SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN
PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Disusun oleh: I Made Bayu Gunawan
129114053
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
SKRIPSI
SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN
PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA
Disusun Oleh : I Made Bayu Gunawan
NIM : 129114053
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing,
iii
HALAMAN PENGESAHAN
SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN
PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA
Dipersiapkan dan ditulis oleh : I Made Bayu Gunawan
NIM : 129114053
Telah dipertahankan di depan panitia penguji pada tanggal ...
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji :
Nama Penguji Tanda Tangan
1. Penguji 1 : C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., Psi. ……….
2. Penguji 2 : Prof. A. Supratiknya, Ph.D. ……….
3. Penguji 3 : Edward Theodorus, M.App.Psy. ……….
Yogyakarta, Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
iv
HALAMAN MOTTO
“All the impossible is possible for those who believe”
“Don’t wait until tommorow because that’s still a mystery”
“
Selama ada keyakinan, semua menjadi mungkin”
“Hasil tidak akan menghianati usaha”
“The hardest
part of anything in life is thinking about it”
- (Ajahn
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur dan terima kasih kupanjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala berkat, perlindungan, kekuatan, dan kelancaran yang telah diberikan
selama saya mengerjakan skripsi ini hingga saya dapat menyelesaikan keseluruhan penelitian saya ini.
Dengan rasa syukur dan bangga saya persembahkan skripsi saya ini kepada kedua orang tua saya yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tak
henti-hentinya untuk saya, serta tidak pernah membebani saya dengan berbagai tuntutan. Untuk kakak dan adik saya yang selalu menanyakan skripsi saya sudah
sampai mana.
Kepada sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuangan, dan seluruh pihak yang telah membantu, mendukung, dan berpartisipasi dalam penyelesaiaan skripsi ini,
saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Tuhan selalu menyertai kalian
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 5 Maret 2017 Peneliti,
vii
SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN
PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA
I Made Bayu Gunawan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sikap remaja terhadap seks merupakan variabel yang dapat memediator hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja. Dalam penelitian ini, terdapat tiga hipotesis minor, yaitu komunikasi seksual dalam keluarga memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku seksual pranikah, komunikasi seksual dalam keluarga memiliki hubungan yang negatif dengan sikap remaja terhadap seks, dan sikap remaja terhadap seks memiliki hubungan yang positif dengan perilaku seksual pranikah. Selain tiga hipotesis minor tersebut, terdapat satu hipotesis mayor. Hipotesis mayor tersebut adalah hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah dimediasi oleh sikap remaja terhadap seks. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 339 orang remaja yang berusia 19 sampai 24 tahun dan belum menikah. Subjek dipilih dengan menggunakan convenience sampling. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan tiga skala, yaitu skala perilaku seksual pranikah dengan reliabilitas sebesar 0,927, skala komunikasi seksual dalam keluarga dengan sebesar reliabilitas 0,924, dan skala sikap terhadap seks dengan reliabilitas sebesar 0,971. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dan regresi berganda, serta menggunakan causal step analysis untuk melihat efek mediasi dari variabel mediator. Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa nilai standardized coefficient(β) untuk komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah sebesar -0,203, untuk komunikasi seksual dalam keluarga dan sikap remaja seksual sebesar -0,178, serta untuk sikap remaja terhadap seks dan perilaku seksual pranikah sebesar 0,603. Hasil causal steps analysis menunjukkan bahwa koefisien regresi pada jalur τ lebih kecil dibandingkan koefiesien regresi pada jalur τ’ dan dengan nilai signifikansi yang tetap signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sikap remaja terhadap seks dapat memediasi hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja dengan jenis mediasi partial mediation.
viii
ADOLESCENCE ATTITUDE TOWARD SEX AS MEDIATOR IN RELATIONSHIP OF SEXUAL COMMUNICATION IN THE FAMILY
AND ADOLESCENCE PREMARITAL SEXUAL BEHAVIOR
I Made Bayu Gunawan
ABSTRACT
This study is aimed to determine whether adolescance attitudes toward sex are variable that can mediate relationship between sexual communication in the family and adolescent premarital sexual behavior. In this study, there were three minor hypotheses which were sexual communication in the family had a negative correlation with premarital sexual behavior, sexual communication in the family had a negative relationship with adolescence attitudes toward sex, and the adolescence attitudes toward sex have a positive relationship with premarital sexual behavior. Beside three minor hyphotheses, there was one major hypothesis. That major hypothesis was the relationship between sexual communication in the family and premarital sexual behavior is mediated by adolescence attitudes toward sex. Subjects in this study amounted to 339 teenagers aged 19 to 24 years old and unmarried. Subjects were selected using convenience sampling. The research data obtained by using three scales, the scale of premarital sexual behavior with a reliability of 0.927, the scale of sexual communication in family with reliability of 0.924, and scale of attitudes toward sex reliability of 0.971. Hypothesis testing is performed using simple linear regression and multiple regression, as well as the use of causal steps analysis to see the mediation effect of mediator variable. Hypothesis test results showed that the standardized coefficient (β) for sexual communication in the family and premarital sexual behavior of -0.203, for sexual communication in the family and adolescence attitudes toward sex of -0.178, and for adolescence attitudes toward sex and premarital sexual behavior 0.603. The results showed that the causal steps analysis of regression coefficients on the path
τ is smaller than regression coefficient on the path τ’ and with significant value remains significant. Therefore, we can conclude that adolescence attitudes toward sex may mediate the relationship between sexual communication in the family and adolescent premarital sexual behavior with a kind of partial mediation.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : I Made Bayu Gunawan
Nomor Mahasiswa : 129114053
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN
PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA ”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 5 Maret 2017
Yang menyatakan
x
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang selalu menyertai dan menuntun penulis selama proses penyelesaian skripsi ini sehingga segala prosesnya dapat berjalan baik, meskipun terkadang penulis harus melalui banyak kesulitan dan rintangan.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak yang membantu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si, Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi, selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih sekali atas kesediaan bapak untuk membimbing dan memberikan masukan selama proses pengerjaan skripsi ini.
4. Ibu Ratri Sunar Astusi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik saya selama perkuliatas ini. Terimas kasih atas bantuan dalam segala proses perkuliahan ini.
xi
Terima kasih sudah memberikan banyak kesempatan dan kepercayaan kepada saya untuk dapat belajar lebih lagi.
6. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas segala bimbingan dan pembelajaran yang telah diberikan.
7. Segenap Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terkhusus kepada Mas Gandung, Bu Nanik, dan Mas Muji “Glory”. Terima kasih banyak atas bantuan dalam segala administrasi dan urusan laboratorium. 8. Kepada kedua orang tua saya yang tidak pernah berhenti memberikan
dukungan,kepercayaan, perhatian,dan tidak pernah memberikan tuntutan untuk skripsi saya ini, dan mau mengerti kondisi saya. Terima kasih juga sudah selalu menjadi orang yang bisa membuat saya refleksi dengan setiap kejadian dalam hidup saya. Saya merasa bersyukur karena kalian selalu ada saat dibutuhkan
9. Kepada kakak dan adik saya yang cuek tapi peduli. Terima kasih sudah sering menanyakan skripsi saya dan membuat saya selalu ingat bahwa saya masih memiliki tugas untuk menyelesaikannya. Terima kasih atas perhatian yang seringkali tidak disadari.
10. Kepada keluarga saya di jogja ini, KMHD Swastika Taruna yang selalu memberikan bantuan saat saya membutuhkan. Tetaplah kompak selalu! 11. Untuk partner kerja di pengurus, gung is dan putri. Terima kasih untuk
xii
12. Teman, sahabat, dan rekan kerja saya di P2TKP. Meskipun mulai dekat ketika sudah memasuki semester akhir, tapi sangat membantu saya dalam berkembang dan memberikan banyak segala pembelajaran. Semangat terus gengs buat koreksinya, jangan kasi kendor hahaha.
