• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap remaja terhadap seks sebagai mediator dalam hubungan komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sikap remaja terhadap seks sebagai mediator dalam hubungan komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Disusun oleh: I Made Bayu Gunawan

129114053

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

SKRIPSI

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

Disusun Oleh : I Made Bayu Gunawan

NIM : 129114053

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing,

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

Dipersiapkan dan ditulis oleh : I Made Bayu Gunawan

NIM : 129114053

Telah dipertahankan di depan panitia penguji pada tanggal ...

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji :

Nama Penguji Tanda Tangan

1. Penguji 1 : C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., Psi. ……….

2. Penguji 2 : Prof. A. Supratiknya, Ph.D. ……….

3. Penguji 3 : Edward Theodorus, M.App.Psy. ……….

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

“All the impossible is possible for those who believe”

“Don’t wait until tommorow because that’s still a mystery”

Selama ada keyakinan, semua menjadi mungkin”

“Hasil tidak akan menghianati usaha”

“The hardest

part of anything in life is thinking about it”

- (Ajahn

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur dan terima kasih kupanjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala berkat, perlindungan, kekuatan, dan kelancaran yang telah diberikan

selama saya mengerjakan skripsi ini hingga saya dapat menyelesaikan keseluruhan penelitian saya ini.

Dengan rasa syukur dan bangga saya persembahkan skripsi saya ini kepada kedua orang tua saya yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tak

henti-hentinya untuk saya, serta tidak pernah membebani saya dengan berbagai tuntutan. Untuk kakak dan adik saya yang selalu menanyakan skripsi saya sudah

sampai mana.

Kepada sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuangan, dan seluruh pihak yang telah membantu, mendukung, dan berpartisipasi dalam penyelesaiaan skripsi ini,

saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Tuhan selalu menyertai kalian 

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Maret 2017 Peneliti,

(7)

vii

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

I Made Bayu Gunawan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sikap remaja terhadap seks merupakan variabel yang dapat memediator hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja. Dalam penelitian ini, terdapat tiga hipotesis minor, yaitu komunikasi seksual dalam keluarga memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku seksual pranikah, komunikasi seksual dalam keluarga memiliki hubungan yang negatif dengan sikap remaja terhadap seks, dan sikap remaja terhadap seks memiliki hubungan yang positif dengan perilaku seksual pranikah. Selain tiga hipotesis minor tersebut, terdapat satu hipotesis mayor. Hipotesis mayor tersebut adalah hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah dimediasi oleh sikap remaja terhadap seks. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 339 orang remaja yang berusia 19 sampai 24 tahun dan belum menikah. Subjek dipilih dengan menggunakan convenience sampling. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan tiga skala, yaitu skala perilaku seksual pranikah dengan reliabilitas sebesar 0,927, skala komunikasi seksual dalam keluarga dengan sebesar reliabilitas 0,924, dan skala sikap terhadap seks dengan reliabilitas sebesar 0,971. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dan regresi berganda, serta menggunakan causal step analysis untuk melihat efek mediasi dari variabel mediator. Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa nilai standardized coefficient(β) untuk komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah sebesar -0,203, untuk komunikasi seksual dalam keluarga dan sikap remaja seksual sebesar -0,178, serta untuk sikap remaja terhadap seks dan perilaku seksual pranikah sebesar 0,603. Hasil causal steps analysis menunjukkan bahwa koefisien regresi pada jalur τ lebih kecil dibandingkan koefiesien regresi pada jalur τ’ dan dengan nilai signifikansi yang tetap signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sikap remaja terhadap seks dapat memediasi hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja dengan jenis mediasi partial mediation.

(8)

viii

ADOLESCENCE ATTITUDE TOWARD SEX AS MEDIATOR IN RELATIONSHIP OF SEXUAL COMMUNICATION IN THE FAMILY

AND ADOLESCENCE PREMARITAL SEXUAL BEHAVIOR

I Made Bayu Gunawan

ABSTRACT

This study is aimed to determine whether adolescance attitudes toward sex are variable that can mediate relationship between sexual communication in the family and adolescent premarital sexual behavior. In this study, there were three minor hypotheses which were sexual communication in the family had a negative correlation with premarital sexual behavior, sexual communication in the family had a negative relationship with adolescence attitudes toward sex, and the adolescence attitudes toward sex have a positive relationship with premarital sexual behavior. Beside three minor hyphotheses, there was one major hypothesis. That major hypothesis was the relationship between sexual communication in the family and premarital sexual behavior is mediated by adolescence attitudes toward sex. Subjects in this study amounted to 339 teenagers aged 19 to 24 years old and unmarried. Subjects were selected using convenience sampling. The research data obtained by using three scales, the scale of premarital sexual behavior with a reliability of 0.927, the scale of sexual communication in family with reliability of 0.924, and scale of attitudes toward sex reliability of 0.971. Hypothesis testing is performed using simple linear regression and multiple regression, as well as the use of causal steps analysis to see the mediation effect of mediator variable. Hypothesis test results showed that the standardized coefficient (β) for sexual communication in the family and premarital sexual behavior of -0.203, for sexual communication in the family and adolescence attitudes toward sex of -0.178, and for adolescence attitudes toward sex and premarital sexual behavior 0.603. The results showed that the causal steps analysis of regression coefficients on the path

τ is smaller than regression coefficient on the path τ’ and with significant value remains significant. Therefore, we can conclude that adolescence attitudes toward sex may mediate the relationship between sexual communication in the family and adolescent premarital sexual behavior with a kind of partial mediation.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : I Made Bayu Gunawan

Nomor Mahasiswa : 129114053

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA ”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 5 Maret 2017

Yang menyatakan

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang selalu menyertai dan menuntun penulis selama proses penyelesaian skripsi ini sehingga segala prosesnya dapat berjalan baik, meskipun terkadang penulis harus melalui banyak kesulitan dan rintangan.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak yang membantu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si, Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi, selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih sekali atas kesediaan bapak untuk membimbing dan memberikan masukan selama proses pengerjaan skripsi ini.

4. Ibu Ratri Sunar Astusi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik saya selama perkuliatas ini. Terimas kasih atas bantuan dalam segala proses perkuliahan ini.

(11)

xi

Terima kasih sudah memberikan banyak kesempatan dan kepercayaan kepada saya untuk dapat belajar lebih lagi.

6. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas segala bimbingan dan pembelajaran yang telah diberikan.

7. Segenap Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terkhusus kepada Mas Gandung, Bu Nanik, dan Mas Muji “Glory”. Terima kasih banyak atas bantuan dalam segala administrasi dan urusan laboratorium. 8. Kepada kedua orang tua saya yang tidak pernah berhenti memberikan

dukungan,kepercayaan, perhatian,dan tidak pernah memberikan tuntutan untuk skripsi saya ini, dan mau mengerti kondisi saya. Terima kasih juga sudah selalu menjadi orang yang bisa membuat saya refleksi dengan setiap kejadian dalam hidup saya. Saya merasa bersyukur karena kalian selalu ada saat dibutuhkan 

9. Kepada kakak dan adik saya yang cuek tapi peduli. Terima kasih sudah sering menanyakan skripsi saya dan membuat saya selalu ingat bahwa saya masih memiliki tugas untuk menyelesaikannya. Terima kasih atas perhatian yang seringkali tidak disadari.

10. Kepada keluarga saya di jogja ini, KMHD Swastika Taruna yang selalu memberikan bantuan saat saya membutuhkan. Tetaplah kompak selalu! 11. Untuk partner kerja di pengurus, gung is dan putri. Terima kasih untuk

(12)

xii

12. Teman, sahabat, dan rekan kerja saya di P2TKP. Meskipun mulai dekat ketika sudah memasuki semester akhir, tapi sangat membantu saya dalam berkembang dan memberikan banyak segala pembelajaran. Semangat terus gengs buat koreksinya, jangan kasi kendor hahaha.

