• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH

JAVA-INSTITUUT

DALAM PERSPEKTIF

DISCOURSE

ORIENTALIS

(1919-1941)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh :

Christian Wahyu Wijayanto

NIM : 004314010

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

SKRIPSI

23 Desember 2006

(3)
(4)

MOTTO & PERSEMBAHAN

“Berpaling ke masa lalu merupakan salah satu strategi paling umum untuk menafsirkan masa kini,…..Bukan hanya ketidaksetujuan mengenai apa yang terjadi di

masa lalu itu, melainkan ketidakpastian tentang apakah masa lalu itu benar-benar telah lalu, selesai,

dan ditutup, atau

Apakah ia masih berlanjut, meskipun mungkin dalam bentuk-bentuk yang berbeda……”

(Edward Said, Kebudayaan dan Kekuasaan)

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”

(Filipi 1:21)

Kupersembahkan karyaku ini,

Kepada :

Tuhan Yesusku,

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, ……… Penulis

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Sejarah Java-Instituut Dalam Perspektif Discourse Orientalis (1919-1941). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kuasa Barat dalam produksi pengetahuan pada masa kolonialisme. Dalam skripsi ini ada tiga permasalahan yang akan dibahas, yaitu: 1. Bagaimanakah awal mula studi-studi Jawa hingga berdirinya Java-Instituut?;2. Bagaimanakah gaya pemikiran Java-Instituutsebagaidiscourse orientalisme?;3. Bagaimanakah representasi Jawa yang dihasilkan oleh museum Sanaboedaya?

Kolonialisme dalam sejarah bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan khususnya Indonesia menjadi titik tolak yang penting dalam pembangunan identitas kebangsaan. Pada sebagian besar penulisan sejarah di bangsa-bangsa tersebut, kolonialisme tampil sebagai kekuasaan yang represif, yang melakukan peperangan, penaklukan wilayah penduduk pribumi, dan mengeksploitasi kemakmuran daerah koloni. Melalui wajah kolonialisme tersebut mendorong pembangunan identitas kebangsaan yang menjadi antitesis dari kolonialisme.

SejarahJava-Instituut telah membuka wilayah yang selama ini terbengkalai, yaitu bahwa kolonialisme tidak hanya tampil sebagai kekuasaan yang represif, tetapi juga produktif. Melalui penelusuran dari studi-studi Jawa pada khususnya telah memberikan pemahaman yang mendalam mengenai kolonialisme. Penelusuran studi-studi Jawa ini telah membongkar produksi pengetahuan, dan tatanan makna yang diproduksi dalam tradisi discourse orientalisme, yang memperlihatkan hegemoni kuasa-kuasa Barat terhadap masyarakat pribumi.

Kolonialisme tidak hanya memberikan akibat fisik yang menyakitkan, tetapi juga memiliki efek yang besar dalam kesadaran masyarakat pribumi, contohnya pada pendidikan pribumi yang menghasilkan individu tercerahkan seperti Poerbatjaraka, dan Hoesein Djajadiningrat. Selain penulusuran studi-studi Jawa, sejarah Java-Instituut juga membongkar kekuasaan yang hadir dalam museum Sanaboedaja. Melalui tata ruang, tata benda, serta tata kota, kolonialisme melakukan pendisiplinan, dan pengawasan terhadap kesadaran masyarakat pribumi.

(7)

ABSTRACTS

This research is entitled “The History Of Java-Instituut In An Orientalistic Discourse Perspective, 1919-1941”. The research aims to discover the power of the West in knowledge production in the colonial period. In this thesis, there are three problems covered, which are: 1. How is the beginning of Javanese studies, until the establishment of Java Instituut? 2. How is the Java Instituut style of thought, as an orientalistic discourse? 3. How does the Sanaboedaja museum produce the representation of Java?

Colonialism in the history of the Asian and African nations, and especially Indonesia, become an important starting point in the building of national identity. Most of the written histories of those nations, colonialism appears as a repressive power, who conducted wars, expansion of native lands, and exploitations of the colonies prosperous lands. Such colonialism encouraged the building of national identities, as an antithesis of colonialism.

The history of Java Instituut has opened an area which has long been abandoned, that is colonialism did not only appear as a repressive power, but also as a productive one. An exploration on the studies on Java will give a new and deeper understanding about colonialism. This kind of exploration deconstructs the knowledge production, and order of meaning produced in the tradition of orientalistic discourse, which shows the hegemony of western powers over the local people.

Colonialism has not only created painful physical effects, but also great effects on the awareness of the local people. For example, educating the locals has produced enlightened individuals such as Poerbatjaraka and Hoessein Djajadiningrat. Besides exploring the studies on Java, the history ofJava Instituut also deconstructs the powers presented in the Sanaboedaja Museum. Through the interior design, the placing of objects, and city plans, colonialism has conducted discipline and control over the awareness of the local people.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas berkat dan anugerah yang Dia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Sejarah Java-Instituut Dalam Perspektif Discourse Orientalis (1919-1941)”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyusun skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan, petunjuk serta bimbingan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik saran maupun dorongan semangat, khususnya kepada :

1. Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Sastra. 2. H. Purwanta, M. A, selaku Kepala Jurusan Ilmu Sejarah.

3. Prof. Dr. P. Y. Suwarno, S. H selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, petunjuk serta saran-saran yang berharga kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

(9)

penuh semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. St. Sunardi yang memberikan usulan kasus Java-Instituut, tanpanya penulis tidak dapat memasuki pengalaman yang sangat berharga ini, dan terima kasih juga untuk Budiawan yang telah mengajar saya dalam kuliah Postkolonial di IRB telah banyak memberikan pengetahuan secara teoritik mengenai penulisan SejarahJava-Instituut.

6. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Ilmu Sejarah: Bu Ning, Pak Hery, Pak Sandiwan, Pak Anton, Pak Rio, dan Rm. Baskara, yang penuh kehangatan, dan keterbukaan untuk berdiskusi telah membekali ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

7. Karyawan/karyawati sekretariat Fakultas Sastra yang telah memberikan bantuan selama skripsi ini, dan buat Pak Waluyo (Rektornya Wisma A), yang penuh humor telah menceriakan di Wisma A.

8. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, yang menyediakan koleksi majalah Djawa untuk dijadikan sumber utama penulisan skripsi ini, Perpustakaan Kolsani Kota Baru melalui koleksi bukunya yang menyediakan buku-buku rujukan bagi penulisan skripsi ini.

(10)

10. Bapak Kees Groenebroer yang meluangkan waktu singkat, namun berharga untuk dapat bertemu, dan terima kasih atas bantuan berupa disertasinya yang diberikan dengan cuma-cuma.

11. Terima kasih kepada Pak Ronald, Bu Rosy, Koh Sony, Oma, Kak Rony, dan keluarga Sugeng Supriyadi atas kesediaannya menerima penulis di keluarga mereka dalam penelitian singkat di Jakarta, dan terima kasih juga untuk teman-teman diErasmus Huis, Mas Gunawan, dan Mbak Lina. 12. Papa, dan Mama yang tercinta yang penuh kesabaran, dan kesetiaan

menunggu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Khusus untuk Mama yang tersayang terima kasih untuk selalu berbagi kehangatan, sharingnya dan dukungan doanya, baik sebagai ibu, gembala, maupun sahabat, terima kasih Mamaku.

13. Mas Andy, mbak Ester, dan Eyang yang selalu perhatian untuk selalu menanyakan kepada penulis, “Apakah sudah selesai skripsinya?”. Mereka adalah keluarga yang terkasih.

14. Parti Septiana R. kekasih saya yang tercinta, denganbawelnya dismsyang tidak pernah sabar selalu memberikan perhatian, dukungan, semangat, kepercayaan, doa, dan kasih sayang yang tulus kepada penulis.

(11)

16. Niko yang selalu saya ganggu komputernya. Tanpa komputernya penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk komputer, dan kopinya ya.

17. Sahabat saya Tomy, Ruby, dan Rosemary, Eno, “Dede” Ari, Dita, dan Clara yang selalu memberi warna, tempat segala kepenatan dihiburkan. Terima kasih untuk waktu di hidup kalian ya.

18. Teman-teman: Agi, Cumi, Qser, Badu, Yustina, Upik, Fajar, Lazarus, Bondhok, Ulil, Sisca, Ijo, Eta. Terima kasih untuk pertemanan dengan kalian selama menuntut ilmu di ‘Jurusan’ Wisma A. Dan terima kasih juga untuk Eka “Penya” yang selalu menjadi teman diskusi.

19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga terselesainya skripsi ini.

Penulis menyadari akan keterbatasan baik pengetahuan maupun kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Yogyakarta, …………..2006 Penulis

(12)
(13)

1.5.1 Bacaan Primer………. 2.2.1 Perang Jawa dan Masa Depan Kerajaan Jawa……… 2.2.2. Dari Perang Jawa HinggaCultuurstelsel... 2.2.3.Pembangunan Pengetahuan Barat Mengenai Jawa………. 2.2.4. Max Havelaar dan Representasi Dunia Timur………….. 2.3. Politik Etis……….. 2.3.1. Dari Tagore hingga Terciptanya Elit Modern……… 2.3.2. Kongres Bahasa dan Kebudayaan 1918 dan Berdirinya Java-Instituut………

Bab IIIDISCOURSEPEMIKIRAN JAVA-INSTITUUT……….

(14)

3.1 Pengantar………. 3.2. Abad Kemajuan Pribum……… 3.3.Java-Instituutsebagai Representasi Orientalisme………. 3.3.1. BerdirinyaJava-Instituut……….. 3.3.2. Java-Instituut sebagai Konstruksi Kebudayaan dan Masa Lalu Jawa ……… 3.4. Gaya PemikiranJava-Instituut……… 3.5. Pemikiran Pribumi Jawa: Ranggawarsita dan Poerbatjaraka….

3.5.1. Ranggawarsita dan Hidupnya………. 3.5.2. Poerbatjaraka dan Pendidikan Barat……….. 3.5.3 Poerbatjaraka sebagai Anak Zaman Kemajuan……….. 3.5.4. Ranggawarsita dan Poerbatjaraka: Antara Batas-Batas Kemajuan Barat ………..……….

BAB IV MUSEUM SANABOEDAJA: TRANSFORMASI, DAN

REPRESENTASI IDENTITAS KEBANGSAAN

(15)

4.5.Sistem Penataan Benda-Benda Museum Sanaboedaja dan Reprensentasi Jawa………..………. 4.6.Museum Sanaboedaja: Transformasi Tata Kota Jawa sebagai Representasi Jawa ………...

BAB V PENUTUP...

DAFTAR PUSTAKA……….

