• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA A. Asesmen Asesmen (penilaian) merupakan proses memilih, mengumpulkan, serta menafsirkan sebuah informasi untuk membuat suatu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 KAJIAN PUSTAKA A. Asesmen Asesmen (penilaian) merupakan proses memilih, mengumpulkan, serta menafsirkan sebuah informasi untuk membuat suatu"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB 2

KAJIAN PUSTAKA A. Asesmen

Asesmen (penilaian) merupakan proses memilih, mengumpulkan, serta menafsirkan sebuah informasi untuk membuat suatu keputusan (Supriyati &

Muqorobin 2021). Menurut Wikarya, dkk (2018), asesmen dalam pembelajaran merupakan suatu proses pengumpulan informasi yang berkaitan dengan variabel-variabel penting pembelajaran, yang digunakan sebagai bahan dalam pengambilan keputusan oleh pendidik untuk mengevaluasi atau memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Menurut Masitoh & Aedi (2020), asesmen dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembelajaran mampu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.

Sebagaimana menurut Suciati, dkk (2021), asesmen untuk pembelajaran dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan proses belajar mengajar dengan memberikan umpan balik terhadap proses belajar siswa, memantau kemajuan, dan menentukan kemajuan belajar. Jadi, asesmen merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk mengukur dan memberikan informasi sesuai dengan apa yang dinilai. Asesmen/penilaian mencakup semua cara yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang individu (Mardapi 2018b:5). Penilaian berfokus pada individu, sehingga keputusannya juga terhadap individu.

Pengukuran menurut Arifin, zainal (2014:4) merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang dalam proses pengukurannya menggunakan alat ukur. Pengukuran diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan dengan memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa sehingga hasilnya memang berupa angka (Jamil & Khusna 2021). Dalam pendidikan, pengukuran dapat disebut sebagai proses yang digunakan untuk mengumpulkan tingkat kompetensi individu dalam bentuk numerik (Adom, dkk., 2020). Dengan kata lain, pengukuran dilakukan untuk mengukur tingkat pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh seorang siswa. Alat ukur yang digunakan dalam proses pengukuran salah satunya

(2)

9 adalah tes.

Secara istilah tes merupakan suatu prosedur yang sistematis untuk mengamati perilaku seseorang dan menggambarkannya dengan bantuan skala numerik atau sistem kategori tertentu (Ismail 2020:16). Sebagaimana menurut Arikunto (2018: 90), tes diartikan sebagai alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Adapun pengertian tes menurut Yusuf (2017:93), yaitu suatu prosedur yang spesifik dan sistematis untuk mengukur tingkah laku seseorang atau suatu pengukuran yang bersifat objektif terkait tingkah laku seseorang, sehingga tingkah laku tersebut dapat digambarkan dengan bantuan dapat berupa angka, skala atau dengan sistem kategori.

Menurut Mardapi (2018:108), tes merupakan salah satu alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran atau penilaian yang terdiri dari sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah, semua benar atau sebagian benar.

Adapun jenis-jenis tes menurut Arikunto (2013:177) dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Tes subjektif

Tes subjektif merupakan sebuah tes kemajuan belajar, dimana memerlukan suatu jawaban yang bersifat uraian kata-kata atau pembahasan (Arikunto, 2013:177). Menurut Rejeki (2016), tes subjektif adalah tes yang membutuhkan jawaban yang sifatnya uraian atau pembahasan kata-kata. Tes subjektif pada umumnya yaitu berbentuk esai atau uraian (Farida, 2017:69).

Adapun kelebihan dan kekurangan dari tes subjektif menurut Arikunto (2013:178). Kelebihan: Mudah disiapkan, tidak memberi banyak kesempatan siswa untuk berspekulasi atau menduga-duga jawaban, mendorong siswa untuk berani mengungkapkan pendapat dan menyusunnya dalam bentuk kalimat yang bagus, dan memberi kesempatan siswa untuk mengemukakan maksudnya dengan menggunakan gaya bahasa dan caranya sendiri, serta dapat mengetahui sejauh mana siswa mendalami permasalahan yang diteskan.