13. Grup Menuju Spsi, grup buat skripsi tapi sering main juga. Jejes, Patrice, Chopie, Edo, Dimas, Ivie, Ardi, Cia, Lenny, Retha, Chika, Panca, Age, Koleta, Andre, Doni, Rini, Wira terima kasih buat bantuan dan sudah mau saling mengingatkan, membantu, dan mendukung satu sama lain gengs. Grup yang pertama cuma beberapa sekarang sudah banyak aja anggotanya ya. Semangat ya buat kalian yang masih berjuang, nikmati prosesnya. See you on TOP
14. Buat teman nyekrip sampai subuh Reski, Ed, GM, UA, Moka tetap semangat bro, kalau pusing ngepes dulu aja. Nanti juga paham kok hahaha....
15. Terima kasih untuk teman-teman yang harus direpotkan buat baca skripsi ataupun aku tanya-tanya. Tiara, Jejes, Patrice, Erlin, Komang, Putri, Gung Is, Zelda, Akeng. Terima kasih banyak untuk semua bantuannya dan maaf banyak merepotkan ya hehehe...
16. Buat teman sekelompok dari awal kuliah Wenita, Dipa, dan bunda Indun. Terima kasih buat keseruannya selama kuliah, tetap semangat ya !!!
xiii
18. Buat teman-teman 2012, teman-teman seperjuangan untuk meraih mimpi di Fakultas ini. terima kasih untuk dinamika, pengalaman, pelajaran, dan keseruannya selama perkuliahan ini. Ini bukanlah akhir, ini adalah awal bagi kita semua dalam mengejar dan meraih sesuatu yang lebih besar lagi. Sukses untuk kita semua, semoga relasi yang baik ini tetap berlanjut, dan sampai bertemu lagi dengan membawa cerita kesuksesan masing-masing
19. Untuk semua pihak yang telah berperan dan membantu dalam pengerjaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih.
Saya berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk semua orang yang membacanya. Namun, saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam diri saya maupun dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati saya menerima berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun demi perkembangan dan kemajuan pengetahuan kedepannya. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 5 Maret 2017 Peneliti,
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xx
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 12
1. Manfaat Teoretis ... 12
xv
BAB II. LANDASAN TEORI ... 13
A. Perilaku Seksual Pranikah ... 13
1. Definisi Perilaku Seksual ... 13
2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah ... 14
3. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah ... 18
4. Kemunculan Perilaku Seksual Remaja ... 21
B. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 23
1. Definisi Komunikasi Interpersonal ... 23
2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 24
3. Dampak-dampak Komunikasi ... 28
4. Dimensi Komunikasi ... 31
C. Sikap terhadap Seks ... 31
1. Definisi Sikap ... 31
2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Sikap ... 33
3. Komponen Sikap terhadap Remaja Seks ... 36
D. Remaja ... 38
1. Definisi Remaja ... 38
2. Tahap-tahap Perkembangan Remaja ... 39
3. Remaja dan Perilaku Seksual ... 40
E. Dinamika Perilaku Seksual, Komunikasi Seksual dalam Keluarga, dan Sikap terhadap Seks ... 41
F. Hipotesis ... 48
xvi
2. Hipotesis Minor ... 48
BAB III. METODE PENELITIAN ... 49
A. Jenis Penelitian ... 49
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 50
C. Definisi Operasional ... 50
1. Perilaku Seksual Pranikah ... 50
2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 51
3. Sikap terhadap Seks ... 52
D. Subjek Penelitian ... 53
E. Prosedur Penelitian ... 54
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 55
1. Metode Pengumpulan Data ... 55
2. Alat Pengumpulan Data ... 55
a. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 55
b. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 59
c. Skala Sikap terhadap Seks ... 61
G. Validitas dan Reliabilitas ... 63
1. Validitas Skala ... 63
2. Daya Diskriminasi Item ... 64
3. Reliabilitas Skala ... 65
a. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 66
b. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 67
xvii
H. Metode dan Teknik Analisis ... 68
1. Uji Asumsi ... 68
2. Uji Hipotesis ... 70
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73
A. Pelaksanaan Penelitian ... 73
B. Deskripsi Penelitian ... 74
1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 74
2. Deskripsi Data Penelitian ... 76
C. Analisis Data Penelitian ... 77
1. Uji Asumsi ... 77
2. Uji Hipotesis ... 81
D. Pembahasan ... 88
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 96
A. Kesimpulan ... 96
B. Keterbatasan Penelitian ... 96
C. Saran ... 98
1. Bagi Remaja ... 98
2. Bagi Orang tua ... 99
3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 102
xviii
DAFTAR TABEL
TABEL 3.1 Indikator skala Perilaku Seksual Pranikah ... 57
TABEL 3.2 Nilai Median masing-masing Item ... 58
TABEL 3.3 Penskoran skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 60
TABEL 3.4 Indikator skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 61
TABEL 3.5 Sebaran Item skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 61
TABEL 3.6 Penskoran skala Sikap terhadap Seks ... 62
TABEL 3.7 Sebaran Item skala Sikap terhadap Seks ... 63
TABEL 3.8 Reliabilitas Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 67
TABEL 3.9 Reliabilitas Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 67
TABEL 3.10 Reliabilitas Skala Sikap terhadap Seks ... 68
TABEL 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 74
TABEL 4.2 Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Rentang Usia ... 75
TABEL 4.3 Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 76
TABEL 4.4 Hasil Uji Normalitas Residu ... 78
TABEL 4.5 Hasil Uji Homoskedastisitas menggunakan Uji Glesjer ... 79
TABEL 4.6 Hasil Uji Linearitas ... 80
TABEL 4.7 Hasil Uji Multikolinearitas ... 80
TABEL 4.8 Uji Hipotesis 1 Regresi antara Komunikasi dengan Perilaku Seksual ... 82
TABEL 4.9 Uji Hipotesis 2 Regresi antara Komunikasi dengan Sikap ... 83
xix
xx
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Reliabilitas Aitem Skala Penelitian ... 112
LAMPIRAN 2. Reliabilitas Skala Penelitian ... 116
LAMPIRAN 3. Hasil Uji-T ... 117
LAMPIRAN 4. Hasil Uji Normalitas Residu ... 118
LAMPIRAN 5. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 120
LAMPIRAN 6. Hasil Uji Linearitas ... 121
LAMPIRAN 7. Hasil Uji Multikolinearitas ... 123
LAMPIRAN 8. Hasil Uji Hipotesis ... 124
LAMPIRAN 9. Pernyataan Kesediaan ... 128
LAMPIRAN 10. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 129
LAMPIRAN 11. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 132
xxi
DAFTAR GAMBAR
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan masa eksplorasi dan eksperimen, ketika
orang-orang muda mulai mengasah keterampilan hidup, gaya hubungan, dan pola
perilaku mereka yang akan mempengaruhi fungsi emosional dan kesehatan
mereka sebagai orang dewasa (Mauro, 1995 dalam Wulandari & Muis, 2014).
Masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, yaitu masa di mana
munculnya kematangan seksual atau kemampuan untuk melakukan reproduksi
(Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Santrock (2011), masa remaja
adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas
seksual, masa mengintegrasikan seksualitas kedalam identitas seseorang. Pada
masa ini, remaja cenderung untuk bereksperimen dengan perilaku yang
berisiko karena mereka ingin tahu bagaimana atau seperti apa rasanya, dan apa
yang akan terjadi (Wulandari dan Muis, 2014). Selain itu, remaja juga
dikatakan memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak pernah
dipuaskan (Santrock, 2011).
