• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

ZAHID AHSAN NIM : 11140480000066

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440H/2019M

(2)

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ZAHID AHSAN NIM : 11140480000066

Pembimbing:

. H., S.Ag., M.Ag.

NIP. 197304242002121007

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440H/2019M

ii

(3)

iii

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta.

Jakarta, Januari 2019

Zahid Ahsan

iv

(5)

Zahid Ahsan. NIM.11140480000066. Penegakan Hukum Prostitusi Terselubung Terhadap Panti Pijat Refleksi Di Kecamatan Cibinong Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440H/2019M.

isi: vii+84+halaman daftar pustaka+12 halaman lampiran.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan bersifat penelitian hukum normative empiris. Dimana metode penelitian hukum normative empiris ini, sangat menekankan pada peneliti harus terjun langsung ke lapangan permasalahan, agar mendapatkan informasi dan data-data yang banyak serta akurat.

Sesuai faktanya, dari sekian banyaknya tempat panti pijat reflexy di Kecamatan Cibinong, dapat dipastikan bahwasaannya didalam kedok panti pijat reflexy tersebut, seluruhnya terdapat para PSK yang siap memberikan jasanya bukan saja jasa pijat, namun jasa seks juga. Upaya pencegahannya adalah dengan melakukan sosialisasi Undang-undang Praktek tindak pidana perdagangan orang, memperluas lapangan kerja dengan melulai pelatihan keterampilan, kewirausahaan dan pemberdayaan ekonomi, serta meningkatkan partisipasi pendidikan anak.

Kata kunci : Prostitusi, Panti Pijat Reflexy, Penegakan Hukum Prostitusi.

Pembimbing : Dr. Moch. Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag.

Daftar Pustaka : Tahun 1996-2017

v

(6)

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul PENEGAKKAN HUKUM PROSTITUSI TERSELUBUNG TERHADAP PANTI PIJAT REFLEKSI DI KECAMATAN CIBINONG dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini.

Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat peniliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat,S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Moch. Ali Wafa, S.H., M.Ag. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk peneliti.

4. Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan peneliti dalam penulisan skripsi ini.

5. Kepada tempat panti pijat refleksi di cibinong yang telah membantu dalam memeberikan data untuk penyusunan skripsi ini.

6. Pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan memberi dukungan dalam penelitian ini.

vi

(7)

pembaca khususnya di bidang hukum.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Januari 2019 Peneliti

Zahid Ahsan

vii

(8)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...iii

LEMBAR PERNYATAAN ...iv

ABSTRAK ...v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Rancangan Sistematika Penelitian ... 10

BAB II PROSTITUSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG A. Kerangka konseptual………...… 12

B. Kerangka Teori………. 28

C. Tinjauan (Review) kajian Terdahulu………..… 32

BAB III PRAKTEK PROSTITUSI TERSELUBUNG YANG DILAKUKAN PANTI PIJAT REFLEXY A. Gambaran Umum Prostitusi Terselubung Bermotif Panti Pijat Reflexy Di Kecamatan Cibinong………... 34

B. Mekanisme Prostitusi Terselubung……… 35

C. Ketentuan pidana praktik prostitusi……… 38

BAB IV PRAKTEK PROSTITUSI DAN UPAYA PENYELESAIAN HUKUM

viii

(9)

Cibinong……… 45 B. Upaya Penyelesaian Hukum Prostitusi Terselebung ... 50

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58 B. Rekomendasi ... 59 DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN...

ix

(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan "terhadap kesusilaan/moral" dan melawan hukum. Dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas, ditoleransi, dan diatur. Pelacuran adalah praktik prostitusi yang paling tampak, seringkali diwujudkan dalam kompleks pelacuran Indonesia yang juga dikenal dengan nama "lokalisasi", serta dapat ditemukan di seluruh negeri.

Bordil ini dikelola di bawah peraturan pemerintah daerah. UNICEF memperkirakan bahwa 30 persen pelacur perempuan di Indonesia adalah wanita yang berusia dibawah 18 tahun. Wisata seks anak juga menjadi masalah, khususnya di pulau-pulau resor seperti di Bali dan Batam.

Setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk dapat merasakan hidup nyaman dan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial adalah buah dari sistem ekonominya yang mandiri, produktif, dan efisien dengan pendapatan individu yang memungkinkan.1 Untuk mendapatkan hal tersebut, banyak dari mereka melakukan banyak cara untuk mendapatkannya, baik dengan cara yang halal maupun dengan cara yang haram. Seiring berkembangnya zaman, mereka saling bersaing demi mensejahterakan kehidupan pribadi masing-masing. Oleh sebab itu, tidak sedikit dari manusia yang dalam prosesnya bersaing dengan melakukan berbagai macam cara yang tidak baik, hanya untuk menjadikan jalan pintas meraih kehidupan yang nyaman dan sejahtera menurut mereka.

Seperti membuat area lokalisasi PSK, panti-panti pijat illegal, mendistribusikan miras secara illegal, membangun penginapan-penginapan illegal yang didalamnya menyediakan jasa PSK dan yang lain-lain.

Semua usaha tersebut, sudah jelas dilarang dan tidak diperbolehkan baik dalam agama maupun negara, sebab usaha tersebut bukan jalan yang baik bagi kehidupan masyarakat dan negara. Pada intinya kesejahteraan didapatkan

1Sjahran Basah S. H. C. N, Ilmu Negara, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1997), h., 48.

1

(11)

bukan dengan hasil kecurangan (illegal), melainkan dengan cara yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hukum yang ada (legal)2.

Peran para pejuang bangsa dalam mensejahterakan bangsa Indonesia sangatlah penting, tercatat dalam sejarah pada masa penjajahan Indonesia sama sekali tidak dapat merasakan apa itu yang dinamakan kesejahteraan, karna hak-hak mereka yang sama sekali tidak dapat mereka dapatkan, sedangkan kewajiban mereka selalu dituntut untuk dilaksanakan. Hinaan, cacian, makian dan penindasan adalah makanan sehari-hari bagi bangsa.

Sulitnya pemerintah pusat dalam mengupayakan pendidikan tersendat dikarenakan banyaknya beragam suku, ras, etnik yang berbeda dan adat yang masih kental sehingga timbulah persepsi “Masyarakat jauh lebih takut dengan hukum adat dibanding dengan hukum positif yang ada di Indonesia”, serta banyak daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh pemerintah pusat.

