• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ruas lebih besar dibandingkan dengan ruas tulang leher maupun tulang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ruas lebih besar dibandingkan dengan ruas tulang leher maupun tulang"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

8 1. Anatomi Vertebrae Lumbal

Vertebrae lumbal atau tulang pinggang merupakan bagian dari kolumna vetrebralis yang terdiri dari lima ruas tulang dengan ukuran ruas lebih besar dibandingkan dengan ruas tulang leher maupun tulang punggung (thoraxalis). Di bagian atas tulang lumbal terdapat tulang punggung, yang persendianya disebut thoracolumbal joint atau articulation thoracolumbalis. Di bagian bawah tulang lumbal terdapat tulang sacrum dan persendianya disebut lumbosacral joint atau articulation lumbosacralis (Pearce C. Evelyn, 2000).

Vertebrae lumbal mempunyai bentuk melengkung kearah depan atau disebut juga lordosis. Dilihat dari lengkunganya, vertebra lumbal termasuk kedalam vertebrae sekunder karena lengkungan dari vertebrae lumbal tumbuh setelah lahir yaitu pada saat seorang anak belajar berjaan pada usia satu sampai satu setengah tahun (Ballinger W.Philip, 2005). Vertebrae lumbal terdiri atas lima ruas tulang yang tersusun memanjang ke arah bawah. Ruas vertebrae lumbalis tersebut lebih besar dari ruas vertebrae thorakalis dan dapat dibedakan oleh karena tidak adanya bidang untuk persendian dengan iga. Di antara ruas-ruas vertebrae lumbalis tersebut terdapat penengah ruas tulang yang tersusun dari tulang muda yang tebal dan erat, berbentuk seperti cincin yang memungkinkan terjadinya pergerakan antara ruas-ruas tulang yang letaknya sangat berdekatan, (Ballinger W.Philip, 2005).

(2)

Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 – 67 cm. seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang-tulang terpisah dari 19 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang. Kolumna vertebrae thorakal atau ruas tulang punggung, 5 vertebrae lumbal atau ruas tulang pinggang, 5 vertebrae sacrum atau ruas tulang belakang, 4 vertebrae koksigeus atau ruas tulang tungging.

Keterangan Gambar : 1. Curvature cervical 2. Curvature thoraxalis 3. Curvature lumbalis 4. Curvature sacralis 5. Vertebrae cervical 6. Vertebrae thoraxal 7. Vertebrae lumbal

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Belakang (Netter , 2010)

Vertebrae lumbal memiliki ciri-ciri sebagai beri1kut, korpusnya besar, tebal dan berbentuk oval, mempunyai pedikel yang pendek dan tebal, foramen intervetrebralisnya kecil dan bentuknya menyerupai segitiga. Processus spinosusnya tebal dan luas serta arahnya agak horizontal.

(3)

Bagian-bagian anatomi yang membentuk vertebrae lumbal menurut Pierce,(2006) adalah :

a) Korpus vertebrae

Korpus merupakan bagian vertebrae lumbal yang mempunyai bentuk tebal, besar dan berbentuk lonjong (oval) dengan garis poros yang terletak transversal. Ukuranya lebih besar dari korpus pada cervical atau daerah thorakal dan pada bagian anterior sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bagian posterior. Korpus vertebrae lumbal mempunyai bentuk silinder, sehingga dapat berfungsi sebagai penyangga dan pelindung dari bagian foramen intervetebralis.

b) Arkus vertebrae

Arkus terletak pada bagian posterior dan dibentuk oleh dua pedikel dan dua lamina. Antara korpus vertebrae dengan arkus vertebrae lumbal berfungsi untuk menyokong prosessus spinosus yang arahnya ke belakang, prosessus transversus yang arahnya ke samping dan prosessus artikularis superior – inferior.

c) Pedikel

Pedikel mempunyai dua buah tulang yang pendek dan kuat.

Timbul dari bagian atas korpus, sehingga cekungan inssisura vertebralis inferior yang terletak pada bagian bawah lebih dalam dari cekungan inssura verebralis superior yang letaknya pada bagian atas dan keduanya membentuk foramen intervetebbralis yang merupakan bagian dari tempat keluarnya sumsum saraf.

(4)

d) Lamina arkus vertebra

Lamina arkus vertebra merupakan susunan dari dua buah tulang yang bentuknya berasal dari ujung pedikel.

e) Prossesus spinosus

Vertebra lumbalis mempunyai bentuk prossesus spinosus yang lebar dan besar, tumpul serta mendatar kea rah belakang dan berbentuk persegi atau seperti kapak kecil dan lebih kecil pada bagian vertebrae lumbal ke lima.

f) Prossesus tranversus

Prosessus tranversus tipis dan mengarah ke belakang dan ke samping. Prossesus tranversus lumbal ketiga adalah yang terpanjang, sedangkan prossesus tranversus vertebra kelima lebih pendek dan lebih tipis dari ruas yang lainya. Pada bagian belakang dari batas bawah pada setiap prossesus tranversus.

g) Prossesus artikularis

Prosessus artikularis terletak pada bagian sisi dari persambungan antara pedikel dengan lamina. Permukaan atasnya cekung dan mengarah ke depan dank e tengah. Fasies artikularis inferior bentuknya cembung dan mengarah ke depan serta ke sisi samping. Ketika vertebra saling bersambungan, maka fasies artikularis inferior berada di atas fasies artikularis superior dari bagian bawah vertebra. Prosesus artikularis ini berperan pada pembentukan diskus artikularis yang membagi prosessus artikularis menjadi prosessus artikularis inferior dan superior.

(5)

Keterangan Gambar:

1. Prosessus tranversus 2. Discus intervertebralis 3. Foramen intervertebralis 4. Facet joint

Gambar 2.2 Gambar anatomi Vertebra Lumbal (Netter, 2010)

Keterangan :

1. Corpus 2. Pedicle

3. Foramen vertebrae 4. Prosessus spinosus

Gambar 2.3 Vertebra Lumbal Axial (Netter, 2010)

Dalam pencitraan Magnetik Resonance Imaging, anatomi dari vertebrae lumbal yang banyak dievaluasi adalah

a) Corpus Vertebrae Lumbal

Corpus tiap vertebra bersifat masif dan berbentuk ginjal. Pedikel kuat dan mengarah ke belakang. Lamina tebal dan foramen vertebra berbentuk segitiga. Processus

(6)

transversus panjang dan langsing. Prooessus spinosus pendek, rata, segiempat dan menjulur lurus.

b) Diskus interverlebralis

Diskus intervertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana terjadi banyak gerakan columna vertebralis. Struktur ini dapat dipandang sebagai diskus semi elastis, berfungsi sebagai peredam benturan bila beban pada columna vertebralis mendadak bertambah. Setiap diskus terdiri atas bagian tepi yang disebut anulus tibrosus dan bagian pusat yang disebut nucleus pulposus. Anulus fibrosus terdiri atas jaringan tibrokartilago dengan serat kolagen yang tersusun sebagai lamel-lamel konsentris.

