• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan emosional yang mempunyai ciri-ciri seperti keterangsangan fisiologis,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan emosional yang mempunyai ciri-ciri seperti keterangsangan fisiologis,"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Nevid, dkk (2005) menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri-ciri seperti keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Kecemasan menurut Freud (dalam Semiun, 2006) adalah suatu keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang.

Menurut Ghufron dkk (2010) kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan tekanan yang menyertai konflik atau ancaman.

Dari pengertian – pengertian para tokoh ahli diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa kecemasan adalah perasaan yang tidak nyaman sebagai manifestasi dari ketidakmampuannya mengendalikan pikiran yang ditandai dengan munculnya rasa takut dan khawatir untuk menjalani kehidupan dimasa mendatang.

(2)

2. Macam – macam Kecemasan

Lazarus (1991) menyebutkan ada dua macam kecemasan, yaitu

a. State Anxiety, merupakan segala kecemasan yang timbul apabila individu dihadapkan pada situasi tertentu yang dirasakan sebagai suatu ancaman sehingga menyebabkan individu mengalami kecemasan.

b. Trait Anxiety, yang merupakan gejala kecemasan yang menetap pada individu.

Freud (dalam Semiun, 2006) membedakan kecemasan menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Kecemasan Realistis

Kecemasan ini merupakan kecemasan atau rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di dunia luar, seperti banjir, gempa, runtuhnya gedung. Kecemasan realistis ini merupakan yang paling pokok, karena kedua kecemasan yang lain, kecemasan neurotis dan kecemasan moral berasal dari kecemasan yang realistis ini.

b. Kecemasan Neurotis

Kecemasan neurotis adalah kecemasan terhadap tidak terkendalinya naluri yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan yang bisa mendatangkan hukuman baginya. Freud membaginya dalam tiga kelompok, yaitu:

(3)

1) Cemas Umum, merupakan cemas yang sederhana karena tidak berhubungan dengan hal tertentu, yang terjadi hanyalah individu merasa takut dan perasaan tidak menentu.

2) Cemas Penyakit, merupakan cemas yang mencakup pengalaman terhadap obyek atau situasi tertentu sebagai penyebab kadang merasa cemas karena takut akan terjadi hal lain, ketakutan akan kejadian itu merupakan ancaman.

3) Cemas dalam bentuk ancaman, merupakan cemas yang menyertai gejala kejiwaan seperti histeria misalnya, orang yang menderita gejala tersebut kadang-kadang tidak ingat apa-apa.

c. Kecemasan Moral

Ketakutan terhadap hati nurani. Seseorang yang hati nuraninya berkembang dengan baik cenderung merasa berdosa jika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya. Misalnya kecemasan terhadap perbuatan yang melanggar ajaran agama. Orang yang super ego atau aspek sosiologis (das Uber Ich) berkembang baik cenderung untuk merasa berdosa apabila ia melakukan atau berpikir untuk melakukan sesuatu yang yang bertentangan dengan norma-norma moral. Kecemasan moral ini juga mempunyai dasar dalam realistis, karena di masa lampau orang telah mendapatkan hukuman sebagai akibat dari perbuatan yang melanggar kode moral dan mungkin akan mendapat

(4)

Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh diatas, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat dua macam kecemasan yaitu kecemasan yang menetap pada individu (trait anxiety) dan kecemasan yang muncul ketika individu dihadapkan dengan sesuatu yang menjadikan dirinya cemas (state anxiety).

3. Ciri Kecemasan

Nevid, dkk (2005) mengemukakan bahwa ciri kecemasan ditandai oleh ciri fisik, behavioral dan kognitif. Ciri – fisik meliputi:

a. Gangguan pada tubuh seperti berkeringat, panas dingin, dan lemas atau mati rasa.

b. Gangguan kepala seperti pusing atau sakit kepala.

c. Gangguan pernapasan seperti sulit bernapas, jantung berdebar atau berdetak kencang.

d. Gangguan pencernaan seperti mual, diare, dan sering buang air kecil e. Merasa sensitif atau “mudah marah”.

f. gelisah/gugup.

