• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TENTANG GADAI SYARIAH (RAHN) DI KANTOR PEGADAIAN SYARIAH DI LHOKSEUMAWE TESIS. Oleh. MARHANITA /M.Kn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TENTANG GADAI SYARIAH (RAHN) DI KANTOR PEGADAIAN SYARIAH DI LHOKSEUMAWE TESIS. Oleh. MARHANITA /M.Kn"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

MARHANITA 107011104/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh MARHANITA 107011104/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 17 Desember 2012

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum

(5)

Nama : MARHANITA

Nim : 107011104

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TENTANG GADAI SYARIAH (RAHN) DI KANTO PEGADAIAN SYARIAH DI LHOKSEUMAWE

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : MARHANITA Nim : 107011104

(6)

perjanjian gadai disebut rahn. Rahn secara bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan;

sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta yang dimaksud sesudah ditebus.

Pembahasan dalam penelitian ini adalah Pertama, Prinsip gadai syariah (rahn) berdasarkan Hukum Islam, Kedua, pelaksanaan prinsip gadai syariah (rahn) pada pegadaian syariah di Lhokseumawe, Ketiga, penyelesaian sengketa gadai (rahn) pada pegadaian syariah di Lhokseumawe. Dalam penelitian ini dipergunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah prinsip gadai syariah (rahn) berdasarkan Hukum Islam yang diberlakukan pada produk gadai syariah di Pegadaian adalah; Tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, Menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan Melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa sebagai penerimaan labanya, yang dengan pengenaan bagi hasil dan biaya jasa tersebut menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya,. Pelaksanaan prinsip gadai syariah (rahn) pada pegadaian syariah di Lhokseumawe berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu;

Akad Rahn dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah; dan Akad Ijarah yaitu Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad. Pegadaian syariah di Lhokseumawe menyiapkan upaya penyelesaian sengketa apabila rahin wanprestasi yaitu dengan jalan musyawarah, bila tidak tercapai dengan musyawarah, maka penyelesaian sengketa tersebut sepakat untuk menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional. Namun sampai saat ini Pegadaian Syariah Lhokseumawe belum pernah menangani perkara wanprestasi akibat rahin. Dengan adanya pegadaian syariah hendaknya bagi umat muslim menjadikan solusi dalam membantu menyelesaikan masalah keuangan dimasa sulit, Pelaksanaan gadai syariah (rahn) di Pegadaian syariah di Lhoksumawe sebaiknya tetap melaksanakan prinsip rahn menurut Hukum Islam demi tercapainya kemaslahatan umat manusia, Cara penyelesaian sengketa di pegadaian syariah adalah dengan jalan musyawarah, namun bila tidak berhasil diselesaikan melalui Badan Arbitrase.

Kata Kunci : Rahn, Pegadaian Syariah.

(7)

agreement in Fiqh muammalah. Linguistically, rahn means fixed, eternal, and guarantee; whereas rahn can also means holding a number of properties handed in under security right and can be taken back after being paid.

The problems discussed in this descriptive analytical study with empirical judicial approach were, first, the principle of rahn (Islamic mortgage) based on Islamic Law; second, the implementation of the principle of rahn (Islamic mortgage) at Syariah pawnshop in Lhokseumawe; and third, the settlement of mortgage-related dispute at Syariah pawnshop in Lhokseumawe.

The conclusion drawn from this study is that the principle of rahn (Islamic mortgage) based on Islamic Law and applied to the Syariah mortgage product at the pawnshop are: not to impose interest in any form because it is a usury (riba). To determine money as a means of exchange not as traded commodity and to do business to obtain a return for the services as profit revenues and the imposition of profit sharing and the cost of such services cover all of the operational expenses. The implementation of Syariah mortgage (rahn) principle at the Syariah pawnshop in Lhokseumawe are conducted under two Syariah transaction agreements, namely, Rahn Agreement permitting the pawnshop holds the movables as a collateral for the customers’ debt, and Ijarah Agreement allowing the pawnshop to ask the rent for keeping the movables belong to the customers who have made the contract. Syariah pawnshop in Lhokseumawe prepares the attempts of dispute settlement through deliberation and consensus in case the rahin did not keep what is agreed in the contract. If this deliberation and consensus do not work, they agree to settle this case through National Syariah Arbitrary Board. Yet, up to now, Syariah pawnshop in Lhokseumawe has not yet handled the case of default due to rahin. With the Syariah pawnshop, the muslims can have the solution to settle their financial problems in hard times. It is better for the rahn (Syariah mortgage) at Syariah pawnshop in Lhokseumawe to be consistently implemented according to the principle of rahn in accordance with Islamic law to achieve the benefit for humankind. The dispute occured at Syariah pawnshop is settled through deliberation and consensus, yet if it does not work then the dispute is settled through the Arbitrary Board.

Keywords: Rahn, Syariah Pawnshop

(8)

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, berkah serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG GADAI SYARIAH (RAHN) DI KANTOR PEGADAIAN SYARIAH DI LHOKSEUMAWE”.

