• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kadar air dalam ikan sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang. Adanya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kadar air dalam ikan sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang. Adanya"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Asin

Ikan asin merupakan salah satu bahan makanan mentah yang diawetkan menggunakan garam. Penggaraman pada dasarnya dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam ikan sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang. Adanya garam akan mengakibatkan terjadinya proses osmosa pada sel daging ikan sehingga bakteri menjadi mati (Halimahtussaddiyah, 2011).

Terdapat beberapa cara pengawetan ikan yang dilakukan di Indonesia seperti penggaraman, pengeringan, pemindangan, pengasapan, fermentasi, pembekuan, dan pengalengan. Penggaraman merupakan proses pengawetan yang paling banyak dilakukan. Pengawetan ini terdiri dari dua proses, yaitu proses penggaraman dan pengeringan. Ikan yang telah mengalami proses penggarama

n akan mempunyai daya simpan yang tinggi (Heruwati, 2002; Adawyah, 2008). Dalam skala nasional, ikan asin merupakan salah satu produk makanan yang mempunyai kedudukan penting sehingga tidak mengherankan apabila ikan asin termasuk dalam sembilan bahan pokok penting bagi kebutuhan masyarakat (Afrianto dan Liviawaty, 1989).

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), proses penggaraman ikan dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:

a. Penggaraman Kering (Dry Salting)

Penggaraman kering dapat digunakan baik untuk ikan yang berukuran besar maupun kecil. Penggaraman ini menggunakan garam berbentuk kristal. Ikan yang akan diolah ditaburi garam lalu disusun selapis demi selapis. Selanjutnya

(2)

lapisan garam akan menyerap keluar cairan di dalam tubuh ikan, sehingga kristal garam berubah menjadi larutan garam yang dapat merendam seluruh lapisan ikan. b. Penggaraman Basah (Wet Salting)

Proses penggaraman dengan sistem ini menggunakan larutan garam sebagai media untuk merendam ikan. Larutan garam akan mengisap cairan tubuh ikan dan garam akan segera masuk ke dalam tubuh ikan.

c. Penggaraman Campuran (Kench Salting)

Penggaraman Kench pada dasarnya hampir sama dengan penggaraman kering, tetapi tidak menggunakan bak. Ikan dicampur dengan kristal garam seperti pada penggaraman kering dengan menggunakan keranjang. Larutan garam yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang sehingga memerlukan lebih banyak garam.

d. Penggaraman diikuti Proses Perebusan

Dalam hal ini, ikan mengalami proses penggaraman yang diikuti dengan perebusan. Proses pembusukan ikan dicegah dengan cara merebusnya dalam larutan garam jenuh.

2.2 Ikan Teri dan Ikan Kepala Batu 2.2.1 Ikan Teri

Ikan Teri adalah sekelompok ikan-ikan kecil yang termasuk marga Stolephorus (Evy, dkk., 2001). Ikan dari marga Stolephorus ini dikenal dengan nama teri di Jawa, bilis di Sumatra dan Kalimantan serta puri di Ambon. Teri umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan dan berukuran kecil sekitar 6-17,5 cm. Sepanjang tubuhnya terdapat garis putih keperak-perakan memanjang

(3)

dari kepala hingga ke ekor. Ikan ini hidup di daerah pantai atau dekat muara dan hidup bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu. (Nontji, 1993).

Teri ditangkap dalam jumlah banyak dan dijual dalam keadaan segar atau setelah dijadikan ikan asin. Teri digemari orang karena harganya murah dan terjangkau oleh daya beli rakyat kecil. Walaupun ukurannya kecil, berdasarkan hasil pemeriksaan ahli gizi ikan teri kering mengandung kalori, protein dan lemak yang lebih banyak daripada ikan kakap (Evy, dkk., 2001).

