• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Papua dan Papua Barat. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Papua dan Papua Barat. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini hendak membahas perlunya muatan kepentingan orang asli Papua dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan telah diubah kembali dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar dalam tata kelola pemerintahan di daerah, baik pemerintahan di tingkat provinsi, kabupaten/kota di Indonesia dalam hal kewenangan pemerintahan daerah mengurus daerahnya sendiri.

Kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur urusan pemerintahan sendiri sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, secara hirarki merupakan implementasi secara yuridis dari Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 NKRI setelah amandemen kedua, yang berbunyi: ”Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri

(2)

2 urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Tujuan otonomi daerah pada hakekatnya adalah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, dengan alasan bahwa Pemerintah Daerah yang lebih mengetahui keadaan dan kondisi di daerah. Namun demikian tidak semua kewenangan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah pusat yang tidak diserahkan atau dilimpahkan kepada pemerintah daerah berdasar Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah meliputi: Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional dan Urusan Agama.

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. merupakan provinsi di Indonesia yang diberlakukan Otonomi Khusus oleh pemerintah Republik Indonesia. Provinsi Papua berlangsung sejak tahun 2001 dimana setelah dikeluarkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 yang telah dirubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang. Undang–undang ini tidak lahir begitu saja dalam kevakuman. Ia lahir sebagai suatu produk sejarah melewati suatu proses sejarah yang panjang dalam

(3)

3 konteks dinamika sosial–politik dan keamanan dari negara kebangsaan (Nation state) Indonesia. Ia lahir dalam konteks penegakan hukum, HAM dan demokrasi. Undang-undang ini lahir sebagai upaya penyelesaian konflik. Sebagai jalan keluar untuk menciptakan win-win situation antara rakyat Papua yang ingin merdeka dan melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI (NKRI) dan pemerintah RI yang tetap kokoh teguh mempertahankan integritas dan kedaulatan atas NKRI.1

Dalam UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua telah diberikan kewenangan kepada pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk membentuk suatu lembaga kultural yang merepresentasikan sebagai lembaga yang mewakili masyarakat adat Papua dan lembaga yang bertugas memproteksi hak-hak orang asli Papua. Rakyat Papua juga diberi kesempatan untuk membentuk partai lokal agar partisipasi politik rakyat asli Papua lebih meningkat. Sedangkan untuk menjalankan kewenangan khusus tersebut pemerintah provinsi diberi dana Otsus dan dana bagi hasil sumber daya alam yang lebih besar dari pada yang diterima oleh Provinsi-provinsi lain di Indonesia.

1 Wiwie S.Iryanti, Dampak Otonomi Khusus Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Asli Papua Di Distrik Mimika Timur Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Jurnal Administrasi Publik, 2014, hlm 108.

(4)

4 Semangat otonomi khusus bagi masyarakat Papua sebenarnya telah memberikan nuansa baru dalam pola pikir dan tindakan yang sangat responsif terhadap kewenangan yang diberikan. Hal ini memberikan ruang dan waktu yang luas bagi masyarakat asli Papua yang selama ini hanya sebagai objek pembangunan, kini menjadi subjek pembangunan yang sangat agresif dengan berbagai ide-ide pembangunan yang jika dilaksanakan dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat asli Papua dalam rangka menggurangi tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial dengan masyarakat di daerah lain di Indonesia.

Sudah 17 tahun otonomi khusus Papua dilaksanakan. Artinya tinggal 7 tahun lagi (2025) batas waktu pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tersebut.

Namun demikian, belum terlihat perubahan yang signifikan, dalam penerapannya, Otsus hingga kini belum berjalan optimal. Berbagai kendala menghinggapi perjalanannya diantaranya; distrubusi kewenangan dan aliran dana yang tidak jelas, inkonsistensi pemerintah pusat dan Pemda Papua, hingga konflik kepentingan dan kekuasaan di antara elit lokal Papua, yang akhirnya mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat Papua. Padahal dalam

(5)

5 Pertimbangan pembentukan UU Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua huruf g dan h dinyatakan:2

g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;

h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi rakyat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua dan Papua Barat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua dan Papua Barat sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2 Lihat Pasal Menimbang UU Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua huruf g dan h.

(6)

6 Berdasarkan paparan sebelumnya, maka peneliti hendak berargumen bahwa adalah sebuah keniscayaan apabila UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai Subjek utama.

Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pernberdayaan rakyat.

Penjabaran dan pelaksanaan Undang-Undang ini di Provinsi dan Kabupaten/Kota seharusnya juga dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam niiai-nilai luhur masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.. Oleh karena itu perlu diketahui dan dikaji mengenai refleksi muatan kepentingan orang asli Papua dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah muatan kepentingan orang asli Papua dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat?