Ciri-ciri behavoiral meliputi perilaku menghindar dan perilaku tergantung. Ciri kognitif meliputi perasaan khawatir, sulit berkonsentrasi dan adanya pikiran yang mengganggu.

Berdasar pendapat dari tokoh ahli, maka disimpulkan bahwa ciri – ciri individu yang mengalami kecemasan adalah menunjukan perasaan khawatir, sulit konsentrasi, pikiran – pikiran yang mengganggu ketenangan diri,

(5)

menunjukkan perilaku menghindar, merasa gelilsah, gugup, sensitif, jantung berdebar kencang, gangguan pada tubuh seperti panas dingin dan berkeringat dingin.

B. Kecemasan Menghadapi Pensiun

1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Pensiun

Seperti yang sudah dijelaskan oleh Ghufron, dkk (2010) bahwa kecemasan merupakan pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan tekanan yang menyertai konflik atau ancaman.

Kecemasan juga akan dihadapi seseorang yang akan memasuki masa pensiun, yaitu dimana seseorang akan mengalami suatu pengalaman emosional subjektif yaitu suatu keadaan tertentu yang dapat mencemaskan seseorang sementara orang lain belum tentu demikian. Pengalaman emosional subjektif tersebut muncul dikarenakan adanya suatu keadaan yang dianggap mengancam keberadaan seseorang, sumber yang mengancam itu bersifat tidak jelas, sehingga seseorang merasa tidak tahu ataupun bingung dan takut untuk dapat menghadapi masa yang akan datang sehingga timbul adanya kecemasan (Pradono & Purnamasari, 2009).

Ratnasari (2009) mengatakan bahwa kecemasan pada orang yang menghadapi pensiun merupakan keprihatinan atau kekhawatiran pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak dapat diprediksi sebagai akibat datangnya masa pensiun

(6)

Schaie dan Wilis (dalam Dewi, 2011) kecemasan menghadapi masa pensiun adalah gambaran negatif tentang masa pensiun, seperti tidak dapat bertemu dengan teman – teman, banyak waktu luang yang terbuang, dana pensiun dan tabungan tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga sehingga seseorang akan merasa tertekan dengan keadaan tersebut.

Dari beberapa penjelasan para tokoh diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kecemasan menghadapi pensiun adalah perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul pada diri individu karena khawatir, bingung dan merasakan ketidakpastian dalam masa yang akan datang, sehingga menyebabkan individu tidak siap dalam menghadapi pensiun.

2. Aspek – Aspek Kecemasan Menghadapi Pensiun

Deffenbacher dan Hazaleus (dalam Ghufron dkk, 2010) mengemukakan bahwa aspek – aspek kecemasan meliputi:

a. Kekhawatiran (worry), merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri, seperti perasaan negatif bahwa ia lebih jelek dibandingkan dengan teman – temannya

b. Emosionalitas (imosionality), sebagai reaksi diri terhadap rangsangan saraf otonomi, seperti jantung berdebar – debar, keringat dingin, dan tegang. c. Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas (task generated

interference), merupakan kecenderungan yang dialami seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang rasional terhadap tugas.

(7)

Spielberger, dkk (1999) membagi kecemasan ini menjadi dua dimensi utama, yaitu:

a. Kekhawatiran

Khawatir ini merupakan aspek kognitif dari kecemasan yang dialami berupa pikiran negatif tentang diri dan lingkungannya dan perasaan negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak adanya harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri, menyerah terhadap situasi yang ada, merasa khawatir berlebihan tentang kemungkinan apa yang dilakukan.

b. Emosionalitas

Dimensi emosi ini merujuk pada reaksi fisiologis dan sistem syaraf otonomik yang timbul akibat situasi atau objek tertentu. Juga merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk yang dirasakan yang mungkin terjadi terhadap sesuatu yang akan terjadi, seperti ketegangan bertambah, jantung berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu.

(8)

Bucklew (dalam Ratnasari, 2009) membagi aspek kecemasan menjadi dua, yaitu:

a. Tingkat psikologis

Artinya kecemasan yang berwujud gejala kejiwaan seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi dan perasaan tidak menentu atau gelisah.

b. Tingkat fisiologis

Artinya kecemasan sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala fisik, terutama pada fungsi sistem saraf pusat, misalnya: tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, keluar keringat dingin berlebihan, sering gemetar dan perut mual.