Penulisan tesis ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam penyusunan tesis ini penulis menyadari masih banyak kekurangan, dan tesis ini belum tentu selesai tanpa adanya pihak-pihak yang telah berjasa membantu, membimbing, mengarahkan, memberikan semangat dan motivasi serta memberikan data kepada penulis, untuk itu dengan segala kerendahan hati yang tulus, penulis ingin mempergunakan kesempatan ini untuk menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, M.S, CN, Selaku Ketua Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus pembimbing yang telah memberikan saran kepada penulis.

(9)

memberikan perhatian, motivasi, dan arahan kepada penulis;

6. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku komisi pembimbing yang telah memberikan perhatian, motivasi, arahan serta banyak membantu dalam penyempurnaan tesis kepada penulis;

7. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H, M.Hum, selaku Dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan, saran dan kritik, serta membantu memeriksa tesis penulis.

8. Kepada Bapak Martius selaku Manager Usaha Rahn pada Pegadaian Syariah Cabang Lhokseumawe, serta seluruh pihak pada Pegadaian Syariah selama penelitian berlangsung.

9. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada yang terhormat dan tersayang Ayahanda H. Zakaria Jalil Alm, dan Ibunda Hj. Suryani sebagai orangtua yang terbaik yang selalu mencintai, memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis, menghibur disaat penulis merasakan kesedihan, memberikan kasih sayang, doa yang tiada putus untuk penulis, dan perhatian dari dahulu, sekarang dan selama-lamanya.

11. Kepada saudara sekandung, Nurfazillah, Mulyadi, Mauliza, terima kasih telah memberikan begitu banyak semangat disaat penulis tersendat dalam menyelesaikan tesis, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas dorongannya.

12. Teman-teman mahasiswa Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, angkatan 2011. Untuk teman-teman terbaikku yang tak tergantikan, Riva Yulia Ersa Pratiwi Br Perangin-angin S.H, Mkn, Rotua Deswita Raja Guk-guk S.H, Mustika Indah Permatasari S.H, terima

(10)

menyelesaikan tesis ini;

13. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini.

Akhir kata penulis, berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan dan penulis sangat menyadari penulisan tesis ini jauh dari kesempurnaan namun diharapkan semoga penulisan ini dapat memberikan manfaat dan kegunaan untuk menambah pengetahuan, pengalaman bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Medan, Desember 2012 Penulis,

Marhanita

(11)

Nama : Marhanita

Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 3 November 1985

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Dr. Mansyur No. 5 Medan

No. Handphone : 085277120766

II. KELUARGA

Nama Ayah : H. Zakaria Abdul Jalil (Alm)

Nama Ibu : Hj. Suryani

Nama Adik : Mauliza

III. PENDIDIKAN

MIN Blang Mane Muara Dua, Lhokseumawe (1991-1997) SMP Negeri 1 Lhokseumawe, Lhokseumawe (1997-2000) SMU Negeri 3 Lhokseumawe, Lhokseumawe (2000-2003) S1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (2003-2009)

S2 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU (2010-2012)

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka teori ... 11

2. Konsepsi ... 18

G. Metodelogi Penelitian ... 20

1. Sifat Metodelogi Penelitian ... 20

2. Lokasi Penelitian ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data... 21

4. Metode Pengumpulan Data ... 22

5. Analisa data ... 23

(13)

2. Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah ... 29

3. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Gadai Syariah... 32

4. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Gadai Konvesional . 34 5. Produk dan Jasa Gadai Syariah... 39

B.1. Prinsip Gadai (Rahn) Berdasarkan Syariah Hukum Islam 44 BAB III PELAKSANAAN PRINSIP GADAI SYARIAH (RAHN) PADA PEGADAIAN SYARIAH DI LHOKSEUMAWE 52 A. Struktur Organisasi, Tugas Pokok, Fungsi, dan Operasionalisasi Pegadaian Syariah (Rahn) dalam Pelaksanaannya... 52

B. Pelaksanaan Prinsip Gadai (Rahn) pada Pegadaian Syariah di Lhokseumawe ... 65

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA GADAI (RAHN) PADA PEGADAIAN SYARIAH DI LHOKSEUMAWE ... 73

A. Keadaan Wanprestasi ... 73

B. Akibat Terjadinya Wanprestasi pada Pegadaian Syariah Lhokseumawe ... 75

C. Penyelesaian Sengketa Gadai (Rahn) Pada Pegadaian Syariah di Lhokseumawe ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(14)

Ar-Rahn : Suatu jenis perjanjian dimana suatu barang diserahkan sebagai tanggungan utang.

Fiqh : Hukum Islam, salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan tuhannya.

Hadist : Perkataan dan perbuatan dari nabi Muhammad SAW, hadist sebagai sumber dalam agama Islam.

Ijarah : Akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri.

Ijtihad : Sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang dilaksanakan oleh ulama yang mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran maupun hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang, ulama yang berijtihad tersebut mujtahid

Marhun : Barang Jaminan.

Marhun Bih : Utang.

Muammalah : Tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah hubungan antar makhluk, seperti jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain.

Mudharabah : Suatu kerjasama kemitraan yang terdapat pada zaman jahiliah yang diakui Islam yaitu menyangkut keuntunggan yang dibagikan antara keduannya menurut syarat-syarat yang ditetapkan terlebih dahulu, baik dengan sama rata maupun dengan kelebihan yang satu atas yang lain.

