• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. SAW. Sebagaimana diyakini bahwa Alquran adalah kalam Allah yang kekal, tidak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. SAW. Sebagaimana diyakini bahwa Alquran adalah kalam Allah yang kekal, tidak"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alquran adalah kitab terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diyakini bahwa Alquran adalah kalam Allah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi ruang dan waktu, dan tidak ada sedikitpun keraguan. Alquran juga diakui sebagai teman berdialog dan diturunkan sebagai gambaran cara yang benar bagi setiap orang serta memberikan jalan keluar dari berbagai kesulitan dan masalah yang muncul di hadapan manusia.1

Alquran sebagai Mukjizat Nabi Muhammad yang diturunkan kepadanya dalam rangka untuk meyakinkan umatnya bahwa Muhammad memang benar-benar utusan Allah dan Agama Islam yang dibawa oleh Nabi adalah Agama yang benar-benar dari Tuhan semesta alam dan yang paling benar.

Di samping itu, Alquran juga sebagai kitab petunjuk yang memuat banyak hal di dalamnya, Alquran memuat masalah hubungan manusia dengan Allah, seperti shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Alquran juga memuat masalah hubungan manusia dengan manusia yang lain, seperti bagaimana manusia menghormati manusia lainnya2, bagaimana sikap manusia terhadap manusia lainnya3, bagaimana agar sesama manusia saling mengingatkan akan kebenaran4, dan yang lainnya. Alquran juga memuat masalah hukum sosial untuk mengatur

1

Syaikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan Alquran: Memahami Kitab Suci Dalam Kehidupan

Masa Kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung: Mizan, 1996),92.

2 Seperti اَهوُّدُر ْوَأ اَهْ نِم َنَسْحَِبِ اوُّيَحَف ٍةَّيِحَتِب ْمُتيِّيُح اَذِإَو Alquran, 4:86. 3 Seperti ٍروُخَف ٍلاَتُْمُ َّلُك ُّبُِيُ َلَ ََّللَّا َّنِإ اًحَرَم ِضْرَْلْا ِفِ ِشَْتَ َلََو Ibid., 31:18 4 Seperti ِْبَّصلِبِ اْوَصاَوَ تَو ِّقَْلِِبِ اْوَصاَوَ تَو ِتاَِلِاَّصلا اوُلِمَعَو اوُنَمآ َنيِذَّلا َّلَِإ Ibid., 103:3

(2)

2

cara manusia hidup agar lebih aman, lebih damai dan lebih bahagia, seperti masalah muamalah atau jual beli, masalah pernikahan, masalah pencurian, masalah perzinahan, dan yang lainnya.

Sebagai petunjuk kepada umat manusia, al-Quran juga memuat kisah-kisah masa lalu meski tidak secara mendetail, seperti kisah-kisah nabi Luth, kisah-kisah Musa, kisah nabi Hûd, kisah nabi Isa, dan nabi-nabi lainnya, dengan tujuan agar kita bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah mereka agar dalam menjalani kehidupan kita menjadi lebih terarah.

Sebagai kitab petunjuk kepada umat manusia, Alquran juga memuat kisah-kisah yang masih akan terjadi, seperti gambaran kehidupan di alam kubur, gambaran kehidupan di akhirat dan sebagainya, dengan tujuan agar manusia memahami bahwa hidup di dunia ini bukanlah sebuah tujuan, melainkan sebuah perjalanan menuju hidup yang sebenarnya yaitu kehidupan akhirat.

Berbincang tentang kehidupan akhirat, para mufassir memberikan penafsiran yang berbeda terhadap ayat-ayat yang menggambarkan kehidupan akhirat, karena memang kehidupan akhirat masih akan terjadi, sehingga hasil penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut cenderung berbeda.

Seperti dalam surah Hûd ayat 108 sebagai berikut:

َّلا اَّمَأَو

ْ يَغ ًءاَطَع َكُّبَر َءاَش اَم َّلَِإ ُضْرَْلْاَو ُتاَواَمَّسلا ِتَماَد اَم اَهيِف َنيِدِلاَخ ِةَّنَْلْا يِفَف اوُدِعُس َنيِذ

َر

ٍذوُذَْمَ

5 Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

Dari ayat di atas sekilas dapat dipahami bahwa orang-orang yang beruntung akan ditempatkan di Surga dan mereka kekal di dalamnya selama masih

5

(3)

