• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Hal tersebut merupakan penegasan bahwa dalam konsep Negara Hukum, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.1 Supremasi hukum yang dijalankan dalam pemerintahan harus berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sebagai grundnorm pelaksanaan pemerintahan. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari kurang lebih 17.000-an pulau besar dan kecil.2 Tentu merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan. Jumlah pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke serta bangsa yang majemuk, merupakan suatu hal yang sulit untuk ditanggulangi dalam mempertahankan konsep negara kesatuan.

Selaku founding father, Bung Hatta sendiri terus terlibat dalam mendiskusikan pilihan mengenai bentuk negara Indonesia bahwa yang lebih tepat adalah federal, bukan negara kesatuan.3 Pada akhirnya, para pendiri bangsa dapat meyakinkan Bung Hatta, bahwasannya dalam wadah Negara Kesatuan yang hendak dibangun, sudah dengan sendirinya daerah- daerah yang tersebar dapat dikembangkan dengan tetap menjamin otonomi daerah-daerah yang tersebar di seluruh tanah air Indonesia yang sangat luas dan majemuk4, dengan modifikasi desentralisasi. Hal ini pun tertuang dalam konstitusi yang mengatakan

1 Jimly Ashiddiqie, “Konsep Negara Hukum Indonesia”,

http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diakses 9 November 2015.

2 Jimly Ashiddiqie, 2005, Konsitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 59.

3 Ibid., hlm. 205.

4 Ibid.

(2)

“Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.5

Otonomi daerah yang tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 menghendaki otonomi yang memberikan kesempatan mengurus Urusan Pemerintahan daerah yang tidak sama antara daerah otonom satu dan daerah otonom lainnya. Jika dilihat dari hakekat makna otonomi (autonomy) yang berarti memerintah sendiri dan mengatur kepentingan sendiri, ketidaksamaan Urusan Pemerintahan daerah bagi masing-masing daerah otonom wajar untuk dilakukan. Ketidakseragaman pelaksanaan Urusan Pemerintahan di daerah dalam UUD NRI Tahun 1945 sudah terlihat.

Konstitusi menyatakan bahwa seluruh hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.6 Tak hanya itu, ketidakseragaman juga nampak dalam memberikan bentuk satuan pemerintahan daerah, UUD NRI Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang.7 Selain itu, dalam Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 juga menyatakan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali Urusan Pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.8

Jika memperhatikan pengaturan tentang Pemerintahan Daerah dalam UUD NRI Tahun 1945, nampak bahwa desentralisasi yang diamanahkan dalam Pasal 18, 18 A, dan 18 B UUD NRI Tahun 1945, dijelmakan dalam perbedaan status daerah otonom, daerah otonomi khusus, serta daerah istimewa yang ada saat ini. Sesuai UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014), pelaksanaan

5 Lihat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6 Lihat Pasal 18 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

7 Lihat Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8 Lihat Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3)

desentralisasi melekat pada pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi yang bersifat otonom. Pada kasus-kasus tertentu, khususnya yang berkaitan dengan kekhasan masalah yang dialami oleh kelompok tertentu di dalam suatu negara, desentralisasi tidak dapat sekedar desentralisasi biasa, sehingga membutuhkan cara berpikir baru yang memperhatikan perbedaan antar-daerah dan keunikan masing-masing daerah.9

Kebutuhan akan kerangka administrasi yang handal dalam mengelola keragaman lokal merupakan suatu cara untuk menanggulangi paradigma uniformitas dalam negara kesatuan yang majemuk.10 Ini dikenal dengan pendekatan yang bersifat asimetris artinya walaupun Daerah sama-sama diberikan otonomi yang seluas-luasnya, namun prioritas Urusan Pemerintahan yang dikerjakan akan berbeda antara satu Daerah dengan Daerah lainnya.11 Konsekuensi logis dari pendekatan asimetris tersebut, Daerah akan mempunyai prioritas serta perbedaan Urusan Pemerintahan dan kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya sesuai dengan karakter Daerah dan kebutuhan masyarakatnya. Jika dikaitkan dengan desentralisasi, paradigma semacam ini dikenal sebagai asymmetrical decentralization atau desentralisasi asimetris yang secara legal konstitusional sebenarnya memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang inheren dalam praktik desentralisasi Indonesia sejak awal kemerdekaan.

Konsep pendistribusian Urusan Pemerintahan sebagai desentralisasi asimetris tersebut diterapkan dalam bentuk otonomi khusus dan daerah istimewa di Indonesia. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, pelaksanaan daerah istimewa sudah mulai nampak dalam undang-undang yang pertama kali dibentuk, yakni UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah (UU Kedudukan Komite Nasional

9 Ni’matul Huda, 2014, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI Kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus, Nusa Media, Bandung, hlm. 55.

