• Tidak ada hasil yang ditemukan

menjadi pendonor darah sukarela masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kendala misalnya karena masih kurangnya pemahaman masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "menjadi pendonor darah sukarela masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kendala misalnya karena masih kurangnya pemahaman masyarakat"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah seperti plasma, sel darah merah, atau trombosit melalui jalur IV (Potter, 2005).Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan klien terhadap darah sesuai dengan program pengobatan. Transfusi darah secara universal dibutuhkan untuk menangani pasien anemia berat, pasien dengan kelaian darah bawaan, pasien yang mengalami kecederaan parah, pasien yang hendak menjalankan tindakan bedah operatif dan pasien yang mengalami penyakit liver ataupun penyakit lainnya yang mengakibatkan tubuh pasien tidak dapat memproduksi darah atau komponen darah sebagaimana mestinya. Pada negara berkembang, transfusi darah juga diperlukan untuk menangani kegawatdaruratan melahirkan dan anak-anak malnutrisi yang berujung pada anemia berat (WHO, 2007). Tanpa darah yang cukup, seseorang dapat mengalami gangguan kesehatan bahkan kematian. Oleh karena itu, tranfusi darah yang diberikan kepada pasien yang membutuhkannya sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa.

Angka kematian akibat dari tidak tersedianya cadangan tranfusi darah pada negara berkembang relatif tinggi. Hal tersebut dikarenakan ketidakseimbangan perbandingan ketersediaan darah dengan kebutuhan rasional. Di negara berkembang seperti Indonesia, persentase donasi darah lebih minim dibandingkan dengan negara maju padahal tingkat kebutuhan darah setiap negara secara relatif adalah sama. Indonesia memiliki tingkat penyumbang enam hingga sepuluh orang per 1.000 penduduk. Hal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan sejumlah negara maju di Asia, misalnya di Singapura tercatat sebanyak 24 orang yang melakukan donor darah per 1.000 penduduk, berikut juga di Jepang tercatat sebanyak 68 orang yang melakukan donor darah per 1.000 penduduk (Daradjatun, 2008).

Indonesia membutuhkan sedikitnya satu juta pendonor darah guna memenuhi kebutuhan 4,5 juta kantong darah per tahunnya. Sedangkan unit transfusi darah Palang Merah Indonesia (UTD PMI) menyatakan bahwa pada tahun 2008 darah yang terkumpul sejumlah 1.283.582 kantong. Hal tersebut menggambarkan bahwa kebutuhan akan darah di Indonesia yang tinggi tetapi darah yang terkumpul dari donor darah masih rendah dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat Indonesia untuk

(2)

menjadi pendonor darah sukarela masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kendala misalnya karena masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang masalah transfusi darah, persepsi akan bahaya bila seseorang memberikan darah secara rutin. Selain itu, kegiatan donor darah juga terhambat oleh keterbatasan jumlah UTD PMI di berbagai daerah, PMI hanya mempunyai 188 unit tranfusi darah (UTD). Mengingat jumlah kota/kabupaten di Indonesia mencapai sekitar 440.

Di rumah sakit, banyak terdapat pasien dengan perdarahan baik karena kecelakaan maupun post operasi, dalam keadaan seperti ini tentunya pasien membutuhkan darah untuk memenuhi kebutuhan darah. Tindakan untuk memenuhi kebutuhan darah ini dipenuhi dengan transfusi darah, dan sebagai seorang perawat kita sangat berperan dalam pemberian transfusi darah. Oleh karena itu, kemampuan perawat dalam pemberian transfusi darah perlu ditingkatkan.

Dari penjabaran di atas, menjadi latar belakang kami untuk menyusun makalah yang berjudul “Transfusi Darah”. Dengan harapan makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang transfusi darah.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari transfusi darah? 2. Apakah indikasi pemberian transfusi darah?

3. Bagaimakah penggolongan darah pada pasien transfusi darah? 4. Bagaimana proses pengambilan darah donor?

5. Bagaimana pemeriksaan skrining atau pemeriksaan uji saring pada darah donor? 6. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi pemberian transfusi darah?

7. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian transfusi darah?

8. Apa saja langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindarkan kesalahan identifikasi transfusi darah?

9. Bagaimanakah persiapan pasien dalam pemberian transfusi darah? 10. Bagaimanakah persiapan alat dalam pemberian transfusi darah? 11. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan pemberian transfusi darah? C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari transfusi darah. 2. Untuk mengetahui indikasi pemberian transfusi darah.

3. Untuk mengetahui penggolongan darah pada pasien transfusi darah. 4. Untuk mengetahui proses pengambilan darah donor.

5. Untuk mengetahui pemeriksaan skrining atau pemeriksaan uji saring pada darah donor.

6. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pemberian transfusi darah. 7. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian transfusi darah. 8. Untuk mengetahui langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindarkan

kesalahan identifikasi transfusi darah.

9. Untuk mengetahui persiapan pasien dalam pemberian transfusi darah. 10. Untuk mengetahui persiapan alat dalam pemberian transfusi darah. 11. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan pemberian transfusi darah.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Transfusi Darah

Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya (Sudoyo, 2006). Transfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah seperti plasma, sel darah merah, atau trombosit melalui jalur IV (Potter, 2005). Menurut Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1980, definisi transfusi darah adalah tindakan medis memberikan darah kepada seorang penderita yang darahnya telah tersedia dalam botol kantong plastik. Usaha transfusi darah adalah segala tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memungkinkan penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan yang mencakup masalah-masalah pengadaan, pengolahan, dan penyampaian darah kepada orang sakit. Darah yang digunakan adalah darah manusia atau bagian-bagiannya yang diambil dan diolah secara khusus untuk tujuan

(4)

pengobatan dan pemulihan kesehatan. Penyumbang darah adalah semua orang yang memberikan darah untuk maksud dan tujuan transfusi darah (PMI, 2002).