3

ada langit dan bumi, dan ternyata penafsiran ulama terkait dengan ayat tersebut terdapat banyak perbedaan, khususnya pada ayat ضرلْاو تومسلا تمادام. Al-Ţabarî

misalnya, ia mengatakan bahwa potongan ayat ضرلْاو تاومسلا تمادام menunjukkan arti

selama-lamanya (ادبا) karena kebiasaan orang Arab ketika mengatakan

selama-lamanya maka mereka menggunakan kalimat 6ضرلَاو تاوامسلا ماود. Sedangkan Dlahhak

menafsiri ayat ضرلْاو تاومسلا تمادام bahwa yang dimaksud dengan potongan ayat tersebut adalah kelak akhirat juga mempunyai langit dan bumi juga, apa yang nanti ada dibawah kaki kita maka itu adalah bumi dan apa yang ada diatas kepala kita maka itu adalah langit7, dan masih banyak lagi perbedaan penafsiran terkait dengan ayat tersebut dari beberapa mufassir.

Terlepas dari perbedaan penafsiran tersebut, ada satu hal yang menarik untuk mendapatkan kajian, adalah bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan masa depan, kehidupan yang masih akan terjadi atau bahkan untuk sebagian orang adalah kehidupan yang mungkin atau belum tentu terjadi. Tentu, untuk orang-orang yang keimanannya sudah mantap, hal seperti ini bukan menjadi masalah lagi, karena bagi mereka apapun yang ada di dalam Alquran itu sudah kebenaran mutlak dari Tuhan, apalagi akhirat memang sudah menjadi rukun iman bagi seorang Muslim. Tapi, bagi orang-orang yang keimanannya kurang mantap atau bahkan tidak ada keimanan sama sekali di dalam hatinya8, tentu hal ini akan menjadi masalah dengan pertanyaan dasar seperti berikut, benarkah ada kehidupan

6

„Abî Ja`far Muhammad Ibnu Jarîr al-Ţabarî, Tafsîru al-Ţabarî Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wîli Âyi

Alquran, Vol. 12 (t.tp: Markaz al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabîyah wa al-Islâmîyah 2001),578.

7

„Abi Muhammad al-Husaîn Ibni Mas`ûd al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî Ma’âlimi al-Tanzîl, Vol. 4 (Riyadl: Dâr al-Ţaibah tt), 200. Lihat juga al-Dlahhâk, Tafsîru al-Dlahhâk, Vol. 1 (Mesir: Dâr al-Salâm 1999), 455.

8

Seperti potongan ayat َيِقِداَص ْمُتْ نُك ْنِإ ُدْعَوْلا اَذَه َتََم َنوُلوُقَ يَو yang tertera dalam beberapa surat dalam Alquran seperti dalam Alquran, 10:48; 21;38; 27:71; 34:29; 36:48; 67:25.

(4)

4

setelah kehidupan di dunia ini? Benarkah ada pahala dan siksa setelah manusia mati.

Karena itu, perlu ada kajian yang lebih mendalam lagi terkait dengan ayat-ayat tentang gambaran kehidupan akhirat agar pemahamannya nanti bisa diterima dengan akal sehat, sehingga penerimaan terhadap pemahaman tersebut tidak hanya berdasarkan keimanan semata.

Dalam memahami ayat-ayat Alquran, ada banyak sekali tokoh-tokoh spesialis tafsir yang menuangkan pemahamannya terhadap ayat-ayat Alquran dalam sebuah buku atau yang lebih dikenal dengan kitab tafsir. Sejak zaman klasik hingga era sekarang, selalu bermunculan berbagai kitab tafsir dengan berbagai corak penafsiran dan berbagai pendekatan, perbedaan disiplin keilmuan yang mereka dalami juga mengindikasikan corak kitab tafsir yang mereka tulis.

„Alî `al-Shâbûnî misalnya, salah seorang ahli fikih yang juga seorang mufassir, lahirlah kitab tafsirnya yang berjudul Tafsîr `Ayât al-Ahkâm9 yang menyajikan penafsiran seputar ayat-ayat hukum yang termaktub dalam Alquran, ada juga Ţanţâwî Jawhârî, seorang ahli tafsir yang cinta ilmu pengetahuan yang akhirnya lahir kitab tafsirnya yang berjudul Al-Jawâhir Fî Tafsîr Alquran10, ahli tafsir lain yang konsentrasi di bidang bahasa yaitu Muhammad Ţâhir yang menulis kitab tafsir dengan judul Tafsîru al-Tahrîr wa al-Tanwîr11 yang mana dalam kitabnya lebih fokus membahas ayat-ayat al-Qur‟ân dari sisi bahasa (Nahwu), dan banyak para ahli di bidang tertentu yang menulis kitab tafsir yang sesuai dengan spesialisasinya.