(7)

7 C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah kepentingan orang asli Papua sudah dijadikan muatan dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritik, memberikan sumbangan bagi pemikiran dalam ilmu hukum, khususnya dalam hal ilmu hukum perundang- undangan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

2. Secara praktis menjadi bahan masukkan atau evaluasi bagi lembaga pemerintahan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terkait pembuatan regulasi yang mengandung muatan kepentingan orang asli Papua.

E. Landasan Teori

Isu sentral penelitian ini adalah muatan kepentingan orang asli Papua dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Landasan teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini, yaitu:

(8)

8 1. Konstitusi HAM

Menurut Soetandyo, ide konstitusi disebutnya sebagai konstitutionalisme, dan digambarkan bahwa paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak—yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan)—inilah yang di dalam konsep moral dan metayuridisnya disebut “konstitutionalisme”.3 Paham ini mengantarkan perdebatan awal dalam sistem ketatanegaraan yang diatur dalam teks hukum dasar sebuah negara, atau disebut kontitusi.

Selain dalam bentuknya yang tertulis, konstitusi-konstitusi modern di dunia, ditandai, salah satunya oleh penegasan atau pengaturan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia.4Konstitusi- konstitusi yang mengadopsi prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia, setidaknya telah mendorong pada suatu idealitas sistem politik (ketatanegaraan) yang bertanggung jawab pada rakyatnya, karena menegaskannya dalam hukum dasar atau tertinggi di suatu negara. Di sinilah sesungguhnya konteks relasi negara-rakyat diuji, tidak hanya

3 Soetandyo Wignyosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia Konstitutionalisme: Hubungan Antara Masyarakat dan Negara, dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam-HuMa, November 2002, h. 415-417.

4 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, h. 101.

(9)

9 dalam bentuknya yang termaterialkan dalam konstitusi sebuah negara, tetapi bagaimana negara mengimplementasikan tanggung jawabnya atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. HAM meletakkan batasan terhadap negara dalam hubungan dengan rakyat/warga negara, berkenaan dengan kekuasaan rule-making, rule-executing maupun rule-adjudicating.5

Menurut Sri Soemantri, pada umumnya materikonstitusi atau undang-undang dasar mecakup tiga hal yang fundamental:1) Adanya jaminan terhadap HAM dan warganya; 2) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; 3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.6 Hampir di seluruh negara, konstitusi yang memuat berbagai materi muatan, termasuk kaidah-kaidah tentang Hak Asasi Manusia (HAM), ditempatkan sebagai peraturan tertinggi atau “high- ranking regulatory law, a 'statute' fraught with direct legal consequences”.7 Perlindungan terhadap HAM dalam konstitusi sebagai tuntutan normatif konstitusionalisme terhadap konstitusi

5 Krishna Djaya Darumurti, Diskresi: Kajian Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2016, hlm 136-137.

6 C. Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Malang: In-Trans Publishing, 2011, hlm. 61.

7 Bagir Manan dan Susi Dwi Harijan, Kontitusi Dan Hak Asasi Manusia, https://pn- pacitan.go.id/wp-content/uploads/2018/04/Bagir-manan-dan-Susi-Konstitusi-dan-HAM.pdf, diakses pada tanggal 15 Agustus 2018.

(10)

10 positif merefleksikan gagasan keadilan paling kuat sebagai

“humanity’s pursuit of a better world”.8

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia.9 Dalam UU No 39 Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa: hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum ,pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep HAM membuat perbedaan status seperti ras, gender, dan agama tidak relevan secara politis dan hukum dan menuntut adanya perlakuan yang sama tanpa memandang apakah orang yang bersangkutan memenuhi kewajiban terhadap komunitasnya.10 Secara konseptual, ada beberapa teori yang berkenaan dengan HAM, yaitu :11

8 Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, hlm 32-33.

9 Rhoda E. Howard, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Terjemahan: Nughara Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000, hlm. 1.

10 Ibid.

11 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 2-3.

(11)

11 1. Teori hak-hak alami (natural rights), yang berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat.

2. Teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa hak harus dituliskan dalam hukum yang riil, misalnya melalui konstitusi.

3. Teori relativis kultural (cultural relativist theory), teori ini merupakan anti-tesis dari teori hak alami, karena berpandangan bahwa hak yang bersifat universal merupakan pelanggaran terhadap dimensi kultural yang lain, atau dalam kata lain disebut dengan imperialisme kultural.

4. Doktrin Marxis (marxist doctrine and human rights), teori ini juga menolak natural rights karena beranggapan bahwa negara atau sifat kolektif yang menjadi sumber segala hak.

