• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen teror dan konflik antar agama : studi mengenai pengaruh mortality salience terhadap keinginan untuk menyakiti penganut agama lain - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Manajemen teror dan konflik antar agama : studi mengenai pengaruh mortality salience terhadap keinginan untuk menyakiti penganut agama lain - USD Repository"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Danang Priambodo

979114123

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

_________ Karl Marx

“To unde rsta nd the world one must not be worrying a bout one se lf.”

(6)

Kedua

 

orangtua

 

penulis

 

Ny.

 

Maria

 

Mangunwihardjo

Heby

 

Anggrestini

 

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan karya asli saya, tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya tulis ilmiah.

Yogyakarta, 27 April 2007

(8)

Abstrak

Priambodo, Danang. (2007). Manajemen teror dan konflik antar agama: Studi mengenai pengaruh mortality salience terhadap keinginan untuk menyakiti penganut agama lain.

(9)

Abstract

Priambodo, Danang. (2007). Terror management and religion conflicts: A study on the effect of mortality salience on the desire to hurt other people that belong to another religious party.

(10)

KATA PENGANTAR

Kematian merupakan peristiwa yang selama ribuan tahun telah banyak memunculkan perenungan bersifat filosofis, teologis, dan juga psikologis, meskipun demikian, baru selama ± 2 dekade terakhir inilah berbagai upaya empiris dilakukan para psikolog sosial untuk menguji adanya hubungan antara peristiwa tersebut dengan tema-tema psikologi sosial seperti afiliasi kelompok, fanatisme kelompok, konflik antar kelompok, nasionalisme, prasangka rasial, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan, skripsi ini dapat digolongkan sebagai salah satu bagian dari upaya-upaya empiris tersebut.

(11)

■ P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si (dekan Fakultas Psikologi-Universitas Sanata

Dharma), atas empati, kesabaran, dan bantuan birokrasi yang banyak ia berikan kepada penulis.

■ Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si (kepala Program Studi Fakultas

Psikologi-Universitas Sanata Dharma), atas empati, kesabaran, dan bantuan birokrasi yang ia berikan kepada penulis.

■ Y. Agung Santoso, S.Psi (dosen pembimbing skripsi penulis), atas bimbingan,

empati, bantuan moral, kesabaran, dan kritik-kritik membangun yang selama hampir 3 tahun telah ia berikan kepada penulis.

■ Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang selama ini telah banyak berempati dan

membantu kelangsungan studi penulis: Mas Didiek (atas kuliah-kuliahnya yang hidup, kritik-kritiknya yang membangun, dan gagasan-gagasan cemerlang yang banyak ia berikan kepada penulis), Mbak Arie, Mbak Titiek, Mbak Christine, Mbak Nimas, Mbak Tantie, Mbak Agnes, Mbak Ratrie, Ibu Susan, Ibu Lusie, Mbak Fusca (yang sekarang entah di mana), dan Pak Pratiek.

■ Jesus of Nazareth, Charles Darwin, Sigmund Freud, Albert Einstein, Karl Marx,

(12)

■ Kedua orangtua penulis, atas pengorbanan, kasihsayang, dedikasi, perhatian, dan

kesabaran, yang selama ini telah banyak mereka berikan demi keberhasilan studi penulis.

■ Ny. Maria Mangunwihardjo (nenek penulis, alm), atas kasihsayang mendalam,

perhatian, kesabaran, dan pengorbanan, yang selama hidupnya telah ia berikan tanpa henti kepada penulis.

■ Kedua adik kandung penulis, atas dukungan, perhatian, dan bantuan yang mereka

berikan kepada penulis.

■ Seluruh sahabat penulis: Heby (Mat-Sadhar ’99, thanks for the love, friendship,

care, patience, sacrifice, and dedication), Dhani (Psi-Sadhar ’03, thanks for the love, friendship, care, beautiful memory, deep inspirations, enlightening discussions, and to

(13)

■ Guns N’ Roses, band rock terbesar di dunia, yang lewat karya-karya musiknya telah

memberi ketenangan jiwa dan semangat membara kepada penulis.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

Yogyakarta, 23 Juni 2007

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….……... ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN MOTTO ……….……... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….……... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….……... vi

ABSTRAK ………. vii

ABSTRACT ………... viii

KATA PENGANTAR ………... ix

DAFTAR ISI ……….. xiii

DAFTAR TABEL ……….. xviii

(15)

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xx

BAB 1. PENDAHULUAN ……….……...

A. Latar Belakang Masalah ………

1. Fungsi dasar agama sebagai akar dari konflik berdarah antar kelompok agama ………

2. Mortality salience dan keinginan untuk menyakiti penganut agama lain ………..

B. Rumusan Masalah ………..

C. Tujuan Penelitian ………...

D. Manfaat Penelitian ……….

1 1 2 4 6 6 7

BAB 2. DASAR TEORI ……….……...

A. Terror Management Theory ………...

1. Latar belakang kelahiran ………

2. Premis dasar ………...

3. Peran kebudayaan dalam mengatasi teror eksistensial ……...

4. Dual component of cultural anxiety buffer ………

5. Keabadian simbolis dan keabadian literal ………..

(16)

6. Worldview defense ……….

7. Self-esteem striving ………

8. Proximal defense & distal defense ……….

9. Pengaruh mortality salience terhadap distal defense ……….

10.Proses kognitif dari pengaruh mortality salience terhadap

distal defense ………..

11.Hipotesa umum dalam riset-riset TMT ………..

B. Agama, Fungsi Dasar Agama, dan Munculnya Keinginan untuk Menyakiti Penganut Agama lain ………

1. Definisi agama: agama sebagai worldview ………....

2. Fungsi dasar agama ………

3. Akar dari munculnya keinginan untuk menyakiti penganut agama lain ………..

4. Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain sebagai awal dari konflik berdarah antar agama ……….

C. Keinginan untuk Menyakiti Penganut Agama lain: Definisi,

Karakter, dan Goal ……….

1. Keinginan ………...

(17)

2. Definisi & karakter dari konstruk keinginan: perbedaan keinginan dengan niat ………

3. Hubungan keinginan dengan niat ………...

4. Hubungan keinginan dengan goal ………..

5. Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain: definisi,

karakter, & goal ……….

D. Dinamika antar Variabel ………

E. Hipotesis ……….

33 36 37 39 42 48

BAB 3. METODE PENELITIAN ……….

A. Jenis Penelitian ………..

B. Variabel-variabel Penelitian ………..

C. Subyek Penelitian ………..

D. Prosedur Penelitian ………

E. Alat-alat Eksperimen ……….

F. Definisi Operasional ………..

1. Mortality salience ………..

2. Tingkat keinginan untuk menyakiti penganut agama lain ….

(18)

3. Variabel-variabel kontrol ………...

G. Prosedur Pelaksanaan Eksperimen ………

H. Analisa Data Penelitian ………..

69

82

87

BAB 4. PELAKSANAAN dan HASIL PENELITIAN ……….

A. Pelaksanaan Penelitian ………...

1. Waktu pelaksanaan penelitian ………

2. Deskripsi data hasil eksperimen ……….

B. Analisa Hasil Eksperimen ………..

1. Uji hipotesa ………

C. Pembahasan ………

89 89 89 90 92 92 93

BAB 5. KESIMPULAN dan SARAN ………...

A. Kesimpulan ………

B. Saran ………...

101

101

102

DAFTAR PUSTAKA ……… 104

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Proximal defense dan distal defense ……… 21

Tabel 2. Bagan definisi agama ………... 25

Tabel 3. Skor skala KMP-AL tiap partisipan pada kelompok eksperimen &

kelompok kontrol ……… 91

Tabel 4. Perbedaan nilai mean, varians, mode dari kelompok eksperimen &

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema urutan terjadinya proximal defense & distal defense …... 22

Gambar 2. Skema dinamika antar variabel ……… 47

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN A. Kuesioner Mortality Salience ………... 113

LAMPIRAN B. Kuesioner No-Mortality Salience ………. 114

LAMPIRAN C. Skala Keinginan untuk Menyakiti Penganut Agama

lain (KMP-AL) ………... 115

LAMPIRAN D. Tugas Mengevaluasi Essay secara Non-judgemental .. 116

LAMPIRAN E. Inventori Minat Diri ………. 117

LAMPIRAN F. Kuesioner Deskripsi Diri ……….. 118

LAMPIRAN G. Tugas Mengevaluasi Wajah dalam Gambar ………… 120

LAMPIRAN H. Kuesioner Tingkat Keseringan Mengganti Nomor

Handphone ………. 121

LAMPIRAN I. Rapport Eksperiensial ………... 122

(22)
(23)

BAB 1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Pada suatu hari di India, tepatnya di bulan agustus tahun 2000, 9 serangan terpisah dilancarkan sekelompok gerilyawan muslim terhadap peziarah hindu yang sedang menuju Srinagar. Serangan tersebut menewaskan 101 orang. Sementara itu, masih di tahun yang sama, 2000 orang di kota Ambon, Indonesia, juga tewas akibat konflik antara umat Kristen dan umat Islam (http://www.center2000.org). Kedua peristiwa tersebut hanyalah salah satu contoh dari berbagai konflik berdarah antar umat beragama yang sudah kerap terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Hingga kini, masyarakat Indonesia juga kerap mengalami peristiwa serupa, misalnya konflik yang terjadi di Poso dan di Maluku Selatan (Pieris, 2004 ; van Klinken, 2005, h.93 ; data lengkap mengenai negara-negara tempat terjadinya konflik antar agama dapat dilihat di http://www.religioustolerance.org/curr_war.htm).