13. Grup Menuju Spsi, grup buat skripsi tapi sering main juga. Jejes, Patrice, Chopie, Edo, Dimas, Ivie, Ardi, Cia, Lenny, Retha, Chika, Panca, Age, Koleta, Andre, Doni, Rini, Wira terima kasih buat bantuan dan sudah mau saling mengingatkan, membantu, dan mendukung satu sama lain gengs. Grup yang pertama cuma beberapa sekarang sudah banyak aja anggotanya ya. Semangat ya buat kalian yang masih berjuang, nikmati prosesnya. See you on TOP 

14. Buat teman nyekrip sampai subuh Reski, Ed, GM, UA, Moka tetap semangat bro, kalau pusing ngepes dulu aja. Nanti juga paham kok hahaha....

15. Terima kasih untuk teman-teman yang harus direpotkan buat baca skripsi ataupun aku tanya-tanya. Tiara, Jejes, Patrice, Erlin, Komang, Putri, Gung Is, Zelda, Akeng. Terima kasih banyak untuk semua bantuannya dan maaf banyak merepotkan ya hehehe...

16. Buat teman sekelompok dari awal kuliah Wenita, Dipa, dan bunda Indun. Terima kasih buat keseruannya selama kuliah, tetap semangat ya !!!

(13)

xiii

18. Buat teman-teman 2012, teman-teman seperjuangan untuk meraih mimpi di Fakultas ini. terima kasih untuk dinamika, pengalaman, pelajaran, dan keseruannya selama perkuliahan ini. Ini bukanlah akhir, ini adalah awal bagi kita semua dalam mengejar dan meraih sesuatu yang lebih besar lagi. Sukses untuk kita semua, semoga relasi yang baik ini tetap berlanjut, dan sampai bertemu lagi dengan membawa cerita kesuksesan masing-masing 

19. Untuk semua pihak yang telah berperan dan membantu dalam pengerjaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih.

Saya berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk semua orang yang membacanya. Namun, saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam diri saya maupun dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati saya menerima berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun demi perkembangan dan kemajuan pengetahuan kedepannya. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 5 Maret 2017 Peneliti,

(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoretis ... 12

(15)

xv

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

A. Perilaku Seksual Pranikah ... 13

1. Definisi Perilaku Seksual ... 13

2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah ... 14

3. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah ... 18

4. Kemunculan Perilaku Seksual Remaja ... 21

B. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 23

1. Definisi Komunikasi Interpersonal ... 23

2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 24

3. Dampak-dampak Komunikasi ... 28

4. Dimensi Komunikasi ... 31

C. Sikap terhadap Seks ... 31

1. Definisi Sikap ... 31

2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Sikap ... 33

3. Komponen Sikap terhadap Remaja Seks ... 36

D. Remaja ... 38

1. Definisi Remaja ... 38

2. Tahap-tahap Perkembangan Remaja ... 39

3. Remaja dan Perilaku Seksual ... 40

E. Dinamika Perilaku Seksual, Komunikasi Seksual dalam Keluarga, dan Sikap terhadap Seks ... 41

F. Hipotesis ... 48

(16)

xvi

2. Hipotesis Minor ... 48

BAB III. METODE PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 50

C. Definisi Operasional ... 50

1. Perilaku Seksual Pranikah ... 50

2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 51

3. Sikap terhadap Seks ... 52

D. Subjek Penelitian ... 53

E. Prosedur Penelitian ... 54

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 55

1. Metode Pengumpulan Data ... 55

2. Alat Pengumpulan Data ... 55

a. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 55

b. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 59

c. Skala Sikap terhadap Seks ... 61

G. Validitas dan Reliabilitas ... 63

1. Validitas Skala ... 63

2. Daya Diskriminasi Item ... 64

3. Reliabilitas Skala ... 65

a. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 66

b. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 67

(17)

xvii

H. Metode dan Teknik Analisis ... 68

1. Uji Asumsi ... 68

2. Uji Hipotesis ... 70

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73

A. Pelaksanaan Penelitian ... 73

B. Deskripsi Penelitian ... 74

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 74

2. Deskripsi Data Penelitian ... 76

C. Analisis Data Penelitian ... 77

1. Uji Asumsi ... 77

2. Uji Hipotesis ... 81

D. Pembahasan ... 88

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Keterbatasan Penelitian ... 96

C. Saran ... 98

1. Bagi Remaja ... 98

2. Bagi Orang tua ... 99

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

TABEL 3.1 Indikator skala Perilaku Seksual Pranikah ... 57

TABEL 3.2 Nilai Median masing-masing Item ... 58

TABEL 3.3 Penskoran skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 60

TABEL 3.4 Indikator skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 61

TABEL 3.5 Sebaran Item skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 61

TABEL 3.6 Penskoran skala Sikap terhadap Seks ... 62

TABEL 3.7 Sebaran Item skala Sikap terhadap Seks ... 63

TABEL 3.8 Reliabilitas Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 67

TABEL 3.9 Reliabilitas Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 67

TABEL 3.10 Reliabilitas Skala Sikap terhadap Seks ... 68

TABEL 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

TABEL 4.2 Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Rentang Usia ... 75

TABEL 4.3 Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 76

TABEL 4.4 Hasil Uji Normalitas Residu ... 78

TABEL 4.5 Hasil Uji Homoskedastisitas menggunakan Uji Glesjer ... 79

TABEL 4.6 Hasil Uji Linearitas ... 80

TABEL 4.7 Hasil Uji Multikolinearitas ... 80

TABEL 4.8 Uji Hipotesis 1 Regresi antara Komunikasi dengan Perilaku Seksual ... 82

TABEL 4.9 Uji Hipotesis 2 Regresi antara Komunikasi dengan Sikap ... 83

(19)

xix

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Reliabilitas Aitem Skala Penelitian ... 112

LAMPIRAN 2. Reliabilitas Skala Penelitian ... 116

LAMPIRAN 3. Hasil Uji-T ... 117

LAMPIRAN 4. Hasil Uji Normalitas Residu ... 118

LAMPIRAN 5. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 120

LAMPIRAN 6. Hasil Uji Linearitas ... 121

LAMPIRAN 7. Hasil Uji Multikolinearitas ... 123

LAMPIRAN 8. Hasil Uji Hipotesis ... 124

LAMPIRAN 9. Pernyataan Kesediaan ... 128

LAMPIRAN 10. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 129

LAMPIRAN 11. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 132

(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

(22)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masa remaja merupakan masa eksplorasi dan eksperimen, ketika

orang-orang muda mulai mengasah keterampilan hidup, gaya hubungan, dan pola

perilaku mereka yang akan mempengaruhi fungsi emosional dan kesehatan

mereka sebagai orang dewasa (Mauro, 1995 dalam Wulandari & Muis, 2014).

Masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, yaitu masa di mana

munculnya kematangan seksual atau kemampuan untuk melakukan reproduksi

(Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Santrock (2011), masa remaja

adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas

seksual, masa mengintegrasikan seksualitas kedalam identitas seseorang. Pada

masa ini, remaja cenderung untuk bereksperimen dengan perilaku yang

berisiko karena mereka ingin tahu bagaimana atau seperti apa rasanya, dan apa

yang akan terjadi (Wulandari dan Muis, 2014). Selain itu, remaja juga

dikatakan memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak pernah

dipuaskan (Santrock, 2011).

Perjalanan menuju kedewasaan sering kali diikuti dengan eksperimen

terhadap perilaku seksual, di mana mayoritas remaja melakukan hubungan

seksual pertama mereka sebelum mereka lulus SMA (Kaiser Family

Foundation, 2003, dalam Wulandari & Muis, 2014). Studi yang dilakukan

(23)

2015) menunjukkan bahwa perilaku seks berisiko dimulai ketika individu

memasuki usia remaja dan mencapai puncaknya ketika berada di usia dewasa

awal. Pertumbuhan organ seksual pada remaja akan menumbuhkan suatu

naluri seks yang akan mendorong seseorang untuk memanifestasikan ke dalam

perilaku seksual (Tanjung dkk, dalam Nuandri & Widayat, 2014). Hal serupa

juga diungkapkan oleh McClintock dan Herd (dalam Steinberg, 2002) yang

menyatakan bahwa perubahan horman pada masa remaja dapat menstimulasi

peningkatan dorongan seksual dari individu bersangkutan.