Shah (2000) yang membagi kecemasan menjadi 3 komponen yaitu: a. Komponen Fisik, seperti rasa pusing, sakit perut tangan berkeringat, perut

mual, mulut kering, grogi, dan lain-lain b. Emosional, seperti panik dan takut

c. Mental atau Kognitif, seperti gangguan perhatian dan memori, kekhawatiran, ketidakteraturan dalam berfikir, dan bingung.

Dari beberapa aspek yang dijelaskan para tokoh diatas, peneliti menyimpulkan bahwa ada tiga aspek kecemasan dalam menghadapi pensiun yaitu:

a. Kekhawatiran

Yaitu merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri dan lingkungan yang ditandai dengan perasaan negatif, merasa khawatir yang berlebihan tentang

(9)

segala kemungkinan yang dilakukan individu, menyerah pada keadaan dan lebih kritis terhadap diri sendiri.

b. Emosionalitas

Merupakan reaksi pada diri terhadap rangsangan saraf otonom yang timbul akibat situasi atau objek tertentu. Hal ini ditandai dengan jantung berdebar – debar, tubuh berkeringat, ketegangan bertambah dan badan gemetar ketika mengerjakan atau memikirkan sesuatu.

c. Gangguan & hambatan dalam menyelesaikan tugas

Merupakan kecenderungan seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang irasional terhadap tugas. Biasanya ditandai dengan sulitnya berkonsentrasi dalam bekerja dan merasa bingung dalam melakukan sesuatu.

3. Faktor Penyebab Kecemasan Menghadapi Pensiun

Kecemasan seseorang dalam menghadapi masa pensiun ini muncul karena beberapa sumber penyebab. Brill dan Hayes (dalam Ratnasari, 2009), menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan seseorang menghadapi pensiun, yaitu:

a. Menurunnya pendapatan atau penghasilan, termasuk didalamnya adalah gaji, tunjangan fasilitas dan masih adanya anak-anak yang belum mandiri yang membutuhkan biaya atau masih adanya tanggungan keluarga.

b. Hilangnya status, baik status jabatan seperti pangkat dan golongan maupun status sosialnya, termasuk didalamnya adalah hilangnya wewenang

(10)

penghormatan orang lain atas kemampuannya dan pandangan masyarakat atas kesuksesannya.

c. Berkurangnya interaksi sosial dengan teman kerja. Kerja memberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang baru dan mengembangkan persahabatan, namun dengan tibanya masa pensiun hal ini kurang bisa dilakukan karena kondisi fisik dan ekonomi yang tidak memungkinkan sehingga tidak berhubungan seperti dulu.

d. Datangnya masa tua, yaitu terutama menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan. Penyebab menurunnya kekuatan fisik yaitu suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus tetapi karena proses menua yang mempengaruhi turunnya kekuatan dan tenaga.

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkan seseorang mengalami kecemasan menghadapi pensiun adalah karena berkurangnya penghasilan, hilangnya status baik status jabatan maupun status sosialnya, kemudian merasa berkurang interaksi sosialnya dengan rekan kerjanya, dan datangnya masa tua seperti menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.

C. KONSEP DIRI

1. Pengertian Konsep Diri

Agustiani (2006) mengatakan konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Brooks (dalam Rahmat, 1996)

(11)

mendefinisikan konsep diri sebagai pandangan dan perasaan kita terhadap diri kita.

Hurlock (1998) mengatakan bahwa konsep diri adalah gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri mencakup citra fisik diri dan citra psikologis diri. Citra fisik diri biasanya terbentuk pertama –tama dan berkaitan dengan penampilan fisik, daya tarik, kesesuaian dan ketidakseusaian dengan jenis kelamin. Citra psikologis diri didasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi yang terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan.

Setelah memahami definisi dari para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan dan penilaian secara menyeluruh baik secara fisik maupun psikologis tentang apa yang dipikirkan dan apa yang menjadi kepercayaan individu mengenai dirinya sendiri.

