• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARYA PELAYANAN PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA BUNDA YANG BERBELAS KASIH DI PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK GONG, JAKARTA BERDASARKAN SPIRITUALITAS PENDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KARYA PELAYANAN PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA BUNDA YANG BERBELAS KASIH DI PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK GONG, JAKARTA BERDASARKAN SPIRITUALITAS PENDIRI"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

 

KARYA PELAYANAN

PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA BUNDA YANG BERBELAS KASIH

DI PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK GONG, JAKARTA BERDASARKAN SPIRITUALITAS PENDIRI

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Ridawati Marbun NIM: 051124011

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i  

KARYA PELAYANAN

PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA BUNDA YANG BERBELAS KASIH

DI PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK GONG, JAKARTA BERDASARKAN SPIRITUALITAS PENDIRI

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Ridawati Marbun NIM: 051124011

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv  

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

para suster cinta kasih dari Maria Bunda yang berbelas kasih (SCMM), para suster di Komunitas St. Sesilia Yogyakarta,

ibuku, sanak keluarga yang selalu mendukung dan menguatkan aku dalam menjalani hidup ini, beserta teman-teman, sahabat,

(6)

v  

MOTTO

“Cinta itu menyakitkan. Cinta senantiasa mengajak kita untuk menanggalkan diri sendiri, memberikan diri kepada yang lain. Agar benar-benar nyata, cinta menuntut pengorbanan, harus terluka sebab demi cinta seseorang harus

mengosongkan dirinya sendiri. Jika tidak sampai pada pengalaman terluka, tidak pernah ada cinta sejati pada diri kita”.

(Krispurwana Cahyadi, 2010: 225)

”Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.

(Mat 25:40)

Duc In Altum

”Bertolaklah Ketempat Yang Dalam”

(7)

vi  

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Desember 2010 Penulis,

(8)

vii  

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:

Nama : Ridawati Marbun NIM : 051124011

Demi pengembangan ilmu pengetahuan saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul KARYA PELAYANAN PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA BUNDA YANG BERBELAS KASIH DI PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK

GONG, JAKARTA BERDASARKAN SPIRITUALITAS PENDIRI beserta

perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan hak kepada Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 6 Desember 2010 Hormat saya,

(9)

viii  

ABSTRAK

Judul skripsi KARYA PELAYANAN PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA BUNDA YANG BERBELAS KASIH DI PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK GONG, JAKARTA BERDASARKAN SPIRITUALITAS PENDIRI dipilih berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa karya pelayanan yang dijalankan di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta masih jauh dari semangat dan spiritualitas pendiri. Pelayanan mereka belum berdasarkan semangat cinta yang penuh belas kasih dan masih sebatas pelayanan lahiriah atau jasmaniah kurang memperhatikan hati dan kondisi orang yang dilayani. Bertitik tolak dari keprihatinan ini, maka penulis tergerak untuk memberikan sumbangsih kepada para suster dan awam yang melayani kaum lanjut usia di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta. Penulis menawarkan pada mereka untuk mendalami dan menghayati Spiritualitas Belaskasih agar dalam menjalankan karya pelayanannya, mereka yang dilayani dapat mengalami sentuhan kasih yang menyembuhkan, menyemangati, dan menyelamatkan.

Persoalan pokok yang dibicarakan dalam skripsi ini adalah bekal rohani para Suster SCMM dalam melaksanakan karya pelayanan di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta. Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas yang diterbitkan Kongregasi dan sumber-sumber lain yang relevan agar dapat menjawab permasalahan tentang karya pelayanan yang dijalankan oleh para suster SCMM dan awam di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta.

(10)

ix  

ABSTRACT

Services of the Sisters of Charity of Our Lady Mother of Mercy in Nursing Home of St. Anna, Teluk Gong, Jakarta, Based on The Founder’s Spirituality is chosen as the title of this paper because based on the available facts, the work services carried out in Nursing Home of St. Anna, Teluk Gong, Jakarta are still far away from what are expected by the founder’s spirit (vigor) and spirituality. Their services are not spiritual based on affection. They are just physical services, without attention to the heart and condition of the people being served. From this concern, the writers was touched moved to give contribution to the Sisters and common people who serve the elderly ones in Nursing Home of St. Anna, Teluk Gong, Jakarta. The writer invites them to deepen and appreciate the spirituality of mercy, so the served people will experience the touch of love which is able to save, heal, and inspire.

The main problem discussed in this paper is the spiritual provision of SCMM’s Sisters to carry out the service works in Nursing Home of St. Anna, Teluk Gong, Jakarta. The writer herself used descriptive – analytic to write this paper. Spiritual books published by SCMM Congregation and other relevant sources are used to answer the problems about the work services run by the Sisters of SCMM and common people in Nursing Home of St. Anna, Teluk Gong, Jakarta.

(11)

x  

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Bapa yang maha pemurah karena kasih dan penyertaan-Nya sejak awal penulisan sampai penyelesaian skripsi yang berjudul KARYA PELAYANAN PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA

BUNDA YANG BERBELAS KASIH DI PANTI LANSIA SANTA ANNA,

TELUK GONG, JAKARTA BERDASARKAN SPIRITUALITAS PENDIRI.

Semoga skripsi ini memberikan sumbangan bagi para Suster SCMM dan awam dalam menjalankan karya pelayanan khususnya pelayanan kepada para lansia di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta.

Penulis berharap agar sumbangan pemikiran akan pentingnya penanaman nilai-nilai spiritualitas dalam karya pelayanan semakin dihayati, didalami dan diwujudkan sehingga Spiritualitas Belaskasih nyata dalam pelayanan para Suster SCMM. Dengan demikian orang-orang yang dilayani dapat mengalami dan merasakan kehadiran Tuhan yang menyembuhkan dan menyelamatkan lewat, perhatian, kehadiran dan pelayanan yang berbelas kasih. Selain itu skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan segenap hati mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

(12)

xi  

memberikan wawasan dan masukan sehingga penulis termotivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai selesai.

2. Rm. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen wali dan penguji yang memberi perhatian, memotivasi dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi serta bersedia memberikan masukan demi penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd.  selaku dosen penguji yang mendukung dan memberi perhatian lewat tegur sapa yang menyemangati penulis.

4. Para Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendampingi dan membagikan pengetahuan, pengalaman, pelayanan dan cinta kepada penulis selama menjalani masa studi sampai selesainya penulisan skripsi ini.

5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, serta seluruh karyawan yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis selama studi dan sampai penyelesaian skripsi ini.

6. Pimpinan Provinsial beserta Dewan Kongregasi Suster SCMM, yang telah memberikan dukungan, perhatian, kepercayaan dan cinta kepada penulis selama menjalani studi di IPPAK, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, sampai selesainya skripsi ini.

(13)

xii  

doa dan cinta kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

8. Sr. Lidwin Kartini, SCMM selaku pimpinan Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta, yang telah membantu penulis dengan memberikan masukan tentang Panti Lansia St. Anna, sehingga penulis dapat mengetahui secara lebih rincin keadaan Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta.

9. Saudaraku para Frater CMM yang telah mendukung penulis dengan caranya masing-masing sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. 10. Sr. Nivarda, ADM dan Sr. Ana Rosnani, MSFA serta Sr. Stefani Gultom,

FCJM yang selalu mendukung dan menyemangati dan bersama-sama berjuang dalam suka maupun duka mulai dari awal penulisan skripsi ini sampai selesai.

11. Sahabat-sahabat yang selalu memotivasi, mendukung, memberikan bantuan dengan penuh cinta dan bersama-sama berjuang dalam suka maupun duka mencapai cita-cita yang diinginkan.

12. Teman-teman mahasiswa khususnya angkatan 2005/2006 yang turut berperan dalam membantu dan memberikan semangat, dukungan, perhatian, doa dan cinta, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar.

(14)

xiii  

14. Semua pihak yang dengan caranya sendiri telah memberikan sumbangan yang berharga selama penulis melaksanakan studi dan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap, skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

(15)

xiv  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB II. GAMBARAN TENTANG PENDIRI DAN SPIRITUALITAS KONGREGASI SCMM ... 12

A.Sejarah Berdirinya Kongregasi SCMM ... 12

1.Riwayat Hidup Pendiri ... 12

a.Menjadi Imam ... 12

b.Menjadi Uskup ... 14

2.Pendirian Kongregasi ... 16

a.Latar Belakang Pendirian Kongregasi ... 16

b.Tujuan Pendirian Kongregasi ... 21

(16)

xv

A. Pokok-pokok Lanjut Usia pada Umumnya  ... 36

(17)

xvi

BAB IV. SPIRITUALITAS PENDIRI SEBAGAI DASAR DAN TANTANGAN BAGI PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA BUNDA YANG BERBELAS KASIH DALAM KARYA PELAYANAN DI PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK GONG, JAKARTA ... 73

A. Spiritualitas Belaskasih sebagai Landasan ... 73

1.Sumber Spiritualitas Belaskasih ... 73

C. Spiritualitas Belaskasih sebagai Penjiwaan Pelayanan ... 87

1.Spiritualitas Belaskasih sebagai Penjiwaan Pelayanan ... 87

(18)

xvii

3.Mewujudkan Spiritualitas yang Menyembuhkan ... 108

BAB V. USULAN PROGRAM KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS: SALAH SATUUPAYA MEMPERDALAM SPIRITUALITAS PENDIRI SEBAGAI DASAR PELAYANAN DI PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK GONG, JAKARTA 112 A. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese ... 112

1.Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual ... 119

2.Langkah II: Refleksi Kritis Terhadap Pengalaman Faktual ... 120

3.Langkah III: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani lebih Terjangkau ... 120

4.Langkah IV: Interpretasi Dialektis antara Tradisi dan Visi Peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani ... 121

5.Langkah V: Keterlibatan Baru demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah ... 122

D. Pemilihan Rekoleksi SCP sebagai Model Berkatekese ... 123

1.Alasan Pemilihan Rekoleksi SCP sebagai Model Berkatekese ... 123

2.Tujuan Usulan Program ... 124

3.Rumusan Tema dan Tujuan ... 125

4.Matrik Program Rekoleksi dengan Model SCP ... 127

(19)

xviii  

6.Contoh Persiapan Rekoleksi dengan Model SCP ... 130

BAB VI. PENUTUP ... 154

A. Kesimpulan ... 154

B. Saran ... 156

DAFTAR PUSTAKA ... 147

(20)

xix  

DAFTAR SINGKATAN

A.Singkatan Kitab Suci

Singkatan-singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984, hal. 8.