Peningkatan hasrat seksual yang dialami remaja membutuhkan

penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual (Sarwono, 2011). Namun,

penyaluran hasrat seksual yang dilakukan oleh remaja terkadang kurang tepat

dan bahkan melanggar norma-norma hukum, sosial, maupun agama. Hal

tersebut dapat kita perhatikan dari kasus-kasus terkait seksualitas remaja

sering terjadi dan menghiasi pemberitaan di media cetak maupun elektronik

belakangan ini, seperti kasus aborsi yang dilakukan siswi SMP bersama

kekasihnya (Anjani, 2016) dan berita mengenai foto dua orang anak yang

tengah “ngamar” diduga di sebuah hotel menyebar di media sosial Facebook,

di mana pasangan ini tengah melakukan selfie di atas tempat tidur dengan

menutupi tubuhnya menggunakan selimut (Amin, 2016). Selain itu, Tim

Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) Polda Jambi juga baru-baru ini

mengamankan lima remaja yang diduga akan melakukan pesta seks, serta

ditemukan alat kontrasepsi serta obat kuat lelaki di kamar tersebut (“Polda

(24)

Survei perilaku seks yang dilakukan DKT Indonesia (2011, dalam

Wulandari & Muis, 2014) menunjukkan bahwa rata-rata remaja mulai

berhubungan seks untuk pertama kalinya pada usia 19 tahun dan mayoritas

merupakan mahasiswa. Menurut Caron, Bertran, dan McMullen (1987, dalam

Lehr, DiIorio, Dudley, & Lipana, 2000), mahasiswa sebagai sebuah kelompok

cenderung lebih aktif secara seksual dibandingkan bagian lain dari populasi

orang dewasa. BKKBN pada tahun 2010 melaporkan bahwa sekitar 37% dari

1.160 mahasiswa di Yogyakarta yang berusia 13-18 tahun mengalami

kehamilan pranikah (dalam Wulandari & Muis, 2014).

Kasus-kasus dan fakta-fakta di atas hanya segelitir dari banyaknya

perilaku seksual atau kejadian terkait seksualitas yang dilakukan oleh para

remaja Indonesia. Menurut Achir (1993, dalam Munawaroh, 2012), para

remaja saat ini, khususnya mahasiswa Indonesia, sedang mengalami

perubahan sosial yang sangat cepat dari masyarakat tradisional menuju

masyarakat modern. Perubahan sosial yang serba cepat mengakibatkan

perubahan pola kehidupan, etika, dan nilai-nilai moral, khusunya mengenai

perilaku seksual. Adanya perubahan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam

masyarakat telah menggeser berbagai nilai dan pandangan tentang hubungan

antara laki-laki dan perempuan yang saat ini dinilai sebagai sesuatu yang lebih

bebas dan terbuka.

Menurut Meschke, Bartholomae, Zental (2002, dalam Yuniarti &

Rusmilawaty, 2015), perilaku seksual remaja berkaitan dengan sejumlah

(25)

anak-anak mereka (Turnbull, van Wersch, dan van Schaik, 2008, dalam Turnbull,

2012) sehingga orangtua memainkan peran yang sentral dalam pendidikan

dan pengenalan seksual terhadap anaknya (Topkaya, 2012). Hasil penelitian

Albert (2012) juga menunjukkan bahwa 38% anak muda mengatakan bahwa

faktor orangtua mempengaruhi keputusannya mengenai seks lebih dari faktor

lainnya. Wang, Li, Stanton, Kamali, Naar-King, Shah, dan Thomas (2007)

juga menyatakan bahwa konteks keluarga menunjukkan efek yang konsisten

dan kuat pada kapan perilaku seksual pertama kali dilakukan. Akan tetapi,

orangtua seringkali menganggap bahwa pendidikan seks masih sangat tabu

dan tidak terbiasa untuk terbuka mengenai masalah seksual remaja yang

sesungguhnya (Munawaroh, 2012).

Saat orang tua jarang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya, anak

cenderung akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan

hubungan seks pranikah (Munawaroh, 2012). Tidak adanya pendidikan seks

yang memadai dan pandangan orangtua yang masih menganggap tabu hal-hal

yang berhubungan dengan seks membuat anak cenderung terkena dampak dari

pergaulan bebas, baik dengan teman sebaya maupun kelompok masyarakat

yang lebih luas (Panuju, dalam Munawaroh, 2012). Saat orangtua tidak

mampu memberikan penjelasan dan bimbingan yang tepat mengenai

organ-organ seks dan fungsinya kepada anak, maka anak akan mencari tahu

informasi-informasi tersebut diluar rumah, baik melalui internet, film, ataupun

teman. Informasi yang mereka dapatkan tersebut dapat dipersepsikan secara

(26)

perilaku seksual yang belum waktunya (Munawaroh, 2012), seperti seks bebas

yang berbuntut kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) yang

dapat mengarah pada tindakan aborsi (Yuniart & Rusmilawaty, 2015).

Kehamilan yang tidak diinginkan dan tindakan aborsi yang dilakukan

merupakan beberapa contoh dampak negatif dari perilaku seksual berisiko

yang tidak terkontrol pada remaja. Perilaku seksual sendiri merupakan segala

tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya

maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011). Perilaku seksual yang

dilakukan sebelum menikah dan tanpa diimbangi dengan pengetahuan dari

remaja sendiri dapat menimbulkan berbagai dampak, baik secara kesehatan

fisik, psikologi, maupun sosial. Secara fisik, perilaku seksual pranikah dapat

menyebabkan berkembangnya penyakit seksual di kalangan remaja,

terganggunya kesehatan, risiko kehamilan yang berujung pada aborsi yang

berbahaya, serta kematian bayi yang tinggi (Rathus, Nevid, &

Fichner-Rathus, 2008; Sarwono, 2010; Wong & Lam, 2013). Secara psikologis,

perilaku seksual berisiko dapat menimbulkan dampak yang cukup serius,

seperti perasaan bersalah, depresi, dan marah ketika harus menggugurkan

kandungan dengan terpaksa (Simkins, 1984, dalam Sarwono 2010). Perilaku

seksual juga dapat menimbulkan dampak secara sosial, seperti ketegangan

mental, kebingungan akan peran sosial yang muncul akibat kehamilan, dan

adanya cemooh dari masyarakat. Maka dari itu, menjadi sangat penting,

khususnya bagi orangtua, untuk dapat mengontrol perilaku seksual anak dan

(27)

berisiko tersebut. Orangtua juga perlu untuk mengenalkan anak mengenai

hal-hal terkait seksualitas sehingga anak dapat mengambil keputusan yang

bijak terkait perilaku seksualnya.

Salah satu faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan

mengenai seksual dari remaja adalah komunikasi orangtua-remaja mengenai

seksualitas (Somers, Tolia, Anaguthi, 2012). Komunikasi ini menjadi penting

karena tidak ada aspek dari hubungan antara orangtua dan anak yang tidak

melibatkan komunikasi dan fungsi keluarga juga tidak dapat dilakukan dengan

baik tanpa adanya komunikasi (Runcan, Constantineau, Ielics, & Popa, 2012).