Perjalanan menuju kedewasaan sering kali diikuti dengan eksperimen
terhadap perilaku seksual, di mana mayoritas remaja melakukan hubungan
seksual pertama mereka sebelum mereka lulus SMA (Kaiser Family
Foundation, 2003, dalam Wulandari & Muis, 2014). Studi yang dilakukan
2015) menunjukkan bahwa perilaku seks berisiko dimulai ketika individu
memasuki usia remaja dan mencapai puncaknya ketika berada di usia dewasa
awal. Pertumbuhan organ seksual pada remaja akan menumbuhkan suatu
naluri seks yang akan mendorong seseorang untuk memanifestasikan ke dalam
perilaku seksual (Tanjung dkk, dalam Nuandri & Widayat, 2014). Hal serupa
juga diungkapkan oleh McClintock dan Herd (dalam Steinberg, 2002) yang
menyatakan bahwa perubahan horman pada masa remaja dapat menstimulasi
peningkatan dorongan seksual dari individu bersangkutan.
Peningkatan hasrat seksual yang dialami remaja membutuhkan
penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual (Sarwono, 2011). Namun,
penyaluran hasrat seksual yang dilakukan oleh remaja terkadang kurang tepat
dan bahkan melanggar norma-norma hukum, sosial, maupun agama. Hal
tersebut dapat kita perhatikan dari kasus-kasus terkait seksualitas remaja
sering terjadi dan menghiasi pemberitaan di media cetak maupun elektronik
belakangan ini, seperti kasus aborsi yang dilakukan siswi SMP bersama
kekasihnya (Anjani, 2016) dan berita mengenai foto dua orang anak yang
tengah “ngamar” diduga di sebuah hotel menyebar di media sosial Facebook,
di mana pasangan ini tengah melakukan selfie di atas tempat tidur dengan
menutupi tubuhnya menggunakan selimut (Amin, 2016). Selain itu, Tim
Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) Polda Jambi juga baru-baru ini
mengamankan lima remaja yang diduga akan melakukan pesta seks, serta
ditemukan alat kontrasepsi serta obat kuat lelaki di kamar tersebut (“Polda
Survei perilaku seks yang dilakukan DKT Indonesia (2011, dalam
Wulandari & Muis, 2014) menunjukkan bahwa rata-rata remaja mulai
berhubungan seks untuk pertama kalinya pada usia 19 tahun dan mayoritas
merupakan mahasiswa. Menurut Caron, Bertran, dan McMullen (1987, dalam
Lehr, DiIorio, Dudley, & Lipana, 2000), mahasiswa sebagai sebuah kelompok
cenderung lebih aktif secara seksual dibandingkan bagian lain dari populasi
orang dewasa. BKKBN pada tahun 2010 melaporkan bahwa sekitar 37% dari
1.160 mahasiswa di Yogyakarta yang berusia 13-18 tahun mengalami
kehamilan pranikah (dalam Wulandari & Muis, 2014).
Kasus-kasus dan fakta-fakta di atas hanya segelitir dari banyaknya
perilaku seksual atau kejadian terkait seksualitas yang dilakukan oleh para
remaja Indonesia. Menurut Achir (1993, dalam Munawaroh, 2012), para
remaja saat ini, khususnya mahasiswa Indonesia, sedang mengalami
perubahan sosial yang sangat cepat dari masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern. Perubahan sosial yang serba cepat mengakibatkan
perubahan pola kehidupan, etika, dan nilai-nilai moral, khusunya mengenai
perilaku seksual. Adanya perubahan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat telah menggeser berbagai nilai dan pandangan tentang hubungan
antara laki-laki dan perempuan yang saat ini dinilai sebagai sesuatu yang lebih
bebas dan terbuka.
Menurut Meschke, Bartholomae, Zental (2002, dalam Yuniarti &
Rusmilawaty, 2015), perilaku seksual remaja berkaitan dengan sejumlah
anak-anak mereka (Turnbull, van Wersch, dan van Schaik, 2008, dalam Turnbull,
2012) sehingga orangtua memainkan peran yang sentral dalam pendidikan
dan pengenalan seksual terhadap anaknya (Topkaya, 2012). Hasil penelitian
Albert (2012) juga menunjukkan bahwa 38% anak muda mengatakan bahwa
faktor orangtua mempengaruhi keputusannya mengenai seks lebih dari faktor
lainnya. Wang, Li, Stanton, Kamali, Naar-King, Shah, dan Thomas (2007)
juga menyatakan bahwa konteks keluarga menunjukkan efek yang konsisten
dan kuat pada kapan perilaku seksual pertama kali dilakukan. Akan tetapi,
orangtua seringkali menganggap bahwa pendidikan seks masih sangat tabu
dan tidak terbiasa untuk terbuka mengenai masalah seksual remaja yang
sesungguhnya (Munawaroh, 2012).
Saat orang tua jarang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya, anak
cenderung akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan
hubungan seks pranikah (Munawaroh, 2012). Tidak adanya pendidikan seks
yang memadai dan pandangan orangtua yang masih menganggap tabu hal-hal
yang berhubungan dengan seks membuat anak cenderung terkena dampak dari
pergaulan bebas, baik dengan teman sebaya maupun kelompok masyarakat
yang lebih luas (Panuju, dalam Munawaroh, 2012). Saat orangtua tidak
mampu memberikan penjelasan dan bimbingan yang tepat mengenai
organ-organ seks dan fungsinya kepada anak, maka anak akan mencari tahu
informasi-informasi tersebut diluar rumah, baik melalui internet, film, ataupun
teman. Informasi yang mereka dapatkan tersebut dapat dipersepsikan secara
perilaku seksual yang belum waktunya (Munawaroh, 2012), seperti seks bebas
yang berbuntut kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) yang
dapat mengarah pada tindakan aborsi (Yuniart & Rusmilawaty, 2015).
Kehamilan yang tidak diinginkan dan tindakan aborsi yang dilakukan
merupakan beberapa contoh dampak negatif dari perilaku seksual berisiko
yang tidak terkontrol pada remaja. Perilaku seksual sendiri merupakan segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya
maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011). Perilaku seksual yang
dilakukan sebelum menikah dan tanpa diimbangi dengan pengetahuan dari
remaja sendiri dapat menimbulkan berbagai dampak, baik secara kesehatan
fisik, psikologi, maupun sosial. Secara fisik, perilaku seksual pranikah dapat
menyebabkan berkembangnya penyakit seksual di kalangan remaja,
terganggunya kesehatan, risiko kehamilan yang berujung pada aborsi yang
berbahaya, serta kematian bayi yang tinggi (Rathus, Nevid, &
Fichner-Rathus, 2008; Sarwono, 2010; Wong & Lam, 2013). Secara psikologis,
perilaku seksual berisiko dapat menimbulkan dampak yang cukup serius,
seperti perasaan bersalah, depresi, dan marah ketika harus menggugurkan
kandungan dengan terpaksa (Simkins, 1984, dalam Sarwono 2010). Perilaku
seksual juga dapat menimbulkan dampak secara sosial, seperti ketegangan
mental, kebingungan akan peran sosial yang muncul akibat kehamilan, dan
adanya cemooh dari masyarakat. Maka dari itu, menjadi sangat penting,
khususnya bagi orangtua, untuk dapat mengontrol perilaku seksual anak dan
berisiko tersebut. Orangtua juga perlu untuk mengenalkan anak mengenai
hal-hal terkait seksualitas sehingga anak dapat mengambil keputusan yang
bijak terkait perilaku seksualnya.