2.2.2 Ikan Kepala Batu

Pada tahun 1993, Kottelat, dkk. menjelaskan bahwa Ikan Kepala Batu merupakan ikan yang habitatnya di perairan pantai hingga ke laut dangkal atau sungai. Ikan ini memiliki bentuk tubuh memanjang dan seluruh bagian tubuhnya tertutup sisik kecuali ujung kepala. Ikan ini menjadikan ikan-ikan kecil dan udang sebagai makanannya (Uly, 2011).

Pada tahun 1998, Muchlisyam menjelaskan bahwa Ikan Kepala Batu umumnya dikonsumsi bukan dalam bentuk segar tetapi dalam bentuk yang telah diasinkan secara tradisional dengan proses yang sangat sederhana. Hal ini disebabkan bahwa ikan segarnya tidak mempunyai nilai ekonomis yang baik, sedangkan proses penangkapannya tidak sukar, sehingga dilakukan pengolahan sebagai ikan asin maka nilai ekonomisnya akan bertambah (Nauli, 2004).

2.3. Persiapan dan Cara Pengolahan Ikan Asin

Menurut Adawyah (2008), cara pengolahan ikan asin dengan metode penggaraman kering secara garis besar sebagai berikut:

(4)

a. Persiapan

Pertama-tama ikan disortir berdasarkan jenis, ukuran, dan kesegarannya, untuk menyeragamkan proses penetrasi pada saat penggaraman berlangsung. Kemudian sediakan garam sebanyak 10-35 % dari berat total ikan (tergantung tingkat keasinan yang diinginkan) dan siapkan bak kedap air beserta penutup bak dilengkapi pemberat untuk membantu mempercepat penetrasi garam dan pengeluaran cairan dari dalam tubuh ikan serta pisau, talenan, dan timbangan untuk menimbang ikan dan garam yang akan digunakan.

b. Penanganan atau Penyiangan Ikan

Ikan yang diolah, dicuci dari kotoran yang melekat pada tubuh bagian luar (kulit, sisik, maupun sirip), lalu dilakukan penyiangan tergantung besar kecil ikan. Ikan yang berukuran kecil (seperti teri) langsung dicuci dan ditiriskan, ikan yang berukuran sedang (seperti kembung dan gurami), insang dan isi perutnya dibuang, dan ikan yang berukuran besar (seperti kakap, tenggiri, tongkol) dilakukan pembelahan dari arah punggung kearah perut sehingga perut menjadi satu lembar, selanjutnya dicuci bersih dan ditiriskan.

c. Penggaraman

Selesai ditiriskan, ikan dapat langsung digarami sesuai dengan ukurannya. Ikan kecil digarami dengan cara mengaduk ikan dan garam secara bersama-sama sampai tercampur rata kemudian didiamkan hingga tiba saat penjemuran sedangkan ikan sedang ikan besar digarami dengan cara melumuri ikan dengan garam lalu disusun berlapis-lapis di bak penggaraman dan dibiarkan selama 24 jam atau lebih. Setelah penggaraman selesai, ikan diangkat dari bak dan dicuci bersih untuk menghilangkan lendir dan sisa-sisa darah serta sisa-sisa garam,

(5)

kemudian ikan ditiriskan sebentar. Ikan kemudian dijemur di tempat pengeringan yang disediakan, disusun dengan bagian kulit menghadap ke atas dan sesekali ikan dibalik-balik untuk mempercepat proses pengeringan. Apabila panas cukup, penjemuran memerlukan waktu kurang lebih 2 hari atau lebih.

2.4 Pencemaran Logam Berat pada Ikan Asin

Pencemaran adalah kondisi yang telah berubah dari bentuk asal menjadi keadaan yang lebih buruk akibat masuknya bahan-bahan pencemar atau polutan. Bahan polutan tersebut pada umumnya mempunyai sifat racun (toksik) yang berbahaya bagi organisme hidup. Toksisitas atau daya racun dari polutan dapat menjadi pemicu terjadinya pencemaran (Palar, 2008).