LAMPIRAN………

136

151

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Alun-Alun Utara……… 2. Peta Yogyakarta tahun 1925………..…………

(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Maket Rumah Jawa Model Limasan……… 2. Maket Museum Sanaboedaja Rancangan Th. Karsten ……… 3.Petanen……… 4.Zietende Budha (çakyamuni of Akşobhya), Perunggu……… 5.Staande Budha(çakyamuni), Perunggu……….. 6. Wairocana, Perunggu……….. 7. Vorstenbeeld, Oost-Java. Kalksteen……… 8. Garoeda als Voestuk, Andesiet, 10de eeuw………. 9. Kala-kop als spuier, Andesiet, 10de eeuw……….. 10. Terracotta-kop, Madjapahit, 14de eeuw……… 11. Awalokiteshwara, 9de eeuw……….. 12. Reliefpaneeltje, Oost Java, Steen……….. 13. Struktur Istana Jawa. ………....

(18)

DAFTAR TABEL

1. Benda-benda awal yang dimiliki museum Sanaboedaja sebagai rekonstruksi masa lalu keemasan Jawa………. 2. Benda-benda sumbangan, dan pinjaman dari koleksi pribadi dan

instansi………..………… 3. Ruang Pameran Museum Sanaboedaja………. 4. Kampung-kampungnjero benteng…..……… 5. Kampung-kampungnjaba benteng………..

142

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kolonialisme memiliki dua aspek kekuasaan, yang pertama kekuasaan secara fisik, yaitu dengan menguasai secara politik atau ekonomi suatu wilayah, yang kedua adalah kekuasaan pada kebudayaan yang membuahkan efek-efek kesadaran.1 Aspek kedua adalah upaya untuk menanamkan sebuah hegemoni

untuk mempertahankan kekuasaan secara fisik. Pada aspek-aspek kesadaran inilah yang menjadi kajian dari penulisan sejarahJava-Instituut.

Mengenai pentingnya pengenalan atas masyarakat pribumi, kolonialisme Belanda mendapat inspirasi dari kolonialisme Inggris di Indonesia. Melalui Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang dibesarkannya, Raffles menulis karya besarnya yang berjudul History of Java. Karya ini membawa ketertarikan kolonialisme Belanda pada penguasaan pribumi pada wilayah pengetahuan.2 Pada tahun 1832 berdiri sebuah lembaga yang dikenal sebagai Instituut Voor Het Javaansche Taal di Surakarta sebagai pioneer dari kegiatan keilmuan mengenai masyarakat pribumi terutama pada bahasa. Selanjutnya pada abad XX berdiriJava-Instituutdengan sistem pengetahuan yang

1, Leela Gandhi, 1998: Postcolonial Theory A critical introduction, Allen & Unwin, Australia.

hal. 15.

2 Hans Groot, 2001: ‘Raffles dan Van Der Capellen Dua pemimpin Kuat Bataviaasch

(20)

sistematis mengenai masyarakat Jawa, Sunda, Bali, dan Madura. Pengetahuan yang sistematis maksudnya adalah bahwa masyarakat pribumi tidak hanya didekati dengan ilmu filologi, namun telah berkembang dengan munculnya ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah, kesenian, arsitektur, sosiologi, atau hukum Islam.

Kegiatan kajian ilmu pengetahuan atas masyarakat pribumi berjalan beriringan dengan penguasaan kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda. Syed Husein Alatas memberikan pembacaan yang baik mengenai kolonialisme, ia berargumen bahwa kolonialisme membangun pengetahuan mengenai pribumi yang malas dengan menjadikannya kebenaran bahwa mereka harus bekerja di perkebunan sebagai bagian dari pemberadaban pribumi.3 Hal ini menegaskan

penguasaan politik dan ekonomi sejalan dengan kebutuhan produksi pengetahuan mengenai dunia Timur.

Terdapat dua aspek penting dalam kegiatan Java-Instituut yang akan menjadi kajian pada tulisan ini, dan akan diperlihatkan sebagai representasi dari kegiatan orientalisme. Pertama, kegiatan keilmuan mengenai masyarakat Jawa, Sunda, Bali, dan Madura. Aspek ini dalam pandangan orientalisme merupakan cara-cara untuk mengenali dunia Timur berdasar tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.4 Mengenai kegiatan keilmuan ini muncullah teks-teks mengenai dunia Timur sebagai representasi dunia Timur. Aspek kedua memberikan tempat yang istimewa dan memberikan kekhususan bagi Java-Instituut dibandingkan lembaga kajian yang serupa, yaitu dengan didirikannya

museum Sanaboedaja pada tahun 1935. Secara ilmiah kegiatan ini sangat

3 S.H. Alatas, 1988:Mitos Pribumi Malas, LP3ES, Jakarta.

(21)

berhubungan dan tergantung pada aspek yang pertama. Sanaboedaja merupakan bagian dari representasi mengenai masyarakat Jawa, Sunda, Bali, dan Madura yang digambarkan dalam ruang-ruang pameran.

Representasi ini merupakan inti dari pembahasan sejarah Java-Instituut. Bagaimana Jawa dikonstruksi, digambarkan, dan diberi makna merupakan pokok pembicaraan dalam penulisan sejarah Java-Instituut. Representasi mengenai masyarakat Jawa ini tidak hanya akan ditelusuri dalam teks-teks mengenai masyarakat Jawa, tetapi juga pada ruang-ruang pameran Sanaboedaja. Kedua aspek di atas membawa penulis pada penulisan sejarah Java-Instituut dalam perspektif orientalisme. Aspek-aspek tersebut telah menunjukkan kerelevanan discourseorientalis sebagai perspektif dalam penulisan sejarahJava-Instituut.