Transfusi darah umumnya berhubungan dengan kehilangan darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah. Pemberian transfusi darah secara aman merupakan salah satu peran perawat yang sangat penting. Pada situasi darurat, perawat perlu mendapatkan spesimen darah secara cepat dan aman bagi klien. Klien yang mendapatkan transfusi darah harus dimonitor secara ketat agar tidak terjadi efek samping yang merugikan. Menurut penelitian dilaporkan bahwa reaksi transfusi darah yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% responden, dimana 55% berupa demam, 14% menggigil, 20% reaksi alergi terutama urtikaria, 6% hepatitis serum positif, 4% reaksi hemolitik dan 1% overload sirkulasi (Sudoyo, 2006).

Dalam pemberian darah harus diperhatikan kondisi pasien, kemudian kecocokan darah melalui nama pasien, label darah, golonngan darah, danperiksa warna darah (terjadi gumpalan atau tidak) , homogenitas (bercampur atau tidak). Adapun tujuan dilakukannya transfusi darah adalah sebagai berikut :

a. Untuk meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma, atau perdarahan.

b. Untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada klien yang menderita anemia berat.

c. Untuk memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti (misalnya faktor-faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol perdarahan pada klien penderita hemofilia).

B. Indikasi Pemberian Transfusi

1. Indikasi Untuk Transfusi Sel Darah Merah.

a) Indikasi satu – satunya untuk transfusi sel darah merah adalah kebutuhan untuk memperbaiki penyediaan oksigen ke jaringan dalam jangka waktu singkat. Kadar hemoglobin rendah tidak boleh menjadi satu – satunya alasan transfusi, karena banyak lagi factor yang penting; termasuk usia penderita, dan keadaan umum serta besarnya penurunan kadar hemoglobin. Penderita dengan kadar hemoglobin yang menurun secara tiba – tiba akan merasa sakit dan memang membutuhkan transfusi. Walaupun kadar hemoglobin cukup rendah (misalnya 80 g/l), namun dapat ditoleransikan penderita yang tubuhnya masih mempunyai waktu untuk beradaptasi, karena penurunan kadar terjadi secara bertahap salama berminggu – minggu atau berbulan – bulan, sehingga penderita itu biasanya lebih baik diobati dengan cara lain.

(5)

b) Kehilangan darah yang akut—Jika darah hilang karena trauma atau pembedahan, maka baik penggantian sel darah merah maupun volume darah dibutuhkan. Jika lebih dari separuh volume darah hilang, maka darah lengkap yang harus diberikan; jika kurangn daripada separuh, maka konsentrat sel darah merah dan plasma expanders yang diberikan.

c) Transfusi darah prabedah—Biasanya lebih aman memperbaiki anemia dengan hematinik yang sesuai, jika penyebabnya diketahui. Jika anemia prabedah tidak dapat diatasi dengan cara tersebut (misalnya, jika pembedahan bersifat darurat, atau penderita gagal dapat diatasi dengan hematinik), dan kadar hemoglobin 80 g/l atau kurang, maka setiap penderita boleh ditransfusi. Jika hemoglobin antara 80 dan 100 g/l, setiap penderita harus dinilai secara perorangan sebelum keputusan untuk memberikan transfusi dilakukan.

d) Anemia defisiensi besi—Penderita defisiensi besi tidak dapat ditansfusikan, kecuali memang dibutuhkan untuk pembedahan segera atau yang telah gagal berespon terhadap pengobatan dengan dosis terapeutik penuh besi peroral. Transfuse pada defisiensi besi saja akan menjadi mahal, dan dapat berbahaya karena meningkatnya kadar hemoglobin, yang sebenarnya dapat meningkat sekitar 10 g/l/minggu dengan pengobatan peroral yang adekuat, jika tidak terdapat penyakit lain.

e) Anemia megaloblastik—Transfusi harus dihindarkan pada penderita ini, karena dapat mencetuskan gagal jantung dan kematian karena peningkatan tegangan pada jantung.

f) Anemia yang berkaitan dengan kelainan menahun—Kadang – kadang penderita penykit keganasan, arthritis rheumatoid, atau proses radang menahun tidak merespon terhadap hematinik, sehingga membutuhkan transfuse darah.

g) Gagal ginjal—anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal seharunya diobati dengan transfusi sel darah merah maupun dengan eritropoietin manusia rekombinan.

h) Gagal sumsum tulang—penderita gagal sumsum tulang karena leukemia, pengobatan sitotoksin, atau infiltrasi keganasan akan membutuhkan buka saja sel darah merah, namun juga komponen darah yang lain.

i) Penderita yang tergantung transfusi—penderita sindrom talasemia berat, anemia aplastik, dan anemi sideroblastik membutuhka tansfusi secara teratur setiap empat sampai enam minggu, sehingga mereka mampu menjalani kehidupan yang normal-bagi anak-anak, dan petumbuhan yang normal.