Pencemaran logam berat dapat terjadi pada daerah lingkungan yang bermacam-macam dan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu udara, tanah dan air. Keberadaan logam-logam dalam badan perairan dapat berasal dari sumber-sumber alamiah dan dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Sumber-sumber-sumber logam alamiah yang masuk kedalam badan perairan bisa berupa pengikisan dari batu mineral yang banyak di sekitar perairan. Di samping itu, partikel-partikel logam yang ada di udara, dikarenakan oleh hujan, juga dapat menjadi sumber logam di badan perairan. Logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu dapat berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan (Widowati, dkk., 2008).

Pada tahun 2000, Urip menjelaskan bahwa pada proses pembuatan ikan asin kemungkinan pencemaran logam berat pada ikan asin terjadi di tempat pengolahan ikan. Pencemaran ini dapat melalui tiga jalur, yaitu: pertama, ikan segar yang berasal dari laut yang tercemar oleh logam Cd dan Pb. Logam-logam

(6)

ini berasal dari industri yang melakukan pembuangan limbah B3 yang belum diolah dengan baik, yang mengakibatkan badan sungai yang airnya mengalir ke laut mengandung kedua logam tersebut. Kedua, air yang digunakan pada proses pengolahan ikan asin, kemungkinan terjadi perembesan air sungai yang telah tercemar dengan logam berat sehingga air yang dipakai juga mengandung logam berat. Ketiga, garam yang digunakan untuk pengasinan ikan telah tercemar oleh kedua logam tersebut (Nauli, 2004).

2.5 Logam Berat

Logam berat adalah logam yang mempunyai berat 5 gram atau lebih untuk setiap cm3 dan bobotnya lima kali dari berat air (Darmono, 1995). Logam berat memiliki kriteria yang sama dengan logam lainnya, perbedaannya hanya terletak dari pengaruh yang dihasilkan apabila logam tersebut berikatan atau masuk ke dalam tubuh organisme makhluk hidup. Logam berat bila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah berlebihan akan menimbulkan pengaruh-pengaruh buruk terhadap fungsi fisiologis tubuh (Palar, 2008).

Menurut Widowati, dkk. (2008), logam berat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu logam berat esensial dan logam berat tidak esensial. Logam berat esensial adalah logam dalam jumlah tertentu yang sangat dibutuhkan oleh organisme dan dalam jumlah yang berlebihan logam tersebut akan menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya. Logam berat tidak esensial adalah logam yang berada dalam tubuh yang belum diketahui manfaatnya dan bersifat toksik, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.

(7)

Efek toksik dari logam ini mampu menghambat kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen atau karsinogen bagi manusia maupun hewan (Widowati, dkk., 2008).

2.5.1 Kadmium

Kadmium adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadmium oksida bila dipanaskan. Kadmium memiliki nomor atom 48, berat atom 112,4 g/mol; titik leleh 3210C dan titik didih 7670C (Widowati, dkk., 2008).

Kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Waktu paruh kadmium 10-30 tahun. Akumulasi pada ginjal dan hati 10-100 kali konsentrasi pada jaringan yang lain. Salah satu efek utama dari keracunan kadmium adalah tulang lemah dan rapuh. Umumnya terjadi rasa nyeri pada persendian dan kaki kemudian berkembang menjadi berjalan terhuyung-huyung karena cacat tulang yang disebabkan oleh keracunan kadmium tersebut. Rasa nyeri ini akhirnya melemahkan tubuh dan patah tulang karena tulang rapuh (Widaningrum, dkk., 2007; Suyono, 2013).

Gejala akut keracunan kadmium ditandai sesak dada, kerongkongan kering dan dada terasa sesak, nafas pendek, nafas terengah-engah, distress dan bisa berkembang ke arah penyakit radang paru-paru, sakit kepala dan menggigil, bahkan dapat diikuti dengan kematian. Gejala kronis keracunan kadmium ditandai nafas pendek, kemampuan mencium bau menurun, berat badan menurun, gigi terasa ngilu dan berwarna kuning keemasan (Widaningrum, dkk., 2007).