Kekurangan: Kadar validitas dan reabilitas rendah karena sulit mengetahui

(3)

10

segi mana dari pengetahuan siswa yang benar-benar telah dikuasainya, kurang representatif dalam hal mewakili seluruh bidang atau isi bahkan pelajaran yang akan diteskan karena soalnya hanya beberapa atau terbatas, pengokresiannya lebih sulit karena membutuhkan pertimbangan individual lebih banyak dari penilai, sehingga cara pengoreksiannya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur subjektif, dan membutuhkan waktu lebih lama serta tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Maka, penggunaan tes subjektif yang dilaksanakan secara online dirasa kesulitan baik untuk siswa menginput hasil pekerjaannya maupun guru dalam mengoreksi dan kurang maksimal dalam pelakasanaan.

2. Tes objektif

Menurut Nurjanah & Marlianingsih (2015), tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab tes sudah tersedia.

Tes objektif meliputi tes isian singkat, menjodohkan, tes pilihan ganda, serta tes benar-salah (Romadhon 2020). Bentuk tes pilihan ganda yaitu butir soal yang disusun dapat berupa suatu suatu pertanyaan dan untuk jawaban disediakan beberapa pilihan jawaban (A, B, C, D) dan salah satunya adalah jawaban yang benar (Farida 2017:59). Tes bentuk pilihan ganda adalah instrumen penilaian yang paling efektif dipakai dalam asesmen pendidikan hingga sekarang (Efrina, dkk., 2021). Kesalahan karena pemberian skor juga dapat menjadi diminimalisir, bahkan dalam lebih praktis jika menggunakan komputer (Wachidah, dkk., 2021). Bentuk tes pilihan ganda merupakan bentuk tepat untuk menjalankan tes kepada peserta banyak (Desiriah &

Setyarsih 2021).

Bentuk tes menjodohkan disediakan dua baris kolom, dengan pokok soal di kolom kiri dan jawaban di kolom kanan dan siswa diminta untuk mengaitkan pernyataan atau informasi yang disediakan (Farida 2017:61).

Bentuk tes menjodohkan digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam mengidentifikasi informasi berdasarkan hubungan yang sederhana dan kemampuan menghubungkan antara dua hal (Zamzania & Aristia 2018).

(4)

11

Bentuk tes menjodohkan hampir mirip dengan soal pilihan ganda, sebagaimana menurut Haryanto (2020), bahwa “soal tes menjodohkan masih dikelompokkan ke dalam pilihan ganda”.

Bentuk tes isian atau jawaban singkat yaitu butir soal yang tersusun dan siswa diminta menjawab dengan secara singkat berupa kata, angka, ataupun simbol ditempat yang telah disediakan (Farida 2017:62). Menurut Rosyidi (2020), bentuk tes jawaban singkat tepat digunakan untuk mengetahui tingkat ingatan/hafalan dan pemahaman siswa. Bentuk tes isian singkat sangat baik digunakan untuk pengukuran terutama dalam mengukur kemampuan belajar materi matematika (Setiawan, 2017). Bentuk tes benar salah yaitu bentuk butir soal yang terdiri dari suatu pernyataan yang harus dijawab oleh siswa sebagai pernyataan benar atau salah (Farida 2017:64).

Adapula bentuk tes pilihan ganda kompleks dari Kemdikbud (2020).

Bentuk tes pilihan ganda kompleks bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa pada sebuah permasalahan secara menyeluruh dan adanya keterkaitan antara kalimat yang satu dengan kalimat lainnya (Rohim 2019).

Menurut penelitian Septiana, dkk., (2021), siswa kurang paham mengenai soal dalam bentuk pilihan ganda kompleks yang mampu menunjang asesmen nasional. Kemudian teknik pengerjaan soal pilihan ganda kompleks yang memiliki jawaban lebih dari satu dan tidak menggunakan opsi abjad (Sari, dkk., 2021).