(6)

j) Penyakit sel bulan sabit—beberapa penderita penyakit ini juga membutuhkan transfusi secara teratut, terutam setelah stroke, karena “sindrom dada” berulang yang mengancam jiwa, dan selama kehamilan. Pemilohan sel darah merarh pada penderita bukan keturunan eropa bagian utara, memerlukan penyaring tambahan terutama pada antigen Kell, dan semua antigen Rh. Beberapa penderita penyakit sel bulan sabit membutuhkan transfusi pengganti pada kedaruratan seperti hipoksia berat, stroke, priapisme. Tujuanya untuk mengurangi jumlah hemoglobin S sampai kurang daripada 20% total, sambil secara bertahap meningkatkan kadar hemoglobin total menjadi 120-145 g/I. k) Penyakit hemolitik neonatus juga dapat menjadi indikasi untuk transfusi

pengganti, jika neonatus mengalami hiperbilirubinemia berat atau anemia. 2. Indikasi lain untuk transfusi pengganti mencangkup beberapa kasus tertentu

malaria berat karena plasmodium falciparum dan septicemia meningokokus. Hemolisis diperantarai imunitas—penderita penyakit ini tidak boleh dibiarkan menjadi rentan terhadap anemia berat. Walaupun demikian seleksi dan uji unit sel dara merah sebelum tranfusi tidak boleh dilaksanakan tanpa anjuran ahli hemtologi.

3. Indikasi pemberian transfusi darah antara lain : a) Untuk memberikan volume darah yang adekuat. b) Mencegah syok hemoragik.

c) Meningkatkan kapasitas pembawaoksigen darah.

d) Megganti trombosit atau faktor pembeku darah untukpertahankan hemostatis. C. Penggolongan darah

Menentukan golongan darah seseorang tidak diperlukan biaya yang besar dan relatif mudah karena hanya memerlukan beberapa tetes dari sampel darah. Sebuah serum anti-A dicampur dengan satu atau dua tetes sampel darah. Serum lainnya dengan anti-B dicampurkan pada sisa sampel. Penilaian dilakukan dengan memperhatikan apakan ada penggumpalan pada salah satu sampel darah tersebut. Sebagai contoh, apabila sampel darah yang dicampur serum anti-A tersebut menggumpal namun tidak menggumpal pada sampel darah yang dicampur serum anti-B maka antigen A ada pada sampel darah tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sampel darah tersebut diambil dari orang dengan golongan darah A.

Berdasarkan ada tidaknya antigen-Rh, maka golongan darah manusia dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang dengan Rh-positif (Rh+), berarti darahnya memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan reaksi positif atau terjadi penggumpalan eritrosit pada waktu dilakukan tes dengan anti-Rh (antibodi Rh). Kelompok satunya lagi adalah kelompok orang dengan Rh-negatif

(7)

(Rh), berarti darahnya tidak memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan reaksi negatif atau tidak terjadi penggumpalan saat dilakukan tes dengan anti-Rh (antibodi Rh).

Sebaliknya, alasan untuk pengujian sel darah merah resipien karena adanya antibody Rh adalah karena antigen D sangat imunogenik; secara kasar 90% golongan Rh negative ditranfusikan dengan satu atau lebih dari satu unit darah Rh positif akan menimbulkan anti-D. Antibodi Rh imun akan menghancurkan sel darah Rh positif dan dapat menyebabkan reaksi transfusi hemolitik, demikian pula dengan penyakit hemolitik pada neonatus dapat menyebabkan kematian. Jadi, penting sekali bahwa wanita usia subur menerima darah yang digolongkan Rh-nya sebelum tranfusi. Wanita dengan Rh negative harus ditransfusikan hanya dengan darah negative Rh.

Golongan Darah

Antigen A Antigen B Antibodi Anti-A Antibodi Anti-B A + - - + B - + + -O - - + + AB + + -

-D. Pengambilan Darah Donor

Seorang calon donor yang datang ke UTD akan diminta untuk menbaca dan menjawab sendiri persyaratan-persyaratan menjadi donor, mengisi formulir pendaftaran donor dan diperbolehkan untuk menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti kepada petugas. Riwayat medis calon donor akan ditanyakan. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan hemoglobin dengan mengambil darah dari ujung jari anda untuk diperiksa. Dokter akan melalukan pemeriksaan fisik sederhana dan tekanan darah dan akan memberikan pertanyaan sehubungan dengan isian formulir pendaftaran. Pengambilan darah akan mengambil waktu kurang lebih 15 menit (PMI, 2002).

Seorang asisten atau laboran akan bersama calon pendonor dan calon pendonor diminta untuk beristirahat selama 5-10 menit dalam posisi berbaring. Lama penyumbangan bervariasi terbantung dari banyak tidaknya penyumbang darah. Pengambilan donor darah dilakukan secara bergantian. Darah yang diambil sekitar 250cc atau 350 cc, kira-kira 7-9% dari volume rata-rata orang dewasa. Darah dikumpulkan ke dalam kantung plastik 250 ml yang mengandung 65 – 75 mL CPC (Citrate Phosphate Dextrose) atau ACD (Acid Citrate Dextrose). Volume tersebut

(8)

akan digantikan oleh tubuh dalam waktu 24-48 jam dengan minum yang cukup (PMI, 2002).

Setelah menyumbangkan darah, pendonor dipersilahkan menuju ruang istirahat sambil duduk untuk memberikan kesempatan tubuh menyesuaikan diri sambil menikmati hidangan. Kartu donor akan diberikan sebelum meninggalkan ruangan (PMI, 2002).