Salah satu faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan
mengenai seksual dari remaja adalah komunikasi orangtua-remaja mengenai
seksualitas (Somers, Tolia, Anaguthi, 2012). Komunikasi ini menjadi penting
karena tidak ada aspek dari hubungan antara orangtua dan anak yang tidak
melibatkan komunikasi dan fungsi keluarga juga tidak dapat dilakukan dengan
baik tanpa adanya komunikasi (Runcan, Constantineau, Ielics, & Popa, 2012).
Pandangan serupa mengenai pengaruh komunikasi orangtua juga diungkapkan
oleh Munawaroh (2012), serta Chandra, Rahmawati, dan Hardiani (2014),
yang menyatakan bahwa intensitas komunikasi dan keterbatasan informasi
dari orangtua dapat mempengaruhi perilaku seksual dari anak. Komunikasi
mengenai persoalan seksual menjadi penting bagi orangtua untuk mengajarkan
anak membuat keputusan mengenai seksualitasnya (Somers, Tolia, Anagurthi,
2012). Akan tetapi, remaja terkadang menunjukkan rasa percaya diri yang
kurang ketika mendiskusikan hal-hal yang terkait seksualitas dengan
orangtuanya (Fox & Inazu, dalam Somers, Tolia, & Anagurthi, 2012).
Forehand (1997, dalam Sarwono, 2011) mengemukakan bahwa semakin
tinggi tingkat pemantauan orangtua terhadap anak remajanya, semakin rendah
kemungkinan perilaku menyimpang dilakukan oleh anaknya. Namun disisi
lain, remaja mulai memperlihatkan kelekatan-kelekatan dengan teman sebaya
2000). Mereka cenderung memilih teman sebagai orang yang paling mungkin
untuk mereka ajak bicara mengenai hal-hal seksual (Wang, et al., 2007)
sehingga semakin penting bagi orangtua untuk tetap menjaga kedekatan
dengan anak melalui komunikasi yang baik. Selain itu, orangtua juga perlu
mengembangkan kepercayaan anak terhadap mereka sehingga anak lebih mau
untuk terbuka dan bercerita kepada orangtua. Dengan demikian, orangtua akan
dapat memantau pergaulan anak remaja mereka (Forehand, 1997, dalam
Sarwono, 2011). Di samping mengembangkan kepercayaan, orangtua juga
perlu untuk terbuka terhadap anaknya sehingga anak akan ikut terbuka juga
terhadap mereka (Zolten & Long, 2006).
Komunikasi mengenai hal-hal seksual antara orangtua dan remaja dapat
mempengaruhi perilaku seksual remaja (Seloilwe, Magowe, Dithole, &
Lawrence, 2015). Komunikasi orangtua dan anak yang positif akan mengarah
pada risiko pengambilan perilaku seksual yang rendah. Maka dari itu,
orangtua diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai
hal-hal seksual dan membantu perkembangan nilai seksual yang positif untuk
anaknya (Seloilwe et al, 2015). Peningkatan dalam diskusi antara orangtua dan
remaja mengenai seksualitas dapat membantu memberikan pengetahuan
kepada remaja dalam membuat keputusan mengenai seksualitasnya. Penelitian
Weinstein dan Thornton (1989) menemukan bahwa remaja yang diajarkan
mengenai seks di rumah memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk terlibat
Beberapa studi di negara barat mengenai komunikasi orangtua dan
remaja menunjukkan bahwa peningkatan komunikasi orangtua dan anak
mengenai seks diasosiasikan dengan penundaan anak untuk melakukan
hubungan seksual pertama kali dan peningkatan penggunaan kondom (Akers,
Holland, & Bost, 2011, dalam Ritchwood, Penn, Peasant, Albritton, &
Corbie-Smith, 2015; Seloilwe, et al., 2015). Komunikasi keluarga yang baik dapat
menghindarkan remaja dari kenakalan dan membantu dengan strategi coping
yang lebih baik dalam memutuskan perilaku seksual (Mahmud, Ibrahim,
Amat, & Salleh, 2011). Namun, kurangnya komunikasi secara terbuka antara
orangtua dengan anak remajanya dalam masalah seksual dapat memperkuat
munculnya perilaku seksual (Banun & Setyorogo, 2013). Clark & Shields
(1997) juga menemukan bahwa remaja yang memiliki komunikasi yang
kurang terbuka dengan orangtua lebih rentan terhadap kenakalan serius.
Akan tetapi, terdapat kontradiksi dari hasil penelitian-penelitian
sebelumnya yang menghubungkan antara komunikasi orangtua-anak dengan
perilaku seksual anak. Beberapa studi mengindikasikan bahwa komunikasi
orangtua-anak yang lebih sering dilakukan, berhubungan dengan risiko
perilaku seksual yang lebih rendah (Dilorio, Kelley, & Hockenberry-Eaton,
1999; Kotchic, Dorsey, Miller, & Forehand, 1999; Hutchinson, Jemmott,
Sweet-Jemmott, Braverman, & Fong, 2003). Kepuasan yang dirasakan
terhadap komunikasi dengan ibu dan ayah juga ditemukan memberikan
pengaruh kuat pada perilaku nakal dalam kasus remaja dan karena itu juga
Mukherjee, 2012). Namun, hasil penelitian yang lain menemukan bahwa
tingkat komunikasi yang tinggi antara orangtua-anak dan kedekatan orangtua,
tidak signifikan berhubungan dengan pengetahuan, sikap, pengalaman, serta
perilaku seksual remaja (Somers & Paulson, 2000; Kunnuji, 2012). Sementara
itu, terdapat penelitian lain yang justru menemukan bahwa komunikasi yang
lebih sering dilakukan berhubungan dengan risiko seksual yang lebih tinggi
(Fisher, 1986, dalam Lehr, et al., 2000; Somers & Paulson, 2000; Clawson, &
Reese-Weber, 2003; Huebner & Howell, 2003). Pada penelitian-penelitian
sebelumnya, peneliti lebih banyak melihat hubungan antar kedua variabel
secara langsung dan belum ada yang membahas hubungannya dengan skema
tidak langsung, baik dengan menggunakan variabel mediator maupun
moderator.
Apabila dilihat lebih jauh, komunikasi orangtua-anak tidak hanya
mempengaruhi perilaku seksual anak. Komunikasi orangtua-anak juga dapat
mempengaruhi sikap seksual anak (Weeden & Sabini, 2007; Fisher, 1986,
dalam Topkaya, 2012; Luquis, Breisford, & Rojas-Guyler, 2012). Tidak dapat
dihindari bahwa nilai maupun sikap mengenai seksualitas akan ditularkan dari
orangtua ke anak (Kotchick, Shaffer, Forehand & Miller, 2001, dalam
Topkaya, 2012) dan komunikasi yang dilakukan orangtua-anak dapat
memfasilitasi penyampaian nilai tersebut (Weinstein & Thornton, 1989).
Orangtua mengajar anak-anak mereka tentang nilai dan perilaku yang mereka
harapkan melalui komunikasi dan perilaku mereka, baik secara langsung
2012). Selanjutnya, anak akan menginternalisasi pesan yang disampaikan dan
hal tersebut akan membentuk sikap dan keyakinan yang berbeda tentang
seksualitas (Topkaya, 2012). Komunikasi antara orangtua-anak yang
berlangsung secara efekif, khususnya mengenai perilaku seksual, membuat
anak remaja memiliki suatu sikap yang negatif terhadap perilaku seksual
pranikah (Banun & Setyorogo, 2013).
Sikap dapat dipahami sebagai evaluasi dari objek pemikiran yang
meliputi perasaan, keyakinan, dan perilaku masa lalu, serta memandu proses
pengambilan keputusan yang terlibat dalam berlakunya perilaku (Maio, Olson,
Bernard, & Luke, 2003, dalam Gravel, Young, Darzi, Olavarria-Turner, &
Lee, 2016). Sikap dari orangtua terhadap perilaku seksual pranikah dapat
mempengaruhi sikap yang dimiliki anak terhadap perilaku seksual pranikah.