Oleh karenanya, demi mengupayakan pendidikan moral tersebut, pemerintah pusat memberikan wewenang secara penuh kepada pemerintah daerah agar dapat mengupayakan pendidikan tersebut secara maksimal kepada tiap-tiap daerah, hingga ke daerah pelosok. Sehingga mampuh menumbuhkan jiwa nasionalisme yang taat kepada hukum negara.

Dalam prosesnya, pemerintah daerah seringkali mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai kebijakan yang harus dilakukan. Seperti penertiban pedagang kaki lima, area lokalisasi PSK, panti-panti pijat illegal, pembangunan liar dan lain-lain. Ini adalah contoh kecil dari kebijakan pemerintah dalam membangun daerah yang sehat, bersih, nyaman dan sejahtera. Namun upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih belum maksimal, terlihat dari masih banyaknya pelanggaran, kemiskinan dan kejahatan yang terjadi ditiap-tiap daerah. Contoh kecil dari upaya pemerintah daerah yang masih belum bisa terlaksana dalam hal memberantas prostitusi.

2Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

(12)

Dari sekian banyaknya pemerintah daerah yang masih belum dapat memberantas hal tersebut adalah pemerintah daerah Kabupaten Bogor.

Terbukti sampai saat ini, prostitusi yang terselubung maupun yang terang- terangan di daerah Cibinong Kabupaten Bogor semakin merajalela, sampai- sampai banyak dari kalangan atas yang ingin memiliki keuntungan lebih dan mudah, mereka menginvestasikan uangnya untuk pembangunan panti-panti pijat, diskotik dan atau penginapan-penginapan illegal di daerah tersebut, yang dimana didalamnya sudah pasti menyediakan jasa para PSK. Namun yang sangat miris adalah semakin hari jumlah panti-panti pijat, diskotik, penginapan ilegal dan PSK semakin banyak dan yang lebih miris lagi, para PSK yang berusia dibawah umur pun semakin banyak pula. Jikalau hal tersebut semakin berkembang, siapakah yang harus disalahkan, pemerintah daerah atau masyarakat sekitar yang kurangnya kesadaran atas hal tersebut. Padahal kebijakan dan peraturan pemerintah daerah Bogor telah dibuat, namun apa boleh buat, realitalah yang mengatakan demikian.

Persoalan mengenai permasalahan tersebut, merupakan persoalan yang sangat rumit dan sensitif, karena segi-segi yang dibahas meliputi masalah- masalah yang dianggap tabu dan aib bagi orang-orang yang bersangkutan.

Namun terlepas dari kesulitan itu, hukum melihat persoalan prostitusi tersebut, merupakan problematika yang perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat dampak dari persoalan tersebut bukan hanya berhubungan dengan masalah hukum dan segala aspek yang menyertainya, namun juga menimbulkan persoalan sosial, ekonomi dan moral yang dapat mengganggu kelangsungan hidup orang-orang yang berkecimpung dalam usaha haram tersebut. Pokok masalah dalam hal ini menyangkut hak warga negara Indonesia untuk medapatkan kesejahteraan baik dibidang ekonomi, sosial dan budaya. Orang- orang seperti mereka yang berkecimpung dalam usaha haram tersebut adalah mereka orang-orang yang kurang mendapatkan kepedulian dan perhatian dari negara ataupun pemerintah daerah dalam hal mendapatkan hak nya secara penuh dan adil.

(13)

Persoalan prostitusi ini memang menjadi pro dan kontra bagi kalangan masyarakat, ada yang berpendapat bahwa prostitusi ini patut dilegalkan karena semata-mata untuk menyalurkan hasrat seks yang tertahan, karena jika hasrat tersebut tertahan maka dikhawatirkan akan timbul kejahatan pemerkosaan dan lain-lain, terbukti saat ini maraknya kasus pemerkosaan yang terjadi pada remaja hingga anak dibawah umur. Tidak hanya dari sisi negatif, adanya prostitusi dianggap oleh sebagian orang sebagai lapangan pekerjaan yang menggiurkan karna keuntungannya, karena hal tersebut merupakan jalan pintas untuk keluar dari kemiskinan. Bukan itu saja, jika prostitusi ini dilokalisasikan dan dilegalkan, maka kemungkinan besar pemasukan keuangan bagi pemerintah daerah bertambah dari pajak usaha prostitusi tersebut.

Sebagaimana yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta waktu itu Ali Sadikin yang berhasil membangun kota Jakarta, yang dimana salah satu sumber utama pendapatan daerahnya berasal dari Pajak usaha Prostitusi tersebut dan hal tersebut dibuat agar pemerintah lebih mudah mengontrol dalam perkembangannya.

Namun, banyak yang berpendapat pula terutama dari kalangan ulama dan tokoh agama, bahwasanya prostitusi merupakan sebuah pekerjaan yang tidak manusiawi dan hina. Dalam hukum positif juga telah dijelaskan tentang larangan melakukan tindak pidana praktek prostitusi, dimana praktek tersebut akan berdampak sangat buruk dalam merusak moral dari pada umat manusia.

Prostitusi yang semakin marak, diakibatkan dari berbagai hal, diantaranya adalah kurang tegasnya Pemerintah dalam menegakkan dan memberantas tindak pidana Prostitusi. Akan tetapi, minimnya pendidikan di Indonesia juga bisa menjadi salah satu faktor semakin berkembangnya prostitusi di Indonesia.3

Larangan untuk melakukan praktek prostitusi ini sendiri ada dalam hirarki perudang-undangan yang ada di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

3Soedjono D, Pelacuran Di Tinjau dari Segi Hukum Dan Kenyataan Masyarakat, (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1977), h., 56.

(14)

Orang, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. KUHP Pasal 287, KUHP Pasal 289, KUHP Pasal 290, KUHP Pasal 295, KUHP Pasal 296 dll. Berlanjut sesuai dengan judul yang peneliti buat khusus dibagian daerah kabupaten Bogor, pemerintah telah mengeluarkan PERDA Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum, yang lebih spesifik terdapat dalam Pasal 1 Ayat (9), Pasal 2 tentang asas, maksud dan tujuan. Dari semua peraturan tersebut dibuat oleh pembuat Undang- undang legislator dan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, yang dimana kedaulatan berada di tangan rakyat serta sumber UU itu ialah rakyat sebagai keseluruhan.4

Dari hal-hal tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk mengangkat masalah mengenai kurangnya kepedulian dan perhatian pemerintah daerah kabupaten Bogor dalam hal memberantas Prostitusi Terselubung, khususnya dikawasan Cibinong kabupaten Bogor kedalam karya ilmiah ini dengan judul

“PENEGAKAN HUKUM PROSTITUSI TERSELUBUNG TERHADAP PANTI PIJAT REFLEKSI DI KECAMATAN CIBINONG” hal ini mengingat pro dan kontra mengenai hal tersebut, sebagian pendapat mengatakan bahwa prostitusi tersebut agar dilegalkan demi menghindari kejahatan pemerkosaan serta membuka lapangan pekerjaan demi mengurangi angka kemiskinan di daerah tersebut. Akan tetapi yang lain berpendapat bahwa hal tersebut akan memunculkan banyak kerusakan, seperti rusaknya pendidikan, moral dan kesehatan.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan di atas, terdapat beberapa persoalan yang berkaitan dengan lemahnya penegakkan hukum pemerintah daerah kabupaten bogor dalam memberantas prostitusi

4Sjahran Basah S. H. C. N, Ilmu Negara,… h., 126.