Keterangan :

1. Anulus fibrosus 2. Nucleus pulposus

Gambar 2.4 Discus intervetrebralis (Netter,2010) c) Ligamentum

Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan turun sebagai suatu pita utuh menyusun permukaan anterior dan posterior columna vertebra, dari cranium sampai sacrum. Ligamentum longitudinal anterior

(7)

lebar dan menempel kuat pada tepi depan sisi corpus vertebra dan pada diskus interverlebralis. Ligamentum longitudinal posterior lemah dan sempit melekat pada tepi posterior diskus. Ligamentum flavum menghubungkan dua lamina berdekatan.

d) Conus Medularis

Conus medularis, yang terietak antara titik akhir vertebra thoraks atau T-12 dan pada awal lumbar vertebra atau L-1. Terkadang juga terietak antara L-1 dan L-2.

Persarafan yang lewat melalui konus medullaris diketahui mempengaruhi fungsi alat keiamin, kandung kemih, kaki dan usus. Saraf ini datang ke ujung runcing dimana akar saraf berasal dan menjuntai dari sumsum tulang belakang.Struktur ini disebut sebagai cauda equine.

Kadang-kadang penyempitan atau tekanan yang tidak diinglnkan mempengaruhi fungsi saraf yang terletak di konus madullaris. Kondisi ini disabut sebagai sindrom medullaris. Tekanan ekstemal inl dapat berasal darl tumor atau hematoma. Gejala umum darl sindrom medullaris adalah nyeri di punggung bawah, mati rasa di kaki, mati rasa di selangkangan atau paha, kesulitan dalam barjalan, lmpotensi,kehilangan kontrol atas kandung kemih dan melemahnya kaki.

(8)

e) Cerebro spinal Fluid

Cerebro spinal Fluid dihasilkan oleh plaxsus choroldeus, dalam vantrikel lateral, tertius dan quartus.

Keluar dari sistam ventrikel melalui tiga foramen yang terdapat pada atap ventrikel quartus, dan masuk ke cavum subarachnoid. Cavum subaracnold pars spinelis meluas ke bawah sampai batas bawah sacrum-2. Cerebro spinal Fluid merupakan cairan yang melindungi medulla spinalis.

2. Herniated Nucleus Pulposus (HNP) pada Lumbal.

Herniated Nucleus Pulposus (HNP) atau Potrusi Diskus lntervertebralis (PDI) adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan pada diskus intervenebralis kedalam kanalis vertebralis atau ruptur pada diskusvertebra yang diakibatkan oleh menonjolnya nuklues pulposus yang menekan anulus fibrosus yang menyebabkan kompresi pada syaraf.Dengan kata lain, Sebuah diskus akan mengalami hernia saat jely nukleus keluar dan mendorong keluaran Anulus Fibrosus dan menyebabkan nyeri punggung. Pada gambaran MRI,akan tampak isointensse sampai hyperintense pada pembobotan T2

Degenerasi diskus dan herniasi diskus intervertebral merupakan kelainan yang sering dijumpai pada orang dewasa.

Didaerah lumbal, diskus kelima dan keempat paling sering terkena.

Diskus interverterbra bertugas rangkap, yaitu untuk artikulasi (memberikan fleksibilitas kepada tulang belakang) dan sebagai peredam kejut (shock absorber, mencegah cedera pada tulang). Pada herniasi atau robekan pada diskus intervertebral ditemukan prostrusi

(9)

nucleus pulposus Bersama sebagian anulus ke kanalis spinal atau foramen intervertebral. Karena ligament longitudinal posterior di daerah lumbal dibagian tengahnya lebih kuat, maka protrusi diskus cenderung untuk terjadi ke arah posteriolateral dengan mengkompresi akar syaraf spinal, menyebabkan iritasi dengan rasa nyeri di daerah sepanjang dermatome syaraf spinal tersebut.

Berbagai factor dapat berperan sebagai penyebab rupture diskus intervertebral. Banyak kasus yang dapat dihubungkan dengan trauma, baik yang akut maupun yang berat, maupun yang ringan atau berulang, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (membungkuk, mengangkat barang berat, terputar dan sebagainya). Factor lain yang berpengaruh ialah adanya perubahan degenerative di diskus yang terjadi dengan melanjutnya usia. (Arjatmo T,1983)

Hernia nucleus pulposus (HNP) kebanyakan juga disebabkan olah karana adanya suatu trauma darajat sedang yang bemlang mengenal discus intarverlabralis sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Pada kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat dan gajala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan atau bahkan dalam beberapa tahun.

Kemudian pada generasi diskus kapsulnya mendorong ke arah medulla spinalis. atau mungkin ruptur dan memungkinkan nucleus pulposus terdorong terhadap sakus doral atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal (Helmi. 2012).

Pada tahap pertama sobeknya annulus fibrosus bersifat sirkum ferensial. Karena adanya gaya traumatik yang berulang. sobekan

(10)

tersebut menjadi lebih besar dan timbul sobekan radial. Apabila hal ini telah terjadi, maka risiko HNP hanya menunggu waktu dan trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu dapat diasumsikan sebagai gaya traumatik ketika hendak menegakkan badan waktu terpeleset, mengangkat benda berat dan sebagainya. Hernia nucleus pulposus dapat mencapai ke korpus tulang belakang diatas atau di bawahnya.

Bisa juga masuk langsung ke kanalis vertebralis.

Pengobatan Hernia nucleus pulposus biasanya konservatif.

Penderita disuruh istirahat, berbaring ditempat tidur untuk beberapa waktu misalnya 4 minggu. Khasiat traksi panggul pada keadaan ini ialah melalui istirahat yang terjadi sewaktu dilakukan traksi, dan bukan karena vertebra diregangkan. Anestesi local, misalnya suntikan kofein prokain (impletol) dicampur kortikosteroid ke daerah yang nyeri atau ke akar syaraf dapat juga memberikan khasiat baik terhadap nyerinya.

Khasiat obat pelemas otot (muscle relaxant) ialah melalui efek sedasi atau penenangnya. Untuk beberapa waktu penderita dianjurkan untuk membatasi gerakan membungkuk dan tidak mengangkat beban berat.

Dapat juga diberikan korset pinggang untuk membatasi gerakan.