Menurut Paloutzian (1996, h.3), walau agama pada umumnya mengajarkan cinta kasih, etika & moral, agama mungkin juga menjadi satu-satunya subyek sejarah yang paling banyak memunculkan kontroversi, kebencian, dan pertumpahan darah. Seluruh perenungan terhadap berbagai dampak negatif akibat konflik antar agama memunculkan pertanyaan berikut: faktor apakah yang sebenarnya mengakari terjadinya konflik tersebut?

(24)

Staub, 1996; Simon & Klandermans, 2001; Colombijn & Lindblad, 2002; Eidelson & Eidelson, 2003; Fortuna Anwar, Bouvier, dkk, 2005; Timotius, 2005), meskipun demikian, Terror Management Theory (TMT) menawarkan sudut pandang yang berbeda, sebab, bila teori lain meletakkan akar dari konflik antar agama pada faktor-faktor relatif yang masih dapat dikendalikan manusia (misalnya kesenjangan ekonomi, tingkat pengangguran, penyalahgunaan kekuasaan), TMT justru meletakkan akar dari konflik tersebut pada 1 faktor universal yang kemunculannya tetap berada di luar kendali manusia, yaitu peristiwa datangnya kematian.

1. Fungsi dasar agama sebagai akar dari pertikaian berdarah antar kelompok agama

(25)

Bagi TMT, upaya menyangkal kematian (memperoleh keabadian hidup) merupakan alasan tak sadar yang mendorong tiap penganut agama rela berkorban demi mematuhi ajaran agama mereka. Akibatnya, fungsi dasar agama baru dapat terpenuhi jika para pemeluknya sungguh yakin bahwa hanya ajaran agama merekalah yang dapat memberi keabadian hidup. Hal ini terjadi karena keyakinan tersebut akan membuat tiap pemeluk agama merasa terjamin bahwa pengorbanan mereka tidaklah sia-sia, bahwa pengorbanan tersebut pasti dapat memberi mereka kekekalan. Fakta tak terbantahkan akan adanya bermacam agama, dan konskuensinya, adanya orang-orang dengan agama yang berbeda, berpotensi mengancam atau merusak keamanan psikologis yang selama ini telah dinikmati tiap penganut agama, sebab, para penganut agama lain tentu juga akan menganggap bahwa hanya ajaran agama merekalah yang dapat memberi keabadian hidup, sehingga, tiap penganut agama dibenturkan dengan beragam alternatif pencarian kekekalan yang dapat membuat mereka ragu akan kebenaran agamanya sendiri.

(26)

2. Mortaliy salience dan keinginan untuk menyakiti penganut agama lain

Bila dari gagasan TMT tentang akar konflik antar agama ditarik alur logis, maka akan muncul pertanyaan demikian: jika upaya mengatasi kematian memang merupakan alasan tak sadar yang membuat tiap kelompok agama saling membenci, apakah yang akan terjadi bila seorang penganut agama disadarkan/diingatkan kembali pada masalah kematian?

Jawaban terhadap pertanyaan di atas diungkap oleh Greenberg dkk (dalam Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.72-73). Dalam salah satu penelitian mereka, Greenberg dkk menemukan bahwa di bawah kondisi mortality salience, yaitu kondisi mental dimana pikiran tentang kematian berada pada posisi kentara/menonjol (salient) dalam ingatan/kesadaran individu (Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.45), kelompok mahasiswa Kristen menjadi makin bias dalam mengambil sikap terhadap keberadaan kelompok mahasiswa Yahudi: keberpihakan mereka pada kelompok Kristen menjadi makin kuat, sementara penolakan/reaksi negatif mereka terhadap kelompok mahasiswa Yahudi juga semakin kuat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mortality salience dapat menguatkan/meningkatkan kebencian, sikap, dan prasangka negatif antar kelompok agama.

(27)

masalah berikut: jika upaya menyangkal kematian memang merupakan akar dari konflik antar agama, maka mortality salience harusnya juga akan meningkatkan keinginan seorang penganut agama untuk menyakiti orang yang berbeda agama dengannya.

Hingga kini, belum ada satupun riset TMT dibuat untuk merespon masalah di atas. Ada dua alasan utama mengapa riset TMT seperti ini perlu dilakukan di Indonesia:

(28)

Kedua, berbagai riset TMT menunjukkan bahwa kondisi-kondisi seperti tingginya tingkat kesenjangan ekonomi, depresi sosial, serta rendahnya tingkat harga-diri suatu masyarakat, berpotensi menjadi faktor yang dapat mendorong seorang penganut agama melakukan tindak kekerasan bermotif agama (Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.153-154). Sejak kondisi-kondisi tersebut telah menjadi masalah klasik di negara kita, maka riset TMT kali ini akan memungkinkan kita menyusun metode yang lebih akurat untuk menangani berbagai dampak negatif yang mungkin memang terjadi akibat adanya hubungan antara kondisi-kondisi di atas dengan banyaknya peristiwa kematian yang dijumpai masyarakat.

B.

Rumusan Masalah

1. Apakah mortality salience dapat meningkatkan keinginan seorang pemeluk agama untuk menyakiti orang yang berbeda agama dengan dia?

C.

Tujuan Penelitian

(29)

D.

Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Sanggup memperluas pengetahuan kita dalam wilayah kajian psikologi kematian, psikologi sosial, dan psikologi agama.

2. Manfaat praktis

(30)
(31)

BAB 2

DASAR TEORI

A.

Terror Management Theory

1. Latar belakang kelahiran

Kelahiran TMT dilatarbelakangi oleh berkembangnya psikologi thanatos selama ± 4 dekade terakhir. Psikologi thanatos dapat dikatakan sebagai bagian langsung dari thanatologi, yaitu jaringan kerja interdisipliner (meliputi psikolog, biolog, ahli hukum, dan lain-lain) untuk mengkaji berbagai aspek medis dan psikis dari kematian (Lefton, 2000, h.394). Psikologi thanatos terbagi menjadi 2 gerakan. Gerakan pertama menempatkan pengalaman akan kematian sebagai variabel tergantung yang dinamikanya banyak dipengaruhi kondisi intrapsikis individu, sementara gerakan kedua menempatkan kematian sebagai variabel bebas yang dapat mempengaruhi beragam pola mental & prilaku individu. TMT dapat digolongkan sebagai bagian dari gerakan kedua (Florian & Mikulincer, 1997).

(32)

TMT merupakan teori mengenai cara-cara manusia dalam mengelola kesadaran bahwa kematian merupakan takdir yang tak dapat mereka tolak. TMT mengkaji dampak dari kesadaran tersebut pada hidup manusia, dan bukan mengkaji dampak dari ancaman kematian yang telah ada di depan mata (misalnya, ancaman kematian akibat menderita AIDS, disandera perampok bank). Dengan demikian, TMT pada hakikatnya merupakan teori mengenai pengaruh kematian terhadap kehidupan (Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.8).

2. Premis dasar

Manusia dan seluruh hewan lain mewarisi dorongan instingtif yang sama untuk memelihara & mempertahankan hidup, untuk menolak kematian. Ditinjau dari sisi insting ini, posisi manusia dan hewan lain bersifat sejajar. Meskipun demikian, kapasitas akal budi yang hanya ada dalam diri manusia merubah kesetaraan tersebut: manusia terposisikan sebagai satu-satunya hewan yang sepenuhnya sadar (aware) bahwa datangnya kematian merupakan suatu takdir yang tak dapat mereka tolak (Hirschberger, Florian, & Mikulincer, 2002; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.13-15)

(33)

akan menghancurkan semuanya. Teror ini berpotensi melumpuhkan kebudayaan sebab derita yang dihasilkannya dapat membuat manusia mengesampingkan berbagai prilaku bernilai yang sebenarnya bermanfaat bagi berkembangnya suatu budaya (Dechesne, Janssen, & van Knippenberg, 2000; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.15-16).

3. Peran kebudayaan dalam mengatasi teror eksistensial

Salah satu fungsi paling dominan dari struktur kebudayaan adalah untuk membantu individu mengatasi ancaman teror eksistensial (Pyszczynski, Greenberg, dkk, 2004; Goldenberg, Pyszczynski, dkk, 1999). Kebudayaan dapat memenuhi fungsi tersebut lewat 2 cara. Pertama, lewat cara langsung, yaitu dengan memberi individu berbagai perangkat fisik yang memungkinkan mereka menunda kematian, misalnya rumah sakit, obat-obatan, fasilitas perumahan, alat-alat pertanian, hukum yang melarang pembunuhan, dan lain sebagainya; kedua, lewat cara tidak langsung, yaitu dengan memberi individu berbagai perangkat simbolis yang memungkinkan mereka memperoleh rasa (sense) akan keberhargaan diri & makna hidup. Perangkat simbolis ini dapat berbentuk nilai sosial, nilai & norma moral, nilai ekonomi, tingkatan gelar pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

(34)

dicegah/dihilangkan oleh perangkat fisik apapun, dan (2) karena teror eksistensial pada hakikatnya merupakan ancaman terhadap rasa individu akan arti & nilai-dirinya.

