KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004
DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN BANTUL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Henricus Bangun Purwono
NIM : 038114021
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2008
Persetujuan Skripsi
KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004
DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN BANTUL
Oleh :
Henricus Bangun Purwono NIM : 038114021
Skripsi ini telah disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Sulasmono, Apt. Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt.
Pengesahan Skripsi
KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004
DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN BANTUL
Oleh :
HENRICUS BANGUN PURWONO NIM : 038114021
Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Pada tanggal : 21 Januari 2008
Mengetahui. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
Rita Suhadi, M.Si., Apt
Tanda tangan
Pembimbing I : Drs. Sulasmono, Apt. ………..
Pembimbing II : Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. ………..
Panitia Penguji : Tanda tangan
1. Drs. Sulasmono, Apt. ………..
2. Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. ………..
3. Ipang Djunarko, S.Si., Apt. .……….
4. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. ………..
“Buanglah kebodohan, maka kamu akan hidup, dan ikutilah
jalan pengertian.”
(Amsal 9:6)
“Di bibir orang berpengertian terdapat hikmat, tetapi pentung
tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal-budi. Orang
bijak menyimpan pengetahuan, tetapi mulut orang bodoh
adalah kebinasaan yang mengancam.”
(Amsal 10:13-14)
ku persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
kepada keluargaku, kepada teman-temanku
dan kepada almamaterku
.“Aku akan bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hati. Aku akan
bersyukur kepadaMu dengan hati jujur.”
(Mazmur 111:1a, 110:7a)
PRAKATA
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek-Apotek Kabupaten Bantul”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat
untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata
Dharma.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan
saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing II yang juga telah
bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan
kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan
selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan.
5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas
kritik dan saran yang telah diberikan.
6. Pemerintah Kabupaten Bantul yang telah memberikan izin sehingga penelitian
ini dapat terlaksana.
7. Bapak dan Ibu Apoteker di Kabupaten Bantul yang telah bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
8. Keluarga, terutama kedua orang tua, Bapak A. Isdiarto dan Ibu C. Siti Zuriati
atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan. Adik Arya &
Kharisma atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama ini.
9. Teman-teman seperjuangan : Adi, Totok, Bambang dan Monica atas
kerjasama, bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama ini.
10.Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A atas
kebersamaan dan keceriaan selama empat setengah tahun ini.
11.Teman-teman Mudika Stasi Tambran, terima kasih atas doanya.
12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak
atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu
dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang
membangun.
Yogyakarta, 13 Januari 2008
Penulis
INTISARI
Pelayanan kefarmasiaan pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi serta melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan yang digunakan adalah deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Bantul
Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.
ABSTRACT
Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient’s life. Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 about Pharmaceutical Care Standards in Dispensary aims at as guidance of pharmacist practice in performing the profession and also protects society of service which is not professional and protects profession in pharmacy practice.
This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in dispensaries in Bantul. This research was non eksperimental research type in which the device used was descriptive. This respondents of this research were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist that willingly filled in the questionnaire which was the instrument of the research. The analysis performed was descriptive statistic.
The result of the study showed that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Bantul was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Bantul.
Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 13 Januari 2008
Penulis,
Henricus Bangun Purwono
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PERSETUJUAN……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……… iv
PRAKATA……… v
INTISARI……….. vii
ABSTRACT……….. viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... ix
DAFTAR ISI………. x
DAFTAR TABEL………. xiv
DAFTAR GAMBAR……… xvii
DAFTAR LAMPIRAN………. xx
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang………. 1
1. Perumusan masalah……… 3
2. Keaslian penelitian………. 4
3. Manfaat penelitian……….. 6
B. Tujuan Penelitian………. 6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Apoteker ………. 7
1. Pengertian Apoteker ………. 7
2. Apoteker sebagai suatu profesi……….. 10
3. Peran apoteker……… 14
B. Apotek ……….……….. 16
C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek……….. 18
1. Asuhan kefarmasian………... 18
2. Akuntabilitas praktek farmasi……… 18
3. Manajemen praktis farmasi……… 19
4. Komunikasi farmasi……….. 19
5. Pendidikan dan pelatihan farmasi………. 20
6. Penelitian dan pengembangan kefarmasian……….. 20
7. Peraturan perundang-undangan……… 20
D. Sumpah Apoteker………. 24
E. Kode Etik Apoteker………. 25
F. Keterangan Empiris………. 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian……… 29
B. Batasan Operasional Penelitian……… 29
C. Instrumen Penelitian……….. 30
D. Populasi dan Sampel………. 30
1. Populasi……….. 30
2. Sampel……… 31
E. Tata Cara Pengumpulan Data ………...……….. 32
1. Pembuatan kuesioner………. 32
2. Pengujian kuesioner………..………. 32
3. Penyebaran kuesioner……… 34
4. Pengumpulan kuesioner………. 34
5. Wawancara ……… 35
F. Tata Cara Menampilkan Data………. 35
G. Kesulitan Penelitian………. 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Responden………... 38
1. Posisi responden……… 38
2. Usia responden……….. 39
3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek………….. 39
4. Adanya pekerjaan lain dari responden selain sebagai apoteker …… 40
5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu……… 40
6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari………. 41
B. Pengelolaan Sumber Daya……….. 42
1. Sumber daya manusia……… 42
2. Sarana dan prasarana………. 43
3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya….. 51
4. Administrasi……….. 61
C. Pelayanan………. 67
1. Pelayanan resep……… 67
2. Promosi dan edukasi ……….. 81
3. Pelayanan residensial (Home Care)……….. 82
D. Evaluasi Mutu Pelayanan………. 83
1. Tingkat kepuasan konsumen……….. 83
2. Dimensi waktu………... 84
3. Prosedur tetap……… 85
E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul ……….. 87
F. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul Berdasarkan Karakteristik Responden ……….. 89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 110
B. Saran……… 110
DAFTAR PUSTAKA... 112
LAMPIRAN……… 116
BIOGRAFI PENULIS……… 136
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel I Data apotek yang mengembalikan kuisioner ……….. 37
Tabel II Data posisi responden di apotek……….. 38
Tabel III Data adanya pekerjaan lain dari responden……... 40
Tabel IV Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu…. 41
Tabel V Pengambilan keputusan di apotek berdasarkan
persetujuan APA……….. 43
Tabel VI Ketersediaan papan yang tertulis kata apotek pada
muka apotek ………... 44 Tabel VII Pemisahan produk kefarmasian dengan produk
lainnya.………... 45
Tabel VIII Ketersediaan ruang tunggu bagi pasien ………. 46
Tabel IX Ketersediaan brosur/informasi mengenai kesehatan… 46
Tabel X Ketersediaan tempat khusus untuk mendisplai informasi. 47
Tabel XI Ketersediaan ruang tertutup untuk konseling ……… 48
Tabel XII Ketersediaan ruang racikan di apotek ……… 49
Tabel XIII Ketersediaan keranjang sampah untuk staf dan pasien 50
Tabel XIV Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan
Farmasi di Apotek………. 53
Tabel XV Sumber Perolehan Obat di Apotek……… 56
Tabel XVI Pemindahan isi obat ke wadah lain ……… 57
Tabel XVII Informasi yang disertakan pada wadah baru ………… 58
Tabel XVIII Ketersediaan tempat penyimpanan khusus ………….. 59
Tabel XIX Penyertaan bukti/faktur pembelian dan mencatat setiap obat yang dibeli ………. 62
Tabel XX Penyertaan Faktur/Nota Penjualan ……….. 62
Tabel XXI Pencatatan setiap penjualan dalam buku penjualan … 63
Tabel XXII Pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika 64
Tabel XXIII Penyimpanan resep secara berurutan ………. 65
Tabel XXIV Pengisian medication record ……….. 65
Tabel XXV Skrining resep mengenai persyaratan administratif… 68
Tabel XXVI Skrining resep mengenai kesesuaian farmasetik …… 69
Tabel XXVII Skrining resep mengenai pertimbangan klinis ……… 71
Tabel XXVIII Konsultasi dengan dokter apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep ………. 72
Tabel XXIX Keluhan tentang etiket oleh pasien……… 74
Tabel XXX Pengecekan resep sebelum diserahkan ke pasien…… 75
Tabel XXXI Apoteker selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien………... 76
Tabel XXXII Informasi obat yang diberikan apoteker………. 77
Tabel XXXIII Ketersediaan jam konseling setiap hari di apotek ….. 79
Tabel XXXIV Konseling secara berkelanjutan………. 79
Tabel XXXV Diseminasi informasi kesehatan…... 81
Tabel XXXVI Tindak lanjut terapi……… 82
Tabel XXXVII Survey tingkat kepuasan konsumen ……….. 83
Tabel XXXVIII Bentuk survey……… 84
Tabel XXXIX Penetapan lama pelayanan ……… 85
Tabel XXXX Ketersediaan prosedur tetap……… 85
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Diagram usia responden……….. 39