B.Singkatan Dokumen Resmi Gereja

LE  

: Letter to the Elderly, Surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lanjut Usia. Di tujukan kepada Segenap Umat Lanjut Usia, 1Oktober 1999.

C.Singkatan Lain

Ay   : Ayat  Art  : Artikel

CMM : Congregatio Matris Misericordiae DPU : Dewan Pimpinan Umum

DPP : Dewan Pimpinan Provinsi Hal : Halaman

IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

(21)

xx  

Lansia  : Lanjut Usia

MB : Madah Bakti Buku Doa dan Nyanyian Umum Disusun oleh Pusat Musik Liturgi Yogyakarta Cetakan ke- 157 tahun 1997.

Mgr : Monseigneur

PA : Pembicaraan-pembicaraan Akrab Mgr. Joannes Zwijsen tentang peraturan khusus dari Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih dari Maria Bunda yang Berbelas kasih, tahun 1864.

PK : Putri Kasih PUSKAT : Pusat Kateketik

SCMM : Sister of Charity of our Lady Mother of Mercy SCP : Shared Christian Praxis

St : Santa atau Santo

(22)

   

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penulisan Skripsi

Manusia yang diciptakan Tuhan sesuai dengan citra dan gambar-Nya hidup dalam dunia melewati proses sejak kecil hingga menjadi tua. Dalam hidupnya setiap manusia akan melewati masa yang disebut masa tua atau yang sering disebut lansia, kalau tidak didahului kematian. Sadar atau tidak, banyak orang berusaha agar selalu tampak muda dan tidak menginginkan masa tua ada dalam hidupnya. Oleh karena itu mereka berusaha tampil normal dan bekerja seperti sediakala tanpa menghiraukan kondisi seluruh dirinya. Tak jarang terjadi penolakan terhadap masa tua sebagai bagian dari hidup manusia karena masa tua dilukiskan sebagai masa penuh penderitaan (Nouwen, 1989: 21-22).

(23)

   

menguji daya tahan mental dan fisik yang menimbulkan kegoncangan iman (Deeken, 1986: 22-24).

(24)

   

Seringkali dalam masyarakat, orang tua tidak mempunyai lagi tempat. Mereka diasingkan, dipisahkan, dan disingkirkan seperti penderita kusta yang menularkan penyakit. Mereka tidak lagi dianggap sebagai warga masyarakat yang penuh, sehingga bagi banyak orang merasa, menjadi tua itu jauh lebih menakutkan daripada kematian (Nouwen, 1989: 23).

Demikian halnya awal berdirinya Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta, merupakan suatu keprihatinan akan nasib sesama yang miskin yang terdapat di kota metropolitan Jakarta. Di antara gedung-gedung yang tinggi, mewah dan megah namun terdapat sejumlah orang miskin dan berkekurangan yang tinggal di balik tembok-tembok bangunan tinggi dan di bawah kolong-kolong jembatan dan jalan layang, di emperan rumah dan pertokoan tergeletak sosok-sosok tubuh renta, yang lelah termakan usia di tengah gemuruh kota yang riuh dan sibuk.

(25)

   

ini sejalan dengan tujuan Kongregasi SCMM yakni melayani orang-orang kecil, lemah, miskin dan tertindas sesuai dengan semangat dan Spiritualitas Pendiri.

Paus Yohanes Paulus II menyerukan bahwa sudah sewajarnya seorang lansia menggunakan waktu ini untuk mengkaji ulang masa lampau untuk mengadakan semacam penilaian yang lebih objektif mengenai diri maupun situasi yang dialami dalam perjalanan hidup ini. Dengan demikian orang pada masa lansia ini menemukan sumbangan-sumbangan yang berarti dari pengalamannya bagi pertumbuhannya dan orang lain (Dewan Kepausan Untuk Kaum Awam, 2002: 48).

Mgr. Zwijsen salah seorang anggota Gereja yang hidup pada abad ke-19. Mgr. Zwijsen adalah pendiri dua Kongregasi, yakni Kongregasi Suster SCMM dan Kongregasi Frater CMM. Beliau dengan gigih berjuang untuk orang miskin, kecil dan marginal. Dia seorang yang cepat tergugah melihat realitas kehidupan orang kecil dan yang tak berdaya. Mgr. Zwijsen menegaskan kepada para susternya:

Dalam keyakinan teguh bahwa kita, suster cinta kasih, adalah seorang religius apostolik, kongregasi sejak semula berusaha untuk mengamalkan cinta yang berbelaskasih dengan menanggapi kebutuhan manusia dalam semangat pelayanan. Tanggapan ini telah diwujudkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan kepada anak-anak miskin dan cacat dan kepada orang lanjut usia, dan juga karya pastoral di paroki. Pelayanan ini selalu disesuaikan dengan perubahan keadaan sekitarnya (Konst, art. 17).

(26)

   

informasi tidak dapat mengurangi angka kemiskinan dewasa ini. Kemiskinan justru menjadi sebuah panorama yang ironis di tengah berkembang pesatnya teknologi dan informasi serta globalisasi. Maka, tidak heran jurang pemisah antara yang kaya dan miskin semakin jauh dan seolah memisahkan dua kehidupan yang sulit didamaikan. Persoalan ini tentu saja menimbulkan sikap prihatin bagi mereka yang mempunyai hati dan concern untuk berani menjembatani keterpisahan dan jurang kaya-miskin. Tentu saja, sebagai persekutuan, Gereja tertantang untuk berani mengambil langkah dan berpartisipasi aktif dalam mengangkat kembali nilai-nilai kemanusiaan yang terpuruk dalam situasi kemiskinan.

Kenyataan kemiskinan, buta huruf dan pembodohan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu terjadi ketika Mgr. Zwijsen hidup pada abad ke-19. Hal tersebut mendorongnya untuk berjuang melawan penindasan itu. Perhatiannya yang besar terhadap orang-orang kecil, miskin, menderita dan kaum muda yang tidak bersekolah serta orang-orang lanjut usia yang tidak mendapat perhatian dari sesamanya, menjadi pusat perhatiannya semata-mata karena sebuah sikap belaskasih. Sebab itu pada zamannya Mgr. Zwijsen disebut sebagai “Vinsensius dari Tilburg”. Belas kasih inilah yang akhirnya dihayati dan diamalkan sebagai dasar untuk melayani mereka yang miskin dan menderita (van Geene, 1993: 10-11).

(27)

   

menjadi uskup. Dua sikap ini dilambangkan dengan domba dan singa. Sikap ini pula yang diteruskan kepada anggota tarekat yang didirikannya yang mengambil sikap belas kasih sebagai spiritualitas hidup. Harapan Mgr. Zwijsen adalah agar para suster dapat melayani dengan belas kasih secara aktif, efektif, efisien dan afektif (van Geene, 1993: 17).

Harapan ini menjadi peluang sekaligus tantangan ke depan. Persoalan kemiskinan, penindasan, pelanggaran HAM bukanlah persoalan yang mudah. Persoalan ini menjadi persoalan segala zaman karena kenyataan kemiskinan telah ada dari zaman ke zaman dan tentu saja belum menemukan solusi yang terbaik. Maka, kenyataan kemiskinan menjadi sebuah tantangan yang terus menerus.

(28)

   

ditanamkan Mgr. Zwijsen kepada para susternya dalam melaksanakan karya pelayanan kepada sesama. Penghayatan terhadap semangat belas kasih menjauhkan pekerja dari sikap kasar, marah, tidak sabar dan kurang menghargai pribadi yang dilayaninya. Sikap dan sifat seperti ini jelas tidak sesuai dengan Spiritualitas Belaskasih. Untuk itu lewat tulisan ini, penulis mengharapkan adanya pembaharuan dan pendalaman kembali terhadap pelaksanaan karya pelayanan di Panti Lansia St. Anna, agar semakin sesuai dengan semangat pendiri. Para pendamping lansia harus kembali kepada jati diri pelayanannya yakni melayani dengan penuh belas kasih dan penuh penyerahan diri kepada Tuhan.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis termotivasi untuk memberikan sumbangan dalam menanggapi permasalahan sehubungan dengan karya pelayanan para Suster SCMM di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta agar dapat melayani dengan penuh belas kasih sesuai dengan Spiritualitas Pendiri. Maka penulis memilih judul, KARYA PELAYANAN PARA SUSTER CINTA KASIH DARI MARIA BUNDA YANG BERBELAS KASIH DI

PANTI LANSIA SANTA ANNA, TELUK GONG, JAKARTA

BERDASARKAN SPIRITUALITAS PENDIRI.

