SKRIPSI
HUBUNGAN DIABETES SELF CARE MANAGEMENT
DENGAN KONTROL GLIKEMIK PADA PASIEN
DIABETES MELITUS TIPE 2
DI PUSKESMAS I UBUD
OLEH :
KADEK DEWI YULIANTINI NIM. 1102105031
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
HUBUNGAN DIABETES SELF CARE MANAGEMENT
DENGAN KONTROL GLIKEMIK PADA PASIEN
DIABETES MELITUS TIPE 2
DI PUSKESMAS I UBUD
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH :
KADEK DEWI YULIANTINI NIM. 1102105031
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Kadek Dewi Yuliantini
NIM : 1102105031
Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana
Program Studi : Ilmu Keperawatan
menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dibuktikan bahwa tugas akhir ini adalah hasil jiplakan,
maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,
(Kadek Dewi Yuliantini) Materai
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas I Ubud.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis berikan kepada:
1. Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp. OT (K). M. Kes, sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
3. Ns. I Dewa Pt. Gd. Putra Yasa, S.Kp, M.Kep, Sp.MB sebagai pembimbing
utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
4. Ns. Luh Mira Puspita, S.Kep, M.Kep sebagai pembimbing pendamping yang
telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini tepat waktu.
5. Ni Made Sulastri SKM, MPH sebagai kepala Puskesmas I Ubud
6. Kedua orang tua saya serta keluarga besar saya atas segala bantuan materi dan
dukungan baik moral maupun spiritual.
7. Teman-teman mahasiswa PSIK-A Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar Angkatan 2011 (Chivor) atas saran, masukan dan bantuannya dalam
8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan kritik
yang membangun. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.
Denpasar, Juni 2015
ABSTRAK
Yuliantini, Kadek Dewi, 2015. Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas I Ubud, Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. I Dewa Pt. Gd. Putra Yasa, S.Kp, M.Kep, Sp.MB; (2) Ns. Luh Mira Puspita, S.Kep, M.Kep.
Angka kejadian DM dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal tersebut berdampak pada peningkatan angka komplikasi. Pencapaian kontrol glikemik yang baik merupakan upaya untuk mencegah komplikasi tersebut, namun masih banyak penderita DM yang kontrol glikemiknya buruk. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan self care management yang baik. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan diabetes self care management (DSCM) dengan kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas I Ubud. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 55 orang dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Kontrol glikemik diukur dengan menggunakan kadar glukosa darah puasa dan DSCM diukur dengan menggunakan kuesioner diabetes self management scale (DSMS). Uji rank spearman digunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara DSCM dengan kontrol glikemik. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 54,5% responden berjenis kelamin laki-laki; 43,6% responden berada pada rentang usia 56-65 tahun; 61,8% responden dengan tingkat pendidikan dasar (SD, SMP); 34,5% responden bekerja sebagai wiraswasta; rata-rata durasi DM adalah 2,25; 65,5% responden memiliki kontrol glikemik yang buruk; dan 36,4% responden dengan DSCM yang rendah. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara DSCM dengan kontrol glikemik (p= 0,000).Melalui penelitian ini diharapkan kepada penderita DM dan tenaga kesehatan untuk meningkatkan pelaksanaan DSCM guna mencapai kontrol glikemik yang baik.
Kata kunci: Diabetes self care management, kontrol glikemik, DM tipe 2
Yuliantini, Kadek Dewi, 2015. Relationship between Diabetes Self Care Management and Glycemic Control on Type 2 Diabetes Mellitus at Public Health Center I of Ubud, Undergraduate thesis, Nursing Departement, Faculty of Medicine, University of Udayana. Supervisors (1) Ns. I Dewa Pt. Gd. Putra Yasa, S.Kp, M.Kep, Sp.MB; (2) Ns. Luh Mira Puspita, S.Kep, M.Kep.
The incidence of Diabetes Mellitus (DM) has increased year by year. It has an impacted on the increase of diabetes complications. The achievement of good glycemic control is the way to prevent diabetes complications, however there are still many poor glycemic control among people with diabetes. A good glycemic control could be achieved by do a good self care management. The study aims to determine the relationship between diabetes self care management (DSCM) and glycemic control on type 2 diabetes mellitus at Puskesmas I Ubud. This study used an analytic correlational design with cross sectional approach. The sample of this study were 55 person and was selected by using consecutive sampling. Glycemic control measured by using fasting blood glucose levels and DSCM measured by using diabetes self management scale (DSMS). Spearman rank is used to determine the relationship between DSCM and glycemic control. The result showed there were 54,5% of respondents-sex male; 43,6% of the respondents were in the age range 55-64 years; 61,8% of the respondents had primary education level (elementary school, junior high school), 34,5% of respondents working as self-employed; the average duration of DM was 2,25; 65,5% of respondents have a poor glycemic control; and 36,4% of respondents with low DSCM. The conclusions of this study that there was a significant relationship between DSCM and glycemic control (p= 0,000). Through this research is expected to people with DM and health professionals to improve the implementation of DSCM to achieve good glycemic control.