Pandangan serupa mengenai pengaruh komunikasi orangtua juga diungkapkan

oleh Munawaroh (2012), serta Chandra, Rahmawati, dan Hardiani (2014),

yang menyatakan bahwa intensitas komunikasi dan keterbatasan informasi

dari orangtua dapat mempengaruhi perilaku seksual dari anak. Komunikasi

mengenai persoalan seksual menjadi penting bagi orangtua untuk mengajarkan

anak membuat keputusan mengenai seksualitasnya (Somers, Tolia, Anagurthi,

2012). Akan tetapi, remaja terkadang menunjukkan rasa percaya diri yang

kurang ketika mendiskusikan hal-hal yang terkait seksualitas dengan

orangtuanya (Fox & Inazu, dalam Somers, Tolia, & Anagurthi, 2012).

Forehand (1997, dalam Sarwono, 2011) mengemukakan bahwa semakin

tinggi tingkat pemantauan orangtua terhadap anak remajanya, semakin rendah

kemungkinan perilaku menyimpang dilakukan oleh anaknya. Namun disisi

lain, remaja mulai memperlihatkan kelekatan-kelekatan dengan teman sebaya

(28)

2000). Mereka cenderung memilih teman sebagai orang yang paling mungkin

untuk mereka ajak bicara mengenai hal-hal seksual (Wang, et al., 2007)

sehingga semakin penting bagi orangtua untuk tetap menjaga kedekatan

dengan anak melalui komunikasi yang baik. Selain itu, orangtua juga perlu

mengembangkan kepercayaan anak terhadap mereka sehingga anak lebih mau

untuk terbuka dan bercerita kepada orangtua. Dengan demikian, orangtua akan

dapat memantau pergaulan anak remaja mereka (Forehand, 1997, dalam

Sarwono, 2011). Di samping mengembangkan kepercayaan, orangtua juga

perlu untuk terbuka terhadap anaknya sehingga anak akan ikut terbuka juga

terhadap mereka (Zolten & Long, 2006).

Komunikasi mengenai hal-hal seksual antara orangtua dan remaja dapat

mempengaruhi perilaku seksual remaja (Seloilwe, Magowe, Dithole, &

Lawrence, 2015). Komunikasi orangtua dan anak yang positif akan mengarah

pada risiko pengambilan perilaku seksual yang rendah. Maka dari itu,

orangtua diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai

hal-hal seksual dan membantu perkembangan nilai seksual yang positif untuk

anaknya (Seloilwe et al, 2015). Peningkatan dalam diskusi antara orangtua dan

remaja mengenai seksualitas dapat membantu memberikan pengetahuan

kepada remaja dalam membuat keputusan mengenai seksualitasnya. Penelitian

Weinstein dan Thornton (1989) menemukan bahwa remaja yang diajarkan

mengenai seks di rumah memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk terlibat

(29)

Beberapa studi di negara barat mengenai komunikasi orangtua dan

remaja menunjukkan bahwa peningkatan komunikasi orangtua dan anak

mengenai seks diasosiasikan dengan penundaan anak untuk melakukan

hubungan seksual pertama kali dan peningkatan penggunaan kondom (Akers,

Holland, & Bost, 2011, dalam Ritchwood, Penn, Peasant, Albritton, &

Corbie-Smith, 2015; Seloilwe, et al., 2015). Komunikasi keluarga yang baik dapat

menghindarkan remaja dari kenakalan dan membantu dengan strategi coping

yang lebih baik dalam memutuskan perilaku seksual (Mahmud, Ibrahim,

Amat, & Salleh, 2011). Namun, kurangnya komunikasi secara terbuka antara

orangtua dengan anak remajanya dalam masalah seksual dapat memperkuat

munculnya perilaku seksual (Banun & Setyorogo, 2013). Clark & Shields

(1997) juga menemukan bahwa remaja yang memiliki komunikasi yang

kurang terbuka dengan orangtua lebih rentan terhadap kenakalan serius.

Akan tetapi, terdapat kontradiksi dari hasil penelitian-penelitian

sebelumnya yang menghubungkan antara komunikasi orangtua-anak dengan

perilaku seksual anak. Beberapa studi mengindikasikan bahwa komunikasi

orangtua-anak yang lebih sering dilakukan, berhubungan dengan risiko

perilaku seksual yang lebih rendah (Dilorio, Kelley, & Hockenberry-Eaton,

1999; Kotchic, Dorsey, Miller, & Forehand, 1999; Hutchinson, Jemmott,

Sweet-Jemmott, Braverman, & Fong, 2003). Kepuasan yang dirasakan

terhadap komunikasi dengan ibu dan ayah juga ditemukan memberikan

pengaruh kuat pada perilaku nakal dalam kasus remaja dan karena itu juga

(30)

Mukherjee, 2012). Namun, hasil penelitian yang lain menemukan bahwa

tingkat komunikasi yang tinggi antara orangtua-anak dan kedekatan orangtua,

tidak signifikan berhubungan dengan pengetahuan, sikap, pengalaman, serta

perilaku seksual remaja (Somers & Paulson, 2000; Kunnuji, 2012). Sementara

itu, terdapat penelitian lain yang justru menemukan bahwa komunikasi yang

lebih sering dilakukan berhubungan dengan risiko seksual yang lebih tinggi

(Fisher, 1986, dalam Lehr, et al., 2000; Somers & Paulson, 2000; Clawson, &

Reese-Weber, 2003; Huebner & Howell, 2003). Pada penelitian-penelitian

sebelumnya, peneliti lebih banyak melihat hubungan antar kedua variabel

secara langsung dan belum ada yang membahas hubungannya dengan skema

tidak langsung, baik dengan menggunakan variabel mediator maupun

moderator.

Apabila dilihat lebih jauh, komunikasi orangtua-anak tidak hanya

mempengaruhi perilaku seksual anak. Komunikasi orangtua-anak juga dapat

mempengaruhi sikap seksual anak (Weeden & Sabini, 2007; Fisher, 1986,

dalam Topkaya, 2012; Luquis, Breisford, & Rojas-Guyler, 2012). Tidak dapat

dihindari bahwa nilai maupun sikap mengenai seksualitas akan ditularkan dari

orangtua ke anak (Kotchick, Shaffer, Forehand & Miller, 2001, dalam

Topkaya, 2012) dan komunikasi yang dilakukan orangtua-anak dapat

memfasilitasi penyampaian nilai tersebut (Weinstein & Thornton, 1989).

Orangtua mengajar anak-anak mereka tentang nilai dan perilaku yang mereka

harapkan melalui komunikasi dan perilaku mereka, baik secara langsung

(31)

2012). Selanjutnya, anak akan menginternalisasi pesan yang disampaikan dan

hal tersebut akan membentuk sikap dan keyakinan yang berbeda tentang

seksualitas (Topkaya, 2012). Komunikasi antara orangtua-anak yang

berlangsung secara efekif, khususnya mengenai perilaku seksual, membuat

anak remaja memiliki suatu sikap yang negatif terhadap perilaku seksual

pranikah (Banun & Setyorogo, 2013).

Sikap dapat dipahami sebagai evaluasi dari objek pemikiran yang

meliputi perasaan, keyakinan, dan perilaku masa lalu, serta memandu proses

pengambilan keputusan yang terlibat dalam berlakunya perilaku (Maio, Olson,

Bernard, & Luke, 2003, dalam Gravel, Young, Darzi, Olavarria-Turner, &

Lee, 2016). Sikap dari orangtua terhadap perilaku seksual pranikah dapat

mempengaruhi sikap yang dimiliki anak terhadap perilaku seksual pranikah.

Sikap yang dibentuk anak inilah yang nantinya dapat mempengaruhi

kemungkinan mereka untuk terlibat dalam perilaku seksual pranikah (Sprecher

& McKinney, 1993; Gravel et al., 2016). Sikap seksual yang kurang permisif

dapat mengarahkan remaja kepada pengalaman seksual yang lebih sedikit

(Beckwith & Morrow, 2005; Wang, et al., 2007).