B.Rumusan Permasalahan

Dari latar belakang di atas, dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

(29)

   

2. Gambaran pelayanan seperti apa yang diharapkan di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta?

3. Bagaimanakah seharusnya Spiritualitas Pendiri SCMM dihayati oleh para suster dalam karya pelayanan di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Membantu para suster dan awam agar memahami bekal rohani dalam melaksanakan karya pelayanan di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta. 2. Memberikan gambaran tentang pelayanan yang diharapkan di Panti Lansia St.

Anna, Teluk Gong, Jakarta.

3. Membantu para suster agar dapat melaksanakan karya pelayanan di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta dengan penuh belas kasih sesuai dengan spiritualitas pendiri demi meningkatkan kualitas pelayanan.

4. Sebagai salah satu persyaratan kelulusan Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

(30)

sungguh-   

sungguh menghayati Spiritualitas Pendiri dalam melaksanakan karya pelayanan di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta.

2. Membangun kesadaran para pembaca khususnya para Suster SCMM untuk menggali dan mewujudkan nilai-nilai spiritualitas pendiri dalam karya-karya pelayanan pada umumnya dan karya pelayanan di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta pada khususnya.

3. Memperkaya pemahaman penulis tentang Spiritualitas Pendiri SCMM.

E. Metode Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Penulis akan mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas yang diterbitkan Kongregasi yang sangat membantu penulis dalam memahami arti spiritualitas pendiri dan mengangkatnya sebagai inspirasi bagi Kongregasi SCMM terutama bagi para suster yang melayani di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta. Penulis juga akan menggunakan buku-buku dari sumber lain yang relevan dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam menggarap dan mendalami skripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah:

(31)

   

Bab II memberikan gambaran tentang Kongregasi SCMM. Pada bagian pertama akan diuraikan tentang sejarah berdirinya Kongregasi SCMM dan riwayat hidup pendiri. Pada bagian kedua akan diuraikan tentang pendirian Kongregasi SCMM, latar belakang dan tujuan pendirian Kongregasi. Pada bagian ketiga menguraikan tentang spiritualitas pendiri Suster SCMM, yakni Spiritualitas Belaskasih dan Bunda Maria serta St. Vinsensius â Paulo sebagai pelindung Kongregasi. Pada bagian selanjutnya membicarakan tentang Spiritualitas Belaskasih.

Bab III memberikan gambaran tentang pokok-pokok lanjut usia pada umumnya. Pada bagian pertama akan diuraikan beberapa poin tentang lanjut usia, pengertian lanjut usia, proses menjadi lanjut usia, gejala-gejala lanjut usia, tahap-tahap lanjut usia. Pada bagian kedua menguraikan tentang makna dan nilai lanjut usia dengan beberapa poin tentang sikap tanpa pamrih, ingatan, pengalaman, kebergantungan satu sama lain dan visi hidup yang lebih lengkap. Pada bagian ketiga menguraikan tentang lanjut usia menurut Kitab Suci, dan bagian keempat menguraikan tentang tempat kaum lanjut usia. Bagian kelima menguraikan tentang peranan lanjut usia. Bagian selanjutnya menguraikan tentang Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta.

(32)

   

menimba dari sang sumber. Bagian keempat menguraikan tentang tantangan dari pihak keadaan lanjut usia, keadaan sosial, pergulatan lanjut usia dan spiritualitas lanjut usia. Selanjutnya menguraikan tentang tantangan ditinjau dari spiritualitas SCMM dalam memandang lanjut usia, memahami lanjut usia, dan mewujudkan spiritualitas yang menyembuhkan.

Bab V pada bagian ini akan diuraikan katekese Shared Christian Praxis: sebagai salah satu upaya memperdalam penghayatan Spiritualitas Pendiri demi meningkatkan karya pelayanan para Suster SCMM di Panti Lansia St. Anna, Teluk Gong, Jakarta.

Bab VI menguraikan dua pokok yakni kesimpulan dan saran. Diambil berdasarkan konsep yang dirumuskan penulis. Kiranya saran dan usul tersebut perlu diperhatikan oleh para Suster SCMM demi meningkatkan dan tercapainya kualitas pelayanan yang berbelas kasih.  

(33)

BAB II

GAMBARAN TENTANG PENDIRI DAN SPIRITUALITAS

KONGREGASI SCMM

A.Sejarah Berdirinya Kongregasi SCMM

1. Riwayat Hidup Pendiri

Kongregasi suster SCMM didirikan oleh Joannes Zwijsen, yang lahir di desa Kerkdriel, Belanda pada tanggal 28 Agustus 1794 dari perkawinan Petrus Zwijsen dan istri keduanya Wilhelmina van Herpen, dari desa Rossum. Joannes berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya pemilik kincir/gilingan gandum, yang berjiwa tegas dan wiraswasta. Joannes merupakan anak laki-laki sulung dari 14 orang bersaudara, 10 perempuan dan 4 orang laki-laki. Joannes menerima komuni pertama pada usia 11 tahun. Setelah tamat dari bangku sekolah dasar, atas desakan Pastor Hogers di Berlicum Joannes Zwijsen memasuki sekolah berbahasa Prancis di Ravenstein. Di sekolah inilah Joannes Zwijsen mempunyai keinginan untuk menjadi imam. Studi dilanjutkannya di Sekolah latin di Helmond, di Biara Norbertin Prancis (van Lierop, 1995: 3-7).

a. Menjadi Imam

(34)

Zwijsen seorang pengkhotbah yang baik, pengarang yang sedang, peka akan sejarah terutama sejarah Gereja (Peijnenburg, 2001: 6).

Pada tanggal 19 Januari 1817 Joannes Zwijsen ditahbiskan menjadi diakon di Jerman dan pada tanggal 20 Desember 1817 Joannes Zwijsen ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Fransiskus de Mean di Kota Mechelen Belgia. Sesudah ditahbiskan menjadi imam, Joannes Zwijsen ditugaskan sebagai pastor pembantu di Paroki Heike di Tilburg. Selain membantu di Paroki, Zwijsen juga terlibat dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial saat itu. Joannes Zwijsen pada suatu minggu, pernah menghalau petani-petani dari warung untuk masuk ke Gereja. Zwijsen juga pernah didatangi oleh seorang perampok yang sekarat untuk mengembalikan selimut yang dicurinya dari pastoran. Zwijsen menerima selimut itu dan menggantikannya dengan selimut yang baru (Peijnenburg, 2001: 6-7).

Tahun 1828-1832 Zwijsen pindah dari Paroki ‘t-Heike dan diangkat menjadi Pastor paroki St. Dionisius ‘t-Heike di Tilburg. Tanggal 11 Mei 1832 menjadi Pastor Paroki di Best dan mengembangkan talentanya untuk organisasi dengan mengadakan kunjungan ke seluruh umat, memperhatikan peningkatan mutu pendidikan, liturgi paroki dan koor. Zwijsen unggul dalam administrasi paroki, beliau juga dapat menjalin relasi yang baik dengan Raja Willem II serta bersikap tegas terhadap pemerintah (Lie, 1997: 5).

(35)

menerima pendidikan bahkan yang paling dasarpun. Ia mendirikan sebuah sekolah dasar supaya anak-anak miskin dapat belajar membaca menulis, menjahit dan merajut (Konst, hal. 7-8).

Pastor Zwijsen mengumpulkan 3 (tiga) putri untuk mengatur pendidikan bagi anak-anak wanita di parokinya. Awal yang sederhana ini akhirnya berkembang pesat dan bertumbuh menjadi sebuah Kongregasi yakni Kongregasi Suster SCMM (Lie, 1997: 6).

b. Menjadi Uskup

Pada tanggal 14 Januari 1842 Zwijsen diangkat menjadi Vikaris pembantu dengan mendapat gelar Uskup Gerra. Pada tanggal 14 April 1842 Zwijsen ditahbiskan menjadi uskup di Gereja paroki ‘t Heike dengan mengambil semboyan “Mansuette et Fortiter”, yang berarti “dengan lembut dan dengan tegas” yang dilambangkan dengan seekor domba dan singa. Pentahbisannya ini didukung oleh Raja Willem II, karena pada saat itu untuk diangkat menjadi uskup perlu persetujuan dari pemerintah yang mayoritas beragama Protestan. Pada tahun 1847 Zwijsen menjabat kedudukan sebagai internunsius kepausan. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk memperoleh hak kepausan bagi Kongregasi yang kelak didirikannya (van de Molengrat, 1992: 18-19).

(36)

berhasil membangun wilayah keuskupan yang luas, mengorganisir paroki-paroki dan menentukan batas-batasnya. Mgr. Zwijsen membantu membuat peraturan-peraturan untuk Dewan paroki, mendirikan seminari untuk pendidikan calon Imam Projo, membentuk Dewan Keuskupan dan Dewan untuk pemeliharaan orang-orang miskin. Mgr. Zwijsen mengadakan kunjungan yang pertama ke Roma untuk urusan Gereja dan menghadiri pengumuman tentang “Dogma St. Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa” oleh Paus Pius IX tahun 1854. Nama Mgr. Joannes Zwijsen terdapat di bagian depan sebelah kiri Basilika St. Petrus diantara nama-nama uskup yang hadir saat itu. Kunjungan Mgr. Zwijsen yang kedua ke Roma tahun 1862 untuk mengurus pengangkatan uskup pembantu atau penggantinya (Lie, 1997: 6).