Gambar 2. Diagram pengalaman responden bekerja sebagai apoteker
di apotek……… 39
Gambar 3. Diagram waktu kerja responden di apotek dalam sehari ….. 41
Gambar 4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bidang sarana
dan prasarana ……… 50
Gambar 5. Standar Pelayanan Kefarmasian bagian pengelolaan
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya ……….. 60
Gambar 6. Standar Pelayanan Kefarmasian bagian administrasi……… 66
Gambar 7. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pelayanan resep
bagian skrining resep ……… 73
Gambar 8. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pelayanan resep
bagian penyiapan obat ……….. 80
Gambar 9. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang evaluasi mutu
pelayanan……….. 86
Gambar 10. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul 87 Gambar 11. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan posisi responden….. 89
Gambar 12. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul
berdasarkan posisi responden………. 90
Gambar 13. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan usia responden …... 92
Gambar 14. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten
Bantul berdasarkan usia respoden ………. 93
Gambar 15. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan pengalaman respoden 95
Gambar 16. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten
Bantul berdasarkan pengalaman responden……….. 96
Gambar 17. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan adanya pekerjaan
lain respoden ………. 99
Gambar 18. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten
Bantul berdasarkan adanya pekerjaan lain respoden ……… 100
Gambar 19. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja
respoden dalam seminggu………. 102
Gambar 20. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten
Bantul berdasarkan waktu kerja respoden dalam seminggu 103
Gambar 21. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten
Bantul berdasarkan waktu kerja respoden di apotek dalam
sehari………. 106
Gambar 22. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja
respoden dalam seminggu………. 107
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian………. 116
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian……….. 117
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian……….. 123
Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker………. 124
Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia……….. 126
Lampiran 6. Contoh Alur Pelayanan Resep……….. 129
Lampiran 7. Jalur Distribusi Obat………... 130
Lampiran 8. Tabulasi Data ……..………... 131
BAB I PENGANTAR
1
A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat
ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan
obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Anonim, 2004a).
Pelayanan kefarmasian semakin berkembang, tidak terbatas hanya pada
penyiapan obat dan penyerahan obat pada pasien, tetapi perlu melakukan interaksi
dengan pasien dan profesional kesehatan lainnya, dengan melaksanakan
pelayanan kefarmasian secara menyeluruh oleh tenaga farmasi (Muliawan, 2004).
Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi Apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Apoteker dalam menjalankan prakteknya
harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) dalam proses pelayanan. Selain itu Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga medis dalam menetapkan terapi untuk mendukung
penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004a).
Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan
kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi
menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat seperti yang tertuang
dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Standar tersebut
diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam
menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak
profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian
(Anonim, 2004a).
Apoteker di apotek dalam menjalankan profesinya harus berpedoman pada
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Menurut Standar Kompetensi
Farmasis Indonesia tahun 2004, salah satu standar prosedur operasional Apoteker
di apotek hal manajemen praktis farmasi adalah merancang, membuat,
mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran
dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional
kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku
dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Berdasarkan
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban Apoteker di
apotek adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek, termasuk di dalamnya
melaksanakan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebagai
pedoman praktek Apoteker di apotek.
Apotek di Kabupaten Bantul menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten
Bantul tahun 2006 berjumlah 55 apotek yang tersebar 10 kecamatan. Persebaran
lokasi apotek ini dinilai kurang merata dikarenakan Kabupaten Bantul terdiri dari
dilaksanakan dengan baik sehingga dapat menjamin mutu pelayanan kefarmasian
dan mencakup seluruh masyarakat di Kabupaten Bantul.
Berdasarkan kenyataan di atas maka dilakukan penelitian mengenai
KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 untuk melihat seberapa jauh
pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul.