Sikap yang dibentuk anak inilah yang nantinya dapat mempengaruhi
kemungkinan mereka untuk terlibat dalam perilaku seksual pranikah (Sprecher
& McKinney, 1993; Gravel et al., 2016). Sikap seksual yang kurang permisif
dapat mengarahkan remaja kepada pengalaman seksual yang lebih sedikit
(Beckwith & Morrow, 2005; Wang, et al., 2007).
Dari penjabaran di atas, peneliti menduga bahwa variabel sikap terhadap
seks dapat memediasi hubungan antara variabel komunikasi seksual dalam
keluarga dan perilaku seksual. Hal tersebut didasari dari hasil
penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan antar masing-masing
variabel. Di mana komunikasi seksual yang terjadi antara orangtua dan anak
Sabini, 2007; Fisher, 1986, dalam Topkaya, 2012; Luquis, Breisford, &
Rojas-Guyler, 2012). Sikap yang dimiliki ini secara kuat dapat mempengaruhi
perilaku seksual yang ditunjukkan oleh anak (Sprecher & McKinney, 1993;
Wang, et al., 2007; Gravel et al., 2016). Melalui penelitian ini, peneliti ingin
memastikan bahwa sikap terhadap seks memang benar-benar dapat memediasi
hubungan antara variabel komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku
seksual.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka peneliti menarik
beberapa pertanyaan yang merumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana hubungan yang antara komunikasi dalam keluarga dan
perilaku seksual pranikah remaja?
2. Bagaimana hubungan yang antara komunikasi dalam keluarga dan sikap
remaja terhadap seks?
3. Bagaimana hubungan antara sikap remaja terhadap seks dan perilaku
seksual pranikah remaja?
4. Apakah sikap remaja terhadap seks dapat memediasi hubungan antara
komunikasi dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sikap remaja terhadap
seks merupakan variabel yang dapat memediasi hubungan antara komunikasi
seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja.
D. MANFAAT
1. Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
bidang psikologi mengenai hubungan antara komunikasi seksual dalam
keluarga dan perilaku seksual dari remaja dengan sikap terhadap seks
sebagai variabel mediator. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
salah satu referensi bagi para akademisi dan bagi penelitian lebih lanjut
yang memiliki topik serupa.
2. Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
kepada orangtua mengenai pentingnya membangun dan menjaga
komunikasi dengan anak untuk dapat membentuk sikap anak yang sesuai
sehingga dapat mencegah anak melakukan perilaku kenakalan, salah
satunya yaitu perilaku seksual pranikah. Terlebih lagi, pada masa remaja
ini anak cenderung akan semakin jauh dari orangtua, baik secara fisik
maupun emosional. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi orangtua
untuk menjaga komunikasi antara orangtua-anak dan membentuk perasaan
nyaman anak agar anak mau untuk terbuka sehingga orangtua dapat selalu
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH
1. Definisi Perilaku Seksual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku diartikan sebagai
suatu tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.
Skinner (dalam Santrock, 2007) juga menyampaikan definisi yang serupa,
yaitu suatu respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
Perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme,
kemudian organisme tersebut memberikan respon. Menurut Notoatmodjo
(2007), perilaku adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Perilaku ini terjadi apabila ada suatu
rangsangan dan rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi perilaku
tertentu. Dengan demikian, perilaku dapat diartikan sebagai respon atau
reaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus dari lingkungan.
Kata “seks” berasal dari bahasa latin yang berarti “membagi” dan
menandai atau menunjukkan suatu kategori dari laki-laki dan perempuan
(Rathus, Nevid, & Fichner- Rathus, 2008). Untuk memperhalus kata seks,
sering digunakan istilah seksualitas. Seksualitas adalah pengalaman dan
diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai,
perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan (Rathus, Nevid, & Fichner-
perilaku, dan identitas yang diasosiasikan dengan seks (Levay & Valente,
2006). Dengan demikian, seksualitas dapat diartikan sebagai pengalaman,
perasaan, perilaku, dan identitas yang berhubungan dengan seks, serta
diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai,
perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan.
Sarwono (2011) berpendapat bahwa perilaku seksual adalah segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan
jenisnya maupun dengan sesama jenis. Objek seksualnya pun dapat berupa
orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Menurut Hurlock
(2003) perilaku seksual remaja adalah dorongan untuk melakukan aktivitas
seksual yang muncul dari tekanan-tekanan terutama dari minat dan
keingintahuan remaja tentang seksual tersebut. Notoatmojo (2007)
menyatakan bahwa perilaku seksual remaja adalah tindakan yang
dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang
baik dalam diri maupun dari luar dirinya. Dengan demikian, perilaku
seksual dapat disimpulkan sebagai segala tingkah laku atau tindakan yang
didorong oleh hasrat seksual terhadap lawan jenis atau sesama jenis yang
berasal dari dalam maupun luar dirinya.
2. Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual pranikah dapat dilakukan dengan diri sendiri
maupun dengan orang lain. Perilaku seksual ini dapat terjadi karena
mengandung unsur-unsur kriminalitas. Bentuk-bentuk perilaku seksual
pranikah remaja yang terjadi karena keinginan sendiri dan tanpa
mengandung unsur kriminalitas dapat digolongkan kedalam beberapa
bentuk, antara lain :
a. Menaksir, menghayal, serta membicarakan dan menggunakan
teknologi untuk hal-hal seksual.
Menurut L”Engle, Brown, dan Kenneavy (2005), menaksir,
menghayal, serta membicarakan dan menggunakan teknologi untuk
hal-hal seksual merupakan bentuk-bentuk perilaku seksual dalam
kategori ringan yang sering dilakukan remaja.
b. Berpegangan Tangan dan Berpelukan
Yuniarti dan Rusmilawaty (2015) dan L”Engle et.al. (2005)
menggolongkan berpegangan tangan dan berpelukan sebagai perilaku
seksual ringan. Berpegangan tangan dan berpelukan merupakan bentuk
perilaku seksual yang sering dilakukan remaja (Rathus, Nevid, &
Fichner-Rathus, 2008; Wulandari & Muis, 2014).
c. Masturbasi
Masturbasi adalah satu bentuk utama dari ekspresi seksual seseorang
yang dapat dilakukan dengan stimulasi manual ataupun menggunakan
bantuan dari stimulasi buatan seperti vibrator (Rathus, et al., 2008).
Masturbasi mengarah pada semua bentuk stimulasi diri yang dilakukan
d. Kissing
Berciuman (kissing) dapat menjadi isyarat kasih sayang tanpa makna
erotik terhadap pasangan, keluarga, ataupun teman dekat. Bentuk
ciuman dapat berupa ciuman pada pipi, dahi, ataupun bibir. Ciuman
pada bibir dapat berupa ciuman dengan memasukkan lidah ke dalam
mulut pasangan atau deep kissing ataupun hanya sekedar
menempelkan bibir pada bibir pasangan atau simple kissing (Rathus et
al., 2008). Menurut Sarwono (2011), berciuman dengan bibir tertutup
merupakan ciuman yang umum dilakukan. Yuniarti dan Rusmilawaty
(2015) menggolongkan deep kissing sebagai bentuk perilaku seksual
berat.
e. Necking
Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
ciuman di sekitar leher ke bawah dan pelukan yang lebih mendalam
(Sarwono, 2011).
f. Touching
Menyentuh (touching) merupakan suatu bentuk perilaku seksual
(Wulandari & Muis, 2014) dan bentuk yang umum dari foreplay
(Rathus et al., 2008). Touching atau membelai daerah sensitif genital
menggunakan tangan atau dengan bagian tubuh lainnya dapat
menimbulkan rangsangan (Rathus et al., 2008).
