• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN BALITA GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CEBONGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN BALITA GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CEBONGAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN

BALITA GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CEBONGAN

Lastanto¹, Happy Indri H, S. Kep., Ns, M. Kep ², Anissa Cindy N. A, S. Kep., Ns, M. Kep³

¹) , ²) , ³) Program S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Email: lastboy0007@gmail.com

ABSTRAK

Kekurangan gizi dapat memberikan konsekuensi buruk yang tak terelakkan, dimana manifestasi terburuk dapat menyebabkan kematian. Tujuan penelitian ini untuk untuk menganalisis hubungan antara faktor resiko terhadap kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

Metode penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain Cross Sectional Study. Teknik sampling menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 30 balita gizi kurang dan 30 balita gizi baik. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Teknik analisis data menggunakan analisis chi square.

Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square untuk tingkat pengetahuan hasil ρ- value (0,021) < 0,05. Tingkat pendidikan ibu dengan hasil ρ-value (1,000) > 0,05. Tingkat pendapatan keluarga dengan hasil ρ-value (0,010) < 0,05. Pemberian ASI dengan hasil ρ-value (0,038) < 0,05. Kelengkapan imunisasi dengan hasil ρ-value (-). BBLR dengan hasil ρ-value (0,002) < 0,05.

Kesimpulan penelitian ini adalah Faktor yang mempengaruhi kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan adalah tingkat pengetahuan ibu, tingkat pendapatan keluarga, pemberian ASI, dan BBLR. Sedangkan tingkat pendidikan ibu dan kelengkapan imunisasi tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

Bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat lebih efektif melakukan penyuluhan pendidikan kesehatan di posyandu-posyandu kepada ibu hamil dan ibu yang mempunyai anak balita tentang pemberian asupan gizi.

Kata Kunci : Balita gizi kurang, tingkat pengetahuan ibu, tingkat pendidikan ibu, tingkat pendapatan keluarga, pemberian ASI, kelengkapan imunisasi, BBLR.

(2)

2

Analysis of Factors Affecting the Malnutrition Incidence in the Toddlers at the Working Region of

Community Health Center of Cebongan

Lastanto¹, Happy Indri H, S. Kep., Ns, M. Kep ², Anissa Cindy N. A, S. Kep., Ns, M. Kep³ (¹), (²), (³) Program S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta

Email: lastboy0007@gmail.com

ABSTRACT

Malnutrition may induce unavoidable bad consequences and even cause death. The objective of this research is to analyze the correlation between the risk factors and the malnutrition incidence at the working region of Community Health Center of Cebongan.

This research used the analytical observational method with the cross-sectional design.

The samples of research consisted of 60 toddlers with malnutrition and 30 toddlers with a good nutritional status. The data of research were collected through questionnaire and analyzed by using the Chi-square Test. The result of the statistical test with the Chi-square test shows that the p-value of the mothers’ knowledge level was 0.029 which was less than 0.05; the p-value of the mothers’ education level was 1.000 which was greater than 0.05; the p-value of the family income was 0.010 which was less than 0.05; the p-value of the breast milk administration was 0.038 which was less than 0.05; and the p-value of immunization completeness was absent (-);

and the p-value of the newborn low birth weight was 0.002 which was smaller than 0.05.

The factors which affected the malnutrition incidence in the working region of Community Health Center of Cebongan were mothers’ knowledge level, households’ income level, breast milk administration, and infants’ low birth. Meanwhile, the mothers’ education level and the immunization completeness did not have a significant effect on the malnutrition incidence at the working region of Community Health Center of Cebongan.

Thus, health workers are expected to more effectively conduct health education extensions of nutritional intakes at Integrated Health Posts to gestational mothers and those with toddlers.

Keywords: toddlers with malnutrition, mothers’ education level, family’s income level, breast milk administration, immunization completeness, and newborn low birth weight

(3)

3

PENDAHULUAN

Balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita kekurangan gizi dan gizi buruk (Notoatmodjo, 2010). Kekurangan gizi dapat memberikan konsekuensi buruk yang tak terelakkan, dimana manifestasi terburuk dapat menyebabkan kematian.

Menurut UNICEF (2013) tercatat ratusan juta anak di dunia menderita kekurangan gizi yang artinya permasalahan ini terjadi dalam populasi yang jumlahnya sangat besar.

Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RJMN) tahun 2010-2014 menyebutkan bahwa perbaikan status gizi masyarakat merupakan salah satu prioritas dengan menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi 15% dan prevalensi balita pendek menjadi 32% pada tahun 2014. Permasalahan gizi juga dimasukan kedalam Millennium Development Goals (MDGs) dengan tujuan pertama yaitu mengatasi masalah kekurangan gizi, meningkatkan kesehatan anak dan menekan angka kematian anak dimana salah satu faktornya disebabkan oleh gizi buruk.

Masalah gizi buruk dan gizi kurang nampaknya belum bisa teratasi dengan baik dalam skala internasional maupun nasional, tercatat 101 juta anak di dunia dibawah lima tahun menderita kekurangan gizi (Unicef, 2013). Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukan prevalensi berat badan kurang pada tahun 2013 di Indonesia adalah 19,6 %, terdiri dari 5,7 % gizi buruk dan 13,9 % gizi kurang. Angka prevalensi secara nasional jika dibandingkan pada tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat.

Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk

yaitu dari 5,4 % pada tahun 2007, 4,9 % pada tahun 2010, dan 5,7 % pada tahun 2013. Hal ini menunjukan bahwa adanya peningkatan jumlah gizi kurang dan gizi buruk setiap tahunnya dari tahun 2010 hingga 2013 (Litbang Depkes, 2013). Enam belas provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi berat badan kurang. Di Jawa Tengah prevalansi gizi kurang dan gizi buruk di meningkat dari 15 % pada tahun 2010 menjadi 17,5 % pada 2013 (UNICEF Indonesia, 2013). Untuk mencapai target sasaran MDGs pada 2015 harus diturunkan menjadi 15,5 persen. Tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Namun demikian, perlu diketahui bahwa keadaan gizi seseorang dalam suatu masa bukan saja ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada saat itu saja, tetapi lebih banyak ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa yang telah lampau, bahkan jauh sebelum masa itu. Ini berarti bahwa konsumsi zat gizi masa kanak-kanak memberi andil terhadap status gizi setelah dewasa (DINKES Prov Jateng, 2013).

Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya angka gizi buruk dan gizi kurang, antara lain faktor kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan orang tua, pola asuh orang tua, makanan pendamping, infeksi dan penyakit penyerta seperti HIV/aids, kondisi psikologi anak, keamanan negara, terbatasnya fasilitas kesehatan, tidak diberikannya ASI ekslusif, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), nutrisi pada masa kehamilan ( Jamra & Bankar, 2013; Pei, Ren & Yan, 2013; Ghazi, Musta, Isa &

Mohhamed, 2011; McDonald, Kupka, Manji,

(4)

4

Okuma, Bosch, Aboud, 2012; Kumar & Singh,

2013).

Dampak kekurangan gizi sangat kompleks, anak dapat mengalami gangguan pada perkembangan mental, sosial, kognitif dan pertumbuhan yaitu berupa keidakmatangan fungsi organ, dimana manifestasinya dapat berupa kekebalan tubuh yang rendah yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit penyakit seperti infeksi saluran pernafasan, diare, demam.

(Supartini.Y, 2004; Feinstorm, Uauy &

Arroyo, 2005; World Food Progam, 2007).

Di Wilayah Puskesmas Cebongan dari bulan Januari – Juni tahun 2014 masih terdapat anak yang mengalami kekurangan gizi sejumlah 50 anak yang tersebar di tiga desa wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

Berdasarkan data di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti melihat hal-hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti faktor apa saja yang berhubungan terhadap kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara faktor resiko dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

METODE

Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain penelitian studi potong lintang (cross sectional study) yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel independen dan variabel dependen hanya sekali, pada saat pengukuran (Nursalam, 2003). Responden dalam penelitian ini adalah balita di Pustu Noborejo Wilayah Kerja

Puskesmas Cebongan. Populasi pada penelitian ini adalah 70 balita. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 balita.. Tehnik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dari populasi 70 balita didapatkan jumlah sampel sebanyak 60 balita yang terdiri dari 30 balita gizi kurang dan 30 balita gizi baik di Wilayah Kerja Puskesmas Cebongan. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner. Analisa data dilakukan dengan analisa univariat dan analisa bivariat dengan uji korelasi chi square.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden

a. Status Pekerjaan Ibu Balita Tabel 1

Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Status Pekerjaan

(n = 30)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar pekerjaan orang tua responden sebagai buruh, dimana pada balita gizi baik sebanyak 19 orang (63,3%) sementara pada balita gizi kurang sebanyak 23 orang (76,6%).