Tabel Perbandingan Komponen Sel Darah Merah No.

Bentuk Darah Indikasi Masa

Simpan Keterangan

1 Darah lengkap 1. Perdarahan 2. Anemia 3. Renjetan oligonemik 4. Kelainan darah seperti anemia aplastik 21 hari 2 Eritrosit terkonsentrasi

Anemia kronis dimana volume sirkulasi tidak bertambah

21 hari Khususnya untuk pasien jantung, anemia berat, sepsis, pasien sangat muda ataupun sangat tua. 3 Darah lengkap segar Perdarahan dengan trombositopenia (trombosit <40.000/ml) 12 jam

4 Darah baru Transfusi tukar pada neonatus

2 hari Bila kadar kalium pasien masih rendah 5 Eritrosit cairan 1. Hemoglobinuria

noktruna paroksimal 2. Resipien yang memiliki antibodi terhadap leukosit atau trombosit.

6 jam Leukosit belum dapat hilang seluruhnya.

(9)

3. Reaksi transfusi terhadap antigen plasma 4. Pasca transplantasi organ 5. Pasien dengan defisiensi imunitas

6 Eritrosit beku Sama seperti indikasi untuk eritrosit cucian

6 jam setelah dicairkan

Pembuatan mahal

7 Plasma kering 1. Untuk

meningkatkan volume sirkulasi 2. Luka bakar

8 tahun Umur 3 jam setelah dicairkan 8 Plasma beku segar Defisiensi faktor pembekuan seperti hemofilia, pasca transfusi masif, kelebihan dosis coumarin dan

antikoagulan inda ndion

Harus segera dipakai setelah dicairkan

9 Konsentrasi fraksi protein

Sama dengan indikasi plasma kering

2 tahun Tidak mengandung fibrinogen

10 Albumin Hipoalbuminemia 3 jam setelah preparasi 11 Fibrinogen Afibrinogenemia 3 jam

setelah preparasi 12 Kripresipitat Defisiensi faktor VII

13 Faktor VIII kering Hemofilia 3 jam setelah preparasi 14 Konsentrat

trombosit

Trombositopenia karena berbagai macam sebab

(10)

E. Skrining atau Pemeriksaan Uji Saring

Transfusi darah merupakan jalur ideal bagi penularan penyebab infeksi tertentu dari donor kepada resipien. Untuk mengurangi potensi transmisi penyakit melalui transfusi darah, diperlukan serangkaian skrining terhadap faktor-faktor risiko yang dimulai dari riwayat medis sampai beberapa tes spesifik. Tujuan utama skrining adalah untuk memastikan agar persediaan darah yang ada sedapat mungkin bebas dari penyebab infeksi dengan cara melacaknya sebelum darah tersebut ditransfusikan. Untuk skrining donor darah yang aman maka pemeriksaan harus dilakukan secara individual (tiap individual bag atau satu unit darah). Jenis pemeriksaan yang digunakan sesuai dengan standard WHO, dalam hal ini meliputi pemeriksaan atas sifilis, hepatitis B, hepatitis C dan HIV. Metode tes dapat menggunakan uji cepat khusus (rapid test), automated test maupun ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay). Laboratorium yang menguji 1-35 donasi per minggu sebaiknya menggunakan rapid test. Laboratorium yang menguji 35-60 donasi per minggu sebaiknya menggunakan metoda uji aglutinasi partikel dan yang menguji lebih dari 60 donasi per minggu sebaiknya menggunakan EIA. Metode yang umum digunakan di UTD cabang adalah rapid test (Depkes RI, 2001).

Dalam mempertimbangkan berbagai pengujian, perlu disadari data yang berkaitan dengan sensitivitas dan spesifitas masing-masing pengujian. Sensitivitas adalah suatu kemungkinan adanya hasil tes yang akan menjadi reaktif pada seorang individu yang terinfeksi, oleh karena itu sensitivitas pada suatu pengujian adalah kemampuannya untuk melacak sampel positif yang selemah mungkin. Spesifisitas adalah suatu kemungkinan adanya suatu hasil tes yang akan menjadi non-reaktif pada seorang individu yang tidak terinfeksi, oleh karena itu spesifitas suatu pengujian adalah kemampuannya untuk melacak hasil positif non-spesifik atau palsu (Depkes RI, 2001).

Dalam mempertimbangkan masalah penularan penyakit melalui transfusi darah, perlu diingat bahwa seorang donor yang sehat akan memberikan darah yang aman. Donor yang paling aman adalah donor yang teratur, sukarela, dan tidak dibayar. Jelasnya bahwa para donor yang berisiko terhadap penyakit infeksi harus didorong agar tidak menyumbangkan darahnya (Depkes RI, 2001).

F. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Transfusi Darah 1. Golongan dan Tipe Darah

Golongan darah yang paling penting untuk transfusi darah ialah sistem ABO, yang meliputi golongan berikut golongan berikut : A, B, O dan AB. Penetapan

(11)

golongan darah didasarkan pada ada tidaknya antigen sel darah merah A dan B. Individu dengan antigen A, antigen B, atau tidak memiliki antigen yang termasuk dalam golongan darah A, B, dan O. Individu dengan antigen A dan B memiliki golongan darah AB (Long et al,1993).

2. Reaksi Transfusi.

Reaksi transfusi adalah respons sistemik tubuh terhadap ketidak cocokan darah donor dengan darah resipien. Reaksi ini disebabkan ketidak cocokan sel darah merah atau sensitivitas alergi terhadap leukosit, trombosit atau komponen protein plasma pada darah donor atau terhadap kalium atau kandungan sitrat di dalam darah. Transfusi darah juga dapat menyebabkan penularan penyakit.