(15)

terselubung di Kecamatan Cibinong kabupaten Bogor. Dari latar belakang tersebut terdapat berbagai masalah yang muncul yaitu:

a. Penyebab lemahnya penegakan hukum di Kecamatan Cibinong kabupaten Bogor dalam memberantas prostitusi terselubung panti pijat refleksi.

b. Manfaat dan dampak dari semakin berkembangnya prostitusi terselubung panti pijat refleksi di Kecamatan Cibinong kabupaten Bogor.

c. Solusi pemerintah daerah kabupaten Bogor dalam memberantas prostitusi terselubung panti pijat refleksi di Kecamatan Cibinong kabupaten Bogor.

d. Motif yang melatarbelakangi penyebab timbulnya prostitusi terselubung di panti pijat refleksi.

e. Penyakit yang ditimbulkan dari praktik prostitusi terselubung panti pijat refleksi.

f. Akibat dari prostitusi terselubung panti pijat refleksi.

2. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah berguna untuk memberikan suatu gambaran yang menjadi pusat perhatian dan permasalahan dalam penelitian hukum ini dan untuk menghindari adanya perluasan masalah yang dikaji serta agar penelitian ini lebih terarah dari apa yang telah menjadi dasar permasalahan dan tujuan yang akan dicapai, maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini peneliti batasi hanya dalam bentuk bagaimana penegakan hukum dalam memberantas prostitusi terselubung yang dilakukan oleh Panti Pijat Refleksi menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasaan Tindak Pidana Perdagangan Orang dikawasan Kabupaten Bogor.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam pembahasan ini peneliti akan mengkaji tentang praktek

(16)

prostitusi terselubung yang dilakukan oleh panti pijat refleksi yang selama ini melanggar dari pada Peraturan Negara dan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor. Adapun perumusan masalah yang akan dibahas, sebagai berikut:

a. Bagaimana bentuk praktek prostitusi yang dilakukan oleh panti pijat refleksi di Kecamatan Cibinong?

b. Bagaimana upaya penyelesaian hukum bagi orang-orang yang terlibat dalam praktek prostitusi terselubung tersebut?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui praktek prostitusi terselubung yang dilakukan oleh panti pijat refleksi di Kecamatan Cibinong.

b. Untuk menjadikan kabupaten Bogor yang taat pada peraturan pemerintah daerah sesuai pada Pasal 2 dan 3 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 dalam menanggulangi prostitusi terselubung yang dilakukan oleh panti pijat refleksi di Kecamatan Cibinong.

2. Manfaat Penelitian

Sementara manfaat penulisan yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi para peneliti dan Mahasiswa dalam permasalahan penegakkan hukum, khususnya dalam masalah prostitusi terselubung, serta dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan bisa memberikan manfaat sehingga dapat diterapkan oleh para penegak hukum, khususnya masalah prostitusi terselubung agar menjadi pedoman masyarakat dan pemerintah daerah dalam memberantas prostitusi terselubung.

(17)

D. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berdasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Sehingga dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk penulisan ini, maka peneliti berusaha mencari data sebanyak mungkin dan selanjutnya data tersebut dianalisis sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Tipe Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normative empiris. Dimana metode penelitian hokum normative empiris ini, sangat menekankan pada peneliti harus terjun langsung ke lapangan permasalahan, agar mendapatkan informasi dan data-data yang banyak serta akurat.

2. Pendekatan Masalah

Data yang diperoleh akan dianalisa secara deskriptif kualitatif. Analisa deskriptif kualitatif merupakan metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan faktanya.

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer.

Data primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau pertama.

Teknik pengumpulan data secara empiris yakni metode penelitian dengan cara terjun langsung ke lapangan permasalahan, tanpa ada batasan oleh waktu dan tempat.

Data sekunder, biasanya digolongkan kedalam beberapa bentuk bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti ketentuan perundang-undangan , yaitu: QS. Al-Isra Ayat (32) tentang

(18)

Larangan mendekati zina, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasaan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. KUHP Pasal 287, KUHP Pasal 289, KUHP Pasal 290, KUHP Pasal 295, KUHP Pasal 296 dan lain-lain. Berlanjut sesuai dengan judul yang peneliti buat khusus dibagian daerah kabupaten Bogor, pemerintah telah mengeluarkan PERDA Nomor 4 Tahun. 2015 Tentang Ketertiban Umum, yang lebih spesifik terdapat dalam Pasal 1 ayat (9), Pasal 2 tentang asas, maksud dan tujuan.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, adapun bahan hukum sekunder yang digunakan disini adalah buku-buku hukum, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah dan makalah seminar yang berkaitan dengan prostitusi.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam hal ini yang penulis gunakan adalah kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum, untuk mengetahui dan mendapatkan arti dari suatu istilah hukum.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan ini, maka penulis menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi lapangan dan observasi (Empiric Research), yaitu mempelajari dan menganalisa permasalahan hukum dengan turun langsung kelapangan, serta melakukan wawancara langsung dengan para Informan yang terkait dalam permasalahan ini.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi lapangan ini akan penulis uraikan sehingga disajikan dalam penulisan lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahan

(19)

hokum yang ada dianalisis untuk melihat pokok-pokok penting dalam prostitusi terselubung yang terjadi di kecamatan cibinong, sehingga dapat menjadi pertimbangan hokum yang berguna dalam menangani masalah penegakkan hukum prostitusi terselubung.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun sesuai dengan “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti, adapaun perincian sebagai berikut:

BAB I : Pada bab ini peneliti menguraikan mengenai alasan dalam pemilihan judul atau latar belakang. Selain itu, diuraikan juga mengenai Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Pada bab ini peneliti akan menguraikan tentang isi dari pda kerangka konseptual, teori-teori yang berkenaan dengan prostitusi terselubung dan meninjau kajian terdahulu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang, serta kajian (review) terdahulu.