(15)

hubungan manusia, dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam sekitar berdasarkan Al-Quran dan Hadist.

Shighat : Ungkapan yang digunakan oleh pihak yang mengadakan transaksi untuk mengekspresikan keinginannya. Ungkapan ini berbentuk kalimat-kalimat yang menunjukkan terjadinya transaksi yang terdiri dari ijab dan qobul.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun demikian, manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier tidak semuanya dapat terpenuhi, karena tidak memilki dana yang cukup, sehingga tidak jarang karena tidak ada barang yang dijual, dan terpaksa mencari pinjaman kepada orang lain.

Dengan berkembangnya perekonomian masyarakat yang semakin meningkat, maka seorang dapat mencari uang pinjaman melalui jasa pembiayaan baik melalui lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank, diantaranya adalah Lembaga Pegadaian. Namun ternyata karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam, maka Perum Pegadaian meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis dan menentramkan. Cepat karena hanya membutuhkan waktu yang tidak terlalu lama untuk prosesnya, praktis karena persyaratannya mudah, jangka waktu fleksibel dan terdapat kemudahan lain, serta menentramkan karena sumber dana berasal dari sumber yang sesuai dengan syariah begitu pun dengan proses gadai yang diberlakukan. Produk yang dimaksud di atas adalah produk Gadai Syariah.

(17)

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muammalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.

Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.

Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha- usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini Ironisnya, banyak kaum muslim yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.

Hukum-hukum syari’ah adalah kaidah-kaidah yang mengatur cara beribadah, bermuammalah dan lain-lain. Dan kaidah-kaidah ini dianggap sebagai penerapan

(18)

metode atas kejadian-kejadian tertentu. Oleh karenanya, hal ini disebut penerapan syariah, dan bukan syariah itu sendiri.1

Salah satu bentuk muammalah yang mudah dipraktekkan adalah rahn, dalam Fiqh muamalah, perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn secara bahasa berarti

“menahan”. Maksudnya adalah menahan sesuatu untuk dijadikan jaminan utang.2 Dapat dikemukakan bahwa gadai menurut ketentuan syariat Islam adalah merupakan kombinasi pengertian gadai yang terdapat dalam KUHPerdata, yaitu menyangkut obyek perjanjian gadai menurut syariat Islam itu meliputi barang yang mempunyai nilai harta, dan tidak dipersoalkan apakah dia merupakan benda bergerak atau tidak bergerak.3

Pengertian gadai syariah (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta yang dimaksud sesudah ditebus.

Benda rahn yang digadai, dalam konsep Fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa

1M. Lukman, Syari’ah Sosial Menuju Revolusi Kultural, UMM Press, Cetakan Pertama, Malang, tahun 2004, hal. 15.

2Burhanuddin S, Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, The Syariah Institute, Tahun 2009,Yogyakarta, hal. 175.

3Chairuman Pasaribu dan Sahrawadi K, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.140.

(19)

ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.

Bisnis gadai syariah yang dijalankan Perum Pegadaian dapat dikatakan terus berkembang pesat. Pegadaian syariah sebagai lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat guna menetapkan pilihan dalam pembiayaan disektor riil. Karena itulah pegadaian syariah lebih akomodatif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat. Secara formal, keberadaan pegadaian syariah berada dalam lingkup perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Karena Perum Pegadaian merupakan satu-satuya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.4

Dengan demikian, sistem keuangan syariah diformulasikan dari kombinasi kekuatan sekaligus, pertama prinsip syar’i yang diambil dari Al-Quran dan sunnah dan kedua prinsip-prinsip tabi’i yang merupakan hasil interpretasi akal manusia dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi seperti prinsip-prinsip ekonomi lainnya yang relevan. Sistem keuangan pada syariah tidak hanya sekedar memperhatikan aspek return (keuntunggan) dan resiko, namun juga ikut mempertimbangkan nilai- nilai Islam didalamnya.5

Secara kelembagaan, Gadai Syariah (rahn) merupakan bagian perum pegadaian yang mengemban misi syiar Islam. Dalam hal ini, praktik gadai yang

4Burhanuddin S, Op.Cit, hal.170.

5Burhanuddin S, Ibbid. hal. 171.

(20)

dilakukan semaksimal mungkin menghindari pratik bisnis yang mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maisir dan riba. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan operasional yang diberlakukan dalam praktik gadai syariah dikonsultasikan kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang juga badan pengawas dalam lingkungan bank muamalat Indonesia.6

Adapun tujuan dan manfaat pegadaian yaitu sifat usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik. Oleh karena itu, perum pegadaian khususnya pegadaian syariah bertujuan sebagai berikut :

1. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/pinjaman atas dasar hukum gadai.

2. Pencegahan praktik gelap, dan pinjaman yang tidak wajar lainnya.

3. Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jaring pengamanan sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/pembiayaan berbasis bunga.

4. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.7 Adapun manfaat pegadaian, antara lain :

1. Bagi nasabah, tersediannya dana dengan prosedur yang lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit

6Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, Tahun 2008, hal. 56.

7Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta, Kencana, tahun 2008, hal. 394.

(21)

perbankan. Di samping itu, nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai suatu barang bergerak secara profesional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.