(37)

Tahun 1865 Mgr. Zwijsen memimpin Konsili Provinsi Gereja di Katedral St. Jan di ‘s-Hertogenbosch dan mengeluarkan dokumen “Acta et Decreta” yang mempunyai pengaruh besar dalam pembangunan dan perkembangan Gereja Belanda. Mgr. Zwijsen dibebastugaskan sebagai Uskup Agung Utrecht pada tahun 1868 dan digelari “Uskup Agung-Uskup”. Kemudian dikeluarkan “Mandemen” atau dokumen penegasan para uskup tentang pendidikan Katolik dengan memakai rumusan yang dibuat oleh Mgr. Zwijsen. Menjelang akhir hidupnya pada tanggal 16 Aguatus 1877 Mgr. Zwijsen untuk pertama kalinya beliau tidak sanggup lagi mempersembahkan Perayaan Ekaristi. Tanggal 27 Agustus Mgr. Zwijsen diantar ke Biara induk SCMM di Tilburg untuk merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke 83 tepatnya tanggal 28 Agustus. Beliau menerima sakramen Minyak Suci dua kali pada tanggal 10 dan 13 Oktober dan pada tanggal 16 Oktober Mgr. Zwijsen menghembuskan nafas terakhir (Lie, 1997: 6-7).

2. Pendirian Kongregasi

a. Latar Belakang Pendirian Kongregasi

Akhir abad 18 sampai pertengahan abad 19 merupakan masa penuh kecemasan, kekacauan, pergolakan dalam sejarah Eropa, baik dari segi kehidupan keagamaan, politik, dan terutama masalah sosial dan ekonomi. Masalah sosial di Eropa memuncak pada abad 19, dengan pecahnya revolusi industri. Gejala

(38)

kemiskinan sosial yang memprihatinkan antara lain buruh anak-anak di bawah umur 12 tahun, banyak orang mati kelaparan, tingginya angka kematian balita, dan sedikit anak yang mendapat pendidikan (Lie, 1997: 1).

Berhadapan dengan pergolakan yang terjadi, muncul 2 aliran yang populer di Eropa sejak abad 17 yang pertama aliran pencerahan yang lebih mengandalkan rasio, kritis, hanya mau menerima hal-hal yang masuk akal, meragukan iman. Kedua aliran romantik yang mulai berkembang pada tahun 1830-an dan menjadi suatu periode kebangkitan hidup keagamaan, devosi (terutama kepada Maria), kerinduan untuk ziarah, mukjizat, kesadaran akan dosa pribadi dan kerinduan akan penebusan/keselamatan jiwa.

Pada masa Pencerahan, banyak Biara-biara kontemplatif yang ditutup karena dianggap tidak berguna oleh pemikiran rasionalisme. Ketika Raja Willem I diganti oleh Raja Willem II tahun 1840, dia memperlihatkan sebuah apresiasi (kesadaran) untuk kehidupan iman Katolik dan hidup religius. Raja Willem II mengijinkan pendirian rumah-rumah Biara. Sebuah konstitusi liberal yang dikeluarkan tahun 1848 lebih mentolerir kehidupan biara dan tokoh-tokoh kharismatis bebas mendirikan kongregasi religius. Pada tahun 1800-1850, berdiri

19 Kongregasi Aktif yang baru di Belanda. Di antaranya adalah Kongregasi Suster SCMM dan Kongregasi Frater CMM yang didirikan oleh Mgr. Zwijsen (van de Molengrat, 1992: 4-8).

(39)

Lingkungan sosial yang sangat buruk dan pekerja anak-anak dipabrik dan bengkel menjadi gejala sangat umum. Mereka bekerja 12 sampai 13 jam sehari dengan upah seminggu maximum £ 4,5,. Anak-anak usia di bawah 12 tahun banyak yang dipekerjakan di pabrik-pabrik. Banyak penduduk yang mati kelaparan di daerah pinggiran dan angka kematian balita yang sangat tinggi. Perumahan, pengobatan dan pemeliharaan kesehatan yang sangat buruk dan tidak ada pendidikan bagi anak-anak kaum buruh di Tilburg. Sekolah dasar hanya diperuntukkan untuk orang-orang tertentu. Hanya 40 % dari jumlah anak-anak antara 6 dan 12 tahun yang mengecap pendidikan itupun sangat memprihatinkan. Pendidikan di Tilburg waktu itu berada di bawah standar. Sekolah-sekolah yang ada mempunyai fasilitas yang minim yang mencerminkan kemiskinan waktu itu. Sebagian besar orang-orang Tilburg hidup miskin dan tidak berkecukupan. Kota itu kurang berkembang karena banyak anak sudah meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun. Rumah-rumah penduduk sebenarnya tidak layak dihuni. Hal ini menggambarkan situasi penderitaan yang sangat mendalam dari penduduk kota Tilburg. Zwijsen sering menemukan banyak orang sakit tidak mendapat perawatan, orang jompo tidak diperhatikan, anak-anak yatim piatu dan orang-orang cacat dibiarkan begitu saja. Situasi ekonomi yang tidak menentu ini, sangat berpengaruh pada tingkat pendidikan agama. Pendidikan agama sering diabaikan dan tidak mendapat perhatian yang cukup hanya sedikit anak-anak yang dipersiapkan untuk menerima komuni pertama (van Lierop, 1995: 17).

(40)

kepribadiannya yang penuh semangat Zwijsen mencari jalan dan sarana untuk meringankan kebutuhan mereka. Pastor Zwijsen tidak bermaksud untuk merubah struktur sosial, misalnya dengan mengadakan semacam revolusi sosial di Belanda, akan tetapi untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongannya dan untuk mengangkat tingkat sosial mereka. Untuk mewujudkan maksudnya ini Zwijsen memerlukan tenaga-tenaga pelaksana (van Lierop, 1995: 18).

Merupakan awal yang sangat sederhana pada tanggal 23 November 1832 Pastor Zwijsen membawa tiga suster pertamanya kesuatu rumah kecil di daerah ’t Heike di Tilburg. Mereka adalah: Suster Marie Michaël Leysen dan dua kemenakannya, Suster Maria Catharina Janssen dan Suster Maria Theresia Smith. Dengan keyakinan besar akan penyelanggaraan Ilahi dan dengan keinginan yang tulus untuk meringankan kemelaratan umat paroki yang miskin dari ’t Heike, mereka tinggal di sebuah rumah dengan 13 kamar kecil, yang dianggap cukup untuk 13 orang. Mereka mulai bekerja secara sederhana saja. Jelas pada waktu itu mereka tidak menyadari bahwa kelompok kecil ini menjadi inti dari Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih dari Maria Bunda yang Berbelas Kasih yang terus berkembang (Konst, hal. 8-9).

(41)

tiga belas orang dan sesuai dengan kuasa gerejawi memutuskan bahwa tak pernah boleh diterima lebih dari tiga belas suster (Konst, hal. 7-10).

Tuntutan Penyelenggaraan Ilahi mendobrak keputusan awal Pastor Zwijsen untuk membatasi jumlah dan wilayah pelayanan para suster, beliau akhirnya menyetujui permohonan mendirikan biara cabang SCMM yang pertama di Delft. Setelah itu berdatanganlah permintaan dari wilayah-wilayah lain, sejalan dengan per tambahan jumlah anggota Kongregasi SCMM. Pastor Zwijsen tanggap dengan perkembangan ini. Tahun 1837 beliau mengirimkan Konsitusi SCMM ke Roma agar Kongregasinya mendapatkan pengesahan. Setelah diangkat menjadi uskup Gerra, Konsitusi SCMM disahkan oleh Paus Gregorius XVI pada tanggal 18 Desember tahun 1843. Pada tahun 1848 Kongregasi SCMM dikukuhkan menjadi Kongregasi Religius oleh Paus Pius IX (Lie, 1997: 13).

Setelah 10 tahun Kongregasi didirikan sudah ada 15 biara SCMM di Belanda dan di Belgia, pada tahun 1877 pada waktu Mgr. Zwijsen meninggal, Kongregasi SCMM terdiri dari 1400 anggota dan 70 biara. Selain berkarya dipendidikan, mereka juga menangani orang sakit, orang lanjut usia, anak yatim piatu dan orang cacat (van Lierop, 1995: 18).

(42)

Agustus 1844 Mgr. Zwijsen mendirikan Kongregasi Frater CMM. Kongregasi ini didirikan karena Mgr Zwijsen membutuhkan pembantu-pembantu pria untuk memperhatikan anak-anak laki-laki (van Lierop, 1995: 19).

van Geene, (1998: 91), menegaskan bahwa Mgr. Zwijsen mendirikan Kongregasi Suster SCMM dan Kongregasi Frater CMM bukan saja secara gerejani, tetapi Zwijsen sungguh mendirikannya secara spiritual. Joannes Zwijsen bukan saja penting sebagai pastor dan uskup dalam menata Gereja di Belanda, melainkan juga penting sebagai pendiri dalam suatu gerakan internasional. Zwijsen merupakan seorang pendiri kongregasi dengan gaya tertentu. Zwijsen bukan seorang pendiri seperti Benediktus, Fransiskus dari Sales, Ignasius atau Vinsensius. Mereka mendirikan sebuah lembaga dan mereka sendiri juga menjadi anggotanya. Pada masa mereka, mereka masing-masing melahirkan sebuah spiritualitas yang baru dalam Geraja. Akan tetapi Zwijsen bukan pendiri seperti mereka. Zwijsen tidak berdiri pada awal gerakan tertentu, akan tetapi merupakan suatu perwujudan dari gerakan yang sudah ada. Zwijsen tersentuh oleh tradisi spiritualitas yang sudah ada.

b. Tujuan Pendirian Kongregasi

(43)

menjahit dan merajut serta mengajarkan dasar-dasar pendidikan agama. Zwijsen berharap akan tercipta masa depan anak-anak miskin itu secara lebih baik. Untuk mewujudukan tujuan tersebut Zwijsen mendirikan himpunan religius yang merupakan gejala yang agak baru di Belanda (Blommestijn & Huls, 1998: 13).

