• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri, bahkan telah menjadi suatu kegemaran bagi sejumlah orang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tersendiri, bahkan telah menjadi suatu kegemaran bagi sejumlah orang."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Belanja merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan bagi banyak orang dan tidak terbatas pada kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Secara umum orang berbelanja untuk memenuhi kebutuhan. Paling tidak sebulan sekali orang meluangkan waktunya untuk berbelanja bulanan. Meskipun demikian, sering juga orang berbelanja hanya untuk memenuhi hasrat atau dorongan dari dalam dirinya, seperti yang dikatakan oleh Tambunan (2005), belanja adalah suatu gaya hidup tersendiri, bahkan telah menjadi suatu kegemaran bagi sejumlah orang.

Banyak sekali orang yang berbelanja tanpa disertai pertimbangan secara masak. Mereka membeli barang-barang yang "menggoda mata", yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Hasrat berbelanja semakin besar ketika melihat barang-barang yang didiskon. Banyak mall atau department store yang menawarkan diskon. Tulisan sale terpajang besar-besar disertai angka diskon yang ditawarkan. Begitu masuk, pandangan konsumen akan langsung tertuju pada tulisan tersebut, kemudian muncul gairah untuk mendatangi counter yang berstempel diskon. Mereka tidak peduli lagi ketika harus berdesak-desakan dan berebut memilih barang-barang yang didiskon dalam rak. Akibatnya pengeluaran membengkak dari perkiraan semula. Kollat dan Willett (dalam Semuel, 2007) memperkenalkan tipologi perencanaan sebelum membeli yang didasarkan pada tingkat perencanaan

(2)

sebelum masuk toko, meliputi perencanaan terhadap produk dan merek produk, kategori produk, kelas produk, kebutuhan umum yang ditetapkan, dan kebutuhan umum yang belum ditetapkan. Apabila keputusan termasuk pada kategori terakhir, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pembelian impulsif secara murni.

Pembelian impulsif atau bagi beberapa pemasar yang menyebutnya sebagai pembelian tidak terencana merupakan bagian dari pola pembelian konsumen (Schiffman dan Kanuk, 2004) dan menyatakan sebagai pembelian yang tidak direncanakan (Loudon dan Bitta, 1993). Engel dan Blacwell (1995), mendefinisikan pembelian yang tidak direncanakan atau yang disebut juga pembelian impulsif sebagai suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian yang dilakukan pada saat berada didalam toko.

Perilaku pembelian impulsif dapat dipahami sebagai suatu proses pengambilan keputusan dimana pelanggan hanya melibatkan sedikit proses kognitif tetapi juga biasanya menunjukkan tingkat emosi yang tinggi. Pembelian impulsif dilakukan tanpa direncanakan dan tanpa membuat suatu evaluasi kebutuhan. Pembelian impulsif sering terjadi dalam situasi dengan stimulasi yang kuat (Omar; Assael dalam Esch dkk, 2003 ).

Pernyataan ini didukung dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kollat dan Willett (1969), mereka juga menggunakan istilah

impulse buying (pembelian impulsif) yang sama dengan unplanned purchased

(pembelian tak terencana). Sejalan dengan hal itu, pembelian impulsif juga seringkali dihubungkan dengan pembelian yang dilakukan secara tiba-tiba dan

(3)

tidak direncanakan, dilakukan di tempat kejadian, dan disertai timbulnya dorongan yang besar serta perasaan senang dan bergairah (Rook dalam Verplanken dan Herabadi, 2001).

Meskipun tidak terencana merupakan ciri khas dari pembelian impulsif, tapi tidak semua pembelian tidak terencana merupakan pembelian impulsif. Pembelian impulsif terjadi ketika konsumen mengalami perasaan tiba-tiba, sering merasakan perasaan yang sangat kuat dan berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk membeli sesuatu dengan segera (Arnould, Linda, dan George, 2002). Pembeli impulsif lebih mungkin untuk mengalami pengalaman membeli secara spontan, lebih terkesan secara tiba-tiba, dan tidak berencana untuk membeli sebelumnya (Rook dan Fisher dalam Peck dan Terry, 2006).

Loudon dan Bitta (1993) mengemukakan empat tipe dari pembelian impulsif. Keempat tipe pembelian impulsif tersebut yaitu; pembelian impulsif murni (pure impulse), pembelian impulsif secara sugesti (suggestion impulse), pembelian impulsif karena ingatan (reminder impulsif), dan pembelian impulsif yang direncanakan (planned impulse). Pembelanja yang merencanakan untuk membeli produk tetapi belum memutuskan fitur dan merek yang dibutuhkan dapat juga dikelompokkan sebagai pembeli impulsif (Rook dalam Semuel, 2007).