Stimulasi oral-genital biasanya lebih sering dilakukan oleh pasangan
yang baru menikah. Sama seperti touching, stimulasi oral-genital atau
biasa dikenal dengan istilah blow job bisa digunakan sebagai
permulaan dari intercourse atau sebagai akhir dari aktivitas seksual
(Rathus et al., 2008).
h. Petting
Petting merupakan salah satu bentuk foreplay yang sering dilakukan
(Rathus et al., 2008). Petting merupakan perilaku menggesek-gesekkan
bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dengan organ kelamin,
tetapi lebih mendalam dari necking. Hal ini termasuk merasakan dan
mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada,
kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar
pakaian (Sarwono, 2011)
i. Intercourse
Seksual intercourse atau coitus adalah aktivitas seksual antara laki-laki
dan perempuan, di mana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat
kelamin perempuan (Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 2008).
Sarwono (2011) mendefinisikan sebagai bersatunya dua orang secara
seksual, yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita dan ditandai
dengan penis yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan
kepuasan seksual (Sarwono, 2011). L”Engle et.al. (2005)
menggolongkan intercourse sebagai bentuk perilaku seksual dalam
Berdasarkan penjabaran di atas, perilaku seksual pranikah yang
dilakukan karena keinginan sendiri dan tidak mengandung unsur-unsur
kriminalitas dapat dikelompokkan menjadi perilaku seksual yang
dilakukan dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Perilaku seksual yang
dilakukan sendiri, seperti menaksir, menghayal, menggunakan teknologi
untuk hal-hal seksual, dan masturbasi. Perilaku seksual yang dilakukan
dengan orang lain, seperti membicarakan dan menggunakan teknologi
untuk hal-hal seksual, berpegangan tangan, berpelukan, kissing, necking,
touching, stimulasi oral-genital, petting, dan intercourse. Dalam penelitian
ini, peneliti akan menggunakan bentuk-bentuk perilaku seksual di atas
sebagai dasar dalam melakukan pengukuran terhadap perilaku seksual
pranikah yang dilakukan remaja.
3. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual dapat
digolongkan kedalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Sarwono (2010) melihat bahwa perubahan-perubahan hormonal dapat
meningkatkan hasrat seksual (libido) remaja. Chandra, Rahmawati, dan
Hardiani (2014) menjelaskan faktor internal yang mempengaruhi perilaku
seksual remaja yaitu perubahan hormon, kepercayaan diri, dan konsep diri.
Munawaroh (2012) juga menyebutkan konsep diri sebagai salah satu
faktor yang menjadi penyebab terjadinya perilaku seks pranikah dalam
bereksperimen dengan perilaku yang berisiko karena mereka ingin tahu
bagaimana rasanya dan apa yang akan terjadi. Pendapat yang serupa juga
disampaikan oleh Laily dan Matulessy (2004, dalam Munawaroh, 2012)
yang menyatakan bahwa rasa ingin tahu dapat mempengaruhi perilaku
seksual seseorang.
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu
perkembangan dan kemajuan teknologi, kebebasan pergaulan akibat
kesetaraan gender, norma-norma agama, serta keterbatasan informasi dari
orangtua (Chandra, Rahmawati, & Hardiani, 2014). Menurut Meschke,
Bartholomae, dan Zental (2002, dalam Yuniarti & Rusmilawaty, 2015),
perilaku seksual remaja berkaitan dengan sejumlah faktor dari orangtua.
Hal serupa juga dijelaskan oleh House et al. (2010, dalam Santrock, 2011)
yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berkaitan dengan
permasalahan seksual pada remaja adalah keluarga atau pengasuhan
orangtua.
Intensitas komunikasi orangtua-anak (Munawaroh, 2012) dan
kurangnya informasi tentang seks (Sarwono, 2010) juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pada umumnya
remaja putri memasuki usia remaja tanpa pengetahuan yang memadai
tentang seks. Selama hubungan berpacaran, pengetahuan yang dimiliki
remaja tidak bertambah, tetapi justru informasi yang salah yang semakin
bertambah. Hal tersebut disebabkan karena orangtua yang merasa tabu
orangtua yang sudah mulai berkurang sehingga mengakibatkan anak
menjadi berpaling ke sumber informasi lain yang justru tidak akurat,
khususnya teman (Sarwono, 2010). Selain itu, faktor teman sebaya (House
et al., 2010, dalam Santrock, 2011) dan bujukan atau permintaan pacar
(Laily & Matulessy, 2004, dalam Munawaroh, 2012) juga dapat
mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual.
Menurut Sarwono (2010), adanya penundaan usia perkawinan
menyebabkan penyaluran hasrat seksual yang dimiliki tidak dapat
dilakukan dengan segera. Hal ini juga didukung dengan adanya
norma-norma agama yang masih tetap berlaku, di mana seseorang dilarang untuk
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, larangan tersebut
berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain, seperti berciuman
dan masturbasi. Faktor eksternal lain yang dikatakan mempengaruhi
perilaku seksual remaja, yaitu agama atau keimanan yang kurang kuat
(Chandra, et al.,2014), pengaruh dari film dan media massa (Laily &
Matulessy, 2004, dalam Munawaroh, 2012), serta status sosial ekomoni
(House et al., 2010, dalam Santrock, 2011).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
seksual dapat dipengaruhi oleh faktor internal, seperti perubahan hormon,
kepercayaan diri, konsep diri, dan rasa ingin tahu. Sementara itu, faktor
eksternal yang mempengaruhi, seperti agama dan keimanan,
perkembangan dan kemajuan teknologi, kebebasan pergaulan akibat
permintaan pacar, adanya penundaan usia kawin, serta keterbatasan
informasi dari orangtua tentang seks.
4. Kemunculan Perilaku Seksual Remaja
Perilaku seksual pranikah remaja dapat terjadi dalam konteks dan
bentuk relasi yang beraneka ragam, seperti :
a. Perilaku seksual dalam relasi romantis atau dengan komitmen
1) Berpacaran
Menurut Duvall dan Miller (1985, dalam Wulandari & Muis, 2014)
pacaran adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan tujuan untuk
menemukan dan mendapatkan pasangan dari lawan jenis yang
disukai, dirasa nyaman, dan dapat mereka nikahi. Meier (2003,
dalam Wulandari & Muis, 2014) menyatakan bahwa pacaran
merupakan prediktor terkuat inisiasi aktivitas seksual.
2) Kohabitasi
Kohabitasi mengacu pada hidup bersama dan melakukan hubungan
seksual meskipun tidak menikah (Santrock, 2011). Menurut
Wilson dan Stuchbury (2010, dalam Santrock, 2011), sejumlah
pasangan memandang kohabitasi bukan sebagai pendahulu
pernikahan namun sebagai sebuah gaya hidup.
b. Perilaku seksual tidak tetap (casual sex)
Casual sex mengacu pada pertemuan seksual singkat antara orang
atau pengalaman seksual tanpa adanya komitmen dalam suatu
hubungan (Bersamin, Zamboanga, Schwartz, Donnellan, Hudson,
Weisskirch, Kim, Agocha, Whitbourne, Carawa, 2013).
1) Hookup
Hookup dapat diartikan sebagai suatu pertemuan seksual antara
seseorang yang tidak mengenal satu sama lain pada level yang
dalam (Paul & Hayes, 2002 dalam Lehmiller, 2014). Pertemuan
tersebut, juga dikenal sebagai "one night stand", yang biasanya
muncul setelah malam di bar atau setelah pesta. Penelitian
menemukan bahwa hookup berkaitan erat dengan penggunaan
alkohol (Paul, McManus, & Hayes, 2000).