(44)

nama yang diberikannya pada lembaga itu, untuk memberikan tempat utama pada “Belas Kasih” dalam hidup dan karya para suster dan frater (Lie, 1997: 10).

B.Spiritualitas Pendiri Suster SCMM

1. Motto Pendiri “Mansuete et Fortiter”

Mgr. Zwijsen ketika diangkat sebagai uskup pembantu. Ia memilih motto pada lambang keuskupannya “Mansuete et Fortiter” yang artinya: “dengan kelembutan dan ketegasan” (Lie, 1997: 5). Motto ini dipilih berdasarkan sifat dan karakter Mgr. Zwijsen sendiri yang tegas dalam prinsip dan lembut dalam cara bertindak. Mgr. Zwijsen adalah seorang yang tegas dan berani untuk menghadapi masalah, mengatur sesuatu dengan jelas, berani bertindak dan menertibkan keadaan. Mgr. Zwijsen juga mudah tergerak hatinya ketika melihat penderitaan umatnya. Terhadap kaum kecil dan miskin Zwijsen lembut hati dan penuh kerelaan untuk melaksanakan dan mengorganisasikan sesuatu supaya orang yang menderita kesusahan dapat dilayani terus-menerus. (van Lierop, 1995: 34).

(45)

kasih. Beliau menekankan agar pelayanan yang diberikan kepada orang miskin bukan merupakan kesempatan untuk mencari kehormatan, keuntungan atau kepuasan diri. Karya-karya belas kasih tidak merupakan luapan bentuk kehidupan religius, melainkan inti hidup religius. Mgr Zwijsen memahami belas kasih sebagai inti hidup dari seorang religius yang mau melayani dengan total. Bagi Mgr. Zwijsen, karya belas kasih bukan tanpa arti. Pelayanan yang diberikan kepada orang yang membutuhkan mempunyai suatu motivasi yakni demi Allah, artinya demi melaksanakan kehendak Allah. Karya-karya yang dikerjakan menghantar orang pada pengenalan akan Allah sebagaimana dilakukan oleh Yesus. Jadi pelayanan yang didasarkan pada semangat belas kasih mengambil bagian dalam pelayanan Yesus agar semua orang dilayani dapat dihantar dan mengenal Allah (Blommestijn & Huls, 1998: 15-19).  

“Mansuete et Fortiter”. yang berarti dengan kelembutan dan ketegasan adalah sikap dasar Yesus dalam mewartakan Kabar Keselamatan. Kedua sikap ini menjadi landasan Mgr. Zwijsen dalam tugas penggembalaannya. Hal ini menjadi efektif karena mewujudkan semangat belas kasih. Tujuan dari semangat kelembutan dan ketegasan adalah terciptanya Kerajaan Allah, dan membawa keselamatan dan pembebasan (Blommestijn & Huls, 1993b: 52-53).

(46)

dialami umatnya. Terhadap kaum kecil dan miskin Zwijsen lembut hati dan penuh kerelaan untuk melaksanakan dan mengorganisir sesuatu agar orang yang menderita kesusahan dilayani terus menerus. Seperti yang dihayati oleh St. Vinsensius, Mgr. Zwijsen juga menemukan Allah yang sungguh hadir dalam diri orang yang kecil, lemah, miskin dan terlantar (van Geene, 1993: 17).

2. Religiositas Mgr. Zwijsen

Kehidupan Mgr. Zwijsen memperlihatkan kelahiran Kongregasi SCMM dan Frater CMM merupakan jawaban atas kebutuhan zaman. Selain faktor historis ini faktor transendental yang juga sangat menentukan yakni “kehendak Allah” yang dihayati Mgr. Zwijsen berdasarkan keyakinan iman dan religiositasnya. Unsur-unsur kerohanian Mgr. Zwijsen yang menunjang karya Roh di dalam kehidupannya sendiri dan Kongregasi yang didirikannya menyangkut:

a. Iman akan Penyelenggaraan Ilahi

Mgr. Zwijsen sering menyebut Penyelenggaraan Ilahi, sebagai “Penyelenggaraan Kasih” atau Penyelenggaraan Kasih Ilahi” sehingga ia diberi gelar “Man of Providence”. Mgr. Zwijsen mengatakan bahwa pendirian Kongregasi seluruhnya merupakan Penyelenggaraan Ilahi. Ia menyadari, tidak ada kekuatan manusia mampu memenuhi apa yang telah dikerjakan oleh Penyelenggaraan Allah (Lie, 1997: 7).

(47)

dan terutama menjaga anggota kongregasinya yang telah membaktikan diri kepada Allah. Mgr. Zwijsen menegaskan bahwa Penyelenggaraan Ilahi seharusnya diandalkan oleh setiap suster. Jika orang hidup dengan sepantasnya, ia tentu dapat mengandalkan Penyelenggaraan Allah yang membantunya menjalankan tugas dan karya sebagai suster. Kristus mengutus para rasul-Nya ke dunia untuk melaksanakan karya-karya-Nya, dan dengan itikad baik, mereka menerima perutusan itu. Maka demikian halnya dengan semua suster harus diutus seperti para rasul dan rela menyerahkan diri dalam penyelengaraan Allah untuk melaksanakan karya belas kasih (Zwijsen, 2000: 145-146).

b. Cinta akan Ekaristi

(48)

c. Devosi kepada Maria

Mgr. Zwijsen memandang dan menghayati Maria sebagai Bunda yang penuh belas kasih, Zwijsen memiliki devosi yang sangat kuat kepada Bunda Maria, yang menyebut diri ‘hamba Tuhan’, yang mencintai manusia dan yang memperhatikan orang-orang yang menderita khususnya yang malang. Mgr. Zwijsen mencintai Hati Kudus Maria yang Tak Bernoda sebagai sumber cinta kasih yang bernyala-nyala. Umat di paroki dan keuskupannya diajak untuk selalu berdoa dan berpuasa demi penghormatan kepada Bunda Maria. Sebagai ungkapan kecintaan dan kepercayaan yang mendalam kepada Bunda Maria, Mgr. Zwijsen menamakan kedua Kongregasi yang didirikannya dengan nama Kongregasi Maria Bunda yang Berbelas kasih (Lie, 1997: 8).

d. Cinta dan Kesetiaan Kepada Paus

(49)

3. Pelindung Kongregasi

a. Bunda Maria

Kongreasi SCMM dibaktikan kepada Bunda Maria yang Berbelas Kasih. Mgr. Zwijsen memilih Maria Bunda yang Berbelas Kasih sebagai pelindung dan suri teladan bagi semua pengikutnya. Bagi Mgr. Zwijsen Maria adalah sosok hamba yang hina yang mendapat belas kasihan Allah, pribadi yang menyerahkan diri secara total kepada Allah dalam kesederhanaan dan kesiapsediaan serta kepercayaan yang bersahaja (Konst, art. 12).

Sebagaimana Yesus menyerahkan Maria ibu-Nya kepada para murid-Nya seperti terdapat dalam Injil Yoh 19:25-27 yang berbunyi:

Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Kleopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya. Demikian juga Mgr. Zwijsen menegaskan kepada para anggotanya untuk mempercayakan diri sepenuhnya kepada pemeliharaan keibuannya. Maria adalah seorang wanita dalam gerakan belas kasih. Dia termasuk ’anawim’, kaum miskin Yahwe. Maria mengagungkan Allah, Maria memandang dirinya sebagai hamba Tuhan, Maria tidak menempatkan dirinya di luar lingkaran sesama manusia. Maria tidak tinggi hati, walaupun penuh kesucian ia tetap dapat didekati. Maria senantiasa berpadu dengan orang yang terhina dan kaum kecil (Verschuren, 2001: 12).

(50)

yang mencintai Yesus dan mengikuti Dia, sampai berdiri di bawah salib-Nya dan di bawah salib semua orang yang menderita. Dalam hal inilah Maria hadir sebagai Bunda yang Berbelas Kasih (van Lierop, 1995: 22)

Sejak berdirinya lembaga yang pertama, Mgr. Zwijsen memberikan kedudukan sentral kepada belas kasih dan karya-karya cinta kasih. Hal ini sesuai dengan pemberian nama Kongregasi dan pemilihan santo-santa pelindung, lambang dan semboyan. Nama Suster Cinta Kasih dari Maria Bunda yang Berbelas Kasih, dipilih untuk menunjukkan, bahwa kebajikan belas kasih harus diselenggarakan secara khusus dalam Kongregasi. Di dalam hati Maria terletak semua kebajikan, terutama belas kasih. Dalam lambang Kongregasi dimuat dua tangkai bunga bakung dan hati yang menyala, sebagai lambang kemurnian dan kasih. Sedangkan dalam semboyan tertulis ”Cinta tanpa Pamrih” maksudnya bahwa para suster harus mencintai sesama manusia tanpa mencari kehormatan, keuntungan, atau kepuasan diri sendiri (Blommestijn & Huls, 1998: 15-19).