9

Muhammad „Alî `al-Shâbûnî, Tafsîr Âyâti al-`Ahkâm Min Alquran (Dâr al-Shâbûnî: Mesir 2007)

10

Al-Syaîkh Ţanţâwî Jawhârî, Al-Jawâhir Fî Tafsîr Alquran (t.tp: Dâr al-Fikr tt)

11

Muhammad Ţâhir Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ţâhir Ibnu `Âsyûr, Tafsîru Tahrîr wa

(5)

5

Salah satu kitab tafsir yang menarik minat peneliti adalah Tafsir al-Manâr12, sebuah kitab tafsir yang ditulis oleh Muhammad `Abduh dan Muridnya, Muhammad Rasyîd Ridlâ. Tafsir al-Manâr yang mulanya dipublikasikan secara berkala dalam majalah al-Manâr yang kemudian lebih populer dengan nama tafsir al-Manâr ketimbang nama aslinya, yaitu Tafsir Alquran al-Hakim. Bagian pertama dari kitab tafsir tersebut, yaitu dari surat al-Fâtihah sampai surat al-Nisâ’ ayat 125 merupakan hasil “kerja sama” Ridlâ dengan gurunya, Muhammad `Abduh. Sedangkan bagian keduanya, yaitu dari surat al-Nisâ’ ayat 126 sampai surat Yûsuf ayat 110 adalah hasil karya Ridlâ sendiri.

Menyatunya dua pemikiran dalam satu karya ini memang sangat menarik untuk mendapatkan kajian, Muhammad `Abduh, guru dari Rasyîd Ridlâ dikenal sebagai tokoh modernis yang termasuk pada aliran pemikiran rasional, bahkan menurut Harun Nasution dikatakan bahwa `Abduh lebih rasional ketimbang kaum Mu‟tazilah sendiri13

. Kerasionalan pemikiran `Abduh juga ikut mempengaruhi pemahamannya terhadap ayat-ayat Alquran. Menurutnya, Alquran itu berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya14. Karena itu, ia memegang satu prinsip yang barang tentu terkait erat dengan pola tafsirnya, yaitu:”Jika wahyu (Alquran) membawa sesuatu yang pada lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, maka wajib bagi akal untuk meyakini bahwa apa yang dimaksudkan bukanlah arti harfiah; akal mempunyai kebebasan untuk memberi interpretasi kepada wahyu, atau menyerahkan maksud yang sebenarnya dari wahyu yang bersangkutan kepada Allah SWT”15

. Sedangkan Rasyîd Ridlâ sebagai murid dari Muhammad `Abduh, meski pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya,

12

Muhammad Rasyîd Ridlâ, Tafsîr al-Manâr (t.tp: t.p., 1947)

13

Kata pengantar Harun Nasution dalam Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh

Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta, Penerbit PARAMADINA 2002), xviii.

14

Ibid., 8.

15

(6)

6

namun bukan berarti ia tidak mempunyai pemikiran yang mandiri. Seperti dikutip oleh A. Athaillah bahwa meski Ridlâ adalah murid terdekat dan terpercaya Muhammad `Abduh, ia bukanlah murid yang selalu mengambil ide dan pemikiran gurunya. Bahkan setelah `Abduh wafat, Ridlâ menggunakan metode penafsiran yang berbeda dengan metode yang telah digunakan oleh `Abduh16, bahkan menurut al-Maraghi, Ridlâ adalah seorang Sunni-Salafi yang menolak taklid dan menyerukan perlunya ijtihad17.

Selain itu, penulisan kitab al-Manâr belum sempurna hingga 30 juz. Namun, walaupun belum sempurna sambutan terhadap kitab tersebut sangat luar biasa, ada banyak kajian terhadap kitab tersebut dari berbagai segi, seperti kajian tentang teologi, hukum, dan lain sebagainya. Dan meskipun tidak sedikit juga yang melontarkan kritikan tajam terhadap dua tokoh dan kitab tafsirnya tersebut, namun hingga sekarang kitab tersebut masih menjadi rujukan banyak kalangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kitab tersebut patut untuk selalu dibaca, dipahami dan bahkan dikaji kembali.