Setelah fase akut selesai penderita disuruh melakukan latihan-latihan secara teratur, diantaranya latihan postural untuk menguatkan kelompok otot-otot, fleksor, dan ekstensor di daerah pinggang dan abdomen, selain itu dianjurkan untuk memperhatikan berat badanya, (Arjatmo T,1983).

(11)

3. Pencitraan Magnetik Resonane Imaging (MRI)

Pencitraan resonansi magnetik awalnya disebut Nuclear Magnetic Resonance (NMRI), Hal ini dikarenakan dasar pencitaan bersumber pada pemanfaaatan inti atom (Nucleus) positif (proton) yang barinteraksi dengan gelombang radio dalam medan magnet yang kuat. Magnetik Resonance Imaging terdiri dari beberapa komponen utama. diantaranya, magnet utama, gradien koil, koil pemancar (transmitter), koil penerima (receiver) dan komputer.

a) Magnet Utama

Magnet Utama dipakai untuk membangkitkan medan magnet berekekuatan besar yang mampu menginduksi jaringan tubuh sehingga menimbulkan magnetisasi.

b) Gradien Koil

Gradien koil dipakai untuk membangkitkan medan magnet gradien yang berfungsi untuk menentukkan irisan, pengkodean frekuensi, dan pengkodean fase. Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus, yaitu bidang X,Y, dan Z.

Peranannya akan saling bergantian berkaitan dengan potongan yang dipilih, axial, sagital, koronal. Secara sumbu koordinat ruang (x,y,z) kumparan gradien dibagi tiga, yaitu : kumparan gradien pemilihan Irisan (slice) disebut Gz.

kumparan gradien pemilihan fase disebut Gy, dan kumparan gradien pemilihan frekuensi (pembacaan) disebut Gx.

(12)

c) Koil Radio frekuensi

Koil radiofrekuansi terdapat 2 tipe,yaitu koil pemancar dan penerima. Koil pemancar berfungsi untuk memancarkan gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi. Sedangkan koil penerima berfungsi untuk menerima sinyal output dari sistem setelah proses eksitasi terjadi (Peggy dan Freimarck 2005).

d) Sistem Komputer

Sistem komputer sebagai pengendali dari sebagian besar peralatan MRI. Dengan kemampuan piranti Iunaknya yang besar komputer mampu melakukan tugas-tugas multi (multitasking). Diantarnnya adalah operator Input, pamlihan potongan, kontrol sistem gradien. kontrol sinyal RF dan lain- lain. Di samping itu, komputer juga berfungsi untuk mongolah sinyal hingga menjadi citra MRI yang bias dilihat mlalui Iayar monitor. (Agustinus ,2000).

4. Dasar pancitraan MRI a) Spin Inti atom Hidrogen

Berdasarkan sifat magnetiknya inti atom terdiri dari proton dan neutron. Pergerakan presisi pada sumbu (spinning) muatannya seperti bumi. sehingga mempunyai kutub utara dan kutub selatan yang akan menghasikan medan magnet eksternal. Spinning inilah yang menghasiikan moment dipole magnetic disebut juga dengan spin. Pemanfaatan atom hidrogen pada MRI karena hidrogen merupakan jaringan yang mendominasi jaringan biologi tubuh.

(13)

Disamping itu hydrogen juga hanya mempunyai satu proton, tanpa neutron oleh karena itu dapat dimungkinkan adanya momen dipole magnetic yang kuat dan akan membuat fenomena resonansi.

Hal tersebut menyebabkan sinyal hidrogon yang dihasilkan 1000 kali lebih besar dari lainnya. Dalam keadaan normal, Spinning proton atom hidrogen adalan random sehingga orietasi dalam jaringan tubun manusia tidak menimbulkan nilal magnetisasi atau sama dongan nol.

Jika spinning proton diletakkan dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat. akan dihasikan suatu orientasi proton yang searah (proton dengan kuat energi yang lebih rendah) dan proton yang berlawanan arah Oriantasinya (proton dengan kuat anergl lebih tinggi) sehingga terbentuk nilai magnetisasi longitudinal (searah sumbu z).

Proton individual setiap inti tidak berorientasi pada sumbu z.

tapi pada dirinya sendiri sementara kecepatan frekuensi presisi proton atom H tergantung pada kuat medan magnet ekstenal semakin kuat medan magnet ekstemal, semakin cepat presisi proton.

b) Presisi Dan Frekuensi Larmor

Kecepatan atau frekuensi presisi proton atom hidrogen Tergantung pada kuat medan magnet yang diberikan pada jaringan dan nilai gyromagnetis inti atom.Semakin besar kuat medan magnet dan nilai gymmagnetticasion maka semakin cepat presisi

(14)

proton. Frekuensi presisi atom diketahui melalui sebuah persamaan yang disebut persamaan larmor :

𝜔 = 𝛾𝛽

Keterangan :

𝜔 = frekuensi Larmor Proton (MHz)

𝛾 = koefisien gyromagnetic (MHz/T)

𝛽 = medan magnet eksternal (T) (Westbrook and Kaunt ,2011)

c) Sinyal MRI

Jika receive coil ditempatkan pada area medan magnet yang bergerak (NMV pada transverse plane) maka voltage akan terinduksi dalam receiver coil. Voltage ini merupakan MR sinyal, bila masih banyak NMV akan menimbulkan sinyal yang kuat dan tampak terang pada gambar. Bila NMV lemah akan sedikit menimbulkan sinyal MR dan akan tampak gelap pada gambar.

Pada saat pulsa RF dihentikan magnetic moment pada bidang transversal yang dalam keadaan in phase akan berubah menjadi de phase yang menyebabkan magnitude magnetisasi pada bidang transversal akan menurun sehingga induksi pada koil penerima juga akan semakin melemah yang dikenal dengan sinyal Free Induction Decay (FID). Sinyal FID ini agar dapat terdeteksi diperlukan aplikasi pusa RF sebesar 180º.

(15)

d) T1 Dan T2

Pada saat pulsa RF dihentikan (off). akan terjadi proses dimana NMV kehilangan energi yang dikenal dengan relaksasi. Ada dua fenomena yang terjadi pada saat terjadinya relaksasi yaitu jumlah magnetisasi pada bidang longitudinal secara perlahan semakin meningkat yang dikenal dengan peristiwa recovery dan pada saat yang sama jumlah magnetisasi pada bidang transversal akan meluruh yang dikenal dengan decay. Recovery pada magnetisasi longitudinal disebabkan oleh suatu proses yang disebut dengan T1 recovery, dan decay pada magnetisasi transversal disebabkan suatu proses yang disebut dengan T2 decay.