Key words: Diabetes self care management, glycemic control, type 2 diabetes mellitus
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2.4 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Puasa... 18
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah... 19
2.3 Diabetes Self Care Management... 20
2.3.1 Konsep Dasar Self Care... 20
2.3.2 Pengertian... 21
2.3.3 Aspek dari Diabetes Self Care Management... 21
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Diabetes Self Care Management ... 31 2.4 Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 35 BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep... 38
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel... 40
3.2.1 Variabel Penelitian... 40
4.4.1 Populasi Penelitian... 45
4.4.2 Sampel Penelitian... 45
4.4.3 Teknik Sampling... 46
4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 47
4.5.1 Jenis Data yang Dikumpulkan... 47
4.5.2 Cara Pengumpulan Data... 48
4.5.3 Instrumen Pengumpulan Data... 49
4.5.4 Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner DSCM... 50
5.2.3 Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik
... 74
5.3 Keterbatasan Penelitian
... 78
BAB VI PENUTUP 6.2 Kesimpulan
... 79
6.2 Saran
... 79
6.2.1 Bagi Lembaga Tempat Penelitian
... 79
6.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
... 80
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Kriteria Pengendalian DM... 18
Tabel 2 Definisi Operasional Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas I Ubud ... 41
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
... 60
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
... 61
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
... 61
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
... 62
Tabel 7 Karakteristik Responden Berdasarkan Durasi Menderita DM ... 62
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Skor DSCM Responden... 63
Tabel 10 Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas I Ubud ... 64
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka Konsep Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Puskesmas I Ubud
... 38
Gambar 2 Rancangan Penelitian Analitik Korelasional... 43
Gambar 3 Kerangka Kerja Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Puskesmas I Ubud
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Jadwal Penelitian
Lampiran 2: Biaya Penelitian
Lampiran 3: Surat Ijin Melakukan Studi Pendahuluan
Lampiran 4: Surat Ijin Validasi Instrumen Penelitian
Lampiran 5: Surat Ijin Validasi Instrumen Penelitian dari Dinkes
Lampiran 6: Surat Mohon Ijin Melakukan Pengumpulan Data Penelitian
Lampiran 7: Surat Rekomendasi Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali
Lampiran 8: Surat Ijin Penelitian dari Badan Kesbang Pol dan Linmas Kabupaten Gianyar
Lampiran 10: Penjelasan Penelitian
Lampiran 11: Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 12: Langkah-langkah Pengukuran Kadar Glukosa Darah Puasa
Lampiran 13: Kuesioner Diabetes Self Management Scale Setelah Diuji Validitas dan Reabilitas
Lampiran 14: Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Diabetes Self Management Scale
Lampiran 15: Master Tabel
Lampiran 16: Hasil Analisis Data
Lampiran 17: Dokumentasi
Lampiran 18: Lembar Konsultasi
DAFTAR SINGKATAN
AADE : American Association Diabetes Educators ADA : American Diabetes Association
CDC : Center for Disease Control and Prevention
DK : Diabetes Knowledge
DM : Diabetes Melitus
DSCM : Diabetes Self Care Management DSMS : Diabetes Self Management Scale
GDA : Gula Darah Acak
GDP : Gula Darah Puasa
HHNK : Hiperglikemia Hiperosmolar Koma Non Ketotik
IMT : Indek Massa Tubuh
KAD : Ketoasidosis Diabetik
Kkal/kgBB : Kilo kalori per kilogram berat badan
LDL : Low Density Lipoprotein
mg/dl : milligrams per deciliter
mmol/L : milimol per liter
OHO : Obat Hipoglikemik Oral
PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
PP : Postprandial
PTM : Penyakit Tidak Menular
Rikesdas : Riset Kesehatan Dasar
SCA : Self Care Agency
SE : Self Efficacy
SMBG : Self-monitor Blood Glucose
TNM : Terapi Nutrisi Medis
TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang berkembang
secara lambat dan tidak ditularkan dari orang ke orang yang menjadi penyebab
kematian secara global. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan
bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36
juta disebabkan oleh penyakit tidak menular. Diabetes melitus (DM) merupakan
salah satu dari empat jenis PTM utama (Rikesdas, 2013; Kemenkes RI, 2012)
yang merupakan suatu penyakit kronis yang paling banyak dialami oleh penduduk
di dunia (Sicree, Shaw, & Zimmet, 2009).
Jumlah pasien DM pada tahun 2000 di Indonesia menempati urutan keempat
terbesar (Wild, Roglic, Green, Sicree, & King dalam Merson, Black, & Mills,
2012). Tahun 2012 tercatat 642 pasien yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat
(RSUP) Sanglah. Tahun 2013 tercatat jumlah kunjungan ke Poliklinik Diabetic Center RSUP Sanglah sebesar 2.244 (Rekam Medis RSUP Sanglah, 2014).
Tingginya angka DM membuktikan bahwa DM merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang cukup serius. Jenis DM dengan angka kejadian yang paling
tinggi (90%-95%) adalah DM tipe 2 (CDC, 2014; Guyton & Hall, 2007).
Diabetes melitus yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi
DM. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi ketoasidosis diabetes, hiperglikemia,
2
angina, infark miokardium, insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio
intermiten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke
(Price & Wilson, 2006). Angka kejadian pasien DM yang mengalami stroke di
Amerika pada tahun 2011 sebesar 36,6%. Angka ini mengalami peningkatan dari
sebelumnya di tahun 2010 sebesar 35,7% (CDC, 2013a). Peningkatan komplikasi
DM ini sering dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat DM (Park &
Peters, 2014). Center for Disease Control and Prevention melaporkan bahwa dalam rentang tahun 1980-2009 terdapat sebanyak 2417 orang DM meninggal
akibat hiperglikemia (CDC, 2013b). Hiperglikemia dapat terjadi karena kurang
adekuatnya kontrol glikemik pasien DM yang nantinya akan menyebabkan
komplikasi lain pada pasien DM (CDC, 2014).
Komplikasi DM dapat dicegah dengan mempertahankan kadar glukosa darah
sedekat mungkin dengan target (CDC, 2014), namun tidak semua pasien DM
memiliki kontrol glikemik yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi
(2013) menyatakan bahwa 100% pasien DM dalam penelitian tersebut memiliki
kontrol glikemik yang buruk, baik itu pada kelompok kontrol maupun kelompok
perlakuan. Hasil penelitian oleh Kusniyah, Nursiswati, & Rahayu (2011),
menggambarkan bahwa kontrol glikemik (HbA1C) responden DM pada penelitian
tersebut sebagian besar buruk (54,8%).
Hasil studi pendahuluan di Puskesmas I Ubud juga menyatakan bahwa pada bulan
September 2014 terdapat 82 pasien DM yang telah mengontrolkan gula darahnya.
3
glikemik yang buruk, 14,63% kontrol glikemik sedang, dan 23,17% kontrol
glikemik baik. Hasil tersebut menunjukkan masih tingginya kontrol glikemik yang
buruk, sehingga diperlukan upaya untuk mencapai kontrol glikemik yang baik.
Kontrol glikemik yang baik dapat dicapai dengan melakukan self care management yang baik (Shrivastava, Shrivastava , & Ramasamy, 2013).
Self care management yang berkelanjutan pada dasarnya dapat membentuk cara
hidup seseorang dalam mencegah, mengenali, dan mengelola penyakit yang
dideritanya. Pelaksanaan self care yang tepat dan sesuai dengan kondisinya
diharapkan dapat meningkatkan derajat kesejahteraan seseorang. Hal ini
merupakan salah satu usaha pencegahan terbaik terhadap kemungkinan
berkembangnya komplikasi jangka panjang (Sousa, Zauszniewski, Musil, Lea, &
Davis, 2005). Pelaksanaan self care management pada pasien DM dipengaruhi oleh keyakinan (self efficacy) dan kemampuan (self agency) yang dimiliki oleh
pasien DM dalam melakukan self care. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
self efficacy dan atau self agency dapat mempengaruhi pelaksanaan self care management pada pasien DM (Hunt et al., 2012; Sousa, Zauszniewski, Musil,
Lea, & Davis, 2005; Sigurdardottir, 2005).
Self care management merupakan latihan perawatan diri (kinerja aktual terhadap
aktivitas self care) yang bertujuan untuk mencapai target dari kontrol glikemik.