BAB III: Pada bab ini peneliti akan menguraikan tentang praktek-praktek prostitusi terselubung yang dilakukan oleh panti pijat refleksi, data-data penelitian dan profil Institusi yang berwenang dalam permasalahan ini di kecamatan cibinong.

BAB IV: Pada bab ini memuat pandangan dan partisipasi masyarakat dalam meminimalisir dan menertibkan daerah sekitar dari maraknya praktek prostitusi terselubung. Serta menguraikan bagaimana semestinya pemerintah daerah bersikap tegas dalam

(20)

memberantas praktek prostitusi terselubung, sesuai dengan keinginan dari pada masyarakat sekitar, untuk mengurangi anak-anak bangsa yang menjadi korban dari pada kejamnya dunia.

BAB V:: Dalam penutup, peneliti menguraikan mengenai kesimpulan dari penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan masalah, dan juga mengenai hal-hal yang diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan.

(21)

TINJAUAN UMUM PROSTITUSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG

A. Kerangka Konseptual

1. Sejarah Perkembangan Prostitusi Di Indonesia

Sejarah pelacuran di Indonesia dapat diruntut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan pada saat itu, merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Tanah Jawa, berdiri pada tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua, yakni menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya sangat agung dan mulia (Binatara). Karena kekuasaan raja Mataram sangat besar, mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda saja, akan tetapi juga nyawa hamba sahaya. Raja mempunyai kekuasaan penuh untuk seluruh yang ada di atas Tanah Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun dan segala sesuatunya adalah milik raja.

Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan bahkan sampai sekarang pun daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota, di Jawa Barat daerah-daerahnya adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan, di Jawa Tengah Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri, serta di Jawa Timur yakni daerah Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur dan menurut catatan

12

(22)

sejarah, daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda yang sengaja dipilih untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir, karna makin banyaknya selir yang dipelihara, maka akan bertambah kuat juga posisi raja di mata masyarakat.

Bukan hanya pada saat zaman raja-raja saja, pada masa penjajahan pun prostitusi sudah menjadi praktik yang sangat digemari, baik pada masa penjajahan Jepang maupun Belanda.

Bahkan, sejak masa Jan Pieter Zoon Coen pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi, walaupun secara tegas ia tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu. Jan Pieter Zoon Coen sendiri bahkan pernah menghukum putri angkatnya sendiri, yakni Sarah, yang ketahuan bermesraan dengan perwira VOC di kediamannya.

Pada saat itu sang perwira dihukum dengan cara dipancung, sedangkan Sarah dihukum dengan deraan badan setengah telanjang.1

2. Pengertian Prostitusi

Berbicara prostitusi di Indonesia, dalam pembicaraan atau di surat kabar atau majalah dan sejenisnya, belum ada yang membahasnya secara luas dan objektif, justru hanya membahas secara subjektif berupa celaan atau caci maki terhadap diri pelaku prostitusi dan kerap kali sensasional untuk tujuan komersil semata- mata, sementara golongan tertentu memandang bahwa pelaku prostitusi adalah wanita yang tidak bermoral, tidak tahan iman dan berbagai sikap anti pati kepada “Pelacur” yang karena berbagai hal memasuki dunia gelap, tanpa memperhatikan kaitan dangan berbagai aspek kehidupan masyarakat yang mempunyai hubungan dengan adanya prostitusi.2

1Capt. R.P. Suyono, Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial, (Jakarta: Grasindo, 2005), h., 89.

2Anwar Yesmil dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, (Jakarta:PT. Grasindo), h., 354.

(23)

Pelacuran berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau pro- stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan dan pergendakan. Cukup banyak para ahli yang memberikan beberapa pengertian tentang pelacuran ini.

Menurut para ahli diantaranya adalah Perkins dan Bennet dalam Koendjoro, memberikan pengertian pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam.3

Selain pengertian pelacuran di atas, dengan rumusan kalimat yang berbeda, Kartini Kartono menjabarkankan definisi dari pelacuran adalah sebagai berikut:

a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola- pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (Prosmiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (Persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu- nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Perzinaan juga salah satu kata lain dari prostitusi dan jika dalam definisi berdasarkan pandangan zina secara derifatif, zina digolongkan menjadi empat bagian, yakni :

3Marpung Laden, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Revensinya, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2008), h., 2.

(24)

1) Pria atau wanita yang melayani orang lain (Lain jenis atau sejenis) yang menyalahi aturan agama secara seksual demi keuntungan materiil.

2) Melakukan eksploitasi kepada perorangan atau sekelompok orang secara seksual dengan tujuan mengeruk keuntungan.

3) Melakukan pertunjukan yang bertujuan menarik gairah seksual orang lain demi keuntungan materi.

4) Melakukan atau membuat kedok tempat-tempat seperti panti- panti pijat dan lain-lain yang didalamnya terdapat tindakan- tindakan yang berbau seksual dengan tujuan mengeruk keuntungan materi.

3. Prostitusi Menurut Pandangan Hukum Islam

Dalam perspektif ekonomi, prostitusi mungkin salah satu alternatif lahan dimana seseorang baik pria maupun wanita dapat memperoleh tambahan pemasukan. Dalam Islam, Prostitusi merupakan hal yang sangat dilarang (Haram) karena tergolong dalam „zina‟ yang merupakan dosa yang teramat besar. Perzinaan dapat terjadi jikalau hati dari pada manusia penuh dengan nafsu buruk yang menguasai. Kurang dan rendahnya ilmu, iman, amal, takwa dan moral manusia, bisa di jadikan sebagai alasan mereka sebagai pelaku untuk semakin mengembangkan praktek prostitusi tersebut. Nafsu yang membara dalam jiwa akan merusak segala perbuatan yang akan dilakukan, jangankan nafsu dalam bermaksiat, ketika kita beribadah saja tidak boleh hanya berdasarkan hawa nafsu, akan tetapi harus fokus dan meluruskan niat hanya karna ingin mendapatkan ridho Allah semata.

Nafsu ialah jiwa dalam kehidupan dunia.4 Begitu bayi lahir, ruh disebut nafsu. Selama masih berupa janin dalam kandungan ibu disebut dengan ruh. Nafsu manusia diilhami oleh kedua kekuatan.

4M. Mutawalli Asy-Sya‟ rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, (Jakarta : Gema Insani Press, 2007), h., 287.

(25)

Kekuatan yang pertama adalah Fujur (Kejahatan) dan yang kedua adalah kekuatan itu yang baik dan yang jahat saling berlawanan.

Kekuatan kebaikan sumbernya agama, akal dan kebijaksanaan.

Sedangkan kekuatan kejahatan bersumber dari nafsu angkara murka dan golongan setan.

Setan itu lebih banyak menggoda kepada orang-orang beriman dan yang mampu mengendalikan hawa nafsunya. Apabila nafsu manusia telah ditakhlukan dan dikuasai oleh setan, jika diajak yang baik akan menentang dan jika diajak yang buruk, tak kuasa untuk menolaknya.5 Penanaman pandangan dan nilai-nilai agama sangatlah diperlukan, guna mampu menjadi pembatas diri untuk melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan agama, moral maupun etika masyarakat. Prostitusi dalam pandangan Agama Islam disebut dengan perbuatan zina, zina menurut agama Islam adalah perbuatan dosa besar6. Islam melarang dengan sangat tegas mengenai perbuatan zina ini, karena hal tersebut adalah perbuatan sangat kotor dan keji. Dalam firman Allah disebutkan dalam Surat Al-Isra ayat 32:

Artinya:

“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

Dan firman allah swt lainnya dalam Surat Al-Furqon Ayat 68:

Artinya:

5Ali ibn Muhammad ad-Dihami, Mengendalikan Hawa Nafsu : Upaya Meraih Ridha Allah, (Jakarta : Qisthi Press, 2009), h., 126.

6Mustafa al-Adhawi, Zina: Mengungkap Ancaman, Fakta, dan Dampak Buruknya, (Bogor: Pustaka Arafah, 2011), h., 42.

.

(26)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain selain Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina”.

Mengenai firman diatas kata-kata zina disebutkan pada urutan ketiga sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang ketiga dalam urutan syariat Islam. Disebutkan yang pertama adalah orang-orang yang tidak mau menyembah allah, yang kedua adalah orang yang membunuh jiwa yang diharamkan oleh allah dan yang ketiga adalah orang dengan sengaja melakukan perbuatan zina.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟ di berkomentar:

“Allah SWT telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji dan kotor. Artinya zina dianggap keji menurut syara‟ , Akal dan Fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan dan melanggar tatanan lainya”.7 Oleh karena itu kegiatan pelacuran atau zina di dalam Islam telah ditetapkan mengenai hukuman bagi para pelaku zina, dengan hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum menikah dan hukuman rajam sampai mati bagi pelaku yang di ketahui sudah menikah. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam al-Quran al-Karim dalam surat An-Nuur ayat 2:

7Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang), h., 78.

(27)

Artinya:

“Wanita dan laki-laki yang berzina maka cambuklah masing- masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman”.

4. Jenis-Jenis Prostitusi Dan Pekerja Seks Komersial (PSK) Jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya, yakni prostitusi yang terdaftar dan terorgansir, dan yang tidak terdaftar:

a. Prostitusi yang terdaftar biasanya si pelaku selalu diawasi oleh bagian Vice Control yakni dari pihak Kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dan diorganisir dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodic harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan khusus serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum, agar terhindar dari berbagai penyakit-penyakit yang dapat menular dan membahayakan.

b. Prostitusi yang tidak terdaftar, yang termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan, sembunyi-sembunyi dan liar, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.

Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya pun tidak menentu bahkan dimana saja. Bisa disembarang tempat, baik mencari pelanggan sendiri, maupun melalui calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri pada yang berwajib, sehingga dari segi kesehatannya sangat diragukan dan patut dipertanyakan, karena belum tentu diluar dari

(28)

kegiatan mereka itu, mau memeriksakan kesehatan diri mereka kepada dokter.

Prostitusi yang tidak terdaftar atau liar justru tidak kalah banyak diantara prostitusi yang terdaftar dan terorganisir.

Diberbagai pelosok daerah maupun kota, sudah tidak diragukan lagi, pasti ada saja praktik atau kegiatan-kegiatan prostitusi liar ini terjadi. Tak jarang, akibat perkembangan dunia usaha (Bisnis) yang menjadikan tempat-tempat peristirahatan seperti (Hotel) semakin enggan menanyakan identitas pelanggannya/tamunya dalam rangka meningkatkan pelayanan, yang menerapkan prinsip bisnis yang menyatakan bahwa pembeli adalah tuan, maka dari situlah hotel telah di salah gunakan oleh sebagian anggota masyarakat untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat8.

Di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor contohnya, lebih tepatnya di belakang pasar Cibinong, terdapat cukup banyak para PSK yang mangkal untuk menjajahkan diri mereka untuk para pelanggan, biasanya mereka memulai praktiknya dari mulai jam 10.00 malam hingga sebelum waktu subuh datang. Para PSK ini jumlahnya cukup banyak, bukan saja berkumpul atau mangkal di belakang pasar Cibinong saja, bahkan ada dari sekelompok mereka yang biasa mangkal untuk menunggu pelanggannya di warung gelap atau remang-remang, yang lokasinya masih berdekatan dengan pasar Cibinong, di bawah kolong jembatan atau fly over Cibinong, di Setu Cikaret dan tempat-tempat lain yang lokasinya masih dalam ruang lingkup Kecamatan cibinong. Lebih miris lagi, di Pasar Cibinong ini bukan hanya para PSK wanita saja yang suka mangkal dan mencari pelanggan, bahkan banyak kaum waria pun (Bencong) yang juga sama berkecimpung dalam praktik prostitusi ini, jumlah mereka pun tidak sedikit, bahkan terbilang cukup banyak.

8Marpung Laden, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Revensinya,… h., 6.

(29)

Menurut jumlahnya, prostitusi dapat dibagi ke dalam Prostitusi yang beroperasi secara individual yaitu “Single Operator” dan yang kedua Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapih, semua itu akan diatur melalui satu sistem kerja dalam suatu organisasi. Prostitusi menurut tempat penggolongannya atau lokasinya, dapat dibagi menjadi:

1) Rumah-rumah panggilan (Call houses, tempat rendezvous, parlour).

2) Segregasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Kompleks ini dikenal sebagai daerah “Lampu Merah”, atau petak-petak daerah tertutup.

3) Di balik front organisasi atau di balik bisnis-bisnis terhormat.

(Apotik, salon kecantikan, rumah makan, tempat mandi uap dan Panti-panti pijat).