T1 recovery disebabkan nuklei memberikan energinya ke lingkungan sekitamya atau lattice, sehingga sering disebut dengan Spin-Lattice Relaxation. Energi yang dibebaskan ke lingkungan sekitar akan menyebabkan magnetisasi bidang longitudinal akan semakin lama semakin menguat (recovery) dengan waktu recovery yang konstant dan berupa proses eksponensial yang disebut waktu relaksasi T1. Yaitu waktu yang diperlukan suatu jaringan untuk mencapai pemulihan magnetisasi longitudinal hingga 63%.

Sebagai contoh adalah lemak dan cairan cerebrospinal. Lemak memiliki waktu relaksasi T1 yang pendek sekitar 180 ms sedangkan untuk cairan cerebrospinal memiliki waktu relaksasi T1 yang panjang berkisar 2000 ms. Sehingga untuk mencapai waktu relaksasi T1 (63%), lemak akan lebih cepat dibanding dengan

(16)

cairan cerebrospinal. Dengan demikian untuk pembobotan T1, jaringan dengan waktu relaksasi T1 pendek (lemak) akan tampak terang dan jaringan dengan waktu relaksasi T1 panjang (cairan cerebrospinal) akan tampak gelap.

T2 decay dihasilkan oleh adanya pertukaran energi antara nuclei yang satu dengan nuclei lain disekitarnya. Pertukaran energi antar nuclei ini dikenal dengan spin relaxation dan akan menghasilkan decay pada magnetisasi transversal. Waktu yang diperlukan suatu jaringan kehilangan energinya hingga 37% dikenal dengan waktu relaksasiT2. Waktu relaksasi T2 akan lebih pendek dari pada waktu relaksasi T1. Secara umum Pada pembobotanT2, jaringan dengan waktu relaksasi T2 panjang (seperti cairan cerebrospinal sekitar 300 ms) akan tampak terang dan jaringan dengan waktu relaksasi T2 pendek (seperti lemak sekitar 90 ms) akan tampak gelap. T1 adalah waktu yang diperlukan agar recovery magnetisasi longitudinal mencapai 63%. T2 adalah waktu yang diperlukan agar magnetisasi transversal hilang sebesar37%

(Westbrookdan Kaut,2011).

e). Pulse Sequence MRI

Pulse sequence didefinisikan sebagai pulsa RF secara Berseri, aplikasi gradient, dan intervensi periode waktu. Di definisikan juga sebagai serangkaian even yang meliputi pulsa radiofrekuensi, pengaktifan gradien, dan pengumpulan sinyal yang dilakukan untuk menghasilkan gambaran MRI. Beberapa jenis sekuen yang sering digunakan dalam diagnostik klinis antara lain

(17)

Sekuen Spin Echo, Fast Spin Echo, Gradient Echo, Inversion Recovery, Echo Planar Imaging, serta Magnetic Resonance Angiography. Setiap sekuen memiliki parameter yang berbeda beda untuk menghasilkan pembobotan yang berbeda-beda pula.

Pembobotan kontras pada masing-masing sekuen tersebut memiliki karakteristik tertentu sehingga dapat digunakan untuk menilai suatu proses patologis. Beberapa contoh pulse sequence yang sering digunakan diantaranya:

1) Spin Echo (SE)

Menurut Westbrook (2014), Spin echo adalah sekuen yang paling banyak digunakan pada pemeriksaan MRI. Pada spin echo, segera setelah pulsa RF 90° diberikan, sebuah FlD segera terbentuk. Dengan menggunakan kekuatan radio frekuensi yang sesuai, akan terjadi transfer NMV bersudut 90° kemudian diikuti dengan rephasing pulse bersudut 180° Spin echo (SE) ini dilakukan dengan mengaplikasikan pulsa 90° eksitasi. diikuti dengan aplikasi pulsa 180° rephasing. Spin Echo merupakan pulsa sekuens standard untuk banyak gambaran yang biasa digunakan pada setiap pemeriksaan. Pembobotan T1 digunakan untuk menampakkan anatomi karena memiliki SNR Yang tinggi bersamaan dengan kontras enchancement yang dapat menampakkan patologi.

(18)

Gambar 2.5 Pulse Sequence spin echo

2) Fast Spin Echo

Fast Spin Echo merupakan salah satu pengembangan dari sekuan Spin Echo. FSE menggunakan train pulse rephrasing 180º, salah satunya mamproduksi spin echo. lemah masing - masing raphasing. tiap phase encoding yang dihasilkan dan data dari echo yang disimpan dalam K Space (Westbrook.2014). Oleh karena itu, beberapa K space akan mengisi tiapTR pada spin echo. K-space akan tarisi Iabih cepat dan waktu scan menurun.

Gambar 2.6 Fast Spin Echo (Gary liney, 2006)

(19)

Sekuen FSE merupakan sekuen dengan aplikasi pulsa 180º rephasing berkali-kali dan menghasilkan multiple echo. FSE merubah gradient encoding phase untuk setiap echo yang dihasilkan. Parameter TE dapat bervariasi dari satu echo ke echo lainya. Echo yang berada pada pertengahan K-space berhubungan dengan resolusi spasial pada citra. Sebagai contoh K-space tengah merupakan kode untuk pembobotan T2 atau phase akhir sedangkan phase awal merupakan kode untuk pembobotan T1 dan PD.

Keuntungan peggunaan sekuen FSE ini sama dengan Spin echo akan tetapi waktu scanning jauh lebih singkat, Banyak Digunakan untuk T2 weighted image karena waktu bisa lebih Singkat. Waktu scanning dapat dikurangi dengan mengurangi Faktor TR, fase encode maupun NSA, jika TR dan NSA dikurangi akan berpengaruh pada image weighting dan SNR. Sedangkan bila mengurangi phase encoding akan menurunkan resolusi. Pada FSE scan time dikurangi dengan cara melakukan lebih dari satu phase encode per TR yang dikenal dengan Echo Train Length (ETL).

Sedangkan keterbatasan dari penggunaan sekuens FSE adalah fat tampak putih pada T2 diakibatkan karena multiple RF pulses sehingga akan mengurangi efek interaksi spin-spin pada lemak (J- coupling). Untuk mengurangi digunakan tehnik fat saturation.

Dengan pengulangan RF pulse dapat meningkatkan efek magnetisation transfer, sehingga otot tampak lebih gelap pada FSE daripada SE. Dengan pengulangan RF pulse juga akan mengurangi

(20)

efek magnetic susceptibility yang sangat. Artefaknya tidak terlalu muncul. Meningkatnya artefak karena now motion Incompatible dengan beberapa opsi imaging, Fat tampak terang pada T2 weighted. Image bluring dapat terjadi karena pengumpulan data dilakukan dengan TE yang berbeda-beda. Mengurangl efek susceptibility tapi tidak sensitif untuk perdarahan.