B. Perumusan Masalah

Di dalam penulisan skripsi ini diangkat beberapa masalah yang menjadi pokok penelitian, yaitu :

1. Bagaimanakah awal mula studi-studi Jawa hingga berdirinya Java-Instituut?

2. Bagaimanakah gaya pemikiran Java-Instituut sebagai discourse orientalisme?

(22)

Melalui tiga pokok permasalahan di atas diharapkan dapat diketahui bagaimana kekuasaan kolonial Belanda bekerja dalam ruang kajian mengenai masyarakat pribumi sepertiJava-Instituut.

C. Ruang Lingkup

Studi ini akan memfokuskan pada kajian-kajian mengenai masyarakat Jawa, Sunda, Bali, dan Madura yang dilakukan olehJava-Instituut pada rentang waktu 1921-1941 melalui jurnal Djawa. Rentang waktu tahun 1921-1941 adalah masa penulisan jurnal Djawa, sehingga studi ini mengkaji artikel-artikel pada jurnal Djawapada rentang waktu tersebut.

Secara metodologis maka pembatasan artikel-artikel dimungkinkan oleh sistem discourse Foucault sebagai unit discourse. Sebagai unit discourse maka akan memberikan batasan-batasan pada artikel-artikel mana saja yang hendak dikaji. Suatu bentuk discourse yang memberikan aturan-aturan mengenai bagaimana Jawa direpresentasikan pada artikel-artikel di jurnalDjawa.

D. Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan dan menganalisis :

1. Awal mula studi-studi Jawa hingga berdirinya Java-Instituut sebagai upaya Barat membangun pengetahuan mengenai masyarakat Jawa.

(23)

E. Manfaat Penelitian

1. Melalui tulisan ini dapat diketahui bahwa dominasi yang dilakukan bangsa Barat tidak hanya dominasi politik dan ekonomi, namun juga dominasi atas pengetahuan dan kesadaran.

2. Melalui tulisan ini akan diketahui hegemoni yang diciptakan oleh tradisi discourse orientalisme dalam mempertahankan kekuasaan Belanda atas Indonesia.

3. Melalui penelitian Java-Instituut ini dapat diketahui secara baik bagaimana para Orientalis bekerja pada lembaga-lembaga budaya dan melakukan praktek-praktekdiscourse.

F. Tinjauan Pustaka

F.1. Bacaan Primer :

a. ‘Congres Voor Javaansche Cultuur-Ontwikkeling te Solo 5-7 Juli 1918’,

(24)

b. G.J. Nieuwenhuys, ‘Oosten En Westen’, Djawa, 1921. Artikel ini merupakan gambaran pengetahuan Barat atas masyarakat Timur (Jawa) yang dibedakan dan dilawankan dengan sifat-sifat Barat secara timpang.

c.A.B Cohen Stuart ,‘De Wajang En Heroische Periode in De Ontwikkeling Van Java’,Djawa, 1923. Artikel ini merupakan gambaran seorang Barat seperti Cohen

Stuart yang membangun pengetahuannya mengenai sejarah Jawa. Karya penulisannya ini menggambarkan Jawa sebagai sebuah peradaban yang dipenuhi konflik hingga akhirnya Jawa berada di bawah pemerintahan yang kuat yaitu Hindia-Belanda.

d. Maclaine Pont, ‘De Historische Rol Van Majapahit, een hypothese’, Djawa, Jaargang vi, 1926. 309. Artikel ini merupakan sebuah susunan pengetahuan mengenai masa lalu Jawa, yaitu sejarah Majapahit. Sejarah Majapahit di tangan seorang Maclaine Pont hadir dalam masa lalu keemasan, dan menjadi discourse mengenai masa lalu keemasan Jawa yang hadir melaluiJava-Instituut.

F.2. Bacaan Sekunder

Bacaan sekunder di bawah ini merupakan buku-buku yang secara teori menjadi pisau analitis dari bacaan primer di atas. Melalui buku-buku berikut ini, maka studi mengenai sejarahJava-Instituut sebagai discourseorientalisme dapat tercapai.

(25)

mengenalkan konsep orientalisme sebagai sebuah alat dominasi bangsa Barat atas daerah-daerah jajahan yang hampir selalu negara-negara Afrika, Asia. Tradisi orientalisme ini didukung oleh para orientalis Barat yang mempunyai otoritas untuk melakukan konstruksi atas dunia Timur dan segala pendapatnya menjadi rujukan atas setiap kajian atas Timur. Said melakukan pembongkaran apa yang dinamakan regime of truth dari pemikiran Barat. Di dalam tulisannya ia memfokuskan pada ketiga kekuatan orientalis yaitu Inggris, Perancis, Amerika Serikat.

Buku kedua adalah buku dari Syed Husein Alatas yang berjudul Mitos Pribumi MalasLP3ES, Jakarta, 1988. Buku ini membongkar sebuah pengetahuan yang telah mapan dan menjadi kekuatan hegemonik kolonialisme untuk mempertahankan kekuasaannya, yaitu pengetahuan mengenai pribumi malas. Pengetahuan inilah yang dimaksud Foucault sebagai hubungan antara Pengetahuan dan Kekuasaan yang bekerja dalam ruang masyarakat kolonial.

Buku yang ketiga adalah karya Simon Phillpott, Meruntuhkan Indonesia Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, LKiS, Yogayakarta, 2003. Buku ini

(26)

Dunia II menunjukkan superioritasnya, namun dengan mengambil ketiga tradisi dari negara ini akan mengabaikan orientalis Belanda, yang masih mempunyai kekuatan di wilayah Indonesia. Satu hal lagi bahwa Phillpot juga telah mengabaikan periode sebelum dekolonisasi, karena konstruksi sosial yang dilakukan oleh para orientalis (tanpa menyebut orientalis yang mana) telah dilakukan pembangunannya sejak periode sebelum masa dekolonisasi. Buku ini sangat penting dalam memberikan konsep lebih khusus mengenai wilayah pemikiran orientalisme, dari pada Said yang lebih menjadikan bukunya sebagai sebuah buku induk orientalisme.