Adanya persamaan dan perbedaan pemikiran dari dua tokoh tersebut menjadi keunikan tersendiri dari karya tafsir ini, meskipun kolaborasi dua pemikiran tersebut hanya terdapat dalam bagian pertama, bukan berarti bagian yang terakhir tidak ada pengaruh dari pemikiran yang lainnya.

Seperti telah diketahui bersama bahwa Muhammad `Abduh dan Rasyîd Ridlâ dikenal sebagai pelopor tafsir modern atau kontemporer dengan model penafsiran yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan yang mana model penafsiran tersebut berpengaruh terhadap pemikiran dan karya-karya tafsir dari

16

A. Athaillah, Rasyid Ridha Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manâr (Jakarta, Penerbit Erlangga 2006), 5.

17

(7)

7

kalangan ulama Mesir pada umumnya, seperti Amin Khulli, `Aisyah `Abd al-Rahman dan Alî Al-Shâbûnî.18

Keunikan lain dari kitab tafsir ini adalah penafsirannya yang bernuansa rasional dan berbeda dengan penafsiran-penafsiran sebelumnya. Seperti ketika menafsirkan kata ريفز dan قيهش dalam surah Hûd ayat 106, di saat para mufassir lain menafsirkan dua kata tersebut dengan arti kamus dan berbentuk pengandaian19, dalam tafsir al-Manâr dua kata tersebut dijelaskan dengan sangat sederhana dan mudah dipahami. Menurut Ridlâ, ketika seseorang bersedih atau menderita dan bernafas panjang hingga suaranya terdengar maka itu disebut zafîr, dan ketika seseorang merenggek dalam tangisnya atau sesenggukan dan berulang-ulang di dalam dadanya hingga suaranya terdengar maka itu disebut syahîq20.

Contoh lain dari penafsiran al-Manâr yang berbeda dengan mufassir-mufassir sebelumnya adalah ketika menafsirkan pengecualian dalam surah Hûd ayat 107 tepatnya dalam potongan ayat كبر ءاش املَا, di saat mufassir lain mencoba men-ta’wîl pengecualian tersebut dengan logika istitsnâ` min ghairi al-jins bahwa orang yang celaka (ءاقشلا لها) tidak akan keluar dari neraka dan pindah ke surga dan yang keluar dari neraka lalu pindah ke surga adalah orang mu‟min yang pada masa hidupnya pernah melakukan dosa, ia dimasukkan ke neraka terlebih dahulu lalu dikeluarkan dan dipindahkan ke surga dan ia tidak termasuk orang yang celaka melainkan termasuk orang yang beruntung21. Ridlâ memahami ayat tersebut sebagaimana lahirnya ayat bahwa jika memang Allah berkehendak maka Ia bisa mengubah hukum tersebut, namun menurut Ridlâ kehendak Allah masih

18

Kata pengantar Muhammad Chirzin dalam H. M. Yusron, dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Ed. M. Alfatih Suryadilaga (Yogyakarta: TH-Pres, 2006), xi-xii.

19

Seperti dalam Al-Țabarî, Tafsîru al-Țabarî, Vol. 12, 576

20 Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 160. 21

(8)

8

bergantung pada sifat ilmu-Nya dan sifat kebijaksanaan-Nya. Karena itu, Tuhan tidak akan mengingkari janji dan ancaman-Nya, seperti langgengnya Ahli neraka di neraka22.

Karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam lagi terhadap penafsiran ayat-ayat tentang kehidupan akhirat dalam tafsir al-Manâr, bagaimana tafsir tersebut merespon kejadian yang masih akan terjadi seperti akhirat. Sehingga, pemahaman terhadap kehidupan akhirat dalam Alquran lebih mudah dipahami.

Ayat-ayat Alquran yang mengupas tentang kehidupan akhirat sangat banyak sekali dan juga banyak terletak di separuh akhir dari Alquran, oleh karena itu peneliti mengambil obyek kajian surat Hûd ayat 103-108 karena seperti yang telah dipaparkan dimuka bahwa penulisan kitab tafsir al-Manâr hanya sampai surat Yûsuf saja, dan menurut hemat peneliti surat Hûd ayat 103-108 yang mewakili untuk menggambarkan kehidupan akhirat, meskipun juga tidak mengesampingkan ayat-ayat yang lain yang juga berbicara tentang akhirat.