(51)

berdoa bersama dia dan menyanyikan magnificat agar memimpin paduan suara umatnya, dan mendoakan Salve Regina setiap hari karena umat manusia membutuhkan pengantara di depan Yesus-Saudara kita, serta berdoa kepada Bunda Maria agar membantu dan melindungi kita di dunia ini (de Haas, 2001: 31).

Mgr. Zwijsen menghayati Bunda Maria sebagai Bunda yang Berbelas kasih, yang mencintai manusia, memperhatikan yang menderita secara khusus yang mengalami kemalangan. Mgr. Zwijsen selalu berkata: “Bersama Maria para anggotanya menelusuri jalan iman kepercayaan, pengharapan dan cinta”. Mengakui Maria sebagai Bunda Berbelas kasih berarti, sama seperti Bunda Maria, yang dipenuhi Roh Kudus, para suster mengalami cinta dan belas kasihan-Nya dan belajar mencintai Yesus. Dengan pengalaman-pengalaman inilah para suster berusaha untuk mengikuti Dia sampai berada di bawah salib-Nya dan di bawah salib setiap orang yang menderita dan membagikan belas kasih Allah yang berlimpah-limpah (de Haas, 2001: 43-46).

b. St. Vinsensius â Paulo

(52)

Allah dalam sesama manusia yang menghantarnya pada Allah.” St. Vinsensius â Paulo adalah bapak kaum miskin. Dengan alasan ini Mgr. Zwijsen menjadikan St. Vinsensius â Paulo pelindung kedua Kongregasi yang didirikanya dan menghendaki agar pengikutnya meneladani Vinsensius â Paulo, yakni mengabdi Allah dalam sesama manusia yang menghantarnya pada Allah”. Mgr. Zwijsen sangat mengagumi karya yang diinspirasikan oleh cinta yang berbelaskasih dari St. Vinsensius â Paulo bagi kaum miskin dan yang malang (Konst, art. 13).

Ketika Mgr. Zwijsen mendirikan sekolah untuk anak-anak miskin ia berkata: ”Di dalam anak-anak miskin, yang memerlukan pendidikan agar bisa menjalankan hidup manusiawi secara utuh, Zwijsen mengenali wajah Kristus lewat mereka. Melalui anak-anak itu, Allah menyapanya secara langsung dan menghadapkannya pada panggilan belas kasih” (Blommestijn & Huls, 1998: 19).

(53)

Vinsensius â Paulo dicintai, tetapi dengan berserah kepada cinta kasih tanpa pamrih yang melampaui akal siapapun. Dengan keyakinan bahwa penyerahan itu merupakan dasar ‘belas kasih’ maka Vinsensius sangat menghargai pergaulan akrab dan intim dengan Allah (Blommestijn & Huls, 1998: 21).

Semangat inilah yang kemudian menyapa dan berkembang dalam sanubari Mgr. Zwijsen untuk disalurkan kepada para pengikutnya dan mendorong para suster sungguh percaya pada pemeliharaan penyelenggaraan Ilahi dan dalam kesederhanaan hati.

4. Spiritualitas Belaskasih

(54)

karena mereka mewakili pribadi Kristus yang bersabda, “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku ” (Mat 25:40). Hal tersebut mendorong Vinsensius membaktikan seluruh hidupnya demi pelayanannya terhadap orang miskin dan kecil. Bagi Mgr. Zwijsen kata kunci arti belas kasih terdapat dalam teks Injil Mat 25:40 (Blommestijn & Huls, 1995: 14-15).

Spiritualitas St. Vinsensius â Paulo mendorong Mgr. Zwijsen untuk semakin menghayatinya dalam dinamika perkembangan selanjutnya. Kongregasi ditempatkan di bawah perlindungan Maria dan Vinsensius â Paulo. Di dalam hati Maria terletak semua kebajikan, terutama belas kasih, sedangkan Vinsensius â Paulo dianggap sebagai pelindung karya-karya cinta kasih. Menurut Mgr. Zwijsen dengan melayani orang kecil dan miskin akan menjadi jelas untuk mengerti tentang cinta dan belas kasih. cinta dan belas kasih akan bermakna bila diwujudkan dalam pelayanan terutama bagi mereka yang disisihkan dari kehidupan sosial masyarakat dan orang-orang miskin yang kurang mampu menyelamatkan diri sendiri. Dengan demikian pelayanan yang diberikan mempunyai pendasaran yakni belas kasih (Blommestijn & Huls, 1998: 20-21).

(55)

penyangkalan diri, sehingga karya cinta kasih tertuju kepada sesama. Untuk mengetahui situasi umat yang menderita diperlukan kesediaan untuk melihat secara langsung dari dekat penderitaan itu. Berjumpa secara langsung dengan orang yang menderita, seseorang akan merasakan penderitaan tersebut (Zwijsen, 2000: 74-75).

Berbelas kasih berarti memberi perhatian kepada setiap orang yang kita jumpai dan yang membutuhkan bantuan dibidang apapun. Belas kasih merupakan janji untuk memberi diri sendiri, berbagi milik dan keberadaan kita untuk solider dalam pergumulan dan penderitaan sesama. Hidup di tengah orang-orang miskin merupakan tindakan belas kasih. Mgr. Joannes Zwijsen bermaksud agar setiap pengikutnya siap sedia dan terbuka bagi karya belas kasih agar mempunyai mata dan hati untuk sesama yang miskin, berkekurangan, menderita dan yang disingkirkan. Dalam dunia ini terdapat permintaan yang amat serius dalam hubungan dengan tugas perutusan kita sebagai suster belas kasih. Hendaknya setiap suster sadar untuk ikut dalam gerakkan belas kasih: memberi diri dan melayani tanpa pamrih dan tanpa menonjolkan diri demikian penegasan Mgr. Zwijsen. Melalui Vinsensius, Mgr. Zwijsen menemukan bentuk dan cara hidup untuk menghayati sepenuhnya panggilan belas kasih (Blommestijn & Huls, 1998: 29).

(56)
(57)

BAB III

MAKNA, TEMPAT PERAN DAN PERGULATAN LANSIA

A.Pokok-pokok Lanjut Usia Pada Umumnya

1. Pengertian Lanjut Usia

Lanjut usia sering diartikan sebagai suatu proses alamiah di mana fungsi-fungsi badani dan kejiwaan (mental) mulai berkurang. Orang membayangkan masa lanjut usia sebagai masa yang tidak berguna, menderita berbagai penyakit, mengalami penurunan fungsi otak, menjadi beban bagi yang muda, tidak mendapatkan keluarga, masyarakat dan sebagainya, sehingga menyebabkan ketakutan bagi setiap orang yang akan mengalaminya (Nouwen, 1989: 21-24).

Namun ada kalanya orang mengacu kepada musim gugur kehidupan. Dengan analogi musim-musim dan tahap-tahap yang berturut-turut pada alam ciptaan. Manusia hanya sekedar menyaksikan perubahan-perubahan yang sedang berlangsung di pemandangan selama setahun. Hal ini juga ada kemiripan yang dekat antara irama-irama hidup manusiawi dan lingkaran-lingkaran alam yang melingkungi manusia (LE, art. 5).

(58)

lanjut, karena terdapat perbedaan cukup mencolok antara setiap individu. Pada zaman sekarang ini banyak laki-laki maupun perempuan tidak menunjukkan tanda-tanda ketuaan mental sampai usia 65 tahun, bahkan awal 70-an karena kondisi kehidupan dan perawatan kesehatan sudah lebih baik. Dengan alasan tersebut, ada kecenderungan menggunakan usia 65 tahun sebagai tanda awal usia lanjut.

Gejala yang sangat kelihatan pada lanjut usia adalah tanda-tanda kemunduran. Kemunduran itu sebagian datang dari faktor fisik dan sebagian lagi dari faktor psikologis. Penyebab kemunduran fisik ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh, bukan karena penyakit khusus, tetapi karena proses penuaan. Penyebab perubahan psikologis tampak dalam sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan, dan kehidupan pada umumnya. Hal itu terjadi karena perubahan pada lapisan otak. Akibatnya orang menurun secara fisik dan mental. Bagaimana seseorang dalam menghadapi ketegangan dan stres, juga mempengaruhi laju kemundurannya. Demikian juga motivasi memainkan peranan penting dalam kemunduran. Seseorang yang mempunyai motivasi rendah untuk mempelajari hal-hal baru atau ketinggalan dalam penampilan, dalam sikap atau pola perilaku, akan memburuk lebih cepat daripada orang yang mempunyai motivasi yang kuat lagi mendalam (Bock, 2007: 5).

(59)

umur). Dengan beberapa istilah ini, menunjukkan bahwa pengetahuan para ahli tentang lanjut usia belum cukup memadai. Para ahli tidak memakai istilah “masa tua”. Tua rasanya mengandung arti negatif bila dipandang dari sisi manusia, dan tua tidak sama dengan lanjut usia. Dari beberapa istilah di atas, penulis akan memakai istilah “lansia” atau lanjut usia. Dari pengamatan penulis, mereka yang berada pada tahap paroh usia, lebih senang dengan istilah lanjut usia.

