• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi Bahasa di Kabupaten Banyuwangi: Penelitian Dialektologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Variasi Bahasa di Kabupaten Banyuwangi: Penelitian Dialektologi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Variasi Bahasa di Kabupaten Banyuwangi: Penelitian Dialektologi

Satwiko Budiono, Sri Munawarah

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok

satwiko.iko@gmail.com

Abstrak

Adanya Tata Bahasa Baku Bahasa Using (1997) dan Kamus Bahasa Using-Indonesia (2002) yang dibuat oleh Hasan Ali membuat bahasa Using semakin mantap memisahkan diri dari bahasa Jawa. Terlebih lagi, terdapat pula peraturan pemerintah Banyuwangi tentang muatan lokal yang diajarkan pada pendidikan dasar adalah bahasa Using. Akan tetapi, Badan Bahasa (2008: 39) dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia tetap menggolongkan bahasa Banyuwangi sebagai bahasa Jawa dialek Using. Berdasarkan kondisi tersebut, tulisan ini akan memperlihatkan situasi kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi dengan menggunakan metode dialektologi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode kuantitatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan penghitungan dialektometri. Selain itu, variasi bahasa juga akan diperlihatkan ke dalam bentuk peta bahasa. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah hanya terdapat dua bahasa di Kabupaten Banyuwangi, yaitu bahasa Jawa dan Madura.

Kata kunci: Dialektologi, situasi kebahasaan, dan variasi bahasa

Language Varieties in Banyuwangi Regency: Dialectology Research Abstract

The existences of Tata Bahasa Baku Bahasa Using (1997) and Kamus Bahasa Using-Indonesia (2002) that be made by Hasan Ali have affected Using language to be separated away from Javanese language. Likewise, there are also Banyuwangi government’s policies about the application of “local-content” curriculums in elementary schools which acknowledge Using language as their local language. However, Banyuwangi language is still classified as Using dialect of Javanese in Bahasa danPeta Bahasa di Indonesia by Badan Bahasa (2008:39). Based on these conditions, the research will focus on literary situation in Banyuwangi regency using dialectology method, in quantitative and qualitative. Dialectometrics are applied on this research as quantitative calculation method. In addition, the varieties of the language will be shown in form of language map. Result of this reaserch is Banyuwangi regency have two language, Jawa and Madura language.

.

Keywords: Dialectology, languages situation, and language varieties

Pendahuluan

Adanya perbedaan penamaan bahasa yang digunakan penduduk asli Banyuwangi. Sebutan bahasa yang digunakan masyarakat Banyuwangi ada dua, yaitu bahasa Using1 dan bahasa Jawa dialek Using. Dalam klasifikasi bahasa Jawa Uhlenbeck (1964) bahasa Jawa terdiri atas                                                                                                                          

1 Bahasa Using merupakan sebutan bagi bahasa yang digunakan masyarakat Banyuwangi. Sebutan ini didasarkan pada banyaknya penelitian terdahulu yang menyebut bahasa yang digunakan masyarakat Banyuwangi adalah bahasa Using. Namun, pada penelitian ini sebutan tersebut diteliti berdasarkan metode penelitian dialektologi sehingga status dari sebutan penggunaan bahasa masyarakat Banyuwangi akan lebih diperjelas.

(2)

kelompok bahasa Jawa bagian barat, bahasa Jawa bagian tengah, dan bahasa Jawa bagian timur. Kelompok bahasa Jawa bagian barat ini meliputi dialek Banten, dialek Cirebon, dialek Tegal, dialek Banyumas, dan dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Dialek Tegal, dialek Banyumas, dan dialek Bumiayu juga mempunyai sebutan tersendiri, yaitu bahasa Jawa ngapak. Kelompok bahasa Jawa bagian tengah meliputi dialek Pekalongan, dialek Kedu, dialek Bagelen, dialek Semarang, dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), dialek Blora, dialek Surakarta, dialek Yogyakarta, dialek Madiun. Kelompok tengah ini sering disebut bahasa Jawa standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta. Terakhir, kelompok bahasa Jawa bagian timur meliputi dialek Pantura Jawa Timur (daerah Tuban dan Bojonegoro), dialek Surabaya, dialek Malang, dialek Jombang, dialek Tengger, dan dialek Banyuwangi.

Selain itu, Balai Bahasa Yogyakarta (2006: 13—22) juga menjelaskan bahwa bahasa yang dipakai oleh masyarakat Banyuwangi masih termasuk ke dalam dialek bahasa Jawa. Penggolongan bahasa Jawa sendiri dibedakan menjadi tiga, yaitu dialek bahasa Jawa standar, Banyumas, dan Jawa Timur. Dialek bahasa Jawa standar mencakup daerah Yogyakarta dan Solo. Sebagian besar dialek bahasa Jawa standar ini digunakan di daerah Jawa Tengah, seperti Yogyakarta, Purworejo, Magelang, Temanggung, Surakarta, Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, dan Wonogiri. Kemudian, dialek Banyumas meliputi wilayah karesidenan Banyumas itu sendiri, sebagian Karasidenan Pekalongan, dan sebagian barat Karesidenan Kedu. Kabupaten yang merupakan pemakai bahasa Jawa dialek Banyumas adalah Kabupaten Cilacap, Tegal, Pekalongan, dan Kebumen. Selanjutnya, bahasa Jawa dialek Jawa Timur dibedakan menjadi dua dialek, yaitu dialek Using dan dialek Jawa Timur. Dalam hal ini, dialek Using masih digolongkan ke dalam subbab dialek Jawa Timur dan tidak terpisah dari bahasa Jawa dialek Jawa Timur, seperti dialek Banyumas dan bahasa Jawa standar. Dalam subbab tersebut, dialek Using disebut sebagai dialek bahasa Jawa yang daerah pemakaiannya tersebar di Kabupaten Banyuwangi sebelah timur, yaitu Kecamatan Banyuwangi Kota dan kecamatan sekitarnya, khususnya Kecamatan Giri dan Kecamatan Glagah.