B. Fokus Kajian

Perumusan masalah dalam penelitian pustaka disebut dengan istilah fokus kajian23. Dengan adanya fokus kajian ini, diharapkan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini tidak melebar kemana-mana, sehingga penelitian terhadap suatu masalah yang dikaji lebih tajam dan mendalam.

Adapun masalah yang menjadi fokus kajian dalam dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Apa itu hari kiamat menurut tafsir al-Manâr?

22 Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 160-161. 23

(9)

9

b. Kapan hari kiamat akan terjadi menurut tafsir al-Manâr?

c. Bagaimana kondisi manusia pada hari kiamat menurut tafsir al-Manâr?

d. Bagaimana klasifikasi manusia dan tempat manusia pada hari kiamat menurut tafsir al-Manâr?

e. Berapa lama manusia tinggal pada hari kiamat menurut tafsir al-Manâr? C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui apa itu hari kiamat menurut tafsir al-Manâr

b. Untuk mengetahui kapan hari kiamat akan terjadi menurut tafsir al-Manâr c. Untuk mengetahui bagaimana kondisi manusia pada saat hari kiamat menurut

tafsir al-Manâr

d. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi manusia dan tempat manusia pada hari kiamat menurut tafsir al-Manâr

e. Untuk mengetahui berapa lama manusia tinggal pada hari kiamat menurut tafsir al-Manâr

D. Manfaat Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini tentang gambaran kehidupan akhirat dalam perspektif kitab tafsir al-Manâr diharapkan bisa memberikan kontribusi dan manfaat sebagaimana berikut:

a. Bagi penulis dapat memperluas khazanah keilmuan dan dapat mengembangkan skill di bidang penelitian dan kepenulisan, khususnya dibidang tafsir.

b. Para pembaca dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan tentang gambaran kehidupan masa depan yakni akhirat, sehingga lebih giat lagi mempersiapkan bekal untuk menuju kehidupan tersebut.

(10)

10

c. Bagi kampus IAIN Jember, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi keilmuan yang mana kampus ini baru saja alih status. E. Definisi Istilah

Seperti yang dijelaskan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah24 bahwa agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap makna istilah sebagaimana yang dimaksud peneliti, maka perlu untuk menjabarkan istilah-istilah yang menurut peneliti penting untuk diungkapkan.

1. Kehidupan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan berarti cara (hal, keadaan) hidup25, itu artinya ketika digabung dengan akhirat menjadi kehidupan akhirat maka mempunyai arti keadaan hidup di akhirat atau keadaan hidup manusia di akhirat.

2. Akhirat diambil dari bahasa arab yaitu ةيرخلَا yang berarti hari akhir26, yang mana hari akhir tersebut menunjukkan tidak ada lagi kehidupan setelahnya. Dan menurut al-Ţabarî27, akhirat adalah sebuah sifat untuk tempat atau rumah (رادلا), dan disifati seperti itu karena ada rumah (رادلا) yang mendahuluinya yaitu

rumah dunia.

Jadi, maksud dari kehidupan akhirat adalah keadaan hidup di akhirat atau keadaan hidup manusia di akhirat.

F. Metode Penelitian

a. Jenis dan Pendekatan Penelitian

24

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan, 52.

25

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3 Cet. 4 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 400.

26

Farida Hamid, Kamus Ilmiah Populer Lengkap (Surabaya: Apollo Lestari, tt), 17.

27

(11)

11

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian28 dengan cara mengungkapkan data tersebut secara wajar atau sebagaimana adanya.

Adapun jenis Penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yang mana peneliti mendapatkan dan mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan seperti: buku-buku, kitab-kitab dan lain-lainnya29.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam mengumpulkan data-data penelitian30, agar dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Berikut beberapa tahapan yang dilakukan peneliti dalam melakukan pengumpulan data:

1. Menghimpun dan mencari literature yang berkaitan dengan obyek penelitian. 2. Mengklasifikasikan literature berdasarkan content jenisnya (primer dan

sekunder).

3. Mengutip data, teori, atau konsep lengkap dari sumbernya.

4. Mengecek (cross check) data atau teori dari sumber atau dengan sumber lainnya dalam rangka memperoleh kepercayaan data.

5. Mengelompokkan data berdasarkan outline atau sistematika penelitian yang telah dipersiapkan.

28

Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 4.

29

Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 28.