2. Aspek- aspek Konsep Diri

Menurut Dariyo (2007) menyebutkan empat aspek konsep diri, yaitu: 1. Aspek fisiologis

Aspek fisiologis dalam diri berkaitan dengan unsur- unsur fisik seperti warna kulit, bentuk, berat, atau tinggi badan, raut muka ( tampan, cantik, sedang, jelek), memiliki kondisi badan yang sehat, normal/ cacat dan sebagainya. Karakter fisik mempengaruhi bagaimana seseorang menilai diri sendiri demikian pula tak dipungkiri bahwa orang lain pun

(12)

menilai seseorang diawali dengan penilaian terhadap hal – hal yang bersifat fisiologis. Walaupun belum tentu benar masyarakat seringkali melakukan penilaian awal terhadap penampilan fisik untuk dijadikan sebagai dasar respon perilaku seseorang terhadap orang lain.

2. Aspek Psikologis

Dalam aspek psikologis, dibagi dalam tiga hal yaitu:

a. Kognisi (kecerdasan, minat & bakat, kreatifitas, kemampuan, konsentrasi)

b. Afeksi( ketahanan, ketekunan, dan keuletan,motivasi, toleransi stress) c. Konasi (kecepatan & ketelitian, coping stress, resitiensi).

Pemahaman dan penghayatan unsur- unsur aspek psikologis tersebut akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian yang baik, akan meningkatkan konsep diri yang positif. Sebaliknya penilaian yang buruk cenderung akan mengembangkan konsep diri yang negatif.

3. Aspek psiko-sosiologis

Apek psiko-sosiologis adalah pemahaman individu yang masih memiliki hubungan dengan lingkungan sosialnya. Aspek psiko sosiologis dibagi menjadi tiga unsur:

a. Orangtua saudara kandung, dan kerabat dalam keluarga b. Teman pergaulan dan kehidupan bertetangga.

(13)

Oleh karena itu seseorang yang menjalin hubungan dengan lingkungan sosial dituntut untuk dapat memiliki memampuan berinteaksi sosial, komunikasi, menyesuaikan diri dan bekerjasama dengan mereka. Tuntutan sosial secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi agar individu mentaati aturan- aturan sosial. Individu pun juga berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui lingkungan sosialnya. Dengan demikian terjadi hubungan mutualisme antara individu dengan lingkungan sosialnya.

4. Aspek psikoetika dan moral

Yaitu kemampuan memahami dan melakukan perbuatan berdasarkan nilai- nilai etika dan moralitas. Setiap pemikiran, perasaan dan perilaku individu harus mengacu pada nilai- nilai kebaikan, keadilan, kebenaran, dan kepantasan. Oleh karena itu proses penghayatan dan pengamatan individu terhadap nilai- nilai moral tersebut menjadi sangat penting karena dapat menopang keberhasilan seseorang dalam melakukan kegiatan penyesuaian diri dengan orang lain.

Menurut Calhoun & Acocella (1995) konsep diri memiliki tiga dimensi yaitu:

a. Pengetahuan

Dimensi pertama dari konsep diri adalah mengenai apa yang kita ketahui mengenai diri kita, termasuk dalam hal ini jenis kelamin, suku

(14)

bangsa, pekerjaan, usia dsb. Kita memberikan julukan tertentu pada diri kita.

b. Pengharapan

Pandangan tentang diri kita tidak terlepas dari kemungkinan kita menjadi apa di masa mendatang. Pengharapan dapat dikatakan diri ideal. Setiap harapan dapat membangkitkan kekuatan yang mendorong untuk mencapai harapan tersebut di masa depan.

c. Penilaian

Penilaian menyangkut unsur evaluasi, seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Semakin besar ketidak-sesuaian antara gambaran kita tentang diri kita yang ideal dan yang aktual maka akan semakin rendah harga diri kita. Sebaliknya orang yang punya harga diri yang tinggi akan menyukai siapa dirinya, apa yang dikerjakanya dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dimensi penilaian merupakan komponen pembentukan konsep diri yang cukup signifikan.