Faktor Lain Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Dan Kesejahteraan Donor.

a. Usia – Batas bawah (18 tahun) karena pertimbangan kebutuhan besi yang tinggi pada akhil balik, dan usia persetujuan. Batas atas menurut perjanjian di atur pada 65, karena meningkatnya insidensi penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskular pada usia lanjut, sehingga pengambilan darah sebanyak 450ml menjadi berbahaya. Donor pertama kali, yang semakin mengalami banyak insidensi kondisi buruk, tidak diterima selama usia 60 tahun, donor yang mapan dapat di izinkan untuk dilanjutkan melebihi usia 65 tahun.

b. Frekuensi pendonoran biasanya 2-3 kali setahun. Wanita usia subur terutama rentan terhadap kekurangan besi, kebanyakan pria, dapat mendonorkan lebih sering tanpa akibat buruk seperti itu. Perkiraan kadar hemoglobin sebelum pendengaran (biasanya dengan menggunakan teknik sederhana berdasarkan pada berat jenis setetes darah yang dimasukkan kedalam larutan tembaga sulfat) dirancang untuk menemukan donor dengan kekurangan besi yang nyata atau mendekati batas bawah, kadar minimum yang dapat di terima 135gr/l untuk pria dan 125 gr/l untuk wanita.

c. Volume pendonoran tidak boleh melebihi 13% volume perkiraan darah, untuk mencegah serangan vasovagal. Kantong pengumpulan di rancang dengan isi antara 405 dan 495 (rata-rata 450 ml) ml darah , dengan berat badan minimum 47 sampai 50 kg, kecuali pendonoran yang sedikit dapat dimasukkan kedalam kemasan yang sesuai.

d. Kemungkinan akibat buruk selama atau setelah pendonoran- Kadang- kadang donor pertama kali menjadi pingsan. Walaupun pingsan seperti itu tidak berkomplikasi, namun sang donor dapat mengalami akibat buruk- Sebagai contoh, jika keadaan itu terjadi lama kemudian, dan donor telah

(12)

meninggalkan ruang perawatan. Keadaan pingsan yang berat merupakan kontraindikasi donor selanjutnya. Pertimbangan paling utama adalah menghindari agen infektif yang menular, biasanya melalui kombinasi kriteria ketat untuk penyelsaian donor dan penggunaan uji penyaringan laboraturium. e. Obat dan penyakit lainnya. Obat yang berada dalam aliran darah donor dapat

menimbulkan efek merugikan resipien. Dengan minum obat tertentu berarti bahwa ada penyakit yang diderita, yang dengan sendirinya menjadi alasan untuk mencegah donor. Penderita penyakit menahun dan penyakit yang tidak diketahui etiologinya dilarang mendonorkan darahnya. Keganasan juga kontraindikasi, walaupun kekecualian mungkin dapat dilakukan jika terdapat kasus lesi invasive setempat yang telah diobati dengan baik dan tidak berulang setelah tindak lanjut yang adekuat (sebagai contoh, ulkus roden atau karsinoma serviks in situ).

G. Komplikasi Tranfusi Darah

Banyak kesalahan yang terjadi pada saat perawat memberikan transfusi darah ke klien. Kesalahan ini berupa kesalahan pengambilan sampel untuk pemeriksaan, kesalahan dalam memberikan label, kesalahan yang bersifat teknis ataupun kesalahan akibat kurangnya pemahaman perawat dalam memilih komponen darah yang sesuai dengan spesifikasi. Kesalahan juga sering terjadi pada situasi sibuk, dimana jumlah perawat lebih sedikit dibandingkan jumlah klien. Ditambah lagi situasi kerja di ruangan yang under pressure sehingga fokus perhatian perawat untuk melakukan pengecekan darah secara detail sebelum pemberian transfusi menjadi berkurang. Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak dilakukan secara sengaja ini dapat mengurangi keselamatan klien dalam menjalani proses transfusi sehingga banyak sekali reaksi efek samping dari transfusi yang pada akhirnya harus ditanggung oleh klien. Komplikasi reaksi transfusi darah, yaitu:

1. Reaksi hemolitik

Secara umum ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun (immune mediated hemolysis) dan non-imun (non-immune mediated hemolysis). Reaksi hemolitik yang disebabkan oleh proses imun terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion reaction, AHTR) dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction, DHTR), sedangkan reaksi hemolitik lain yang dapat terjadi selama atau setelah transfusi lebih dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik (pseudo-hemolytic transfusion reaction)

(13)

a. Reaksi hemolitik akut

Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi, AHTR merupakan masalah yang sangat serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat cepat (kurang dari 24 jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan donor (crossmatch). Sebagian besar terjadi pada saat transfusi whole blood (WB) atau packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor VIII nonrekombinan. Angka kejadian diperkirakan 1 : 250 000 - 600 000. Reaksi hemolitik ini adalah reaksi transfusi yang paling berat yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO. Inkompatibilitas ABO dapat terjadi akibat antibodi yang didapat secara alami bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravascular. Manifestasi klinis yang dapat terjadi akibat inkompatibilitas ABO antala lain demam, menggigil, kemerahan, nyeri pada punggung bagian bawah, takikardi dan hipotensi, kolaps pembuluh darah sampai henti jantung. b. Reaksi hemolitik lambat

Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6.000 sampai 33.000. DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa.

Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak

(14)

memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit.

c. Reaksi Pseudohemolitik

Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan reaksi hemolitik lain yang terjadi pada darah donor selama atau setelah transfusi diberikan, yang bukan merupakan reaksi transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama dengan reaksi hemolitik akibat reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik dapat berhubungan dengan proses imun maupun non-imun. Pada reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dijumpai reaksi yang compatible pada pemeriksaan crossmatch dan DAT yang negatif. Beberapa reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme sebagai berikut:

 Trauma suhu

Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan terlalu panas atau masih terlalu dingin. Eritrosit tidak boleh terpapar dengan temperatur melebihi 40°C karena suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran eritrosit sehingga mengubah viskositas, ketidakstabilan, perubahan bentuk dan permeabilitas, serta gangguan osmotik. Eritrosit yang telah pecah akibat panas akan dibersihkan dari sirkulasi oleh limpa. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Standar darah yang dapat diberikan adalah darah yang hangat (sekitar 38°C).

Paparan darah pada temperatur kurang dari 10°C per menit tanpa cryoprotective agent (seperti gliserol) dapat mengakibatkan trauma dehidrasi (dehydration injury) pada pasien. Namun, temperatur lebih dari 10°C per menit akan mengakibatkan kerusakan pada membran eritrosit oleh kristal es. Pada temperatur yang terlalu dingin, reaksi hemolitik dapat terjadi sebelum dilakukan transfusi, dan ini dapat dideteksi dari perubahan warna pada isi kantong darah.

 Trauma osmotik

Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik yang dapat mengakibatkan proses hemolitik secara cepat. Degliserolisasi eritrosit (degliserolized red blood cell) yang tidak

(15)

adekuat dapat mengakibatkan hemolitik karena tekanan osmotik yang lebih rendah (hypotonic solutions) di intravaskular pada saat transfusi. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini, cairan harus tetap isotonis. Setiap kantong darah yang berisi eritrosit, harus mengandung cairan salin normal, ABO-compatible plasma, dan albumin 5%.

Eritrosit tidak dapat dicampur dengan obat-obatan dan beberapa cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%, dekstrosa 5% dalam salin normal 0,225%, dan dekstrosa 5% dalam salin normal 0,45%. Ringer laktat juga tidak dapat ditambahkan pada eritrosit sebab kalsium yang dijumpai pada cairan ini akan bereaksi dengan senyawa sitrat yang merupakan antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan darah di dalam kantong darah. Oleh karena itu pemberian cairan sebelum dilakukan transfusi haruslah diperhatikan. Pemberian cairan hipotonis dapat mengakibatkan reaksi hemolitik intravaskular

 Trauma mekanik

Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama proses transfusi oleh karena trauma mekanik seperti saat darah melewati jarum yang terlalu kecil, selang infus yang terlipat, dan adanya penekanan mekanik. Reaksi hemolitik juga dapat disebabkan oleh trauma mekanik pada pembuatan katup jantung dalam operasi jantung, pada tindakan hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau cytapheresis. Gejala dan tanda klinis reaksi hemolitik akibat trauma mekanik mirip dengan AHTR

 Kontaminasi mikroba

Sekitar 0,1- 0,3% darah terkontaminasi saat dikumpulkan dari donor. Kondisi yang berbeda antara proses penyimpanan dan proses transfusi serta kemampuan mikroorganisme untuk dapat hidup pada kondisi tersebut merupakan faktor risiko terjadinya reaksi hemolitik dan sepsis setelah transfusi. Kejadian ini diperkirakan 1 dari 1,5 juta kasus pasien yang mendapat transfusi. Walaupun pada kultur darah tidak dijumpai pertumbuhan bakteri, kontaminasi mikroba masih dapat terjadi jika unit kantong darah mengandung partikel atau bekuan darah, ada perubahan warna dan/atau ada udara.

(16)

Pasien yang ditransfusi dengan darah yang terkontaminasi mikroba dapat menunjukkan gejala dan tanda AHTR, seperti demam, menggigil, hipotensi, takikardia, dan hemoglobinuria. Meskipun kejadianny jarang, transfusi darah yang terkontaminasi protozoa malaria dapat menunjukkan gejala demam dalam beberapa hari sampai minggu seperti pada DHTR. Jika dicurigai darah yang diberikan telah terkontaminasi mikroba saat diberikan, maka transfusi harus segera dihentikan, dilakukan pemantauan kondisi klinis pasien, evaluasi kantong darah yang terkontaminasi bakteri, dicatat, dan diberitahukan kepada UTD

 Anemia hemolitik kongenital

Eritrosit donor yang diberikan kepada penderita anemia hemolitik kongenital, dapat mengalami reaksi hemolitik yang mirip dengan AHTR atau DHTR. Anemia hemolitik kongenital yang sering dijumpai adalah akibat glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency. Pada defisiensi G6PD, eritrosit donor akan mengalami lisis jika terpapar zat yang menyebabkan oxidant stress. Beberapa Zat yang Bersifat Oxidant Stress pada Defisiensi G6PD15, antara lain:

o Acetanilid o Phenylhydrazine o Furazolidone o Primaquine o Isobutyl nitrite o Sulfacetamide o Nalidixic acid o Sulfamethoxazole o Naphtalene o Sulfapyridine o Niridazole o Thiazolesulfone o Nitrofurantoin o Trinitrotoluene o Phenazopyridine o Urate Oxidase (TNT) 2. Reaksi infeksi

a. Hepatitis – Hepatitis A bukan penyakit yang dikaitkan dengan transfusi. Uji untuk anti gen permukaan hepatitis B (HBsAg) selalu harus dikerjakan. Sebagian besar kasus hepatitis non-A ,non-B disebabkan oleh infeksi hepatitis C . Uji penyaringan anti bodi terhadap virus hepatitis C (anti-HCF) di mulai di Inggris pada tahun 1991. Riwayat ikterus (hepatitis) bukan indikator kemungkinan pembawa virus hepatitis yang dapat diandalkan

b. Penularan malaria melalui transafusi sel darah merah merupakan masalah yang dapat berakibat serius di Inggris. Pencegahan tergantung pada