4. Dual component of cultural anxiety buffer

Setiap individu berupaya mengatasi teror eksistensial lewat mekanisme intrapsikis yang disebut penangkal kecemasan berkerangka budaya (cultural anxiety buffer). Mekanisme ini dipertahankan dan dijalankan individu dengan memanfaatkan berbagai perangkat simbolis yang disediakan struktur budaya tempat mereka hidup.

Cultural anxiety buffer tersusun dari 2 komponen (dual component of cultural anxiety buffer), terdiri dari:

1) Iman (faith) terhadap cultural worldview, yaitu iman terhadap seperangkat kepercayaan bersama tentang kodrat realitas yang sanggup memberi individu rasa akan nilai-diri, makna hidup, order (keteraturan; keterencanaan), permanensi, stabilitas, serta janji akan keabadian hidup.

2) Harga-diri (self-esteem), yaitu tingkatan nilai pribadi yang didapat individu dari kepercayaannya pada worldview di atas, dan dari keberhasilannya hidup berdasar pedoman nilai di dalam worldview itu sendiri (Pyszczynski, Greenberg, dkk, 2004).

(35)

sosial atas apa yang telah mereka kerjakan, individu memperoleh rasa akan kekekalan, makna hidup, & harga-diri. Rasainilah yang berfungsi sebagai perisai untuk menangkal teror eksistensial (Harmon-Jones, Simon, dkk, 1997; Schimel, Simon, dkk, 1999; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.16-22).

5. Keabadian simbolis dan keabadian literal

Cultural worldview menjanjikan 2 jenis keabadian (Florian & Mikulincer, 1998; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.20-22; Dechesne, Pyszczynski, dkk, 2003). Kedua keabadian tersebut terdiri dari:

1) Keabadian simbolis, yaitu rasa akan keabadian yang diperoleh individu sebagai upah dari keterlibatannya dalam berbagai tata nilai, pranata, atau lembaga sosial yang bersifat lebih besar (grandeus), illahi (divine), serta lebih tahan lama (durable) dibanding rentang hidup dirinya sendiri. Sejak berbagai struktur budaya (nilai moral, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya) masih akan tetap ada walau individu sendiri telah mati, keterlibatan individu dalam struktur tersebut akan memungkinkan mereka merasa bersatu dengan kekuatan supra-manusia yang sifatnya lebih kekal.

(36)

6. Worldview defense

Tiap individu cenderung mengimani worldview sebagai bangunan gagasan yang mutlak benar. Pemutlakan worldview memungkinkan individu merasa terjamin bahwa struktur budaya yang mereka buat adalah struktur yang paling dapat mengatasi kematian, sehingga, perangkat simbolis yang disediakannya dapat memastikan keberhasilan individu dalam mengelola teror. Meskipun demikian, worldview tetaplah ciptaan sosial yang bersifat rapuh & rentan terhadap perubahan. Selain itu, pemutlakan

worldview tidak mungkin dilakukan karena tidak setiap individu atau kelompok sosial mau mengakui kebenaran suatu worldview. Kelemahan worldview ini berpotensi mengancam rasa aman yang telah didapat individu. Masalah inilah yang kemudian mendorong mereka melakukan worldview defense.

(37)

eksistensial. Semakin banyak pihak lain ikut mengukuhkan keyakinan individu pada suatu worldview, akan semakin efektiflah worldview tersebut sebagai penangkal teror.

Worldview defense dapat mewujud dalam beberapa bentuk berikut (McGregor dkk, 1998; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.30-34):

a) Konversi, yaitu tehnik worldview defense yang dijalankan individu dengan cara mengajak orang lain ikut memeluk worldview yang diimaninya, misalnya lewat aksi-aksi misionaris.

b) Akomodasi, yaitu tehnik worldview defense yang dijalankan individu dengan cara memasukkan beberapa bagian tak mengancam dari worldview orang lain ke dalam

worldview-nya sendiri.

c) Derogasi, yaitu tehnik worldview defense yang dijalankan individu dengan berupaya menyepelekan (mengecilkan arti) worldview orang lain, misalnya dengan berupaya memandang worldview orang lain sebagai suatu keyakinan primitif, tak berguna, dan lain sebagainya.

(38)

7. Self-esteem striving

Self-esteem striving adalah dorongan motivasional untuk meraih & meningkatkan harga-diri. Dorongan ini dipenuhi individu dengan berupaya hidup berdasarkan pedoman nilai-nilai dalam worldview yang mereka imani (Pyszczynski, Greenberg, 2004).

Pemenuhan self-esteem striving tak hanya memungkinkan individu memaknai ataupun memberi nilai pada hidup mereka yang terbatas, namun juga memungkinkan mereka merasa layak mendapat keabadian simbolis dan literal. Hal ini terjadi karena pada umumnya, worldview hanya menjanjikan keabadian untuk orang-orang yang bernilai, misalnya jaminan kekekalan surga untuk orang-orang yang bermoral.

8. Proximal defense & distal defense

(39)

langsung dengan masalah kematian (sejak rumah sakit merupakan perangkat fisik yang relevan dalam menunda kematian, tidak ada jarak lebar antara ‘saya nyaris mati‘ dengan ‘saya harus ke rumah sakit‘).

Distal defense adalah pola penanganan kematian yang bersifat tidak sadar, tidak menunjukkan adanya hubungan logis dengan masalah kematian, bersifat tidak langsung, serta dilakukan individu dengan memanfaatkan perangkat simbolis, misalnya ancaman kematian dihadapi individu dengan mematuhi ajaran ideologi tertentu, berusaha menjadi guru teladan, berusaha mengikuti trend berpakaian, dan lain sebagainya. Seluruh cara tersebut bersifat tidak sadar (individu tidak tahu bahwa upayanya menjadi guru teladan sebenarnya bertujuan untuk melawan kematian), tampak tidak logis (menjadi guru teladan tampak tidak relevan sebagai cara menangani kematian), dan bersifat tidak langsung (ada jarak lebar antara ‘saya tidak ingin mati‘ dengan ‘saya harus menjadi guru teladan‘).

(40)

9. Pengaruh mortality salience terhadap distal defense

Mortality salience adalah kondisi mental dimana pikiran atau bayang-bayang mengenai kematian berada pada posisi kentara, tajam, menonjol (salient) dalam ingatan/kesadaran individu (Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.45).

Pada saat individu belum mengalami mortality salience, distal defense yang mereka lakukan berjalan tenang (steady) dan tampak alamiah. Hal ini terjadi karena pikiran mengenai kematian tidak menonjol dalam ingatan/kesadaran individu, sehingga, perhatian mereka pada ancaman teror eksistensial berjalan normal/tidak menajam. Kondisi ini menyebabkan individu tidak menempatkan kekekalan maupun harga-diri sebagai tujuan darurat yang harus segera diraih. Akibatnya, mereka tidak mengalami dorongan yang berlebihan untuk segera mengupayakan keberhasilan suatu distal defense.

Pada saat individu mengalami mortality salience, distal defense yang mereka lakukan menjadi menguat/meningkat. Hal ini terjadi karena pikiran mengenai kematian menjadi menonjol dalam ingatan/kesadaran individu, sehingga, perhatian individu pada ancaman teror eksistensial menguat/menajam. Kondisi ini menyebabkan individu menempatkan harga-diri & keabadian sebagai tujuan darurat yang harus segera diraih. Akibatnya, mereka makin terdorong untuk segera mengupayakan keberhasilan suatu

distal defense.

(41)

1. Bayangkan dan pikirkanlah apa saja yang akan terjadi saat anda mengalami kematian, kemudian, uraikanlah secara singkat emosi-emosi yang anda rasakan saat bayang-bayang kematian tersebut muncul di pikiran anda!.

2. Di bawah ini, uraikanlah selengkap mungkin hal-hal apa saja yang menurut anda akan terjadi saat anda secara fisik sekarat, dan saat anda secara fisik telah mati!.

Walau pengaruh mortality salience terhadap menguatnya distal defense dapat diamati terutama lewat pengkondisian eksperimental, Pyszczynski dkk (dalam Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.52-52) menemukan bahwa pengaruh tersebut juga dapat terjadi dalam situasi alamiah sehari-hari. Hal ini terungkap lewat penelitian mereka yang menunjukkan bahwa, relatif terhadap kelompok kontrol (orang-orang yang diwawancara dengan jarak 100m dari area pemakaman), (orang-orang-(orang-orang yang diwawancara tepat di depan area pemakaman menunjukkan gejala menguatnya

worldview defense. Temuan ini menunjukkan bahwa individu dapat mengalami penguatan distal defense hanya karena mereka sedang menyaksikan atau berdekatan dengan pemandangan-pemandangan alamiah yang mengingatkan pada kematian, misalnya berita duka cita, adegan pembunuhan dalam film, daerah pemakaman, dan lain sebagainya.