Berbelanja secara impulsif tentu akan menimbulkan masalah keuangan. Membeli suatu barang tanpa perencanaan akan mengakibatkan membengkaknya anggaran atau pengeluaran. Belanja impulsif dianggap sebagai perilaku belanja yang irasional, karena meskipun menyadari sebelumnya akan adanya kemungkinan merasakan penyesalan di kemudian hari tetapi orang tetap

(4)

melakukan belanja seperti itu. Karena itu, perilaku belanja impulsif diasosiasikan dengan kecenderungan mengabaikan dampak-dampak buruk yang mungkin terjadi dan yang dapat mengakibatkan penyesalan, misalnya berkaitan dengan uang yang sudah telanjur dibelanjakan atau kualitas produk yang dibeli. Peryataan ini dibenarkan oleh pendapat Thomson dkk (dalam Semuel, 2007), yang mengemukakan bahwa ketika terjadi pembelian impulsif akan memberikan pengalaman yang lebih emosional dari pada rasional, sehingga tidak dilihat sebagai suatu sugesti, dengan dasar ini maka pembelian impulsif lebih dipandang sebagai keputusan irasional dibanding rasional.

Pembelian yang tidak terencana tidak membatasi pada produk atau latar toko eceran tertentu. Fenomena yang menggambarkan mengenai pembelian dapat terjadi pada produk seperti produk yang tahan lama, perhiasan, pakaian, barang-barang yang terbuat dari logam, perabot rumah tangga, obat-obatan, perlengkapan mandi dan produk makanan. Selain itu, perilaku pembelian impulsif juga ditemukan dalam setting toko obat, supermarket, department store dan beragam toko khusus yang meliputi toko yang khusus menjual bunga, buku, alat-alat kecantikan, alat-alat yang terbuat dari logam, alat-alat keperluan mobil, dan toko perabot rumah tangga. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Negara (dalam Semuel, 2007) yang mengatakan bahwa, pada umumnya pembelian yang dilakukan pelanggan dalam pasar modern seperti supermarket atau hipermarket, tidak semuanya direncanakan. Diperkirakan 65% keputusan pembelian di seluruh supermarket dilakukan di dalam toko, dan lebih dari 50% merupakan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya (Bayley, et al. dalam Semuel, 2007).

(5)

Pembelian yang terjadi di department store dalam penelitian Bellenger, Robertson & Hirchman (dalam Matilla dan Jochen, 2007) mengatakan 27-62% terdiri dari pembelian impulsif.

Konsumen merupakan aset perusahaan yang paling berharga, sehingga diperlukan usaha untuk menciptakan sekaligus menjaga ekuitas tersebut (Abratt, et al. dalam Semuel, 2007 ). Konsumen sebagai pengambil keputusan pembelian atau yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan tesebut, perlu dipahami melalui suatu penelitian yang teratur.

Konsumen melaporkan bahwa mereka merasa senang ketika mereka melakukan pembelian impulsif (Cobb dan Hoyer, 1986; Rook, 1987 dalam Peck dan Terry, 2006), dan mereka mengalami bahwa kebutuhan akan kesenangan dan sesuatu yang baru pada mereka harus dipenuhi (Hausman dalam Peck dan Terry, 2006). Thompson dkk (dalam Wilkinson, 2007) menemukan bahwa pembelian impulsif akan menjadi tindakan yang bebas dalam membatasi situasi, dengan membiarkan responden untuk mengikuti keinginan mereka (lebih cenderung paksaan dari luar). Keputusan pembelian impulsif terjadi karena adanya rangsangan lingkungan belanja, merupakan implikasi yang mendukung asumsi bahwa jasa layanan fisik menyediakan lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen (Iyer, 1989; Marthur dan Smith, 1997; Negara, 2002 dalam Semuel, 2007).

Dilihat dari segi perencanaan, pembelian konsumen bisa dikategorikan ke dalam pembelian terencana dan pembelian tidak terencana (pembelian impulsif). Pembelian terencana adalah perilaku pembelian dimana keputusan tentang aitem

(6)

yang akan dibeli telah diputuskan sebelum konsumen masuk ke dalam toko. Sedangkan pembelian tidak terencana (pembelian impulsif) adalah perilaku pembelian dimana konsumen tidak mempertimbangkan untuk membeli, atau mempertimbangkan untuk membeli tetapi belum memutuskan produk apa yang akan dibeli (Dony, 2007).