Akan tetapi, pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah membuat peraturan daerah tentang pengajaran bahasa Using di sekolah. Hal tersebut tertera dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 5 tahun 2007 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah pada Pendidikan Dasar. Dalam peraturan daerah tersebut, jenjang pendidikan dasar dan

(3)

pendidikan menengah pertama wajib mengajarkan bahasa Using sebagai kurikulum muatan lokal.

Dari kondisi di atas, adanya perbedaan penamaan bahasa yang digunakan penduduk Kabupaten Banyuwangi ini terjadi antara masyarakat dengan linguis atau ahli bahasa. Oleh karena itu, pada tulisan ini penulis melihat variasi kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi dengan menggunakan metode penelitian dialektologi. Dengan menggunakan metode penelitian dialektologi, diharapkan penulis dapat melihat bagaimana variasi bahasa di Kabupaten Banyuwangi. Dengan melihat variasi bahasa di Kabupaten Banyuwangi, penulis juga diharapkan dapat mengetahui status dari bahasa yang digunakan masyarakat Banyuwangi, apakah dapat disebut sebagai bahasa, dialek dari bahasa Jawa, atau hanya sekadar berbeda persepsi antara masyarakat Banyuwangi dengan linguis.

Tujuan penelitian dialektologi ini adalah mendeskripsikan situasi kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan kosakata umum Swadesh dan kosakata budaya dasar mengenai peralatan dan perlengkapan. Kemudian, penelitian ini juga bertujuan untuk memaparkan variasi bahasa di Kabupaten Banyuwangi. Selain itu, tujuan lain yang tidak kalah penting adalah untuk menjelaskan sebutan bahasa masyarakat Banyuwangi, yaitu bahasa Using atau bahasa Jawa dialek Banyuwangi.

Tinjauan Teoritis

Ada dua pengelompokan persentase penghitungan dialektometri. Menurut Guiter (Lauder, 2007: 96), jika hasil yang diperoleh dari perhitungan tersebut kurang dari 20%, maka dua titik pengamatan tersebut tidak terdapat perbedaan. Jika hasil yang diperoleh antara 21—30%, dapat dikatakan adanya perbedaan wicara. Jika hasil yang diperoleh antara 31—50%, dapat dianggap terdapat perbedaan subdialek. Jika hasil yang diperoleh antara 51—80%, dapat dikatakan ada perbedaan dialek. Terakhir, jika hasil yang diperoleh lebih dari 80%, terdapat perbedaan bahasa di antara kedua titik pengamatan tersebut.

Namun, dalam hal ini Lauder dalam Ayatrohaedi (2002: 12) mengusulkan pengelompokkan hasil penghitungan dialektometri yang berbeda dari Guiter. Dalam hal ini, Lauder mengusulkan bahwa hasil di atas 70% dianggap sebagai perbedaan bahasa. Selanjutnya, hasil

(4)

penghitungan antara 51—70% dianggap sebagai perbedaan dialek. Kemudian, hasil penghitungan dialektometri sebesar 41—50% dianggap sebagai perbedaan subdialek. Berikutnya, hasil yang diperoleh antara 31—40% dianggap sebagai perbedaan wicara, sedangkan perbedaan di bawah 30% dianggap tidak ada. Menurut Lauder, perbedaan hasil penghitungan tersebut disebabkan kondisi kebahasaan Indonesia yang sangat beragam sehingga pengelompokan hasil penghitungan Guiter tidak akan sesuai bila digunakan di Indonesia.

Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah pupuan lapangan. Metode tersebut dilakukan dengan merekam, mencatat, mendengar, dan memerhatikan langsung informan ketika wawancara berlangsung. Dasar metode pupuan lapangan adalah metode lapangan yang digunakan oleh Ayatrohaedi (1978:34). Kemudian peneliti juga menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif yang dikemukakan oleh Silalahi (2009:334). Metode kuantitatif digunakan untuk menghitung dialektometri, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk menganalisis data.

Hasil Penelitian

Berdasarkan penggolongan etima, kelompok etima kosakata umum Swadesh yang mempunyai jumlah kosakata terbanyak adalah kelompok dua etima. Kelompok ini mempunyai 76 glos. Tidak jauh berbeda dengan kelompok etima kosakata umum Swadesh, kelompok etima kosakata peralatan dan perlengkapan terbanyak juga diraih oleh kelompok dua etima. Perolehan kelompok etima kosakata peralatan dan perlengkapan adalah sebanyak 18 glos. Sementara itu, kelompok etima kosakata umum Swadesh yang mempunyai kosakata paling sedikit adalah kelompok sembilan etima dan dua belas etima. Keduanya sama-sama hanya memiliki satu glos. Pada kelompok etima kosakata peralatan dan perlengkapan, kelompok yang paling sedikit adalah kelompok sembilan etima. Hal ini disebabkan kelompok sembilan etima hanya memiliki satu glos. Kelompok dua etima yang mendominasi pada kosakata umum Swadesh maupun kosakata peralatan dan perlengkapan membuat dugaan bahwa bahasa di Kabupaten Banyuwangi ada dua bahasa.