Penduduk di sekitar wilayah kerja Puskesmas Cebongan banyak yang bekerja sebagai buruh.

Hal ini disebabkan di Kota Salatiga terdapat beberapa pabrik yang berdiri seperti pabrik tekstil, pabrik garmen, pabrik rokok yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja perempuan.

Status Pekerjaan Ibu

Balita Gizi

Baik f %

Balita Gizi Kurang f % Buruh 19 63,3 23 76,6 Pedagang 1 3,4 3 10,0 PNS 0 0 2 6,7 Swasta 10 33,3 2 6,7 Jumlah 30 100 30 100

(5)

5

Mubarak (2007) menyatakan lingkungan

pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung termasuk masalah gizi balita.

b. Jenis Kelamin Balita Tabel .2

Distribusi Karakteristik Jenis Kelamin Balita

(n = 30)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar jenis kelamin pada balita gizi baik adalah laki-laki sebanyak 19 balita (63,3%) dan jenis kelamin balita gizi kurang adalah perempuan sebanyak 21 balita (70%).

Banyaknya balita perempuan dikarenakan berdasarkan data yang ada di Puskesmas Pembantu Noborejo yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Cebongan diketahui dari 70 balita, sebanyak 42 balita berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu dalam penelitian ini mayoritas balita adalah berjenis kelamin perempuan.

c. Umur Balita Tabel 4.3

Distribusi Karakteristik balita berdasarkan umur

(n = 30)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar umur balita antara 37-50 bulan. pada balita gizi baik sebanyak 12 balita (40%) dan balita gizi kurang sebanyak 14 balita (46,7%).

2. Analisi Bivariat

1) Hubungan antara Pengetahuan ibu dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Tabel 1

Hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan kejadian Balita Gizi Kurang

Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian balita gizi kurang. Pengetahuan ibu yang tinggi tentang gizi balita menjadikan lebih memahami kebutuhan gizi balita dibandingkan ibu dengan pengetahuan yang masih rendah. Ibu dapat memberikan menu yang bervariasi sehingga balita tidak bosan dengan menu yang disediakan dan tercukupuinya kebutuhan akan gizi seimbang bagi balita.

Dalam penelitian ini ada ibu dengan pengetahuan tinggi namun balita mempunyai gizi kurang, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Pormes (2014) bahwa kejadian ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti besarnya keluarga dimana jarak kelahiran antar anak amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Apabila pendapatan keluarga pas- Jenis Kelamin

Balita Gizi Baik f %

Balita Gizi Kurang f % Laki- laki 19 63,3 9 30,0 Perempuan 11 36,7 21 70,0 Jumlah 30 100 30 100

Umur Balita

Balita Gizi Baik f %

Balita Gizi Kurang f % 12 – 24 bulan 9 30 5 16,6 25 - 36 bulan 9 30 11 36,7 37 – 50 bulan 12 40 14 46,7 Jumlah 30 100 30 100

Pengetahuan

Balita Gizi Baik f %

Balita Gizi Kurang f %

Jumlah

f % P OR

Tinggi 24 40 15 25 39 100

0,029 4,00 Rendah 6 10 15 25 21 100

(6)

6

pasan sedangkan jumlah anak pada keluarga

tersebut banyak maka, pemerataan dan kecukupan makanan dalam keluarga kurang bisa dijamin.

Notoadmojo (2010) berpendapat bahwa pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku. Seperti halnya sesuai dengan pendapat dari Fatimah (2008), dimana pengetahuan orangtua terutama ibu tentang gizi sangat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi yang diperoleh oleh balita.

Orangtua perlu memahami pengetahuan tentang gizi, terutama yang berkaitan dengan zat-zat yang dikandung dalam makanan, cara mengolah makanan, menjaga kebersihan makanan, waktu pemberian makan dan lain- lain, sehingga pengetahuan yang baik akan membantu ibu atau orangtua dalam menentukan pilihan kualitas dan kuantitas makanan.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Turnip (2014) diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat tahun 2014, begitu juga mendukung hasil penelitian dari Rachmawati, dkk (2015) dimana responden yang berpengetahuan kurang tentang gizi hal ini dikarenakan responden tidak aktif bertanya pada tenaga kesehatan, juga disebabkan responden baru mempunyai anak sehingga kurang mendapatkan pengalaman tentang pemberian gizi seimbang kepada balita agar tidak terjadi gizi buruk pada balita.