Self efficacy maupun self agency berpengaruh terhadap kontrol glikemik pasien DM (Sousa & Zauszniewski, 2005). Penelitian oleh Al-Khawaldeh, Al-Hassan,
4
management yang baik menunjukkan kontrol glikemik yang lebih baik. Kendali
glukosa atau kontrol glikemik tidak hanya dipengaruhi oleh diet saja, namun
dipengaruhi juga oleh hal-hal lain seperti latihan jasmani dan obat-obatan
(PERKENI, 2011). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik meneliti
tentang hubungan diabetes self care management dengan kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas I Ubud.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah penelitian ini adalah
“Adakah hubungan antara diabetes self care management dengan kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas I Ubud?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara diabetes self
management dengan kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas I Ubud.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2.
2. Mengidentifikasi gambaran diabetes self care management pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas I Ubud.
3. Mengidentifikasi gambaran kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus tipe
2 di Puskesmas I Ubud.
4. Menganalisis hubungan diabetes self care management dengan kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas I Ubud.
5
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan mengenai
hubungan diabetes self care management dengan kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus tipe 2.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data untuk peneliti
selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai dasar pedoman dalam meningkatkan
dan mempertahankan kontrol glikemik pada pasien DM. 2. Bagi Perawat
Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang praktik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Pengertian
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit heterogen yang didefinisikan
berdasarkan adanya hiperglikemia (Ganong & McPhee, 2010). Guyton dan Hall
(2007) menjelaskan bahwa DM merupakan suatu sindrom dengan terganggunya
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang disebabkan oleh berkurangnya
sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Menurut
American Diabetes Association (ADA) (2010), DM merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
2.1.2 Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik DM menurut ADA (2010) yaitu jika ditemukan kondisi
sebagai berikut:
1. HbA1C ≥ 6,5%
2. Kadar gula darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl
3. Terdapat trias klinis DM (poliuria, polidipsi, dan penurunan berat badan) dan
kadar gula darah acak (GDA) ≥ 200 mg/dl.
4. Kadar gula darah 2 jam post prandial (PP) atau tes toleransi glukosa oral
(TTGO) 75 gram anhididrous yang dilarutkan dalam air (standar WHO) ≥ 200
mg/dl.
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2011,
7
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Gejala lain dapat berupa lemah
badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita. Kriteria diagnosis DM meliputi:
1. Gejala klasik DM ditambah dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/L).
2. Gejala klasik DM ditambah dengan kadar glukosa plasma puasa ≥ 126mg/dl
(7,0 mmol/L).
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L).
2.1.3 Klasifikasi
Menurut PERKENI (2011) menyatakan bahwa terdapat empat klasifikasi DM,
diantaranya :
1. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 disebut juga dengan DM tergantung insulin yang
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin (Guyton & Hall, 2007). Diabetes
melitus tipe 1 dapat dibagi menjadi dua subtipe yaitu autoimun dan idiopatik.
Kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta pankreas yang
menyebabkan defisiensi insulin berat (Guyton & Hall, 2007; Ganong &
McPhee, 2010). Sebagian kecil kausa DM tipe 1 tidak diketahui atau idiopatik.
Subtipe ini lebih sering ditemukan pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan
Asia (Price & Wilson, 2006).
2. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 disebut juga dengan DM tidak tergantung insulin yang
disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek
metabolik insulin. Tipe ini 10 kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan
8
tahun ke atas, akan tetapi akhir-akhir ini banyak dijumpai pula pada usia
dibawah 20 tahun. Prevalensi DM tipe 2 meningkat seiring bertambahnya
usia. Hal ini berkaitan dengan peningkatan resistensi terhadap efek insulin di
tempat-tempat kerjanya serta penurunan sekresi insulin oleh pankreas.
Diabetes melitus tipe ini sering (80% kasus) berkaitan dengan obesitas.
Obesitas merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan resistensi
insulin (Ganong & McPhee, 2010; Guyton & Hall, 2007). 3. Diabetes melitus tipe lain
Diabetes melitus tipe ini terjadi karena etiologi lain, seperti defek genetik sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati,
karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, dan sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM (Ganong & McPhee, 2010). 4. Diabetes melitus gestasional
Diabetes melitus tipe ini terjadi pada 4% wanita hamil, dapat kambuh pada
kehamilan berikutnya, dan cenderung sembuh setelah melahirkan. Faktor
risiko terjadinya DM gestasional ialah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas,
riwayat keluarga, dan riwayat DM gestasional terdahulu. Pasien-pasien yang
memiliki predisposisi DM secara genetik mungkin akan memperlihatkan
intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan. Diabetes
melitus gestasional biasanya terjadi pada paruh kedua gestasi, yang dipicu
oleh peningkatan kadar hormon-hormon seperti somatomamotropin khorion,
progesteron, kortisol, dan prolaktin yang memiliki efek counterregulatory
anti-insulin (Ganong & McPhee, 2010; Price & Wilson, 2006).
9
Diabetes melitus tipe 2 disebut juga dengan DM tidak tergantung insulin.
Penyebab DM ini yaitu menurunnya sensitivitas jaringan target terhadap efek
metabolik insulin yang sering disebut dengan resistensi insulin. Penurunan
sensitivitas insulin menganggu penggunaan dan penyimpanan karbohidrat. Hal ini
yang akan meningkatkan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia) sebagai
upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan
terhadap efek metabolisme insulin (Guyton & Hall, 2007).
Gangguan metabolik yang terjadi tergantung pada derajat penurunan kerja insulin.
Jaringan adiposa paling peka terhadap kerja insulin. Oleh karena itu, rendahnya
aktivitas insulin dapat menyebabkan penekanan lipolisis dan peningkatan
penyimpanan lemak. Kadar insulin yang lebih tinggi diperlukan untuk melawan
efek glukagon di hati dan menghambat pengeluaran glukosa oleh hati (Ganong &
McPhee, 2010).
Penurunan ringan kerja insulin mula-mula bermanifestasi sebagai
ketidakmampuan jaringan peka-insulin untuk mengurangi beban glukosa. Secara
klinis hal ini menimbulkan hiperglikemia pasca makan. Pasien DM tipe 2 yang
masih menghasilkan insulin tetapi mengalami peningkatan resistensi insulin akan
memperlihatkan gangguan uji toleransi glukosa. Jika efek insulin semakin
menurun dan efek glukagon terhadap hati tidak mendapatkan perlawanan yang
berarti maka terjadi hiperglikemia pasca makan dan hiperglikemia puasa. Selain
menyebabkan gangguan metabolik, DM juga menyebabkan beragam penyulit
10
berkaitan dengan penyakit ini. Penyulit DM sebagian besar disebabkan oleh
kelainan vaskular yang mengenai sistem mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan
beberapa tipe neuropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit
vaskular perifer) (Ganong & McPhee, 2010).