5. Faktor Penyebab Terjadinya Prostitusi

Terdapat di dalam ideologi bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila, sebagai suatu ideologi negara bangsa Indonesia bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang. Namun pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat sebelum membentuk Negara.9 Walaupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) itu telah ada pada saat ini, akan tetapi praktik-praktik hina ini masih saja belum dapat teratasi, karna Indonesia bukan hanya negara asal untuk perdagangan orang, namun juga telah menjadi negara tujuan dan bahkan sebagai negara transit untuk melangsungkan praktik tersebut. Hal ini dikarenakan letak Negara Indonesia yang sangat strategis, itulah alasan mengapa Indonesia

9M.S Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: paradigma 2010), h., 112.

(30)

menjadi daerah yang sangat rawan akan terjadinya praktik perdagangan orang.

Apabila kegiatan melacur tersebut dilakukan tanpa adanya paksaan, maka pelakunya akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan daerah setempat. Namun, apabila kegiatan pelacuran tersebut dilakukan dengan ancaman kekerasan atau paksaan terhadap seseorang untuk mau dijadikan pekerja seks komersial, maka tindakan tersebut akan dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang patut ditabukan karena secara moral dianggap bertentangan dengan nilai agama dan kesusilaan. Tumbuh dengan sangat suburnya kegiatan prostitusi di Indonesia merupakan bukti bahwa kegiatan prostitusi masih menjadi momok bagi moral masyarakat bangsa Indonesia, sehingga sulit untuk pemerintah dalam menghapus kegiatan prostitusi ini. Terdapat banyak faktor perdagangan manusia terjadi, khususnya di Negara Indonesia sendiri. Berkembangnya praktik prostitusi ini didorong oleh banyak faktor, diantaranya:

a. Kemiskinan b. Pergaulan bebas

c. Daya Tarik Standar Hidup Yang Lebih Tinggi (Hedonisme) d. Kejahatanyang terorganisir

e. Kurangnya lahan pekerjaan

f. Kekerasan terhadap wanita dan anak-anak g. Korupsi pemerintah

h. Krisis Keluarga dan lain sebagainya

6. Aturan Hukum Terhadap Prostitusi Di Indonesia

Pola-pola kejahatan seperti prostitusi, semakin tampak dan transparan, di saat negara dalam keadaan tidak stabil, sehingga

(31)

tidak memungkinkan hukum pidana mudah untuk memasukinya10, meskipun demikian, yang namanya hukum harus tetap ditegakkan.

Dalam masalah Prostitusi ini, kita dapat melihat dua kemungkinan yang seharusnya terjadi, yakni apakah orang yang melakukan pelacuran tersebut melakukannya tanpa paksaan atau tidak dengan paksaan. Apabila kegiatan melacur tersebut dilakukan tanpa adanya paksaan, maka pelakunya akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan daerah setempat. Apabila kegiatan pelacuran tersebut dilakukan dengan ancaman kekerasan atau paksaan terhadap seseorang untuk mau dijadikan pekerja seks komersial, maka tindakan tersebut akan dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).

Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai eksploitasi orang, yakni tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial, hal ini sesuai dengan penjelasan yang tertuang di dalam Pasal 1 Ayat (7) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).

Di dalam ideologi bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila, sebagai suatu ideologi negara Indonesia bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang. Namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-

10Anwar Yesmil dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana,..

h., 54.

(32)

istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat sebelum membentuk negara11. Dalam ratifikasi perundang-undangan RI Nomor 7 Tahun 1984, perdagangan perempuan dan prostitusi dimasukan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam tulisan “Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi di Indonesia” oleh Syamsudin, bahwa menurut istilah prostitusi diartikan sebagai pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai apa yang diperjanjikan sebelumnya.

Sebenarnya di Indonesia, hukum-hukum yang mengatur tentang Prostitusi itu sudah cukup banyak, diantaranya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, untuk selanjutnya dijelaskan sebagai berikut, yaitu:

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang “Adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan penjeratan utang atau member bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Eksploitasi “Adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,

11M.S Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradikma, 2010), h., 112.

(33)

seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum meniadakan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial”.Sanksi bagi orang yang melakukan eksploitasi seperti diatas berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (Tiga) tahun dan paling lama 15 (Lima Belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (Enam ratus juta rupiah).

Pasal 1 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Eksploitasi Seksual “Adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan”. Apabila yang dieksploitasi adalah anak-anak, berdasarkan Pasal 66 Ayat (3) Jo. Pasal 66 Ayat

(1) Undang-Undang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.Sanksi bagi setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (Sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Perlindungan Anak.

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan

(34)

kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 “Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu

(35)

atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 “Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 “Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 “Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 “Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan

(36)

orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga)”.

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)”.

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 “Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”.

Berkaitan dengan prostitusi KUHP juga mengaturnya dalam dua pasal, yaitu Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP tindak pidana membuat kesengajaan menyebabkan atau memudahkannya dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga sebagai mata pencaharian atau sebagai kebiasaan di atur di dalam KUHP Pasal 296 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadkannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah12‟ '.

Sedangkan Pasal 506 KUHP menyatakan “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”. Masalah prostitusi ini juga banyak diatur dalam Peraturan-peraturan Daerah masing-masing yang ada di Indonesia, sesuai dengan judul yang berkenaan dengan Kecamatan Cibinong, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor juga telah membuat Peraturan Daerah Pasal 1 Ayat (9), Pasal 2 Nomor 4

12Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi 2008, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h., 119.

(37)

Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum, yang lebih spesifik terdapat dalam tentang asas, maksud dan tujuan.

Terciptanya suatu ketertiban harus ada kepastian hukum seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP menyatakan13: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

B. Kerangka Teori

Penulisan karya ilmiah ini perlu dibuat sebuah karangan teoritis untuk mengidentifikasi data yang akan menjadi pengantar bagi peneliti dalam menjawab permasalahan tugas akhir yang diangkat.

Penyelenggaraan ketertiban umum merupakan salah satu urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Ketertiban umum dan ketentraman masyarakat merupakan manifestasi dari hak asasi manusia dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai instrumen regulasi yang berfungsi untuk mengendalikan dan mengarahkan dinamika sosial masyarakat, pemerintah daerah berkewajiban menciptakan suatu perangkat kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.