2) Hubungan antara Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Tabel 2

Hubungan antara Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

(n = 30)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian balita gizi kurang dengan p value sebesar 1,00. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden berpendidikan dasar yaitu SD dan SMP. Hal ini berkaitan dengan sosiodemografi dimana di wilayah Puskesmas Cebongan sebagian besar bekerja sebagai petani dan buruh pabrik khususnya penduduk perempuan.

Menurut peneliti bahwa tidak selama pendidikan seseorang yang tinggi akan diikuti dengan kondisi gizi yang baik pada bayi. Hal ini terjadi karena orang yang berpendidikan tinggi dan lebih banyak sibuk bekerja di luar rumah, maka memungkinan tidak adanya waktu untuk memasak bagi kebutuan makan bayi secara sehat. Meskipun ibu hanya berpendidikan rendah tetapi mempunyai kesempatan mengasuh bayi secara penuh, sehingga ibu dapat memberi asupan gizi yang baik bagi balita dimana ibu berbelanja di pasar dan memilih sayur dan buah yang baik bagi bayinya.

Menurut pendapat Notoadmojo (2010) bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka tingkat pengetahuan seseorang Pendidikan

Ibu

Balita Gizi

Baik f %

Balita Gizi Kurang f %

Jumlah

f % P OR

Dasar 16 48,5 17 51,5 33 100

1,000 0,874 Menengah

dan Tinggi

14 51,9 13 48,1 27 100

(7)

7

juga semakin tinggi. Ulfah dan Fransiska

(2014) berpendapat bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh.

Nilakesuma (2015) dalam penelitiannya juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi. Seseorang yang hanya tamat sekolah dasar akan berbeda pengetahuan gizinya dibanding dengan yang pendidikannya lebih tinggi. Namun, belum berarti seseorang yang hanya tamat sekolah dasar kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi. Hal ini dikarenakan jika orang tersebut rajin membaca informasi tentang gizi atau turut serta dalam penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Hanya saja perlu dipertimbangkan, seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah dalam menerima pesan dan informasi gizi. Pendidikan pada satu sisi mempunyai dampak positif yaitu ibu semakin mengerti akan pentingnya pemeliharaan kesehatan, tetapi di sisi lain pendidikan yang semakin tinggi juga akan berdampak adanya perubahan nilai sosial.

3) Hubungan antara Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Tabel 3

Hubungan antara Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Berdasarkan hasil penelitian diketahui adanya hubungan antara pendapatan orang tua dengan kejadian balita gizi kurang dengan p value sebesar 0,010. Peningkatan pendapatan dalam rumah tangga memberikan kesempatan kepada ibu untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu jumlah dan keragaman pangan yang dapat dibeli.

Tingkat pendapatan yang cukup, maka ibu lebih leluasa untuk memilih dan membeli kebutuhan bayi seperti membeli daging sapi, ikan, buah meskipun harga dipasar cukup mahal. Namun sebaliknya, ibu yang tidak mempunyai pendapatan yang cukup, maka akan kesulitan memberikan asupan gizi yang baik kepada bayi dimana ibu hanya memberikan sayur dan lauk dengan menu yang jarang bervariasi sehingga menjadikan bayi dengan gizi kurang meskipun tingkat pendapatan keluarga di atas UMR namun, masih ditemukan balita dengan gizi buruk.

Hal ini dapat dipengaruhi faktor lain seperti jumlah anggota keluarga yang ditanggung lebih besar, artinya semakin banyak anggota keluarga yang ditanggung maka semakin banyak pengeluaran biaya untuk mencukupi Pendapatan

Keluarga

Balita Gizi

Baik f %

Balita Gizi Kurang f %

Jumlah

f % P OR

≥ UMR 26 61,9 16 38,1 42 100

0,010 5,688

< UMR 4 22,2 14 77,8 18 100

(8)

8

kebutuhan gizi keluarga, sementara disisi lain

pendapatan keluarga per bulan dapat dianggap tetap namun harga bahan makanan yang cenderung semakin mahal. Faktor – faktor tersebut harus menjadi perhatian oleh pemerintah.

Sihadi (2006) bahwa tingkat pendapatan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan uang, semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli berbagai jenis bahan pangan. Namun berbeda dengan pendapat dari Soetjiningsih (2007) yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga yang baik dapat menunjang tumbuh kembang anak.

Hal ini dikarenakan orang tua menyediakan semua kebutuhan anak-anaknya. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, sehingga tinggi rendahnya pendapatan sangat mempengaruhi daya beli keluarga terhadap bahan pangan yang akhirnya berpengaruh terhadap status gizi seseorang terutama anak balita karena pada masa itu diperlukan banyak zat gzi untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sarah (2008) yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita, begitu juga mendukung hasil penelitian dari Turnip (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita

di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat tahun 2014.

4) Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Tabel 4

Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian balita gizi kurang. Hasil observasi diperoleh bahwa ibu yang memberikan ASI tidak eksklusif ternyata menjadikan bayi lebih sering sakit dibandingkan bayi yang diberi ASI esksklusif.

Sehingga dengan diberi ASI ekslusif maka berat bayi lebih seimbang dengan usianya dibanding pada bayi yang tidak diberi ASI tidak ekslusif. Dalam penelitian ini juga masih ditemukan meskipun ibu memberikan ASI secara ekslusif pada 6 bulan pertama dalam kehidupan bayi tetapi saat ini balita mengalami gizi kurang.

Gibney et al (2005) disebabkan karena komposisi ASI akan berubah sejalan dengan kebutuhan bayi. Semakin besar tumbuh kembang balita akan membutuhkan nutrisi yang lebih seimbang, sehingga setelah 6 bulan pertama bayi tidak cukup hanya dengan diberikan ASI saja tetapi juga diberikan nutrisi makanan tambahan secara seimbang agar kebutuhan nutrisi bayi tercukupi dan balita memiliki status gizi baik.

Pemberian ASI

Balita Gizi

Baik f %

Balita Gizi Kurang f %

Jumlah

f % P OR

Eksklusif 20 64,5 11 35,5 31 100

0,038 3,455 Tidak

Eksklusif

10 34,5 19 65,5 29 100

(9)

9

Roesli (2005) menyatakan anak yang

baru lahir secara alamiah mendapat immunoglobulin dari ibunya melalui ari-ari.

Namun, kadar zat ini akan cepat sekali menurun segera setelah anak lahir. Badan anak sendiri baru membuat zat kekebalan cukup banyak sehingga mencapai kadar protektif pada waktu berusia 9-12 bulan. Pujiyanti (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian air susu ibu (ASI) terhadap status gizi bayi. Hasil penelitian dari Giri, dkk (2013) juga menujukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita usia 6-24 bulan di Kampung Kajanan Buleleng. ASI memiliki semua unsur-unsur yang memenuhi kebutuhan bayi akan gizi selama periode sekitar 6 bulan, kecuali jika ibu megalami keadaan gizi kurang yang berat atau gangguan kesehatan lain.

Begitu juga mendukung hasil penelitian dari Mastin dan Roosita (2015) yang menunjukkan bayi yang mendapat ASI eksklusif cenderung memiliki frekuensi sakit dan periode lama sakit yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif pada enam bulan pertama kehidupan bayi. Dengan frekuensi sakit dan periode lama sakit yang rendah maka bayi dapat sehat sehingga nutrisi dapat terserap dengan baik ke dalam tubuhnya, sehingga balita memiliki status gizi yang baik dimana seimbang antara berat badan dan tinggi badannya.

5) Hubungan antara Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Tabel 5

Hubungan antara Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Berdasarkan hasil penelitian diketahui tidak terdapat hubungan antara pemberian imunisasi dengan kejadian balita gizi kurang.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa baik balita dengan gizi baik dan balita gizi kurang semuanya telah diimunisasi secara lengkap. Seperti yang dilaporkan Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa cakupan imunisasi balita diIndonesia secara lengkap angkanya mengalami peningkatan mulai dari 41,6 persen pada tahun 2007 menjadi 53,8% pada tahun 2010 dan 59,2 persen pada tahun 2013, termasuk di Puskesmas Cebongan Kota Salatiga sebagai bagian dari wilayah Propinsi Jawa Tengah.

Mastin dan Roosita (2015) berpendapat bahwa tidak ditemukan kecenderungan bahwa semakin baik kelengkapan imunisasi bayi maka frekuensi sakit bayi semakin rendah dan lama sakit bayi semakin singkat. Namun hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vindriana (2012), dimana ada hubungan yang bermakna antara Kelengkapan Imunisasi dengan Status Gizi di Kelurahan Watonea wilayah kerja Puskesmas Katobu Kabupaten Muna. Imunisasi merupakan domain yang sangat penting untuk memiliki status gizi yang Kelengkapan

Imunisasi

Balita Gizi

Baik f %

Balita Gizi Kurang f %

Jumlah

f % P OR

Lengkap 30 100 30 100 60 100 - - Belum

Lengkap

0 0 0 0 0 0

(10)

10

baik. Imunisasi yang lengkap biasanya

menghasilkan status gizi yang baik. Sebagai contoh adalah dengan imunisasi seorang anak tidak mudah terserang penyakit yang berbahaya, sehingga anak lebih sehat, dengan tubuh/status sehat asupan makanan dapat masuk dengan baik, nutrisipun terserap dengan baik. Nutrisi yang terserap oleh tubuh balita dimanfaatkan untuk pertumbuhannya, sehingga menghasilkan status gizi yang baik.

