BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DNA Mitokondria
Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ. Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul DNA merupakan rantai polinukleotida berbentuk heliks ganda yang mempunyai beberapa jenis basa purin dan pirimidin (Poedjiadi dan Supriyanti., 2007). DNA terdapat di dalam inti sel dan mitokondria. DNA mitokondria (mtDNA) manusia terletak di dalam matriks mitokondria. mtDNA manusia berupa untai ganda berbentuk sirkuler yang memiliki urutan lengkap nukleotida sepanjang 16.569 pasang basa (pb). Molekul mtDNA terdiri dari untai heavy (H) dan untai light (L) (Anderson, et al., 1981). Pada untai H terdapat lebih banyak basa purin daripada basa pirimidin, sehingga lebih berat dibandingkan untai L. mtDNA manusia ditemukan telah diwariskan secara maternal dari ibu (Denaro, et al., 1981). mtDNA memiliki laju mutasi yang sangat tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menentukan keragaman genetik antar individu dalam suatu populasi, hubungan evolusi diantara populasi dan rekonstruksi migrasi suatu populasi.
Pewarisan sifat DNA mitokondria dilakukan secara maternal dan tidak ada rekombinasi. Ngili (2005) menyatakan dalam artikelnya bahwa hanya sel telur yang membawa mitokondria ketika melebur dengan sperma pada proses pembuahan. Sel telur memiliki 100.000 mitokondria, sedangkan sperma hanya
50-100 di ekor sperma. Ekor sperma merupakan alat gerak yang membutuhkan energi tinggi dari mitokondria. Pada proses masuknya sel sperma ke dalam sel telur, ekor sperma akan terlepas sehingga mitokondria tidak ikut masuk. Beberapa mitokondria dari sel sperma yang mungkin masuk dalam sel telur akan mengalami pengenceran selama proses mitosis sehingga jumlahnya menjadi tidak berarti atau dianggap sebagai benda asing sehingga dihancurkan oleh sistem sel.
DNA mitokondria berbeda dengan DNA inti walaupun keduanya berada dalam satu sel. mtDNA memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi yang ditandai dengan laju mutasi yang tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti. Hal ini disebabkan mtDNA tidak memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria yang merupakan tempat berlangsungnya reaksi fosforilasi oksidatif menghasilkan radikal oksigen sebagai produk sampingnya. Selain itu, enzim DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA polimerase Ȗ yang tidak mempunyai aktivitas proofreading yaitu perbaikan dan pengakuratan dalam replikasi mtDNA. Tidak adanya aktivitas ini menyebabkan mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat menghilangkan kesalahan replikasi, sehingga menyebabkan mutasi.
Genom mitokondria dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu daerah pengkode, yang memproduksi berbagai molekul biologis yang terlibat dalam proses produksi energi dalam sel, dan daerah bukan pengkode atau daerah kontrol. Genom mitokondria mengandung 37 gen yang terdiri atas gen-gen penyandi rRNA yaitu 12S dan 16S, 22 gen penyandi tRNA, dan 13 protein sub unit
kompleks enzim rantai respirasi, juga memilki urutan nukleotida non penyandi yang disebut dengan daerah D-Loop (Anderson, et al., 1981).
Analisis mtDNA telah diaplikasikan secara luas dalam bidang kedokteran forensik. Selama dekade terakhir banyak penelitian telah menggunakan penanda garis keturunan seperti mtDNA untuk menggambarkan variabilitas genetik dan proses evolusi dari populasi yang berbeda (Carvalho, et al., 2008). Polimorfisme yang terjadi pada mtDNA juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara populasi manusia dengan keadaan geografinya. Dengan demikian, studi genetika manusia secara langsung mendorong pengembangan penelitian baru dalam bidang paleontologi, arkeologi, linguistik, dan sejarah (Achilli, et al., 2005).
