• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENUNTUTAN KORPORASI OLEH JAKSA PENUNTUT SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Menurut Hukum Acara Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENUNTUTAN KORPORASI OLEH JAKSA PENUNTUT SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Menurut Hukum Acara Pidana"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENUNTUTAN KORPORASI OLEH JAKSA PENUNTUT SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia

Istilah kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerjaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhiyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.64

. . . Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini memerintahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dari Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshoft (Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten Residen.65

Pada prakteknya fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada penjajahan Belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:66

64

Kejaksasaan Agung Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, http://kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3 diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 9.12 wib.

65

Ibid.

66

(2)

a. Mempertahankan segala peraturan negara b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana

c. Melaksanakan putusan pengadilan yang berwenang

Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).67

Perananan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi Kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooi (Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk: 1) mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran, 2) menuntut perkara, 3) menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, 4) mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.68

Begitu Indonesia merdeka, keempat fungsi tersebut tetap dipertahankan dalam negara Republik Indonesia, hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945mengamanatkan bahwa sebelum Negera Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan yang ada masih tetap

67

Ibid.

68

(3)

berlaku. Karena itulah secara yuridis formal, Kejaksaan RI telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Didalam KUHAP, wewenang penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan berada di tangan lembaga kepolisian. Sedangkan penuntutan berada ditangan lembaga kejaksaan . Pemisahan lembaga kepolisian sebagai lembaga penyidik dan lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum adalah mencerminkan adanya sistem pengawasan dengan alasan demi kepentingan hak-hak tersangka/terdakwa.69

Jaksa70 adalah sebutan bagi institusi dalam sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen. Dalam teori hukum, baik dalam tradisi Anglo Saxon atau Eropa Kontinental, jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Hal ini disebabkan jaksa adalah pihak yang berperan penting dalam membuat dakwaan atau tuntutan yang merupakan ruang lingkup pemeriksaan dalam persidangan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung.

Peranan aparat Kejaksaan sebagai lembaga supra struktur hukum di negara-negara berkembang nampaknya masih menunjukkan suatu arah pertumbuhan yang lebih dewasa. Hal tersebut terutama disebabkan oleh adanya perubahan dan nilai-nilai ketertiban hukum yang terjadi di dalam masyarakatnya.

Kejaksaan mempunyai tugas, fungsi dan wewenang dalam bidang pidana, perdata dan tata usaha negara serta dalam bidang ketertiban dan ketentraman

69

Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,

Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi: Jakarta,

2008, hal 8

70

(4)

umum. Disamping itu Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang dan peraturan lainnya. Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, antara lain:

a. Melakukan penuntutan ;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pegadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa:

(5)

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Kewenangan Jaksa Penuntut Umum diatur dalam Bab IV KUHAP Pasal 14 yaitu:

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

3. Melakukan penahanan, memberikan perpanjangan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah stastus tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

4. Membuat surat dakwaan;

5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan-ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

(6)

7. Melakukan penuntutan;

8. Menutup perkara demi kepentingan umum;

9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

10. Melaksanakan penetapan hakim.

Dari perincian wewenang tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Jaksa/Penuntut Umum di Indonesia tidak mempunyai wewenang menyidik perkara dalam tindak pidana umum, misalnya pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya dari permulaan ataupun lanjutan. Ini berarti Jaksa atau Penuntut Umum di Indonesia tidak dapat melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap tersangka atau terdakwa. Ketentuan Pasal 14 ini disebut sistem tertutup, artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat, khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknik yuridisnya. Kekecualiannya adalah Jaksa atau Penuntut Umum dapat menyidik perkara dalam tindak pidana khusus, misalnya tindak pidana subversi, korupsi, dan lain sebagainya.