Adapun kelebihan dan kelemahan tes objektif menurut Arikunto, Suharsimi (2013:180). Kelebihan: Lebih objektif, lebih representatif dalam mewakili isi dan luas bahan, dapat terhindar dari campur tangan unsur-unsur subjektif baik dari segi guru maupun siswa yang mengoreksi jawabannya, lebih mudah dan cepat pengoreksiannya karena menggunakan kunci jawaban tes, dan pengoreksiannya dapat diserahkan kepada orang lain. Kelemahan:

Persiapan untuk menyusun butir soalnya jauh lebih sulit dan harus lebih teliti, butir soalnya cenderung hanya untuk mengungkapkan ingatan dan daya pengenalan kembali saja, serta sulit untuk mengukur proses mental yang tinggi, banyak kesempatan untuk siswa mengarang jawaban atau main untung-

(5)

12

untungan, dan peluang kerja sama antar siswa pada saat waktu mengerjakan soal tes lebih besar.

Menurut Suciati, dkk (2021) sebuah tes dapat dikatakan baik sebagai dasar pengambilan keputusan adalah tes yang memenuhi kriteria antara lain validitas dan reliabilitas. Menurut Arikunto (2013:72), Sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang hendak di ukur dan tes dikatakan reliabilitas atau dapat dipercaya jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang hendak di ukur (Ratnawulan & Rusdiana 2014:191).

Artinya, tes tersebut valid jika sebuah tes memberikan suatu informasi yang konsisten sesuai dengan indikator yang digunakan untuk membuat tes sebuah tes dan dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini menegaskan bahwa validitas suatu instrumen menunjukkan ketepatan instrumen mengukur apa yang hendak diukur (Alfajri, dkk., 2019).

Kata reliabilitas dalam bahasa Indonesia diambil dari kata reliability dalam bahasa inggris, berasal dari kata reliable yang artinya dapat dipercaya (Ratnawulan & Rusdiana 2014:67). Reabilitas tes adalah tingkat keajegan (konsitensi) suatu tes, yakni sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang tetap, relatif tidak berubah walaupun diteskan pada situasi yang berbeda-beda (Efendi & Widodo 2019). Tes dikatakan dapat dipercaya jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali.

Artinya, jika tes tersebut konsisten memberikan hasil pengukuran yang sama baik dilakukan pada orang berbeda, atau pada kesempatan atau waktu yang berbeda, tetapi dalam kondisi yang sama.

Hubungan antara validitas dan reliabilitas dapat dijelaskan bahwa validitas itu penting, sedangkan realibilitas itu perlu, karena reliabilitas itu menyokong validitas (Sukiman, 2012; Son 2019). Terkait dengan tingkat kesukaran item, Boopathiraj & Chellamani (2013) mendefinisikannya sebagai proporsi peserta tes yang menjawab soal tersebut dengan benar. Tingkat kesukaran soal ditentukan oleh kemampuan atau ketidakmampuan siswa dalam menjawabnya, bukan oleh asumsi yang dibuat guru yang menyusun

(6)

13

soal, karena butir soal yang sulit atau mudah bagi guru belum tentu sulit atau mudah bagi siswa. Siswa yang mampu (menguasai materi yang ditanyakan) dan siswa yang kurang mampu (belum menguasai materi yang ditanyakan) dapat dibedakan dengan butir soal. Kemampuan suatu butir soal yang demikian disebut daya beda (diskriminasi). Menurut Kocdar, dkk (2016), daya beda (diskriminasi) merupakan kemampuan item soal untuk membedakan siswa yang mendapat skor tinggi dan skor rendah. Soal yang baik dari segi daya pembeda adalah soal yang dapat dijawab dengan benar oleh peserta tes yang mampu/cerdas/menguasai materi tes, tetapi tidak dapat dijawab dengan benar oleh peserta tes yang belum mempelajari materi tes.

B. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)

Asesmen Kompetensi Minimum atau AKM merupakan salah satu kebijakan baru dari Merdeka Belajar sebagai pengganti UN yang dilangsungkan mulai tahun 2021 oleh menteri Pendidikan Indonesia (Anas, dkk., 2021). Menurut Fauziah, dkk., (2021), AKM merupakan penilaian kompetensi mendasar yang diperlukan oleh semua murid untuk mampu mengembangkan kapasitas diri dan berpartisipasi positif pada masyarakat.

Terdapat tiga kompetensi dasar AKM yang di ukur, salah satunya literasi numerasi sebagai hasil belajar kognitif (Kemdikbud, 2020; Perdana, 2021;

Aisah, dkk., 2021; Aningsih, dkk., 2022). Asesmen dimaksud untuk mengukur kemampuan siswa untuk bernalar menggunakan matematika atau numerasi (Sherly, dkk., 2020). AKM dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang saat ini jika ditinjau dari perolehan nilai PISA masih rendah (Rukoyah, dkk., 2020; Sinyanyuri, dkk., 2022). Hasil ujian ini tidak digunakan sebagai tolok ukur seleksi siswa ke jenjang berikutnya (Sherly, dkk., 2020). Akan tetapi, untuk mengetahui kemampuan kompetensi siswa, khususnya kompetensi literasi numerasi.

Komponen AKM secara keseluruhan dibagi menjadi 3 bagian yaitu konteks, proses kognitif, dan konten (Kemdikbud 2020). Konteks Asesmen Kompetensi Minimum memuat konteks-konteks yang berhubungan dengan

(7)

14

dunia siswa, lingkungan, sosial, budaya, sains, ataupun matematika yang dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu: personal, sosial-budaya, serta saintifik. Personal yaitu berkaitan dengan kepentingan diri secara pribadi;

sosial budaya yaitu berkaitan dengan kepentingan antar individu, budaya serta isu kemasyarakatan; dan saintifik yaitu berkaitan dengan aktivitas, isu, serta fakta ilmiah baik yang telah dilakukan maupun yang masih bersifat masa depan (futuristic) (Kemdikbud 2020). Penelitian ini menggunakan konteks personal dan sosial budaya, karena estimasi persentase distribusi soal pada konteks ini masing-masing 40% (Kemdikbud 2020b).

Sebagaimana juga dijelaskan oleh Kemdikbud (2020), proses kognitif AKM dibagi menjadi tiga level, diantaranya: knowing (mengetahui) digunakan untuk menilai kemampuan memahami pengetahuan siswa terkait dengan fakta, proses, konsep, serta prosedur; applying (menerapkan) yang digunakan untuk menilai kemampuan matematika dalam penerapan pengetahuan dan pemahamannya terkait dengan fakta, relasi atau hubungan, proses, konsep, prosedur, serta metode dalam situasi dunia nyata untuk memecahkan suatu masalah atau menjawab sebuah pertanyaan; kemudian reasoning (penalaran) yaitu menilai kemampuan penalaran siswa dalam menganalisis data dan informasi, menarik kesimpulan, serta memperluas pemahaman siswa dalam situasi yang baru atau yang sebelumnya tidak diketahui atau dalam situasi yang lebih kompleks.

Konten Asesmen Kompetensi Minimum dibagi menjadi 4 domain, diantaranya: Bilangan yaitu meliputi representasi, sifat urutan, dan operasi beragam jenis bilangan; Geometri dan Pengukuran yaitu meliputi mengenal bangun datar hingga penerapan menggunakan volume dan luas permukaan dalam kehidupan sehari-hari, dan juga menilai pemahaman siswa tentang pengukuran panjang, berat, volume, waktu dan debit, serta satuan luas dengan menggunakan satuan baku; selanjutnya Aljabar yaitu meliputi persamaan dan pertidaksamaan, relasi dan fungsi, pola bilangan, serta rasio dan proporsi;

kemudian Data dan Ketidakpastian yaitu meliputi pemahaman, interpretasi dan penyajian data serta peluang (Kemdikbud 2020).