Fitts (dalam Agustiani, 2006) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu sebagai berikut :

1. Dimensi Internal

Dimensi internal disebut juga kerangka acuan internal yaitu penilaian yang dilakukan individu yakni penialain yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk:

(15)

a. Diri Identitas

Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertayaan “ siapakah saya?” dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya.

b. Diri Pelaku

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian berkaitan erat dengan diri identitas.

c. Diri Penerimaan atau Penilai

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri pelaku. Diri penilai menentukkan kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya.

2. Dimensi Eksternal

Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain diluar dirinya. Fits (dalam Agustiani, 2006) adalah dimensi eksternal

(16)

yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu :

a. Diri Fisik

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan diri, penampilan dan keadaan tubuhnya.

b. Diri Etik Moral

Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasaan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk. c. Diri Pribadi

Diri Pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya.

d. Diri Keluarga

Diri keluarga menunjukkan perasaan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan sejauh mana seseorang merasa adekuat terhadap

(17)

dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.

e. Diri Sosial

Bagian ini merupakan penialian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan disekitarnya.

Berdasarkan pendapat para tokoh diatas, peneliti menyimpulkan aspek – aspek konsep diri terdiri dari :

a. Aspek fisiologis

Didalam aspek ini mengandung unsur – unsur fisik seperti warna kulit, penampilan fisik (kurus, gemuk, pendek, tinggi), paras wajah, kondisi tubuh yang normal atau cacat dan unsur fisik lainnya. Dengan mengetahui karakter fisik yang dimiliki tiap individu, cenderung mempengaruhi penilaiannya terhadap hal yang bersifat fisik karena kebanyakan orang biasanya terlebih dahulu menilai sesuatu dari segi fisik yang akan dijadikan sebagai dasar perilaku individu terhadap individu lainnya.

b. Aspek Psikologis

Pada aspek ini individu memiliki kecenderungan untuk menilai dan memandang dirinya dari segi kognisi, afeksi dan konasi. Dari tiga aspek tersebut cenderung memberikan pengaruh penilaian pada dirinya sendiri. Penilaian yang baik akan meningkatkan konsep diri menjadi

(18)

positif, sebaliknya jika penilannya buruk cenderung akan lebih mengembangkan konsep diri yang negatif.

c. Aspek psiko-sosiologis

Aspek ini menyangkut tentang pemahaman diri pada unsur - unsur yang berkaitan dengan lingkungan sosialnya yang meliputi : orang tua kandung dan kerabat dalam keluarga, teman pergaulan dan kehidupan bertetangga, lingkungan eksternalnya. Jadi pada aspek ini individu sebenarnya dituntut untuk dapat memiliki kamampuan interaksi sosial, komunikasi, menyesuaikan diri dan saling bekerjasama agar dapat menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya.

d. Aspek psikoetika dan moral

Yaitu kemampuan individu dalam memahami dan melakukan perbuatan berdasarkan nilai etika dan moral yang berlaku dalam masyarakat. Artinya setiap perilaku harus mengacu pada nilai kebaikan, keadilan, kebenaran dan kepantasan. Oleh karena itu proses penghayatan dan pengamatan terhadap nilai etika dan moral sangat penting guna mencapai keberhasilan dalam kegiatan penyesuaian diri dengan orang lain.

3. Peran Konsep Diri

Konsep diri pada dasarnya akan mempengaruhi keadaan psikologi individu juga. Orang akan mampu coping terhadap perubahan dan peristiwa yang menekan jika mempunyai konsep diri yang sehat (Calhoun & Acocella,

(19)

1995). Eliana (2003) mengatakan ada beberapa pengaruh konsep diri dalam kehidupan individu berupa :

a. Dapat mempengaruhi cara berpikir dan berbicara seseorang b. Dapat mempengaruhi cara individu melihat ke dunia luar

c. Dapat mempengaruhi individu dalam memperlakukan orang lain d. Dapat mempengaruhi pilihan seseorang

e. Dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk menerima atau memberikan kasih sayang.

f. Dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan sesuatu. Menurut Felker (dalam Eliana, 2003) ada tiga peran penting dari konsep diri, yaitu:

a. Konsep diri merupakan pemelihara keseimbangan dalam diri seseorang. Manusia memang cenderung untuk bersikap konsisten dengan pandanganya sendiri. Hal ini bisa dimaklumi karena bila pandangannya, ide, perasaan dan persepsinya tidak membentuk suatu keharmonisan atau bertentangan maka akan menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan.

b. Konsep diri mempengaruhi cara seseorang menginterprestasikan pengalamannya. Pengelaman terhadap suatu peristiwa diberi arti tertentu oleh setiap orang. Hal ini tergantung dari bagaimana individu tersebut memandang dirinya.