10 Ni’matul Huda, 2014, Op.Cit., hlm. 58.

11 Lihat Penjelasan Umum Poin 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

(4)

Daerah 1945). Dalam Pasal 1 UU tersebut, mengecualikan daerah Surakarta dan Yogyakarta dalam pembentukan Komite Nasional Daerah.

Perkembangan lebih lanjut, pelaksanaan otonomi khusus dalam ketatanegaraan Indonesia semakin bermunculan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 jo.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua; Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa pelaksanaan otonomi khusus dan daerah istimwa tersebut merupakan suatu wujud desentralisasi asimetris.

Hingga saat ini, belum diketahui apakah otonomi khusus tersebut atau konsep desentralisasi asimetris merupakan hal yang anomali atau tidak jika diterapkan dalam bentuk negara kesatuan yang sudah dilekati dengan otonomi daerah. Apakah desentralisasi asimetris benar keberadaannya jika dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menjadi pembahasan dalam penelitian ini.

Dalam kebijakan politik hukum di Indonesia yang diimplementasikan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mengklasifikasikan Urusan Pemerintahan menjadi Urusan Pemerintahan Absolut, Urusan Pemerintahan Konkuren, dan Urusan Pemerintahan Umum.12 Dalam Urusan Pemerintahan Konkuren, dijabarkan mengenai kewenangan yang menjadi kewenangan bersama antara pemerintahan pusat dan daerah

12 Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

(5)

provinsi serta daerah kabupaten/kota.13 Urusan Pemerintahan Konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.14

Hal ini menjadi wajar karena dalam Undang-Undang tersebut membagi Urusan Pemerintahan Konkuren yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib tersebut dibagi lagi menjadi Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.15 Dalam penjelasan tersebut, hal yang terkait dengan Pelayanan Dasar bertujuan untuk mendekatkan sekaligus menentukan keberhasilan pelayanan publik merupakan kewajiban bagi Daerah, sehingga lumrah bahwa pelaksanaan Urusan Pemerintahan Konkuren sebagai dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.

Adanya Urusan Pemerintahan Konkuren menjadi hal yang anomali jika dikaitkan dengan desentralisasi asimetris karena pembagian urusan bersama tersebut belum diketahui apakah dijalankan secara asimetris atau tidak? Terlebih lagi, jika pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren tersebut dilakukan dalam konsep negara kesatuan, yang secara normatif pemegang utama tampuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan ada pada pusat. Lebih lanjut belum diketahui apakah sejatinya desentralisasi asimetris hanya melekat di Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat semata ataukah tidak.

Berdasarkan uraian di atas, penulisan hukum ini dilandasi oleh dua permasalahan krusial yang masih belum terjawab dalam ketatanegaraan Indonesia. Pertama, Eksistensi desentralisasi asimetris sebagai suatu konsep pendistribusian Urusan Pemerintahan yang

13 Lihat Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

14 Lihat Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

15 Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

(6)

menafikan uniformitas dalam kerangka negara kesatuan. Kedua, implikasi desentralisasi asimetris yang dilekati Urusan Pemerintahan Konkuren tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering jerami, gabah, dan gabah 1000 butir meskipun ada kecenderungan peningkatan bobot kering jerami, gabah, dan gabah 1000

Tujuan umum mata kuliah ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa sehingga mampu menjelaskan dan mempraktekkan prinsip dan tahapan proses produksi mulai dari

Adapun yang menjadi sasaran pengabdian masyarakat ini adalah para jamaah dan takmir masjid Muhammadiyah di Malang, sebab selama ini para pengurus Muhammadiyah tersebut

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa scalding dalam lilin panas pada pencabutan bulu itik tidak berpengaruh terhadap nilai susut masak dan sobek kulit namun

Penyusunan Rencana Program dalam RENSTRA 2009-2012 berlandaskan upaya menjadikan Program Studi Pendidikan Bidan menjadi institusi pendidikan bidan yang terkemuka

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh penggantian Bovine Serum Albumin (BSA) dengan putih telur dalam pengencer dasar CEP-2 terhadap kualitas

7.2 Mendeskripsikan potensi keberagaman budaya yang ada dimasyarakat bsetempat dalam kaitannya dengan budaya nasional 7.3 Mengidentifikasi berbagai alternatif

tersebut, maka solusinya adalah dengan merancang dan membangun program aplikasi yang dapat mengolah data secara tepat dan efisien sekaligus mampu memberikan informasi kepada