Dari penjabaran di atas, peneliti menduga bahwa variabel sikap terhadap

seks dapat memediasi hubungan antara variabel komunikasi seksual dalam

keluarga dan perilaku seksual. Hal tersebut didasari dari hasil

penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan antar masing-masing

variabel. Di mana komunikasi seksual yang terjadi antara orangtua dan anak

(32)

Sabini, 2007; Fisher, 1986, dalam Topkaya, 2012; Luquis, Breisford, &

Rojas-Guyler, 2012). Sikap yang dimiliki ini secara kuat dapat mempengaruhi

perilaku seksual yang ditunjukkan oleh anak (Sprecher & McKinney, 1993;

Wang, et al., 2007; Gravel et al., 2016). Melalui penelitian ini, peneliti ingin

memastikan bahwa sikap terhadap seks memang benar-benar dapat memediasi

hubungan antara variabel komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku

seksual.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka peneliti menarik

beberapa pertanyaan yang merumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana hubungan yang antara komunikasi dalam keluarga dan

perilaku seksual pranikah remaja?

2. Bagaimana hubungan yang antara komunikasi dalam keluarga dan sikap

remaja terhadap seks?

3. Bagaimana hubungan antara sikap remaja terhadap seks dan perilaku

seksual pranikah remaja?

4. Apakah sikap remaja terhadap seks dapat memediasi hubungan antara

komunikasi dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja?

(33)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sikap remaja terhadap

seks merupakan variabel yang dapat memediasi hubungan antara komunikasi

seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja.

D. MANFAAT

1. Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam

bidang psikologi mengenai hubungan antara komunikasi seksual dalam

keluarga dan perilaku seksual dari remaja dengan sikap terhadap seks

sebagai variabel mediator. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi

salah satu referensi bagi para akademisi dan bagi penelitian lebih lanjut

yang memiliki topik serupa.

2. Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

kepada orangtua mengenai pentingnya membangun dan menjaga

komunikasi dengan anak untuk dapat membentuk sikap anak yang sesuai

sehingga dapat mencegah anak melakukan perilaku kenakalan, salah

satunya yaitu perilaku seksual pranikah. Terlebih lagi, pada masa remaja

ini anak cenderung akan semakin jauh dari orangtua, baik secara fisik

maupun emosional. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi orangtua

untuk menjaga komunikasi antara orangtua-anak dan membentuk perasaan

nyaman anak agar anak mau untuk terbuka sehingga orangtua dapat selalu

(34)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

1. Definisi Perilaku Seksual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku diartikan sebagai

suatu tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.

Skinner (dalam Santrock, 2007) juga menyampaikan definisi yang serupa,

yaitu suatu respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.

Perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme,

kemudian organisme tersebut memberikan respon. Menurut Notoatmodjo

(2007), perilaku adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup

terhadap suatu stimulus atau objek. Perilaku ini terjadi apabila ada suatu

rangsangan dan rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi perilaku

tertentu. Dengan demikian, perilaku dapat diartikan sebagai respon atau

reaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus dari lingkungan.

Kata “seks” berasal dari bahasa latin yang berarti “membagi” dan

menandai atau menunjukkan suatu kategori dari laki-laki dan perempuan

(Rathus, Nevid, & Fichner- Rathus, 2008). Untuk memperhalus kata seks,

sering digunakan istilah seksualitas. Seksualitas adalah pengalaman dan

diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai,

perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan (Rathus, Nevid, & Fichner-

(35)

perilaku, dan identitas yang diasosiasikan dengan seks (Levay & Valente,

2006). Dengan demikian, seksualitas dapat diartikan sebagai pengalaman,

perasaan, perilaku, dan identitas yang berhubungan dengan seks, serta

diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai,

perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan.

Sarwono (2011) berpendapat bahwa perilaku seksual adalah segala

tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan

jenisnya maupun dengan sesama jenis. Objek seksualnya pun dapat berupa

orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Menurut Hurlock

(2003) perilaku seksual remaja adalah dorongan untuk melakukan aktivitas

seksual yang muncul dari tekanan-tekanan terutama dari minat dan

keingintahuan remaja tentang seksual tersebut. Notoatmojo (2007)

menyatakan bahwa perilaku seksual remaja adalah tindakan yang

dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang

baik dalam diri maupun dari luar dirinya. Dengan demikian, perilaku

seksual dapat disimpulkan sebagai segala tingkah laku atau tindakan yang

didorong oleh hasrat seksual terhadap lawan jenis atau sesama jenis yang

berasal dari dalam maupun luar dirinya.

2. Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual pranikah dapat dilakukan dengan diri sendiri

maupun dengan orang lain. Perilaku seksual ini dapat terjadi karena

(36)

mengandung unsur-unsur kriminalitas. Bentuk-bentuk perilaku seksual

pranikah remaja yang terjadi karena keinginan sendiri dan tanpa

mengandung unsur kriminalitas dapat digolongkan kedalam beberapa

bentuk, antara lain :

a. Menaksir, menghayal, serta membicarakan dan menggunakan

teknologi untuk hal-hal seksual.

Menurut L”Engle, Brown, dan Kenneavy (2005), menaksir,

menghayal, serta membicarakan dan menggunakan teknologi untuk

hal-hal seksual merupakan bentuk-bentuk perilaku seksual dalam

kategori ringan yang sering dilakukan remaja.

b. Berpegangan Tangan dan Berpelukan

Yuniarti dan Rusmilawaty (2015) dan L”Engle et.al. (2005)

menggolongkan berpegangan tangan dan berpelukan sebagai perilaku

seksual ringan. Berpegangan tangan dan berpelukan merupakan bentuk

perilaku seksual yang sering dilakukan remaja (Rathus, Nevid, &

Fichner-Rathus, 2008; Wulandari & Muis, 2014).

c. Masturbasi

Masturbasi adalah satu bentuk utama dari ekspresi seksual seseorang

yang dapat dilakukan dengan stimulasi manual ataupun menggunakan

bantuan dari stimulasi buatan seperti vibrator (Rathus, et al., 2008).

Masturbasi mengarah pada semua bentuk stimulasi diri yang dilakukan

(37)

d. Kissing

Berciuman (kissing) dapat menjadi isyarat kasih sayang tanpa makna

erotik terhadap pasangan, keluarga, ataupun teman dekat. Bentuk

ciuman dapat berupa ciuman pada pipi, dahi, ataupun bibir. Ciuman

pada bibir dapat berupa ciuman dengan memasukkan lidah ke dalam

mulut pasangan atau deep kissing ataupun hanya sekedar

menempelkan bibir pada bibir pasangan atau simple kissing (Rathus et

al., 2008). Menurut Sarwono (2011), berciuman dengan bibir tertutup

merupakan ciuman yang umum dilakukan. Yuniarti dan Rusmilawaty

(2015) menggolongkan deep kissing sebagai bentuk perilaku seksual

berat.

e. Necking

Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

ciuman di sekitar leher ke bawah dan pelukan yang lebih mendalam

(Sarwono, 2011).

f. Touching

Menyentuh (touching) merupakan suatu bentuk perilaku seksual

(Wulandari & Muis, 2014) dan bentuk yang umum dari foreplay

(Rathus et al., 2008). Touching atau membelai daerah sensitif genital

menggunakan tangan atau dengan bagian tubuh lainnya dapat

menimbulkan rangsangan (Rathus et al., 2008).

(38)

Stimulasi oral-genital biasanya lebih sering dilakukan oleh pasangan

yang baru menikah. Sama seperti touching, stimulasi oral-genital atau

biasa dikenal dengan istilah blow job bisa digunakan sebagai

permulaan dari intercourse atau sebagai akhir dari aktivitas seksual

(Rathus et al., 2008).

h. Petting

Petting merupakan salah satu bentuk foreplay yang sering dilakukan

(Rathus et al., 2008). Petting merupakan perilaku menggesek-gesekkan

bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dengan organ kelamin,

tetapi lebih mendalam dari necking. Hal ini termasuk merasakan dan

mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada,

kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar

pakaian (Sarwono, 2011)

i. Intercourse

Seksual intercourse atau coitus adalah aktivitas seksual antara laki-laki

dan perempuan, di mana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat

kelamin perempuan (Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 2008).