(5)

Pada berkas isoglos kosakata umum Swadesh, terlihat bahwa setelah semua berkas isoglos tiap etima digabung TP 12, 13, 17, dan 18 memiliki garis isoglos yang paling tebal. Sebaliknya, TP 19, 20, 21, 22, 23, dan 24 memiliki garis isoglos yang paling sedikit atau tipis. Selebihnya, garis isoglos di daerah lain memiliki ketebalan atau pola yang hampir sama. Dalam hal ini, TP 12, 13, 17, dan 18 memiliki garis yang paling tebal karena daerah-daerah tersebut menggunakan bahasa yang berbeda dengan daerah di sekitarnya. Pada TP 12, 13, 17, dan 18 menggunakan bahasa Madura, sedangkan TP 19, 20, 21, 22, 23, dan 24 menggunakan bahasa Jawa.

Figure 1.Berkas Isoglos Kosakata Dasar Morish Swadesh

Hal yang serupa tapi tidak sama dengan berkas isoglos kosakata umum Swadesh ditunjukkan pada berkas isoglos kosakata peralatan dan perlengkapan. Kesamaan berkas isoglos kosakata peralatan dan perlengkapan dengan berkas isoglos kosakata umum Swadesh adalah TP 12, 13, 17, dan 18 memiliki garis isoglos yang tebal. Meskipun demikian, secara keseluruhan berkas isoglos kosakata umum Swadesh maupun berkas isoglos kosakata peralatan dan

(6)

perlengkapan mempunyai pola garis isogloss yang seimbang. Maksudnya, garis isoglos hampir di semua daerah atau titik mempunyai ketebalan yang sama. Hanya saja, pada berkas isoglos kosakata peralatan dan perlengkapan untuk TP 19, 20, 21, 22, 23, dan 24 tidak termasuk ke dalam daerah yang memiliki garis isoglos tipis seperti pada berkas isoglos kosakata umum Swadesh. Bahkan, pada berkas isoglos kosakata peralatan dan perlengkapan daerah yang berada di sebelah barat yang memiliki garis isoglos tipis. Kondisi berkas isoglos kosakata peralatan dan perlengkapan ini berbanding terbalik dengan kondisi berkas isoglos kosakata umum Swadesh. Berikut gambar peta berkas isoglos kosakata peralatan dan perlengkapan.

(7)

Dalam hal ini, penghitungan dialektometri yang digunakan pada penelitian ini adalah penghitungan dialektometri Lauder dalam Ayatrohaedi (2002: 12). Berikut tabel penghitungan dialektometri kosakata umum Swadesh maupun kosakata peralatan dan perlengkapan.

Table 1. Penghitungan Dialektometri Kosakata Dasar Morish Swadesh

Keterangan:

Beda Bahasa : > 70% Beda Wicara :31—40% Beda Dialek : 51—69% Beda Subdialek : 41—50% Tidak ada Beda : < 30%

Berdasarkan tabel penghitungan dialektometri di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar titik pengamatan yang satu dengan titik pengamatan yang lainnya tidak terdapat perbedaan bahasa. Hal ini disebabkan titik pengamatan di atas paling banyak memiliki jumlah persentase < 30%. Di samping itu, ada beberapa titik yang mempunyai perbedaan bahasa

TP   %   TP   %   TP   %   TP   %   1:02   8%   6:22   28%   12:13   16%   20:22   19%   1:04   19%   7:08   21%   12:18   49%   20:23   12%   1:03   10%   7:10   15%   13:18   47%   20:24   10%   1:05   11%   7:12   71%   14:15   26%   21:22   18%   1:06   13%   7:13   70%   14:19   15%   22:24   19%   1:08   12%   8:09   13%   15:16   20%   23:24   17%   2:03   7%   8:10   20%   15:19   27%       2:06   12%   8:11   14%   15:20   28%       3:04   17%   8:14   27%   15:21   29%       3:06   11%   9:11   15%   16:17   69%       3:12   63%   9:17   69%   16:21   27%       4:07   21%   10:13   71%   17:21   73%       4:12   64%   10:14   17%   17:22   71%       5:06   14%   10:18   70%   18:19   71%       5:08   12%   10:19   17%   18:23   70%       5:09   11%   11:14   25%   18:24   69%       6:09   15%   11:15   20%   19:20   8%       6:12   71%   11:16   22%   19:23   11%       6:17   69%   11:17   69%   20:21   8%      

(8)

dengan perolehan persentase > 70%. Hanya beberapa saja yang juga menunjukkan adanya perbedaan subdialek dengan perolehan persentase 47% dan 49%. Sementara itu, penghitungan dialektometri di atas tidak memperlihatkan adanya daerah yang mempunyai perbedaan wicara.