30

Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah: Panduan Berbasis Penelitian Kualitatif

(12)

12

Berhubung penelitian ini bersifat pustaka murni maka yang menjadi rujukan utama penulisan dalam penelitian ini diambil dari:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama atau sumber utama dalam penelitian. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah kitab Tafsir Alquran al-Hakim al-Musytahir bi Ismi Tafsir al-Manâr karya Muhammad `Abduh dan Rasyîd Ridlâ.

2. Data Sekunder

Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber-sumber lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, baik itu berupa buku, majalah, Koran, artikel, dan yang lainnya.

c. Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan kerja dengan data, mengorganisir data, dan memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan yang penting dan yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain31.

Adapun metode yang dipakai dalam mengolah data penelitian ini menggunakan metode deskriptip analisis. Metode ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang penafsiran kitab tafsir al-Manâr terhadap surat Hûd ayat 103-108 secara jelas, kemudian penafsiran tersebut dianalisa kembali sesuai dengan sumber data yang peneliti peroleh.

Adapun langkah-langkah penelitian deskriptif sebagai berikut32:

31

Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya 2010), 248.

32

(13)

13

1. Mengidentifikasi adanya permasalahan yang signifikan untuk dipecahkan melalui metode deskriptif.

2. Membatasi dan merumuskan permasalahan secara jelas. 3. Menentukan tujuan dan manfaat penelitian.

4. Melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan permasalahan.

5. Menentukan kerangka berpikir, dan pertanyaan penelitian dan atau hipotesis penelitian.

6. Mendesain metode penelitian yang hendak digunakan termasuk dalam hal ini menentukan populasi, sampel, teknik sampling, menentukan instrument pengumpul data, dan menganalisis data.

7. Mengumpulkan, mengorganisasi, dan menganalisis data dengan menggunakan teknik statistika yang relevan.

8. Membuat laporan penelitian. G. Sistematika Pembahasan

Pembahasan ini disusun dalam beberapa bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari sub bab, sesuai dengan kebutuhan kajian yang akan dilakukan.

Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, fokus kajian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua memuat kajian pustaka yang mana didalamnya terdapat kajian terdahulu dan kajian teori.

Bab ketiga akan memuat tentang sejarah penulisan kitab tafsir al-Manâr, penulisnya, bagaimana kemunculannya, bagaimana kondisi social politiknya, dan apa yang mempengaruhi kemunculannya.

(14)

14

Bab keempat akan memuat penafsiran al-Manâr terhadap surat Hûd ayat 103-107 yang mana pembahasan ini dimulai dengan menampilkan penafsiran beberapa mufassir terhadap surat Hûd ayat 103-108 sebagai pembanding, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran dalam kitab tafsir al-Manâr.

Bab kelima adalah bab penutup, di bab ini akan diuraikan secara singkat pembahasan yang terkandung dalam penelitian ini agar lebih mudah dipahami.

Referensi

Dokumen terkait

Lima (atau lebih) dari gejala berikut telah ada selama dua minggu dan menggambarkan perubahan dari fungsi yang sebelumnya, setidaknya salah satu gejala dari (1)

Anda juga dapat menyatakan bahwa jika gaya searah dengan arah lengan gaya, tidak ada momen gaya yang ditimbulkan (benda tidak akan berotasi).. Gambar 6.11

mencari sebuah lokasi yang bisa kami pergunakan untuk tempat Ibadah, namun kembali Tuhan memberikan kami jalan yang lain dengan melalui process lelang kami

Kemudian manthuq ini dibagi kepada dua: sharih dan ghairu sharih. Manthuq Sharih adalah petunjuk lafaz kepada seluruh pengertian yang dikehendaki atau sebagiannya

Maka kesimpulan yang dapat diambil diharap berguna bagi perkembangan skripsi ini dimasa yang akan datang, dengan judul Kepemimpinan Politik Perempuan Berdasarkan Pasal 18 Ayat 1 Huruf

Jenis-jenis burung yang ditemukan roosting di taman kota dan jalur hijau kota Padang adalah Apus affinis, Lonchura punctulata dan Passer montanus.. Jenis Apus affinis

Pengaruh kultivar dan ukuran umbi bibit bawang bombay introduksi terhadap pertumbuhan, pembungaan dan introduksi benih.. Massachusetts: Sinauer

Fenomena Urban Sprawl terjadi karena perkembangan pemukiman perkotaan yang tidak terkendali. Perkembangan permukiman yang tidak terkendali ini berdampak pada menurunnya