Buku keempat adalah buku dari Nicholas Mirzoeff yang menjadi editor dari buku yang berjudulVisual Culture Reader, Routledge, London&New York, 1998. Buku ini sangat penting dalam mengenalkan sebuah sisi visual dari kolonialisme, dan tentu saja menjadi bagian dari kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam konsep orientalisme Said. Salah satu bagiannya buku ini membahas museum sebagai sebuah kekuatan menciptakan dunia Timur, yang dalam konsep Said sebagai sebuah penciptaan imaji-imaji, idea-idea mengenai dunia Timur.

Buku kelima adalah buku dari David Boswell, Jessica Evans (ed), Representing the Nation A Reader, histories, heritage, and museums, Routledge,

(27)

Melihat kelima karya di atas, maka tulisan ini sangat terbantu dengan konsep orientalisme Said dan Syed Alatas yang menjelaskan mengenai kekuatan orientalisme yang bekerja di wilayah kolonial seperti di Hindia-Belanda. Melalui Phillpot yang mengenalkan konsep wilayah dan ruang lingkup pemikiran orientalisme di Asia Tenggara khususnya Indonesia, sehingga sangat baik jika tulisan ini mengambil pada bidang orientalis Belanda, yang tidak banyak dikaji oleh Simon Philphot dan Said. Periode yang diambil tulisan ini juga berbeda dengan periode Simon Philpot yang lebih maju ke periode temporer, namun lebih ke belakang dengan menganalisis pada periode zaman etis. Mirzoeff yang memberikan konsep museum dalam kerangka orientalisme memungkinkan penulis untuk menganalisa museum Sanaboedaya sebagai representasi masyarakat Jawa, dan Jessica Evans melalui tahap-tahap terbentuknya museum telah menempatkan museum Sanaboedaja tidak hanya sebagai kegiatan pengumpulan benda-benda pribumi, tetapi juga sebagai prinsip-prinsip studi-studi kebendaan pribumi.

(28)

G. Kerangka Pikir Dan Pendekatan

Di dalam penulisan sejarah Java-Instituut akan digunakan empat pemikiran antara lain pemikiran Foucault, Edward Said, Nicholas Mirzoeff, dan Jessica Evans. Keempat pemikiran ini akan diformulasikan dalam sebuah kesatuan teoritik dan akan digunakan sebagai pisau analitis dalam penulisan sejarah Java-Instituut. Secara bertahap akan dijelaskan mengenai pemikiran mereka. Melalui

Foucault akan diajukan mengenai konsep diskontinuitas, statements, dan sistem discourse, melalui Said akan dijelaskan mengenai orientalisme sebagai sistem

discoursedari Foucault, melalui Mirzoeff akan diajukan sebagai representasi dari sisi visual kolonialisme, dan melalui Jessica Evans akan diuraikan mengenai tahap-tahap terbentuknya museum. Melalui formulasi ini diharapkan dapat tercapai sebuah pemahaman mengenai Java-Instituut sebagai discourse orientalisme.

The Archeology of Knowledge yang terbit pada tahun 1969 harus dipahami

(29)

Di dalam permulaan Arkeologi Pengetahuan, Foucault menunjukkan dirinya sebagai seorang sejarawan pemikiran. Di dalam buku Arkeologi Pengetahuan ia memulai pembicaraan mengenai fungsi-fungsi material dari dokumen yang merupakan unsur terpenting dalam penulisan sejarah. Relasi-relasi dokumen, relasi-relasi peristiwa atau fenomena diberikan tatapan yang baru, terutama perkembangan sejarah ide yang diberikan kritik-kritik pada sejarawan tradisional.5 Pembicaraan mengenai sejarah ide dimulai dari unsur sejarah yang paling mendasar, yaitu dokumen, peristiwa, yang dikaitkan dalam relasi-relasi kausalitas. Kritiknya mengenai sejarah tersebut menghasilkan sebuah gagasan yang menjadi tema sentral baik dalam pandangan sejarahnya maupun pada gagasan discourse, yaitudiskontinuitas.

Diskontinuitas diposisikan menjadi lawan dari kontinuitas yang dipraktekkan oleh sejarawan tradisional. Foucault mengkritik sejarawan tradisional yang disebut sebagai seorang ahli yang memiliki tugas utama yaitu untuk menghilangkan diskontinuitas dalam relasi-relasi antar peristiwa dan menyusunnya menjadi sejarah total, yang dibangun dalam fundamen-fundamennya menjadi kausalitas.6 Di sisi lain untuk mempraktekkan sejarah ide, Foucault mengajukan konsep diskontinuitas dengan konsep seperti, rupture, threshold, limit, dan series. Menurutnya hanya dengan diskontinuitaslah sejarah

dapat dipraktekkan.

Di atas telah dipahami bagaimana gagasan diskontinuitas menjadi gagasan utama untuk memberikan kritik pada praktek-praktek sejarah ide. Kemudian

5 Michel Foucault, 1972:The Archeology of Knowledge & The Discourse on Language, Pantheon

Books, New York. hal. 7

(30)

diskontinuitas menjadi konsep yang sentral dari pemikiran Foucault baik

mengenai formasi diskursif, maupun statements. Secara bertahap mengenai statement, formasi diskursif dalam kaitannya dengan diskontinuitas akan

dibicarakan di sini.