(17)

wawancara dengan donor secara cermat,tentang perjalanan keluar negeri, penundaaan pendonoran, oleh mereka yang baru saja mengunjungi daerah endemis penyakit tertentu, dan dalam beberapa kasus, uji imunologis untuk anti bodi malaria.

c. Virus imunodefisiensi manusia (HIV 1 dan 2) jarang ditularkan melalui transfusi di Inggris, namun demikian tetap merupakan keprihatinan utama masyarakat, walaupun penyaringan semua pendonoran telah dilakukan sejak 1985. Uji gabungan untuk antibody terhadap HIV 1 dan 2 digunakan pada penyaringan donor. Uji tersebut harus bersifat pelengkap, supaya tidak mengambil darah dari mereka yang dicurigai telah berisiko terkena infeksi, sehingga menghindarkan penggunaan darah yang didonorkan pada saat stadium awal infeksi, ketika uji penyaringan laboratorium dapat memberikan hasil negatif.

d. Sifilis lebih menimbulkan persoalan teoritis daripada masalah praktisnya, dan donor tidak ditanyakan secara spesifik tentang infeksi yang terjadi sebelumnya. Penyaringan rutin pendonoran darah masih terus dijalankan, walaupun mungkin lebih berguna untuk deteksi orang-orang berisiko infeksi penyakit akibat hubungan seks (termasuk HIV) daripada untuk pencegahan penularan sifilis.

e. Agen infektif lain dapat menjadi bahaya bagi resipien tertentu, sebagai contoh, sitomegalovirus pada penderita yang terimunosupresi. Dindikasikan supaya penyaringan pendonoran secara selektif dilakukan sebelum transfusi, karena riwayat kesehatan tidak membantu dalam penyeleksian donor yang “aman”.

H. Langkah – Langkah yang Harus Diambil Untuk Menghindarkan Kesalahan Identifikasi Transfusi Darah.

1. Tes kompatibilitas dapat dilakukan untuk memprediksi dan mencegah antigen-antibodi sebagai hasil transfusi sel darah merah. Tes kompatibilitas yang dapat dilakukan antara lain Crossmatching dan Screening Anti body. Kedua pemeriksaan ini dapat memberikan informasi mengenai jenis ABO dan Rhesus. Namun kelemahan pada kedua pemeriksaan ini adalah keduanya membutuhkan waktu 5-45 menit untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Pada kenyataannya, kadang klien tidak dapat menunggu waktu karena membutuhkan darah segera demi menyelematakan nyawa dalam situasi krisis. Berdasarkan urgensi dari pemberian

(18)

transfusi darah secara cepat, tepat dan aman maka dibutuhkan pemeriksaan pre transfusi yang lebih cepat dan akurat agar nyawa klien dapat diselamatkan dan reaksi alergi yang diakibatkan oleh pemberian transfusi yang salah dapat dihindarkan.

2. Kesalahan lain yang umumnya dilakukan adalah kesalahan dalam pemberian label dan salah mengidentifikasi darah atau klien pada saat darah akan diberikan kepada klien di tempat tidurnya. Hal ini dapat terjadi karena kelalaian perawat pada saat akan memberikan transfusi darah. Sehingga tabung yang berisi sampel darah harus secara jelas diberikan label nama lengkap penderita, tanggal lahir, dan nomer indeks rumah sakit.

3. Orang yang mengambil sample darah harus memastikan bahwa penderita telah diidentifikasi secara tepat, baik dengan berbicara langsung dengan penderita atau –jika penderita tidak sadar-dengan memeriksa gelang pergelangan tangan. Yang ideal, jika tabung diberikan label setelah terisi dengan darah.

4. Tidak boleh ada penyimpangan antara informasi dalam formulir permintaan yang terdapat pada tabung.

5. Bagi penderita dengan catatan bank darah sebelumnya, maka informasi mutakhir harus identik dengan catatan yang lama.

6. Sistem manajemen transfusi darah berbasis komputer memberikan keuntungan yang besar bagi dunia keperawatan pada umumnya dan bagi klien pada khususnya. Dengan adanya sistem ini maka terjadinya kesalahan manusia (human errors) dalam melakukan transfusi dapat dicegah dan keamanan transfusi bagi klien dapat ditingkatkan dengan memastikan bahwa darah yang tepat untuk klien yang tepat. Sistem ini dapat mengurangi terjadinya kesalahan manusia dalam memberikan transfusi karena sistem ini mengurangi sejumlah prosedur manual dalam beberapa langkah dari proses transfusi. Oleh karena itu kesalahan dalam memberikan transfusi dapat dicegah sehingga efek samping yang dapat merugikan klien akibat mistransfusi dapat dihindari.