B. Kewenangan Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyebutkan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

(7)

Selain itu Pasal 30 ayat (1) huruf a memberikan tugas dan wewenang kepada Kejaksaan untuk melakukan penuntutan di bidang pidana, termasuk tentunya kewenangan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tumpang tindih kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi muncul setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kewenangan Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi berada dalam dua lembaga yaitu, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tumpang tindih kewenangan antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana tentang siapa yang berwenang melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimulai dengan rumusan Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,71 yang merumuskan: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.72

Secara gramatikal arti kalimat “berdasarkan hukum acara yang berlaku” tentunya merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut juga berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus

71

Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana

Korupsi Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana,

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:VGUKRIokIDsJ:online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/200/177+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=id diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 10.30 wib, hal 3

72

Sama dengan rumusan Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

(8)

dilakukan penyidikan berdasarkan Pasal 106 s.d Pasal 136 KUHAP oleh penyidik menurut Pasal 1 angka 1 s.d angka 5, yaitu polisi. Sedangkan penuntutan tindak pidana dilakukan menurut Pasal 137 s.d Pasal 144 KUHAP oleh Penuntut Umum, yaitu jaksa. Ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sangat baik dan benar, justru dikaburkan kembali oleh Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dimana untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya, akan dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.

Selain Kejaksaan, KPK juga memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan Pasal 6 huruf c Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu KPK mempunyai tugas melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Rumusan pasal ini jelas bahwa KPK juga berwenang melakukan tindakan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Undang-undang KPK memberikan batasan terhadap tindak pidana korupsi mana saja yang dapat ditangani oleh KPK. Sebagaimana yag ditegaskan dalam Pasal 11 Undang-Undang KPK bahwa dalam melaksanakan tugasnya, KPK berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi:

(1) Yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

(2) Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat;

(9)

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK apabila suatu tindak pidana korupsi masuk dalam rumusan pasal tersebut, maka KPK yang berwenang melakukan tindakan penuntutan. Namun, dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia yang nilai kerugian negara ditafsirkan di atas satu milyar serta melibatkan penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah, penuntutan perkara korupsi tersebut malah ditangani oleh Kejaksaan, bukan KPK.73

Tabel 2. Perbedaan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia

No KPK Kejaksaan

1. Bahwa sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi.Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya bersifat

independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.KPK

dibentuk dengan tujuan

meningkatkan daya guna dan hasil

guna terhadap upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kejaksaan adalah lembaga

pemerintahan yang

melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang berdasarkan undang-undang.

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini utuk melakukan penuntutan dan melaksanakan pentepan hakim.74

73

Rangga Trianggara Paonganan, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan

Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lex Crimen Vol. II,

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/997/810 diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 14.12 WIB.

74

(10)

No KPK Kejaksaan 2. Komisi Pemberantasan Korupsi

mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemeberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan

tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggara pemerintahan negara. KPK berwenang: a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem

pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan

pemberntasan tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi

terkait mengenai

pencegahan tindak pidana korupsi.

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan

hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana

pengawasan, dan

keputusan lepas

bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan

untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan

tambahan sebelum

dilimpahkan ke

pengadilan yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan dengan penyidik.

(11)

No KPK Kejaksaan 3. Pasal 11 Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang KPK, memberi

kewenangan kepada KPK

mengatasi perkara tindak pidana korupsi yang sebagai berikut:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Tidak diatur secara limitatif di

dalam undang-undang

sebagaimana halnya dalam Undnag-undang Nomor 30 Tahun 2002

4. KPK dalam melaksanakan

wewenangnya, berwenang untuk mengambil alih penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh pihak Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002:

“Dalam melaksanankan wewanag sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap palaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan”

Sementara Kejaksaan, Undang-undang hanya memberikan kewenangan untuk menjalin kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

(12)

No KPK Kejaksaan 5. Pasal 40 Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002, KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Penghentian Penuntutan Perkara

6. Berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi hanya dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.75

Perkara Tindak Pidana Korupsi yang proses penuntutannya dilakukan oleh Kejaksan hanya dilakukan di Pengadilan Umum.76

Meskipun ada dua lembaga yang memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Diperlukan singkronisasi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Singkronisasi yang bersifat vertikal merupakan langkah awal untuk menangani perkara tindak pidana korupsi,karena dimulai dari tingkat penyidikan, penuntutan sampai pelaksanaan putusan hakim. Masing-masing kedua lembaga tersebut harus mempunyai pandangan yang sama dalam menetapkan pasal.

C. Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi

Setiap perbuatan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila telah melanggar ketentuan perundang-undangan atau dalam hukum pidana Indonesia disebut dengan “perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid”. Artinya,

75

Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,

Op.Cit, hal 45.

76

(13)

bahwa ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidana si pelaku harus tahu bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum pidana.77

Perbuatan melawan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu perbuatan melawan hukum materil dan perbuatan melawan hukum formil. Menurut Pompe, dari istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum (wederrechtelijk) jadi bertentangan dengan hukum, bukan bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian Pompe memandang “melawan hukum” sebagai yang dimaksud dengan melawan hukum materiil. Ia melihat kata on rechtmatig (bertentangan dengan hukum) sinonim dengan wederhechtelijk (melawan hukum).78 Sedangkan melawan hukum formil diartikan bertentangan dengan undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum formil.

Sifat melawan hukum materiil dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu,79 sifat melawan hukum materil dalam arti negatif artinya hakim dapat membebaskan seseorang meskipun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur (delik) pidana tetapi secara materil perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan kepatutan yang terjadi dalam masyarakat. Selanjutnya, sifat melawan hukum dalam arti positif yaitu hakim menghukum seseorang meskipun orang itu tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tetapi perbuatan itu sangat tercela dalam kehidupan masyarakat karena telah melanggar asas kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.

77

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama: Jakarta, 2003, hal 71.

78

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta: Jakarta, 2008, hal 133.

79 Syarifuddin Kalo, Pada saat kuliah umum, Mata Kuliah Kapita Selekta Pada Tanggal

(14)

Melawan hukum materiil harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya kalau tidak ada melawan hukum (materiil) maka merupakan dasar pembenar. Dalam penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya yang bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Sedikit sekali tindak pidana korupsi yang mencantumkan unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, ialah Pasal 2, Pasal 12e, Pasal 23 jo Pasal 429 KUHP, Pasal 23 jo Pasal 430 KUHP. Jadi hanya ada 4 pasal tindak pidana korupsi yang tegas mencantumkan unsur melawan hukum. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “secara melawan hukum” yang dimaksud dalam pasal ini adalah perbuatan melawan hukum formil dan perbuatan melawan hukum materiil.

Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 bahwa “pengertian melawan hukum secara materiil” yang diterapkan secara positif berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “tidak mengikat” karena maksudnya bertetangan dengan asas legalitas. Oleh karena itu, penerapan sifat melawan hukum materiil secara

(15)

negatif, artinya menjadi salah satu dasar peniadaan pidana di luar undang-undang yang dikenal dalam doktrin hukum pidana dan yurisprudensi.

Selain adanya “perbuatan melawan hukum” suatu perbuatan dapat dituntut apabila ada “kesalahan” yang menyertai suatu perbuatan itu. Dalam pengertian hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur kesalahan dalam arti luas, yaitu:80 1) dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat; 2) adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan , yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa); 3) Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Dari yang tersebut pada butir 3 dapat dilihat kaitan antara kesalahan dan melawan hukum. Tetapi seperti dikatakan oleh Vos, mungkin ada melawan hukum tanpa adanya kesalahan. Melawan hukum adalah perbuatan yang abnormal secara objektif. Kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti bukan perbuatan abnormal. Untuk hal ini tidak lagi diperlukan jawaban siapa pembuatnya. Kalau perbuatannya sendiri tidak melawan hukum berarti pembuatnya tidak bersalah. Kesalahan adalah unsur subjektif, yaitu untuk untuk pembuat tertentu. Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.81