2) Friends with benefit (FWB)
Menurut Lehmiller (2014), friends with benefit biasanya dianggap
sebagai hubungan di mana dua teman baik memutuskan untuk
menjadi terlibat secara seksual. Bisson dan Levine (2009, dalam
Lehmiller, 2014) mendefinisikan friends with benefit sebagai suatu
relasi pertemanan atau persahabatan yang agak khas, di mana
dalam relasi tersebut kedua individu kadang-kadang dapat
melakukan hubungan seksual. Dalam relasi friends with benefits
ini, individu akan berusaha mempertahankan kedekatan dan relasi
seksual tanpa mengembangkan atau tidak membangun perasaan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual
pranikah remaja dapat dilakukan atau terjadi dalam konteks relasi romantis
dan disertai komitmen, seperti relasi berpacaran dan kohabitasi. Selain itu,
perilaku seksual juga dapat terjadi dalam konteks casual sex atau tanpa
adanya komitmen dalam relasi, seperti hookup dan friends with benefit
(FWB).
B. KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA
1. Definisi Komunikasi Interpersonal
Zolten dan Long (2006) mendefinisikan komunikasi sebagai proses
mengirimkan suatu informasi dari satu orang kepada orang lain. Runcan,
Constantineau, Ielics, dan Popa (2012) mendefinisikan komunikasi
sebagai proses alami dari penyampaian ide, informasi, emosi, perasaan
dari seseorang kepada orang lain dalam waktu tertentu. Popescu (2012)
mendefinisikan komunikasi sebagai interaksi psikososial yang mendasar
dari orang dengan tujuan menyampaikan informasi untuk mencapai
stabilitas atau perubahan perilaku individu dan kelompok. Komunikasi ini
dapat berbentuk verbal maupun non-verbal, dapat bersifat positif atau
negatif, serta efektif ataupun tidak efektif (Zolten & Long, 2006). Dengan
demikian, komunikasi dapat disimpulkan sebagai proses mengirimkan
suatu ide, informasi, emosi, perasaan dari satu orang kepada orang lain
untuk menyampaikan informasi, dan mencapai stabilitas atau perubahan
Komunikasi dapat dibedakan menjadi komunikasi intrapersonal,
komunikasi interpersonal, dan komunikasi massa. Komunikasi dalam
keluarga termasuk dalam komunikasi interpersonal. Hal ini didukung dari
pendapat Ramadhani (2013) yang menyatakan bahwa komunikasi
interpersonal yang paling sederhana dapat diamati di dalam keluarga.
Komunikasi interpersonal merupakan proses komunikasi yang terjadi
antara satu individu dengan individu lain sehingga memerlukan tanggapan
(feedback) dari orang lain (Khairani, 2015). Devito (dalam Eliyani, 2013)
mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai pengiriman pesan-pesan
dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang
dengan pemberian tanggapan secara langsung. Sementara Suranto (2011,
dalam Rasika, 2015) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai
komunikasi yang dilakukan dengan orang lain dan dapat terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa komunikasi interpersonal adalah proses komunikasi atau
pengiriman pesan-pesan yang terjadi secara langsung maupun tidak
langsung antara satu individu dengan individu atau kelompok lain dan
memerlukan tanggapan (feedback).
2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan menjadi
awal dari setiap interaksi yang dilakukan manusia (Susanto-Sunario,
komunikasi (Runcan et al., 2012). Melalui komunikasi, orangtua dapat
mengidentifikasi, mengetahui, dan kemudian memuaskan kebutuhan dari
anaknya Selain itu, interaksi komunikasi yang dimiliki juga dapat
menujukkan seperti apa hubungan antara orangtua dan anaknya (Runcan et
al., 2012). Komunikasi yang dilakukan secara efektif oleh orangtua dan
anak dapat membantu meningkatkan hubungan antara orangtua dan anak,
serta dapat menghasilkan keharmonisan (Zolten & Long, 2006; Runcan et
al., 2012). Melalui feedback yang diterima ketika berkomunikasi, interaksi
antara orangtua dan anak menjadi lebih kuat dan efektif (Runcan et al.,
2012).
Komunikasi dapat membangun dan menjaga hubungan antara
orangtua dan anak(Runcan et al., 2012). Menurut Zolten dan Long (2006),
penting bagi orangtua untuk berkomunikasi secara terbuka dan efektif
dengan anaknya. Komunikasi yang terbuka dan efektif tidak hanya
bermanfaat terhadap anak, tetapi juga bermanfaat bagi setiap anggota
keluarga lainnya. Jika orangtua berkomunikasi secara terbuka dan efektif,
kemungkinan anak-anak mereka juga akan melakukannya (Zolten dan
Long, 2006). Anak akan belajar bagaimana caranya untuk berkomunikasi
dengan melihat orangtuanya. Melalui cara berkomuniksi yang ditunjukkan
orangtua ini, anak akan mulai membentuk ide dan kepercayaan mengenai
dirinya. Sosok kedewasaan anak akan dibentuk oleh keterbukaan orangtua
dalam bertindak atau dalam membuat perubahan yang mengutamakan
didengar dan dipahami oleh orangtuanya. Hal tersebut dapat mendorong
peningkatan harga diri anak. Selain itu, komunikasi yang efektif yang
dilakukan oleh orangtua memungkinkan anak untuk lebih mengikuti apa
yang dikatakan oleh orangtuanya (Zolten & Long, 2006).
Jika ditinjau lebih jauh, keluarga merupakan wadah di mana anak
pertama kali belajar dan mengetahui segala macam informasi dalam
kehidupannya termasuk mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, seperti
seksualitas. Komunikasi merupakan salah satu media penyampaian
informasi dari orangtua ke anak karena tidak ada aspek dari hubungan
antara orangtua dan anak yang tidak melibatkan komunikasi (Runcan et
al., 2012). Melalui komunikasi, orangtua dapat menularkan nilainya yang
berhubungan dengan seksualitas, serta dapat meningkatkan kesempatan
anaknya mengadopsi kebiasaan maupun perilaku seksual yang aman dan
sehat (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015). Menurut Likewise
dan Weinman (2008), remaja yang memiliki komunikasi yang baik dengan
orangtuanya akan mendapatkan informasi yang baik mengenai bahaya dari
penyakit seksual sehingga mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam seks
yang tidak berisiko dibandingkan mereka yang tidak berkomunikasi
dengan keluarganya (dalam Gumban, Martos, Rico, Bernarte, & Tuason,
2016). Apabila orangtua mampu menerapkan komunikasi efektif tentang
seksualitas dalam keluarga, maka remaja akan memiliki sikap negatif
terhadap pergaulan bebas antar lawan jenis. Komunikasi efektif tersebut
nilai-nilai mengenai seksualitas yang lebih tepat dari orangtuanya (Prihartini,
Nuryoto, & Aviatin, 2000).
Orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan
pendidikan seks kepada anaknya. Beberapa studi yang dilakukan di negara
barat menemukan bahwa peningkatan komunikasi orangtua dan anak
mengenai seks berhubungan dengan penundaan untuk melakukan
hubungan seksual (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015).
Kemunikasi yang terbuka mengenai seks antara orangtua dan remaja
menghasilkan perilaku seksual yang aman (Richards, 2013, dalam
Gumban, et al., 2016). Komunikasi yang positif antara orangtua dan anak
dapat membantu anak untuk menentukan nilai pribadinya dan membuat
keputusan yang sehat terkait seksual (Gumban, Martos, Rico, Bernarte, &
Tuason, 2016). Di samping itu, orangtua diharapkan dapat memberikan
informasi yang akurat mengenai hal-hal seksual sehingga dapat membantu
perkembangan nilai seksual yang positif pada anaknya (Seloilwe et al,
2015) dan mempengaruhi perilaku anak ke arah yang positif pula
(Ramadhani, 2013).