Fenomena yang secara nyata terjadi dalam masyarakat memerlukan perhatian yang khusus, terutama mengenai pertentangan kepentingan, baik vertikal antara pemerintah daerah dengan masyarakat, maupun kepentingan horizontal antara masyarakat dengan masyarakat. Bahwa di Kabupaten Bogor telah ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Ketertiban Umum, yang secara garis besar telah mengatur mengenai kebijakan pemerintah daerah untuk mengawasi, mencegah dan menindak segala

13Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi 2008,… h., 3.

(38)

bentuk kegiatan penyalahgunaan sarana sosial, sarana umum dan fasilitas milik pemerintah daerah serta permukiman sebagai upaya untuk menciptakan ketertiban, ketentraman, keteraturan kehidupan pada masyarakat.

Dalam perkembangan dinamika kebijakan peraturan perundang- undangan antara lain dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Polisi Pamong Praja maupun perkembangan sosiologis dan kebutuhan masyarakat yang belum terakomodir dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Ketertiban Umum, pengaturan mengenai ketertiban umum di Kabupaten Bogor perlu diubah dan disesuaikan.

Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai aparat penegakan kebijakan daerah, harus disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kebijakan peraturan Perundang-Undangan, serta hubungan koordinasi dan sinergitas dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah lainnya. Hal ini didasarkan pada permasalahan yang dihadapi oleh Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Terdapat 4 (empat) bentuk perilaku/kegiatan yang berpotensi menimbulkan gangguan dan keresahan sosial, sehingga diperlukan sebuah metode penertiban yang sistematis dan kolektif. Kegiatan bentuk prilaku/kegiatan tersebut didefinisikan sebagai berikut:

1. Terjadinya kegiatan pelanggaran terhadap kebijakan Daerah (Peraturan Daerah/Peraturan Bupati), antara lain pelanggaran izin, pelanggaran tempat pelaksanaan usaha, pelanggaran dengan tidak melaksanakan kewajiban terhadap pemerintah daerah dengan tidak

(39)

mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan seperti pendirian bangunan tanpa izin.

2. Penyimpangan norma agama, kesusilaan, etika dan hukum, antara lain adanya Penyandang Masalah Kesejahtaan Sosial (PMKS).

3. Penyalahgunaan prasarana umum dan utilitas seperti jalan, pasar, taman, jalur hijau, sungai, situ, trotoar dan sebagainya. 4. Tindak kriminal, antara lain kekerasan, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, perjudian, minuman keras dan sebagainya.

Pada dasarnya, ide ketertiban umum merupakan apresiasi dan impelementasi dari aspirasi masyarakat yang mencita-citakan terwujudnya kondisi masyarakat yang ideal, dimana masyarakat dapat melaksanakan aktivitas secara normal, tanpa terganggu oleh kegiatan yang disebut “penyakit masyarakat”.

Berdasarkan kajian yang komprehensif, ide tersebut diformulasikan dalam bentuk peraturan daerah yang secara umum mengatur tentang tata cara dan upaya pemerintah daerah menciptakan ketertiban umum, keteraturan pemanfaatan sarana umum dan fasilitas

Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah ini merupakan hasil peninjauan/kajian terhadap Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum sebelumnya, yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006.

Penyesuaian dilakukan dalam rangka mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat dan mengantisipasi kebutuhan dalam pelaksanaan tugas-tugas Pemerintah Daerah sehari-hari, khususnya dalam bidang penegakan Peraturan Daerah.

Dalam Peraturan Daerah ini terdapat beberapa pengaturan baru diantaranya pembaruan prosedur penegakan ketertiban umum, penguatan kapasitas Satuan Polisi Pamong Praja sebagai ujung tombak penegakan Peraturan Daerah, penguatan koordinasi dan sinergitas antar Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam pelaksanaan tindakan penertiban, penambahan materi-materi yang belum ada pada Peraturan

(40)

Daerah sebelumnya, antara lain mengenai kesehatan dan administrasi kependudukan, pemberian penghargaan terhadap warga masyarakat yang berjasa dalam membantu tugas pemerintah daerah menjaga ketertiban umum, dan lain-lain. Dengan adanya Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum ini diharapkan dapat menjadi acuan yuridis yang memadai bagi aparat pemerintah daerah, dinas teknis, dan instansi terkait lainnya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya yang terkait dengan ketertiban umum.

Semakin maraknya pelanggaran yang terjadi dimasyarakat daerah, khususnya daerah kabupaten Bogor. Menjadikan hal tersebut sebagai tanggung jawab besar pemerintah terhadap masyarakat dalam menanggulanginya, karna jikalau tindakan-tindakan pelanggaran tersebut semakin dibiarkan, maka pada saat itu pula kesempatan bagi mereka dalam memperluas jaringan dalam melakukan tindakan pelanggaran dan kriminalitas semakin berkembang pula.

Contohnya masalah prostitusi, hal ini di wilayah Cibinong Bogor bukan permasalahan yang baru lagi, ini adalah problem yang sebenarnya sangat serius yang harus diberantas keberadaannya, setidaknya diminimalisir. Hal demikian menyangkut pandangan dari masyarakat yang pro dalam pemebrantasan prostitusi terhadap pemerintah yang lemah dalam kinerja memberantas hal-hal yang merusak moral dan integritas diri, khususnya bagi anak-anak bangsa yang tergiur kenikmatan dunia dari kabar burung kawan atau orang- orang yang telah pernah berkunjung kesana. Ini adalah problem yang seharusnya ditangani oleh pemerintah secara serius, karna sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum diterangkan dan ditegaskan bahwa “Setiap orang dan/atau badan dilarang melakukan usaha perdagangan manusia” dan “Setiap orang atau badan dilarang memberi kesempatan untuk berbuat asusila”.

(41)

Profesor W.A Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie menulis defenisi sbb;

Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.

Dalam Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut meyatakan sbb:

Barang siapa yang pekerjaanya atau kebiasaanya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah

C. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan penelitian lainnya, maka penulis melakukan penelusuran terhadap beberapa penelitian terlebih dahulu, diantaranya adalah:

Skripsi yang disusun oleh Ahmad Rosyadi, S.Sy., dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011, dengan judul “Kajian Yuridis Terhadap Prostitusi Online Di Indonesia”. Penelitian ini membahas tentang adanya tindak pidana Prostitusi Online dan didalamnya meninjau hukum tentang prostitusi melalui media online menurut hukum positif dan hukum islam sedangkan Skripsi yang dibuat oleh peneliti lebih menekankan pada pembahasan Prostitusi Terselubung di Panti Pijat Refleksi di Kecamatan Cibinong.

Buku yang berjudul „‟ Pelacuran” yang disusun oleh Soedjono D.