Gagasan Foucault mengenai discourse adalah salah satu yang terpenting dalam memahami pemikiran Foucault, baik mengenai pertanyaan-pertanyaannya pada kedudukan pengetahuan, cara-cara peradaban Barat mendefinisikan‘other’,7

maupun gagasan mengenai relasi-relasi peristiwa dalam pembangunan sejarah total. Discourse tersusun dari relasi-relasi statements yang menjadi kesatuan-kesatuan unitdiscourse. Lebih lanjut akan dijelaskan mengenai proses ini.

Apakah yang dimaksud dengan statements, prinsip apa yang dimilikinya, dan bagaimana menjadi sebuah kesatuan? Merupakan pertanyaan yang akan membawa baik pada prinsip-prinsip dasar Foucault, maupun cara Foucault memperlakukan kritik pada fundamen-fundamen dari pembentukan ilmu pengetahuan sejak masa pencerahan. Foucault, untuk mendefinisikan statements, membedakannya dengan speech act. Statements bukanlah sebuah proposisi kalimat, dan sebuah kalimat yang sama dengan makna yang sama tidak berarti memilikistatementsyang sama, kedudukanstatementsrelatif.8

Dapat dijelaskan prinsip-prinsip daristatements, yaitu:1. …on the one hand it is linked to the gesture of writing or to the articulation of speech, and also on

the other hand it opens up to itself a residual existence in the field of memory or

in the materiality of manuscripts, books, or any other form of recording…,2….like

7L.Hubert Dreyfus, Paul. Rabinow, 1983:Michel Foucault: Beyond Structualism and

Hermeneutics, The University of Chicago Press, Chicago. hal. 17.

(31)

every event, it is unique, yet subject to repetition, transformation, and

reactivation…,3… It is linked not only to the situations that provoke it, and to the

consequences that it gives rise to, but at the same time, and in accordance with a

quite different modality, to the statements that precede and follow it…9

1. di satu sisi statements terhubung dengan bentuk penulisan atau artikulasi perkataan, dan juga di sisi yang lain statements membuka dirinya pada sisa kehadiran pada wilayah ingatan, atau di dalam material dari manuskrip, buku-buku, atau bentuk rekaman yang lain…2. seperti peristiwa, statements itu unik, tetapi selalu terulang, berubah, dan reaktivitas….3. statements tidak hanya terhubung dengan situasi yang mendorongnya, dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi pada waktu yang sama, terhubung dengan keadaan yang berbeda, pada statementsyang mendahului dan mengikutinya.

Penjelasan Foucault tersebut membuka relasi statements pada wilayah apa pun, seperti buku, manuskrip, atau residu memorial, dan tidak hanya terhubung dengan situasi yang memunculkannya dan yang mengikutinya, dan bisa menunjuk pada statements yang mendahului dan mengikutinya. Hal ini membuka pada kemungkinan bahwa relasi antarstatements membuka diri pada bentuk relasi apa pun yang menyertai seperti obyek material atau kondisi-kondisi yang menyertainya. Lebih lanjut relasi-relasi ini membuka diri pada diskontinuitas. Diskontinuitas tidak hanya merupakan retakan sejarah seperti Foucault jelaskan,

tetapi juga merupakan retakan-retakan pada relasi-relasistatements.10 Sifat

relasi-relasi yang terbuka tersebut menciptakan retakan-retakan pada kesatuan-kesatuan statements.

Relasi antarastatements ini juga secara bebas terjadi walaupun penulis tidak menyadarinya, dan tidak mengandaikan pada penulis yang sama, topik yang sama,

(32)

atau pada wilayah yang sama.11 Namun, relasi statements adalah hubungan yang

heterogen dalam bentuk tunggal dari periode satu ke periode yang lain. Diskontinuitas dimaklumi melebihi peristiwa, yaitu diskontinuitas yang terjadi

pada tataranstatements.

Foucault menjelaskannya dalam statements yang membentuk obyek kegilaan. Obyek kegilaan ditentukan dalam statements yang menamakannya, menggambarkannya, menjelaskannya, dibangunnya, indikasi pada berbagai kondisi, dihakimi, dan memberikan artikulasi perkataannya.12 Relasi-relasi

statements yang ditunjukkan oleh Foucault akan membentuk sebuah discourse

kegilaan, yang merupakan usaha Foucault untuk menangkap obyek tak sadar dari

Pencerahan. Usaha-usaha yang membongkar ilmu-ilmu humaniora sebagai sistem discourse yang mempertanyakan konsep-konsep yang diterima, subyek yang

dilegitimasi, obyek yang ada begitu saja dan melalui strateginya menghasilkan klaim-klaim kebenaran.13 Usaha-usaha tersebut yang membawa pada titik sentral

untuk memeriksa, menemukan pusat dari lahirnya ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana manusia mengenali dirinya dalam kebudayaannya.14 Foucault sendiri

telah menggali pada dasar apa pengetahuan berdiri, bagaimana teori menjadi mungkin, dalam ruang apa, bagaimana tatanan pengetahuan ditentukan, pada basis apriori sejarah seperti apa, bagaimana ide dapat muncul, ilmu dapat dibangun,

pengalaman dapat direfleksikan secara falsafah, rasionalitas dapat terbentuk

11ibid.,hal. 29. 12ibid., hal. 32.