Perilaku konsumen dalam membeli barang dipengaruhi oleh banyak faktor yang pada intinya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Engel, Kollat, dan Blakwell, 1973; Kottler, 1982; Swastha dan Handoko, 1987 dalam Lina dkk, 2007). Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif yaitu: karakteristik produk, karakteristik pemasaran, dan karakteristik konsumen yang salah satunya adalah kepribadian konsumen (Loudon dan Bitta, 1993).

Salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam proses pembelian adalah faktor kepribadian. Hawkins dkk (1986) menyatakan bahwa kepribadian konsumen mengarahkan dirinya pada perilaku yang berbeda dalam setiap hal sehingga setiap individu cenderung memilih produk yang sesuai dengan kepribadiannya. Dalam mengambil keputusan membeli, konsumen dipengaruhi oleh kepribadian dalam diri. Kepribadian konsumen akan mempengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan dalam membeli (Anwar, 2005).

Allport (dalam Suryabrata, 1998) menyatakan bahwa kepribadian merupakan organisasi dinamis dalam diri individu sebagai suatu sistem psikofisis yang menetukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Setiap orang memiliki kepribadian yang unik yang

(7)

membedakannya dengan orang lain sehingga individu dapat digolongkan kedalam tipe kepribadian tertentu. Maenpa dan Dittmar (dalam Buendicho, 2003), mengusulkan bahwa identitas kepribadian dapat dihubungkan dengan pembelian impulsif.

Rotter (dalam Schultz & Schultz 1994) mendefinisikan locus of control sebagai atribut kepribadian dimana seorang individu dibedakan berdasarkan derajat keyakinan dalam mengendalikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup mereka. Tambahan menurut Rotter (dalam Lefcourt, 1982) orientasi locus

of control merupakan suatu kontinum unidimensional, dari eksternal menuju

internal. Rotter (dalam Lina dkk, 1997) juga mengemukakan bahwa Locus of

Control (LOC) menggambarkan keyakinan seseorang mengenai sumber penentu

perilakunya. Serason (dalam Lina dkk, 1997) berpendapat serupa, bahwa locus of

control merupakan suatu konsep tentang bagaimana individu memandang dirinya

dalam mengontrol kehidupannya.

Beberapa individu beranggapan bahwa mereka dapat menentukan kekuatan terhadap apa yang terjadi dan merasa bahwa mereka memiliki kekuatan untuk dapat merubah atau mempengaruhi suatu peristiwa (Strickland, 1989 dalam Pinto, 2004). Individu seperti ini dikatakan memiliki locus of control internal. Sedangkan inidividu yang beranggapan bahwa penyebab dan kontrol dari peristiwa dalam hidup mereka adalah di luar dari kemampuan dan sifat yang mereka miliki yang terjadi dalam lingkungan eksternal mereka, disebut sebagai individu yang memiliki locus of control eksternal. Individu yang memiliki locus

(8)

kehidupan mereka dan percaya bahwa pengalaman hidup mereka terjadi dari “luar” (Kelley & Stack, 2000 dalam Pinto, 2004).

Petri (dalam Lina, 1997) menyatakan bahwa individu yang berlocus of

control eksternal memiliki sikap patuh, lebih conform terhadap otoritas atau

pengaruh-pengaruh yang ada, lebih mudah dipengaruhi dan tergantung pada petunjuk orang lain (Serason, 1976 dalam Lina, 1997). Sementara individu yang berlocus of control internal mempunyai karakteristik lebih mandiri, lebih ulet, mempunyai daya tahan yang kuat serta lebih tahan dalam menghadapi pengaruh sosial (Seeman dan Evans, dalam Zimbardo dan Ruch, 1976 dalam Lina, 1997), lebih mampu menunda pemuasan, tidak mudah terpengaruh, dan lebih mampu menghadapi kegagalan (Leffcourt, dalam Wolfe & Robertslaw, 1982, dalam Lina, 1997), lebih aktif dan ulet dalam mencari dan menggunakan informasi yang relevan untuk menguasai keadaan (Phares, 1976 dalam Lina, 1997).