I. Persiapan Pasien

Pastikan suhu tubuh pasien dalam keadaan normal, supaya tidak terjadi lisis terhadap darah yang akan ditransfusikan.

J. Persiapan Alat

Berikut merupakan alat-alat yang harus disiapkan dalam pemberian transfusi darah: 1. Transfusi set.

(19)

3. Persediaan darah yang sesuai dengan golongan darah klien, sesuai dengan kebutuhan.

4. Sarung tangan bersih. K. Prosedur Pelaksanaan

1. Beri tahu dan jelaskan prosedur kepada klien. 2. Bawa alat ke dekat klien.

3. Cuci tangan.

4. Pakai sarung tangan bersih.

5. Buat jalur intravena, gunakan selang infus yang memiliki filter dengan tipe-Y. 6. Berikan cairan NaCl terlebih dahulu, kemudian darahnya.

7. Atur tetesan darah per menit sesuai dengan program. 8. Lepas sarung tangan dan cuci tangan.

(20)

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjelasan-penjelasan di atas, Kami dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Transfusi darah merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan pada

klien yang membutuhkan darah dan atau produk darah dengan cara memasukkan darah melalui vena dengan menggunakan set transfusi. 2. Indikasi dari transfusi darah adalah kebutuhan, untuk memberikan volume

darah yang adekuat, mencegah syok hemoragik, meningkatkan kapasitas pembawa oksigen darah, megganti trombosit atau faktor pembeku darah untukpertahankan hemostatis.

3. Pengolongan darah digolongkan berdasarkan sistem ABO, serta memperhatikan Rh-nya.

4. Komponen sel darah merah digolongkan antara lain darah lengkap, darah segar, konsentrat sel darah merah, konsentrat sel darah merah dalam larutan aditif optimal, sel darah merah yang dicuci , sel darah merah beku dan dicairkan.

5. Faktor-faktor yang memengaruhi transfusi darah yaitu golongan dan tipe darah, reaksi transfusi, usia, frekuensi pendonoran, volume pendonoran, dan penyakit menular.

6. Ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan oleh proses imun dan nonimun. Reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun terdiri dari AHTR dan DHTR, sedangkan reaksi hemolitik lain yang bukan merupakan reaksi transfusi dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik. Pemberian transfusi pada anemia hemolitik masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pada AHTR transfusi harus dihentikan segera, sedangkan pada DHTR transfusi dapat dihentikan atau diganti dengan jenis pengganti darah yang lain. Pada reaksi pseudohemolitik, tata laksana dilakukan berdasarkan penyebab. Reaksi pseudo-hemolitik ini harus dibedakan dengan reaksi hemolitik akibat transfusi. Pada saat terjadi reaksi transfusi, juga harus dipikirkan apakah

(21)

gejala dan tanda klinis yang timbul berhubungan dengan proses hemolitik atau nonhemolitik.

B. SARAN

Meningkatkan wawasan tentang komponen darah, prosedur pre transfusi dan saat pemberian transfusi darah serta efek samping yang dapat muncul akibat mistransfusi dengan cara mengkaji literature dan jurnal penelitian serta mengikuti kegiatan seminar/workshop yang terkait, mengikuti perkembangan teknologi keperawatan dan kesehatan untuk meningkatkan mutu layanan, menerima dan mengimplementasikan perkembangan teknologi yang baik pada tatanan nyata sehingga dunia keperawatan di Indonesia dapat berkembang.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Adriansyah, Rizky, dkk. 2009. Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi. [internet] http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/662/650 diakses pada 11 September 2014 pukul 05.00 WITA.

Contreras, Marcelo.1995.Petunjuk Penting Transfusi Darah.Jakarta:EGC. Perry dan Potter.2005.Fundamental Keperawatan.Jakarta:EGC.

Saputra, Lyndor.2013.Pengantar Kebutuhan Dasar Kemanusiaan.Jakarta:Binarupa Aksara Publisher.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., et. al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Referensi

Dokumen terkait

Catatan: Permintaan yang menyatakan tidak ada baris yang duplikat dalam sebuah tabel berarti tabel tersebut memiliki sebuah kunci, meskipun kunci tersebut dibuat

 Inflasi di Mamuju pada Juni 2015 terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks harga pada seluruh kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok bahan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implikasi eksistensi keberadaan minimarket waralaba terhadap pedagang toko kelontong di Kelurahan Banyuanyar dan Kelurahan

Berdasarkan pembuktian ini maka dapat disimpulkan hipotesis alternatif kedua (H2) diterima.Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan widagdo (2011) dalam hasil

analisis dilakukan secara induktif, kesimpulannya bahwa Kepala Sekolah Sebagai Supervisor pengajaran berarti Kepala Sekolah mendorong kemampuan guru membimbing siswa

TT / TET PERMINTAAN &amp; PERSIAPAN MANUVER JARINGAN UNTUK KEANDALAN SISTEM MANUVER PEMBEBASAN TEGANGAN SERAH TERIMA DARI DISPATCHER KE PENGAWAS MANUVER BUKA PMS REL ,LiINE

Pengukuran pendahuluan tingkat iluminasi di beberapa titik ukur pada bidang kerja di lantai produksi menunjukkan angka dengan rentang 34,3 lux – 195,4 lux,

Hasil pengukuran selalu mengandung dua hal, yakni: kuantitas atau nilai dan satuan . Sesuatu yang memiliki kuantitas dan satuan tersebut dinamakan besaran. Berbagai besaran