(8)

15

Adapun bentuk soal dari Asesmen Kompetensi Minimum adalah pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, menjodohkan, isian atau jawaban singkat , dan esai atau uraian (Kemdikbud 2020b). Kemdikbud (2020) memaparkan, soal pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, menjodohkan, serta isian atau jawaban singkat pemberian skor atau scoring dilakukan secara objektif.

Sementara itu, untuk pemberian skor pada soal uraian atau esai dilakukan oleh penilai dengan mengacu pada aturan penskoran yang dibuat pembuat soal.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan soal pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, dan isian atau jawaban singkat. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan soal pilihan ganda sebanyak 5 soal, pilihan ganda kompleks sebanyak 2 soal, dan isian atau jawaban singkat sebanyak 3 soal.

C. Kompetensi Literasi Numerasi

Literasi merupakan kata serapan dalam bahasa Inggris yaitu literacy, yang memiliki arti kemampuan untuk membaca dan menulis (Siskawati, dkk n.d.). Literasi merupakan salah satu prasyarat kecakapan atau kemampuan hidup di abad ke-21 (Supriyati & Muqorobin 2021). World Economic Forum, pada tahun 2015 telah menyetujui enam literasi dasar yaitu: literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan (Supriyati & Muqorobin 2021; Ayuningtyas &

Sukriyah 2020; Tyas & Pangesti 2018). Literasi adalah kecakapan fundamental yang membekali siswa dengan kemampuan memilih, menganalisis informasi dengan kritis serta menggunakannya untuk mengambil keputusan dalam kehidupan (Kemdikbud 2020). Literasi mencakup kemampuan menganalisis, memberi alasan, menyampaikan gagasan secara efektif, merumuskan, memecahkan, dan menginterpretasikan masalah dalam berbagai bentuk dan situasi (Sutama, dkk 2020).

Literasi matematis merupakan pengetahuan untuk mengetahui dan menerapkan dasar matematika dalam kehidupan sehari-hari (Salim & Prajono 2018). Literasi matematis dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk merumuskan situasi secara matematis, menafsirkan, termasuk menggunakan

(9)

16

konsep matematika, fakta, prosedur, dan juga penalaran untuk menjelaskan dan atau memperkirakan suatu fenomena (Johar, 2012; OECD, 2018). Literasi matematika didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika ke dalam berbagai konteks, seperti melakukan penalaran matematika dan menggunakan konsep, metode, fakta dan alat untuk menjelaskan dan menggambarkan serta memprediksi kejadian atau peristiwa (Sari 2015). Dari pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa literasi matematis dan literasi matematika sama halnya dengan literasi numerasi yaitu kemampuan dalam memecahkan masalah matematika di kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana menurut Meiliasari, dkk., (2022), literasi matematika biasa disebut juga literasi numerasi. Menurut Kemdikbud (2020), Numerasi merupakan kecakapan utama yang memungkinkan siswa untuk menerapkan konsep bilangan dan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari, serta menganalisis informasi atau data kuantitatif. Numerasi adalah kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika (Hasnawati, 2016; Thien, 2016; Uswatun Hasanah, Edwita, 2021). Numerasi oleh World Economic Forum atau OECD memelopori numerasi, dan pada tahun 2006 UNESCO menyatakan numerasi akan menjadi salah satu determinan kemajuan suatu bangsa (Supriyati & Muqorobin 2021).