Table 2. Penghitungan Dialektometri Kosakata Peralatan dan Perlengkapan

TP   %   TP   %   TP   %   TP   %   TP   %   1:02   20%   5:09   17%   10:14   35%   16:17   49%   10:13   56%   1:04   35%   6:09   23%   10:18   58%   16:21   37%   15:21   39%   1:03   34%   6:12   52%   10:19   45%   17:21   48%   23:24   18%   1:05   27%   6:17   45%   11:14   32%   17:22   46%       1:06   31%   6:22   45%   11:15   15%   18:19   49%       1:08   30%   7:08   21%   11:16   17%   18:23   52%       2:03   21%   7:10   28%   11:17   46%   18:24   52%       2:06   23%   7:12   52%   12:13   31%   19:20   17%       3:04   34%   7:13   44%   12:18   30%   19:23   23%       3:06   24%   8:09   13%   13:18   27%   20:21   20%       3:12   56%   8:10   28%   14:15   35%   20:22   21%       4:07   21%   8:11   21%   14:19   27%   20:23   23%       4:12   63%   8:14   31%   15:16   18%   20:24   17%       5:06   25%   9:11   17%   15:19   37%   21:22   24%       5:08   18%   9:17   44%   15:20   35%   22:24   17%       Keterangan: Beda Bahasa : > 70% Beda Wicara :31—40% Beda Dialek : 51—69% Beda Subdialek : 41—50% Tidak ada Beda : < 30%

Pada tabel dialektometri kosakata peralatan dan perlengkapan di atas, persentase terbesar ditunjukkan dengan perolehan sebesar 63%. Sebaliknya, persentase terkecil diperlihatkan dengan perolehan sebesar 15%. Hal tersebut menandakan bahwa berdasarkan kosakata peralatan dan perlengkapan tidak ada daerah titik pengamatan yang dianggap sebagai perbedaan bahasa walaupun pada tabel dialektometri kosakata umum Swadesh terdapat

(9)

daerah titik pengamatan yang dianggap berbeda bahasa dengan daerah lainnya. Kondisi ini bisa saja terjadi karena peralatan dan perlengkapan yang digunakan oleh semua penduduk di daerah titik pengamatan di Kabupaten Banyuwangi memiliki kesamaan penyebutan walaupun ada pendatang dari Madura yang sebenarnya sudah jelas memperlihatkan perbedaan bahasa dengan bahasa Jawa.

Pembahasan

Situasi kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi sangat menarik untuk dilihat lebih mendalam. Hal ini disebabkan adanya pengakuan dari penduduk asli Banyuwangi yang dinamakan sebagai orang Using bahwa mereka tidak menggunakan bahasa Jawa, tetapi bahasa Using. Namun, dari beberapa buku yang telah ditemukan mengenai penamaan bahasa yang digunakan penduduk Banyuwangi ini tidak memiliki kesamaan. Hal tersebut membuat ketidakjelasan status bahasa yang dipakai masyarakat Banyuwangi. Tentu saja, hal ini membuat masyarakat Banyuwangi maupun masyarakat di luar Banyuwangi menjadi bingung. Dalam hal ini, bagaimana situasi kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi juga dapat terlihat dari pengakuan informan penelitian ini terkait bahasa yang digunakan sehari-hari.

Table 3. Pengakuan bahasa Mayoritas Setiap Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi

No Kecamatan Bahasa

Mayoritas

No Kecamatan Bahasa

Mayoritas

1 Glagah Using 13 Glenmore Madura

2 Giri Using 14 Genteng Jawa

3 Kalipuro Using 15 Gambiran Jawa

4 Licin Using 16 Cluring Using

5 Kabat Using 17 Muncar Madura

6 Banyuwangi Kota

Using 18 Kalibaru Madura

7 Songgon Jawa 19 Tegalsari Jawa

8 Singojuruh Using 20 Bangorejo Jawa

9 Rogojampi Using 21 Purwoharjo Jawa

10 Sempu Jawa 22 Tegaldlimo Jawa

11 Srono Using 23 Siliragung Jawa

12 Wongsorejo Madura 24 Pesanggaran Jawa

Pengakuan penggunaan bahasa yang digunakan masyarakat asli Banyuwangi tersebut memiliki kondisi yang berbeda dengan hasil penghitungan dialektometri. Pada tabel

(10)

sebelumnya dapat terlihat adanya tiga bahasa yang dominan digunakan di Kabupaten Banyuwangi, yaitu bahasa Jawa, Madura, dan Using. Akan tetapi, pada penghitungan dialektometri hanya terdapat dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Jawa dan Madura. Bahasa Using yang diklaim sebagai bahasa yang terpisah dari bahasa Jawa ini ternyata memiliki persentase perbedaan yang sangat kecil sekali dengan perolehan rata-rata < 30%. Perolehan yang berbeda ditunjukkan oleh bahasa Madura yang mempunyai perolehan penghitungan rata-rata >70% dengan titik pengamatan lainnya. Hal ini membuat bahasa Jawa dan Using dapat dianggap tidak memiliki perbedaan bahasa. Dengan begitu, sebutan bahasa yang digunakan masyarakat Banyuwangi asli berdasarkan penghitungan dialektometri adalah bahasa Jawa Banyuwangi.