Dalam kenyataan, sering terdapat kesenjangan (gap) antara 'das Sollen' dan 'das Sein'. Sebagai 'das Sollen', konstitusi cq UUD biasanya memuat berbagai asas dan norma konstitusionalisme, negara hukum, demokrasi, serta perlindungan dan jaminan HAM. Tetapi tidak demikian dalam tataran 'das Sein' atau kenyataan. Dapat terjadi UUD memuat dengan lengkap aneka ragam HAM. Namun dalam kenyataan, ketentuan-ketentuan tersebut bukan saja tidak dijalankan,

(12)

12 bahkan ada berbagai pembatasan dan penindasan, serta kemiskinan dan keterbelakangan. Berdasarkan kenyataan tersebut, Walter F.

Murphy mengemukakan 3 (tiga) jenis konstitusi, yaitu:12

1. Konstitusi pura-pura. Artinya, konstitusi ada, tetapi sebenarnya tidak ada. Negara dijalankan semata-mata oleh perorangan atau kelompok kecil yang sewenang-wenang;

2. Konstitusi kosmetik, yang berarti konstitusi hanyalah sekedar alat pajangan, tidak berfungsi sesuai dengan makna dan fungsi konstitusi; dan

3. Konstitusi yang sebenarnya, dalam arti berjalan dan dijalankan sebagaimana mestinya.

Indonesia memiliki konsepsi hak-hak asasi manusia dalam hukum dasarnya sejak tahun 1945, menunjukkan adanya corak konstitutionalisme yang dibangun dan terjadi konteksnya pada saat menginginkan kemerdekaan atau lepasnya dari penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain, atau bisa disebut memiliki corak konstitutionalisme yang anti kolonialisme. Dalam Undang-Undang Dasar yang dibuat tahun 1945, telah dicantumkan hal tersebut dalam Pembukaan-nya alinea 1, yang menegaskan : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka

12Bagir Manan dan Susi Dwi Harijan, Ibid.

(13)

13 penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Alinea tersebut merupakan penanda, bahwa bangsa Indonesia sedang berkeinginan membawa rakyatnya terbebas dari segala bentuk penjajahan, dengan harapan lebih mengupayakan terciptanya sendi- sendi kemanusiaan dan keadilan. Konsepsi ini merupakan konsepsi awal, dimana penegasan hak-hak asasi manusia ditujukan tidak hanya bagi bangsa Indonesia yang saat itu baru merdeka, tetapi ditujukan untuk seluruh bangsa di dunia ini.

Secara substansi, hak-hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi tertulis di Indonesia senantiasa mengalami perubahan seiring dengan konteks perubahan peta rezim politik yang berkuasa.

Dari UUD, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 dan kini UUD 1945 Pasca Amandemen. Pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang nampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948.

Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan

(14)

14

“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan.” Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.

Kedua pasal tersebut juga memiliki konsepsi tersendiri sebagai elemen kewajiban negara. Konsepsi dalam pasal 28I ayat (4), secara substansi menegaskan bahwa negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada kesengajaan/kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan pasal 28I ayat (5), merupakan konsepsi pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, negara dalam menjalankan kewajibannya, ia bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, baik

(15)

15 dalam pembentukan sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi.13

2. Materi Muatan Isi Perda

Melalui kewenangan untuk mengurus daerah sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mengharuskan pemerintahan di daerah membentuk regulasi-regulasi dalam upaya melaksanakan roda pemerintahan di daerah yaitu dengan melahirkan peraturan daerah- peraturan daerah yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah.

Kewenangan pemerintahan daerah dalam membentuk peraturan daerah, mempunyai legitimasi/dasar yang kuat, yakni secara yuridis formal didasari dalam UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (6), yang berbunyi: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.“14 Kewenangan Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah merupakan salah satu ciri yang menunjukan bahwa pemerintah tingkat daerah tersebut adalah satuan

13 R. Herlambang Perdana Wiratraman, Konstitusionalisme & Hak-Hak Asasi Manusia:

Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA, Volume. 20, Nomor. I, 2005, hlm 9.

14Lihat Pasal 18 ayat (6) UUD 1945.

(16)

16 pemerintah otonom berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya sendiri.15

Peraturan daerah secara hierarki juga diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan hirarki Peraturan Perundang- undangan adalah sebagai berikut :16

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undangan;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Termasuk dalam peraturan daerah berdasarkan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

15 Umbu Rauta, Kontitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Yogyakarta: Genta Publishing, 2016, Hlm 3.

16 Lihat Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

(17)

17 Perundang-undangan, maka materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:17

a. Mengantar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah;

5. kewarganegaraan dan kependudukan;

6. keuangan negara.

b. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi muatan peraturan perundang-undangan harus mengandung asas- asas sebagai berikut:18

a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan peraturan perundang- undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

17 Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

18 Lihat Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(18)

18 d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah- masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.

i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

k. Asas lain, sesuai substansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Selain itu, Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:19

19 Lihat Pasal 236 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(19)

19 (1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas

Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;

dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:20

(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda.