2.1.5 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan diabetes adalah untuk mencegah komplikasi dan
menormalkan aktivitas insulin di dalam tubuh. Penatalaksanaan DM terdiri dari
empat pilar yaitu edukasi, diet, latihan jasmani dan pengobatan secara
farmakologi (PERKENI, 2011). Empat pilar penatalaksanaan DM, diantaranya:
1. Edukasi
Tujuan dari edukasi adalah mendukung usaha pasien yang menderita diabetes
untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya, mengetahui cara
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau komplikasi yang mungkin
timbul secara dini, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit
secara mandiri, diserta perubahan perilaku kesehatan yang diperlukan
(Suzanna, 2014).
2. Diet
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik,
yaitu karbohidrat : 45-65 % total asupan energi, protein: 10-20 % total asupan
energi, lemak: 20-25% kebutuhan kalori. Jumlah kalori disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, usia, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung
11
laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kebutuhan kalori pasien diabetes
pada dasarnya tidak berbeda dengan orang non diabetes yaitu harus dapat
memenuhi kebutuhan untuk aktivitas fisik maupun psikis dan untuk
mempertahankan berat badan agar mendekati ideal (PERKENI, 2006). 3. Latihan jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu dari pilar penatalaksanaan DM tipe 2.
Latihan jasmani dapat meningkatkan kebutuhan bahan bakar tubuh oleh otot
yang aktif dan terjadi pula reaksi tubuh yang kompleks meliputi fungsi
sirkulasi, metabolisme, dan susunan saraf pusat otonom. Latihan jasmani akan
mengakibatkan glikogen pada hati dan otot cepat diakses untuk digunakan
sebagai sumber energi saat latihan jasmani terutama pada beberapa atau
permulaan latihan jasmani dimulai, sehingga setelah 30 menit akan terjadi
penurunan kadar glukosa darah. Latihan jasmani dapat dilakukan secara
teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. Latihan ini sebaiknya
disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani (PERKENI, 2011;
Rachmawati, 2010). 4. Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan (PERKENI, 2011).
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi
jangka panjang (kronis).
1. Komplikasi akut
12
Penurunan aktivitas insulin tidak hanya menyebabkan peningkatan kadar
glukosa serum tapi menyebabkan pula ketoasidosis. Tanpa adanya insulin
lipolisis terpacu, sehingga asam-asam lemak dihasilkan dan cenderung
diubah menjadi badan keton di hati oleh efek glukagon yang tidak
terimbangi (Ganong & McPhee, 2010). Trias KAD yaitu hiperglikemia
(300-600 mg/dl), asidosis, dan ketosis (PERKENI, 2011). b. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah kurang
dari 60 mg/dl. Hipoglikemia sering disebabkan oleh penggunaan
sulfonilurea dan insulin. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik
(berdebar-debar, banyak keringat, dan rasa lapar) dan gejala
neuro-glikopenik (pusing, gelisah penurunan kesdaran hingga koma).
Pengelolaan segera diperlukan apabila terjadi hipoglikemia. Serangan
hipoglikemia yang sering dan lama dapat menyebabkan kematian otak
permanen atau bahkan kematian (PERKENI, 2011; Price & Wilson, 2006). c. Hiperglikemia Hiperosmolar Koma Non Ketotik (HHNK)
Komplikasi ini sering muncul pada DM tipe 2. Hiperglikemia (600-1200
mg/dl) terjadi tanpa adanya ketosis, dan tanpa tanda dan gejala asidosis.
Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas (330-380 mOs/ml)
(PERKENI, 2011; Price & Wilson, 2006). 2. Komplikasi kronis
a. Komplikasi makroangiopati
Makroangiopati memiliki gambaran histopatologis berupa arterosklerosis
yang disebabkan oleh penimbunan sorbitol dalam tunika intima vaskular.
Makroangiopati dapat menyebabkan penyumbatan vaskular. Jika
arterosklerosis mengenai arteri-arteri perifer, maka menyebabkan
13
dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika
arterosklerosis mengenai arteri koronaria dan aorta, maka dapat
menyebabkan angina dan infark miokardium (Price & Wilson, 2006). b. Komplikasi mikroangiopati
1) Retinopati diabetik
Hiperglikemia dapat menyebabkan retinopati (Sitompul, 2011).
Penimbunan sorbitol pada lensa mata menyebabkan kebutan dan
katarak. Manifestasi dini dari retinopati yaitu mikroaneurisma dari
arteriol retina. Hal ini mengakibatkan pendarahan, neovaskularisasi,
dan jaringan parut pada retina dapat menyebabkan kebutaan (Price &
Wilson, 2006). 2) Nefropati diabetik
Manifestasi dini dari nefropati diabetik yaitu proteinuria dan
hipertensi. Fungsi nefron yang hilang secara terus-menurus dapat
menyebabkan pasien menderita insufisiensi ginjal dan uremia (Price &
Wilson, 2006). 3) Neuropati diabetik
Komplikasi ini disebabkan oleh gangguan jalur poliol
(glukosa-sorbitol-fruktosa) akibat kekurangan insulin. Penimbunan sorbitol dan
fruktosa serta penurunan kadar mioinositol dapat menimbulkan
neuropati (Price & Wilson, 2006).
2.2 Kontrol Glikemik
2.2.1 Pengertian
Kontrol glikemik mengacu pada seberapa besar perbedaan metabolisme
karbohidrat seseorang dari nilai standar. Terdapat beberapa cara untuk mengukur
14
menilai konsentrasi glukosa darah untuk mengukur metabolisme glukosa
(Gemmell, 2007).
Kontrol glikemik diukur dengan menggunakan tes darah. Tes ini dapat menilai
kontrol glikemik jangka pendek dan jangka panjang. Pasien DM dapat mengukur
kontrol glikemiknya secara mandiri dengan menggunakan glucometer.
Pengukuran dengan glucometer dapat menilai kontrol glikemik jangka pendek.
Kontrol glikemik jangka panjang dapat dinilai dengan pengecekan HbA1C.
Pengecekan HbA1C memberikan pasien DM estimasi mengenai kontrol
glikemiknya selama 1-3 bulan (Gemmell, 2007).
Kontrol glikemik merupakan suatu dasar dalam pengelolaan atau manajemen DM.
Kontrol glikemik yang baik berarti menjaga kadar glukosa darah dalam kisaran
normal, sehingga dapat terhindar dari hiperglikemia atau hipoglikemia (Soegondo,
Soewondo, & Subekti, 2009). Kontrol glikemik yang ketat akan meningkatkan
keberhasilan pengelolaan DM dan dapat dipantau dari kadar glukosa darah.