Dalam delik korupsi sangat sulit membuktikan “kesalahan” suatu korporasi, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Hal ini disebabkan karena subjek hukum dalam tindak pidana korupsi tidak selaras dengan subjek hukum dalam KUHP. Sehingga Jaksa Penuntut Umum kesulitan mendapat teori-teori/doktrin

80

Andi Hamzah, Asas-asas...., Op.Cit., hal 130

81

(16)

dan dasar hukum tentang “kesalahan” orang perorang yang pada umumnya para ahli pidana sepakat bahwa hanya orang yang dapat memiliki unsur “kesalahan”. Kekeliruan JPU dalam membuktikan perbuatan sebagai kesalahan individu (naturlijk persoon) dalam tindak pidana korporasi dapat mengakibatkan terdakwa diputus bebas (vrijspraak) oleh pengadilan.82

Di Belanda83 ditetapkan korporasi dalam hukum pidana dapat melakukan tindak pidana, oleh karena itu dapat dituntut dan dijatuhi hukuman, melalui tiga tahap tentang diakuinya badan hukum sebagai subjek hukum pidana:

a. Pertama, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan badan hukum dibatasi pada perorangan (naturlijk persoon), sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan badan hukum maka suatu tindak pidana dianggap dilakukan oleh pengurus badan hukum tersebut. Dalam tahap ini berlaku asas “universitas delinguere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan suatu tindak pidana. b. Kedua, tahap ini bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh badan

hukum, tetapi tanggung jawab telah dibebankan kepada pengurus atau badan hukum tersebut. Perumusan khusus untuk badan hukum tersebut yakni apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan hukum pidana dan hukum pidana harus dijatuhkan kepada pengurus. Jadi dalam hal ini orang seolah-olah badan hukum dapat melakukan tindak pidana tetapi secara riel yang melakukan perbuatan adalah manusia sebagai wakil-wakilnya.

c. Ketiga, tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung badan hukum, secara kumulatif badan hukum dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana di samping mereka sebagai pemberi perintah atau pemberi pimpinan yang nyata telah berperan pada tindak pidana itu.

Dalam Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan pemidanaan dapat diberikan kepada:

82

Eddy Rifai, op.cit., hal 7

(17)

a. Korporasi; dan atau b. Pengurusnya

Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang: yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.84

Dalam menafsirkan “orang-orang berdasarkan hubungan kerja”, dapat ditarik dari pengertian korporasi itu sendiri. Pada dasarnya korporasi diartikan sebagai kumpulan orang-orang atau kekayaan yang mengikatkan diri untuk tujuan tertentu. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui suatu korporasi dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan, dan dalam rangka mencapai tujuannya itu tentunya orang-orang yang mengikatkan diri dalam korporasi tersebut akan melakukan berbagai kegiatan atau perbuatan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya masing-masing.85

Sutan Remy Sjahdeni mengartikan yang dimaksud dengan “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai pengurus atau pegawai,yaitu:86

a. Berdasakan anggaran dasar dan perubahannya;

b. Berdasarkan kepangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan koporasi;

84

Marwan Efendy, op.cit., hal 92.

85

Rony Saputra, op.cit., hal 15.

86

Sutan Remi Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafitipers: Jakarta, 2006, hal 151.

(18)

c. Berdasarkan surat pengangkatan sebagai pegawai; d. Berdasarkan perjanjian kerja sebagai pegawai;

Yang dimaksud dengan “orang-orang berdasarkan hubungan lain”87

adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi, antara lain mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama korporasi berdasarkan: 1) Pemberian kuasa; 2) Perjanjian dengan pemberi kuasa (pemberi kuasa bukan diberikan dengan surat kuasa tersendiri tetapi dicantumkan dalam perjanjian sehingga merupakan bagian yang tidak terpidahkan dari perjanjian tersebut); 3) Pendelegasian wewenang.

Jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh suatu korporasi maka tuntutan pidananya diwakili oleh pengurus korporasi, yaitu organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan, sesuai anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Tahap-tahap penuntutan korporasi sebagai subjek hukum pidana tindak korupsi adalah sebagai berikut:

a. Pra Penuntutan

Pra penuntutan adalah tindakan penuntut umum meneliti/mempelajari berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik guna menentukan apakah persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi atau belum oleh hasil penyidikan tersebut. Tenggang waktu prapenuntutan

87

(19)

sebenarnya paling lama 28 hari tetapi dalam prakteknya sangat bervariasi, dan inilah termasuk salah satu kelemahan KUHAP.88 Bilamana Jaksa Penuntut Umum setelah mempelajari berkas perkara dan dari hasil pemeriksaan ternyata berkas sudah lengkap, maka penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dan meminta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan kepadanya. Sebaliknya bila dalam penelitian itu ternyata hasil penyidikan belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan tersebut.

Kelengkapan hasil penyidikan sangat menentukan keberhasilan penuntutan, oleh karena itu penuntut umum harus benar-benar teliti dan jeli dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara yang bersangkutan.89Apabila penuntut umum kurang cermat dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara, maka berkas perkara yang kurang lengkap yang lolos dari penelitian merupakan “cacat” yang akan terbawa ketahap penuntutan. Dengan sendirinya hal itu merupakan kelemahan pula dalam melakukan penuntutan perkara yang bersangkutan.

Apabila penuntut umum telah menyatakan bahwa hasil penyidikan telah lengkap, kemudian ternyata bahwa masih ada hal-hal lain yang belum lengkap, maka kekurangan tersebut tidak dapat dilengkapi lagi. Karena apabila penuntut umum telah menyatakan lengkap, atau dalam batas waktu 14 hari tidak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, maka penyidikan dianggap selesai.

88

Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta, 1995, hal 6

89

(20)

Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014, hal yang perlu diperhatikan oleh penuntut umum untuk meneliti kelengkapan berkas perkara dimana korporasi didudukkan sebagai tersangka, antara lain:90

1) Akta pendirian korporasi 2) Akta perubahan korporasi

3) Surat keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai pengesahan Akta pendirian/Perubahan Korporasi;

4) Bentuk korporasi

5) Hubungan korporasi dan pengurus yang mewakili korporasi; 6) Surat kuasa korporasi kepada yang mewakili;

7) Surat, dokumen, pembukuan dan barang bukti yang terkait dengan tindak pidana yang disangkakan;

8) Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana serta keuntungan yang diperoleh Korporasi;

9) Data keuangan dan perpajakan baik Korporasi maupun Pengurus Korporasi

10) Keterangan ahli apabila diperlukan; dan

11) Hal-hal lain yang berhubungan dengan perkara.

b. Surat Dakwaan

Surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil

90

Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi

(21)

pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.91

Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg92, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.

Demi keabsahannya maka surat dakwaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya sehingga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Syarat formil

Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan syarat surat dakwaan sebagai berikut:

“Surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi: (1) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

(2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Syarat surat dakwaan tersebut hanya dapat dipenuhi oleh subjek hukum naturlijk persoon sehingga dalam perkembangannya saat ini hukum pidana yang telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana telah mengatur syarat surat dakwaan apabila terdakwanya adalah korporasi. Dalam Surat Edaran Jaksa

91

Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan

Praktek, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2002, hal 73.

92

(22)

Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014, penyusunan surat dakwaan terhadap korporasi adalah sebagai berikut:

1) Surat dakwaan terhadap korporasi mencantumkan identitas korporasi yaitu:

a. Nama Korporasi

b. Nomor dan tanggal Akta Pendirian Korporasi berserta perubahannya;

c. Nomor dan tanggal Akta Korporasi pada saat peristiwa pidana; d. Tempat kedudukan

e. Kebangsaan korporasi f. Bidang usaha

g. Nomor pokok wajib pajak; dan

h. Identitas yang mewakili korporasi sesuai pasal 143 ayat (2) huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

2) Dalam hal tersangka korporasi bukan merupakan badan hukum, maka identitas disesuaikan dengan bentuk korporasinya.