2. Bagi perusahaan pegadaian;

a. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana;

b. Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bagi pegadaian syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat atau jasa penitipan dan lain- lain.

c. Serta membantu di bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan proses mudah dan sederhana.8

Berdirinya pegadaian syariah bersamaan dengan berkembangnya Bank dan Asuransi yang berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, maka hal ini mengilhami di bentuknya pegadaian syariah. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem pembiayaan, antara lain Pinjaman kebajikan (Qardhul Hasan) dan bagi hasil (Mudharabah). Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis perkongsian, dimana pihak pertama menyediakan dana dan pihak kedua bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan hasil usaha dibagikan sesuai dengan nisbah porsi

8Andri Soemitra, Ibbid, hal. 395.

(22)

bagi hasil yang telah disepakati bersama sejak awal maka kalau rugi pihak pertama akan kehilangan sebahagian imbalan dari hasil kerja keras selama berlangsung.

Pada sistem-sistem ekonomi konvensional tidaklah berbicara mengenai konsep halal, tetapi hanya terkait dengan keabsahan atau legitimasi sebuah perusahaan dan hasil usahanya. Legitimasi itupun bukan didasarkan pada nilai ilahiah, melainkan hanya diberikan oleh negara atau pihak otoritas yang berkuasa, bukan dalam konteks halal dan haramnya sebuah proses.

Dalam perspektif konvensional, legitimasi itu hanya sampai pada tataran kedua, yakni pada proses usaha yang harus sah dan memberikan nilai kemanfaatan.

Sementara hasil usaha berupa keuntungan atau barang merupakan hak milik, di mana penggunaan dan pengelolaannya menjadi hak pemilik sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berkuasa penuh atas haknya itu. Inilah konsekuensi paham liberalisme yang mendewakan individu dan hak-haknya di atas segala-galanya. Dengan memposisikan sistem ekonomi syariah sebagai sebuah sistem yang bersifat terbuka dan tidak bersifat eksklusif, maka tidak hanya dijalankan oleh umat muslim semata. Namun, terbuka kepada seluruh lapisan masyarakat untuk terlibat secara aktif maupun pasif ke dalam sistem ekonomi syariah tanpa pertimbangan etnis, agama, ras dan diskriminasi.

Pada Perum Pegadaian tertarik untuk menerapkan pola syariah tersebut, karena pola pegadaian syariah memungkinkan perusahaan untuk dapat proaktif dan lebih produktif untuk menghasilkan berbagai produk jasa keuangan modern, seperti jasa sewa beli. Pada lembaga gadai model yang dimaksud, nilai-nilai dan prinsip- prinsip syariah dalam hal gadai dapat diimplementasikan.

(23)

Keberadaan pegadaian syariah didorong oleh perkembangan dan keberhasilan lembaga-lembaga keuangan syariah. Di samping itu, juga dilandasi oleh kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap hadirnya sebuah pegadaian yang menerapkan prinsip-prinsip syariah. Transaksi hukum gadai dalam Fiqh Islam disebut Ar- Rahn. Ar- Rahn adalah suatu jenis perjanjian suatu barang sebagai tanggungan utang.9

Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam diatas, berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan, maka sesuatu yang telah digadaikan itu akan dilelang. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah (rahn) merupakan perjanjian, antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/ perhiasan/ kendaraan/ dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah (rahn); sedangkan pihak lembaga pegadaian syariah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai.

9Rahmat Syafei, Konsep Gadai; Ar-Rahn dalam Fiqh Islam Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial dalam Huzaimah T Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, Jakarta; Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995, Cet II, Hal.59.

(24)

Rahn mempunyai fungsi sosial yang sangat besar dalam sistem perekonomian Islam, karena bukan mencari keuntungan semata, akan tetapi lebih dominan sifat tolong-menolongnya, tentunya berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang semua semata-mata untuk mencari keuntungan atau bersifat bisnis, sedangkan sifat tolong menolong tersebut hanya sebagai kedok untuk mempopulerkannya dimata masyarakat.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, sangat jelas bahwa keberadaan Pegadaian Syariah sangat memiliki peran penting, sebab tidak jarang terjadi dikehidupan dimana keperluan akan dana tunai selalu dibutuhkan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan permasalahan adalah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah Prinsip Gadai (Rahn) Berdasarkan Hukum Islam?

2. Bagaimanakah Pelaksanaan Prinsip Gadai (Rahn) Pada Pegadaian Syariah Di Lhokseumawe?

3. Bagaimanakah Cara Penyelesaian Sengketa Gadai (Rahn) Pada Pegadaian Syariah Di Lhokseumawe?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk Mengetahui Prinsip Gadai (Rahn) Berdasarkan Hukum Islam.

(25)

2. Untuk Mengetahui Pelaksanaan Prinsip Gadai (Rahn) Pada Pegadaian Syariah Di Lhokseumawe.

3. Untuk Mengetahui Cara Penyelesaian Sengketa Gadai (Rahn) Pada Pegadaian Syariah Di Lhokseumawe.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya kepada kepada masyarakat agar mengetahui gadai syariah (Rahn) pada Pegadaian Syariah.