Rook (dalam Buendicho, 2003), menegaskan bahwa perasaan keyakinan dapat dihubungkan dengan pembelian impulsif seperti “perasaan yang kuat akan membeli suatu produk dengan segera, mengabaikan konsekuensi negatif, perasaan senang, dan mengalami konflik antara kontrol dan kegemaran”. Keluarga sebagai bagian dari faktor eksternal mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap dan perilaku anggotanya, termasuk dalam pembentukan keyakinan dan berfungsi langsung dalam menetapkan keputusan konsumen (Loudon dan Bitta, 1984, dalam Lina,1997). Individu yang memiliki locus of

control internal cenderung lebih percaya diri, lebih independent, dan lebih yakin

(9)

& Jeanrie, 1999, dalam Pinto, 2004). Mereka menunjukkan lebih inisiatif dan berusaha untuk dapat mengontrol dunia sekitar mereka dan cenderung untuk mengontrol keimpulsifan atau keinginan mereka dengan lebih baik daripada individu yang memiliki locus of control eksternal (Joc, 1971, dalam Pinto, 2004).

Lingkungan ekonomi juga sangat mempengaruhi perilaku seseorang, dan bagaimana individu bereaksi atau mengadakan penyesuaian dengan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh locus of control individu tersebut. Rotter (dalam Lina dkk, 1997), menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh interaksi antara harapan, nilai-nilai yang ada pada seseorang, serta lingkungan dimana dia berada. Harapan-harapan ini dapat menentukan kontrol seseorang apakah sebagai penguat pada kontrol internal atau eksternal.

Konteks sosial dapat mempengaruhi pembelian impulsif, khususnya ketika berbelanja untuk mengisi waktu luang bersama kelompok. Dittmar (dalam Buendicho, 2003) percaya bahwa “mengonsumsi produk menunjukkan identitas diri” dan menentukan peningkatan pada pembelian impulsif. Sesuai dengan penjelasan di atas, peneliti berasumsi bahwa pembeli yang membeli secara impulsif memiliki kecenderungan berkepribadian locus of control eksternal.

B. PERUMUSAN MASALAH

Apakah ada perbedaan kecenderungan pembelian impulsif ditinjau dari locus

(10)

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecenderungan pembelian impulsif yang ditinjau dari locus of control.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Metodologis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi terutama dalam bidang perilaku konsumen (consumer

behavior) mengenai perbedaan kecenderungan pembelian impulsif

ditinjau dari locus of control internal dan locus of control eksternal dengan memberikan bukti empiris mengenai hubungan tersebut. b. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti mengenai perilaku konsumen sebagai referensi teoritis dan empiris.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan kecenderungan pembelian impulsif ditinjau dari locus of control internal dan locus of control eksternal sehingga dapat menjadi masukan yang berguna bagi para pelaku pasar dalam memahami kecenderungan pembelian impulsif yang ditinjau dari sisi locus of control internal dan locus of control eksternal dan juga dapat dapat melakukan strategi-strategi pemasaran yang

(11)

disesuaikan berdasarkan karakteristik locus of control internal dan locus of

control eksternal pada konsumen, sehingga menghasilkan strategi pemasaran

yang lebih efektif.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang perilaku pembelian impulsif dan locus of control. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan mengenai perbedaan kecenderungan perilaku pembelian impulsif yang ditinjau dari

locus of control internal dan locus of control eksternal.

Bab III Metodologi penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

(12)

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum dan karakteristik dari subjek penelitian serta bagaimana analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik. Kemudian pada bab ini juga dibahas mengenai interpretasi data yang ada serta data tambahan dengan menggunakan SPSS 15.0 For Windows yang kemudian data-data tersebut akan diuraikan kedalam pembahasan. Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini membahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian dilengkapi dengan saran-saran bagi pihak lain berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.

Referensi

Dokumen terkait

Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan di analisis secara preskriptif dengan mengunakan metode deduktif yaitu data umum tentang konsepsi hukum baik berupa

memiliki skor tertinggi sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh HRD Pamella Grup. Hasil akhir pada sistem ini dapat dilihat pada report yang ada pada

Hal ini menunjukkan responden yang hipertensi memiliki kadar MDA yang lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak hipertensi, dan diperoleh nilai p=0,200 (p>0,05)

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang alat bukti dengan menggunakan sidik jari, karena sangat menarik untuk

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di perusahaan dan mencoba untuk mengadakan pembahasan mengenai penyusunan anggaran

Naskah kirim ulang sudah kami terima hari ini, untuk melengkapi naskah yang pernah dikirimkan ke kami sekitar Pebruari 2012.. Naskah tsb masih menunggu giliran untuk direview oleh

Fokus penelitian penulis adalah pola komunikasi antarpribadi orang tua kepada anak usia kanak - kanak, khususnya anak dengan usia kanak – kanak akhir yakni 6 – 11 hingga 13

KEDUA : Indikator Kinerja Utama sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU, merupakan acuan ukuran kinerja yang digunakan oleh Badan Penanggulangan Bencana