Puspitasari RL. 2016. Variasi ikan sapu-sapu (Loricariidae) berdasarkan karakter morfologi di perairan Ciliwung. Jurnal Al-azhar Indonesia seri Sains dan teknologi. 3(4):221-225.

(56)

42

iradiasi sinar gamma selama masa simpan 30 hari [Skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif Hidayatullah.

Hasnidar, Tamsil A, Akram AM, Hidayat T. 2021. Analisis kimia ikan sapu-sapu (Pterugoplichthys pardalis Castelnau 1855) dari danau Tempe Sulawesi Selatan, Indonesia. JPJHI. 24(1):78-88

Hendayana S. 2006. Kimia pemisahan metode kromatografi dan elektroforesis

modern. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya.

Hoover JJ, Killgore KJ, Confrancesco AF. 2004. Suckermouth catfishes: threats to aquatic ecosystems of the United States?. ANSRP Buletin. 4(1):1-9 Hossain MY, Rahman MM, Ahmed ZF, Ohtomi J, Islam ABMS. 2008. First

record of the South American sailfin catfish Pterygoplichthys multiradiatus in Bangladesh. Journal of Applied Ichthyology. 24(6):718-720.

Irawati Z. 2007. Pengembangan teknologi nuklir untuk meningkatkan keamanan dan daya simpan bahan pangan. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 3(2):41-52

Ismi LN, Elfidasari D, Puspitasari RL, Sugoro I. 2019. Kandungan 10 Jenis Logam Berat pada Daging Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) Asal Sungai Ciliwung Wilayah Jakarta. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan

Teknologi. 5(2):56-59.

Jamaludin A, Adiantoro D. 2012. Analisis kerusakan x-ray fluoresence (XRF).No. 09-10 tahun V april-oktober 2012. Pusat teknologi bahan bakar nuklit BATAN

Kadir, I. 2010. Pemanfaatan iradiasi untuk memperpanjang daya simpan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) kering. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan

Radiasi. 6(1):86-100

Kalyani B, Manjula K. 2014. Review article food irradiation – Technology and application. International Journal of Current Microbiology and Applied

Sciences. 3(4):549-555.

Karo YCB, Nopianti R, Lestari SD. 2017. Pengaruh variasi suhu terhadap mutu abon ikan ekonomis rendah selama penyimpanan. Jurnal Teknologi Hasil

Perikanan. 6(1):80-91

Kartamihardja ES, Purnomo K, Umar C. 2009. Sumber daya ikan perairan umum daratan di Indonesia terabaikan. Jurnal kebijakan perikanan

Gambar

Gambar 5. Diagram alir penelitian
Tabel 2.  Kadar air, organik dan abu pada daging dan abon ikan sapu-sapu  Parameter uji
Tabel 3.  Kadar protein pada daging dan abon ikan sapu-sapu
Tabel 4.  Kadar lemak pada daging dan abon ikan sapu-sapu
+3

Referensi

Dokumen terkait

Intan juga dapat ditemukan di dasar sungai sebagai endapan yang kita sebut sebagai endapan intan alluvial pada dasarnya intan tipe alluvial juga berasal dari pipa Kimberlite purba

Pada taraf penyelesaian ini usaha debitur yang dimodali dengan kredit itu masih berjalan meskipun angsuran kreditnya tersendat-sendat atau meskipun kemampuannya

guru sebagai imam di masjid atau bisa bergantian dengan guru yang lainnya, kami selalu memantau siswa siswi kamu agar mengikuti sholat dhuhur berjamaah sebelum pulang

Users can analyze sequence of Event Records, Transient Fault Records, and Disturbance Records that have been stored on a DDFR or archived onto a network location

Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada

sudut pandang Gereja awal, tanpa menyelidiki apakah Yesus sendiri belum menganggap diri-Nya sebagai pribadi yang dipanggil untuk memenuhi fungsi sebagai Ebed Yahweh,

Petunjuk : Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberi jawaban yang paling sesuai pada tempat yang sudah disediakan.. Pengukuran kelelahan menurut skala Industrial Fatigue

Artikel di atas telah menyalahi pasal 5 KEJ (Kode Etik Jurnalistik), yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila