• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Yuridis Terhadap Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Simalungun (Studi di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kajian Yuridis Terhadap Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Simalungun (Studi di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Yuridis Terhadap Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Simalungun

(Studi di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun)

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

UTHERESIA JULIANA N. BARUS NIM: 160200122

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT SIMALUNGUN (STUDI DI DESA PAMATANG RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN)”.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di mana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Demi terwujudnya penyelesain dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak yang dengan ikhlas memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan doa sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. O.K. Saidin, SH., M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

6. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasehat, dan memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini

7. Ibu Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasehat, dan memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini

8. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

9. Kepada masyarakat adat Simalungun di Desa Pamatang Raya yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam memberikan pendapat dan informasi yang penulis butuhkan.

10. Kepada keluarga nini, aato, aadi, bibi, felix, lysia, cecilia yang selalu berada di sisi penulis dan selalu memberikan dukungan serta semangat untuk menyelesaikan skripsi ini secepatnya.

11. Kepada teman-teman yang selalu ada bersama saya. Buat ts Rohny Saragih yang selalu menemani saya terkhusus dalam pembuatan skripsi ini. Dan tesduk Evi Purba yang sudah menjadi teman dekat yang cukup lama dan selalu ada sebagai tempat cerita danmemberikan dukungan.

12. Kepada Roy, Duma, Windy, Astri, Olip dan teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama saya berkuliah di Fakultas Hukum USU ini.

13. Kepada teman teman yang setia menemani, menghibur, dan mendukung penulis, Emma dan Nira yang selalu ada sampai pada akhir mendapatkan gelar ini.

(6)

14. Kepada abang-abang penulis, Bang Rio, Bang Samjo, Bang Frans yang selalu setia memberikan dukungan, arahan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

15. Kepada keluarga besar KMK St. Fidelis FH USU atas dukungan dan doanya, canda tawa selama penulis berkuliah di Fakultas Hukum USU ini serta terselesaikannya penulisan skripsi ini.

16. Kepada keluarga besar IMAS-USU (Ikatan Mahasiswa Simalungun Universitas Sumatera Utara) atas dukungan dan doanya, pengalaman berorganisasi yang sangat bermanfaat serta saran dan arahan yang bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

17. Kepada saudara/i “Mit Amsikha Orasi” angkatan XIX SMA Plus PMS Raya yang selalu menceriakan hari-hari penulis.

18. Kepada bagian dari “Raj’Khan Family” Bang Raja, Efri, Bang Febri, Kak Desi, Kak Dewi, Fitria, Sabarta, Riyan dan Brian yang telah memberikan dukungan, suka duka, canda tawa, dan pengalaman serta pembelajaran kepada penulis.

Teruntuk keluarga penulis yang sangat penulis kasihi, kepada orang tua penulis, bapak Ir. Stefanus Barus yang telah dipanggil Tuhan terlebih dahulu yang selalu menjadi motivasi dan semangat penulis serta telah mengarahkan penulis untuk mengambil jurusan hukum ini. Dan untuk mama Agustina Tarigan yang selalu ada di setiap langkah kehidupan penulisyang tidak hanya menjadi sosok ibu melainkan teman yang selalu ada dan memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. Serta adik penulis satu-satunya Alexander Barus yang selalu setia memberikan dukungan dan bantuan tak lupa juga dengan hiburan kepada penulis

(7)

selama pembuatan skripsi ini. Terimakasih atas segalanya serta doa yang tak putus-putusnya, mungkin tanpa mereka penulis tidak bisa menuliskan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2020

Penulis

Theresia J.N Barus

(8)

ABSTRAK

Theresia Juliana N. Barus1 7 TP0 F* Edy Ikhsan1 7 TP1 F**

Yefrizawati17 TP2 F***

Salah satu peristiwa penting dalam perjalanan manusia adalah kematian dari seseorang yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu, yaitu harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Masyarakat adat Simalungun Desa Pematang Raya Kabupaten Simalungun menganut sistem kekerabatan Patrilineal yang menarik garis keturunan dari pihak ayah (laki-laki). Hal ini berarti bahwa pada umumnya akan mendahulukan anak laki-laki sebagai ahli waris utama.

Persoalan yang diteliti dalam hal ini adalah mengenai sistem pewarisan dalam masyarakat Simalungun, pelaksanaan pembagian warisan di kalangan masyarakat Simalungun, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hak waris pada masyarakat Simalungun.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Analisis data dalam penelitian ini adalah kualitatif.

Hasil dari penelitian ini adalah sistem pewarisan dalam masyarakat Simalungun di Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun yang umumnya digunakan adalah sistem pewarisan Individual ataupun Mayorat, tergantung bagaimana keadaan dalam keluarga. Pelaksanaan pembagian warisan di Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun dilakukan dalam 2 (dua) cara, yaitu : proses pembagian harta sebelum pewaris meninggal dunia dan proses pewarisan setelah pewaris meninggal dunia. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan tersebut adalah faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor kasih sayang, dan faktor perantauan.