(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara efektif dan efisien.

Mengenai muatan sanksi Pasal 238Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:

(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20 Lihat Pasal 237 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

(20)

20 (2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administratif.

(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis;

c. penghentian sementara kegiatan;

d. penghentian tetap kegiatan;

e. pencabutan sementara izin;

f. pencabutan tetap izin;

g. denda administratif; dan/atau

h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Kepentingan Orang Asli Papua

UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua menyebutkan Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.21Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

21 Lihat Pasal 1 huruf t UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

(21)

21 Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.22

Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan.

Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.23

22 Lihat Penjelasan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

23 Ibid.

(22)

22 Hal-hal mendasar yang menjadi kepentingan asli Orang Papua termaktub dalam Penjelasan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yaitu:24

1. Pengaturan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;

2. Pengakuan dan Penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar;

3. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:

a. Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan.

b. Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat, dan

c. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat.

4. Pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas jelas antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa muatan kepentingan orang asli Papua

24 Ibid.

(23)

23 dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.25

2. Pendekatan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis, maka untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan beberapa pendekatan:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu muatan kepentingan orang asli Papua dalam peraturan daerah di Provinsi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat- sifat: comprehensive, all-inclusive, systematic.26 Selain itu dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-

25Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Kencana, Jakarta, 2010, hal.

35.

26 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2006, hal. 303.

(24)

24 undangan.27 Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai muatan kepentingan orang asli Papua dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

b. Pendekatan konsep (conceptual approach).

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada.28 Dalam penelitian ini, maka penulis akan menggali konsep kepentingan orang asli daerah dalam peraturan perundang-undangan daerah berdasarkan pandangan-pandangan tokoh-tokoh dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu Hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang.29 Jadi konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun argumen- argumen hukum mengenai muatan kepentingan orang asli Papua dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

27 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal. 96.

28 Ibid, hal 137.

29 Ibid, hal 138.

(25)

25 3. Tehnik Pengumpulan Data dan Sumber Penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen- dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian.30 Oleh karena itu, sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.31 Bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian. Secara khusus hanya dipilih dua perdasus/perdasi yang menurut peneliti terkait kepentingan orang asli Papua yang lebih esensi dibandingkan dengan perdasus/perdasi yang lainnya, yaitu perdasus/perdasi mengenai Hak Ulayat dan tata cara pemilihan Majelis Rakyat Papua.

Dengan demikian bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UUD 1945; UU Nomor 21 Tahun 2001 yang telah dirubah dengan UU No.35 Tahun 2008 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

30 Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.

24.

31 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39.

(26)

26 Pemerintahan Daerah; Perdasus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Papua;

Perdasus Provinsi Papua No 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua dan Perda Provinsi Papua Barat No. 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan hasil simposium yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan interpretasi.32 Penelitian ini termasuk dalam dogmatik hukum, yaitu deskripsi, sistematisasi, analisis, interpretasi, dan menilai hukum

32 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 149-150.

(27)

27 positif.33 Dalam penelitian ini yang diinterpretasikan yaitu mengenai muatan kepentingan orang asli Papua dalam peraturan daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat..

33 J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 169.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memberikan bekal dalam melaksanakan praktik pengalaman lapangan, terlebih dahulu praktikan diberikan latihan mengajar dalam bentuk pengajaran mikro dan

banyak digunakan perusahaan dalam melatih tenaga kerjanya. Para karyawan mempelajari pekerjaan sambil mengerjakannya secara langsung. Kebanyakan perusahaan menggunakan

Kajian ini menjangkakan bahawa dunia sosial yang menjadi latar belakang kepada pembentukan komuniti sub-budaya cosplay Jepun di Malaysia terdiri daripada globalisasi,

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yag relevan tersebut penulis tertarik untuk melakukan pengabdian masyarakat dengan tema Meneguhkan Nilai Keindonesiaan

Pos Indonesia tidak menerima pengaduan setelah melewati 30 (tiga puluh) hari (untuk paket, surat kilat khusus dan surat tercatat dalam negeri), 4 bulan (untuk EMS) dan 6 bulan

Hasil analisis data juga telah menjelaskan bahwa bangunan Gedung Sekretariat ASEAN lama dan baru, telah memenuhi seluruh prinsip Arsitektur Ikonik sehingga pada

Penelitian merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan minat dan keterampilan menulis teks eksposisi te ntang seni pertunjukan Jawa dengan menggunakan

Pembuatan Motion Graphic ini berdasarkan penelitian terhadap target audiens serta hasil dari wawancara kepada ahli dalam bidang penyakit leptospirosis, kemudian