Dalam penyelidikan forensik, selain menggunakan DNA inti juga dapat menggunakan DNA mitokondria. Hal ini disebabkan keterbatasan sampel DNA inti yang ditemukan di tempat kejadian perkara, sehingga jumlah DNA inti yang terdapat dalam sampel terkadang sangat sedikit bahkan rusak (Parson, et al., 2007). Selain itu, bahan-bahan yang merupakan sumber mtDNA seperti sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis lainnya sering ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) sehingga dapat dijadikan sampel. Untuk penelitian mtDNA, dapat menggunakan sampel sel epitel akar rambut sebagai sumber mtDNA karena bagian akar rambut memiliki aktifitas metabolik yang sangat tinggi, sehingga pada bagian tersebut diduga terdapat sejumlah besar mitokondria. Hal ini dapat diamati pada pertumbuhan rambut yang cenderung lebih cepat daripada jaringan lain pada tubuh.
Sel pada akar rambut sudah mewakili keseluruhan sel di dalam tubuh. Hal ini disebabkan sel-sel tersebut bersumber dari satu sel telur yang memiliki satu jenis mtDNA yang kemudian terdiferensiasi seiring dengan perkembangan embrio. Pada fase perkembangan selanjutnya, diferensisasi ini tidak menyebabkan adanya perubahan pada urutan nukleotida mtDNA baik pada sel darah, epitel, maupun rambut dalam satu individu (Raifuddin, 2007). Epitel akar rambut lebih disukai juga karena proses pengambilan akar rambut lebih mudah daripada jaringan lainnya seperti darah, sperma, plasenta, dan lain-lain karena hanya dilakukan melalui pencabutan hingga akar. Cara penyimpanannya yang mudah dan kondisi fisiknya yang cenderung stabil membuat sampel akar rambut lebih disukai sebagai sampel mtDNA
2.2 Polimorfisme Daerah Hipervariabel I mtDNA
Daerah ini bersifat sangat variabel dan mempunyai laju evolusi lima kali lebih cepat dibandingkan daerah lain dalam genom mitokondria. Keunikan daerah D-Loop adalah memiliki tingkat polimorfisme yang tertinggi dalam mtDNA. Polimorfisme daerah Hipervariabel (HV) mtDNA penduduk Indonesia dapat diketahui dari penelitian di daerah D-Loop dimana terdapat tiga jenis mutasi dari tiga famili yang berasal dari tiga daerah yang berbeda (Noer dkk, 1994 dalam Ratnayani dkk, 2007). Penelitian lainnya oleh Gaffar (1998) menemukan 24 varian normal mtDNA daerah D-Loop dari 10 individu Indonesia, sedangkan Handoko et al. (2001) dalam laporan penelitiannya mendapatkan hubungan kekerabatan kelompok suku di Indonesia (Ratnayani dkk., 2007). Daerah ini
sangat beragam antar individu tetapi sama untuk kerabat yang satu garis keturunan ibu. Hasil studi menunjukkan bahwa data genom mtDNA manusia dapat digunakan untuk mengidentifikasikan sifat-sifat fenotip penting dari individu yang menyebabkan punahnya peradaban pada zaman dahulu.
Perunutan hubungan keluarga dengan mtDNA didasarkan pada pola pewarisan maternal yang haploid dan hipervariabilitas pada daerah D-Loop. Daerah ini bersifat sangat polimorfik dan memiliki tiga daerah hipervariabel yaitu Hipervariabel I (HVI), Hipervariabel II (HVII), dan Hipervariabel III (HVIII) yang memiliki urutan sangat bervariasi antar individu. Daerah HVI terletak pada urutan nukleotida 16024-16383, sedangkan HVII terletak pada nukleotida 57-372, dan HVIII terletak pada nukleotida 438-594. Tiga daerah ini memiliki laju mutasi yang lebih tinggi dari daerah pengkode.