(20)

c. Konsep diri mempengaruhi harapan seseorang terhadap dirinya. Setiap orang mempunyai suatu harapan tertentu terhadap dirinya, dan hal itu tergantung dari bagaimana individu itu melihat, dan mempersepsikan dirinya sebagaimana adanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep diri memiliki peranan penting dapat mempengaruhi cara berpikir dan berbicara seseorang, mempengaruhi cara individu melihat ke dunia luar, mempengaruhi individu dalam memperlakukan orang lain, mempengaruhi pilihan seseorang, mempengaruhi kemampuan individu untuk menerima atau memberikan kasih sayang dan mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan sesuatu.

D. USIA MADYA

1. Pengertian Usia Madya

Menurut Hurlock (1980), usia madya (usia setengah baya) dipandang sebagai masa antara 40 – 60 tahun. Pada masa tersebut ditandai dengan perrubahan jasmani dan mental. Oleh karena itu usia madya merupakan periode dalam rentang kehidupan manusia, biasanya usia tersebut dibagi – bagi kedalam dua subbagian, yaitu: usia madya dini ( usia 40-50 tahun) dan usia madya lanjut ( usia 50-60 tahun).

2. Karakter Usia Madya

Hurlock (1980) menjelaskan ada 10 karakteristik usia madya, yaitu: a. Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti.

(21)

Hal ini terjadi karena seiring waktu berjalan dan bertambahnya usia, semakin mendekati usia tua maka semakin terasa menakutkan dari seluruh kehidupan manusia.

b. Usia madya merupakan masa transisi.

Seperti halnya masa puber yang yang merupakan masa transisi dari masa kanak – kanak menuju remaja dan kemudian ke masa dewasa. Demikian juga usia madya merupakan massa dimana pria dan wanita meninggalkan ciri – ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri – ciri jasmani dan perilaku baru.

c. Usia madya adalah masa stress.

Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostatis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stress, suatu masa bila sejumlah penyesuaian yang pokok harus dilakukan dirumah, bisnis dan aspek sosial kehidupan mereka.

d. Usia madya adalah usia yang berbahaya.

Umumnya pada usia madya dianggap sebagai usia yang berbahaya dalam rentang kehidupan. Cara yang biasa menginterpretasi usia berbahaya ini berasal dari kalangan pria yang ingin melakukan

(22)

lanjut. Selain itu dapat juga dikatakan usia dimana seseorang mengalami kesusahan fisik sebagai akibat karena terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatikan kehidupan.

e. Usia madya adalah usia canggung.

Dalam karakteristik ini dikenal dengan usia serba canggung (Awkward Age). Sama seperti remaja, bukan anak – anak dan bukan juga dewasa, demikian juga pria dan wanita berusia madya bukan muda lagi tapi juga bukan tua.

f. Usia madya adalah masa berprestasi.

Menurut Erikson (dalam Hurlock,1980) usia madya merupakan masa krisis dimana baik generasivitas/generativity (kecenderungan untuk menghasilkan) maupun stagnasi (kecenderungan untuk tetap berhenti) akan dominan. Masih menurut Erikson (dalam Hurlock,1980), selama usia madya orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Apalagi orang berusia madya yang mempunyai kemauan kuat untuk berhasil, mereka akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil dari masa – masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya. Usia madya seyogyanya menjadi masa tidak hanya untuk keberhasilan keuangan dan sosial tetapi juga untuk kekuasaan dan prestise. Biasanya, pria meraih puncak karir mereka antara usia 40 – 50 tahun, yaitu setelah mereka puas terhadap hasil

(23)

yang diperoleh dan menikmati hasil dari kesuksesan mereka sampai mereka mencapai awal usia 60 tahun.

g. Usia madya merupakan masa evaluasi.