3). Inversion Recovery (IR)

Inversion Recovery adalah pulse sequence yang diawali dengan aplikasi pulse 180º inversi yang dilanjutkan dengan pulse 90º eksitasi dan kemudian pulse 180° rephrasing (Westbrook, 2014). Parameter utama dalam IR adalah time Repetition (TR), Time Echo (TE) dan time Inversion (Tl). Ketika IR digunakan untuk menghasilkan citra dengan pembobotan T1W1 kontras tinggi (heavy T1-W1) sebaiknya TE dijaga agar tetap pendek dengan tujuan untuk mengontrol waktu T2 decay dan meminimalkan efek T2 pada citra. Namun waktu TE dapat diperpanjang dengan tujuan agar jaringan degan waktu relaksasi T2 yang Panjang akan tampak terang pada gambar. Hal ini sering disebut dengan pembobotan patologis yang akan menghasilkan citra dominan T1W1 tetapi bila terdapat proses patologis maka kelainanya akan tampak terang pada gambar (Westbrook, 2011).

4) Echo Planar Imaging (EPI)

Sekuen echo planar Imaging (EPI) menurut Westbrook dan Kaut (2011) melakukan pengisian K space dalam satu repetisi dengan menggunakan TR yang sangat panjang. Echo dapat

(21)

dihasilkan dengan multiple pulsa 180º (disebut dengan spin echo EPI (SE-EPIJ) atau dengan menggunakan gradient (disebut dengan gradient echo EPI [GEEPI]). Jika seluruh baris Pada K space terisi dalam satu kaIi repetisi maka ini dikenal dengan nama single shot EPI (SS-EPI). SS-EPI dapat menghasilkan gambar jauh lebih cepat dibandingkan SS-FSE karena penggunaan TR yang lebih panjang atau dengan penggunaan gradient echo dibanding pada spin echo dan karena itu dapat mengisi K space dalam hitungan detik.Tetapi sekuen SS-EPI sering terjadi artefact seperti chemical shift, distorsi den bluring. Karena hal ini maka sekuen EPI Iebih sering dilakukan dengan mode multi-shot dimana dengan menggunakan metode ini maka seperempat atau setengah K space diisi setiap periode TR. EPI den versi fast dari sekuen GRE seat ini mempakan mode akuisisi yang paling cepat pada MRI sehingga dengan teknik ini pemeriksaan MRI real-time dinamik dan fungsional MRI dapat dilakukan.

5) Diffusion Weighted Imaging

Menurut Westbrook dan Kaut (2011) Diffusi adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan pergerakan molekul secara acak pada jaringan. Gerakan ini dibatasi oleh batas-batas seperti Iigamen, membrane dan macromolecul. Kadangkala terjadinya pembatasan difusi adalah secara Iangsung tergantung pada struktur jaringan. Pada stroke dini segera setelah terjadinya iskemia tapi sebelum terjadinya infark atau kerusakan permanen pada jaringan otak. seI-sel membengkak dan menyerap air dari

(22)

ruang extraseluler. Ketika sel-sel penuh oleh molekul air dan dibatasi oleh membran.

f) Parameter Turbo Spin Echo (TSE) 1) Echo Train Length (ETL)

Fast spin echo (FSE) merupakan salah satu dari urutan pulsa spin echo (SE) dengan waktu san yang lebih cepat dari pada SE konventional pencitraan MRI.pada FSE pemberian pulsa dengan satu kali pulsa 90º diikuti dengan multiple 180º rephasing dalam satu time repetition (TR). Pengaplikasian beberapa pulsa 180º dalam tiap TR akan menghasilkan rangkaian echo disebut dengan Echo Train Length (ETL). Setiap echo mempunyai phase encode yang berbeda beda tiap TR dan akan mengisi baris K-space yang sama dalam pembentukan citra, (Josepha ND, 2014).

Nilai ETL atau turbo factor yang dapat digunakan saat ini berkisar antara 2 sampai dengan 32, (Westbrook.2014). ETL adalah parameter yang paling penting. Umumnya waktu image akuisisi berbanding terbalik dengan ETL. ETL juga mempunyai efek penting pada kualitas citra, ETL yang Panjang menghasilkan lebih pembobotan T2 karena echo-echo selanjutnya dengan TE Panjang yang ikut berkontribusi pada seluruhan signal. ETL dapat berjumlah ganjil (Siemens) atau genap (GE).

Penggunaan echo-echo selanjutnya pada TE yang sangat Panjang juga akan menghasilkan lebih banyak spatial

(23)

blurring. Efek spatial bluring disebabkan oleh hilangnya sinyal T2 related pada echo-echo selanjutnya, echo ini diperoleh dengan phase encoding tingkat tinggi yang sesuai dengan frekuensi spasial dan detail citra.

Penggunaan ETL terlalu Panjang akan menyebabkan TE dengan gambaran blurring dan kehilangan kontras. Pada T2 FSE cairan dan lemak sama-sama hyperintense. Hal ini terjadi akibat aplikasi pulse 180º yang mengurangi interaksi spin pada lemak sehingga T2 decay meningkat. Sekuen FSE menggantikan sekuen T2 konvensional dalam berbagai aplikasi.

Sekuen FSE mengurangi waktu akuisisi data dan memungkinkan gambaran T2 dengan Teknik breath hold.

(Edelman, 2009). Blurring mempengaruhi kualitas citra MRI yaitu memungkinkan pengurangan SNR atau perbandingan antara besarnya amplitude sinyal dengan amplitude noise, yang berpengaruh terhadap kontras citra atau CNR merupakan salah satu kelemahan FSE, (Josepa ND, 2014).

K-space merupakan ruang propagasi frekuensi dimana sinyal berupa frekuensi yang berasal dari pasien disimpan. K- space akan terisi lebih cepat sehingga singkat yang merupakan kelebihan dari FSE, karena ETL yang efektif, sehingga menciptakan sinyal yang kuat seperti pada cairan cerebro spinal fluid (CSF) dan mencitrakan akar persyarafan secara detail, (Westbrook, 1994). Pembobotan T2 FSE penting dalam memperlihatkan citra dari vertebrae lumbal terutama irisan

(24)

sagittal dibandingkan Teknik SE konvensional, (Josepa ND, 2014). Hal yang berpengaruh terhadap ETL itu seperti image akuisisi yang berbanding dengan ETL karena semakin Panjang ETL akan mempersingkat waktu akuisisi dan lebih banyak baris K-space terisi, Panjang atau pendeknya TE dapat mempengaruhi ETL karena jika terlalu Panjang akan blurring dan sebaliknya, seperti menaikan atau menurunkan TE effectif juga akan mempengaruhi Panjang pendeknya ETL yang harus dipakai, untuk meningkatkan pembobotan T2 terkait informasi anatomi juga berpengaruh terhadap seberapa Panjang ETL yang harus dipakai,kemudian banyak slice per TR juga berpengaruh terhadap seberapa panjang penggunaan nilai ETL, (Westbrook dan kaut, 1998). Banyaknya pengaruh ETL terhadap hasil citra yang didapat,maka dari itu perlunya mengetahui nilai ETL yang optimal untuk menghasilkan informasi anatomi yang bermanfaat untuk penunjang diagnostik.