Penderita DM yang mendapatkan terapi obat oral harus memantau glukosa darah
puasa, sedangkan mereka yang sedang mendapatkan terapi insulin harus lebih
sering memeriksa kadar glukosa sewaktu, misalnya sebelum makan. Pemantauan
harus dilakukan lebih sering apabila pasien dalam keadaan tidak sehat (Davey,
2005).
2.2.2 Pengaturan Kadar Glukosa Darah
Pankreas selain memiliki fungsi pencernaan juga berfungsi untuk menyekresikan
15
pengaturan metabolisme glukosa, lipid, dan protein secara normal (Guyton &
Hall, 2007). Insulin disekresi ketika terjadi peningkatan kadar glukosa darah.
Insulin bersirkulasi dalam plasma dan bekerja dengan cara berikatan dengan
reseptor insulin yang terdapat di permukaan sel sasaran seperti di hati, otot, dan
lemak.
Insulin berkerja melalui sistem perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan
transportasi glukosa yang berada di luar membran sel. Molekul transporter
glukosa yang disebut transporter glukosa GLUT-4 berperan penting dalam
transportasi glukosa ke sebagian besar sel. Glukosa dapat digunakan segera untuk
menghasilkan energi melalui siklus Krebs atau dapat disimpan di dalam sel
sebagai glikogen. Glukosa yang masuk ke dalam sel menyebabkan kadar glukosa
dalam darah menurun, sehingga menurunkan stimulasi pelepasan insulin lebih
lanjut (Corwin, 2009).
Hati melepaskan glukosa kembali ke dalam sirkulasi darah ketika kadar glukosa
darah mulai menurun sampai pada kadar yang rendah di antara waktu-waktu
makan. Pelepasan glukosa oleh hati berlangsung melalui beberapa peristiwa.
Beberapa peristiwa tersebut yaitu berkurangnya kadar glukosa darah
menyebabkan berkurangnya sekresi insulin oleh pankreas, yang selanjutnya akan
mengembalikan semua efek penyimpanan glikogen, terutama menghentikan
sintesis glikogen lebih lanjut dalam hati dan mencegah ambilan glukosa lebih
jauh. Insulin yang sekresinya berkurang menyebabkan pengaktifan enzim
16
Keadaan ini menyebabkan glukosa bebas berdifusi kembali ke dalam darah
(Guyton & Hall, 2007).
Rendahnya kadar glukosa darah menyebabkan disekresikannya glukagon oleh sel
α pulau Langerhans. Glukagon mempengaruhi metabolisme melalui efeknya di
hati dan jaringan lainnya. Glukagon memiliki efek yang berlawanan dengan
insulin dengan bekerja secara katabolik untuk mempertahankan kadar glukosa
darah dengan merangsang pengeluaran glukosa oleh hati. Hal ini terjadi dengan
merangsang penguraian cadangan glikogen hati (glikogenolisis) dan sintesis
glukosa oleh hati (glukoneogenesis). Glukoneogenesis adalah pembentukan
glukosa baru dengan cara mengubah asam amino dan gliserol menjadi glukosa
dan menyebabkan penguraian simpanan glikogen untuk digunakan sebagai
sumber energi selain glukosa. Glukagon juga merangsang oksidasi asam lemak
dan ketogenesis sehingga menghasilkan bahan sumber energi alternatif yang dapat
digunakan oleh otak ketika glukosa tidak tersedia (Ganong & McPhee, 2010;
Corwin, 2009).
Selama masa puasa, pankreas akan melepaskan secara terus menerus sejumlah
kecil insulin bersama dengan glukagon. Insulin dan glukagon secara
bersama-sama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam darah dengan
menstimulasi pelepasan glukosa di hati. Hati pada mulanya menghasilkan glukosa
melalui pemecahan glikogen. Setelah 8-12 jam tanpa makan, hati membentuk
glukosa dari zat-zat selain karbohidrat yang mencakup asam-asam amino
17
2.2.3 Pengukuran Kontrol Glikemik
Kontrol glikemik dapat diukur menggunakan beberapa cara seperti pemeriksaan
gula darah puasa, gula darah sewaktu, gula darah 2 jam post prandial, HbA1C,
tekanan darah, kolesterol total, kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein),
kolesterol HDL (High Density Lipoprotein), trigliserida, dan indeks massa tubuh
(IMT). Pengukuran kontrol glikemik berdasarkan kadar glukosa darah puasa dapat
digunakan untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai (PERKENI,
2006). Berikut merupakan kriteria kontrol glikemik (pengendalian DM)
Tabel 1. Kriteri Pengendalian DM
Indikator Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-<100 100-125 ≥126 Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 80-144 145-179 ≥180
HbA1C (%) <6,5 6,5-8 >8 Indeks Massa Tubuh (kg/m2) 18,5- <23 23-25 >25 Tekanan darah (mmHg) ≤130/80 >130-140/
(ADA, 2009). Pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler dengan menggunakan alat
18
karena apabila kadar hematokrit rendah maka secara semu akan meningkatkan
hasil pengukuran dan sebaliknya jika kadar hematokrit tinggi dapat menurunkan
hasil pengukuran. Pengukuran glukosa darah vena dan kapiler saat puasa memiliki
hasil yang identik, namun tidak untuk pengukuran kadar glukosa darah 2 jam post
prandial (Laboratorium Kesehatan, 2010).
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan ketika melakukan pemeriksaan
darah kapiler seperti penggunaan darah kapiler yang biasanya digunakan adalah
darah tetesan pertama dimana darah tetesan pertama lebih banyak mengandung
serosa sehingga dapat mengubah hasil pemeriksaan. Pembersihan area penusukan
dengan kapas alkohol sebelum dilakukan penusukan sebaiknya ditunggu hingga
kering karena alkohol dapat mempengaruhi keakuratan (Berman, Snyder, Kozier,
& Erb, 2009).
2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah puasa dipengaruhi oleh beberapa hal seperti produksi
glukosa hepar dan ambilan glukosa jaringan perifer (Price & Wilson, 2006). Kadar
glukosa darah puasa juga dipengaruhi oleh faktor endogen yaitu humoral factor
seperti hormon insulin dan glukagon. Mekanisme kerja dari insulin puasa yaitu
dengan menghambat produksi glukosa endogen yang berasal dari proses
glukoneogenesis dan glukogenolisis. Insulin puasa ini berperan melalui efek
inhibisi hormon glukagon terhadap mekanisme produksi endogen secara
berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin tinggi tingkat kadar
19
menyebabkan semakin rendahnya kemampuan inhibisinya terhadap proses
glukoneogenesis dan glukogenolisis (Sudoyo, 2006).