10.Proses kognitif dari pengaruh mortality salience terhadap distal defense

(42)

upaya-upaya defense yang bersifat proximal. Riset-riset ini menemukan bahwa tepat setelah partisipan dikondisikan dalam keadaan mortality salience, apa yang mereka lakukan bukanlah pola penangkalan teror bersifat distal, melainkan pola bersifat proximal (lihat misalnya Greenberg, Simon, dkk, 1995; Simon, Greenberg, dkk, 1997; Pyszczynski, Greenberg, & Solomon, 1999). Menurut Cognitive-Experiential Self-Theory (CEST) dari Eipstein (dalam Simon, Greenberg, dkk, 1997; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.64-66), hal itu terjadi karena tepat/tidak lama setelah individu mengalami mortality salience, berbagai bayangan & pikiran mengenai kematian masih sangat terbaca oleh kesadaran, sehingga, individu dimungkinkan menangani masalah kematian secara sadar, langsung, rasional, & logis.

Menguatnya distal defense baru dapat terjadi agak lama setelah partisipan mengalami mortality salience, yaitu saat bayangan/pikiran mengenai kematian telah berada di ujung pinggir kesadaran, tetapi masih sangat mudah diakses (Pyszczynski, Greenberg, & Solomon, 1999). Menurut CEST, hal itu terjadi karena setelah partisipan mengalami mortality salience agak lama, mereka telah dimungkinkan menangani masalah kematian secara eksperiensial, yaitu pola penanganan masalah yang ditandai oleh kurangnya operasi logika maupun problem-coping bersifat langsung, lebih otomatis, tidak butuh banyak tenaga (santai), dan bersifat kurang disadari (Eipstein, dalam Simon, Greenberg, dkk, 1997).

Sejak TMT pada hakikatnya merupakan teori untuk mengukur berbagai bentuk

(43)

diberikan tidak tepat setelah partisipan mengalami mortality salience, melainkan agak lama setelah partisipan mengalami mortality salience. Upaya pengalihan dari proximal

ke distal ini dilakukan dengan memberi partisipan tugas-tugas eksperimen yang umumnya bersifat faking (bukan alat uji hipotesis yang sebenarnya).

Temuan di atas diperkuat Arndt dkk (1997; dlm Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.62-64) yang menemukan bahwa pengaruh mortality salience

terhadap distal defense dapat terjadi walau individu tidak sengaja memikirkan kematian. Dalam penelitian yang mereka lakukan, Arndt dkk mencoba mencaritahu apakah stimulasi kematian bersifat subliminal dapat menghasilkan pengaruh mortality salience

(44)

Proximal defense Distal defense

• Kesadaran akan ancaman kematian ditangani

tepat pada tingkat dimana ancaman itu terbentuk

• Pikiran-pikiran yang berhubungan dengan

kematian dibuang dari kesadaran dan/atau

dialihkan dengan semacam rasionalisasi seperti

misalnya mencoba meyakinkan diri bahwa kita

tak akan cepat mati karena sudah berhenti

merokok, dan lain sebagainya.

• Rasional

• Kesadaran akan ancaman kematian ditangani

jauh dari tingkat dimana ancaman itu

terbentuk

• Memberi individu suatu rasa akan harga-diri,

rasa sebagai anggota realitas yang lebih kekal

dibanding dirinya

• Eksperiensial

• Muncul agak lama setelah mortality salience

• Muncul tepat setelah mortality salience

• Tidak muncul sebagai respon terhadap stimulus

kematian yang bersifat subliminal

• Dapat muncul sebagai respon terhadap

stimulus kematian yang bersifat subliminal

(45)

Bayangan/pikiran mengenai kematian memasuki kesadaran

Proximal defense: supresi & rasionalisasi masalah kematian

Bayangan/pikiran mengenai kematian sudah berada di ujung pinggir kesadaran, namun masih

sangat mudah diakses

Distal defense: worldview defense & self-esteem striving

Aksesibilitas terhadap bayangan/pikiran mengenai kematian menurun; potensi teror eksistensial

berhasil dibuang

Gambar 1. Skema urutan terjadinya proximal defense & distal defense (Sumber: Pyszczynski,

Greenberg, & Solomon, 1999).

11.Hipotesa umum dalam riset-riset TMT

Sejauh ini, riset-riset TMT dilakukan terutama untuk menguji 2 hipotesa umum sebagai berikut:

(46)

beberapa riset TMT yang menemukan bahwa pengaruh mortality salience dapat dilemahkan oleh, misalnya, peningkatan harga-diri seseorang (Harmon-Jones, Simon, dkk, 1997), tingginya rasa keabadian simbolis yang dirasakan seseorang (Florian & Mikulincer, 1998, bandingkan dengan Mikulincer & Florian, 2000), maupun oleh kepercayaan pada hidup sesudah mati (Dechesne, Pyszczynski, dkk, 2003).

(47)

Selain untuk menguji kedua hipotesa umum di atas, riset-riset TMT juga diarahkan untuk menguji adanya interaksi antara pengaruh mortality salience dengan berbagai karakter spesifik individu. Riset-riset tersebut mengungkap adanya interaksi antara pengaruh mortality salience dengan, misalnya jenis rasa takut individu pada kematian (Florian & Mikulincer, 1997), kesempatan untuk mengutarakan pendapat (Van den Bos & Miedeme, 2000), perbedaan dalam attachment style (Mikulincer & Florian, 2000), kesempatan untuk memikirkan hubungan percintaan (Florian, Mikulincer, Hirschberger, 2002), serta tingkat gangguan neurotis (Goldenberg, Pyszczynski, dkk, 1999).

B.

Agama, Fungsi Dasar Agama, dan Munculnya Keinginan untuk

Menyakiti Penganut Agama lain

1. Definisi agama: agama sebagai worldview

TMT mendefinisikan agama berdasarkan aspek umumnya sebagai worldview

untuk mengatasi teror eksistensial, sehingga, analisa TMT terhadap agama didasarkan tak hanya dari institusi agama yang memiliki objek penyembahan (misalnya agama Yahudi, Kristen, Islam), namun juga didasarkan dari hasil riset terhadap worldview

-worldview sekuler seperti nasionalisme, konservatisme, liberalisme, dan lain sebagainya (lihat misalnya Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002).

(48)

dimana agama berperan dalam hidup individu maupun sosial, serta pada tingkat fungsi (menekankan fungsi agama bagi sistem sosial) maupun substansi (menekankan dimensi ajaran, doktrin, syahadat, ataupun ritual dari suatu agama). Berdasarkan usulan Paloutzian ini, agama dapat kita definisikan sebagai:

PRIBADI

FUNGSI

• Apapun yang dapat melayani fungsi keagamaan bagi individu: memberi makna hidup, memberi panduan moral, dan lain sebagainya

SUBSTANSI

• Kepercayaan unik individu

• Kesadaran pribadi akan sesuatu yang sakral, transenden, illahiah

SOSIAL

• Apapun yang dapat memerankan fungsi

keagamaan bagi hidup atau berprosesnya suatu kelompok & masyarakat

• Syahadat formal dan adanya mahluk maha agung yang diwakilinya

• Konsensus kelompok pada kepercayaan & praktek ritual

• Adaya organ publik seperti gereja, sinagoga, masjid, dan lain-lain.

(49)

Bagan definisi pada Tabel 2 memberi kita 2 manfaat. Pertama, kita dimungkinkan menerapkan hasil penelitian kali ini untuk menganalisa konflik bernuansa agama yang diakibatkan keberadaan kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak diakui sebagai agama resmi di Indonesia, misalnya konflik akibat keberadaan Jemaah Ahmadiyah, Saksi Jehovah, Sekte Lia Eden, Falun Gong, dan lain sebagainya; Kedua, kita mendapat dasar teori yang lebih adekuat untuk menganalisa konflik agama berdasarkan hasil riset TMT terhadap paham-paham sekuler.

2. Fungsi dasar agama

(50)

Gagasan TMT mengenai fungsi dasar agama sejalan dengan pandangan Henry Bergson, Herbert Spencer, dan mazhab teori fungsi dalam sosiologi yang menyatakan bahwa agama tercipta sebagai hasil dari upaya manusia memaknai ataupun menyangkal kematian (lihat Bergson dalam Muhni, 1994, h.129-130; Spencer dalam Cassirer, 1956, h.112; O’Dea, 1966, h.4-9).

Sebagai salah satu bentuk spesifik dari cultural worldview, agama juga diciptakan masyarakat lewat konsensus sosial. Gagasan TMT ini didukung oleh Plekhanov (1908, h.58-59) yang menyatakan bahwa berbagai riset terhadap masyarakat pedalaman menunjukkan manusialah yang membuat agama, bukan sebaliknya. Emile Durkheim bahkan menyatakan (dalam O’Dea, 1966, h.12) bahwa objek penyembahan agama sebenarnya adalah kelompok masyarakat yang menciptakan agama itu sendiri. Tuhan adalah citra masyarakat yang didewakan.