Jumlah irisan diperlukan untuk mengcover daerah anatomi dalam interval TR juga harus dipertimbangkan dalam pemilihan ETL. Tradeoff ada dalam pencitraan FSE antara ETL dan jumlah irisan yang memungkinkan diberikan TR. Jika ETL terlalu besar, dua akuisisi FSE terpisah (dengan dua waktu pencitraan) mungkin diperlukan untuk mencakup jumlah irisan yang diperlukan.

Keuntungan bila memakai ETL banyak akan mempersingkat waktu akuisisi karena akan lebih banyak baris K-

(25)

space yang terisi dalam tiap TR. K-space merupakan area frekuensi spasial dimana sinyal berupa frekuensi yang berasal dari pasien akan disimpan pada bagian tengah dari K-space merupakan area yang memiliki SNR dan kontras tinggi.

a) ETL Pendek :

(1) Menurunkan TE efectif

(2) Meningkatkan pembobotan T1 (3) Waktu scan lebih Panjang (4) Lebih banyak slice per TR (5) Mengurangi image blurring b) ETL Panjang :

(1) Meningkatkan TE effectif (2) Meningkatkan pembobotan T2 (3) Waktu scan lebih singkat

(4) Mengurangi jumlah slice per TR

(5) Meningkatkan image blurring (Westbeook dan kaut, 1998)

(26)

Gambar 2.7 Diagram sekuen Echo Train Length (Spitzer, 2012) Pada T1 nilai ETL yang digunakan adalah 2-3. pada T2 nilai ETL yang dipakai ≥ 12, pada PD nilainya 6-8 pada PD-T2 nilainya 6-9 (MRI Handbook, 2012). Echo Train Length atau Turbo / FSE Factor, sangat penting dalam pembobotan. Pada Short ETL pengaruhnya pada citra adalah meningkatkan pembobotan T1, menurunkan TE efektif, waktu scan lebih lama, jumlah slice lebih banyak per TR dan menurunkan image blurring sedangkan pada Long ETL pengaruhnya adalah meningkatkan pembobotan T2, meningkatkan TE efektif, mengurangi waktu scan, mengurangi jumlah slice per TR dan meningkatkan image blurring

2) Echo Train Spacing (ETS) dan effective Time Echo (ETE).

Yaitu waktu antara echo atau antar pulsa 180 atau waktu interval antara aplikasi RF 180° pada TSE. Biasanya nilai ETS berkisar antara 16 - 20 ms. Effective TE yaitu waktu antara echo dan pulsa RF yang menyebabkannya. (Westbrook, 2014)

(27)

5. Kualitas Citra MRI

Ada benyak parameter yang digunakan operator MRI katika mengatur Sequence. Setiap pilihan dari pulse sequence menentukan pembobotan dan kuaiitas gambar yang bagus menampakkan patologi dari suatu kelainan penyakit. Sedangkan kualitas Citra pada MRI dikendalikan oleh banyak faktor ini panting sekali untuk menjadi perhatian bagi para operator MRI tentang Faktor-faktor ini dan bagaimana para operator saling menghubungkan satu parameter dengan parameter lainnya, sehingga bisa mengoptimalkan kualitas gambar yang didapatkan. Empat hal terpenting yang menentukan kualitas gambar MRI adalah :

a. Signal to noise ratio (SNR)

Signal to Noise Ratio adalah perbandingan antara besamya amplitudo sinyal dengan besarnya amplitudo noise dalam gambar MRI. Noise bisa disebabkan oleh sistem komponen MRI dan juga dari pasien. Semakin besar sinyal yang dihasilkan akan semakin meningkatkan SNR (Westbrook,2014).

SNR = 𝑆𝑖𝑔𝑛𝑎𝑙 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑑𝑒𝑣𝑖𝑎𝑠𝑖 𝑛𝑜𝑖𝑠𝑒

Menurut Westbrook,2014 kualitas citra pada MRI dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya yaitu SNR. SNR adalah rasio amplitude signal yang diterima pada average amplitude dari noise. Signal tersebuI diterima dari koil penerima dari presesi pada NMV bidang Transversal. Sinyal Iersebut dapat ditingkatkandan dapat pula Diturunkan untuk noise yang relatif. Meningkatkan sinyal dapat Meningkatkan SNR. Sebaliknya menurunkan sinyal dapat

(28)

menurunkan SNR. Beberapa faktor yang mempengaruhi SNR adalah (Westbrook, 2014):

1) Proton density

Adalah jumlah proton pada area bawah pemeriksaan terdapat amplitudo dari sinyal yang diterima. Area dengan proton density rendah (seperti lungs), memiliki sinyal rendah dan SNR rendah. Sebaliknya area dengan proton density tinggi (seperti pelvic), memiliki sinyal tinggi dan juga SNR tinggi. Semakin tinggi densitas proton, maka akan semakin tinggi nilai SNR karena semakin banyak spining nuclei yang menghasilkan sinyal

2) Volume voxel

Adalah suatu gambaran digital terdiri dari pixel. Brightness dari pixel mewakili jumlah dari signal MRI yang dihasilkan dari seluruh unit volume suatu jaringan tubuh pasien atau voxel. Voxel mewakili dari volume suatu jaringan dalam pasien dan ini disebut area pixel dan slice thickness. Pixel menunjukkan ukuran dari FOV dan jumlah dari pixel pada FOV atau matrix. Oleh karena itu,

Pixel area : FOV dimension Matrix size

SNR proporsional untuk volume voxel dan beberapa parameter dengan mengubah ukuran voxel yang mengubah SNR.

Menurunkan ukuran voxel akan menurunkan SNR.