Adapun menurut Patta, dkk., (2021), literasi Numerasi adalah kemampuan seseorang atau individu menggunakan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung matematika untuk memecahkan masalah matematika kehidupan sehari-hari. Literasi numerasi merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan berbagai jenis angka dan simbol yang berkaitan dengan matematika dasar, kemudian menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai format dan menginterpretasikan hasil analisis untuk memprediksi dan mengambil keputusan (Kemdikbud 2017). Menurut (Nudiati 2020) Literasi Numerasi didefinisikan sebagai pengetahuan dan kemampuan untuk (a) Memperoleh, menafsirkan, menggunakan, dan mengomunikasikan berbagai

(10)

17

jenis angka dan simbol matematika untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari; dan (b) Menganalisis informasi yang disajikan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dan sebagainya) untuk mengambil suatu keputusan. Literasi dan numerasi adalah kompetensi yang sifatnya general dan mendasar, kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa serta matematika diperlukan dalam berbagai konteks, baik personal, sosial, maupun professional (Kemdikbud 2019).

Matematika, istilah lain dari numerasi dalam Assesmen Kompetensi Minimum (AKM) merupakan salah satu mata pelajaran yang tercantum dalam Permen Nomor 21 Tahun 2016 (Andiani 2020). Prinsip dasar literasi numerasi menurut GLN (2017): a) Bersifat kontekstual, sesuai dengan kondisi geografis, sosial budaya, dan sebagainya; b) Selaras dengan cakupan matematika dalam Kurikulum 2013; dan c) Saling bergantung dan memperkaya unsur literasi lainnya. Adapun indikator literasi numerasi menurut Hartatik & Nafiah (2020) yaitu: a) Mampu menganalisis informasi yang disajikan dalam berbagai bentuk, seperti grafik, tabel, bagan, diagram dan sebagainya; b) Mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan berbagai jenis bilangan atau simbol yang dihubungkan dengan matematika; dan c) Menafsirkan hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.

D. Materi Aritmatika Sosial

Menurut Prisiska, dkk., (2017) Aritmatika sosial merupakan bagian dari matematika yang disebut ilmu hitung. Aritmatika Sosial merupakan salah satu materi yang dapat diperkenalkan ke dunia nyata (Friantini, dkk 2020).

Aritmatika sosial merupakan satu diantara materi dalam pembelajaran matematika yang erat kaitannya dengan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Astuti, dkk., 2018). Aritmatika sosial merupakan penerapan aljabar pada kegiatan ekonomi (Musin, dkk., 2021). Menurut Friantini, dkk., (2020), aritmatika sosial adalah cabang ilmu matematika yang penerapannya berkaitan erat dengan permasalahan sosial yang kompleks, sehingga sangat

(11)

18

penting untuk menunjukkan secara nyata kepada siswa makna materi aritmatika sosial yang akan dipelajari. Aritmatika sosial merupakan suatu mata pelajaran yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, di tempat kerja ataupun untuk mempelajari mata pelajaran yang lainnya, keterampilan matematika sosial sangat dibutuhkan di rumah ataupun di tempat kerja (Muslika, 2014; Sari, dkk., 2018). Dengan demikian, materi aritmatika sosial sangat penting untuk diketahui siswa karena erat kaitannya dengan masalah pada kehidupan sehari-hari (Meilando, dkk., 2017).

Aritmatika Sosial diajarkan di kelas VII pada semester genap (Friantini, dkk., 2020; Darari & Frisnoiry, 2021). Materi aritmatika sosial yang diajarkan pada satuan pendidikan SMP/MTs meliputi harga jual, harga beli, untung, rugi dan impas, persentase untung dan rugi, diskon, pajak, bruto, tara dan netto, serta bunga tunggal (Astuti, dkk., 2018). Menurut Wijayanti & Khikmiyah (2016) karakteristik materi aritmatika sosial yaitu: a) selalu relevan dengan kehidupan sehari-hari; b) ada harga total, harga satuan atau per unit, harga beli, harga jual, untung rugi, rabat (diskon), pajak, bruto, tara, dan netto dalam kaitannya perekonomian perdagangan dan transaksi jual beli; c) perhitungan dalam materi ini melibatkan prinsip-prinsip aljabar melalui operasi hitung yang berupa pecahan dan operasi aritmatika lainnya; dan d) bentuk soal yaitu berupa rangkaian cerita (soal cerita). Soal cerita tersebut dapat dikerjakan siswa dengan cara yang berbeda-beda tergantung dari pengetahuannya.