2. Secara praktik, diharapkan hasil penelitian ini memberikan sumbangan kepada Perusahaan Umum (Perum) khususnya Gadai Syariah pada Kantor Pegadaian Syariah di Lhokseumawe terkait apakah telah melaksanakan Prinsip gadai syariah (Rahn).

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan infomasi, data yang ada dan penelusuran lebih lanjut pada kepustakaan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara. Diketahui bahwa belum pernah ada penelitian sebelumnya yang berjudul ”TINJAUAN YURIDIS TENTANG GADAI SYARIAH (RAHN) PADA KANTOR PEGADAIAN SYARIAH DI LHOKSEUMAWE”.

Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan.

(26)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah pemikiran atau pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.10Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu. 11 Sedang dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.

Jadi kerangka yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Maqasid Al- Syariah. Teori ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Teori maqasid al-syariah hanya dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan masyarakat yang mengetahui dan memahami bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah SWT. Demikian juga yang menciptakan hukum-hukum yang termuat di dalam Al-quran adalah Allah SWT.

Berdasarkan pemahaman tersebut, akan mucul kesadaran bahwa Allah SWT yang paling mengetahui berkenaan hukum yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang berhubungan dengan kehidupannya di dunia maupun akhirat.

10M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Cet ke I (Bandung : Bandar Maju) tahun 1994.

11Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Cet ke II (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), hal. 19.

(27)

Adapaun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syariah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara pada kemaslahatan.12 Rahn adalah suatu istilah yang terdapat dalam hukum Islam, oleh karena itu apabila berbicara mengenai rahn, tidak terlepas dari konsepsi rahn dari hukum Islam.

Hukum Islam adalah yang mewujudkannya kemaslahatan bagi umat manusia. Sejalan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam ini, adalah teori kemaslahatan.

Secara sederhana maslahat (al- maslahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu bermanfaat. Secara lesikal, menuntut ilmu itu menggandung kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan bathin.13 Al Ghazali memformasikan teori kemaslahatan dalam kerangka “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syara”.14 Hal tersebut dapat diartikan bahwa setiap kegiatan manusia harus bermanfaat bagi umat, namun demikian tidak boleh bertentangan dengan tujuan dari Syariat Islam.

Teori kemaslahatan diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Misalnya menuntut ilmu dalam Islam itu mengandung suatu

12Ahmad Zaenal Fanani,

http://www.badilag.net/data/artikel/wacana%20hukum%20islam/teori%20keadilan%20perspektif%20f ilsafat%20hukum%20islam.pdf, hal. 11, diakses tanggal 17 maret 2012.

13Husain Hamid hasan, Nadzariah al- Mashalahah fi al Fiqh al Islamy, (Kairo: dar Al- Naahdhah Al- Arabiyah), hal. 3-4.

14Abu Hamid Al- Ghazali, Al- Mustashfa fi’ilm al Ushul, (Beirut al-Kutub al- Ilmiyah- 1983), Jilid I hal. 268.

(28)

kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan bathin. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan dari pada kedatangan Hukum Islam adalah memperoleh kemaslahatan serta menghindarkan kemudharatan. Hukum Islam memelihara 3 hal, yaitu :15

a. Memelihara yang paling penting, bila hal itu diabaikan maka akan terjadi kekacauan dalam masyarakat. Ketentuan yang paling penting ini ada 6 macam : 1. Memelihara jiwa

Islam sangat melindungi jiwa seseorang, jiwa seseorang tidak boleh direnggut begitu saja karena jiwa dapat dinilai dengan benda apapun.

2. Memelihara akal

Sehubungan dengan memelihara akal, hukum Islam menetapkan hukum dera (dipukul 40 kali) bagi orang yang merusakkan akalnya.

3. Memelihara agama

Yang dimaksud dengan memelihara agama adalah memelihara keimanan.

Iman adalah suatu hal yang sangat mulia, sehingga dengan bermodalkan iman seseorang tidak akan kekal dalam neraka.

4. Memelihara kehormatan

Islam sangat memelihara kehormatan seorang muslim. Islam tidak membenarkan menuduh orang lain melakukan kejahatan tanpa adanya suatu bukti yang benar, tuduhan tanpa alasan berarti penghinaan.

15Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan, tahun 1993, hal. 5.

(29)

5. Memelihara harta

Untuk memilihara harta (hak milik) ini ditetapkan hukum jual beli, hutang piutang, dan lain-lain. Islam melarang perampasan harta, pembinasaan harta, dan cara-cara lain yang tidak sah.

6. Memelihara keturunan

Islam menganjurkan untuk memelihara keturunan, bahkan salah satu dari pada hikmah perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan.

b. Memelihara yang diperlukan bila hal ini tidak dilaksanakan akan membawa kesulitan dalam pelaksanaanya;

c. Memelihara yang dianggap baik, bila hal ini tidak diatur maka nampaklah kerendahan islam.

Menurut Imam Al-Ghazali, suatu kemaslahatan harus seiring dengan tujuan- tujuan manusia. Atas dasar ini, yang menjadi tolak ukur dari maslahat itu adalah tujuan dan kehendak syara’, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia.

Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu pada aspek perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan maslahat itu mencakup kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup akhirat. Atas dasar ini, kemaslahatan bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu itu baik atau buruk, tetapi lebih jauh dari itu ialah sesuatu yang baik secara rasional juga harus sesuai dengan tujuan syara’.16

16http://efrinaldi.multyply.com/journal/item6?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2journal%

2Fitem., diakses 24 maret 2012.

(30)

Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada Al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.17Landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW.

Dalam Surat Al-Baqarah 282 artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah, “Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.

“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang

17 http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/Konsep Gadai Syariah Ar-Rahn dalam Fiqh.html.

(31)

Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.

(HR.Anas Ra).18

Dan yang terakhir Ijtihad, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist menunjukkan bahwa transaksi atau perjanjian gadai dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya, namun demikian perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam dengan melakukan Ijtihad.

Berdasarkan landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni; berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (murtahin) atau yang mewakilinya.19

Adapun aturan yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Rahn sebagaimana dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN- MUI/III/2002 tertanggal 26 Juni 2002 (Himpunan Fatwa, Edisi kedua, hal 158-159) sebagai berikut;

Pertama; Hukum

18Ibbid, http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/Konsep Gadai Syariah Ar-Rahn dalam Fiqh.html.

19Ibid, Konsep Gadai Syariah Ar-Rahn dalam Fiqh.html.

(32)

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut;

Kedua ; Ketentuan Umum

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) lunas.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin.

4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan Marhun;

a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi hutangnya.

b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual/ diesekusi atau dilelang sesuai syariah.

c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

(33)

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.20

Dalam keadaan tidak normal di mana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya. Namun dalam praktek pihak murtahin telah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.21 Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.22 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.23Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.

20Muhammad Yusuf dan Wiroso, Bisnis Syariah, Mitra Wacana Media, Edisi Pertama, Jakarta, tahun 2007, hal. 162.

21Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, Bumi Aksara, 2000, hal. 122.

22Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, tahun 1989, Jakarta. Hal. 34.

23Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo, tahun 1998, Jakarta. Hal. 34.

(34)

Untuk menghindari terjadinya perbedaan pengertian tentang konsep yang dipakai dalam penelitian ini, maka perlu dikemukakan mengenai pengertian konsep yang dipakai, sebagai berikut:

1. Rahn adalah menahan salah satu harta milik di peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.

2. Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan). Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’

untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.

3. Syariah adalah secara harfiah berarti jalan Allah seperti yang ditunjukkan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Istilah ini dipakai untuk yang berhubungan dengan prinsip Islam.

4. Kantor pegadaian syariah adalah kegiatan usaha atau unit kerja yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah.

5. Lhokseumawe Aceh adalah salah satu daerah yang terletak dalam Wilayah Pemerintahan Kota Provinsi Aceh yaitu tempat dimana Kantor Cabang Pegadaian Syariah menjalankan kegiatan usahanya.

(35)

G. Metode Penelitian

Dalam setiap penelitian pada hakekatnya, mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.24Kata metode berasal dari yunani “Methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.25

1. Sifat Metodelogi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah, bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan empiris yang mengacu pada norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat indonesia.

Empiris yang dimaksud pada penelitian ini adalah, berusaha melakukan pendekatan terhadap dasar hukum dan menganalisa permasalahan yang ada.

Menganalisa hukum baik yang tertulis, maupun yang di putuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Sedangkan sifat deskriptif analitis dalam penelitian ini deskiptif bertujuan untuk, mendeskripsikan secara sistimatis, faktual dan akurat, maksudnya bahwa penelitian ini menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan analitis di artikan sebagai kegiatan menganalisa data secara konferenshif, dan ditujukan untuk membatasi kerangkan studi pada suatu pemberian, suatu analisis, atau suatu klasifikasi tanpa secara

24Jujun S.Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hal. 328.

25Koenjtraranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, 1997 Jakarta, Hal.16.

(36)

langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

Secara langsung penelitian ini memaparkan mengenai, Rahn pada Gadai Syariah dengan pendekatan terhadap prinsip syariah yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini.

2. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul ini yaitu Tinjauan Yuridis Tentang Gadai Syariah (Rahn) pada Kantor Pegadaian Syariah Di Lhokseumawe, maka penelitian ini dilakukan berdasarkan kenyataan dilapangan. Maka dalam melakukan penelitian ini didukung dengan 1 (satu) orang Nasabah pada Pegadaian Syariah dan, 1 (satu) orang Manager Usaha Rahn pada Kantor Pegadaian Syariah, yang beralamat di Jalan pasar Inpres, Nomor. 10 Telepon (0645) 45303, Kode Pos 24313, Lhokseumawe.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data, yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research).

a. Penelitian kepustakaan

Yaitu untuk mendapat konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan, objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan-peraturan lainnya.

b. Penelitian lapangan

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer guna akurasi

(37)

terhadap hasil yang dipaparkan, yang dapat berupa pendapat informan, laporan-laporan perusahaan dan lain-lain yang relevan dengan objek yang diteliti. Selain itu peneliti juga melakukan penelitian langsung ke tempat penelitian yakni kantor Pegadaian Syariah Lhokseumawe.