3) Time Repetition (TR)

Waktu pengulangan atau repetition time Adalah interval waktu antara pengulangan dua pulsa yang sama. PemberianTR yang lama dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih

(29)

banyak serta memberikan nilai sinyal yang lebih baik, namun memperlama waktu untuk akuisisi image. TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang dievaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio menjadi jelek (Pierce, 1999). TR yang pendek akan mempersingkat waktu pengambilan data, namun akan menurunkan jumlah irisan dan nilai SNR menurun dan TR Panjang akan meningkatkan kualitas citra T2 akan tetapi memperlama waktu pemeriksaan. Time Repetition atau waktu pengulangan pada fast spin echo yang panjang dapat meningkatkan SNR, TR yang pendek dapat mengurangi SNR. Parameter yang mempengaruhi kontras citra ini juga mempengaruhi SNR dan keseluruhan kualitas citra.

4) Flip angle / FA

Adalah sudut yang ditempuh NMV pada waktu relaksasi.

Nilai FA akan mempengaruhi kekontrasan gambar. dimana besar kecilnya dapat dibagi menjadi:

a. Sudut balik kecil (5° - 30°)

Sudul balik kecil menghasilkan magnetisasi longitudinal besar setelah aplikasi pulse RF sehingga dapat mepersingkat waktu.

b. Sudut balik besar (75º- 90º)

Sudut balik besar menurut Hashemi (75º- 90º) dan (70º- 110º) (menurut Westbrook) akan menghasilkan perbedaan T1 karakteristik dua jaringan dengan baik.

(30)

c) Sudut balik sedang (30°- 60°)

Sudut balik sedang jika pada pembobotan T1 memerlukan FA yang besar, maka pada pembobotan T2* diperoleh dengan peningkatan steady state. Oleh karena itu factor TR harus dipertimbangkan. Flip angle rendah menghasilkan SNR rendah dan Semakin besar flip angle. semakin besar nilai SNR.

5) Time Echo

Time Echo yang panjang dapat mengurangi SNR dan TE yang pendek dapat meningkatkan SNR.

6) Number of Signal Average (NSA) atau NEX (Number of Exitacion) Average Jumlah dari waklu data mengumpul dengan amplitude yang sama dari kemiringan phase encoding. NSA dapat dikontrol dengan jumlah data dari K-space. Data terdiri dari signal dan noise, Meningkatkan NSA akan mengurangl motion artefact.

7) Field of View (FOV)

Luas anatomi yang akan dijadikan gambaran, Menurul Nesseth (2000),FOV adalah diameter area obyek yang akan direkonstruksi ke dalam matriks. Besamya berpengaruh pada scan time dan kualitas pencitraan. FOV besar akan menghasilkan pixel yang besar. meningkatkan FOV (field of View) berarti menurunkan spasial resolusi. FOV (field of view) Rectangular merupakan pilihan untuk tetap mempunyai pixel rectangular dengan FOV (field of view) rectangular, sehingga anatomi dalam phase direction tercover tanpa menurunkan resolusi spasial dan SNR. Pada keadaan

(31)

normal matriks 256 x 256 memiliki k-space dari positif ke negatif 128.Dengan pilihan FOV (field of View) rectangular, kenaikan antara masing-masing phase encoding step dua kali lipat sehingga hanya setengah dari fase yang dibutuhkan untuk menghasilkan citra. FOV (field of view) rectangular secara rutin digunakan pada bagian tubuh memanjang seperti lumbar vertebra atau knee.

8) Receive bandwidth

Adalah luas dari frekuensi dengan sampel saat aplikasi dari gradient. Mengurangi receive bandwidht menghasilkan noise yang sedikit dengan sinyal yang relatif SNR meningkat karena receive bandwidht diturunkan. Mengurangi receive bandwidht dapat meningkatkan chemical shift artefact.

9) Tipe koil

Yaitu jenis koil yang digunakan mempengaruhi sinyal yang diterima dan SNR. Dua koil dapat meningkatkan SNR karena dua koil digunakan untuk menerima sinyal. Permukaan koil ditempatkan diluar dan dibawah area pemeriksaan akan meningkatkan SNR.

10) Slice Thicness

Semakin besar ukuran ketebalan irisan atau Potongan akan menghasilkan volume voxel. Maka akan Semakin tinggi nilai SNR suatu citra.

b. Contrast to noise ratio ( CNR)

CNR adalah Perbedaan SNR antara organ yang saling berdekatan. CNR yang baik dapat menunjukan perbedaan daerah Patologi dan daerah sehat (Westbrook,2011).

(32)

Untuk meningkatkan CNR dapat dilakukan dengan cara : 1) Menggunakan kontras media.

2) Menggunakan T2 weighting.

3) Memilih magnetization transfer.

4) Menghilngkan mbaran jaringan normal dengan spectral

Pre-saturation, atau menggunakan STIR (Shert Tau Inversion Recovery) atau FLAIR (Fluid Attenuated Inversion Recovery) untuk menekan jaingan tertentu.

c. Spatial Resolution

Spatial resolution adalah kemampuan untuk membedakan antara dua titik secaraa terpisah dan jelas. lni dikontrol oleh ukuran voxel. Semakin kecil ukuran voxel, resolusi akan semakin baik (Westbrook, 2011). Spatial resolution dapat ditingkatkan dengan :

1) slice thickness yang tipis

2) Matrix yang haIus halus atau kecil 3) FOV(Fieldof View) yang keciI d. Waktu scan

Waktu scanning dipengaruh oleh TR (time repetition).

Jumlah phase encoding, dan NSA (Westbrook. 2011). Untuk mengurangi waktu scanning dilakukan dengan cara :

1) Pemilihan TR

Pada pulse sequence spin echo, SNR yang dihasilkan akan lebih baik karena menggunakan flip angle 90 derajat sehingga magnetisasi Longitudinal menjadi magnetisasi transversal dibandingkan dengan gradient echo yang flip

(33)

anglenya kurang dari 90 derajat. Flip angle berpengaruh terhadap jumlah magnetisasi transversal.

TR merupakan parameter yang mengontrol jumlah magnetisasi longitudinal yang recovery sebelum RF pulse berikutnya. TR yang panjang memungkinkan full recovery sehingga lebih banyak yang akan mengalami magnetisasi transversal pada RF pulse berikutnya. TR yang panjang akan meningkatkan SNR dan TR yang pendek akan menurunkan SNR. Secara matematis, TR mempunyai hubungan se arah dengan waklu scanning. Semakin panjang TR yang digunakan maka semakin lama waktu scanning.