1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
a. Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara
menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten Bantul ?
b. Parameter manakah dari Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah dilaksanakan dengan baik, cukup
dan kurang dengan masing-masing persentase ?
c. Apakah karakteristik responden memberikan perbedaan dalam
pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek
2. Keaslian Penelitian
Sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai Kajian
Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI
nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul.
Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu :
a. Pemahaman Apoteker Tentang Pelayanan Apoteker dalam Praktek
Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Apotek di
Apotek-Apotek Kota Yogyakarta (Tobondo, 2000).
Penelitian dari Tobondo ini menekankan pada pemahaman
apoteker tentang pelayanan apoteker dalam praktek kefarmasian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan
apoteker di apotek. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada
penelitian Tobondo tidak mengkhususkan diri atau berpedoman pada suatu
undang-undang tertentu, sedangkan pada penelitian ini berpedoman pada
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
b. Pendapat Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah di Daerah
Istimewa Yogyakarta Terhadap Peran Apoteker (Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit) (Regziana, 2007).
Penelitian dari Regziana ini menekankan pada penerimaan dokter
umum terhadap peran apoteker berdasarkan Kepmenkes Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 dan harapan dokter umum terhadap peran
pada penelitian Regziana subyek penelitian merupakan dokter umum,
sedangkan pada penelitian ini subyek penelitian adalah apoteker di apotek.
Penelitian Regziana meneliti mengenai peran apoteker di Rumah Sakit
berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, sedangkan penelitian ini
meneliti mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
c. Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota
Yogyakarta (Sukmajati, 2007).
Penelitian dari Sukmajati memberi gambaran pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek-apotek Kota Yogyakarta, sedangkan
penelitian ini memberi gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek-apotek Kabupaten Bantul. Perbedaannya hanya
terletak pada lokasi penelitian dan adanya hubungan karakteristik
responden dengan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasia di Apotek.
d. Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di
Kabupaten Sleman (Soedarsono, 2007).
Penelitian dari Soedarsono memberi gambaran pelaksanaan
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-apotek Kabupaten Sleman,
sedangkan penelitian ini memberi gambaran pelaksanaan Standar
Perbedaannya hanya terletak pada lokasi penelitian dan adanya hubungan
karakteristik responden dengan pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Memberi gambaran mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai :
1) bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam
pengelolaan apotek;
2) bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang
tertarik dalam pelayanan perapotekkan; dan
3) bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Apotek.
B. Tujuan Penelitian
Mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah
dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Apoteker
1. Pengertian Apoteker
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, Apoteker adalah sarjana
farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.
Kepmenkes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mencantumkan
bahwa :
Sesuai perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang Apoteker yang profesional.
Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi
Surat Izin Apotek atau SIA. Surat Izin Apotek adalah surat izin yang diberikan
oleh Menteri kepada Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik
sarana apotek untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu.
Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada
jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk Apoteker
Pendamping. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di
samping apoteker pengelola apotek dan/atau menggantikannya pada jam-jam
tertentu pada hari buka apotek. Apabila APA dan Apoteker Pendamping
karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, maka APA harus
menunjuk Apoteker Pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang
menggantikan APA selama APA tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga
bulan secara terus-menerus dan telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) serta
tidak bertindak sebagai APA di apotek lain (Anonim, 2002).
Adapun persyaratan untuk menjadi seorang Apoteker Pengelola
Apotek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
922 tahun 1993 (pasal 5) yaitu :
a. ijazahnya telah terdaftar pada Departemen kesehatan b. telah mengucapkan Sumpah/Janji sebagai Apoteker c. memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri
d. memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksakan tugasnya, sebagai Apoteker
e. tidak bekerja di suatu Perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotik di Apotik lain.
Menurut Kepmenkes RI Nomor 922 tahun 1993, maka Apoteker
berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi
yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. Obat dan perbekalan
farmasi lainnya yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau
dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau
dengan cara lain yang ditetapkan Direktur Jenderal. Pemusnahan dilakukan
Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti dibantu oleh
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922 tahun 1993 pasal 15 ayat 4,
menyebutkan bahwa Apoteker wajib memberikan informasi :
a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan
menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya
berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesi secara baik. Hal ini juga ditegaskan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 22 ayat 1 (c) yang menyebutkan
bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas
profesinya berkewajiban untuk :
a. menghormati hak pasien
b. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan.