Bila dikaitkan dengan situasi kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi, ada banyak variasi yang muncul dari data yang diambil berdasarkan 271 kosakata umum Swadesh maupun kosakata peralatan dan perlengkapan. Variasi bahasa Jawa Banyuwangi ini dibedakan menjadi tiga, yaitu perubahan bunyi, penghilangan bunyi, dan penambahan bunyi. Pada perubahan bunyi terdapat beberapa kosakata yang dapat disebut sebagai pasangan minimal. Salah satu contoh dari adanya pasangan minimal tersebut ditunjukkan dari adanya perbedaan bunyi konsonan /m/ dengan /b/. Hal tersebut terlihat pada [tamεŋ] dengan [tabεŋ] yang memiliki arti ‘perisai’. Perubahan bunyi tersebut terjadi pada bagian tengah kata.

Pada variasi bahasa jenis ini, terdapat pula kekhasan dari bahasa yang diujarkan oleh orang Banyuwangi. Kekhasan tersebut terlihat dari perubahan bunyi /i/ dan /u/ pada bagian akhir kata. Hal tersebut diketahui dari [awu] menjadi [awaw] dari glos ABU, [təәlu] menjadi [təәlaw] dari glos TIGA, [susu] menjadi [susaw] dari glos SUSU, dan seterusnya. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan pada akhiran bunyi /i/ yang berubah menjadi [ay]. Contoh dari adanya perubahan /i/ menjadi [ay] terlihat pada [tali] dengan [talay] dari glos TALI, [bəәŋi] dengan [bəәŋay] dari glos MALAM, [mili] dengan [milay] dari glos ALIR (ME), dan seterusnya.

Di sisi lain, ada pula jenis variasi bahasa berupa penghilangan bunyi. Biasanya, penghilangan bunyi terletak di bagian awal dan akhir. Meskipun demikian, ada juga penghilangan bunyi bagian tengah, Hanya saja, bila dilihat berdasarkan frekuensi kemunculan jenis ini lebih

(11)

sering terletak pada bagian awal dan akhir. Hal ini terbukti dari [wulan] dan [ulan] dari glos BULAN. Pada [wulan] dan [ulan], bunyi konsonan /w/ yang berada di bagian depan kata menjadi hilang. Penghilangan bunyi /w/ pada bagian depan ini menjadi penanda variasi bahasa dari penyebutan [wulan]. Hal ini bisa saja disebabkan [wulan] dianggap terlalu panjang sehingga orang yang ingin cepat mengujarkannya menjadi tidak melibatkan bunyi /w/ pada bagian depan kata.

Kemudian, ada pula penambahan bunyi yang menjadi penanda adanya variasi bahasa. Penambahan bunyi ini cenderung memiliki pola yang khas dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banyuwangi. Penambahan bunyi tersebut adalah/y/ dan /Ɂ/. Tidak hanya itu, ada pula penambahan bunyi /ŋ/ dan /m/. Dari sebagian besar penambahan bunyi yang telah disebutkan, perbedaan di antara penambahan bunyi tersebut terletak pada posisi bunyi tersebut. Pada penambahan bunyi /ŋ/ dan /m/ terjadi pada bagian depan kata, sedangkan penambahan bunyi /Ɂ/ terjadi pada bagian akhir kata. Lain halnya dengan penambahan bunyi /y/ yang dapat berada di depan maupun tengah kata. Hal tersebut terlihat pada [bulan] dengan [mbulan] dari glos BULAN, [ŋguyu] dari glos TERTAWA, [limᴐɁ] dari glos LIMA.

Sementara itu, penambahan bunyi /y/ dapat terlihat dari [abyaŋ] dari glos MERAH, [byantal] dari glos BANTAL, dan [gyarIŋ] dari glos KERING. Dalam hal ini, ketidakkonsistenan pemakaian pola variasi bahasa ini dapat terlihat pada kata atau glos AIR. Ada beberapa informan yang menyebutkan [byaɲu] dan [baɲaw]. Hal ini membuktikan bahwa pemakaian [aw] atau sisipan bunyi /y/ tergantung dari kenyamanan dan keberterimaan masyarakat daerah tersebut. Hal yang sudah jelas adalah variasi bahasa ini tidak konsisten selalu diikuti dengan pola yang sama.

Di lain pihak, bahasa Madura juga mempunyai beberapa variasi bahasa. Hal ini disebabkan bahasa Madura pun memiliki beberapa dialek yang berbeda antara satu dialek Madura dengan dialek Madura lainnya. Biasanya, pembeda bahasa Madura dilihat dari bahasa Madura mana yang digunakan atau asal dari orang Madura tersebut. Ciri yang paling terlihat dari bahasa Madura ini adalah penggantian bunyi /a/ dalam bahasa Indonesia dengan bunyi /əә/, seperti [dagiŋ] dan [dəәgiŋ]. Selain itu, kebanyakan bunyi vokal yang diucapkan di akhir kata adalah bunyi /ε/. Hal tersebut terlihat dari [talεh] dari glos TALI dan [kƱnεŋ] dari glos KUNING. Hal ini juga dapat menandakan bahwa bunyi /i/ cenderung berubah menjadi bunyi /ε/ dalam bahasa Madura. Variasi dari bahasa Madura ini sendiri di Banyuwangi terletak dari adanya penambahan bunyi di bagian akhir. Hal ini terlihat dari adanya penyebutan [atε] dengan

(12)

[atεh] dan [rəәbbəә] dengan [rəәbbəәh]. Penambahan bunyi yang menandakan perbedaan variasi bahasa ini dimunculkan dengan adanya bunyi konsonan /h/ di bagian akhir kata. Dilihat dari frekuensi kemunculannya, penambahan bunyi merupakan variasi bahasa Madura yang tergolong banyak jumlahnya.