(8)

2.5.2 Timbal

Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan timah hitam dan dalam bahasa ilmiah dinamakan plumbum adalah logam berat yang secara alami terdapat di dalam kerak bumi. Logam ini termasuk ke dalam logam-logam golongan IV-A pada tabel periodik unsur kimia dan mempunyai nomor atom 82 dengan berat atom 207,2. Timbal adalah suatu logam berat berwarna abu-abu kebiruan dengan titik lebur 327,5 ºC (Widowati, dkk., 2008; Palar, 2008).

Menurut Rahde (1994), timbal (Pb) adalah logam yang mendapat perhatian karena bersifat toksik melalui konsumsi makanan, minuman, udara, air, serta debu yang tercemar Pb (Widowati, dkk., 2008). Senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh, sedangkan Pb yang terhirup pada saat bernafas akan masuk ke dalam pembuluh paru-paru. Logam tersebut akan terserap dan berikatan dengan darah paru-paru untuk kemudian diedarkan ke seluruh jaringan dan organ tubuh (Palar, 2008).

Toksisitas Pb bersifat kronis dan akut. Paparan Pb secara kronis bisa mengakibatkan kelelahan, kelesuan, gangguan gastrointestinal, infertilitas pada laki-laki, gangguan menstruasi serta aborsi spontan pada wanita, depresi, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, daya ingat terganggu, dan sulit tidur. Toksisitas akut bisa terjadi jika Pb masuk ke dalam tubuh seseorang melalui makanan atau menghirup gas Pb dalam waktu yang relatif pendek dengan dosis atau kadar yang relatif tinggi. Gejala dan tanda-tanda klinis akibat paparan secara akut bisa menimbulkan beberapa gejala seperti mual, muntah-muntah, sakit perut yang

(9)

hebat, sakit kepala, sering pingsan, gangguan fungsi ginjal, dan gagal ginjal akut yang bisa berkembang dengan cepat (Widowati., dkk., 2008).

2.6 Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang berdasarkan pada proses penyerapan energi radiasi atom-atom yang berada pada tingkat energi dasar (ground state) pada panjang gelombang tertentu tergantung jenis unsur yang dianalisis (Arifin, 2008).

Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu. Sebagai contoh, kadmium menyerap cahaya pada 228,8 nm, timbal pada 283,3 nm dan natrium pada 358,5 nm Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Dengan menyerap suatu energi, maka atom akan memperoleh energi sehingga suatu atom pada keadaan dasar dapat dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi (Khopkar, 1985). Misalkan, suatu unsur natrium mempunyai konfigurasi electron 1s2, 2s2, 2p6, dan 3s1. Tingkat dasar untuk elektron valensi 3s1 ini dapat mengalami eksitasi ke tingkat 3p dengan energi 2,2 eV atau ke tingkat 4p dengan energi 3,6 eV (Khopkar, 1985; Gandjar dan Rohman, 2009).

Spektrofotometer Serapan Atom merupakan alat yang canggih dalam analisis, disebabkan oleh kecepatannya, ketelitiannya sampai tingkat runut, dan tidak memerlukan pemisahan unsur sebelum pengukuran karena penentuan satu unsur dengan kehadiran unsur lain dapat dilakukan asalkan katoda berongga yang

(10)

diperlukan tersedia. Alat ini dapat digunakan untuk menganalisis 61 logam dan dua non-logam yaitu fosfor dan boron (Khopkar, 1985).

2.7 Instrumentasi Spektrofotometri Serapan Atom

Menurut Gandjar dan Rohman (2009), Instrumentasi Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) terdiri dari sumber sinar, tempat sampel, monokromator, detektor, sistem pengolah (amplifier), dan pencatat hasil (readout).

Sumber sinar yang digunakan adalah lampu katoda berongga (hallow cathode lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr) (Rohman, 2007).

Dalam analisis dengan Spektrofotometer Serapan Atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral. Ada berbagai macam sumber atomisasi yang digunakan untuk mengubah sampel menjadi uap atom-atomnya, yaitu dengan nyala (flame) dan tanpa nyala (flameless). Nyala (flame) digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan menjadi bentuk uap atom dan untuk proses atomisasi. Pada sumber nyala ini asetilen sebagai bahan pembakar, sedangkan udara sebagai bahan pengoksidasi. Sedangkan tanpa nyala (flameless) dilakukan dalam tungku dari grafit.