(33)

hanya, mungkin, yang akan hilang dengan cepat.15 Foucault tidak

menggambarkan kemajuan pengetahuan dari suatu masa ke masa berikutnya. Pemikiran Foucault mengenai sistem discourse sangat penting untuk memahami orientalisme. Said memandang orientalisme sebagai sebuahdiscourse. Melalui sistem discourse ini kolonialisme menjadi terlihat jelas sebagai sebuah hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Memandang orientalisme sebagai sistem discourse berarti membongkar tatanan makna yang diproduksi oleh kolonialisme untuk mengontrol Timur. Sebuah tatanan makna yang diperlukan untuk mendominasi dan meneguhkan Barat atas keinferioran Timur.16 Sistem

tatanan makna ini menjelaskan orientalisme sebagai: yang pertama, orientalisme merupakan suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat.17 Kedua, bahwa melalui

orientalisme Timur telah membantu mendefinisikan Eropa (Barat) sebagai imaji, idea, kepribadian, dan pengalaman yang berlawanan dengannya.18 Ketiga adalah

bahwa orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemilogis yang dibuat antara Timur (The Orient) dan (hampir selalu) Barat (The Ocident).19 Secara ringkas apa yang diungkapkan oleh Said adalah bahwa Timur tidak ‘Ada’ begitu saja, begitu pula dengan Barat, Timur adalah disiplin-disiplin akademis yang dibangun dan kemudian dipisahkan dengan Barat. Timur inilah yang kemudian menjadi representasi mengenai dunia Timur.

15 Michel Foucault, 1973:The Order of Things An Archeology of The Human Sciences, Vintage

Books, New York, 1973. hal. xxi,xxii

16 Leela Gandhi.op.cit. hal. 77. 17Edward Said.op.cit. hal. 1-2. 18ibid.,hal. 2

(34)

Representasi dalam kata lain adalah re-presence yang menunjukkan ketidakmampuan Timur untuk berbicara langsung, dengan kata lain Timur adalah kehadiran ulang. Timur adalah sebuah dunia yang lepas dari Timur itu sendiri, sebuah dunia yang disajikan ala Barat, dicabut, dan ditata.20

Orientalisme Said, merupakan upaya untuk menangkap representasi dunia Timur yang dilakukan oleh supremasi Barat, bagaimana Timur disajikan? baik melalui karya intelektual Barat maupun melaluivisualisasi mengenai dunia Timur seperti museum. Orientalisme yang menjadi kajian Said, tidak hanya mengungkapkan banyaknya karya ilmiah intelektual Barat mengenai dunia Timur, tetapi juga mengungkapkan bahwa orientalisme terkait dalam hal kedatangan pelancong Barat yang berbekal representasi mengenai dunia Timur yang eksotis dalam visualisasinya.21 Di dalam hal ini orientalisme hadir sebagai tempat secara

imajiner mengenai dunia yang‘lain’, yang dibangun dalam tatanan kolonialisme. Aspek inilah yang diperkenalkan oleh Nicholas Mirzoeff sebagai visual colonialism. Beberapa hal yang terkait dengan visual colonialism adalah foto, lukisan, dan koleksi-koleksi benda seni milik pribumi. Menurut Mirzoeff visualisasi kolonialisme ini memiliki sisi penting dalam menjelaskan dan mendefinisikan tatanan kolonial.22 Jika foto dan lukisan merupakan produk visual dari kolonialisme, maka museum juga mendefinisikan sebuah keautentikan kebudayaan dari pertunjukannya, seperti halnya yang diambil oleh Java-Instituut dalam Sanaboedaja. Museum merupakan sebuah tempat yang dibangun untuk menjadi wadah dari Timur, dan merupakan sebuah kehadiran dari Timur yang

20Ibid., hal. 26-28. 21ibid.,hal. 265, 224-225.

(35)

disajikan oleh Barat.23 Mengenai museum Jessica Evans memberikan tahap-tahap

dari pembentukan museum mengenai dunia Timur. Terdapat dua fase, yang pertama pada akhir abad XVII-XVIII. Kegiatan museologi pada periode tersebut merupakan kegiatan pengumpulan koleksi benda-benda oleh Barat mengenai sesuatu yang unik, aneh, dan sensasional yang ditemui di dunia Timur.24 Fase ini adalah awal dari representasi dunia Timur sebagai dunia yang aneh dan menarik bagi Barat. Museum berfungsi sebagai penetapan nilai-nilai yang membedakan Barat sebagai peradaban yang maju dengan dunia Timur sebagai bangsa yang terbelakang, yang menunggu untuk ditemukan oleh Barat. Fase kedua mengambil pada periode abad XIX, yaitu konsolidasi dari prinsip-prinsip klasifikasi. Museum pada fase ini muncul sebagai susunan dari disiplin pengetahuan seperti geologi, anthropologi, sejarah, dan sejarah seni.25 Fase ini menjadi gambaran kemunculan

museum Sanaboedaja, yang muncul tidak hanya sebagai kegiatan pengumpulan barang yang aneh, tetapi museum Sanaboedaja hadir dalam kaitan studi-studi masyarakat Jawa, Sunda, Bali, dan Madura. Melalui tahap-tahap yang diberikan oleh Jessica Evans ini, menunjukkan hubungan yang erat antara studi-studi Jawa yang dilakukan olehJava-Instituut dengan pendirian museum Sanaboedaja.

H. Hipotesis

1. Bila studi-studi Jawa pada abad XIX merupakan sebuah pembangunan pengetahuan Barat mengenai masyarakat Jawa secara filologis, dan etnografis,

23 Edward Said,op.cit. hal. 218-219.

24 David Boswell, Jessica Evans (ed), 1999:Representing the Nation A Reader, histories, heritage,

and museums, Routledge, London and New York. hal. 7.