3. Akar dari munculnya keinginan untuk menyakiti penganut agama lain

Perang dan penyiksaan pada hakikatnya merupakan ekspresi persaingan untuk

mencapai keabadian dan keparipurnaan kekuasaan spiritual ‘. _ (Robert Jay Lifton, seperti dikutip oleh McGregor dkk, 1998, h.591)

(51)

1) Karena agama merupakan sistem iman yang dibentuk lewat konsensus sosial, maka agama tetaplah bangunan nilai bersama yang rentan terhadap perubahan. Agar fungsi dasarnya untuk menyangkal kematian dapat berjalan efektif, dibutuhkan pengukuhan sosial yang terus-menerus. Tiap penganut agama butuh pengukuhan iman dari orang lain (orang-orang yang seagama) agar mereka dapat tetap yakin bahwa hanya agama merekalah jalan menuju keabadian. Pertemuan seorang penganut agama dengan orang yang berbeda agama menimbulkan permasalahan, sebab, hal ini mengimplikasikan bahwa salah satu dari mereka pastilah mengimani jalan yang salah. Bagi seorang penganut agama, pertemuan tersebut dapat merusak keamanan psikologis yang telah ia dapat dari agama yang dianutnya.

2) Karena agama hanyalah penyelesaian simbolis terhadap kematian, maka tak ada satupun agama (betapapun kuat & meyakinkan) akan sanggup melenyapkan secara penuh teror eksistensial. Konskuensinya, akan selalu ada sisa ketakutan dan kecemasan yang dirasakan tiap penganut agama. Mereka kemudian menekan & memproyeksikan sisa kecemasan tersebut dengan mencitrakan penganut agama lain sebagai misalnya The Great Satan, Kafir, dan lain sebagainya.1

Peran vital agama bagi keamanan psikologis mendorong tiap kelompok agama melakukan worldview defense untuk agamanya masing-masing. Mereka akan menerima & menyambut gembira orang-orang yang seagama, dan sebaliknya, menolak atau

1

Analisa yang kedua ini berasal dari Ernest Becker (dalam Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002,

h.30) dan sebenarnya menjangkau kelompok yang lebih luas daripada sekedar kelompok agama. Penulis

(52)

menentang orang-orang yang beragama lain. Penolakan terhadap keberadaan penganut agama lain menempatkan tiap kelompok agama sebagai pihak-pihak yang antar satu dengan lainnya saling memandang sebagai musuh/lawan, sehingga, mereka juga terdorong untuk berupaya saling menyerang & saling melenyapkan. Pada akhirnya, dalam diri tiap penganut agama muncul suatu keinginan untuk menyakiti orang-orang yang berbeda agama dengan mereka. Keinginan ini muncul karena (1) salah satu ekspresi tercepat dari penolakan/kebencian terhadap musuh adalah dengan membuat mereka merasa tersakiti (McGregor dkk, 1998); (2) salah satu cara untuk melenyapkan keberadaan penganut agama lain adalah dengan menimbulkan rasa sakit dalam diri mereka. Rasa sakit ini berfungsi sebagai punishment untuk membuat penganut agama lain menyerah, lalu mau memeluk agama pihak yang menyakiti mereka, atau bahkan, berfungsi sebagai sarana untuk memusnahkan penganut agama lain (misalnya lewat aksi pembunuhan massal).

4. Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain sebagai awal dari konflik berdarah antar agama

(53)

mengimplikasikan bahwa adanya keinginan untuk menyakiti orang lain tidak dapat disebut agresi bila belum teraktualisasi sebagai tindakan nyata. Meskipun demikian, adanya keinginan tersebut tetaplah unsur terpenting dari agresi karena apapun hasil akhirnya, suatu tindakan tak dapat disebut agresi bila tidak dihasilkan dari keinginan (ditujukan) untuk menyakiti orang lain (Aronson dkk, 2005, h.390-391).

Sejak konflik berdarah antar agama memuat berbagai tindak agresi aktual (misalnya perusakan simbol-simbol suci agama yang menjadi musuh, pembunuhan), maka munculnya keinginan untuk menyakiti penganut agama lain merupakan awal dari terjadinya konflik tersebut. Konflik berdarah antar agama baru akan terjadi bila para penganutnya telah mengaktualkan keinginan di atas dalam tindak agresi nyata. Konflik tersebut dapat dihindari jika tiap penganut agama memilih membela agama masing-masing lewat jalan non-agresi, misalnya dengan melakukan konversi, yaitu dengan menyebarkan ajaran agama mereka seluas mungkin atau dengan merekrut penganut baru sebanyak mungkin. Meskipun demikian, menurut McGregor dkk (1998), tiap kelompok agama mungkin akan tetap memilih agresi karena cara ini adalah cara paling primitif (paling mudah, tidak butuh proses berpikir terlampau rumit) dan dapat langsung dilakukan kapanpun seorang penganut agama menjumpai orang-orang yang berbeda agama dengan mereka.

(54)

agama yang dianut seseorang, serta kecenderungan autoritarian pada diri seorang penganut agama. Peluang terjadinya tindak agresi akan makin tinggi bila para penganut agama tersebut hidup di tengah lingkungan dengan tingkat mortality salience amat tinggi, misalnya di negara-negara yang sedang mengalami perang, bencana kelaparan, atau wabah penyakit menular ( Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.153-154 ).

C.

Keinginan untuk Menyakiti Penganut Agama lain: Definisi,

Karakter, dan

Goal

Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain dapat kita uraikan secara lebih akurat dengan mendefinisikannya berdasarkan kerangka teori dari 2 konstruk berikut: keinginan, dan goal dari keinginan.

1. Keinginan

(55)

• Sikap terhadap prilaku: derajat evaluasi berupa suka atau tidak suka, mendukung

atau tidak mendukung, yang diekspresikan seseorang sebagai respon terhadap suatu prilaku.

• Norma subyektif: persepsi seseorang tentang seberapa tinggi derajat keharusan yang

dibuat important others dalam hidupnya (teman, sahabat, keluarga, dan lain sebagainya) berkenaan dengan pelaksanaan suatu prilaku, yaitu, apakah para important others

tersebut mengharuskan ia melakukan prilaku terkait ataupun tidak.

Perceived behavioral control (PBC): persepsi seseorang tentang seberapa luas

kendali/kemampuan yang ia miliki untuk menggerakkan suatu prilaku (yaitu misalnya apakah ia masih harus meminta bantuan orang lain, akan menghadapi hambatan yang berat, dan lain sebagainya).

• Niat: kemauan untuk melakukan prilaku (bandingkan Ajzen dalam Sheran & Orbell,

2000).

(56)

niat. Selain itu, terdapat bukti-bukti empiris mengenai adanya perbedaan antara keinginan dengan niat (lihat Perugini & Conner, 2000).

2. Definisi & karakter dari konstruk keinginan: perbedaan keinginan dengan niat

Keinginan adalah suatu keadaan mental dimana seseorang memiliki motivasi pribadi untuk melakukan suatu tindakan atau untuk meraih suatu goal (Perugini & Bagozzi, 2004, italics dalam aslinya). Keinginan juga dapat didefinisikan sebagai keadaan motivasional dimana ketertarikan pada suatu hal & alasan untuk bertindak dirubah menjadi motivasi dari tindakan itu sendiri (Perugini & Conner, 2000).

Keinginan berbeda dengan niat karena apa yang bersifat ‘I want …‘ (aku ingin …) tidak harus selalu menjadi ‘I will …‘ (Aku berniat…) (Sheppard dkk, dalam Norman & Smith, 1995). Dibanding keinginan, niat lebih mengimplikasikan adanya komitmen akan sesuatu dan memuat paling tidak sebentuk perencanaan spesifik untuk mendapat atau meraih sesuatu tersebut (Bratman, dalam Perugini & Bagozzi, 2004; bandingkan dengan Perugini & Conner, 2000, h.708).

Menurut Perugini & Bagozzi (2004), perbedaan antara keinginan dengan niat dapat

dilihat dalam 3 kerangka berikut:

1. Action-connectedness

(57)

• Multisiplitas: Keinginan lebih bersifat terbiarkan, mengandaikan banyak jalan &

waktu untuk mencapai apa yang diinginkan itu sendiri. Si pengingin merasa cukup dengan sekedar menginginkan, dan tidak merasa perlu menentukan langkah-langkah konkret untuk melakukan atau meraih apa yang diinginkan.

• Generalitas: Dibanding apa yang diniatkan, apa yang dinginkan seseorang lebih

bersifat umum, kurang konkret, dan kurang spesifik.

• Permanensi: Dibanding niat (yang lebih bersifat sementara/cepat diwujudkan),

keinginan memiliki tingkat permanensi yang lebih tinggi atau lebih tertunda pelaksanaannya.

2. Temporal framing

(58)

3. Perceived-performability

Perceived-performability adalah persepsi seseorang tentang seberapa mampu ia dapat melakukan suatu tindakan. Di sini, perbedaan antara keinginan dengan niat terletak dalam 3 ciri berikut:

Self-efficacy: dibanding pada niat, pertimbangan feasibilitas (pertimbangan

mengenai sulit mudahnya melakukan/meraih sesuatu) tidak menjadi perhatian utama dalam pembentukan keinginan. Proses pembentukan keinginan lebih bersifat bebas dari pertimbangan praktis & konkret, seperti soal sumber daya untuk melakukan sesuatu, hambatan-hambatan dalam meraih sesuatu, dan lain sebagainya.