Dalam hal ini, perubahan ketiga akhiran konsonan /k/, /p/, dan /t/ dalam bahasa Jawa standar menjadi /g/, /b/, dan /d/ dalam bahasa Jawa Banyuwangi sama dengan pola bahasa Jawa dialek Banyumas. Hal ini membuat bahasa Jawa Banyuwangi dengan dialek Banyumas memiliki persamaan. Dalam hal ini, penemuan kesamaan pola bahasa Jawa Banyuwangi ini membuat penelitian terkait hubungan kebahasaan yang dimiliki bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa Banyuwangi ini perlu ditelaah lebih mendalam pada penelitian lainnya.

Bahasa Jawa Banyuwangi ini juga mempunyai ciri khas yang sangat berbeda dalam tingkat tutur dengan bahasa Jawa pada umumnya, khususnya bahasa Jawa Banyuwangi di Kecamatan Glagah. Bahasa Jawa Banyuwangi tidak memiliki strata dalam tingkat tuturnya. Bahasa Jawa Banyuwangi hampir sama dengan bahasa Indonesia. Tidak ada perbedaan kosakata yang digunakan untuk berkomunikasi kepada siapapun, baik berbeda usia dan status sosialnya. Hal ini membuat pemakaian bahasa Jawa Banyuwangi menjadi bahasa yang tidak berjarak dan menimbulkan kedekatan antara pembicara dengan mitra tutur walaupun keduanya belum saling mengenal atau belum akrab. Akan tetapi, pemakaian bahasa Jawa Banyuwangi yang tidak memiliki tingkat tutur ini hanya terjadi di Kecamatan Glagah. Pada kecamatan lain yang mayoritasnya menggunakan bahasa Jawa Banyuwangi, masyarakatnya masih menggunakan tingkat tutur dalam berkomunikasi dengan orang lain. Bisa dibilang, jika masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa Banyuwangi selain Kecamatan Glagah menggunakan tingkat tutur yang lebih tinggi, pemakaian bahasa Jawa standar dengan kosakata krama ataupun madya yang digunakan untuk berkomunikasi. Hal ini menandakan bahwa bahasa Jawa Banyuwangi di Kecamatan Banyuwangi, Kalipuro, Giri, Licin, Srono, Kabat, Rogojampi, dan Singojuruh disamakan dengan bahasa Jawa ngoko.

(13)

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan persepsi antara masyarakat Banyuwangi dengan linguis atau ahli bahasa. Masyarakat Banyuwangi menganggap bahwa bahasa Using adalah bahasa yang berdiri sendiri dan terpisah dari bahasa Jawa. Hal ini memiliki tujuan untuk menunjukkan identitas atau jati diri yang berbeda dari penduduk non-Banyuwangi.

Dari segi linguistik, bahasa mayoritas yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi ada dua, yaitu bahasa Jawa dan Madura. Dalam hal ini, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Using oleh penduduk Banyuwangi tidak menunjukkan adanya perbedaan bahasa dalam penghitungan dialektometri. Bahkan, bahasa yang dituturkan penduduk asli Banyuwangi tersebut tidak termasuk ke dalam golongan beda wicara maupun beda dialek dengan bahasa Jawa. Hal ini terbukti dari perolehan penghitungan dialektometri yang sebagian besar < 30%.

Dari jumlah etima, dalam kosakata umum Swadesh maupun kosakata peralatan dan perlengkapan kelompok etima yang mendominasi adalah kelompok dua etima. Hal ini menguatkan hasil penghitungan dialektometri bahwa bahasa mayoritas di Banyuwangi hanya ada dua, yaitu bahasa Jawa dan Madura. Hal tersebut dapat terlihat dari kosakata dua etima yang mempunyai jumlah glos paling banyak. Selain itu, banyaknya etima disertai banyaknya pelambang yang terdapat pada data juga memperlihatkan ada banyak variasi bahasa pada bahasa Jawa maupun bahasa Madura.

Dalam penghitungan dialektometri kosakata umum Swadesh itu sendiri, perolehan persentase tertinggi 73% pada Kecamatan Muncar dengan Kecamatan Tegaldlimo. Perolehan tersebut menandakan adanya perbedaan bahasa antara Kecamatan Muncar dan Kecamatan Tegaldlimo. Kecamatan Muncar menggunakan bahasa Madura dan Kecamatan Tegaldlimo menggunakan bahasa Jawa. Sebaliknya, perolehan persentase terkecil ditunjukan dengan perolehan 8% pada Kecamatan Glagah dengan Kecamatan Giri. Kondisi tersebut berbeda dengan penghitungan dialektometri kosakata peralatan dan perlengkapan yang memperoleh persentase tertinggi sebesar 56% dengan rata-rata perolehan 30%. Artinya, sebagian besar perolehan persentase menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bahasa.

(14)

Dari berkas isoglos terlihat adanya penumpukan pada TP 12, 13, 17, dan 18 pada kosakata umum Swadesh maupun kosakata peralatan dan perlengkapan. Titik pengamatan tersebut adalah Kecamatan Wongsorejo, Glenmore, Kalibaru, dan Muncar. Selebihnya, titik pegamatan lainnya tidak memiliki ketebalan garis seperti TP 12, 13, 17, dan 18. Hal tersebut menandakan bahwa bahasa Jawa dan bahasa Using tidak memiliki perbedaan bahasa sehingga lebih tepat bila disebut sebagai bahasa Jawa Banyuwangi.