Melihat kondisi tersebut, pemecahan masalah dalam materi aritmatika sosial dapat menggunakan cara-cara yang kreatif (Paramitha & Yunianta 2017).Dari karakteristik tersebut sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar materi aritmatika sosial. Berikut adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar materi aritmatika sosial.

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Standar Kompetensi

Menggunakan bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel dan perbandingan dalam pemecahan masalah

(12)

19

Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar

3.1 Menggunakan konsep aljabar, perbandingan, persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel dalam pemecahan masalah aritmatika sosial

4.1 Menyelesaikan permasalahan berkaitan dengan aritmatika sosial menggunakan konsep aljabar, perbandingan, persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel

Berdasarkan penelitian Halim & Rasidah (2019) didapatkan hasil wawancara sebagai berikut: (1) Siswa masih kurang memahami konsep materi aritmatika sosial, (2) Masih banyak siswa yang salah dalam menyelesaikan soal-soal operasi pada aritmatika sosial terutama dalam bentuk uraian.

Penelitian yang dilakukan oleh Evijayanti & Khotimah (2018) diperoleh hasil bahwa dalam menyelesaikan soal cerita aritmatika sosial teridentifikasi menjadi tiga macam kesulitan yang dilakukan siswa, yaitu: (1) memahami soal; (2) membuat pemodelan matematika; dan (3) proses penyelesaian. Faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah siswa tidak secara seksama membaca soal teks yang panjang, motivasi belajar siswa yang kurang, siswa terbiasa menghafal rumus dibandingkan memahami konsep, siswa kurang mengerjakan latihan-latihan soal, masih melakukan kesalahan dalam proses perhitungan, proses pembelajaran di kelas kurang kondusif dan penggunaan metode pembelajaran yang belum bervariasi. Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian lain mengungkapkan bahwa kesulitan-kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal aritmatika sosial diantaranya dalam memahami konsep yang saling berkaitan dan melakukan algoritma penyelesaian soal (Shalikhah, 2019). Kemudian berdasarkan penelitian Nuraeni, Ardiansyah, &

Zanthy (2020), faktor yang menjadi penyebab adalah masih rendahnya pemahaman siswa pada materi aritmatika sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SAW yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga proposal skripsi dengan berjudul “Analisis Pendidikan Karakter dalam Ekstrakurikuler

Untuk menunjukkan pekerjaan yang sedang terjadi pada masa lampau, ketika pekerjaan lain terjadi, baik pekerjaan lain itu menyela (seperti contoh nomor1) atau terjadi bersama-sama

seleksi bahan pustaka di UPT perpustakaan melalui Judul bahan perpustakaan yang dikirimkan dari fakultas yang sudah melalui proses seleksi, Judul-judul Bahan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia dini adalah asupan energi, berat badan lahir, tingkat pendidikan ibu, tingkat pendapatan keluarga, pola

• Terdapat 3 core dengan 1 core inti bagian belakang pada bangunan yang terbuat dari beton bertulang.. Ketiga core ini terpisah dan dihubungkan oleh struktur baja sehingga

Sistem Informasi Penerimaan Peserta Didik Baru (SIPENDIK) merupakan sebuah program aplikasi berbasis web untuk memudahkan pihak sekolah, calon peserta didik baru, dan orang tua

Hasil uji struktur mikro dapat diketahui dengan melihat hasil foto metalografi pada pendinginan terbentuk ledeburit dan cementite. Pada pendinginan udara ledeburite ke

Η Βεατρίκη και ο Φλωρίνδος βγαίνουνε κι οι δυο από τα δωμάτια τους μ'ένα μαχαίρι στο χέρι, έτοιμοι ν' αυτοκτονήσουν ε, και συ­ γκρατούνται η μία από