Sarwono (2011) mendefinisikan sebagai bersatunya dua orang secara

seksual, yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita dan ditandai

dengan penis yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan

kepuasan seksual (Sarwono, 2011). L”Engle et.al. (2005)

menggolongkan intercourse sebagai bentuk perilaku seksual dalam

(39)

Berdasarkan penjabaran di atas, perilaku seksual pranikah yang

dilakukan karena keinginan sendiri dan tidak mengandung unsur-unsur

kriminalitas dapat dikelompokkan menjadi perilaku seksual yang

dilakukan dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Perilaku seksual yang

dilakukan sendiri, seperti menaksir, menghayal, menggunakan teknologi

untuk hal-hal seksual, dan masturbasi. Perilaku seksual yang dilakukan

dengan orang lain, seperti membicarakan dan menggunakan teknologi

untuk hal-hal seksual, berpegangan tangan, berpelukan, kissing, necking,

touching, stimulasi oral-genital, petting, dan intercourse. Dalam penelitian

ini, peneliti akan menggunakan bentuk-bentuk perilaku seksual di atas

sebagai dasar dalam melakukan pengukuran terhadap perilaku seksual

pranikah yang dilakukan remaja.

3. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual dapat

digolongkan kedalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Sarwono (2010) melihat bahwa perubahan-perubahan hormonal dapat

meningkatkan hasrat seksual (libido) remaja. Chandra, Rahmawati, dan

Hardiani (2014) menjelaskan faktor internal yang mempengaruhi perilaku

seksual remaja yaitu perubahan hormon, kepercayaan diri, dan konsep diri.

Munawaroh (2012) juga menyebutkan konsep diri sebagai salah satu

faktor yang menjadi penyebab terjadinya perilaku seks pranikah dalam

(40)

bereksperimen dengan perilaku yang berisiko karena mereka ingin tahu

bagaimana rasanya dan apa yang akan terjadi. Pendapat yang serupa juga

disampaikan oleh Laily dan Matulessy (2004, dalam Munawaroh, 2012)

yang menyatakan bahwa rasa ingin tahu dapat mempengaruhi perilaku

seksual seseorang.

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu

perkembangan dan kemajuan teknologi, kebebasan pergaulan akibat

kesetaraan gender, norma-norma agama, serta keterbatasan informasi dari

orangtua (Chandra, Rahmawati, & Hardiani, 2014). Menurut Meschke,

Bartholomae, dan Zental (2002, dalam Yuniarti & Rusmilawaty, 2015),

perilaku seksual remaja berkaitan dengan sejumlah faktor dari orangtua.

Hal serupa juga dijelaskan oleh House et al. (2010, dalam Santrock, 2011)

yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berkaitan dengan

permasalahan seksual pada remaja adalah keluarga atau pengasuhan

orangtua.

Intensitas komunikasi orangtua-anak (Munawaroh, 2012) dan

kurangnya informasi tentang seks (Sarwono, 2010) juga menjadi salah satu

faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pada umumnya

remaja putri memasuki usia remaja tanpa pengetahuan yang memadai

tentang seks. Selama hubungan berpacaran, pengetahuan yang dimiliki

remaja tidak bertambah, tetapi justru informasi yang salah yang semakin

bertambah. Hal tersebut disebabkan karena orangtua yang merasa tabu

(41)

orangtua yang sudah mulai berkurang sehingga mengakibatkan anak

menjadi berpaling ke sumber informasi lain yang justru tidak akurat,

khususnya teman (Sarwono, 2010). Selain itu, faktor teman sebaya (House

et al., 2010, dalam Santrock, 2011) dan bujukan atau permintaan pacar

(Laily & Matulessy, 2004, dalam Munawaroh, 2012) juga dapat

mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual.

Menurut Sarwono (2010), adanya penundaan usia perkawinan

menyebabkan penyaluran hasrat seksual yang dimiliki tidak dapat

dilakukan dengan segera. Hal ini juga didukung dengan adanya

norma-norma agama yang masih tetap berlaku, di mana seseorang dilarang untuk

melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, larangan tersebut

berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain, seperti berciuman

dan masturbasi. Faktor eksternal lain yang dikatakan mempengaruhi

perilaku seksual remaja, yaitu agama atau keimanan yang kurang kuat

(Chandra, et al.,2014), pengaruh dari film dan media massa (Laily &

Matulessy, 2004, dalam Munawaroh, 2012), serta status sosial ekomoni

(House et al., 2010, dalam Santrock, 2011).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku

seksual dapat dipengaruhi oleh faktor internal, seperti perubahan hormon,

kepercayaan diri, konsep diri, dan rasa ingin tahu. Sementara itu, faktor

eksternal yang mempengaruhi, seperti agama dan keimanan,

perkembangan dan kemajuan teknologi, kebebasan pergaulan akibat

(42)

permintaan pacar, adanya penundaan usia kawin, serta keterbatasan

informasi dari orangtua tentang seks.

4. Kemunculan Perilaku Seksual Remaja

Perilaku seksual pranikah remaja dapat terjadi dalam konteks dan

bentuk relasi yang beraneka ragam, seperti :

a. Perilaku seksual dalam relasi romantis atau dengan komitmen

1) Berpacaran

Menurut Duvall dan Miller (1985, dalam Wulandari & Muis, 2014)

pacaran adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan tujuan untuk

menemukan dan mendapatkan pasangan dari lawan jenis yang

disukai, dirasa nyaman, dan dapat mereka nikahi. Meier (2003,

dalam Wulandari & Muis, 2014) menyatakan bahwa pacaran

merupakan prediktor terkuat inisiasi aktivitas seksual.

2) Kohabitasi

Kohabitasi mengacu pada hidup bersama dan melakukan hubungan

seksual meskipun tidak menikah (Santrock, 2011). Menurut

Wilson dan Stuchbury (2010, dalam Santrock, 2011), sejumlah

pasangan memandang kohabitasi bukan sebagai pendahulu

pernikahan namun sebagai sebuah gaya hidup.

b. Perilaku seksual tidak tetap (casual sex)

Casual sex mengacu pada pertemuan seksual singkat antara orang

(43)

atau pengalaman seksual tanpa adanya komitmen dalam suatu

hubungan (Bersamin, Zamboanga, Schwartz, Donnellan, Hudson,

Weisskirch, Kim, Agocha, Whitbourne, Carawa, 2013).

1) Hookup

Hookup dapat diartikan sebagai suatu pertemuan seksual antara

seseorang yang tidak mengenal satu sama lain pada level yang

dalam (Paul & Hayes, 2002 dalam Lehmiller, 2014). Pertemuan

tersebut, juga dikenal sebagai "one night stand", yang biasanya

muncul setelah malam di bar atau setelah pesta. Penelitian

menemukan bahwa hookup berkaitan erat dengan penggunaan

alkohol (Paul, McManus, & Hayes, 2000).

2) Friends with benefit (FWB)

Menurut Lehmiller (2014), friends with benefit biasanya dianggap

sebagai hubungan di mana dua teman baik memutuskan untuk

menjadi terlibat secara seksual. Bisson dan Levine (2009, dalam

Lehmiller, 2014) mendefinisikan friends with benefit sebagai suatu

relasi pertemanan atau persahabatan yang agak khas, di mana

dalam relasi tersebut kedua individu kadang-kadang dapat

melakukan hubungan seksual. Dalam relasi friends with benefits

ini, individu akan berusaha mempertahankan kedekatan dan relasi

seksual tanpa mengembangkan atau tidak membangun perasaan

(44)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual

pranikah remaja dapat dilakukan atau terjadi dalam konteks relasi romantis

dan disertai komitmen, seperti relasi berpacaran dan kohabitasi. Selain itu,

perilaku seksual juga dapat terjadi dalam konteks casual sex atau tanpa

adanya komitmen dalam relasi, seperti hookup dan friends with benefit

(FWB).

B. KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA

1. Definisi Komunikasi Interpersonal

Zolten dan Long (2006) mendefinisikan komunikasi sebagai proses

mengirimkan suatu informasi dari satu orang kepada orang lain. Runcan,

Constantineau, Ielics, dan Popa (2012) mendefinisikan komunikasi

sebagai proses alami dari penyampaian ide, informasi, emosi, perasaan

dari seseorang kepada orang lain dalam waktu tertentu. Popescu (2012)

mendefinisikan komunikasi sebagai interaksi psikososial yang mendasar

dari orang dengan tujuan menyampaikan informasi untuk mencapai

stabilitas atau perubahan perilaku individu dan kelompok. Komunikasi ini

dapat berbentuk verbal maupun non-verbal, dapat bersifat positif atau

negatif, serta efektif ataupun tidak efektif (Zolten & Long, 2006). Dengan

demikian, komunikasi dapat disimpulkan sebagai proses mengirimkan

suatu ide, informasi, emosi, perasaan dari satu orang kepada orang lain

untuk menyampaikan informasi, dan mencapai stabilitas atau perubahan

(45)

Komunikasi dapat dibedakan menjadi komunikasi intrapersonal,

komunikasi interpersonal, dan komunikasi massa. Komunikasi dalam

keluarga termasuk dalam komunikasi interpersonal. Hal ini didukung dari

pendapat Ramadhani (2013) yang menyatakan bahwa komunikasi

interpersonal yang paling sederhana dapat diamati di dalam keluarga.

Komunikasi interpersonal merupakan proses komunikasi yang terjadi

antara satu individu dengan individu lain sehingga memerlukan tanggapan

(feedback) dari orang lain (Khairani, 2015). Devito (dalam Eliyani, 2013)

mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai pengiriman pesan-pesan

dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang

dengan pemberian tanggapan secara langsung. Sementara Suranto (2011,

dalam Rasika, 2015) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai

komunikasi yang dilakukan dengan orang lain dan dapat terjadi secara

langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa komunikasi interpersonal adalah proses komunikasi atau

pengiriman pesan-pesan yang terjadi secara langsung maupun tidak

langsung antara satu individu dengan individu atau kelompok lain dan

memerlukan tanggapan (feedback).

2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan menjadi

awal dari setiap interaksi yang dilakukan manusia (Susanto-Sunario,

(46)

komunikasi (Runcan et al., 2012). Melalui komunikasi, orangtua dapat

mengidentifikasi, mengetahui, dan kemudian memuaskan kebutuhan dari

anaknya Selain itu, interaksi komunikasi yang dimiliki juga dapat

menujukkan seperti apa hubungan antara orangtua dan anaknya (Runcan et

al., 2012). Komunikasi yang dilakukan secara efektif oleh orangtua dan

anak dapat membantu meningkatkan hubungan antara orangtua dan anak,

serta dapat menghasilkan keharmonisan (Zolten & Long, 2006; Runcan et

al., 2012). Melalui feedback yang diterima ketika berkomunikasi, interaksi

antara orangtua dan anak menjadi lebih kuat dan efektif (Runcan et al.,

2012).

Komunikasi dapat membangun dan menjaga hubungan antara

orangtua dan anak(Runcan et al., 2012). Menurut Zolten dan Long (2006),

penting bagi orangtua untuk berkomunikasi secara terbuka dan efektif

dengan anaknya. Komunikasi yang terbuka dan efektif tidak hanya

bermanfaat terhadap anak, tetapi juga bermanfaat bagi setiap anggota

keluarga lainnya. Jika orangtua berkomunikasi secara terbuka dan efektif,

kemungkinan anak-anak mereka juga akan melakukannya (Zolten dan

Long, 2006). Anak akan belajar bagaimana caranya untuk berkomunikasi

dengan melihat orangtuanya. Melalui cara berkomuniksi yang ditunjukkan

orangtua ini, anak akan mulai membentuk ide dan kepercayaan mengenai

dirinya. Sosok kedewasaan anak akan dibentuk oleh keterbukaan orangtua

dalam bertindak atau dalam membuat perubahan yang mengutamakan

(47)

didengar dan dipahami oleh orangtuanya. Hal tersebut dapat mendorong

peningkatan harga diri anak. Selain itu, komunikasi yang efektif yang

dilakukan oleh orangtua memungkinkan anak untuk lebih mengikuti apa

yang dikatakan oleh orangtuanya (Zolten & Long, 2006).

Jika ditinjau lebih jauh, keluarga merupakan wadah di mana anak

pertama kali belajar dan mengetahui segala macam informasi dalam

kehidupannya termasuk mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, seperti

seksualitas. Komunikasi merupakan salah satu media penyampaian

informasi dari orangtua ke anak karena tidak ada aspek dari hubungan

antara orangtua dan anak yang tidak melibatkan komunikasi (Runcan et

al., 2012). Melalui komunikasi, orangtua dapat menularkan nilainya yang

berhubungan dengan seksualitas, serta dapat meningkatkan kesempatan

anaknya mengadopsi kebiasaan maupun perilaku seksual yang aman dan

sehat (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015). Menurut Likewise

dan Weinman (2008), remaja yang memiliki komunikasi yang baik dengan

orangtuanya akan mendapatkan informasi yang baik mengenai bahaya dari

penyakit seksual sehingga mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam seks

yang tidak berisiko dibandingkan mereka yang tidak berkomunikasi

dengan keluarganya (dalam Gumban, Martos, Rico, Bernarte, & Tuason,

2016). Apabila orangtua mampu menerapkan komunikasi efektif tentang

seksualitas dalam keluarga, maka remaja akan memiliki sikap negatif

terhadap pergaulan bebas antar lawan jenis. Komunikasi efektif tersebut

(48)

nilai-nilai mengenai seksualitas yang lebih tepat dari orangtuanya (Prihartini,

Nuryoto, & Aviatin, 2000).

Orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan

pendidikan seks kepada anaknya. Beberapa studi yang dilakukan di negara

barat menemukan bahwa peningkatan komunikasi orangtua dan anak

mengenai seks berhubungan dengan penundaan untuk melakukan

hubungan seksual (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015).

Kemunikasi yang terbuka mengenai seks antara orangtua dan remaja

menghasilkan perilaku seksual yang aman (Richards, 2013, dalam

Gumban, et al., 2016). Komunikasi yang positif antara orangtua dan anak

dapat membantu anak untuk menentukan nilai pribadinya dan membuat

keputusan yang sehat terkait seksual (Gumban, Martos, Rico, Bernarte, &

Tuason, 2016). Di samping itu, orangtua diharapkan dapat memberikan

informasi yang akurat mengenai hal-hal seksual sehingga dapat membantu

perkembangan nilai seksual yang positif pada anaknya (Seloilwe et al,

2015) dan mempengaruhi perilaku anak ke arah yang positif pula

(Ramadhani, 2013).

Akan tetapi, anak cenderung menghindari komunikasi mengenai

seksualitas dengan orangtuanya karena merasa kurang nyaman dengan

gaya komunikasi yang ditunjukkan oleh orangtuanya (Wang, 2016). Selain

itu, orangtua juga cenderung menutupi masalah-masalah yang

berhubungan dengan seksualitas, kurang peka terhadap perkembangan

(49)

remaja mengenai masalah seksualitas. Penelitian dari Gumban et al.,

(2016) juga menemukan bahwa responden yang terlibat dalam seks

beresiko memiliki komunikasi yang kurang atau rendah dengan

orangtuanya. Komunikasi yang kurang menyebabkan anak memiliki

pengetahuan yang kurang pula mengenai seksual dan menyebabkan

hubungan antara orangtua-anak menjadi jauh sehingga anak berpaling ke

sumber informasi lain yang mungkin kurang akurat, seperti teman

(Sarwono, 2010).