SH., yang telah diterbitkan oleh PT. Karya Nusantara cabang Bandung, pada tahun 1977. Buku ini terfokuskan pada pembahasan praktek pelacuran yang ada di Indonesia sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat yang ditinjau dari sudut pandang sosiologis, yuridis dan psikologis, berbeda dengan Judul Skripsi serta pembahasan yang akan peneliti bahas tentang Praktik Tindak Pidana Prostitusi yang dilakukan secara Terselubung.

(42)

Jurnal dengan judul “Urgensi Kriminalisasi Terhadap Pelacuran Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” yang disusun oleh Lucky Elza Aditya, yang telah diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tahun 2016. Jurnal ini difokuskan terhadap urgensi pengaturan kebijakan hukum pidana dalam hal kriminalisasi pelacuran di Indonesia serta mengetahui dan memahami tentang sejarah hukum pidana Indonesia yang belum mengatur tentang pelacuran, sedangkan dalam skripsi ini pembahasan terfokus pada praktek prostitusi terselubung yang di lakukan oleh panti pijat refleksi serta peran pemerintah dalam menanggulangi dan menyelesaikan permasalahan prostitusi yang semakin mewabah di Kecamatan Cibinong.

(43)

PRAKTEK PROSTITUSI TERSELUBUNG YANG DILAKUKAN PANTI PIJAT REFLEXY

A. Gambaran Umum Prostitusi Terselubung Bermotif Panti Pijat Reflexy di Kecamatan Cibinong

Cibinong adalah salah satu dari sekian banyak nama Kecamatan yang ada di daerah Kabupaten Bogor. Pada saat ini, Kecamatan Cibinong telah banyak dihiasi dengan hiburan-hiburan malam, contohnya bar, kafe- kafe malam, lapo-lapo sampai dengan panti pijat plus yang kerap menjadi tujuan masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah Kecamatan Cibinong.

Lokasinya yang berada di pusat Kabupaten Bogor, dekat permukiman dan sederet dengan pusat-pusat perdagangan, menjadikan Kecamatan Cibinong sebagai griya pijat plus-plus yang selalu ramai dihampiri para pengunjung.

Layaknya tempat perawatan tubuh pada umumnya, hampir seluruh tempat pijat plus-plus memiliki fasilitas yang cukup lengkap,yakni terdiri dari ruang pijat, kamar mandi, AC dan lain sebagainya. Semua perlengkapan kebersihan pun telah disediakan di sana, mulai dari handuk, celana, baju mandi hingga sabun. Seperti dikatakan banyak orang, bisnis prostitusi ini tidak akan pernah hilang dari bumi. Begitupun juga di Kecamatan Cibinong, justru di Kecamatan ini para pelaku bisnis prostitusi lebih lihai menyembunyikan kedoknya. Salah satunya dengan membuka jasa panti pijat atau refleksi tersebut. Peneliti pun mencoba menelusuri bisnis prostitusi berkedok panti pijat ini untuk mencari tau kebenarannya.

Keberadaan panti pijat dengan layanan plus-plus di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor, terbilang cukup banyak. Jikalau ditelusuri, sepanjang jalan raya Sukahati-Pemda, sedikitnya ada empat panti pijat yang masih aktif beroperasi. Lokasi lainnya ada di jalan raya Cikaret, Kelurahan Harapanjaya, Kecamatan Cibinong. Di lokasi ini ada sekitar delapan panti pijat yang menempati ruko-ruko dan rumah, masing-masing

34

(44)

memiliki nama yang berbeda-beda. Di pinggir jalur jalan raya Bogor pun telah dibuka tiga tempat panti pijat reflexy yang bertempatkan diruko yang cukup besar, di belakang pasar Cibinong pun terdapat tiga tempat panti pijat reflexy yang dimana tempatnya tidak saling berjauhan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Keberadaan panti pijat ini sangat mudah ditemui. Pemilik panti pijat biasanya menempatkan papan nama dengan tulisan nama seorang perempuan atau nama tanaman hias sebagai tanda dari pada tempat usahanya. Khusus panti pijat yang menempati kios atau ruko, biasanya hampir semua pemilik mengganti kaca depan mereka dengan warna yang gelap.

B. Mekanisme Prostitusi Terselubung

Pada tanggal 13 Maret 2018 pukul 22.30 WIB, peneliti melakukan Observasi yang pertama ke salah satu panti pijat yang ada di jalan Raya Cikaret, Kelurahan Harapan Jaya. Salah satu panti pijat yang ada di jalan raya Cikaret, Kelurahan Harapan Jaya, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Panti pijat yang menggunakan nama seorang perempuan ini menampati ruko yang lokasinya kebetulan berhadapan dengan SPBU Cikaret. Pada penelitian kali ini, untuk mengungkap kebenaran dari pada permasalahan prostitusi terselubung ini, peneliti memiliki beberapa pertanyaan yang akan di sampaikan kepada para terapis, guna mendapatkan informasi-informasi yang jelas seputar aktivitas dan praktik- praktik mereka.

Awal peneliti datang sedikit ragu, karena khawatir panti pijat reflexy ini bukan target yang peneliti tuju. Ketika peneliti datang untuk menghampiri pintu, langsung seorang wanita paru baya membukakan pintu dan menyambut kedatangan peneliti dengan sangat ramah dan

Referensi

Dokumen terkait

• Jika dalam sebuah program kita menggunakan nama class yang sama, maka import dua package tersebut dan gunakan nama class berserta maka import dua package tersebut, dan gunakan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode dalam perhitungan baik untuk mendapatkan hasil permintaan yang akan datang maupun untuk mendapatkan hasil efisiensi

Faktor lainnya yaitu adanya rasa malu dari pasangan suami istri tersebut untuk mengakui bahwa dalam rumah tangganya telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga,

PEMIDANAAN ANAK DI BAWAH UMUR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kediri No 6/Pid Sus Anak/2015/PN Kdr)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang memiliki sistem full day school tidak akan menimbulkan stres akademik pada siswa jika konsep full day school diterapkan dengan

Objek penelitian ini adalah aplikasi untuk mendiagnosa penyakit sistem saraf pusat pada manusia berbasis android menggunakan metode forward chaining. Sistem ini

Hasil dari penelitian ini diharapkan sistem dapat dimanfaatkan lebih lanjut oleh para tenaga medis dalam memberikan informasi tentang resiko penyakit ginjal kepada para pasien..

89 Respon terhadap privasi informasi yang berkaitan dengan pada pelanggan?. 90 Respon untuk risiko keamanan