Usia madya pada umumnya merupakan saat pria dan wanita mencapai puncak prestasinya,maka logislah apabila masa ini juga merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi mereka semula dan harapan – harapan orang lain khususnya anggota keluarga dan teman.

h. Usia madya dievaluasi dengan standard ganda.

Walaupun di usia madya perkembangannya cenderung mengarah ke persamaan peran antara pria dan wanita baik dirumah, perusahaan, perindustrian, profesi maupun dalam kehidupan sosial, namun masih terdapat standar ganda dalam usia. Meskipun standar ganda ini mempengaruhi banyak aspek terhadap kehidupan pria dan wanita usia madya tetapi ada 2 aspek khusus yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani. Contohnya ketika rambut menjadi putih, timbul kerut-kerut dan keriput di wajahdan terjadinya beberapa bagian otot yang mengendur terutama otot disekitar pinggang. Aspek kedua adalah dimana standar ganda dapat terlihat nyata terdapat pada cara mereka (pria & wanita) menyatakan sikap terhadap usia tua.

(24)

i. Usia madya merupakan masa sepi.

Periode masa sepi pada usia madya lebih bersifat traumatik bagi wanita daripada pria. Hal ini benar khususnya pada wanita yang telah menghabisakan masa – masa dewasa dengan pekerjaan rumah tangga dan bagi mereka yang kurang memiliki minat atau sumber daya untuk mengisi waktu senggang mereka pada waktu pekerjaan rumah tangga berkurang atau selesai. Banyak pula yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan (retirement-shock). Kondisi yang serupa juga dialani pria ketika meraka mengundurkan diri dari pekerjaan.

j. Usia madya merupakan masa jenuh.

Banyak atau hampir seluruh pria dan wanita mengalami kejenuhan pada akhir usia 30an dan 40an. Kejenuhan tidak akan medatangkan kebahagiaan ataupun kepuasan pada usia manapun. Akibatnya usia madya seringkali merupakan periode yang tidak menyenangkan dalam hidup.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa usia madya berkisar dari 40 – 60 tahun. Kemudian dijelaskan pula 10 karakterisik usia madya, yaitu: usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti, usia madya merupakan masa transisi, usia madya adalah masa stress, usia madya adalah usia yang berbahaya, usia madya adalah usia canggung, usia madya adalah masa berprestasi, usia madya merupakan masa evaluasi, usia madya dievaluasi

(25)

dengan standar ganda, usia madya merupakan masa sepi, dan usia madya merupakan masa jenuh.

E. Pengaruh Konsep Diri terhadap Kecemasan Menghadapi Pensiun

Konsep diri berkaitan erat dengan cara pandang seseorang mengenai siapa dirinya, bagaimana memberi identitas kepada diri sendiri, menilai dan melihat faktor yang ada di luar diri individu yang dapat dijadikan sebagai komponen konsep diri individu tersebut.

Fitts (dalam Agustiani, 2006) yang mengaitkan konsep diri menjadi dua dimensi yaitu dimensi internal dan eksternal. Pada dimensi internal disebutkan bahwa diri individu sebagai objek, diri individu sebagai pelaku, dan sebagai penilai. Dimensi eksternalnya dikatakan bahwa individu sebagai diri fisik, diri etik moral, diri pribadi, diri keluarga dan diri sosial. Dari masing – masing komponen itulah yang akan berperan dan menentukan apakah individu akan memiliki konsep diri yang tinggi ataukah rendah.

Calhoun dan Acocella (1995) juga menjelaskan jika individu yang memiliki konsep diri tinggi cenderung memiliki penerimaan diri yang baik serta memiliki harga diri, sedangkan konsep diri yang rendah lebih memiliki kecenderungan pda rasa putus asa dan penerimaan diri yang negatif terhadap dirinya. Berkaitan dengan individu yang akan menghadapi masa pensiun pasti akan banyak melakukan penyesuaian untuk menyikapi kondisi dan bermacam- macam perubahan yang terjadi setelah memasuki masa pensiun, diantaranya

(26)

adalah menurunnya penghasilan, hilangnya status, hilangnya interaksi dan datangnya masa tua. Kondisi dan perubahan – perubahan yang akan terjadi di masa pensiun membuat individu yang belum memasuki masa pensiun menjadi cemas dan khawatir.