Kadar glukosa darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat
meningkatkan ambilan glukosa oleh otot dan tubuh menjadi lebih sensitif terhadap
insulin. Aktivitas fisik yang dilakukan secara berlebihan dapat menurunkan kadar
glukosa darah, sehingga latihan jasmani secara teratur merupakan salah satu pilar
dari pengelolaan DM khususnya hiperglikemia (PERKENI, 2011).
Asupan makanan terutama melalui makan berenergi tinggi atau kaya karbohidrat
dan serat rendah dapat mengganggu stimulasi sel beta pankreas dalam
memproduksi insulin. Asupan lemak di dalam tubuh perlu diperhatikan karena
sangat berpengaruh terhadap kepekaan insulin. Usia juga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah karena pertambahan usia dapat
menyebabkan penurunan toleransi tubuh terhadap glukosa karena kadar insulin
juga dipengaruhi oleh usia. Rentang usia dewasa tengah merupakan rentang usia
yang berisiko tinggi terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (PERKENI,
2006).
2.3Diabetes Self Care Management
2.3.1 Konsep Dasar Self Care
Self care merupakan salah satu teori keperawatan yang dikemukakan oleh
Dorothea Orem. Definisi self care menurut Orem adalah suatu pelaksanaan
kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi
kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraannya
20
Tujuan dari self care ini adalah meningkatkan kemandirian pasien. Teori ini
meyakini bahwa semua manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan self care dan
mereka memiliki hak untuk mendapatkan kebutuhan itu sendiri, kecuali bila tidak
mampu. Perawat mengupayakan agar pasien mampu mandiri dalam memenuhi
semua kebutuhan tersebut, begitu pula dengan pasien DM. Pasien DM diharapkan
mampu melakukan diabetes self care management tanpa bantuan dari orang lain
karena perilaku tersebut merupakan tanggungjawab setiap pasien DM
(Kusniawati, 2011).
2.3.2 Pengertian
Diabetes Self Care Management (DSCM) merupakan latihan perawatan diri
(kinerja aktual terhadap aktivitas self care) yang dilakukan oleh individu untuk
mengatur atau memanajemen diabetesnya (Sousa, Zauszniewki, Musil, Lea, &
Davis, 2005). Tujuan dari DSCM ini adalah untuk mencapai target dari kontrol
glikemik pada pasien DM, yaitu level glukosa darah yang sedekat mungkin
dengan nilai normal. Diabetes self care management ini merupakan bagian yang
esensial (dasar) dari manajemen DM untuk menurunkan risiko terjadinya
komplikasi DM (Gharaibeh, 2012).
2.3.3 Aspek dari Diabetes Self-Care Management
Aspek-aspek yang termasuk ke dalam DSCM meliputi healthy eating (makan
sehat), being active (latihan jasmani), taking medication (obat-obatan),
monitoring glukosa darah, problem solving (pemecahan masalah), dan reducing
risk (menurunkan terjadinya risiko) (Gharaibeh, 2012).
21
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien
dan keluarganya). Setiap pasien diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada pasien diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu (PERKENI, 2011).
Pasien DM yang mengalami kelebihan berat badan, perlu untuk mengurangi
berat badannya. Pasien DM juga perlu untuk memakan makanan yang rendah
lemak dan kolesterol serta makan makanan yang banyak mengandung serat
dan rendah sodium (ADA, 2012). Para pasien diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin (PERKENI, 2011).
Penyakit jantung dapat menjadi penyebab kematian pada pasien DM, sehingga
ADA merekomendasikan pencegahan dan pengobatan diabetes agar serupa
dengan pencegahan dan pengobatan penyakit jantung (Mashburn, 2012).
Franz et al. (2010) meninjau fakta dan panduan pelaksanaan nutrisi untuk
pasien DM dan melaporkan bahwa dukungan terhadap kebiasaan diet meliputi
konsistensi intake karbohidrat, pengaturan dosis insulin agar sesuai dengan
22
protein yang biasa, diet nutrisi untuk menjaga kesehatan jantung, strategi
pengelolaan berat badan, aktivitas fisik regular, dan monitoring glukosa darah
secara mandiri. Menurut PERKENI (2011) komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari : a. Karbohidrat
1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. 2) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
3) Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat
tinggi.
4) Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain 5) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
6) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)
7) Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat
dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah
atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. b. Lemak
1) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. 2) Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
3) Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
4) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
penuh (whole milk).
5) Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
c. Protein
23
2) Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dan
lainnya), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah
lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
3) Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%
hendaknya bernilai biologik tinggi.
d. Natrium
1) Anjuran asupan natrium untuk pasien diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama
dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
2) Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
3) Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit. e. Serat
1) Seperti halnya masyarakat umum pasien diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran
serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung
vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. 2) Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
f. Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Pemanis yang termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol
dan fruktosa. Jenis dari pemanis gula alkohol antara lain isomalt, lactitol,
maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Kandungan kalori pemanis
berkalori sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari perlu diperhitungkan
24
digunakan pada pasien diabetes karena efek samping pada lemak darah.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake)
2. Being Active (Olahraga atau Latihan Jasmani)
Orang dengan diabetes dianjurkan untuk melakukan latihan jasmani dengan
jumlah yang sama dengan masyarakat umum (ADA, 2012). Manfaat dari
olahraga ini ditentukan berdasarkan intensitas dan durasi latihan, terutama
untuk kesehatan jantung. Penurunan berat badan, peningkatan kesejahteraan
psikologis, dan kontrol glukosa darah yang lebih baik merupakan tujuan dari
latihan untuk orang dengan diabetes tipe 2. Kegiatan jasmani sehari-hari dan
latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30
menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan
sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun
harus tetap dilakukan (PERKENI, 2011).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status
kesegaran jasmani. Bagi mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani
bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat
dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
25
Umpierre et al. (2011) meninjau lebih dari 4.000 penelitian yang menunjukkan
bahwa latihan aerobik selama 150 menit per minggu secara terstruktur,
pelatihan resistensi, atau kombinasi keduanya, dikaitkan dengan A1C yang
lebih rendah. Latihan dikombinasikan dengan modifikasi gaya hidup,
pendidikan, kesadaran diet, dan dukungan sosial dapat meningkatkan
sensitivitas insulin (O'Gorman, & Krook 2011). Individu dengan diabetes
harus memantau kadar glukosa darah mereka untuk mencegah kejadian
hipoglikemik yang berkaitan dengan berolahraga.
3. Taking medication
Pengelolaan DM menurut PERKENI (2011) dimulai dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila
kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.