Kata Kunci : Batak, Hak Waris, Adat, Simalungun

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 11

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II SISTEM PEWARISAN DALAM MASYARAKAT SIMALUNGUN A. Hukum Waris Adat ... 20

1. Pengertian Hukum Waris Adat ... 20

2. Asas-Asas Kewarisan Menurut Hukum Waris Adat ... 25

3. Unsur-Unsur Kewarisan Menurut Hukum Waris Adat ... 28

4. Proses Peralihan Harta Menurut Hukum Waris Adat a. Sebelum Pewaris Meninggal Dunia ... 30

b. Setelah Pewaris Meninggal Dunia ... 32

B. Sistem Pewarisan dalam Masayarakat Simalungun ... 39

BAB III PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN DI KALANGAN ORANG SIMALUNGUN DI KECAMATAN PEMATANG RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN A. Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Adat Simalungun ... 42

B. Proses Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat Simalungun di Desa Pamatang Raya Kabupaten Simalungun... 45

C. Perkembangan Pembagian Warisan pada Masyarakat Simalungun di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun... 52

(10)

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN PEMBAGIAN WARIS DI KALANGAN

MASYARAKAT SIMALUNGUN DI DESA PAMATANG RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Waris

Adat di Simalungun ... 56

1. Faktor Ekonomi ... 57

2. Faktor Pendidikan ... 54

3. Faktor Perkembangan Sosial ... 62

4. Faktor Kasih Sayang ... 63

5. Faktor Perantauan ... 64

B. Akibat Hukum Terhadap Perkembangan Warisan pada Masyarakat Simalungun ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum Adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat, dan kemudian bernegara. Sejak manusia itu berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka, misalnya ayah pergi berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu menghidupkan api untuk membakar hasil buruan kemudian bersantap bersama. Prilaku kebiasaan itu berlaku terus menerus, sehingga merupakan pembagian kerja yang yang tetap.P3 F1

Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu dimulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan prilaku. Prilaku yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan kebiasaan pribadi.Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan prilaku kebiasaan tadi, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi adatdari masyarakat itu. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggotamasyarakat, sehingga menjadi Hukum Adat. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan. P4 F2

Manusia di dalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting yaitu, lahir, menikah, dan meninggal dunia yang kemudian akan

1Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 1. (Selanjutnya disebut buku I)

2Ibid

(12)

menimbulkan akibat hukum tertentu. Manusia sebagai subjek hukum berlaku sejak lahir sampai meninggal, namun terdapat pengecualiannya yaitu anak yang masih di dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan si anak menghendakinya.P5 F3

Menurut hukum semua orang dapat memiliki hak-hak perdata, akan tetapi tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak- haknya. Ukuran kedewasaan seseorang sebagai subjek hukum yang cakap dan telah dikatakan dewasa apabila ia telah mampu bekerja sendiri atau mandiri, cakap mengurus harta benda keperluannya sendiri, serta cakap melakukan segala tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk pertanggungjawaban segala tindakannya.P6 F4

Seseorang akan melaksanakan perkawinan setelah beranjak dewasa dengan pasangan hidupnya yang bertujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia baik lahiriah maupun batiniah serta mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi dalam keluarganya. Budaya perkawinan atau aturan yang berlaku bagi suatu masyarakat, atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyaarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya.P7 F5

Salah satu peristiwa penting dalam perjalanan manusia adalah meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu, peristiwa ini mengakibatkan timbulnya persoalan dan pertanyaan mengenai segala sesuatu

3R.Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, Hlm.233

4Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, Hlm.78

5Hilman Hadikusuma I, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, Hlm. 1

(13)

yang di tinggalkan oleh si mati. Peraturan yang menampung segala akibat dari meninggalnya seseorang ini adalah sangat diperlukan. Peraturan-peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan sesorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya, hal ini disebut dengan Hukum Waris.P8 F6P Peraturan ini umumnya mengatur mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, contohnya seperti adanya anggota keluarga yang tidak termasuk sebagai ahli waris dan ahli waris itu sendiri.

Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal, serta akibat-akibatnya dari para ahli waris. Bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di dunia ini memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda, dari inilah keadaan warisan dari masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut.P9F7

Hukum waris Indonesia bersifat majemuk, hal tersebut terjadi karena Indonesia belum mempunyai undang-undang hukum waris nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Istilah masyarakat majemuk mempunyai arti yang sama dengan istilah masyarakat plural atau pluralistic, biasanya hal itu diartikan sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang berbhineka.P10 F8

6 J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, Hlm.9

7Oermasalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta, 2000, Hlm. 5

8Soerjono Soekanto I, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hlm. 12

(14)

Hukum waris adat di Indonesia bersifat pluralistic disebabkan oleh karena sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar sistem suku-suku bangsa dan kelompok etnik.Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu:

a. Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan di mana para ahli waris mewarisi secara perorangan, (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain-lain) b. Sistem kewarisan kolektif, di mana para ahli waris secara kolektif (bersama- sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris (Minangkabau)

c. Sistem kewarisan mayorat:

I). Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.

II). Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal, adalah ahli waris tunggal, misalnya, pada masyarakat di Tanah Semendo.P1 1 F9

Perubahan-perubahan dalam hukum adat terjadi karena adanya kemajuan zaman, termasuk dalam perkawinan yang mulai mengalami pergeseran dengan tetap melangsungkan perkawinan yang dalam hukum adat sudah dilarang.

Perkawinan merupakan unsur biologis bagi manusia, merupakan suatu keharusan bagi manusia yang normal, untuk melakukan dan melaksanakan perkwaninan.

Dalam hal melaksanakan perkawinan pasti memiliki aturan, serta memiliki

9Soerjono Soekanto I, Op Cit. Hlm. 260

(15)

beberapa tahap, dengan adanya aturan tersebut maka dikenal adanya perkawinan yang dibolehkan dan perkawinan yang dilarang.

Perkawinan menurut hukum adat Simalungun mengatur tentang keabsahan perkawinan. Perkawinan yang dilarang dalam hukum adat Simalungun adalah:

a. Satu marga, orang batak yang satu margaP1 2 F10P tidak boleh menikah karena tergolongbotou (saudara), karena statusnya marbotou (saudara laki-laki/saudara perempuan).

b. Marpadan

Walaupun orang batak yang satu marga tidak dapat menikah, ada juga yang beda marga tidak dapat menikah karena Namarpadan.P1 3 F11

c. Anak laki-laki tidak boleh menikahi anak perempuan dari bou (saudara perempuan bapak)

Akibat hukum dari perkawinan adat Simalungun dalam hal kedudukan anak adalah anak kandung yang sah, yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibu yang sah. Anak mengikuti kerabat dari bapak (ayah) dalam hal kedudukan anak dengan kerabat yaitu anak bukan saja wajib hormat kepada bapak atau inang (ibu), tetapi juga hormat pada tulang (saudara laki-laki ibu) dan sanina bapak (saudara lelaki dari bapak). Masyarakat adat Simalungun pada zaman dahulu masih mengenal sistem patrilineal dimana anak lelaki yang mendapatkan harta

10Marga atau nama keluarga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal.

Biasanya marga ini berasal dari nama orang atau nama kampong tempat asalnya, segala turunan yang merasa jadi anggota kepada kampong asal atau orang tua.

11Padan = sama = tara <sepadan = seimbang = setara atau sama dengan> ikhrar janji yang telah diikat oleh leluhur suku batak zaman dahulu dengan mengharamkan pernikahan dianatara kedua belah pihak marga yang menjalin ikatan padan, dengan tujuan saling menjaga hubungan yang baik diantara kedua belah pihak. Itulah nasihat yeng telah diwariskan oleh nenek moyang batak kepada generasinya yang wajib dipatuhi.

(16)

peninggalan dari orang tuanya sedangkan anak perempuan tidak memperoleh harta warisan hanya memperoleh hibah dari orang tua atau harta Parpaikat.P1 4 F12PAnak laki-laki sebagai ahli waris karena nantinya anak laki-lakilah yang akan membawa atau melanjutkan marga dari bapaknya, dan juga disaat salah satu dari kedua orang tuanya meninggal terkhusus bapaknya maka anak sulung dari anak lelaki akan terangkat derajatnya menjadi pengganti dari bapaknya.

Seiring dengan berjalannya waktu anak perempuan dalam adat Simalungun sudah mendapatkan warisan walaupun kedudukannya tetap dibawah anak laki-laki, diantaranya karena:

a. Faktor kasih sayang dari orang tua yang menyamakan hak setiap anak-anaknya sehingga timbul adanya rasa keadilan dalam keluarga tersebut. Karena anak yang berhasil dan hidup rukun merupakan kebanggan dari kedua orang tua.

b. Faktor pendidikan dan merantau yang membuat pemikiran yang menjadi lebih luas serta menambah wawasan.

Pemberian tuhor dalam adat Simalungun merupakan suatu bentuk yang menyatakan putusnya hubungan hak antara anak perempuan dengan orang tua seingga hal tersebutlah yang membuat anak perempuan tidak mendapat warisan dari orang tuanya. Karena anggapan dengan uang tuhor tersebut anak perempuan sudah dibeli. Dalam masyarakat yang menganut patrilineal apabila anak perempuannya sudah menikah, otomatis anak perempuannya langsung dianggap sebagai anggota keluarga baru dari suaminya bukan lagi menjadi anggota keluarganya yang lama (sebelum melangsungkan perkawinan).

12Parpaikat harta yang diberikan kedua orang tua perempuan pada saat berlangsungnya pernikahan yang diberikan secara simbolis. Misalnya orang tua mempelai perempuan memberikan lemari pakaian, kunci lemari diberikan simbolis.

(17)

Susunan masyarakat adat Simalungun dapat diketahui dari falsafah adat Simalungun yaitu “Tolu Sahundulan Lima Saodoran” artinya 3 (tiga) kedudukan di sandang oleh 5 (lima) manusia. Kedudukan yang dimaksud adalah Tondong, Sanina, Anak Boru. Sementara yang dimaksud 5 (lima) manusia itu adalah Tondong, Sanina, Suhut, Anak Boru Jabu, dan Anak Boru Mantori.

Kedudukan Tondong adalah yang tertinggi dari kedudukan manusia lainnya dalam fungsi adat Simalungun. Tondong itu dianggap Tuhan di bumi yang begitu mulia dan dihormati serta memiliki kedudukan tertinggi dalam suatu kekerabatan. Tondong yang memberikan restu (pasu-pasu) kepada anak borunya, selain dari hak dan kewajibannya menurut adat yang berlaku. Tondong merupakan kumpulan keluarga dari istri dan saudara-saudaranya yang terdiri dari, orang tua (paman) dan saudara dari pengantin wanita, saudara laki-laki dari ibu (tulang pamupus), paman dari paman (tondong ni tondong).

Kedudukan Sanina merupakan saudara kandung, saudara dari lain nenek, saudara semarga, semarga tapi tidak mempunyai hubungan darah, pariban dari marga lain, teman sepergaulan. Sementara Anak Boru adalah sebagai pembantu utama didalam melaksanakan suatu pesta atau kerja juga sebagai protokol dalam pelaksanaan acara adat dari pihak Tondong. Anak Boru mempunyai kewajiban memberikan perlengkapan berupa barang-barang yang diperlukan, kata-kata nasehat dan petuah yang berguna.

Pamatang Raya merupakan ibukota dari Kabupaten Simalungun, Sumatera 4Utara, yang pada awalnya Kota Pematang Siantar lah yang menjadi ibukota dari

(18)

Kabupaten Simalungun.P15 F13P Meskipun Pamatang Raya sebagai ibukota kabupaten, mata pencarian masyarakat tetap dari sektor pertanian dan berjualan, walaupun ada juga yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kecamatan Pematang Raya merupakan kecamatan terbesar dan terluas di Kabupaten Simalungun.

Kecamatan Pematang Raya memiliki luas wilayah 328,50 km2, dengan letak geografis sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Raya Kahean dan Kecamatan Silou Kahean daerah Kabupaten Simalungun dan daerah Kabupaten Deli Serdang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean dan Kecamatan Panei, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Purba dan Kecamatan Dolok Silou, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Panombeian Panei. Kecamatan Pamatang Raya mencakup 18 Nagori/ desa dan 1 Kelurahan yaitu: Dolok Huluan, Raya Usang, Raya Bayu, Dalig Raya, Pamatang Raya, Merek Raya, Bah Hapal Raya, Sondi Raya, Bah Bolon, Raya Huluan, Siporkas, Silou Huluan, Silou Buttu, Bunguron Kariahan, Sihubu Raya, Raya Bosi, Simbou Baru, Bintang Mariah, dan Kelurahan Pematang Raya.

Pembagian warisan di Pamatang Raya untuk anak perempuan mulai mengalami perkembangan seperti pada keluarga Bapak Purba di daerah Raya memiliki 3 (tiga) orang anak, 2 (dua) orang anak laki-laki, dan 1 (satu) orang anak perempuan, harta warisannya berupa 9 persil tanah. Pembagiannya anak perempuan mendapatkan 2 (dua) persil tanah, anak laki-laki yang paling besar mendapatkan 4 (empat) 4persil tanah, anak laki-laki paling kecil mendapatkan sisanya yaitu 3 (tiga) persil tanah dan juga dikemudian hari rumah akan menjadi

13Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1999 Tentang Pemindahan Ibukota Daerah Kabupaten Simalungun dari Wilayah Daerah Kota Pematang Siantar ke Kecamatan Pematang Raya di Wilayah Daerah Kabupaten Simalungun.

(19)

miliknya. Proses pembagian warisan dilakukan pada saat setelah bapak mereka telah meninggal dunia, dilakukan dengan cara membaca wasiat yang telah diberitahukan kepada ibu mereka sebelum bapak meninggal dunia. Tetapi, dikarenakan perkembangan dalam pembagian warisan di kalangan masyarakat Simalungun ini, sudah ada anak perempuan yang menuntut haknya sebagai ahli waris. Padahal anak perempuan yang mendapat warisan dikarenakan bentuk pemberian atau kasih sayang dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pada sistem kekerabatan patrilineal yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki sementara anak perempuan bukan ahli waris.

Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk diadakannnya penelitian dengan judul : “Kajian Yuridis Terhadap Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Simalungun (Studi di Desa Pamatang Raya Kabupaten Simalungun)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di atas maka permasalaan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Bagaimana sistem pewarisan dalam masyarakat Simalungun?

2.Bagaimana pelaksanaan pembagian warisan di kalangan masyarakat Simalungun di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun?

3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perkembangan pembagian waris di kalangan masyarakat Simalungun di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun?

(20)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sistem pewarisan dalam masyarakat Simalungun.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian warisan di kalangan masyarakat Simalungun di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun.

3.Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan pembagian waris di kalangan masyarakat Simalungun di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun.

D. Manfaat Penulisan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis kepada:

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan Hukum Waris, khususnya hukum waris Adat terutama yang berhubuungan dengan pembagian warisan pada masyarakat suku Simalungun di Kecamatan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun.

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pikiran bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah warisan pada masyarakat suku Simalungun di Kecamatan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun.

(21)

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini merupakan karya asli dari penulis. Setelah menelusuri kepustakaan banyak hasil penelitian tentang hukum waris, namun berdasarkan uji bersih yang dilakukan, penelitian dengan judul “Kajian Yuridis Terhadap Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat batak Simalungun (Studi di Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun)” hingga saat ini belum ada.

Adapun judul yang ada di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Nopi Aryani Siregar Nim 110200487 dengan judul “Kajian Yuridis Pelaksanaan Warisan pada Masyarakat Adat Batak Mandailing di Padang Lawas”

dengan rumusan masalah, yaitu:

a. Bagaimana hukum waris yang hidup dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas?

b. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan yang berlaku pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas?

c. Bagaimana penyelesaian sengketa warisan pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas?

2. Muhammad Irsan Nasution Nim 130200002 dengan judul “Penyelesaian Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan (Studi Kasus Kecamatan Angkola Barat)” dengan rumusan masalah, yaitu:

a. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perkembangan hukum waris adat Tapanuli Selatan?

b. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa pembagian hukum waris di masyarakat Adat Tapanuli Selatan?

(22)

c. Bagaimana akibat hukum dalam perkembangan hukum waris adat di Angkola Barat?

F. Tinjauan Pustaka

Hukum waris adat merupakan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu generasi manusia kepada keturunannya.P1 6 F14P Hukum waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat, hukum Waris Islam, dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.