6) Hubungan antara Berat Badan Balita Saat Lahir dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Tabel 6

Hubungan antara Berat Badan Balita saat Lahir dengan Kejadian Balita Gizi Kurang

Berdasarkan hasil penelitian diketahui adanya hubungan antara berat badan bayi saat lahir dengan kejadian balita gizi kurang dengan p = 0,002. Menurut peneliti bayi yang lahir dengan berat badan rendah akan lebih lama untuk menjadikan berat badan normal.

Berbeda dengan bayi yang sudah lahir dengan berat badan normal, maka bayi akan lebih mudah untuk mempertahakan berat badan sesuai usia ataupun meningkatkan berat badannya dengan mengkonsumsi seperti ASI ekslusif. Dalam penelitian ini masih ditemukan balita pada saat lahir memiliki berat badan normal namun saat sekarang balita justru memiliki status gizi kurang. Hal ini dikarenakan ibu memiliki pengetahuan yang rendah tentang gizi sehingga ibu belum begitu memahami secara benar asupan nutrisi yang

seimbang yang dibutuhkan bayi untuk mendukung masa pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga membuat balita tumbuh dengan status gizi kurang.

Tonda (2012) menjelaskan bahwa BBLR terjadi karena (1) Faktor ibu, seperti penyakit malaria, anemia, infeksi dan komplikasi pada kehamilan. Komplikasi yang terjadi pada kehamilan ibu seperti perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran preterm. Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia muda. Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, pecandu alkohol dan pengguna narkotika. (2) Faktor janin Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli).

(3) Faktor lingkungan yang dapat berpengaruh antara lain: tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat-zat racun. Wibowo (2008) menambahkan bahwa bayi yang lahir dengan BB rendah akan lebih cepat bertambah berat badanya seakan-akan mengejar ketertinggalanya sedangkan bayi non BBLR umumnya sering tumbuh lambat hal ini diperkirakan oleh kualitas dan kuantitas makanan serta adanya gangguan pencernaan yang diderita bayi selama masa pertumbuhan dan perkembangannya.

Sukmawati (2011) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa bayi usia 6-12 bulan kejadian stunting berhubungan signifikan dengan kejadian BBLR. Srikandi (2011) dalam penelitiannya menunjukkan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat berat bayi lahir rendah dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondosari Berat Badan

Balita Saat Lahir

Balita Gizi

Baik f %

Balita Gizi Kurang f %

Jumlah

f % P OR

Normal 30 50,8 21 41,2 51 100

0,002 2,49 Rendah 0 0 9 100 9 100

(11)

11

Kabupaten Kudus pada tahun 2011. Mcdonald,

dkk., (2012) dalam penelitiannya menunjukkan hasil dengan metode multivariate didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara BBLR dengan status gizi anak. Begitu juga dengan hasil penelitian Saputra (2012) yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara BBLR dengan kejadian gizi buruk di Kelurahan Pringgokusuman Yogyakarta tahun 2012. Namun ada korelasi yang positif atau searah antara berat lahir dan status gizi.

Artinya, semakin besar nilai berat lahir semakin besar pula nilai status gizi.

SIMPULAN

1. Mayoritas orang tua khususnya ibu bekerja sebagai buruh pabrik, mayoritas balita berjenis kelamin perempuan, berumur antara 37-50 bulan.

2. Mayoritas pengetahuan orang tua, khususnya ibu tentang gizi masih rendah, mempunyai tingkat pendidikan rendah karena hanya berpendidikan dasar, mempunyai tingkat pendapatan keluarga lebih dari UMR, mayoritas ibu memberikan ASI eksklusif mempunyai balita dengan gizi baik dan ibu tidak memberikan ASI eksklusif mempunyai balita dengan gizi kurang, semua responden telah diberikan imunisasi secara lengkap dan mayoritas balita pada saat lahir mempunyai berat badan normal.

3. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

4. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

5. Ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

6. Ada hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

7. Tidak ada hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

8. Ada hubungan antara berat badan bayi saat lahir dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.

SARAN

1. Kepada orang tua balita

Diharapkan untuk terus meningkatkan pengetahuan tentang pentingnya kebutuhan asupan gizi bagi balita sehingga kesehatannya tetap terjaga serta dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya secara

(12)

12

normal. Pengetahuan dapat

diperoleh dengan tetap aktif mengikuti kegiatan posyandu balita sehingga informasi tentang gizi balita mudah diperoleh dari kader poyandu dan petugas kesehatan dari puskesmas.

2. Bagi Masyarakat

Masyakarat diharapkan lebih peduli dan kooperatif serta memberikan dukungan secara penuh terhadap pemberian ASI eksklusif kepada bayi usia 0-6 bulan agar bayi dapat tumbuh dan berkembang secara normal dan terjaga status gizinya secara baik.

3. Bagi Puskesmas

Diharapkan pihak Puskesmas dapat lebih efektif melakukan penyuluhan dan pemberian pendidikan kesehatan di posyandu- posyandu kepada ibu hamil dan ibu yang mempunyai anak balita tentang pemberian asupan gizi dan pentingnya memberikan ASI secara eksklusif terutama selama 6 bulan pertama dalam kehidupan bayi setelah lahir, sehingga jumlah balita dengan gizi kurang dapat berkurang.

4. Bagi Peneliti lain

Diharapkan peneliti selanjutnya dapat kontrak waktu yang tepat saat ibu memiliki waktu luang dimana pada saat

anak sedang tidur sehingga responden dapat lebih fokus mengisi kuesioner secara lebih real dan jujur, dengan cara peneliti mengunjungi rumah responden satu per satu.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. (2013). Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

DINKES Prov Jateng. (2013). Data informasi kesehatan jawa tengah 2013.

Fatimah, Sari. 2008. Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Status Gizi Pada Balita Di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Vol 10 No. XVIII Maret 2008 – September 2008 Hal 37-51.

Feinstorm.J.D.,Uauy.R. &Arroyo.P.(2005).

Nutrition and Brain. Center for international child health: institute of child health/University of London UK.

Ghazi, H., Mustafa, J., Isa, J. &Abdalqader, A.

(2013). Malnutrition Among 3 to 5 Years old in Baghdad City, Iraq: A Cross Sectionl Study. International Center for Diarhoeal Disease Recsearch. 31(3): 350-355.

Gibney MJ, Barrie MM, John MK, and Leonore A. 2005. Public Health Nutrition. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/ke menterian/kementerian-negara- pemberdayaan-perempuan-dan- perlindungan-anak/1596-

kesehatan/2319-86-bayi-di-indonesia- tidak-diberi-asi-eksklusif. Diakses 27 Nopember 2014. Pukul:22.00 WIB.

(13)

13

Jamra, V. &Bankwar, V. (2013). Effect of

Short Term Comunnity Based Intervention to Reduce The Prevalence of Under Nutrition In Under Five Childern. Niatjl Community Med, 4(3):

413-417.

Kumar, A. & Sighn, A. (2013). Decomposing The Gap in Childhood Undernutrition In Under Five Childern. Plus One, 8(5): e64972.

Mastin, Masruroh dan Katrin Roosita. (2015).

Kecukupan Vitamin A dan Praktek Pemberian Air Susu Ibu serta Kelengkapan Imunisasi Dasar dan Morbiditas Bayi. Jurnal Gizi Pangan, Maret 2015, 10(1): 49-56.

Mc Donald, Kupka, R.,Bosch, R., Spiegelman, D. & Duggan, L.P. (2012). Predictors of Stunting, Wasting, and Underweight Among Tanzanian Childern Born to HIV-Infected Woman. Europan Journal of Clinical Nutriion, 66: 1265- 1276.

Mubarak. Wahid Iqbal. (2007). Promosi Kesehatan. Jogjakarta : Graha ilmu.

Nilakesuma, Aisyah. (2015). Hubungan Status Gizi Bayi dengan Pemberian ASI Ekslusif, Tingkat Pendidikan Ibu dan Status Ekonomi Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir. Artikel Penelitian Jurnal Kesehatan Andalas.

2015; 4(1) hal37-44 diakses dari http://jurnal.fk.unand.ac.id tanggal 6 Juni 2015. Pukul: 15.30 WIB.