Obat hipoglikemik oral dapat segera diberikan pada keadaan tertentu secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuai dengan indikasi. Kondisi tertentu
tersebut yaitu keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis,
stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan.
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
26
Selain terapi oral terdapat juga terapi berupa suntikan, yang termasuk di
dalamnya yaitu :
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan seperti penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis
laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, ima, stroke), kehamilan dengan DM gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal
atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. Efek
samping terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping yang
lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan
alergi insulin atau resistensi insulin.
b. Agonis GLP-1
Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis
GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Obat yang umum sering digunakan dalam pengobatan DM tipe 2 yaitu
27
untuk merangsang pelepasan insulin, sedangkan thiazolidinediones
digunakan untuk membantu meningkatkan sensitivitas insulin. Insulin
harus digunakan bersama-sama dan bukan sebagai pengganti diet dan
olahraga. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah
dan pengelolaan diabetes tipe 2 (Mashburn, 2012).
4. Monitoring
Pemantauan diri pada pasien DM meliputi pemantauan kadar glukosa darah,
tekanan darah, pemeriksaan kaki, berat badan, dan pencapaian tujuan (Boren,
Gunlock, Schaefer, & Albright, 2007; McAndrew, Schneider, & Leventhal,
2007). Perilaku pemantauan diri bertujuan untuk mencegah atau
memperlambat perkembangan komplikasi diabetes (McAndrew, Schneider, &
Leventhal, 2007; ADA, 2009). Pemantauan tekanan darah merupakan
pemantauan yang efektif dalam mendeteksi dan membantu mengontrol
hipertensi, yang merupakan faktor risiko utama untuk penyakit pembuluh
darah jantung dan otak dan komplikasi mikrovaskuler (McAndrew, Schneider,
& Leventhal, 2007). Self-monitor Blood Glucose (SMBG) merupakan alat
yang memandu strategi pengelolaan glikemik dan memiliki potensi untuk
meningkatkan pemecahan masalah dan keterampilan pengambilan keputusan
bagi pasien diabetes dan tenaga pelayanan kesehatan mereka (AADE, 2010).
Pengecekan level glukosa darah secara rutin atau regular menggunakan
glucometer merupakan salah satu hal yang terpenting dalam mengelola
diabetes. Self monitoring of blood glucose menyediakan pasien DM informasi
28
obat-obatan mempengaruhi kadar glukosa darah mereka. Hal ini dapat
memfasilitasi penyesuaian lebih tepat waktu rejimen terapi dan mendukung
fleksibilitas dalam perencanaan makan, aktivitas fisik, dan pemberian obat
(Boren, Gunlock, Schaefer, & Albright, 2007; McAndrew, Schneider, &
Leventhal, 2007).
5. Problem solving
Kendala pada manajemen diri diabetes dapat ditemui setiap hari. Sangat
penting untuk mengetahui bagaimana cara untuk menemukan solusi bagi
masalah yang tak terduga. Masalah sehari-hari atau stres dapat menempatkan
tubuh di bawah tekanan dan mengakibatkan fluktuasi dramatis dalam kadar
gula darah (Mashburn, 2012). American Association Diabetes Educators
(AADE) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai perilaku yang dipelajari
untuk penyelesaian masalah (AADE, 2010).
Pelatihan pemecahan masalah akan mengajarkan kita mengenai kontrol diri
yang baik dan keterampilan perawatan diri. Pemecahan masalah merupakan
kemampuan yang dapat membantu untuk berpikir lebih jelas, berpikir ke
depan dan membuat rencana, lebih efisien dalam mengambil keputusan, lebih
efektif dalam menangani masalah lainnya, menghindari konflik yang tidak
diharapkan, dan meningkatkan kekuatan pribadi (Budde, 2009). Pemecahan
masalah ini meliputi menghasilkan serangkaian strategi potensial, memilihan
strategi yang paling tepat, menerapkan strategi, dan mengevaluasi efektivitas
29
Beberapa bukti mengaitkan rendahnya tingkat pemecahan masalah dengan
rendahnya hasil glikemik. Secara keseluruhan, bukti menunjukkan bahwa
pelatihan pemecahan masalah dapat menjadi alat intervensi yang efektif
(Meece, 2006; Hill & Gemmell, 2007; Tomky, 2007; Stetson et al, 2010).
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme aksi dan
pendekatan optimal untuk standarisasi penilaian dan intervensi (AADE, 2010).
6. Reducing risks
Rendahnya pengelolaan diabetes dapat menyebabkan permasalahan jangka
pendek dan komplikasi jangka panjang. Mengurangi risiko didefinisikan
sebagai penerapan perilaku pengurangan risiko yang efektif untuk mencegah
atau memperlambat perkembangan komplikasi diabetes (AADE, 2010).
Banyak aktivitas yang dapat membantu dalam menurunkan risiko tersebut,
seperti berhenti merokok, mengontrol tekanan darah, perawatan kaki,
pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri, pemeliharaan mata dan gigi.
Mengurangi terjadinya risiko dapat membantu dalam memperbaiki kualitas
hidup dan kuantitas kehidupan orang dengan diabetes (AADE, 2008).
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Diabetes Self Care Management
Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien DM dalam melakukan Self Care
Management antara lain:
1. Faktor eksternal a. Dukungan sosial
Dukungan keluarga merupakan salah satu bagian dari dukungan sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh Febriantini (2014) menyatakan bahwa
30
Hal ini sesuai dengan teori dukungan keluarga, dimana dukungan keluarga
termasuk dalam faktor penguat yang membuat seseorang lebih merasa
bersemangat dalam melakukan perubahan perilaku sehingga pasien lebih
memperhatikan apa yang sedang dijalankannya (Notoatmodjo, 2005).
Keluarga juga berpengaruh kepada psikologis penderita DM tipe 2 yang
akan menimbulkan mekanisme koping yang adaptif sehingga keadaan
psikologis penderita DM tipe 2 terhindar dari stres akibat dari pengobatan
dan diet yang dijalankan (Soegondo, 2008) b. Komunikasi petugas kesehatan
Komunikasi yang efektif antara petugas kesehatan dan pasien akan
mendorong perilaku self care yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan
pencapaian hasil yang memuaskan. Penjelasan mengenai tujuan
pengobatan, masalah yang mungkin dijumpai, tindakan yang harus
dilakukan dalam self care diabetes, dan strategi dalam melakukan
manajemen penyakit merupakan salah satu hal yang penting dalam
mencapai tujuan pengelolaan DM. Peningkatan komunikasi antara pasien
dan petugas kesehatan akan meningkatkan kepuasan dan kepatuhan
terhadap perencanaan pengobatan yang harus dijalankan dan
meningkatkan status kesehatan melalui peningkatan self management.