3) Surat dakwaan terhadap korporasi, Pengurus korporasi, Korporasi dan Pengurus Korporasi disusun sesuai ketentuan yang berlaku.

Sehubungan dengan hal itu dalam surat edaran Jaksa Agung Nomor B-036/A/Ft.1/06/2009 juga mengatur hal yang sama berkaitan dengan identitas korporasi dalam surat dakwaan. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: B-036/A/Ft.1/06/2009 menyatakan dalam pembuatan Surat Dakwaan dimana terdakwa/tersangkanya adalah korporasi harus memuat sekurang-kurangnya:

(23)

(1) Nama korporasi;

(2) Nomor dan tanggal akta korporasi yang meliputi: a. Nomor dan tanggal akta pendirian perusahaan

b. Nomor dan tanggal akta perusahaan pada saat peristiwa pidana c. Nomor dan tanggal akta perusahaan perubahan terakhir

(3) Kedudukan/status pendirian; (4) Bidang usaha.

Bilamana syarat-syarat surat dakwaan (syarat formil) tidak dipenuhi, maka surat dakwaan dapat dibatalkan.

2) Syarat materil

Syarat materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 (2) b KUHAP. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.93 Sebenarnya pembuat undang-undangharus menjelaskan dalam penjelasan resmi pasalnya, apa yang dimaksud uraian secara cermat, jelas dan lengkap agar tidak menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda.

Dalam Pasal 143 ayat (2) ini menjadi bumerang bagi jaksa penuntut umum karena tidak adanya penjelasan mengenai cermat, jelas, dan lengkap; sehingga dalam eksepsi penasehat hukum terdakwa dengan mudah saja menyatakan bahwa surat dakwaan jaksa penuntut umum, tidak jelas, tidak lengkap, dan tidak cermat;

93

(24)

dan meminta Hakim Majelis agar dakwaan jaksa penuntut umum ditolak karena “obscure libelle”.94

Dengan demikian, terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana.

Selain dari pada syarat-syarat tersebut, menurut peraturan lama dan kebiasaan, perlu pula disebut hal-hal dan keadaan-keadaan dalam mana delik dilakukan khususnya mengenai hal yang meringankan dan memberatkan. Kalau hal-hal dan keadaan-keadaan tidak disebut dalam dakwaan tidak menjadikan batalnya dakwaan.95

c. Pelimpahan Berkas Perkara ke Pengadilan

Apabila penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil penyidikan, dan berpendapat tindak pidana yang disangkakan dapat dituntut, menurut ketentuan Pasal 140 ayat (1), penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika surat dakwaan sudah selesai dipersiapkan tindakan selanjutnya, malaksanakan ketentuan Pasal 143 ayat (1):

(1) Melimpahkan perkara ke Pengadilan

(2) Pelimpahan berkas dilakukan dengan surat pelimpahan perkara (3) Dalam surat pelimpahan berkas tersebut:

a. Diampirkan surat dakwaan b. Berkas perkara itu sendiri

c. Serta permintaan agar Pengadilan Negeri segera mengadili.

94

Harun M Husein, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya, Rineka Cipta: Jakarta, 1989, hal 47.

95

(25)

Jadi yang dimaksud dengan pelimpahan dan surat pelimpahan perkara yang disebut dalam Pasal 143 sebagaimana hal itu ditegaskan dalam penjelasannya: “surat pelimpahan perkara adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.”96

Pasal 143 ayat (4) turunan surat pelimpahan berkas perkara beserta surat dakwaan disampaikan penuntut umum:

(1) Kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya,

(2) Juga turunan surat pelimpahan berkas perkara disampaikan kepada penyidik,

(3) Penyampaian turunan surat pelimpahan berkas perkara kepada tersangka dan penyidk dilakukan penuntut umum bersamaan waktunya dengan penyampaian pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.