Bock (2007: 3), dalam tulisannya mengenai lanjut usia, pertama-tama membahas tentang arti kata tua. Pertama, tua berarti sudah lama hidup, kedua, tua berarti sudah masak untuk dipetik (buahan). Ketiga, tua berarti tinggi mutunya, misalnya emas. Dalam arti yang lebih luas, tua berarti berharga dan terpelihara, seperti bangunan yang sudah tua namun memiliki nilai sejarah ini dirawat dan dilindungi, agar tetap awet bagi generasi-generasi yang akan datang. Tua juga dapat berarti teruji, terpilih.

(60)

Sedangkan menurut pendapat Strehler yang dikutip oleh Maramis mengatakan bahwa:

Proses menua adalah perubahan-perubahan yang berhubungan dengan waktu dan yang bersifat universal, intrinsik, merugikan, progresif, serta mengakibatkan berkurangnya kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sehingga kemungkinan untuk bertahan hidup organisme itu berkurang.

Dari penjelasan beberapa tokoh di atas, dilihat bahwa pengertian lanjut usia diartikan secara berbeda oleh para ahli. Dari pendapat yang berbeda-beda ini, dapat dipahami begitu rumitnya dan banyaknya permasalahan yang ada pada lanjut usia. Dengan berbagai permasalahan tersebut membuat orang sulit untuk menerima masa lanjut usia, karena ketakutan untuk menghadapi persoalan, permasalahan dan pengalaman yang ada di dalamnya.

2. Proses Menjadi Lanjut Usia

Menjadi tua adalah suatu proses alami, hal ini mulai terlihat dengan berkurangnya fungsi-fungsi badani dan kejiwaan (mental) secara perlahan-lahan ataupun mungkin secara lebih cepat, tergantung pada faktor-faktor keturunan, gaya hidup dan lingkungan (Maramis, 1993: 8).

(61)

kesempatan yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan diri hilang, karena ia tidak mengerti bahwa proses menjadi tua memberikan kesempatan besar untuk mematangkan diri, mencapai tingkat perkembangan diri sebagai manusia secara utuh. Bagi kaum lanjut usia pada tingkat itu hidup praktis sudah berhenti, meskipun bisa mondar-mandir sebagai warga masyarakat yang gelisah tanpa tujuan. Demikian pun kebanyakan orang tidak menyadari bahwa peralihan dari tingkat tengah usia yang aktif ke tingkat lanjut usia juga membawa krisis yang berat. Budaya zaman sekarang membuat orang sulit menerima dan mengakui, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, bahwa usianya semakin lanjut. Suatu kenyataan yang tidak dapat ditolak bahwa setiap orang kalau tidak didahului mati, tentu akan berhadapan dengan krisis lanjut usia. Khusus para wanita lambat atau cepat akan menyadari bahwa pesonanya menyuram. Mereka akan sadar bahwa daya tarik tubuh mereka semakin berkurang (Deeken, 1986: 13-14).

(62)

efisiensi kerjanya merosot dan kreatifitasnya menurun. Kebanyakan orang pada umur ini mulai kehilangan kepercayaan diri dan rasa amannya. Hal ini merupakan tanda krisis awal orang menua (Deeken, 1986: 15).

...Birren dan Schroots, membedakan tiga proses sentral penuaan yaitu: “penuaan sebagai proses biologis, penuaan sosial atau menjadi senior dalam masyarakat, dan penuaan psikologis subjektif” (Haditono, 2006: 323).

Bock (2007: 5) menyampaikan, jika seseorang mempunyai motivasi rendah untuk mempelajari hal-hal baru atau ketinggalan dalam penampilan, dalam sikap atau pola perilaku, akan lebih cepat memburuk daripada orang yang mempunyai motivasi yang kuat dan mendalam. Dari pandangan ini, perlulah setiap orang membangun motivasi dalam menghadapi masa pensiunnya agar tidak menjadi bosan akibat banyaknya waktu luang karena tidak terikat lagi dengan suatu pekerjaan.

(63)

Dalam hal ini Maurus, (2007: 19) mengutip pendapat Olie A. Randall yang mengatakan:

Masa tua hanyalah sebuah tahap kehidupan seperti halnya masa kanak-kanak dan masa remaja. Sebagaimana seorang anak harus dipersiapkan untuk menapaki masa remajanya, demikian juga orang dewasa harus mempersiapkan diri demi menyongsong masa kematangan selanjutnya, yakni masa tua. Orang bisa mempersiapkan diri kapan saja, karena masa tua adalah masa menuai, oleh karena itu makin cepat orang menabur benih, makin cepat orang memetik hasilnya saat orang sudah mencapai masa lanjut usia.

Kematangan dalam lanjut usia, berarti bersedia mengandalkan diri pada bantuan orang lain serta mau dan tidak malu tergantung pada orang lain. Berpengharapan adalah ciri khas orang yang matang, bukan rasa tidak berdaya. Harapan dapat membantu menggerakan daya seseorang dan memperbesar kemampuannya untuk mengadapi perubahan-perubahan dengan baik. Bila seseorang tidak mempunyai harapan lagi, maka sering ia kehilangan kemauan untuk hidup dan lebih cepat menjadi tua (Maramis, 1993: 15).

3. Gejala-gejala Lanjut Usia

a. Gejala-gejala Fisik

(64)

kerja ginjal dan daya pernafasan juga berkurang. Kita mudah masuk angin, dan jika keseleo bisa memakan waktu berminggu-minggu untuk sembuh. Jantung bisa tiba-tiba berdebar-debar bila bekerja atau berjalan cepat. Untuk itu perlu diperhatikan agar kecepatan gaya kerja maupun gerak perlu dikurangi (Bock, 2007: 5).

Selain itu terjadi pula pengapuran urat-urat saraf, pembuluh nadi mengeras dan dindingnya menebal. Sering timbul rasa nyeri pada pinggang, lutut, dan tulang punggung semakin menyusut. Banyak orang lanjut usia merasakan seperti itu terlebih pada ruas-ruas tulang punggung bagian bawah. Terjadi juga menyusutnya daya lentur pada otot dan pada gerak gesit. Selain itu, gejala-gejala yang juga dialami lanjut usia adalah rambut semakin beruban, akhirnya putih. Kelopak mata yang menjadi berat, perut semakin gendut, juga kulit pada tubuh mulai mengerisik. Wajah menjadi berkerut-kerut, dan di sana sini tampak tumbuhan liar. Umur tua mengurangi gaya jalan yang mantap dan memperlambat gerak-gerik, serta berat badan menjadi penghalang dalam melangkah. Mereka yang sudah lanjut usia terpaksa menggunakan alat bantu untuk medengar dan melihat, dan gigi palsu agar tetap tampil menawan. Merasa kurang berharga, namun keadaan itu suka ditutup-tutupi, misalnya dengan berusaha lebih keras, bahkan memaksa diri, namun hal itu justru berakibat negatif dan dapat bermuara ke dalam sikap marah, mencela dan mempersalahkan sesama.

(65)

penyakit ginjal, asma, rematik, urat saraf, jantung atau pembuluh-pembuluh darah (koroner). Bisa jadi muncul beberapa penyakit secara bersamaan (Bock, 2007: 6-7).

Perubahan yang terjadi pada bagian fisik mempengaruhi kemampuan motorik seseorang karena menurunnya kekuatan dan tenaga, yang disertai dengan perubahan fisik yang terjadi karena bertambahnya usia, mengakibatkan menurunnya kekerasan otot, terjadi kekakuan pada persendian, dan gemetar pada tangan, kepala dan rahang bawah. Dari penelitian terbukti bahwa latihan fisik dan kesibukan kerja dapat mencegah dan menghambat kecepatan penurunan kemampuan motorik. Bagi mereka yang tetap melakukan latihan fisik, secara keseluruhan mempunyai koordinasi dan keterampilan fisik yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukannya (Hurlock, 1980: 390).

(66)

aktivitas dan daya tahan stres berkurang. Pencernaan tidak begitu baik lagi, demikian juga dengan buang air besar dan kecil.

Terjadi juga penurunan pada panca indera, fungsinya berkurang dan tidak begitu tajam lagi karena saraf menjadi lebih lambat dalam mengantar impuls, tetapi juga karena perubahan-perubahan pada organ indera itu sendiri. Penglihatan dalam keadaan sedikit gelap menjadi sukar, sehingga diperlukan lebih banyak cahaya untuk dapat melihat dengan jelas. Pendengaran juga berkurang, mengakibatkan percakapan yang biasa dianggap sebagai bisikan-bisikan rahasia, sehingga dapat menimbulkan kecurigaan yang mengganggu hubungan antar sesama. Karena kepekaan panca indera pada umumnya menurun mengakibatkan orang lanjut usia kurang menerima informasi dari lingkungan, ia menjadi lebih terisolasi dari dunia luar sehingga ia menjadi cepat tegang, murung, dan emosional (lekas cemas, marah, sedih, ataupun gembira). Hal ini membuat mereka merasa semakin terkucil sehingga menutup dirinya dalam berbagai kegiatan. Pola tidur pun berubah, mereka yang sudah lanjut usia sering mengeluh tentang tidur. Lebih lama baru bisa tertidur, sering terbangun, tidur kurang nyenyak dan terbangun terlalu pagi (Maramis, 1993: 26-27).