Kode Etik apoteker Indonesia pasal 7 juga menyatakan bahwa seorang
Apoteker hendaknya menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi
masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen menyatakan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan. Permenkes Nomor 922 tahun 1993 menyebutkan bahwa
a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker
harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat,
tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien
sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari
selama terapi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu
tugas apoteker adalah memberikan informasi kepada pasien yang datang ke
apotek, sehingga kewajiban apoteker, baik apoteker pengelola apotek atau
apoteker pendamping atau apoteker pengganti adalah berada di apotek selama
jam buka apotek dan memberikan informasi kepada pasien yang datang ke
apotek. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 menyatakan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pada
pasal 86 yaitu barang siapa dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1, telah diuraikan sebelumnya,
dipidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
2. Apoteker Sebagai Suatu Profesi
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan
dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang
bersifat teoritis dan praktek serta diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan
konsumen atau kliennya (Harding, 1993). Banyak kriteria untuk menentukan
suatu pekerjaan adalah suatu profesi, menurut Sulasmono (1997) antara lain :
a. unusual learning, yaitu dididik dan menerima pengetahuan yang khas dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di
tempat lain atau bidang yang berbeda
b. pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan
mementingkan kepentingan orang lain)
c. telah mengucapkan sumpah
d. memiliki kode etik
e. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992)
f. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan
peraturan perundang-undangan lain)
g. memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja)
h. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional
i. bersifat otonomi dan independensi
j. bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita
k. confidental relationship dalam pelayanannya
Menurut ISFI, profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas
b. pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi
c. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian
e. memberlakukan kode etik keprofesian
f. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan
g. proses pembelajaran seumur hidup
h. mendapat jasa profesi (Anonim, 2004b)
Menurut Trait Theory, Apoteker dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan beberapa ciri khusus, yaitu :
a. memiliki ilmu pengetahuan khusus yang berasal dari pelatihan jangka panjang (specialized knowledge and lengthy training). Agar dapat diterima menjadi salah satu anggota profesi, seseorang harus
menjalani pendidikan intensif yang bervariasi dengan spesialisasi tinggi.
Untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan
di perguruan tinggi farmasi baik di jenjang S-1 maupun jenjang
pendidikan profesi. Pada saat menempuh masa pendidikan, apoteker
dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang disesuaikan
dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan penggunaan obat
secara klinis (Harding, dkk, 1993). Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi
mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada
masa-masa selanjutnya (Sirait, 2001).
b. monopoli dalam praktek (monopoly of practice). Monopoli pekerjaan yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh Negara (Harding,
1993). Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai
apoteker. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 menyebutkan bahwa
pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Pada pasal 63 ayat (1) disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa profesi farmasi dan pekerjaan kefarmasian memiliki pengakuan
secara hukum di Indonesia, dan bahwa pekerjaan kefarmasian tersebut
hanya apoteker yang memiliki kewenangan untuk menjalankannya.
c. pengaturan diri (self regulation). Organisasi profesi diperbolehkan untuk mengatur sistem pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi
persyaratan untuk menjadi anggota profesi dan memperkirakan seseorang
yang berkompeten dalam menjalankan pekerjaannya (Harding, 1993).
Organisasi profesi farmasi adalah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI).
Surat Kepmenkes Nomor 41846/KB/121 tanggal 16 September 1965
menyatakan bahwa Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia disingkat ISFI
sebagai organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana apoteker
farmasi yakni sarjana apoteker. Wujud pengaturan diri tersebut antara lain
dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker, Kode Etik Apoteker Indonesia dan
Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.
d. orientasi pelayanan (service orientation). Pernyataan ini menandakan bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi
keinginan klien dan tidak diperbolehkan memaksa klien hanya demi
keuntungan pribadi semata. Hal ini ditegaskan pada pasal 53
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyebutkan
bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3. Peran Apoteker
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan
bahwa sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh
seorang Apoteker yang profesional dan dalam pengelolaan apotek tersebut,
apoteker harus senantiasa memiliki kemampuan menyediakan dan
memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat,
kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan
dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif,
selalu belajar sepanjang karier, membantu memberi pendidikan dan memberi
peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan
a. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam
memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara
individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan
pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan
dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi.
b. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh
penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan
kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai
tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk
kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan
pelatihan yang diperlukan.
c. Communicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh
karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik.
Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar
dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan
kebutuhan.
d. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan
e. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin
orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus
tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi
informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.
f. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk
menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara
belajar yang efektif.
g. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam
berbagai ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan
memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan.
(Anonim, 2004b)
B. Apotek
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 pasal 1 menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan apotek ialah suatu tempat dimana dilakukan usaha-usaha
dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Pasal 2 menyebutkan bahwa
tugas dan fungsi apotek, ialah :
1. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
Pasal 3 menyebutkan bahwa apotek dapat diusahakan oleh :
1. Lembaga atau Instansi Pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di Pusat dan di Daerah;
2. Perusahaan milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah;
3. Apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri Kesehatan.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan
pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur
tugas dan fungsi apotek yaitu :
a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.
b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
Kepmenkes RI nomor 1332 tahun 2002 pasal 4,menyebutkan bahwa izin
apotek diberikan oleh Menteri. Menteri melimpahkaan wewenang pemberian izin
apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin,
pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada
kepada menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi.
Persyaratan apotek menurut Kepmenkes RI nomor 922 tahun 1993 adalah
(pasal 6) :
perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain
2. sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi
3. apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.
C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Sistem praktek kefarmasian dapat diartikan sebagai bagian integral dari
sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur dan fungsi
jaringan pelayanan kefarmasian. Praktek kefarmasian adalah upaya
penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan
dan pencegahan penyakit bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan atau
masyarakat. Sistem pelayanan kefarmasian meliputi struktur sistem pelayanan
kefarmasian dan fungsi sistem pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004b).
1. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal;
b. memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri;
c. memberikan pelayanan informasi obat; d. memberikan konsultasi obat;
e. melakukan monitoring efek samping obat; f. pelayanan klinik berbasis farmakokinetik.
(Anonim, 2004b)
2. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi; b. merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan
standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku;
c. bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil; d. melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak
e. melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”.
(Anonim, 2004b)
3. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal manajemen praktis farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi
di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional;
b. merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkannya ke dalam rencana kerja (Plan of Action);
c. merancang, membuat ,melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu pelayanan;
d. merancang organisasi kerja yang meliputi : arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen;
e. merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian; dan
f. memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah kepada kepuasan konsumen.
(Anonim, 2004b)
4. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal komunikasi farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien;
b. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat;
d. memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.
(Anonim, 2004b)
5. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal pendidikan dan pelatihan farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi
dalam penerapan asuhan kefarmasian;
b. merencanakan dan melakukan aktifitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan;
c. berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian; dan
e. mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.
(Anonim, 2004b)
6. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal penelitian dan pengembangan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah:
a. melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain; dan
b. menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.
(Anonim, 2004b)
7. Menurut peraturan perundang-undangan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian di apotek meliputi :
a. Pengelolaan sumber daya
1) Sumber daya manusia
SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
2) Sarana dan prasarana
Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
Apotek harus memiliki :
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi.
3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien
4. Ruang racikan.
5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.
3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.
Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out)
3.1 Perencanaan.
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan :
a. Pola penyakit.
3.2 Pengadaan.
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.
3.3 Penyimpanan.
1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa.
2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.
4) Administrasi.
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :
4.1. Administrasi umum.
Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.2. Administrasi pelayanan.
Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
b. Pelayanan
1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep.
Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif :
- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.
- Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya.
1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
1.2.2. Etiket.
Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
1.2.4. Penyerahan obat.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
1.2.5. Informasi obat.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
1.2.6. Konseling.
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
1.2.7. Monitoring penggunaan obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.
2) Promosi dan edukasi.
membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/ brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.
3) Pelayanan residensial (Home Care).
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medicationrecord).
c. Evaluasi mutu pelayanan
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket
atau wawancara langsung.
2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).
3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk :
• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;
• Adanya pembagian tugas dan wewenang;
• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;
• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;
• Membantu proses audit.
Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:
• Tujuan : merupakan tujuan protap.
• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.
• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.
• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.
• Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar.
• Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.
(Anonim, 2004a)
D. Sumpah Apoteker
Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sumpah apoteker harus
diucapkan sebelum apoteker melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Apoteker
dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan
keahliannya hendaknya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji apoteker
(Anonim, 2004b).
Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan
bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau
pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan
keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya,
sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan
membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun
akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada
lampiran 4.
E. Kode Etik Apoteker
Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai
rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan
keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker
dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184
yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu
memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006).
Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan
Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005
dapat dilihat pada lampiran 5.
Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu :
1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)
Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai
dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan
masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai
penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan
sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak
melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus
mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya
yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang
ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan
2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)
Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat
memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai
manajer untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang
diperoleh dengan bekal ilmu manajerial demi kelangsungan “hidup” apotek itu
sendiri. (Anief, 1995)
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa apotek
melakukan bisnis yang beretika.
Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam
menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah
moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun
telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan
penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan
dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan
ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).
Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan
bisnis adalah :
1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak
berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil
keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan
tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik
perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat
2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak,
mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.
3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal,
minimal tidak merugikan orang lain.
4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan
sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.
5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan
orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.
(Isdaryadi, 2005)
Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang
bersangkutan dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada
anggota yang melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah
dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005).
F. Keterangan Empiris
Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI
nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu :
pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Dari hasil
penelitian diharapkan dapat diperleh gambaran mengenai pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan
rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian
yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa
adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001).
Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang
memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada
perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).
Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau
keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk
mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara
obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).
B. Batasan Operasional Penelitian
1. Kajian adalah studi yang dilaksanakan untuk memperdalam atau mengetahui
dengan lebih jelas suatu hal.
2. Pelaksanaan adalah proses melaksanakan.
3. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan
sebagai patokan, dalam hal ini berdasarkan pada KepMenKes Nomor
1027/MENKES/SK/X/2004 dikatakan telah dilaksanakan dengan baik apabila
persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka
dikatakan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik.
4. Apotek adalah 55 apotek yang berada di wilayah Kabupaten Bantul.
5. Responden adalah Apoteker baik Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker
Pendamping yang bersedia mengisi kuisioner.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang :
1. karakteristik responden.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia,
benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau
peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam
suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua
apotek yang ada di Kabupaten Bantul.
Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Bantul, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Bantul tahun 2006
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data
sebenarnya dalam penelitian. Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan
besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah
minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap
populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah
minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data
(hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).
Menurut Notoatmodjo, sampel dapat diperoleh dengan rumus :
n =
) ( 1 N d2
N
+ dimana :
n = besar sampel yang diambil
N = besar populasi
d = tingkat signifikansi (10%) (Notoatmodjo, 2002).
Penelitian ini tidak digunakan teknik sampling dikarenakan penelitian
dapat mencakup seluruh populasi, dikarenakan populasi berjumlah kurang dari
seratus responden yaitu 55 responden
E. Tata Cara Pengumpulan Data
1. Penyusunan Kuisioner
Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam
penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari
responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004).
Kuisioner yang digunakan memuat sejumlah pertanyaan yang harus
dijawab secara tertulis oleh responden. Kuisioner disusun dengan mengacu
KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 dan terbagi menjadi empat
bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan
evaluasi mutu pelayanan.
2. Pengujian kuesioner
a. Uji pemahaman bahasa
Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana
bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner
dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan
pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman
bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima
apotek di luar populasi penelitian.
b. Uji validitas isi
Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat
tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang
sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003).
Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu
untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).
Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi.
Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi
pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana
dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan
analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan
hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang
akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner
akan tercapai.
c. Uji reliabilitas
Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap
apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut
memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak
berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan
tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan
homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur
Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena
pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung
terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas
data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden
menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan
asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang
mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi
reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).
3. Penyebaran Kuisioner
Penyebaran kuisioner langsung kepada responden dan peneliti akan
mendampingi dalam pengisian kuisioner agar dapat menjelaskan kepada
responden maksud dari kuisioner dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di
dalamnya serta apabila responden mengalami kesulitan dalam mengisi
kuesioner tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka
kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian
diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuisioner
dilakukan pada bulan Februari-Maret 2007.
4. Pengumpulan Kuisioner
Kuisioner langsung dikumpulkan saat itu juga, sehingga kuisioner
yang dikembalikan jumlahnya sama dengan jumlah kuisioner yang