2) Pemilihan Matriks

Matriks adalah jumlah elemen gambar (pixel) dalam satu FOV (field of View). Ukuran matriks ditentukan oleh dua sisi gambar yaitu sisi yang berhubungan dengan jumlah sampel frekuensi yang diambil dan sisi yang berhubungan dengan fase enkoding yang dibentuk. Misalnya matrik 256 x 192,Ini berarti bahwa ada 256 sampel frekuensi yang diambil selama read out dan juga ada sebanyak 192 fase encoding yang menentukan banyaknya sampel frekuensi dan fase enkoding banyaknya pixel dalam FOV (field of view), Matriks kasar memiliki sedikit pixel dalam FOV (field of View).sedangkan matriks halus berarti banyak pixel dalam FOV (field of view).

(34)

3) NSA atau Average sekecil mungkin

NSA (Number of Signal Average ) merupakan angka yang menunjukkan berapa kali data di peroleh / dicatat selama scanning, NSA adalah niiai yang menunjukkan jumlah pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan amplitude dan fase enkoding yang sama. NSA mengontrol sejumlah data yang masing-masing disimpan dalam lajur K- Space. Data tersebut terdiri dari sinyal dan derau (noise). K- Space merupakan area frekuansi spasial dimana sinyal berupa frekuensi yang berasai dari pasien akan disimpan. Sinonim NSA adalah NSA,

Nacq = NA (Number Of Acquisition) atau average.

NSA adalah cara yang umum digunakan dalam meningkatkan SNR (signal noise to rasio). Peningkatan NSA berarti akan menambah sinyal secara liniar tetapi deraunya acak. Sehingga menambah NSA sebesar 2 kali hanya akan menambah SNR sebesar √2 kali,atau SNR= √NSA

6. Teknik Pemeriksaan MRI Vertebra Lumbal a) Persiapan Pasien

Persiapan Pasien menurut Moeler (2003) adalah :

1) Persilahkan pasien untuk buang air kecil terlebih dahulu.Kandung kemih dikosongkan.

2) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk tidak bergerak.

supaya tidak menimbulkan motion artefak.

(35)

3) tutup telinga pasien menggunakan ear plug atau head seat untuk menghindari kebisingan selama pemeriksaan.

4) Menanggalkan semua Iogam yang dikenakan pasien misalny gigi palsu, jepit rambut, perhiasan, dan lain-lain.

5) Jika Perlu pasang wing needle jika ada pencarian data untuk Pasien tumor, spondilolisthesis,multiple sclerosis atau abses.

b) Persiapan Alat

Persiapan alat menurut Westbrook & Kaut (2011) adalah : 1) Spinal Coil / coil surface diposterior .

2) Spon/busa untuk penyangga Iutut.

3) Penutup telinga.

c) Posisi pasien

Posisi Pasien menurut Westbrook & Kaut (2011) adalah :

1) Tidur terlentang dengan Iutut diatas spon / busa, demi kenyamanan dan untuk meluruskan lumbal sehingga Iumbal menempel dekat dengan coil.

2) Koil berada diatas sternum sampai bawah sacrum untuk melingkupi seluruh area lumbal.

3) Sinar longitudinal tepat pada mid sagittal lumbal sehingga tepat di daerah isocenter.

d) Protocol MRI Vertebra lumbal

Protokol MRl Lumbal menurut Moeller (2003) adalah:

1) Sagital T2 weighted SE/FSE

2) Sagittal PD-Weighted FSE atau T1-Weighted SE 3) Axial PD-Weighted FSE atau T2-Weighted GRE

(36)

4) Coronal T2-Weighted FSE 5) Sekuen tambahan

Protokal MRI Lumbal menurut Westbrook (2014 ) adalah : 1) Sagital SE/FSE T1 atau coherent GE T2*.

2) Coronal SE/FSE T1.

3) Sagital SE / FSE T2 atau coherent GE T2*.

4) Axial / Oblique SE/FSE T2 atau coheren GE T2*.

5) Axial / Oblique SE/FSE T1

Keterangan Gambar : 1. Corpus vertebralis 2. Discus intervertebralis 3. Medulla spinalis 4. Cerebro spinal fluid

Gambar 2.8 Lumbal sagittal T2 FSE normal (Westbrook, 2014)

(37)

B. Kerangka teori

Parameter

Teknik Pemeriksaan MRI

Lumbal

irisan sagital

SE FSE

Proton Density

Volume Voxel

Time Echo

Flip Angle

NSA

FOV

Receive Bandwidt

Tipe Coil

Matrik

Slice Thickness

TR

ETL SNR

CNR

Spatial Resolution

Time Scanning Informasi

Anatomi

T2 T1

(38)

C. Hipotesis

1. Ho : Tidak ada perbedaan informasi anatomi terhadap penggunaan variasi nilai Echo Train Length (ETL) pada MRI Lumbal sekuen T2 FSE irisan sagital dengan kasus Hernia Nukleus Pulposus (HNP).

2. Ha : Ada perbedaan informasi anatomi terhadap penggunaan variasi nilai Echo Train Length (ETL) pada MRI Lumbal sekuen T2 FSE irisan sagital dengan kasus Hernia Nukleus Pulposus (HNP)

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Belakang (Netter , 2010)
Gambar 2.2 Gambar anatomi Vertebra Lumbal (Netter, 2010)
Gambar 2.4 Discus intervetrebralis (Netter,2010)  c) Ligamentum
Gambar 2.5 Pulse Sequence spin echo
+3

Referensi

Dokumen terkait

permainan yang ada pada Concertino for Trombone Op.4 karya Ferdinand David ini, penulis mengharuskan untuk melakukan latihan rutin setiap hari seperti nada

PT Henan Putihrai Sekuritas tidak akan bertanggung jawab atas setiap kehilangan dan/atau kerusakan yang disebabkan oleh virus yang ditransmisikan oleh laporan ini atau

Syair Tanpo Waton ini diciptakan oleh Gus Nizam berdasarkan representasi dari realitas yang dilihat dan dirasakan oleh beliau dari kehidupan masyarakat.. syair Tanpo Waton

Dapatan kajian ini juga hampir selari dengan kajian yang dijalankan oleh Khaziah (2016) yang menunjukkan faktor pentadbir iaitu guru besar dalam dimensi iklim sekolah

Lebih lanjut Munir (1985) mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi dalam dua kelompok, yaitu faktor pendorong dan faktor

Mengacu kepada beberapa pendapat terkait dengan self esteem yang dimiliki seorang atlet sebagai anggota tim dalam cabang olahraga sepak bola, mempunyai

Analisis dilakukan dengan bantuan model regresi lain yang memiliki variabel predictor dengan model yang telah dibentuk (dalam modul ini adalah model reg1 ) yang

Pada penelitian tersebut memiliki hasil yang bertolak belakang dengan penelitian Triyono dan Jogiyanto (2000) yang menyimpulkan bahwa pemisahan total aliran kas ke