(67)

mereka yang hendak menemaninya. Dengan pemahaman yang benar terhadap masa tua, kita berharap dapat memperluas kesabaran dalam mendampingi para lansia. Bagi yang sudah lanjut usia persiapan masa lansia menjadi syarat jika ingin menjalani masa lansia dengan bahagia. Dalam banyak kasus kondisi masa lansia menjadi cermin kehidupan di masa aktifnya. Kecerobohan pola makan semasa muda sering menghasilkan litani kondisi tidak normal di masa lansia seperti peningkatan kolesterol, gula darah, atau juga sebaliknya kekurangan nutrisi. Hidup para lanjut usia sangat tergantung pada orang lain. Kelangsungan hidupnya ada dalam kelimpahan cinta orang-orang di sekitarnya, juga pada masa-masa akhir hidupnya ketika kematian datang menjemput (Sidharta Susila, 2007: 14-15).

b. Gejala-gejala Mental

Dari hasil studi para psikolog telah memperkuat kepercayaan yang populer di masyarakat, bahwa dengan kecenderungan tentang menurunnya berbagai hal yang dialami oleh para lanjut usia, secara otomatis pula akan timbul kemunduran kemampuan mental. Tak jarang dewasa ini, menjadi bahan pemikiran oleh banyak orang apa yang mengakibatkan terjadinya perubahan mental, menurut dugaan terjadi sejak awal lanjut usia. Pada masa lalu diduga bahwa kerusakan mental yang tidak dapat dihindari juga diikuti oleh kerusakan fisik. Menurunnya kondisi fisik menunjang terjadinya kerusakan mental (Hurlock, 1980: 391).

(68)

lanjut usia yang mulai menggunakan kata-kata jorok dan bertindak kurang sopan. Gejala-gejala itu mula-mula tampak jarang. Bila diingatkan, bisa berjalan baik selama beberapa hari, tetapi kemudian terjadi lagi dan lambat laun menjadi kebiasaan (Bock, 2007: 10).

Gejala lain lagi adalah berkurangnya ketajaman indera netra dan indera rungu. Gejala umum lainnya pada kaum lanjut usia adalah kecerdasan dan daya tangkap berkurang, sedangkan daya berpikir kreatif bertambah. Daya ingat juga berkurang terlebih mengenai kejadian dan pengalaman baru, sedangkan kejadian yang sudah lama tersimpan dapat diingat kembali dengan baik. Kecepatan dalam hal mengingat berkurang pula. Itulah sebabnya kaum lanjut usia sering bicara mengenai masa lalu yang dilihatnya sebagai masa emas. Mereka dapat bercerita berjam-jam lamanya tentang pengalaman mereka di masa muda ataupun pada masa ia berkarya. Pengalaman-pengalaman itu mengandung makna yang mendalam (Bock, 2007: 11-12).

4. Tahap-tahap Lanjut Usia

(69)

gejala pengujuran. Tugas mereka pada tahap ini berbeda dengan mereka dalam tahap pertama. Mereka mulai mengalami penurunan daya ingatan, sering lupa nama orang, tempat, serta peristiwa. Mereka menyadari indera netra dan indera rungu mereka mulai berkurang. Pekerjaan yang masih bisa mereka lakukakan mereka jalankan dengan irama yang lebih lamban seperti, menulis, bicara, senam, berjalan dan bekerja. Kerapuhan pada lanjut usia menghadapkan mereka pada tugas berat untuk menerima dan menangani keadaannya dengan baik (Bock, 2007: 8-9).

(70)

B. Makna dan Nilai Lanjut Usia

Pada masa sekarang ini, manusia hidup lebih lama dan lebih sehat daripada masa yang lalu. Mereka juga dapat mengembangkan minat berkat pendidikan mereka yang lebih tinggi. Usia tua tidak lagi berarti ketergantungan pada orang lain atau berkurangnya mutu hidup yang akan memberikan gambaran negatif tentang lanjut usia. Akan tetapi untuk memperbaiki gambaran yang negatif ini tentang lanjut usia, mereka perlu dibantu untuk memahami makna usia mereka untuk menghargai dan menerima masa hidup secara positif dan tidak tenggelam ke dalam pengasingan diri, kepasrahan, yang pasif, serta perasaan tidak berguna dan putusasa. Dengan demikian mereka dapat mengisi, menikmati dan memaknai masa lanjut usia dengan penuh rasa syukur (Dewan Kepausan Untuk Kaum

Awam, 2002: 16-18).

Sebagaimana setiap jenjang umur, demikian pula umur tua biarpun banyak keluhan dan penyusutan namun tetap merupakan masa penuh rahmat dan hadiah berharga dari Allah Pencipta yang perlu dipelihara dan dirawat dengan saksama. Lanjut usia juga ditandai dengan kebaikan dan kegembiraan, dengan harapan dan kejutan. Sebagaimana kebanyakkan orang baru mencapai puncak perkembangan rohani dan intelektualnya justru setelah lanjut usia. Hal ini mau menegaskan bahwa masa tua merupakan masa yang penuh rahmat (Bock, 2007: 3)

1. Sikap tanpa Pamrih

(71)

sikap tanpa pamrih: memberi sesuatu atau memberikan diri kita sendiri tanpa mengharapkan balasan. Pernyataan ini mau menggambarkan bagaimana orang-orang sekarang begitu sulit melakukan pekerjaan yang tanpa pamrih. Kehadiran orang-orang lanjut usia dapat mengingatkan masyarakat yang terlalu sibuk dan perlunya meretas rintangan-rintangan dari sikap acuh tak acuh (Dewan Kepausan Untuk Kaum Awam, 2002: 21)

Paus Yohanes XXIII pernah berkata, “Setiap hari adalah baik untuk dilahirkan dan setiap hari adalah baik untuk meninggal”. Setiap orang diajak untuk menggunakan waktu yang diberikan oleh Allah untuk bergembira atas segala apa yang kita jumpai. Hendaknya kita juga dapat membagi-bagikan waktu kepada sesama misalnya dengan mengunjungi sesama. Semua orang menerima jumlah waktu yang sama dari Tuhan.

2. Ingatan

(72)

3. Pengalaman

Dewasa ini kita hidup dalam dunia yang telah menggantikan nilai pengalaman-pengalaman lanjut usia dengan jawaban kemajuan ilmu dan teknologi. Bahkan hal-hal yang dulu berharga, sekarang dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Rintangan budaya semacam ini tidak boleh menghalang-halangi orang-orang lanjut usia, untuk membagi-bagikan apa yang mereka miliki untuk dikatakan kepada generasi muda. Pada umumnya orang yang sudah lanjut usia, senang membagikan dan memberikan kekayaan yang selama ini dipelihara kepada generasi muda, supaya tetap terpelihara sebagai sesuatu yang bernilai. Namun hal seperti ini sering kurang disadari oleh kaum muda, sehingga kurang memberi minat untuk meminta pendapat ataupun pengalaman orang tua. Orang lupa bahwa pengalaman-pengalaman yang sudah lewat, sangat bernilai apabila direfleksikan akan membawa perbaikan. Dengan demikian nilai-nilai yang baik akan tetap dipelihara pada masa yang akan datang (Dewan Kepausan Untuk Kaum Awam, 2002: 22).

4. Kebergantungan Satu Sama Lain

(73)

kerapkali meninggalkan mereka yang lebih lemah, mereka mengingatkan kita akan kodrat sosial manusia dan perlunya memperbaiki tata susunan hubungan antarpribadi dan sosial (Dewan Kepausan Untuk Kaum Awam, 2002: 22).

Maurus (2007: 130) menegaskan kembali bahwa kaum lanjut usia tidak boleh mengasingkan diri dari kelompok usia lain dan harus meluangkan waktu untuk bergaul dengan orang-orang yang seusia mereka. Berbagi waktu dan bertukar pikiran membuat jiwa lebih muda dan menjadikan hidup lebih ringan. Sikap yang demikian memperlihatkan suatu solidaritas yang luar biasa, apabila di antara yang muda dan yang tua saling membutuhkan dan membantu akan tercapai suatu nilai kebergantungan satu sama lain. Sehingga sikap egoisme lambat laun semakin

terkikis atas kesadaran bahwa semua manusia membutuhkan sesamanya, baik mereka yang lemah maupun yang kuat.

5. Visi Hidup yang Lebih Lengkap

(74)

diperlukan untuk memupukkembangkan keselarasan masyarakat, keharmonisan keluarga, dan keserasian individu. Melalui nilai-nilai ini mengajak orang untuk sadar dan bertanggungjawab, atas iman akan Allah, persahabatan, sikap tidak memihak kepada kekuasaan, kebijaksanaan, kesabaran, dan keyakinan batin yang dalam akan perlunya menghormati ciptaan dan memupuk kedamaian. Dengan demikian kaum lanjut usia, memahami keberadaan mereka akan lebih berharga daripada perbuatan dan sikap kepemilikan. Orang lanjut usia memahami bahwa “perihal ada” lebih mulia dari pada “perihal berbuat” dan “perihal memiliki”. Masyarakat manusia akan menjadi lebih baik jika dapat belajar memetik manfaat dari kharisma-kharisma usia tua (Dewan Kepausan Untuk Kaum Awam, 2002: 22-23).

Makna dan tujuan hidup orang bisa lebih ditingkatkan jika orang berjuang terus-menerus untuk memperluas visi menuju tujuan yang labih besar, serta mengembangkan setiap bakat yang dikaruniakan Tuhan (Maurus, 2007: 129).

C. Lanjut Usia Menurut Kitab Suci

Referensi

Dokumen terkait