Monokromator berfungsi untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Di dalam monokromator, terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan panjang gelombang yang disebut chopper. Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman.

(11)

Sistem pengolah (amplifier) merupakan suatu alat untuk memperkuat signal yang diterima dari detektor sehingga dapat dibaca alat pencatat hasil (readout) yang merupakan suatu sistem pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva.

Sistem peralatan Spektrofotometri Serapan Atom dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Harris, 2007)

2.8 Gangguan-Gangguan pada Spektrofotometer Serapan Atom

Gangguan-gangguan (interference) yang ada pada Spektrofotometri Serapan Atom adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2009).

Menurut Gandjar dan Rohman (2009), gangguan-gangguan yang dapat terjadi dalam spektrofotometri serapan atom adalah gangguan yang berasal dari matriks sampel yang dapat mempengaruhi banyaknya sampel yang mencapai

(12)

nyala, gangguan kimia yang dapat mempengaruhi jumlah atau banyaknya atom di dalam nyala, gangguan oleh absorbansi yang disebabkan oleh bukan dari absorbansi atom yang dianalisis, melainkan absorbansi oleh molekul-molekul yang tidak terdisosiasi di dalam nyala dan gangguan oleh penyerapan non-atomik.

2.9 Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Tindakan ini dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan akan kisaran analit yang akan dianalisis (Harmita, 2004).

2.9.1 Kecermatan (accuracy)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Untuk mencapai kecermatan yang tinggi, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) dan metode penambahan baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke dalam campuran bahan sediaan farmasi lalu dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Sedangkan, dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang

(13)

diperiksa ditambahkan ke dalam sampel, dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang diharapkan) (Harmita, 2004).

Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004).

2.9.2 Keseksamaan (precision)

Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau koefisien variasi yang merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang homogen. Nilai simpangan baku relatif yang memenuhi persyaratan menunjukan adanya keseksamaan metode yang dilakukan (Harmita, 2004).

Nilai simpangan baku relatif (RSD) untuk analit dengan kadar part per million (ppm) adalah tidak lebih dari 16% dan untuk analit dengan kadar part per billion (ppb) RSDnya adalah tidak lebih dari 32% (Harmita, 2004).

2.9.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi adalah jumlah analit terkecil dalam sampel yang dapat dideteksi. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis dan diartikan sebagai kuantitas analit terkecil dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).

Gambar

Gambar 1. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Harris, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengukuran penentuan kurva kalibrasi dalam sampel ikan Nila pada berbagai konsentrasi dengan menggunakan metode spektrofotometri serapan atom dapat dilihat pada

Spektrofotometri serapan atom (SSA) adalah suatu metode analisis untuk menentukan konsentrasi suatu unsur dalam suatu cuplikan yang didasarkan pada proses penyerapan radiasi

Pada metode spektrofotometri serapan atom, analisa suatu unsur logam pada sampel haruslah dalam bentuk larutan, yang didapatkan dengan cara dekstruksi,

Hasil pengukuran penentuan kurva kalibrasi dalam sampel ikan Nila pada berbagai konsentrasi dengan menggunakan metode spektrofotometri serapan atom dapat dilihat pada

Metode penelitian ini dengan analisis logam Fe dengan Spektrofotometer Serapan Atom dilakukan melalui proses penyerapan energy radiasi oleh atom-atom yang

Spektrofotometri serapan atom (AAS) adalah suatu metode analisis yang Spektrofotometri serapan atom (AAS) adalah suatu metode analisis yang didasarkan pada proses

Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) adalah suatu metode analisis yang didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada pada tingkat

Proses yang terjadi ketika dilakukan analisis dengan menggunakan spektrofotometri serapan atom dengan cara absorbsi yaitu penyerapan energi radiasi oleh atom-atom