Laju mutasi sejauh ini diketahui 1:33 generasi, artinya perubahan urutan nukleotida hanya akan terjadi setiap 33 generasi. Individu yang terkait hubungan maternal akan memiliki urutan sekuen yang sama dan yang tidak terkait hubungan maternal ini akan berbeda. Daerah HVI, HVII, dan HVIII terletak di daerah kontrol, yang juga bertanggung jawab terhadap replikasi dan transkripsi mtDNA. Daerah kontrol terletak antara gen tRNA yang masing-masing mengkode asam amino prolin dan fenilalanin (Hoong, et al., 2005). Mutasi-mutasi yang terjadi dan diwariskan menghasilkan generasi manusia masa kini dengan polimorfisme tinggi terutama daerah D-Loop.
Oleh karena itu, daerah ini sering dianalisis dan sangat penting untuk digunakan dalam proses identifikasi individu. Daerah D-Loop pada mtDNA dapat diamati pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Posisi D-Loop dalam mtDNA. Daerah hipervariabel I, II, dan III terdapat di daerah D-Loop (V-mitoSNP, 2009).
2.3 Polymerase Chain Reaction Templat mtDNA Manusia
Reaksi polimerase berantai atau dikenal sebagai Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida secara in vitro menggunakan enzim Taq Polimerase. Metoda PCR dapat meningkatkan jumlah urutan DNA ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula, yaitu sekitar 106-107 kali. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Pada setiap n siklus PCR akan diperoleh 2n kali banyaknya DNA target (Fatchiyah, 2006).
HVI 16024-16383 HVIII 438-594 HVII 57-372 mtDNA
Penggunaan PCR telah berkembang secara cepat seiring dengan perkembangan biologi molekuler. PCR digunakan untuk identifikasi penyakit genetik, infeksi oleh virus, diagnosis dini penyakit seperti AIDS, profil genetik untuk forensik, keragaman hayati dan aplikasinya, evolusi biologi, mutagenesis, perhitungan mtDNA di sel ataupun jaringan (Fatchiyah, 2006). Proses PCR merupakan proses siklus yang berulang meliputi denaturasi, annealing dan polimerisasi oleh enzim DNA polimerase.
Siklus PCR diawali oleh denaturasi pada suhu 94°C yang berfungsi untuk mengubah DNA untai ganda menjadi untai tunggal. Selanjutnya adalah tahap annealing (penempelan) yaitu pengikatan primer pada DNA untai tunggal yang dilakukan pada suhu 50°C. Akhir dari proses amplifikasi ini adalah polimerisasi (pemanjangan rantai) pada suhu 72°C. Pada tahap polimerisasi diperlukan primer, buffer, enzim DNA polimerase, dan dNTPs untuk pemanjangan rantai (Gumilar, dkk., 2008). Siklus dalam PCR dapat diamati pada Gambar 2.2.
n siklus Siklus ke-1 (22) Templat DNA Siklus ke-2 (23)
Siklus ke-3 (24) Siklus ke-4 (25)
Gambar 2.2 Siklus Amplifikasi dalam PCR. Siklus amplifikasi mengikuti pola 2n. Setiap siklus memiliki tahap denaturasi, annealing, dan polimerisasi.
DNA yang diamplifikasi akan terus mengalami peningkatan jumlah molekul seiring dengan siklus yang ditentukan. Untuk 30 siklus akan memperoleh molekul DNA sebanyak 1.073.741.824 molekul. Jumlah molekul DNA hasil amplifikasi untuk beberapa siklus dapat diamati pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jumlah Relatif Molekul DNA yang Diamplifikasi Pada Siklus Tertentu (Fatchiyah, 2006).