Warisan adalah yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta bagaimana cara harta warisan tersebut dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.P17 F15P Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas bahwa apabila sesorang meninggal dunia seketika itu juga segala hak dan kewajiban beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi:le mort saisit le-vif, sedangkan segala hak dan kewajiban, dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan saisine.P1 8F16

Menurut Ter Haar bahwa hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan

14 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, Hlm. 79

15Hilman Hadikusuma,(Buku I),Op.Cit, Hlm 120

16Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat, Sinar Grafika, 1993, Hlm 31

(23)

peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan demikian hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu:

1. Adanya harta peninggalan atau harta peninggalan

2. Adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan, dan

3. Adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.

Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal dan parental atau bilateral. Walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.P19 F17

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah Pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.Untuk itu diperlukan penelitian yang merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai

17Hilman Hadikusuma, (Buku I),Op.Cit, Hlm. 211

(24)

bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.

Dinamakan penelitian hukum doktrinal dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan.

Penelitian hukum empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek dilapangan. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung ke lapangan. Dikarenakan dalam penelitian ini akan meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.

b. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, dimana artinya adalah penelitian yang menggambarkan suatu objek tertentu dan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan atau melukiskan secara sistematis fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu dalam bidang tertentu secara faktual dan cermatP2 0 F18P. Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini semata-mata menggambarkan suatu objek untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum.

2. Lokasi Penelitian

18Sarifuddin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1998, hal. 7

(25)

Lokasi penelitian merupakan suatu tenpat atau wilayah dimana penelitian tersebut akan dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil lokasi di Kecamatan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun, dikarenakan di daerah tersebut mayoritas penduduknya adalah bersuku Simalungun.

3.Sumber Data a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumbernya, baik itu melalui wawancara, kuesioner, maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.P2 1 F19P Dalam hal ini berupa data hasil wawancara dan kuesioner dengan masyarakat Simalungun yang berada di Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertai dan peraturan perundang- undangan. P2 2 F20

Dalam hal ini data-data sekunder yang dapat digunakan:

1) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan hukum waris yang berfokus pada pelaksanaan pembagian waris menurut adat Simalungun.

19Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hal 106

20Ibid.

(26)

2) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu : kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahnnya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.P23 F21

4. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama. Dalam hal ini yang menjadi populasi adalah masyarakat adat Simalungun yang tinggal di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 6.571 jiwa.P24 F22

Sampel penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah purpoive sample. Dimana penarikan sample dari penentuan responden yang didasarkan atas pertimbangan tujuan tertentu dengan alasan responden adalah orang-orang yang berdasarkan kewenangan dianggap dapat memberikan data informasi. Dalam hal ini yang dimaksud adalah masyarakat adat Simalungun yang tinggal di Desa Pamatang Raya yang memiliki anak laki-laki dan anak perempuan, yang sudah melakukan pembagian dan menerima warisan, baik secara kekeluargaan dan secara adat sebanyak 15 orang.

5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

21Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 113

22https://simalungunkab.bps.go.iddiakses pada tanggal 1 Juli 2020

(27)

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah 1) Metode Penelitian Kepustakaan

Data dari kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan hukum waris yang berfokus pada pelaksaan pembagian harta warisan menurut adat Simalungun.

2) Metode Penelitian Lapangan

Data lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat Simalungun yang berada di Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun.

Alat pengumpulan data yang digunakan terdiri dari:

a. Pedoman wawancara

Dalam memperoleh data primer, perlu dilakukan wawancara, yaitu merupakan komunikasi verbal dengan narasumber. Sehingga pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang berupa daftar pertanyaan yang disusun sebagai panduan dalam pelaksanaan wawancara.

b. Kuesioner

Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan analis mempelajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku, dan karakteristik beberapa orang utama di dalam organisasi yang bisa terpengaruh oleh sistem yang diajukan oleh sistem yang sudah ada.

Kuesioner yang dilakukan mengarahkan analis untuk berupaya mengukur apa yang ditemukan dalam wawancara, selain itu juga untuk

(28)

menentukan seberapa luas atau terbatasnya sentimen yang diekspresikan dalam suatu wawancara.

6. Analisa Data

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Semua data yang diperoleh merupakan data pustaka serta data yang diperoleh dari lapangan dianalisa secara kualitatif, metode analisis data yang dipakai adalah metode deduktif. Pada prosedur deduktif, bertolak dari suatu proporsi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus. Melalui metode deduktif, data dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaan dan prakteknya.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalah mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Secara garis besar pembahasan skripsi ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap Bab menguraikan masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan antara satu bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penelitian skripsi ini.

(29)

Dengan pembagian tersebut, diharapkan akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti permasalahan secara keseluruhan. Sistematika penelitian skripsi ini, yaitu:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, metode penelitian, dan keaslian penulisan. Bab ini ditutup dengan memberikan sistematika dari penulisan skripsi.

Bab II menguraikan tentang pembagian warisan pada masyarakat Simalungun di Kecamatan Pematang raya, Kabupaten Simalungun. Pada bab ini sesuai dengan judul yang dikemukakan, maka bab ini akan menguraikan tentang pengertian hukum waris adat, asas-asas kewarisan menurut hukum waris adat, unsur-unsur kewarisan menurut hukum waris adat, serta proses peralihan harta menurut hukum waris adat sebelum pewaris meninggal dunia dan sesudah pewaris meninggal dunia. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai sistem kekerabatan pada masyarakat adat Simalungun, sistem kewarisan pada masyarakat adat Simalungun, serta proses pembagian warisan pada masyarakat adat simalungun di Desa Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun.

Bab III diuraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hak waris pada masyarakat Simalungun di Desa Pamatang Raya Kabupaten Simalungun, yakni berisikan faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor sosial, faktor kasih sayang, dan faktor perantauan.