• Ekspektasi keberhasilan melakukan sesuatu: dibanding niat, keinginan memiliki

nilai ekspektasi keberhasilan yang lebih rendah. Proses pembentukan keinginan lebih bersifat bebas dari pertimbangan mengenai kondisi nyata yang dialami si pengingin. Seseorang dapat ingin melakukan sesuatu yang tidak mampu atau tidak mungkin ia lakukan, tanpa berniat untuk melakukannya.

• Derajat relevansi dengan goal yang dituju: pada keinginan, pertimbangan mengenai

(59)

3. Hubungan keinginan dengan niat

Menurut Bagozzi (dalam Leone, Perugini, & Ercolani, 1999), keinginan dapat dihipotesiskan sebagai penyebab terdekat dari niat. Sejak niat itu sendiri merupakan penyebab terdekat dari prilaku, maka kemunculan prilaku atau pencapaian goal dapat diramalkan dari seberapa kuat keinginan seseorang pada prilaku atau goal itu sendiri. Niat tidak dapat muncul tanpa dorongan motivasional dari keinginan, dengan kata lain:

adanya niat sudah jelas mengimplikasikan adanya keinginan, sementara adanya

keinginan belum tentu mengimplikasikan adanya niat (Bagozzi dalam Leone, Perugini, & Ercolani, 1999, italics dalam aslinya). Seseorang dapat ingin membunuh orang lain tanpa berniat melakukannya, meskipun demikian, orang tersebut juga tidak akan berniat membunuh orang lain bila ia tidak menginginkannya.

(60)

4. Hubungan Keinginan dengan goal

Goal adalah peristiwa ataupun objek yang ingin didapatkan atau ingin diraih oleh seseorang (Carver & Scheier, Gollwitzer & Moskowitz, dalam Perugini & Bagozzi, 2004). Penetapan keinginan menjadi goal mengimplikasikan telah adanya proses seleksi terhadap beragam keinginan, ditambah adanya daya dorong untuk melakukan tindakan yang relevan dalam mencapai goal itu sendiri (Gollwitzer & Moskowitz, Heckhausen & Gollwitzer, dalam Perugini & Bagozzi, 2004)

Dalam merubah keinginan menjadi goal, individu akan terlebih dahulu menentukan apakah objek atau hasil akhir yang diinginkan memang layak untuk dijadikan sesuatu yang perlu diraih. Ada berbagai macam keinginan, tetapi tidak semua keinginan dapat lulus dalam proses seleksi tersebut. Suatu keinginan yang bertentangan dengan norma atau sulit diraih besar kemungkinan tidak akan dijadikan goal, sementara keinginan yang bernilai social desirability tinggi ataupun mudah diraih besar kemungkinan untuk dijadikan goal. Dengan kata lain: semua goal adalah hasil akhir yang diinginkan, tetapi tidak semua hasil akhir yang diinginkan adalah goal (Perugini & Bagozzi, 2004, italics dalam aslinya).

Keinginan untuk meraih goal adalah keinginan untuk meraih suatu objek atau peristiwa yang oleh si pengingin dianggap bernilai. Keinginan untuk meraih goal

(61)

Sejak goal adalah juga suatu keinginan, maka keinginan untuk meraih goal pada hakikatnya merupakan keinginan akan suatu keinginan.

Berdasarkan sudut pandang Construal Level Theory (CLT) dari Trope & Liberman (2003), goal dapat dibedakan menjadi distant future goals dan near future goals. Distant future goals adalah goal-goal dari aktivitas/peristiwa yang hari terjadinya belum jelas atau masih sangat tertunda, sementara, near future goals adalah goal-goal

dari aktivitas/peristiwa yang hari terjadinya sudah sangat jelas.

Individu cenderung mengantisipasi distant future goals berdasarkan pertimbangan yang bersifat umum, tidak kontekstual, tidak realistis, tidak spesifik, & hanya terfokus pada nilai-nilai menonjol dari goal itu sendiri (high level construal). Sebaliknya, individu cenderung mengantisipasi near future goals berdasarkan pertimbangan yang bersifat konkret, kontekstual, realistis, spesifik, & terfokus pada nilai-nilai sekunder (tidak menjadi sasaran utama; tidak terlalu diharapkan) dari goal itu sendiri (low level construal).

(62)

sudah jelas perencanaannya, sehingga, sesuatu yang diinginkan tersebut terbentuk sebagai near future goal.

5. Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain: definisi, karakter, & goal

Berdasarkan panduan teori dari Perugini & Bagozzi (2004), keinginan untuk menyakiti penganut agama lain dapat kita definisikan sebagai suatu keadaan mental dimana seseorang dengan agama tertentu memiliki dorongan motivasional untuk melakukan berbagai tindakan yang dapat membuat penganut agama lain tersakiti.

Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain merupakan proses mental dengan karakter sebagai berikut:

(63)

salah, atau bila ia terhalangi oleh berbagai kondisi eksternal, keinginannya tersebut akan sulit mewujud dalam tindak agresi aktual.

2) Dari segi self-efficacy, keinginan untuk menyakiti penganut agama lain dapat muncul walau seorang penganut agama belum mempertimbangkan apakah ia memang akan mampu atau memiliki sarana pendukung untuk mewujudkan apa yang ia inginkan. Seorang penganut agama dapat ingin menyakiti penganut agama lain walau ia tahu bahwa keinginannya itu berbenturan dengan norma sosial atau akan sulit diwujudkan dalam tindak agresi aktual.

(64)

Berdasarkan sudut pandang TMT, keinginan untuk menyakiti penganut agama lain terbentuk sebagai kerangka motivasional untuk meraih keabadian hidup. Tiap penganut agama berupaya melindungi kebenaran agama masing-masing dengan bertindak agresif pada orang-orang yang berbeda agama dengan mereka. Dengan demikian, goal dari keinginan untuk menyakiti penganut agama lain adalah diraihnya keabadian hidup (misalnya hidup kekal di dalam surga).

Hidup kekal di dalam surga (sesudah mati) merupakan satu hal abstrak yang jauh dari hidup keseharian tiap penganut agama. Walau tiap penganut agama mungkin sangat mengimani hal tersebut, fakta bahwa mereka sendiri tidak tahu kapan mereka mati ataupun yakin apakah mereka memang layak mendapatkannya, akan membuat hidup kekal terbentuk sebagai goal yang kabur, tidak jelas kapan waktu datang atau waktu peraihannya, serta mengandaikan banyak cara untuk meraihnya. Dalam sudut pandang CLT (Liberman & Trope, 1998; Trope & Liberman, 2002), karakter seperti itu menjadikan hidup kekal suatu distant future goal.

(65)

cara untuk meraih hidup kekal dapat ia inginkan, termasuk cara-cara yang mengharuskan ia menyakiti penganut agama lain.

D.

Dinamika Antar Variabel

Dalam penelitian kali ini, kita akan menguji & mengukur interaksi 2 variabel. Variabel pertama (variabel bebas), adalah kondisi mental dimana seorang penganut agama sedang memikirkan/membayangkan kematian (mortality salience), sementara variabel kedua (variabel tergantung), adalah kondisi mental dimana orang tersebut ingin menyakiti penganut agama lain. Berdasarkan sudut pandang TMT, variabel pertama akan menjadi stimulus yang direspon seorang penganut agama dengan menguatnya variabel kedua. Hal ini terjadi akibat proses berikut.

(66)

manusia mati akan ada persatuan dengan mahluk kekal, kenikmatan hidup kekal bagi orang-orang yang disayangi Tuhan, dan lain sebagainya.

Dorongan meraih keabadian membuat tiap pemeluk agama tidak boleh merasa ragu bahwa agama yang mereka anut adalah jalan terbenar untuk meraih hidup kekal. Tiap penganut agama butuh pengukuhan dari orang lain bahwa agama yang mereka anut adalah jalan yang paling benar. Pengukuhan ini didapat tiap penganut agama terutama dari orang-orang yang seagama dengan mereka. Makin banyak orang lain mengukuhkan kebenaran agama yang dianut seseorang (makin banyak orang yang seagama dengan agama yang dianut seseorang), akan makin yakinlah orang tersebut bahwa keabadian hidup memang dapat ia peroleh dari agama yang dianutnya.

Bagi tiap pemeluk agama, hadirnya pemeluk agama lain merupakan suatu masalah, sebab para pemeluk agama lain itu tak akan mau mengukuhkan kebenaran agama yang mereka anut. Selain itu, keberadaan penganut agama lain juga mengimplikasikan bahwa tiap penganut agama belum tentu mengimani agama yang paling benar, bahwa penganut agama lain tersebut mungkin saja mengimani jalan yang justru paling dapat memberi keabadian hidup. Dengan demikian, keberadaan penganut agama lain dapat membuat tiap penganut agama merasa ragu akan kebenaran agama yang mereka sendiri peluk, yang pada akhirnya, berpotensi melepas kembali ancaman teror eksistensi yang selama ini telah teredam oleh agama mereka tersebut.