3. Dampak-Dampak Komunikasi

Komunikasi diasumsikan sebagai sesuatu yang sangat penting pada

saat ini (Littlejohn & Foss, 2011). Komunikasi dapat membentuk rasa

saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang,

menyebarkan ilmu pengetahuan, dan melestarikan peradaban seseorang.

Akan tetapi, komunikasi juga dapat menimbulkan perpecahan,

menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, menghalangi

kemajuan, dan menghambat pemikiran (Khairani, 2015). Menurut Runcan

et al. (2012), nada tenang yang digunakan dalam komunikasi

orangtua-anak mengarahkan untuk membentuk dan menginduksi kenyamanan

secara psikologis, serta pesan menjadi lebih cepat dan dapat dipahami

dengan lebih baik dibandingkan orangtua menggunakan nada marah.

(50)

pada perasaan panik, takut, kesalahpahaman dari pesan, dan penolakan

terhadap proses komunikasi.

Keterbukaan dalam berkomunikasi mampu menumbuhkan sikap

saling percaya, sikap objektif, berusaha untuk selalu mencari informasi

akurat dan terpercaya daripada hanya sekedar isu-isu belaka (Brooks &

Emmert, 1977). Kualitas hidup manusia dan hubungan manusia dengan

sesama manusia dapat ditingkatkan dengan meningkatkan komunikasi

yang dimiliki (Khairani, 2015). Komunikasi yang timbal balik dan tidak

sepihak dapat berkontribusi secara signifikan terhadap keterbukaan dan

pembentukan hubungan dalam interaksi orangtua dan anak (Runcan et al.,

2012). Leeds, Gallagher, Wass, Leytem, dan Shlay (2014) menemukan

bahwa komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak berkorelasi

secara kuat dengan penurunan tingkat kehamilan remaja, maupun dalam

penurunan perilaku merokok, alkohol, penggunaan obat-obat lainnya,

penurunan perilaku seksual berisiko, dan penurunan perilaku kenalakan

remaja yang lainnya.

Seloilwe, et al. (2015) berpendapat bahwa remaja ingin untuk

berbicara dengan orangtuanya mengenai seksualitas, tetapi orangtua

merasa tidak nyaman untuk membicarakan hal tersebut. Komunikasi yang

dibatasi tersebut dapat menimbulkan konflik dalam hubungan

orangtua-anak dan dapat menyebabkan remaja melakukan kenakalan,

penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, hubungan seksual, kinerja

(51)

(Brody et al., 1999, dalam Davidson & Cardemil, 2009). Menurut

Sarwono (2010), komunikasi yang kurang dari orangtua menyebabkan

anak memiliki pengetahuan yang kurang tentang seksual. Hal ini

dikarenakan orangtua yang merasa tabu untuk membicarakan seks dengan

anak, serta hubungan antara orangtua dan anak yang sudah terlanjur jauh

sehingga anak menjadi berpaling ke sumber informasi lain yang mungkin

tidak akurat, seperti teman.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa

komunikasi seksual memiliki dampak yang positif dan negatif terhadap

perkembangan seseorang. Komunikasi efekitf yang dilakukan dapat

menghasilkan dampak yang positif, seperti membentuk rasa saling

pengertian, menumbuhkan, sikap saling percaya, sikap objektif, serta dapat

berpengaruh pada penurunan perilaku seksual berisiko, penurunan tingkat

kehamilan remaja, dan penurunan perilaku kenalakan remaja yang lainnya.

Selain itu, komunikasi yang efektif juga dapat membentuk dan

menumbuhkan kenyamanan secara psikologis sehingga pesan menjadi

lebih cepat dan dapat dipahami dengan baik. Sementara itu, komunikasi

yang kurang atau dibatasi dapat menghasilkan berbagai dampak negatif,

seperti menimbulkan kesalahpahaman terhadap pesan, kebencian,

menghalangi kemajuan, menghambat pemikiran atau pengetahuan menjadi

kurang, serta dapat menjadi pemicu timbulnya tindakan kenakalan dari

anak, seperti penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, hubungan seksual,

(52)

4. Dimensi Komunikasi

Komunikasi seksual dalam keluarga diukur menggunakan dua

dimensi dari Warren dan Neer (1986), yaitu dimensi kenyamanan

(comfort) dan dimensi informasi (information).

a. Dimensi Kenyamanan

Dimensi kenyamanan mengukur tingkat keterbukaan yang dirasakan

mengenai diskusi seks dalam keluarga.

b. Dimensi Informasi

Dimensi informasi mengukur persepsi dari jumlah informasi yang

dipelajari dan dibagikan selama diskusi. Dimensi informasi termasuk

karena rumah dapat berfungsi sebagai sumber utama dari pembelajaran

seksual hanya melalui berbagi informasi yang efisien.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua dimensi komunikasi

seksual sebagai dasar pembuatan skala yang digunakan untuk mengukur

komunikasi seksual yang dimiliki atau dilakukan anak di dalam keluarga.

C. SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS

1. Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 1993).

LaPierre (1934, dalam Azwar, 2005) mendefinisikan sikap sebagai suatu

respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Morissan (2013)

(53)

dari individu lainnya. Sikap menunjukkan pola atau cara yang relatif

konsisten mengenai bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan

bertingkah laku dalam berbagai situasi yang dihadapi. Menurut Campbel

(1950, dalam Notoatmodjo 1993) sikap adalah sekumpulan respon yang

konsisten terhadap objek sosial. Sementara Thurstone, Linkert, dan

Osgood (dalam Azwar, 2005) mendefinisikan sikap sebagai suatu bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan.

Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung

atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak

pada objek tersebut (Berkowitz, 1972, dalam Azwar, 2005). Sementara

Azwar (2009) menyebutkan bahwa sikap dapat bersifat positif maupun

bersifat negatif. Sikap positif memiliki kecenderungan tindakan yaitu

mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Di sisi lain,

sikap negatif memiliki kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,

membenci, dan tidak menyukai objek tertentu. Munurut Mar’at (1982),

sikap belum berupa suatu tindakan atau aktifitas, tetapi masih berupa

predisposisi tingkah laku. Sifat ini juga sering digunakan untuk

memprediksi perilaku (Morissan, 2013).

Sikap seksual merupakan kepercayaan implisit dan asumsi yang

berkaitan dengan aktivitas seksual (Christlieb, 2016). Menurut Sprecher

dan McKinney (1993), sikap memiliki pengaruh yang besar pada

kemungkinan perilaku seksual untuk dilakukan atau tidak oleh seseorang.

Gambar

TABEL 4.11 Uji Hipotesis 4 Multiple Regresi antara Komunikasi, Sikap dan
GAMBAR 41. Skema Hasil Uji Hipotesis  .....................................................
Gambar 2.1 Skema Hubungan
Tabel 3.1 Indikator skala Perilaku Seksual Pranikah
+7

Referensi

Dokumen terkait

suming that findings of the field study applicable to the entire district, farm trees and crop residues con- stitute the two most important sources of fodder, each accounting for

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK

Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana (FTI UKSW) terdapat rumpun penelitian Simitro yang menggunakan komputer server untuk pengembangan software

Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan seminar hasil penelitian dosen di lingkungan SAPPK Institut Teknologi Bandung sesuai dengan peraturan dan perundangan yang

Persoalan dan membuat keputusan-keputusan , Fungsi yang paling dominan dalam komunikasi kelompok disinilah tempat atau sarana yang tepatd. dalam menentukan keputusan (

3.2 Mengenal teks cerita narasi sederhana kegiatan dan bermain di lingkungan dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan

Ke dalam tabung berisi air dimasukkan sebuah bola besi yang berjari-jari 6 cm, sehingga permukaan airA. dalam

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuji pada Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa sistem dapat berfungsi dengan baik, dapat mendeteksi nyala api pada lilin sejauh