Siklus PCR
Jumlah Relatif Molekul
1 2 2 4 3 8 4 16 5 32 6 64 10 1.024 20 1. 048.576 30 1.073.741.824 n 2n
Komponen-komponen yang dibutuhkan dalam PCR antara lain templat DNA, primer, buffer, MgCl2, Taq polymerase, ddNTPs, ddH2O. Templat DNA
merupakan supernatan hasil lisis sel yang berisi DNA yang ingin diamplifikasi. Primer disusun dari sintesis oligonukleotida sepanjang 15-32 bp dan mampu mengenali urutan yang akan diamplifikasi. Standar sepasang primer untuk amplifikasi mempunyai kisaran pasangan basa sekitar 20 basa panjangnya pada tiap primernya. Kandungan basa guanin dan sitosin berada diantara 45-60% (Fatchiyah, 2006).
Penggunaan dNTP sebagai building blocks berfungsi untuk menyediakan sumber basa nukleotida yang akan digunakan pada polimerisasi. Ada 4 macam dNTP dimana sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. Buffer PCR terdiri atas Tris-HCl, KCl dan Triton X-100 berfungsi untuk mengkondisikan reaksi PCR agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polimerase. Ion logam yang digunakan berfungsi sebagai kofaktor enzim polimerase sehingga dapat bekerja optimal.
2.4 Sekuensing DNA dengan Direct Sequencing
Sekuensing DNA merupakan pengurutan DNA untuk menentukan nukleotida yang tepat pada suatu molekul DNA. Sekuensing DNA merupakan tahapan akhir penentukan urutan nukleotida fragmen hasil amplifikasi. Direct sequencing merupakan tahapan untuk menentukan urutan nukleotida dari fragmen hasil amplifikasi dengan PCR tanpa melalui proses kloning. Pada dasarnya direct sekuensing sama seperti proses sekuensing biasa. Namun ada beberapa perbedaan dalam tahapan-tahapan reaksinya, yaitu pada penyiapan DNA templat dan proses amplifikasi dengan PCR.
Terdapat dua metode yang dikembangkan untuk mengurutkan DNA yaitu metode pengakhiran rantai (chain termination) dan degradasi kimia. Sekuensing dapat dilakukan dengan metode Dideoksi Sanger menggunakan Automatic DNA Sequencer yang berdasarkan pada metode Dye Terminator Labeling. Kedua teknik ini dikembangkan pada akhir tahun 1970, yang mampu mengurutkan DNA dengan cepat dan efisien (Gumilar dkk., 2008).
Metode degradasi kimia ditemukan oleh A. Maxam dan W. Gilbert. Metode Maxam-Gilbert didasarkan pada pembelahan nukleotida oleh bahan kimia yang spesifik. Metode ini memerlukan DNA untai ganda sehingga tidak memerlukan primer untuk mensintesis untai baru kembali. Pemotongan DNA terjadi secara kimia sehingga reagen kimia tertentu harus ditambahkan ke dalam sistem reaksi. Reagen ini bersifat sangat toksik karena selain memotong DNA dalam tabung juga dapat memotong DNA dalam tubuh kita. Sekuensing dilakukan melalui pelabelan DNA templat dengan gugus fosfat pada ujung 5’. Selanjutnya ditambahkan DMSO dan dipanaskan pada suhu 90°C. Langkah selanjutnya adalah pemisahan untai berat dan ringan, dan pemotongan untai serta autoradiografi untuk membaca urutan DNA hasil sekuens (Gumilar dkk., 2008).
Metode pengakhiran dikemukakan oleh F. Sanger dan A. R. Coulson sehingga disebut juga sebagai dideoksi Sanger-Coulson atau dideoksi Sanger. Metode Sanger lebih sering digunakan daripada metode Maxam-Gilbert. Hal ini disebabkan metode Sanger telah terbukti secara teknis lebih mudah untuk diterapkan dan dapat digunakan untuk DNA untai panjang. Selain itu, metode Sanger tidak menggunakan reagen toksik sehingga lebih aman.