Individu dengan konsep diri yang tinggi diharapkan dapat menerima keadaan dirinya secara positif dan menerima perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, dengan demikian individu dapat mengatasi kecemasannya akan keadaan dan situasi yang tidak pasti di masa pensiunnya.

F. Kerangka Berfikir

Gambar 1 (Kerangka Berfikir) Individu yang akan

pensiun

Menerima konsekuensi dari masa pensiun

KONSEP DIRI - Aspek psikologis - Aspek fisiologis - Aspek psiko-sosiologis - Aspek psikoetika & moral KECEMASAN

MENGHADAPI PENSIUN - Kekhawatiran

- Emosionalitas

- Gangguan & hambatan dalam menyelesaikan tugas

(27)

Bagan kerangka berfikir diatas dijadikan sebagai gambaran tentang pengaruh konsep diri terhadap kecemasan menghadapi pensiun. Pada bagan diatas dapat dijelaskan bahwa individu yang akan menghadapi masa pensiun tentunya akan menerima konsekuensi – konsekuensi tertentu yaitu hilangnya berbagai hal yang dapat diperoleh individu dalam bekerja sehingga menjelang masa pensiun pegawai cenderung merasakan adanya kecemasan akan kehilangan status, berkurangnya penghasilan, berkurangnya interaksi dengan rekan kerja, dan memasuki masa tua (Pradono & Purnamasari, 2010)

Individu yang akan menghadapi masa pensiun perlu memiliki konsep diri yang tinggi. Individu dengan konsep diri tinggi diindikasikan dapat melakukan penyesuaian diri yang baik dengan perubahannya, sebaliknya jika individu dengan konsep diri rendah cenderung kurang dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dalam menghadapi pensiun.

Dari konsep diri yang dimiliki tiap individu akan mempengaruhi pada kecemasan individu dalam menghadapi masa pensiun. jika individu memiliki konsep diri yang tinggi maka individu dapat menyesuaikan diri dengan baik sehingga dapat meredakan kecemasannya ketika menghadapi masa pensiun, sebaliknya jika individu memiliki konsep dirinya rendah akan kesulitan menyesuaikan dirinya terhadap perubahan dalam hidupnya, sehingga individu tersebut akan mengalami kecemasan ketika menghadapi masa pensiun.

(28)

G. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh konsep diri terhadap kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai PDAM Kabupaten Banyumas.

Gambar

Gambar 1 (Kerangka Berfikir) Individu yang akan

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah- murahnya dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan

Setiap kali salah satu Pihak membutuhkan kerjasama da ri pihak lain di luar Republik Indonesia dan Republik Kuba untuk set i ap usaha komersial yang dihasilkan

Dari asumsi-asumsi tersebut, proporsi penginfeksian manusia peka ( ) oleh nyamuk terinfeksi ( ) per hari adalah perbandingan antara peluang transmisi virus demam berdarah

Pencucian (washing) dan penyaringan (screening) dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan material-material yang tidak diinginkan yang terdapat di dalam pulp dan dapat

media Pie Chart peneliti melakukan tahap pengembangan produk pembelajaran dalam hal ini peneliti mengikuti langkah-langkah Dick and Carey. Berdasarkan tahapan

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang sistem kontrol fuzzy logic untuk tegangan keluaran pada generator DC penguatan terpisah berbasis arduino uno R3

Digitasi yang dimaksud adalah proses konversi data raster (citra/foto) menjadi data vektor (peta garis) dengan metode penarikan titik, garis, atau area yang

Kompetensi menyusun RPP menurut (Aminullah & Kusmianti, 2018) adalah kemampuan yang dimiliki oleh guru dalam menyusun dan mengembangkan RPP berdasarkan kurikulum yang