(67)

dengan mereka. Tiap kelompok agama pada akhirnya akan memandang kelompok agama lain sebagai lawan yang harus dilenyapkan. Salah satu cara yang dapat mereka ambil untuk melenyapkan keberadaan lawan adalah dengan melakukan berbagai tindakan yang ditujukan untuk menyakiti orang lain, seperti menyiksa, membunuh, dan lain sebagainya (agresi/anihilasi, lihat hlm.14). Tujuan akhir dari tindakan agresi tersebut adalah untuk membuat lawan menyerah kalah (memaksa penganut agama lain memeluk agama pihak yang menang) atau bahkan untuk membuat lawan sama sekali punah dari muka bumi. Dengan demikian, upaya melindungi kebenaran agama masing-masing pada akhirnya membuat tiap kelompok agama memiliki kecenderungan inheren

untuk melakukan agresi terhadap orang-orang yang berbeda agama dengan mereka. Bentuk awal dari kecenderungan inheren tersebut adalah munculnya keinginan untuk menyakiti penganut agama lain.

(68)

Pada saat seorang penganut agama sama sekali tidak ingat/tidak menyadari motivasi dasar mereka dalam beragama, keinginan mereka untuk menyakiti penganut agama lain juga berjalan alamiah, normal, dan mengalir tenang. Hal ini terjadi karena bayangan/pikiran mengenai kematian berada di luar fokus kesadaran mereka, sehingga perhatian tiap penganut agama pada kepastian takdir kematian berjalan normal/tidak menajam. Kondisi ini menyebabkan tiap penganut agama belum menganggap bahwa hidup abadi merupakan tujuan darurat yang harus segera diraih. Akibatnya, tiap penganut agama tidak akan mengalami dorongan yang terlampau berlebihan untuk segera mencari pengukuhan iman dari orang-orang yang seagama dengan mereka. Karena tiap penganut agama tidak mengalami dorongan berlebihan untuk segera mencari dukungan dari orang-orang yang seiman, maka persepsi mereka terhadap masalah & ancaman yang dihadirkan penganut agama lain juga akan berjalan normal/tidak menajam. Akibatnya, intensitas keinginan mereka untuk menyakiti orang-orang yang beragama lain juga tidak mengalami penguatan/peningkatan.

(69)
(70)

Perhatian & upaya mengatasi kematian berada di bawah sadar; pikiran/bayangan mengenai

kematian tidak menonjol atau bahkan tidak ada dalam ingatan individu, sehingga, upaya mereka dalam

mengatasi kematian berjalan normal; hidup abadi tidak menjadi tujuan darurat

Mortality salience: individu disadarkan/diingatkan kembali pada masalah kematian; bayangan/pikiran

mengenai kematian berada pada keadaan menonjol dalam kesadaran mereka; perhatian individu pada

kepastian takdir kematian menajam, akibatnya, hidup abadi menjadi tujuan darurat

Kebutuhan individu untuk menjadikan agama yang ia anut satu-satunya agama yang paling benar

meningkat; ia makin terdorong untuk mencari pengukuhan iman dari orang-orang yang seagama

dengannya

Persepsi individu terhadap masalah & ancaman yang dihadirkan penganut agama lain meningkat: ia

makin merasa terancam oleh keberadaan penganut agama lain

Dorongan untuk melenyapkan keberadaan penganut agama lain meningkat

Worldview defense: Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain meningkat

(71)

E.

Hipotesis

Seluruh uraian yang tertuang dalam sub-bab sebelumnya mengantarkan kita pada hipotesis berikut:

(72)
(73)

BAB 3

METODE PENELITIAN

A.

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yaitu metode penelitian yang arah dan hasil temuannya didapatkan terutama dari analisa statistik (Shaugnessy dkk, 2003, h.31). Metode kuantitatif yang digunakan adalah metode eksperimen. Penulis memilih metode eksperimen karena metode ini memungkinkan tercapainya penjelasan bersifat sebab-akibat/kausalitas (Cook & Campbell dalam Elmes dkk, 2003, h.123; Shaugnessy dkk, 2003, h.196), sehingga kita dapat mengetahui apakah mortality salience memang berakibat pada meningkatnya keinginan seseorang untuk menyakiti orang yang berbeda agama dengannya. Jenis eksperimen yang digunakan adalah basic between subject design-2 independent groups, yaitu jenis eksperimen dimana pengaruh 1 variabel bebas diuji dengan mengadministrasikan 2 perlakukan berbeda ke 2 kelompok individu yang berbeda-beda pula (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol).

B.

Variabel-variabel Penelitian

Variabel-variabel penelitian dalam eksperimen ini terdiri dari: 1. Variabel bebas: mortality salience

(74)

3. Variabel-variabel kontrol, terdiri dari 3 jenis, yaitu:

1) Variabel-variabel fisik:

a) Warna, bentuk, ukuran alat-alat eksperimen.

b) Kondisi gangguan akustik (noise) dari lingkungan tempat dilakukannya eksperimen.

2) Variabel-variabel sosial:

a) Demand characteristics, meliputi berbagai kondisi dimana partisipan dengan sengaja mencoba menerka hipotesa yang sedang diteliti, menjadi tegang, atau bersikap over serious dalam mengikuti jalannya eksperimen. b) Prilaku atau perbuatan partisipan pada kelompok kontrol tepat pada waktu

partisipan di kelompok eksperimen sedang menerima perlakuan mortality salience.

3) Variabel-variabel subyek:

a) Perbedaan jumlah subyek pada kelompok partisipan dan kelompok kontrol.

b) Perbedaan jenis kelamin subyek.

c) Ketidakgenapan jumlah subyek pada hari saat eksperimen dilaksanakan.

d) Variabel-variabel lain, meliputi perbedaan tingkat intelegensi, status sosial, kemapanan ekonomi, dan lain sebagainya.

(75)

Peneliti dengan sengaja tidak melakukan pengontrolan terhadap 2 variabel subyek yang secara teoritis terkait erat dengan tema penelitian kali ini, yaitu nama dan jenis agama yang di anut partisipan, serta tingkat harga-diri partisipan. Kedua variabel tersebut tidak dikontrol karena penelitian ini memang ditujukan untuk mengetahui apakah mortality salience dapat berpengaruh terhadap menguatnya keinginan untuk menyakiti penganut agama lain pada seluruh orang di Indonesia, terlepas dari apa nama agama yang dianut atau seberapa tinggi harga-diri dari orang-orang tersebut. Hal ini membuat peneliti cukup mengasumsikan bahwa (1) partisipan menganut agama tertentu yang secara resmi diakui di Indonesia; (2) kemungkinan terjadinya confounding dari perbedaan tingkat harga-diri diantara para partisipan akan dapat dihilangkan dengan prosedur random assigment.

C.

Subyek Penelitian

(76)

1. Mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang lebih mudah ditemui dan diajak bekerjasama dalam sebuah kerja penelitian. Hal ini terjadi karena mereka memiliki lebih banyak waktu luang dibanding golongan masyarakat pada umumnya (misalnya anggota masyarakat yang sudah bekerja), dapat diasumsikan sudah tidak lagi merasa asing/terkejut dengan ajakan penelitian (karena sejak SMP sudah diperkenalkan dengan konsep-konsep penelitian ilmiah), serta memungkinkan peneliti mengurus semua surat ijin penelitian cukup di 1 tempat, yaitu di fakultas atau universitas tempat para subyek menjalani kuliahnya.

2. Penggunaan mahasiswa dengan rentang usia antara 18 - 25 tahun akan memperbesar peluang peneliti untuk mendapatkan subyek penelitian. Hal ini terjadi karena para mahasiswa dengan rentang usia di atas tersebar di berbagai angkatan/semester, sehingga peneliti tidak dibatasi untuk mencari subyek penelitian hanya pada 1 angkatan saja. Penggunaan mahasiswa dengan rentang usia 18 - 25 tahun dengan demikian akan memungkinkan peneliti mempercepat masa penyelesaian seluruh proses penelitian.

D.

Prosedur Penelitian

1. Melakukan pengumpulan data dengan metode eksperimen. 2. Melakukan analisa data dengan uji-t.

(77)

E.

Alat-alat Eksperimen

Alat-alat eksperimen yang digunakan merupakan lembar-lembar kuesioner dan skala yang harus disi oleh partisipan (pencil-and-paper task). Alat-alat eksperimen ini terdiri dari:

1. Kuesioner mortality salience

Kuesioner mortality salience (selanjutnya disebut kuesioner ms) adalah kuesioner yang akan diadministrasikan ke kelompok eksperimen. Tampilan kuesioner

ms seperti yang tersaji ke partisipan dapat dilihat pada Lampiran A. Kuesioner ms ini merupakan kuesioner yang sama dengan kuesioner ms pada kebanyakan eksperimen TMT sebelumnya (misalnya Jonas & Greenberg, 2004; Dechesne dkk, 2003). Kuesioner

ms terdiri dari 2 item dan 2 kolom isian jawaban sebagai berikut:

1. Bayangkan dan pikirkanlah apa saja yang akan terjadi saat anda mengalami kematian!.

Kemudian, pada kolom isian di bawah ini, uraikan secara singkat emosi-emosi yang anda

rasakan saat bayang-bayang kematian tersebut muncul di pikiran anda!

………... ………... ………... 2. Di bawah ini, uraikanlah secepat dan selengkap mungkin hal-hal apa saja yang menurut

anda akan terjadi saat anda secara fisik sekarat, dan saat anda secara fisik telah mati!

(78)

………...

………...