Setelah berkas perkara dan surat dakwaan diserahkan kepada pengadilan untuk disidangkan. Berdasarkan ketentuan pasal 144 KUHAP menentukan perubahan surat dakwaan masih mungkin dilakukan dalam jangka waktu hanya 7 (tujuh) hari sebelum hari sidang dimulai97. Tujuan perubahan surat surat dakwaan adalah:98

a) Penyempurnaan

Yang dimaksud menyempurnakan adalah untuk menghindari “Surat dakwaan batal demi hukum” di sidang pengadilan.

96

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan

dan Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta, 2000, hal 443

97

Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2009, hal 182

98

Suharto RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika: Jakarta, 1994, hal 109-110

(26)

b) Tidak melakukan penuntutan

Penuntut Umum tidak melanjutkan berkas perkara diajukan ke sidang pengadilan dapat dimungkinkan karena:

a) Ternyata minimum alat bukti yang diharuskan undang-undang tidak terpenuhi

b) Berhubung kewenangan jaksa menuntut hapus. d. Tuntutan

Apabila menurut pertimbangan majelis hakim pemeriksaan atas diri terdakwa dan para saksi telah cukup, maka kepada penuntut umum dipersilahkan menyampaikan tuntutan pidananya (requisitoir).99 Tidak semua jenis perkara disertai surat tuntutan , karena dalam prakteknya dalam perkara yang ringan langsung saja jaksa penuntut umum memohon tuntutan kepada hakim, tanpa membuat surat tuntutan dan tuntutan pidana mana, cukup dituliskan dalam formulir surat tuntutan. Tetapi pada umumnya, tuntutan memuat, bagian-bagian mana dari ketentuan-ketentuan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa yang telah terbukti dan disertai penjelasan dari setiap unsur dari delik yang didakwakan dan dengan demikian surat tuntutan adalah gambaran dari tuntutan hukuman yang akan dimohonkan kepada Hakim.

Tuntutan hukum yang dapat dijatuhkan kepada manusia (naturlijk persoon) diatur dalam Pasal 10 KUHP. Sementara apabila terdakwanya adalah korporasi, berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014 tuntutan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah:

99

(27)

a) Pidana denda dan pidana tambahan; dan/atau b) Tindakan tata tertib

Tuntutan pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang yang dimaksud dikenakan terhadap Korporasi dan Pengurus Korporasi berdasarkan ketentuan yang menjadi dasar pemidanaan antara lain berupa:

a. Pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara;

b. Perampasan atau penghapusan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana

c. Perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana;

d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;

e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan untuk jangka waktu tertentu;

f. Penutupan atau pembukuan sebagian atau seluruh kegiatan perusahaan untuk jangka waktu tertentu;

g. Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak tertentu; h. Pencabutan izin usaha

i. Perampasan barang bukti atau harta kekayaan/aset korporasi dan/atau j. Tindakan lain sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 pada pokoknya menentukan bahwa dalam tidak pidana korupsi maka terhadap korporasi dapat dilakukan penuntutan dan dijatuhi pidana dengan pidana pokok hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga).100

100

Gambar

Tabel 2.  Perbedaan  Kewenangan  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  dengan  Kejaksaan Republik Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dimana cara kerja alat ini adalah apabila salah satu dari tiga tombol ditekan maka LED yang terhubung dengan tombol tersebut akan menyala, dan apabila setelah itu terjadi

[r]

Pada pengujian ini menggunakan dua prosesor yang berbeda yaitu prosesor Intel Pentium-4 dan Prosesor AMD Sempron, untuk mengetahui perbandingan antara dua prosesor ini menggunakan

[r]

Peserta seleksi yang memasukkan penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada POKJA 4 ULP

[r]

A cooperation  between the  Institute of  Ecology, Indonesian State Electric Company  (IOE  UNPAD­PLN),  Bandung,  Indonesia; and the  International Center  for