Bab IV diuraikan terlebih dahulu mengenai kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris adat Simalungun, dan dilanjutkan dengan

(30)

menguraikan mengenai akibat hukum terhadap perkembangan warisan pada masyarakat Simalungun.

Bab V menguraikan Kesimpulan dan Saran dari Hasil Penelitian Skripsi tentang Kajian Yuridis Terhadap Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Simalungun khususnya di Desa Pematang Raya, Kabupaten Simalungun.

(31)

BAB II

SISTEM PEWARISAN DALAM MASYARAKAT SIMALUNGUN

A. Hukum Waris Adat

1. Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum keluarga. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya adalah masalah bagaimana penguasaan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.

Mengartikan waris dari sudut hukum adat maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada waris sebelum pewaris wafat dapat terjadi dengan cara penunjukan, penyerahan, kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.P2 5F23

Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immateril yang manakah dari sesorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur

23Hilman Hadikusuma, Buku I, op. cit., Hlm. 8

(32)

saat, cara, dan proses peralihannya.P2 6 F24P Hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.

Hukum waris adat adalah hukum waris yang memuat tentang harta warisan, siapa pewaris dan ahli waris, serta cara bagaimana harta warisan (hak maupun kewajiban) itu dialihkan dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan keluarga dari suatu generasi kepada keturunannya.P2 7 F25

Soepomo mengatakan, hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya (Soepomo, 1967:72).

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris mengatur cara penerusan dan peralihan hak dan kewajiban yang objeknya berwujud atau tidak berwujud, dari pewaris kepada ahli warisya. Penerusan dan peralihan warisan menurut hukum adat berbeda-beda, karena hal ini sangat tergantung kepada sistem kemasyarakatannya.P2 8 F26

Hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata (BW) yang menekankan pada adanya kematian seseorang dan adanya kebendaan yang ditinggalkan serta adanya ahli waris. Sedangkan menurut hukum waris adat sebagaimana berlaku di kalangan berbagai masyarakat Indonesia (asli) tidak

24Soerojo Wignojodipoero, Pengantar Adat Asas-Asas Hukum Adat, Hlm.161

25Rasyid Ariman, Hukum Waris Adat dalam Yurisprudensi, Balai Aksara, Jakarta, 1998, Hlm 9

26Ibid

(33)

hanya mengatur pewarisan sebagai akibat kematian seseorang, tetapi mengatur pewarisan sebagai akibat dan mengalihkan harta kekayaan baik yang berwujud atau tidak berwujud, baik yang bernilai uang atau tidak bernilai uang dari pewaris ketika ia masih hidup atau sudah mati kepada para waris, terutama para ahli warisnya.P2 9 F27

Menurut hukum waris adat, cara bagaimana pewarisan itu diatur dipengaruhi oleh struktur masyarakat kekerabatannya yang sistem keturunanya di bedakan antara sistem patrilinial, matrilinial, dan bilateral atau parental.

Disamping adanya perbedaan dalam struktur kemasyarakatan (kekerabatan) tersebut, berlaku pula sistem pewarisan yang bersifat individual, kolektif dan mayorat.

Hal mana tidak sesuai dengan hukum pewarisan barat yang bersifat individual semata, yang mana setelah pewaris wafat, maka warisannya dibagi-bagi secara individual kepada para ahli warisnya, sebagaimana juga berlaku dalam hukum waris Islam.P30 F28P Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaanya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat

27Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, Hlm 7 (Selanjutnya disebut Buku II) 28Ibid

(34)

tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam hidup.P31 F29

Hukum waris adat tidak mengenal legitieme portie, akan tetapi hukum waris adat menetapkan dasar persamaan hak. Hak sama ini mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Selain dasar persamaan hak, hukum waris adat juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian, berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris.

Harta warisan dalam hukum waris adat tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris. Hukum waris adat menunjukkan corak-corak yang memang typerend bagi aliran pikiran tradisional Indonesia, bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal dan konkrit dari bangsa Indonesia.P3 2 F30

Hukum waris adat di dialamnya terdapat adanya kesatuan dan berjenis- jenis dalam Hukum Adat Indonesia, dapat disusun aturan-aturan pokok dan asas- asas yang sangat umum berlakuknya, tetapi tidak dapat disusun suatu aturan yang di semua lingkungan hukum berperangai lahir yang sama. Dalam hukum adat ini para ahli waris tidak dapat ditetapkan, karena di berbagai daerah itu terdapat bermacam-macam sistem kekeluargaan. Jadi para ahli warisnya digolongkan berdasar sifat kekeluargaan masing-masing. Tetapi yang pasti menjadi ahli waris adalah anak.P3 3F31

29Prodjojo Hamidjojo, Hukum Waris Indonesia, Stensil, Jakarta, 2000, Hlm. 37

30Soepomo, Op. Cit., Hlm. 78

31Tamakiran S, Asas Asas Hukum Waris menurut Tiga Sistem Hukum, Pioner Jaya, Bandung, 2000, Hlm. 62

(35)

Terdapat tiga unsur dalam hukum waris adat, yaitu:

a) Unsur proses

Proses peralihan atau pengoperan pada waris adat sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu masih hidup dan proses itu berjalan terus hingga keturunannya masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri (mentas atau mencar di Jawa), yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi (keturunan) yang berikutnya. Soepomo selanjutnya menyatakan bahwa meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.P3 4 F32

b) Unsur benda-benda yang diwariskan

Benda-benda yang diwariskan berupa benda berwujud (matriil) dan tidak berwujud (immateriil). Harta warisan materiil, yaitu harta warisan berwujud benda yang diwariskan kepada generasi berikutnya, contohnya rumah, tanah, gedung, perhiasan, dan lain-lain. Harta warisan immateriil, yaitu harta warisan yang tidak berwujud tetapi diwariskan kepada para ahli waris, contohnya gelar ataupun jabatan.

c) Unsur generasi

Defenisi tentang hukum waris menyebutkan bahwa proses pewarisan itu berlangsung dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Dalam kesatuan rumah tangga, yang akan menjadi ahli waris dari seseorang adalah anak-anak

32Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, Hlm. 79

(36)

dari orang yang bersangkutan sesuai dengan sistem cara menarik garis keturunan.

Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing-masing merupakan unsur yang esensial (mutlak), yakni:P3 5 F33

1) Seorang peninggal warisan yang pada saat wafatnya meninggalkan harta kekayaan.

2) Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan ini.

3) Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.

2. Asas-Asas Kewarisan Menurut Hukum Waris Adat

Asas-asas kewarisan banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan. Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian keluarga karena kewarisan ituadalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi berikutnya.

Pengertian keluarga berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk melalui perkawinan. Dengan demikian kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk sistem kemasyarakatan.

33Prodjojo Hamidjojo, Op.Cit., Hlm.37

(37)

Hukum waris adat sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dari pada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat itu. Selain itu, hukum waris adat juga mendapat pengaruh tidak hanya dari perubahan-perubahan sosial, misalnya yang disebabkan makin kuatnya hubungan kekeluargaan dan makin lemahnya ikatan kekerabatan, tetapi juga dari peraturan-peraturan hukum asing sejenis yang oleh para hakim agama selalu diterapkan walaupun pengaruhnya sangat kecil.P36 F34

Dalam proses pewarisan pada hukum adat, agar penerusan atau pembagian harta warisan dapat dilakukan dengan baik, terdapat beberapa asas-asas kewarisan adat, yaitu:

1. Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri

Asas terkait dengan sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yaitu kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah maha mengetahui atas segala-galanya, maha pencipta dan maha adil, yang sewaktu-waktu dapat menjatuhkan hukumannya, maka apabila ada pewaris yang wafat para waris tidak akan bersilang selisih dan saling berebut harta warisan. Terbagi atau tidaknya harta warisan bukan tujuan tetapi yang penting adalah tetap menjaga kerukunan hidup diantara para waris dan semua anggota keluarga keturunan pewaris.

34Soerojo Wignojodipoero, Op.Cit., Hlm.163-165

(38)

2. Asas kesamaan Hak dan Kebersamaan Hak

Terkait dengan sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dimana dari sila kemanusiaan ini dapat ditarik asas kesamaan hak dan kebersamaan hak atas harta warisan yang diperlakukan secara adil dan bersifat kemanusiaan baik dalam acara pembagian maupun dalam cara pemanfaatannya dengan selalu memperhatikan para waris yang hidupnya kekurangan.

3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan

Terkait dengan sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”. Bahwa dari sila persatuan ini, maka di dalam hukum waris adat dapat ditarik pengertian mengenai asas kerukunan, suatu asas yang dipertahankan untuk tetap memelihara hubungan kekeluargaan yang tentram dan damai dalam mengurus menikmati dan memanfaatkan warisan yang tidak terbagi-bagi ataupun dalam menyelesaikan masalah pembagian pemilikan harta warisan yang terbagi-bagi.

4. Asas Musyawarah dan Mufakat

Bahwa dalam mengatur dan meyelesaikan harta warisan tidak boleh terjadi hal-hal yang bersifat memaksakan kehendak antara yang satu dan yag lain atau menuntut hak tanpa memikirkan kepentingan anggota waris yang lain. Jika terjadi sengketa diantara para waris maka semua anggota waris baik pria atau wanita, baik yang tua maupun muda, tanpa kecuali harus menyelesaikannya dengan bijaksana dengan cara musyawarah dan mufakat dengan rukun dan damai.

(39)

5. Asas Keadilan dan Parimirma

Bahwa pewarisan harus menciptakan keadilan bagi semua anggota waris mengenai harta warisan, baik ahli waris maupun waris yang bukan karena hubungan darah tetapi karena hubungan pengakuan saudara dan lain sebagaimananya menurut hukum adat setempat. Dari rasa keadilan masing-masing manusia Indonesia yang sifatnya Bhineka itu terdapat yang umum dapat berlaku ialah rasa keadilan berdasarkan asas parimirma, yaitu asas welas asih terhadap para anggota keluarga pewaris, dikarenakan keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya; sehingga walaupun diperhitungkan mendapat bagian harta warisan.

3. Unsur-Unsur Kewarisan Menurut Hukum Waris Adat

Unsur-unsur waris adat terdiri atas : pewaris; harta warisan; dan ahli waris.

Berikut akan diuraikan beberapa unsur-unsur tersebut, yaitu:P3 7 F35 a. Pewaris

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hudup, baik keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah tangga. Pengalihan harta kepada keluarga yang disebutkan terakhir ini biasanya bersifat jaminan keluarga yang diberikan oleh ahli waris melalui pembagiannya. Oleh karena itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah :

(1) Orang tua atau ayah/ibu;

35Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, RajaGrafindo, Jakarta, 2016, Hlm. 205

(40)

(2) Saudara-saudara yang belum berkeluarga atau yang sudah berkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan;

(3) Suami atau istri yang meninggal dunia.

b. Harta Warisan

Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas:

(1) Harta bawaan atau harta asal;

(2) Harta perkawinan

(3) Harta pusaka yang biasa disebut mbara-mbara nimana dalam hukum waris adat suku Kaili di Sulawesi Tengah, dan

(4) Harta yang menunggu, yaitu harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi ahli waris yang akan menerima itu tidak diketahui keberadaanya.

c. Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris, yakni; anak kandung, orang tua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei), dan orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda). Selain itu, dikenal juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin, yang biasanya diberikan harta warisan diantara mereka, selain itu, bisa juga diberikan harta dari pewaris,baik melalui wasiat maupun melalui hibah.