Aspek komunikasi yang dibutuhkan dalam menunjang efektivitas self care
diabetes yaitu pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan tindakan
self care diabetes yang meliputi penjelasan tentang diet, latihan,
monitoring glukosa darah, obat-obatan, dan perawatan kaki (Kusniawati,
31
a. Diabetes knowledge (DK)
Diabetes knowledge merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh pasien
DM tentang penyakitnya, diet, aktivitas fisik, pemantauan glukosa darah,
dan pengobatan. Pasien DM yang memiliki diabetes knowledge yang baik
akan meningkatkan kepercayaan dirinya untuk melakukan diabetes self
care management (Sousa & Zauszniewski, 2005).
b. Self care agency (SCA)
Self care agency merupakan kemampuan pasien DM untuk melakukan self
care managementnya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa self agency
dapat mempengaruhi pelaksanaan self care management pada penderita
DM (Sousa, Zauszniewki, Musil, Lea, & Davis, 2005; Sigurdardottir,
2005).
c. Self efficacy (SE)
Self efficacy atau keyakinan terhadap efektivitas pelaksanaan diabetes
merupakan pemahaman pasien DM mengenai pentingnya self care
diabetes dalam mengelola DM tipe 2. Self efficacy merupakan salah satu
tindakan yang efektif dalam pengelolaan DM tipe 2. Pemahaman tersebut
akan merefleksikan keyakinan pada diri mengenai sejauhmana tindakan
self care diabetes tersebut dapat membantu pasien dalam mengontrol
glukosa darahnya. Perilaku self care tersebut akan menjadi tanggung
jawab pasien dalam mengelola penyakitnya (Xu Yi, Toobert, Savage, Pan,
& Whitmer, 2008). d. Motivasi
Motivasi merupakan kondisi internal yang membangkitkan seseorang
untuk bertindak dan mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu
dan membuat seseorang untuk tetap tertarik dalam kegiatan tertentu.
32
baik internal maupun ekternal individu tersebut (Nursalam & Efendi,
2008). Motivasi merupakan faktor yang mempengaruhi pasien DM tipe 2
dalam melakukan self care diabetes terutama dalam hal mempertahankan
diet dan monitoring glukosa darah. Motivasi dan pelaksanaan self care
diabetes memiliki hubungan yang positif (Shigaki, Kruse, Mehr, Sheldon,
Bin, & Moore, , 2010) e. Aspek emosional
Aspek emosional dilaporkan memiliki hubungan yang signifikan terhadap
perilaku self care. Para pasien DM tipe 2 biasanya mengalami masalah
emosional seperti sedih, stres, khawatir, dan bosan terhadap perawatan dan
pengobatan yang harus dilakukan. Aspek emosional akan mempengaruhi
perilaku self care. Oleh karena itu, penyesuaian emosional sangat
diperlukan untuk keberhasilan program perawatan DM (Sigurdardottir,
2005).
f. Sosial ekonomi
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan biaya
yang cukup mahal dalam perawatannya. Penelitian yang dilakukan oleh
Bai, Chiou, & Chang (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi status
sosial ekonomi maka perilaku self care akan semakin meningkat. Apabila
status sosial ekonomi memadai maka pasien DM dapat melakukan
perawatan DM dengan baik sehingga dapat terhindar atau memperlambat
terjadinya komplikasi akibat DM. g. Demografi
1) Usia
Usia memiliki hubungan yang positif dengan penerapan DSCM, yang
artinya semakin meningkat usia maka akan terjadi peningkatan
33
peningkatan kematangan atau kedewasaan, sehingga orang dapat
berfikir secara rasional mengenai manfaat yang akan dicapai jika ia
melakukan DSCM secara adekuat (Sousa, Zauszniewki, Musil, Lea, &
Davis, 2005). 2) Jenis kelamin
Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan penerapan DCSM,
dimana dijelaskan bahwa jenis kelamin perempuan menunjukkan
perilaku self care yang lebih baik dibandingkan dengan jenis kelamin
laki-laki (Sousa, Zauszniewki, Musil, Lea, & Davis, 2005). 3) Durasi
Menurut Bai, Chiou, & Chang (2009) lamanya menderita DM
berpengaruh terhadap pelaksanaan self care. Pasien DM yang lebih
lama menderita DM memiliki skor self care yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien DM yang durasi DMnya lebih pendek.
Durasi DM yang lebih lama pada umumnya memiliki pemahaman
yang adekuat tentang pentingnya self care diabetes.
2.4 Hubungan Diabetes Self Care Management terhadap Kontrol Glikemik
pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
manifestasi klinis hilangnya toleransi karbohidrat yang sering dikaitkan dengan
terjadinya hiperglikemia yang dapat disebabkan oleh penurunan sekresi insulin.
Diabetes melitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi baik itu komplikasi
akut maupun kronis yang nantinya dapat menyebabkan kematian jika tidak
dicegah. Komplikasi DM dapat dicegah dengan mempertahankan kadar glukosa
34
glikemik yang baik (CDC, 2014). Self care management merupakan salah satu hal
yang dapat dilakukan untuk mencapai kontrol glikemik yang baik (Ganong &
McPhee, 2010; Shrivastava, Shrivastava , & Ramasamy, 2013).
Diabetes Self Care Management merupakan latihan perawatan diri (kinerja aktual
terhadap aktivitas self care) yang dilakukan oleh individu untuk mengatur atau
memanajemen diabetesnya yang terdiri dari healthy eating (makan sehat), being
active (latihan jasmani), taking medication (obat-obatan), monitoring glukosa
darah, problem solving (pemecahan masalah), dan reducing risk (menurunkan
terjadinya risiko) (Gharaibeh, 2012). Latihan jasmani pada penderita DM
memiliki peranan yang sangat penting dalam mengendalikan kadar gula dalam
darah, dimana saat melakukan latihan jasmani terjadi peningkatan pemakaian
glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menyebabkan
penurunan glukosa darah. Selain itu dengan latihan jasmani dapat menurunkan
berat badan, meningkatkan fungsi kardiovaskuler dan respirasi, menurunkan LDL
dan meningkatkan HDL yang berarti dapat meningkatkan kontrol glikemik
(Indriyani, Supriyatno, & Santoso, 2007).
Diet juga mempengaruhi kontrol glikemik pasien DM. Semakin rendah
penyerapan karbohidrat, maka semakin rendah kadar glukosa darah. Kandungan
serat yang tinggi dalam makanan akan mempunyai indeks glikemik yang rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Nadimin, Ayu, dan Sadariah (2009) menyatakan
bahwa penderita diabetes melitus yang mendapatkan diet tinggi serat memiliki