Akan tetapi, anak cenderung menghindari komunikasi mengenai
seksualitas dengan orangtuanya karena merasa kurang nyaman dengan
gaya komunikasi yang ditunjukkan oleh orangtuanya (Wang, 2016). Selain
itu, orangtua juga cenderung menutupi masalah-masalah yang
berhubungan dengan seksualitas, kurang peka terhadap perkembangan
remaja mengenai masalah seksualitas. Penelitian dari Gumban et al.,
(2016) juga menemukan bahwa responden yang terlibat dalam seks
beresiko memiliki komunikasi yang kurang atau rendah dengan
orangtuanya. Komunikasi yang kurang menyebabkan anak memiliki
pengetahuan yang kurang pula mengenai seksual dan menyebabkan
hubungan antara orangtua-anak menjadi jauh sehingga anak berpaling ke
sumber informasi lain yang mungkin kurang akurat, seperti teman
(Sarwono, 2010).
3. Dampak-Dampak Komunikasi
Komunikasi diasumsikan sebagai sesuatu yang sangat penting pada
saat ini (Littlejohn & Foss, 2011). Komunikasi dapat membentuk rasa
saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang,
menyebarkan ilmu pengetahuan, dan melestarikan peradaban seseorang.
Akan tetapi, komunikasi juga dapat menimbulkan perpecahan,
menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, menghalangi
kemajuan, dan menghambat pemikiran (Khairani, 2015). Menurut Runcan
et al. (2012), nada tenang yang digunakan dalam komunikasi
orangtua-anak mengarahkan untuk membentuk dan menginduksi kenyamanan
secara psikologis, serta pesan menjadi lebih cepat dan dapat dipahami
dengan lebih baik dibandingkan orangtua menggunakan nada marah.
pada perasaan panik, takut, kesalahpahaman dari pesan, dan penolakan
terhadap proses komunikasi.
Keterbukaan dalam berkomunikasi mampu menumbuhkan sikap
saling percaya, sikap objektif, berusaha untuk selalu mencari informasi
akurat dan terpercaya daripada hanya sekedar isu-isu belaka (Brooks &
Emmert, 1977). Kualitas hidup manusia dan hubungan manusia dengan
sesama manusia dapat ditingkatkan dengan meningkatkan komunikasi
yang dimiliki (Khairani, 2015). Komunikasi yang timbal balik dan tidak
sepihak dapat berkontribusi secara signifikan terhadap keterbukaan dan
pembentukan hubungan dalam interaksi orangtua dan anak (Runcan et al.,
2012). Leeds, Gallagher, Wass, Leytem, dan Shlay (2014) menemukan
bahwa komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak berkorelasi
secara kuat dengan penurunan tingkat kehamilan remaja, maupun dalam
penurunan perilaku merokok, alkohol, penggunaan obat-obat lainnya,
penurunan perilaku seksual berisiko, dan penurunan perilaku kenalakan
remaja yang lainnya.
Seloilwe, et al. (2015) berpendapat bahwa remaja ingin untuk
berbicara dengan orangtuanya mengenai seksualitas, tetapi orangtua
merasa tidak nyaman untuk membicarakan hal tersebut. Komunikasi yang
dibatasi tersebut dapat menimbulkan konflik dalam hubungan
orangtua-anak dan dapat menyebabkan remaja melakukan kenakalan,
penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, hubungan seksual, kinerja
(Brody et al., 1999, dalam Davidson & Cardemil, 2009). Menurut
Sarwono (2010), komunikasi yang kurang dari orangtua menyebabkan
anak memiliki pengetahuan yang kurang tentang seksual. Hal ini
dikarenakan orangtua yang merasa tabu untuk membicarakan seks dengan
anak, serta hubungan antara orangtua dan anak yang sudah terlanjur jauh
sehingga anak menjadi berpaling ke sumber informasi lain yang mungkin
tidak akurat, seperti teman.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi seksual memiliki dampak yang positif dan negatif terhadap
perkembangan seseorang. Komunikasi efekitf yang dilakukan dapat
menghasilkan dampak yang positif, seperti membentuk rasa saling
pengertian, menumbuhkan, sikap saling percaya, sikap objektif, serta dapat
berpengaruh pada penurunan perilaku seksual berisiko, penurunan tingkat
kehamilan remaja, dan penurunan perilaku kenalakan remaja yang lainnya.
Selain itu, komunikasi yang efektif juga dapat membentuk dan
menumbuhkan kenyamanan secara psikologis sehingga pesan menjadi
lebih cepat dan dapat dipahami dengan baik. Sementara itu, komunikasi
yang kurang atau dibatasi dapat menghasilkan berbagai dampak negatif,
seperti menimbulkan kesalahpahaman terhadap pesan, kebencian,
menghalangi kemajuan, menghambat pemikiran atau pengetahuan menjadi
kurang, serta dapat menjadi pemicu timbulnya tindakan kenakalan dari
anak, seperti penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, hubungan seksual,
4. Dimensi Komunikasi
Komunikasi seksual dalam keluarga diukur menggunakan dua
dimensi dari Warren dan Neer (1986), yaitu dimensi kenyamanan
(comfort) dan dimensi informasi (information).
a. Dimensi Kenyamanan
Dimensi kenyamanan mengukur tingkat keterbukaan yang dirasakan
mengenai diskusi seks dalam keluarga.
b. Dimensi Informasi
Dimensi informasi mengukur persepsi dari jumlah informasi yang
dipelajari dan dibagikan selama diskusi. Dimensi informasi termasuk
karena rumah dapat berfungsi sebagai sumber utama dari pembelajaran
seksual hanya melalui berbagi informasi yang efisien.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua dimensi komunikasi
seksual sebagai dasar pembuatan skala yang digunakan untuk mengukur
komunikasi seksual yang dimiliki atau dilakukan anak di dalam keluarga.
C. SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS
1. Definisi Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 1993).
LaPierre (1934, dalam Azwar, 2005) mendefinisikan sikap sebagai suatu
respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Morissan (2013)
dari individu lainnya. Sikap menunjukkan pola atau cara yang relatif
konsisten mengenai bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan
bertingkah laku dalam berbagai situasi yang dihadapi. Menurut Campbel
(1950, dalam Notoatmodjo 1993) sikap adalah sekumpulan respon yang
konsisten terhadap objek sosial. Sementara Thurstone, Linkert, dan
Osgood (dalam Azwar, 2005) mendefinisikan sikap sebagai suatu bentuk
evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung
atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
pada objek tersebut (Berkowitz, 1972, dalam Azwar, 2005). Sementara
Azwar (2009) menyebutkan bahwa sikap dapat bersifat positif maupun
bersifat negatif. Sikap positif memiliki kecenderungan tindakan yaitu
mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Di sisi lain,
sikap negatif memiliki kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,
membenci, dan tidak menyukai objek tertentu. Munurut Mar’at (1982),
sikap belum berupa suatu tindakan atau aktifitas, tetapi masih berupa
predisposisi tingkah laku. Sifat ini juga sering digunakan untuk
memprediksi perilaku (Morissan, 2013).
Sikap seksual merupakan kepercayaan implisit dan asumsi yang
berkaitan dengan aktivitas seksual (Christlieb, 2016). Menurut Sprecher
dan McKinney (1993), sikap memiliki pengaruh yang besar pada
kemungkinan perilaku seksual untuk dilakukan atau tidak oleh seseorang.