Prinsip dasar dari metode dideoksi Sanger adalah terjadinya terminasi rantai nukleotida sebagai akibat adanya nukleotida dideoksi (ddNTP) (Gumilar, dkk; 2007). Metode ini memerlukan DNA untai tunggal. Reaksi sekuensing dengan metode Sanger memerlukan primer, dNTP, ddNTP, enzim polimerase. Pada reaksi Sanger digunakan primer yang dikatalisis oleh fragmen Klenow DNA polimerase 1. Sekuensing DNA menggunakan metode dideoksi atau terminasi
rantai dilakukan pada empat reaksi terpisah. Keempat reaksi tersebut berisi dNTP dan ddNTP dengan perbandingan yang sama sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung dan berhenti pada tempat-tempat yang sesuai. Di setiap reaksi akan dihasilkan sejumlah fragmen DNA yang ukurannya bervariasi tetapi ujung 3’nya selalu berakhir dengan basa yang sama.
Primer diperlukan karena DNA polimerase tidak dapat memulai sintesis DNA pada suatu molekul yang seluruhnya untai tunggal sehingga diperlukan untai ganda pendek untuk memberikan ujung 3ƍ dimana enzim dapat menambahkan nukleotida yang baru. Primer juga memiliki peranan penting untuk menentukan daerah spesifik pada molekul templat yang akan disekuens.
2.5 Polimorfisme Daerah HVI mtDNA Suku
Penelitian tentang polimorfisme daerah HVI mtDNA manusia sudah pernah dilakukan para peneliti luar. Hoong (2005) telah meneliti polimorfisme daerah HVI, HVII dan HVIII pada suku-suku di Malaysia. Hoong menemukan bahwa daerah bukan pengkode atau daerah kontrol bersifat sangat polimorfik dalam sampel Malaysia. Demikian pula dengan hasil analisis sekuensing pada daerah HVI dari populasi Finlandia utara yang menunjukkan polimorfisme melalui 82 mutasi, antara lain 77 mutasi transisi, 8 mutasi transversi dan 2 delesi (Achilli, et al., 2005).
Penelitian lainnya adalah oleh Lim et al. (2010) yang menemukan pewarisan maternal pada daerah HVI terhadap suku asli di Malaysia yaitu adanya delesi 9 pb. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor geografi (Lim, et al., 2010).
Polimorfisme pada daerah kontrol ini menunjukkan tingkat keragaman yang signifikan pada manusia ( Hoong, et al., 2005).
Penelitian polimorfisme daerah HVI pada suku-suku di Indonesia pernah dilakukan oleh Ratnayani dkk. (2007) terhadap suku Bali yang menemukan 6 mutasi yang berbeda dengan urutan Cambridge. Polimorfisme daerah HVI suku Bali yang dilaporkan berupa mutasi yang terjadi pada posisi yang berbeda yaitu mutasi transisi sitosin menjadi timin pada posisi nukleotida 16223, 16259, dan 16278. Selain itu juga ditemukan mutasi transisi timin menjadi sitosin pada posisi nukleotida 16249, dan timin menjadi adenine pada posisi nukleotida 16375. Selain itu juga ditemukan delesi nukleotida T pada posisi 16362.
Penelitian tentang suku lainnya dilakukan oleh Gaffar pada tahun 1998 dan Rahmayanti pada tahun 2000 seperti yang dilaporkan dalam Ratnayani dkk. (2007). Dalam publikasinya, Ratnayani dkk. (2007) membandingkan hasil penelitian yang dilakukan dengan hasil penelitian Gaffar dan Rahmayanti dimana terdapat mutasi transisi sitosin menjadi timin pada posisi nukleotida 16223 yang ditemukan pada individu suku Sunda, Kalimantan selatan (Banjarmasin), Sulawesi Utara (Gorontalo) dan Maluku (Ternate). Selain itu juga terdapat mutasi transisi sitosin menjadi timin pada pada posisi nukleotida 16278 yang ditemukan pada suku Sunda oleh Rachmayanti pada tahun 2000 (Ratnayani dkk., 2007).