Notoatmojo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan : Teori dan Aplikasidan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nursalam, (2003), Manajemen Keperawatan:

Aplikasi dalam Praktek Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Pei, L., Ren. & Yan, H. (2014). A Survey of Undernutrition in Childern Under Three Years of Age in Rural Western China.BMC Public Health ,14 : 121.

Pormes, Wellem Elseus. (2014). Hubungan Pengetahuan Orang Tua Tentang Gizi Dengan Stunting Pada Anak Usia 4-5 Tahun di TK Malaekat Pelindung Manado. Jurnal Keperawatan vol 2 no 2 2014.

Proverawati, A. (2010). Imunisasi dan Vaksinasi. Yogyakarta:Nuha Offset.

Pujiyanti, Suci. (2008). Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI), Konsumsi Zat Gizi, dan Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap Status Gizi Bayi. Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2008 3(1): 7 – 11.

Rahmawati, NA; I Novi Anding Suciati dan Istichhomah. (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Kurang Pada Balita Terhadap Kejadian Gizi Kurang Di Desa Penusupan Tahun. SIKLUS 2015 - ejournal.poltektegal.ac.id. diakses tanggal 6 Juni 2015. Pukul:16.00 WIB.

Roesli, Utami. (2005). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya.

Saputra & Nurizka. (2012). Faktor Demografi dan Resiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang. Tanjung Biru Research Institute, 16(2): 95-101.

Saputra. ( 2012). Menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara BBLR dengan kejadian gizi buruk. di Kelurahan Pringgokusuman Yogyakarta tahun 2012.

Sarah. (2008). Penelitian yang berjudul hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat.

Sihadi. (2006). Kurang Energi Protein pada Anak Balita. Jurnal Epidemiologi Indonesia. Vol. 8 Edisi 3.

Soetjiningsih. (2007). Buku Ajar Tumbuh

Kembang Remaja dan

Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.

(14)

14

Srikandi, G. (2011). Hubungan Riwayat Bayi

Berat Lahir Rendah (BBLR) Terhadap Status Gizi Anak Balita Di Puskesmas Gondosari Kabupaten Kudus. Artikel Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.

Supartini, Y., (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan anak. Jakarta: EGC.

Tonda, Mikhael. (2012). Hubungan Status Gizi Saat Lahir dengan Pertumbuhan Balita Saat Ini di Desa Caturtunggal

Kecamatan Depok Sleman

Yogyakarta. Artikel Penelitian.

Yogyakarta: Prodi Gizi Universitas Respati Yogyakarta.

Turnip, Olivia. (2014). Hubungan Pendapatan, Penyakit Infeksi dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Gizi Kurang pada Balita di Wilayah Puskesmas Glugur Darat Tahun 2014. Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi vol 1 no 4 2014.

Ulfah, Maria dan Septya Ayu Fransiska.

(2014). Analisis Faktor Penyebab Langsung Dan Tidak Langsung Status Gizi Anak Balita Di Desa Tanahbaya Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Kusuma Husada Vol. 2, No 2 Agustus 2014 hal 70-77.

UNICEF. (2013). Improving Child Nutrition.

New York: Division of Comunication UNICEF.

Vindriana Vidya. (2012). Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Status Gizi pada Balita Usia 1-5 Tahun di Kelurahan Watonea Wilayah Kerja Puskesmas Katobu Kabupaten Muna.

Jurnal Kesehatan Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012: 1-8.

Wibowo. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP.

World Food Progam. (2007). Hunger and

Health. WFP: UK.

Referensi

Dokumen terkait

mengetahui keefektifan hasil belajar Ekonomi yang dites dengan bentuk soal analisis hubungan pada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe GI

Panjang benang (Lt ) yang terpakai untuk membuat lembar jaring ABCD tersebut.. b). Bagaimana cara memotong bagian AB dari lembar jaring tersebut ? d).. Untuk mengestimasi

Pasalnya, HAM yang seharusnya diperjuangkan adalah hak yang sesuai dengan kodrat alam dan digariskan tuhan yaitu manusia telah diciptakan berpasang-pasangan dan

Pembelajaran STM jauh lebih efektif karena dapat meningkatkan keaktifan siswa di kelas sehingga hasil belajar siswa meningkat, yang meliputi kemampuan kognitif,

Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 -

Mengembangkan budaya 5S (senyum, sapa, salam, sungkem, dan sopan) untuk Membentuk Karakter Cinta Damai. Penerapan budaya 5S dimaksudkan untuk membentuk

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis: (1) karakteristik pengelolaan tanah pada sistem pertanian tanaman pala di Maluku Utara; (2) potensi