Bahasa Madura maupun bahasa Jawa Banyuwangi ini mempunyai variasi bahasa yang dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu penambahan bunyi, penghilangan bunyi, dan perubahan bunyi. Dari ketiga jenis variasi bahasa tersebut, perubahan bunyi adalah jenis yang paling banyak ditemukan, sedangkan jenis yang paling sedikit jumlahnya adalah penghilangan bunyi. Namun, pada bahasa Madura, penambahan bunyilah yang paling banyak ditemukan. Meskipun dalam penghitungan dialektometri dianggap tidak memiliki perbedaan bahasa dengan bahasa Jawa, tetapi bahasa yang digunakan penduduk Banyuwangi tersebut memiliki ciri khas yang melekat dan tidak dimiliki pemakai bahasa Jawa lainnya. Ciri khas tersebut ditandai dengan adanya penyebutan [ay], [aw], [by], [wy], dan [gy]. Pada tingkatan bunyi juga terdapat ciri dari bahasa yang digunakan penduduk Banyuwangi, yaitu dengan adanya perubahan bunyi akhiran /k/, /p/, dan /t/ menjadi /g/, /b/, dan /d/ walaupun tidak semua kosakata disebutkan dengan akhiran demikian.

Kesimpulan terakhir, bahasa Jawa Banyuwangi memiliki dua pola tingkat tutur yang berbeda. Pada bahasa Jawa Banyuwangi di Kecamatan Banyuwangi, Glagah, Kalipuro, Giri, Licin, Srono, Kabat, Rogojampi, dan Singojuruh masyarakatnya menggunakan tingkat tutur sesuai dengan tingkat tutur bahasa Jawa pada umumnya. Namun, bahasa Jawa Banyuwangi di Kecamatan Glagah tidak memiliki tingkat tutur dalam berkomunikasi.

Saran

Dengan adanya penelitian dialektologi di Kabupaten Banyuwangi ini, terdapat beberapa persoalan atau fakta dalam aspek bahasa di Kabupaten Banyuwangi ini yang menarik bila ditinjau lebih mendalam. Terlebih lagi, penelitian bahasa di Kabupaten Banyuwangi masih terhitung sedikit atau belum sebanyak penelitian seni maupun budaya. Salah satu kondisi kebahasaan yang bisa dijadikan penelitian adalah sikap bahasa masyarakat asli Banyuwangi

(15)

atau orang Using. Penelitian yang bisa dilihat dari segi sosiolinguistik ini cocok untuk melihat sikap bahasa dari masyarakat Using ini. Pertanyaan besar seperti mengapa masyarakat Using tidak ingin disebut masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa akan menarik untuk diketahui dan menjadikan hasilnya sebagai fakta atau penemuan baru walaupun secara linguistik tidak terbukti berbeda bahasa.

Selain itu, dari segi linguistik bandingan historis juga dapat menjadikan kondisi kebahasaan Kabupaten Banyuwangi sebagai objek yang potensial untuk dikaji. Bagaimana tidak, pengakuan bahasa Using oleh masyarakat asli Banyuwangi ini dapat memunculkan pertanyaan mengenai asal dari adanya kekhasan bahasa ini. Apakah bahasa Jawa Banyuwangi merupakan turunan dari bahasa Jawa dialek Jawa Timur, atau malah turunan dari bahasa Jawa Banyumas. Hal tersebut disebabkan adanya kesamaan bunyi akhiran bahasa Jawa Banyuwangi dengan bahasa Jawa Banyumas yang berbeda dengan bahasa Jawa standar dari bunyi akhiran konsonan /k/, /p/, dan /t/ menjadi /g/, /b/, dan /d/.

Di luar cabang linguistik, kajian berdasarkan perspektif ilmu sejarah juga dapat dikembangkan lebih jauh dari penelitian ini. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pada tulisan ini telah memuat adanya kemiripan antara bahasa Jawa Banyumas dengan bahasa Jawa Banyuwangi. Hal ini menimbulkan dugaan apakah masyarakat Banyuwangi merupakan pindahan atau berasal dari daerah Banyumas yang kemudian menetap di daerah Banyuwangi. Atau, masyarakat Banyuwangi memang memiliki hubungan yang erat dengan daerah Banyumas sehingga memengaruhi bahasa yang digunakan masyarakat Banyuwangi. Dugaan tersebut akan dapat terjawab dari segi sejarah.

Daftar Referensi

Arifin, Winarsih Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient bekerja sama dengan Yayasan Bentang Budaya.

Arps, Bernard. 2010. Geliat Bahasa Selaras Zaman. Tokyo: Research Institute for Language and Cultures of Asia and Africa (ILCAA) Tokyo University of Foreign Studies. Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

(16)

____________. 2002. Pedoman Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

____________. 1997. Kamus Khusus Penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

BAPPEDA Kabupaten Banyuwangi. http://banyuwangikab.go.id/profil/peta.html. Diakses pada tanggal 13 Juli 2014.