4. Metode Pengumpulan Data

Adapun alat yang digunakan untuk pengumpulan data dalam peneltian ini adalah, dengan menggunakan studi dokumen dan wawancara.

a. Studi Dokumen, Sumber utama penulisan tesis ini diperoleh dari data sekunder, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru maupun pengertian baru mengenai studi gagasan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Pegadaian.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan pelajaran mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahwa hukum penunjang yang memberi penunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, majalah maupun internet.

b. Wawancara, kegiatan wawancara dilakukan terhadap responden serta narasumber atau informan untuk mengetahui lebih mendalam dan rinci

(38)

tentang hal-hal yang tidak mungkin dijelaskan dan akan ditemukan jawaban nantinya. Sehingga dengan adanya wawancara, diharapkan dapat memperoleh data yang lebih luas dan akurat tentang masalah yang diteliti.

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya di pilih guna memperoleh pasal-pasal, teori-teori yang berisi tentang uraian-uraian permasalahan dalam tesis ini, sehingga klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang di teliti dalam tesis ini.

Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan perspektif ilmu lain, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perspektif hukum disiplin ilmu hanya sekadar alat bantu.

5. Analisa Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukanlah pengumpulan data, mensistemasi, menganalisis serta menarik kesimpulan data sesuai dengan kategori yang ditemukan. Setelah itu dengan menggunakan metode deduktif-induktif, ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai dianalisis dimaksud yang merupakan hasil dari penelitian ini.

(39)

BAB II

PRINSIP GADAI (RAHN) BERDASARKAN SYARIAH HUKUM ISLAM

A.1.Istilah dan Pengertian Gadai (Rahn)

Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau Rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, Pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan Untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.26

Menurut A.A. Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’

sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.27

Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.28

Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhunbih dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang

26Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Kerjasama Gema Insani Press dengan Tazkia Institute, GIP, Jakarta: 2001. hal. 128.

27A.A. Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, Al-Ma’arif, Bandung:

1983, hal. 50.

28Rahmat Syafei, Konsep Gadai; Ar-Rahn dalam Fiqh Islam Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial dalam Huzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Ibid. hal. 60.

(40)

digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan. Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.

Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut:

1. Ulama syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut :

Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.

2. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut :

Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.

3. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut :

Sesuatu yang bernilai harta (Mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).

4. Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan sebagai berikut :

Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai

(41)

tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

5. Muhammad Syafi'I Antonio mendefinisikan sebagai berikut :

Gadai syariah (Rahn) adalah menahan salah satu yaitu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.29

Dewan redaksi dari Ensiklopedi Hukum Islam berpendapat bahwa Rahn yang dikemukakan oleh ulama Fiqh klasik tersebut hanya bersifat pribadi, artinya utang piutang hanya terjadi antara seorang pribadi yang membutuhkan dan seorang yang memiliki kelebihan harta, di zaman sekarang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, Rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antara pribadi dan lembaga keuangan.30

Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli Hukum Islam diatas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau

29Ibid, Muhammad Syafi’i Antonio, hal.128.

30Abdul Ghofur Anshari, Gadai Syariah di Indonesia, Gajah Mada University Press, tahun 2006, hal. 103.

(42)

sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah.

Pegadaian syariah mengacu kepada Al-Qur`an dan Hadits. Adapun landasannya dalam Al-Qur`an sebagaimana firman Allah SWT :

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.

Dan barang siapa yang menyembunyikan, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(QS. Al-Baqarah:283 Ayat 2).

Adapun dalam Hadits, Aisyah Ra berkata “Rasullulah membeli makanan dari seorang Yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi.” (HR. Al- Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah saw bersabda :

(43)

“Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya menjaganya.

Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya menjaganya.

Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengelurkan biaya perawatannya.”(HR.Jamaah, kecuali Muslim dan an-Nasa`i).31

Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas Ra).32

1. Fungsi Gadai Syariah

Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 283 Ayat 2 dijelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muammalah, dimana sikap menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam hadist Rasulullah Saw. dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra. yang diriwayatkan Abu Hurairah, di sana nampak sikap menolong antara Rasulullah Saw, dengan orang Yahudi saat Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut.

Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan

31Http://Www.Ekomarwanto.Com/2011/11/Penerapan Teori dan Aplikasi Pegadaian. Html.

Diakses Tgl 19 Mai 2012.

32Ibbid, http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/Konsep Gadai Syariah Ar-Rahn dalam Fiqh.html.

(44)

dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersiil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.33

Produk rahn disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman, berarti Pegadaian syariah hanya memperoleh imbalan atas biaya administrasi, penyimpanan, pemeliharaan, dan asuransi marhun, maka produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan fungsi sosial-konsumtif, seperti kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan.34 Sedangkan rahn sebagai produk pembiayaan, berarti Pegadaian syariah memperoleh bagi hasil dari usaha rahin yang dibiayainya.

2. Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah

Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’35adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad.

Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu :

(1) Shigat (lafadz ijab dan qabul);

33Muhammad dan Solikhul Hadi, Op.cit, hlm. 63

34 Yadi Janwari dan H.A. Djajuli, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan,Edisi 1, Cetakan 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2002. hlm. 80.

35Mustafa az-Zarqa’ dalam M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003, hlm. 102-103.

(45)

(2) Orang yang berakad (rahin dan murtahin);

(3) Harta yang dijadikan marhun; dan (4) Utang (marhum bih).

Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya.36

Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu:

1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya. Menurut Hendi Suhendi, syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, artinya mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan yang berkaitan dengan rahn.37

2. Syarat sight (lafadz). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang,

36Nasrun Haroen, Fiqh Mumalah, Cetakan Pertama, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2000. hlm. 254.

37Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002. hlm. 107.

(46)

karena akad rahn itu sama dengan akad jual-beli. Apabila akad itu dibarengi dengan, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang 1 (satu) bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin manfaatkan.

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal.

Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.38

Sedangkan Hendi Suhendi menambahkan, dalam akad dapat dilakukan dengan lafadz, seperti penggadai rahin berkata; “Aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp 20.000” dan murtahin menjawab; “Aku terima gadai mejamu seharga Rp 20.000”. Namun, dapat pula dilakukan seperti: dengan surat, isyarat atau lainnya yang tidak bertentangan dengan akad rahn.39

3. Syarat marhun bih, adalah :

38Nasrun Haroen, Op.cit. hlm. 255.

39Ibid. hlm. 107

(47)

a. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin;

b. Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu;

c. Marhun bih itu jelas/tetap dan tertentu.

4. Syarat marhun, menurut pakar fiqh, adalah:

a. Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih;

b. Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal);

c. Marhun itu jelas dan tertentu;

d. Marhun itu milik sah rahin;

e. Marhun itu tidak terkait dengan hak orang lain;

f. Marhun itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat; dan

g. Marhun itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.40 3. Hak dan Kewajiban para Pihak Gadai Syariah

Menurut Abdul Aziz Dahlan,41bahwa pihak rahin dan murtahin, mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut:

1. Hak dan Kewajiban Murtahin a. Hak Pemegang Gadai

a.1 Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang

40Nasrun Haroen, Ibid, hal. 256.

41Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Cetakan Keempat, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 2000, hlm. 383.

(48)

berhutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhunbih dan sisanya dikembalikan kepada rahin;

a.2 Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun;

a.3 Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak retentie).

b. Kewajiban Pemegang Gadai

b.1 Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalainnya;

b.2 Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan marhun untuk kepentingan sendiri; dan

b.3 Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum diadakan pelelangan marhun.

2. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Syariah a. Hak Pemberi Gadai

a.1. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih;

a.2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin;

a.3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya;

(49)

a.4. Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun.

b. Kewajiban Pemberi Gadai

b.1 Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimannya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin;

b.2 Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.

4. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Gadai Konvensional

Gadai pada prinsipnya merupakan kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial. Namun, hal ini berlaku pada masa Rasulullah Saw, masih hidup.

Rahn pada saat itu belum berupa sebuah lembaga keuangan formal seperti sekarang ini, sehingga aktivitas gadai hanya berlaku bagi perorangan. Jadi pada saat itu masih mungkin jika aktivitas tersebut hanya berfungsi sosial dan rahin tidak berkewajiban memberikan tambahan apapun dalam pelunasan utangnya.42

Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari Pengadaian tersebut tentu sudah bersifat komersiil. Artinya Pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga Pegadaian mewajibkan

42Muhammad dan Solikhul Hadi, Op,cit, hlm. 61

(50)

menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.43 Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai.

Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A. Basyir.44Riba’ terjadi apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan ‘bunga gadai’, yang pembayarannya dilakukan setiap 15 (lima belas) hari sekali. Sebab apabila pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 (dua) kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari.

Hal ini jelas merugikan pihak nasabah, karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya. Padahal biasanya orang yang menggadaikan barang itu untuk kebutuhan konsumtif. Namun, apabila tidak maka dilihat dari segi komersiil, pihak Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual.45 Karena itu aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang syara’, dan pihak yang terbebani merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.

43Muhammad dan Solikhul Hadi, Ibid, hal. 62

44A.A. Basyir, Op.cit, hlm. 55.

45Ibid, hlm. 4.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Ingin menembusi pasaran tempatan dan antarabangsa dalam sektor industri daging Ingin menembusi pasaran tempatan dan antarabangsa dalam sektor industri daging  puyuh setanding

trn darr kulit ikan patin sebagai bahan baku dengan melakukan penelitian terhadap penanganan bahan baku, penentuan kondisi yang terbaik untuk proses pengembangan kulit

Untuk pengendali 2 derajat kebebasan tipe paralel, jenis – jenis pengendali yang dirancang meliputi pengendali Proporsional Derivative (PD), pengendali

Beberapa pengunjung berkomentar sama bahwa desain dan arsitektur Masjid Islamic Center Dato Tiro ini telah banyak mengundang daya tarik bagi masyarakat lokal

Islam tidak menolak usaha menghasilkan laba, oleh karenanya tidak ada alasan bagi lembaga keuangan bank untuk tidak masuk dalam suatu kemitraan dengan pengusaha dan meminjamkan

Dapat disimpulkan bahwa mobile XXX handal dan dapat dipercaya, mobile XXX dapat menjaga janji dan komitmennya terhadap konsumen, mobile XXX selalu mengedepankan konsumen

“Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan adalah wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang

Berdasarkan hasil penelitian tentang per- bedaan kekerasan mikro permukaan giomer dan kompomer setelah prosedur in office bleaching menggunakan bahan karbamid peroksida 45%, maka