Peneliti perlu mengakui bahwa hingga kini, belum ada satupun penelitian dibuat untuk menguji reliabilitas & validitas kuesioner ms sebagai alat yang memang mampu membuat seseorang kembali sadar ataupun takut akan kepastian datangnya kematian, meskipun demikian, peneliti tetap menggunakan kuesioner ini dengan 2 alasan:

1) Tujuan utama dari kuesioner ms adalah untuk membuat bayang-bayang kematian menonjol pada pikiran individu. Sejauh tujuan ini tercapai, maka kuesioner ms dianggap telah cukup efektif dalam memanipulasi pikiran individu. Sejauh yang penulis tahu, telah ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kuesioner ms memang menimbulkan bayang-bayang kematian dalam pikiran partisipan (misalnya Arndt dkk, 1997; Greenberg, Simon, dkk, 1995; Simon, Greenberg, dkk, 1997).

2) Walau dirumuskan dalam tema yang berbeda, peneliti perlu menekankan bahwa penelitian yang akan kita lakukan pada intinya merupakan suatu upaya replikasi terhadap hasil positif dari berbagai penelitian TMT sebelumnya, sehingga, pola rancang penelitian dan alat-alat eksperimen yang digunakan haruslah dibuat semirip mungkin dengan penelitian-penelitian tersebut.

2. Kuesioner no mortality salience

(79)

maupun susunan kalimat dalam kuesioner no-ms adalah sama dengan kuesioner ms. Tampilan kuesioner no-ms seperti yang tersaji ke partisipan dapat dilihat pada Lampiran B. Satu-satunya perbedaan antara kuesioner ms dengan kuesioner no-ms terletak pada digantinya kata kematian dengan kata tidak lulus ujian di satu mata kuliah yang penting. Secara spesifik, isi lengkap kuesioner no-ms adalah sebagai berikut :

1. Bayangkan dan pikirkanlah apa saja yang akan terjadi saat anda tidak lulus ujian di satu

mata kuliah yang teramat penting!. Kemudian, pada kolom isian di bawah ini, uraikan secara

singkat emosi-emosi yang anda rasakan saat bayang-bayang ketidaklulusan tersebut muncul di

pikiran anda!

………... ………... ………... 2. Di bawah ini, uraikanlah secepat dan selengkap mungkin hal-hal apa saja yang menurut

anda akan terjadi saat anda secara nyata tidak lulus ujian di satu mata kuliah yang penting!

………...

………...

………...

Pada kuesioner no-ms, penggantian kata kematian dengan kata tidak lulus ujian di satu mata kuliah yang penting didasarkan pada pertimbangan bahwa worldview

(80)

kemungkinan melakukan public speaking, pergi ke dokter gigi, dan lain sebagainya. Simon, Greenberg, dkk (1995) sebenarnya telah menguji hipotesa tersebut dan menemukan bahwa worldview defense ataupun self-esteem striving memang pengaruh unik mortality salience, namun dalam eksperimen kali ini, penggunaan kuesioner no-ms

dengan isi seperti di atas tetap dilakukan dengan harapan kita dapat menguji hipotesa penelitian secara lebih ketat sekaligus mereplikasi hasil penelitian Simon, Greenberg, dkk (1995).

3. Skala keinginan untuk menyakiti penganut agama lain

Skala keinginan untuk menyakiti penganut agama lain (selanjutnya disebut skala KMP-AL) merupakan skala jenis Likert dan dibuat berdasarkan skala keinginan dari Perugini & Conner (2000, h.728). Agar sesuai dengan tujuan penelitian kali ini, penulis mengubah jenis keinginan pada skala Perugini & Conner menjadi keinginan untuk menyakiti orang beragama lain. Isi skala seperti tersaji pada partisipan dapat dilihat dalam Lampiran C. Secara spesifik, isi lengkap dari skala KMP-AL adalah sebagai berikut:

Berilah tanda centang ( √ ) pada 1 kotak isian jawaban sesuai dengan apa

yang anda rasakan saat ini!

(81)

a) Tidak ada sama sekali

b) Sangat lemah

c) Lemah

d) Cukup ingin

e) Sangat ingin

f) Sangat ingin sekali

Peneliti perlu mengakui bahwa validitas& reliabilitas skala KMP-AL di atas belum teruji. Perugini & Conner (2000) maupun Perugini & Bagozzi (2004) menciptakan skala keinginannya sekedar untuk menguji bagaimana hubungan konstruk keinginan dengan niat dan prilaku aktual, bukan untuk menguji validitas & reliabilitas item-item dari skala keinginan yang bersifat sangat spesifik (dalam hal ini, keingian untuk menyakiti penganut agama lain).

(82)

bukanlah apakah item-item dalam skala sikap tersebut memang berhubungan dengan prilaku aktual, melainkan mengukur sejauh mana item-item tersebut memang sanggup mengakomodasi berbagai aspek yang membentuk konstruk sikap.

4. Tugas Mengevaluasi Essay secara Non-Judgemental

Tugas mengevaluasi essay secara non-judgemental diciptakan eksperimenter berdasarkan salah satu tugas eksperimen dalam McGregor dkk (1998, Studi 1). Agar sesuai dengan tujuan penelitian kali ini, eksperimenter mengubah isi essay pada McGregor dkk menjadi essay mengenai kemajemukan agama di dunia. Walau informasi yang diberitahukan ke partisipan adalah bahwa essay ini pernah terbit di sebuah surat kabar, essay ini sebenarnya ditulis sendiri oleh eksperimenter dan hanya diterbitkan sebagai tugas dalam eksperimen ini.

(83)

Di bawah ini ada sebuah potongan essay yang pernah terbit di sebuah

surat kabar. Bacalah essay ini, kemudian jawablah pertanyaan yang

mengikutinya!

Sejak ribuan tahun lalu, umat manusia telah mengenal dan

memeluk berbagai macam agama. Walau umumnya tiap agama

mengakui bahwa Tuhan itu esa, agama-agama tersebut biasanya

memiliki ajaran dan keyakinan iman yang berbeda-beda.

Berdasarkan lokasi kelahiran dan sejarahnya, berbagai macam

agama dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu agama-agama

semitis & agama-agama oriental. Yang termasuk agama-agama

semitis meliputi agama Yahudi, Kristen, & Islam, sementara yang

termasuk agama-agama oriental meliputi agama Hindu, Budha, &

Konghuchu.

Berdasarkan essay yang telah anda baca, menurut anda: 1. Berapa tahunkah usia penulis essay di atas?

………. 2. Berjeniskelamin apakah penulis essay di atas?

……….

3. Berasal dari negara manakah penulis essay di atas?

(84)

Pada eksperimen McGregor dkk (1998), tugas mengevaluasi essay secara non-judgemental diciptakan untuk menguji hipotesa yang menyatakan bahwa agresi hanya akan muncul bila seseorang yang melakukannya sebelumnya memang tidak punya kesempatan untuk men-derogasi (menghina, mencaci-maki) orang yang ia musuhi, namun pada eksperimen kali ini, tugas mengevaluasi essay secara non-judgemental

diciptakan dengan tujuan:

1. Mengingatkan partisipan pada adanya orang-orang yang berbeda agama dengan mereka.

2. Mencegah error akibat partisipan mencoba menerka dan pada akhirnya tahu hipotesa sebenarnya dari eksperimen kali ini. Error ini dapat terjadi sebab isi pertanyaan pa

Gambar

Tabel 1. Proximal defense dan distal defense (Sumber: Pyszczynski, Greenberg, Solomon,
Gambar 1. Skema urutan terjadinya proximal defense & distal defense (Sumber: Pyszczynski,
Tabel 2. Bagan definisi agama (sumber: Paloutzian, 1996, h.9)
Gambar 2. Skema dinamika antar variabel. Mortality salienceseorang penganut agama dengan meningkatnya keinginan untuk menyakiti penganut  (variabel bebas) direspon agama lain  (variabel tergantung)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Analisa biaya minimum dilakukan terhadap pekerjaan tanah urugan dan pekerjaan beton K-300 untuk mendapat lebar optimum Bangunan Pelimpah.. Dari hasil perhitungan yang telah

ija>rah bahwa obyek harus dimiliki oleh orang yang menyewakan atau diijinkan untuk disewakan tidak terpenuhi, dimana dalam hal ini ketua RT 01 menyewakan tanah tanpa ijin

Keempat, bagaimanakah persepsi wisatawan Jepang terhadap iklan hotel berbahasa Jepang yang dimuat pada media cetak. Keempat permasalahan di atas di analisis dengan teori

Jadi menurut pasal-pasal tersebut di atas syarat–syarat ahli waris adalah ia mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris yang timbul karena hubungan darah (Pasal 832 BW),

Če sta m in n hkrati lihi števili, potem sta vsota in razlika njunih kvadratov deljivi z 2 in po zgornjih formulah dobimo za a, b, c sama soda števila, ki ne sestavljajo

arus yang sebanding dengan besarnya intensitas cahaya yang mengenai

Setakat yang dibenarkan oleh undang-undang, tidak di dalam apa-apa keadaan Penganjur atau pegawai, pekerja, wakil dan/atau ejen (termasuk, mana-mana pembekal

Menindaklanjuti apa yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksud, Pemerintah Kota Mataram melalui Badan Kepegawaian Daerah telah menetapkan jumlah pejabat