Chambers, J.K, dan Peter Trudgill. 2007. Dialectology: Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Campbell, Lyle. 1998. Historical Linguistic: An Introduction. Cambridge: The MIT Press. Francis, W N. 1983. Dialectology: An Introduction. New York: Longman Lingustic Library. Herawati, Isni, dkk. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Using, Kabupaten

Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. DIY: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai KajianSejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Herusantosa, Suparman. 1987. Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi. Disertasi: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: PT Gramedia.

Kliping Humas Universitas Indonesia. 2009. Memetakan Bahasa Ibu. Jakarta: Republika. Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Akbar Media

Eka Sarana.

____________. 2002. Reevaluasi Konsep Pemilah Bahasa dan Dialek untuk Bahasa Nusantara. Depok: Makara Sosial Humaniora.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 2007. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 5 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah Pada jenjang Pendidikan Dasar. Prawiradirja, R. Rangga. 1981. Serat Damarwulan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Soetoko, dkk. 1981. Geografi Dialek Banyuwangi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sugono, Dendy. 1985. Verba Transitif Dialek Osing Analisis Tagmemik. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ____________. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa

(17)

Suprapti. (ed.). 1993. Pola Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Using di Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Uhlenbeck, E.M. 1964. A Critical Survey of Studies on The Languages of Java and Madura. The Hague: Martinus Nijhoff.

Utorodewo, Felicia. N, dkk. 2011. Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Depok: Universitas Indonesia.

Gambar

Figure 1.Berkas Isoglos Kosakata Dasar Morish Swadesh
Figure 2. Berkas Isoglos Kosakata Peralatan dan Perlengkapan
Table 1. Penghitungan Dialektometri Kosakata Dasar Morish Swadesh
Table 2. Penghitungan Dialektometri Kosakata Peralatan dan Perlengkapan  TP	
   %	
   TP	
   %	
   TP	
   %	
   TP	
   %	
   TP	
   %	
   1:02	
   20%	
   5:09	
   17%	
   10:14	
   35%	
   16:17	
   49%	
   10:13	
   56%	
   1:04	
   35%	
   6:09	
   23%	
   10:18	
   58%	
   16:21	
   37%	
   15:21	
   39%	
   1:03	
   34%	
   6:12	
   52%	
   10:19	
   45%	
   17:21	
   48%	
   23:24	
   18%	
   1:05	
   27%	
   6:17	
   45%	
   11:14	
   32%	
   17:22	
   46%	
   	
   	
  1:06	
  31%	
  6:22	
  45%	
  11:15	
  15%	
  18:19	
  49%	
   	
   	
  1:08	
  30%	
  7:08	
  21%	
  11:16	
  17%	
  18:23	
  52%	
   	
   	
  2:03	
  21%	
  7:10	
  28%	
  11:17	
  46%	
  18:24	
  52%	
   	
   	
  2:06	
  23%	
  7:12	
  52%	
  12:13	
  31%	
  19:20	
  17%	
   	
   	
  3:04	
  34%	
  7:13	
  44%	
  12:18	
  30%	
  19:23	
  23%	
   	
   	
  3:06	
  24%	
  8:09	
  13%	
  13:18	
  27%	
  20:21	
  20%	
   	
   	
  3:12	
  56%	
  8:10	
  28%	
  14:15	
  35%	
  20:22	
  21%	
   	
   	
  4:07	
  21%	
  8:11	
  21%	
  14:19	
  27%	
  20:23	
  23%	
   	
   	
  4:12	
  63%	
  8:14	
  31%	
  15:16	
  18%	
  20:24	
  17%	
   	
   	
  5:06	
  25%	
  9:11	
  17%	
  15:19	
  37%	
  21:22	
  24%	
   	
   	
  5:08	
  18%	
  9:17	
  44%	
  15:20	
  35%	
  22:24	
  17%	
   	
   	
   Keterangan:   Beda Bahasa    : &gt; 70%  Beda Wicara     :31—40%  Beda Dialek    : 51—69%  Beda Subdialek  : 41—50%
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sasongko, Hasto Aji. 2015.Variasi Leksikal Bahasa Jawa Ngoko Masyarakat Desa Ngadirejo Kecamatan Reban Kabupaten Batang. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas

atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Idiom Bahasa Jawa Dialek Osing di Kecamatan Kabat Kabupaten Banyuwangi

Variasi Leksikal Bahasa Jawa Ngoko Masyarakat Desa Ngadirejo Kecamatan Reban Kabupaten Batang.. Semarang : Universitas

Variasi dialek bahasa Bugis yang muncul di dua daerah pengamatan mengalami perbedaan fonologis yang terdiri dari proses perubahan fonem vokal, perubahan vonem konsonan, dan

Penelitian relevan sebelumnya adalah menentukan variasi-variasi fonologis bahasa Indonesia pada tuturan kelompok masyarakat penutur bahasa Makassar dan korespondensi

Misalnya, adanya perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh raja (keturunan raja) dengan masyarakat biasa dalam bidang kosa kata, seperti kata mati digunakan untuk masyarakat

Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa kata-kata yang digunakan oleh masyarakat Pulau Bawean kebanyakan tidak jauh berbeda dengan kata-kata dalam bahasa Madura, meskipun

Penelitian ini mengkaji variasi dialektal di Kabupaten Jember dan Banyuwangi bagian selatan. Hal tersebut di latarbelakangi oleh keadaan demografi di daerah setempat, seperti DP 1