(41)

4. Proses Peralihan Harta Menurut Hukum Waris Adat

Sistem pewarisan adat tidak demikian rumit sebagaimana sistem pewarisan barat yang diatur di dalam KUHPerdata/BW. Dikarenakan sifat hukum adat itu sebgaian besar tidak tertulis dalam bentuk perundangan (kodifikasi), tidak terkaitnya dengan sistem peradilan yang tetap, segala sesuatunya diatur dan ditentukan berdasarkan asas kekeluargaan dengan musyawarah mufakat keluarga/kerabat, maka walaupun berlaku sistem kewarisan individual, kolektif, dan mayorat bukan berarti peawrisan itu tidak dapat berubah.

Pewarisan adat senantiasa dapat berubah mengikuti dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan para waris dan perkembangan zaman.

Sehingga pewarisan dapat saja terjadi sebelum pewaris wafat dan setelah pewaris wafat.

a. Sebelum Pewaris Meninggal Dunia 1. Penerusan atau Pengalihan

Dikala pewaris masih hidup adakalanya pewaris telah melakukan penerusan atau pengalihan kedudukan atau jabatan adat, hakdan kewajiban dan harta kekayaan kepada waris, terutama kepada anak lelaki tertua menurut garis kebapak-an, kepada anak perempuan tertua menurut garis ke-ibuan, kepada anak tertua lelaki atau anak tertua perempuan menurut garis ke-ibu-bapak-an.P3 8 F36PCara penerusan atau pengalihan harta kekayaan dari pewaris kepada waris yang sudah seharusnya berlaku menurut hukum adat setempat.

36Hilman Hadikusuma, Buku I, Op. Cit., Hlm.95

(42)

Termasuk dalam arti penerusan atau pengalihan harta kekayaan dikala pewaris masih hidup ialah diberikannya harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan untuk kelanjutan hidup kepada anak-anak yang akan kawin mendirikan rumah tangga baru. Misalnya pemberian atau dibuatkannya bangunan rumah dan pekarangan tertentu, bidang-bidang tanah ladang, kebun atau sawah, untuk anak-anak lelaki atau perempuan yang akan berumah tangga.P3 9 F37

2. Penunjukan

Apabila bagian-bagian harta peninggalan tertentu telah ditunjukkan bagi para waris yang akan mewarisi oleh pewaris ketika hidupnya, tetapi peralihan hak miliknya baru terjadi apabila pewaris wafat maka perbuatan hukum itu disebut “penunjukan”, jelasnya ‘penunjukan harta peninggalan’.P4 0F38

Pewaris yang masih hidup, maka pengurusan, pengolahan, pemanfaatan, pengambilan hasil dari harta peninggalan itu tetap masih dikuasi oleh pewaris.

Sedangkan para waris bersangkutan dapat membantu pengurusannya atau mungkin juga sudah boleh menikmati hasilnya.P4 1 F39

Baik penerusan atau penunjukan oleh pewaris kepada waris mengenai harta warisan sebelum wafatnya, tidak harus dinyatakan dengan terang dihadapan tua-tua desa, tetapi cukup dikemukakannya dihadapan para waris dan anggota keluarga atau tetangga dekat saja.

3. Pesan atau Wasiat

Adakalanya seorang pewaris karena sakitnya sudah parah dan merasa tidak ada harapan lagi untuk dapat terus hidup, atau mungkin juga karena akan

37Ibid

38Hilman Hadikusuma, Buku II, Op. Cit., Hlm. 231

39Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanakah penyelesaian permasalahan pembagian warisan isteri pertama dan isteri kedua sebagai ahli waris harta gono-gini dari suami yang meninggal terlebih dahulu dalam

Hasil penelitian menunjukan bahwa Pembagian warisan sebelum pewaris meninggal dunia pada masyarakat adat Bulukumba ditinjau dari hukum Islam adalah merupakan

Kedudukan anak perempuan dalam sistem waris adat Bali adalah anak perempuan tidak mempunyai hak sebagai ahli waris terhadap harta warisan orang tuanya sesuai dengan

Apabila semua ahli waris perempuan tersebut ada ketika pewaris meninggal dunia, maka yang dapat menerima bagian adalah ibu, anak perempuan, cucu perempuan garis

Maka ia tak merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia. Anak laki-laki dapat warisan dari bapak dan ibunya dan pada asalnya berhak atas semua harta benda yang

Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Alasan terjadinya penundaan pembagian harta warisan: (a) secara tradisi atas saran orang tua, (b) karena hasil musyawarah ahli waris,

Pengalihan harta warisan sesudah pewaris meninggal dunia merupkan suatu proses dalam setiap hukum waris, tetapi pengalihan harta sebelum pewaris meninggal dunia dan

Kesimpulan Pertimbangan masyarakat Desa Bumi Mulya menerapkan pembagian warisan lebih banyak kepada laki-laki dibandingkan perempuan adalah atas dasar kesepakatan para ahli waris,