(36)

maka berdirinya Java-Instituut pada abad XX merupakan perkembangan studi Jawa oleh Barat yang hadir lebih sistematis mengenai masyarakat Jawa dalam bidang sejarah, anthropologi, arkeologi, seni, dan sastra, dan menjadi pendidikan bagi pribumi.

2. Bila studi Jawa yang diperankan oleh Java-Instituut merupakan upaya Barat dalam merepresentasikan masyarakat Jawa, maka gaya pemikiran Barat sebagai discourse orientalisme menjadi kerangka utama dalam menyusun pengetahuan mengenai masyarakat Jawa.

3. Bila representasi Jawa dihasilkan oleh Java-Instituut, maka museum Sanaboedaya merupakan representasi secara visual mengenai masyarakat Jawa.

I. Metodologi Penelitian

I.1. Metode Pengumpulan Data

Metode ini merupakan suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi terhadap masa lampau berdasar data yang diperoleh melalui metode sejarah disebut sebagai historiografi.26 Metode pengumpulan data yang dilakukan pada studi ini adalah studi pustaka dengan mengumpulkan data-data yang berupa artikel-artikel sebuah jurnal, arsip-arsip, dan buku-buku sebagai penunjang. Data-data yang telah terkumpul ini kemudian dianalisis melalui konsep-konsep yang telah tersedia sebagai pisau analitis.

26 Louis Gottsclak, 1975:Mengerti Sejarah : Pengantar Metode Sejarah, terj : Nugroho

(37)

Dalam penulisan sejarah, sumber-sumber yang digunakan dapat dibagi menjadi dua yaitu, sumber primer, dan sumber sekunder. Sumber primer adalah tulisan atau dokumen hasil pernyataan kesaksian seorang saksi mata yang mengalami peristiwa itu sendiri atau hidup sejaman dengan terjadinya peristiwa. Sedangkan sumber sekunder adalah tulisan atau dokumen yang merupakan kutipan atau salinan sumber lainnya.27 Sumber sekunder ini berfungsi sebagai sumber penunjang bagi sumber primer, atau juga berfungsi sebagai pisau analitis untuk sumber primer.

Selanjutnya, adalah kritik sumber. Kritik sumber merupakan tahap penulisan sejarah setelah pengumpulan data. Kritik sumber bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kredibilitas sumber, yaitu, kebenaran faktanya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. kritik sumber merupakan proses pengujian terhadap data pada penulisan sejarah.28

I.2. Metode Analisis Data

Di dalam penulisan sejarahJava-Instituutini akan digunakan data-data yang berupa artikel-artikel dari jurnalDjawa. Artikel-artikel ini akan dianalisis dengan konsep-konsep yang telah tersedia sebagai pisau analitis, antara lain, konsep mengenai orientalisme, discourse, dan visual kolonialisme. Secara ringkas mengenai bekerjanya konsep-konsep pada artikel-artikel jurnal Djawa dapat dilihat melalui uraian berikut.

27ibid., hal. 35.

28 Koentjaraningrat, 1993:Metode-metode Penelitian Masyarakat, P.T. Gramedia, Jakarta. hal.

(38)

Bab II akan diperlihatkan mengenai gagasan Foucault yang menawarkan pandangan sejarah baru pada periodecultuurstelsel hinggaPolitik Etis yang hanya dituliskan secara kronologis saja yang berpedoman dari kausalitas dari peristiwa ke peristiwa yang lainnya. Pandangan Foucault mengenai diskontinuitas sejarah tidak hanya telah memberikan sebuah pandangan baru, namun juga telah memperkaya dalam penggalian-penggalian dari kedua periode tersebut. Melalui konsep diskontinuitas Foucault, pergeseran-pergeseran, perubahan-perubahan yang terjadi pada kedua periode tersebut sangat jelas terlihat. Pandangan ini pula yang memungkinkan terlihatnya sebuah retakan sejarah pada peralihan periode tersebut, di antaranya fenomena-fenomena yang selama ini diabaikan memiliki arti penting dalam peralihan dari cultuurstelsel hingga Politik Etis. Fenomena tersebut seperti terbitnya novel Max Havelaar yang menjadi retakan sejarah kolonialisme Belanda. Novel tersebut memungkinkan pergeseran-pergeseran dari cultuurstelsel hingga Politik Etis, seperti antara lain dalam praktek kesarjanaan Javanologi, kegiatan pendidikan, dan cara-cara memperlakukan obyek kajian.

Artinya, pandangan sejarah diskontinuitas berhasil memperkaya, dan memunculkan pergeseran-pergeseran, dan perubahan dari periode cultuurstelsel hinggaPolitik Etis.

(39)

terjadi pada suatu periode dalam sejarah pemikiran, maka di bagian ini akan memperlihatkan bagaimana studi-studi Jawa dilakukan, pada apriori sejarah seperti apa studi-studi tersebut dilakukan?

Pada Politik Etis, studi Jawa memiliki nilai-nilai baru, yaitu sebuah pengetahuan mengenai Jawa yang menerima kemajuan Barat. Bagaimana kemajuan Barat dengan warisan-warisan pencerahan Barat memiliki otoritas-otoritas dalam studi-studi mengenai Jawa, bagaimana studi-studi Jawa seperti di bidang seni, sejarah, kebudayaan, bahkan filologi diterangi oleh pemikiran Barat, untuk mempertanyakan ilmu-ilmu mengenai Jawa inilah yang akan diusahakan dalam bab ini: berdiri pada dasar apa, apa yang memungkinkannya, atau otoritas siapa pengetahuan mengenai Jawa dibangun, bagaimana diberikan artikulasi kalimat seperti yang mereka katakan?

(40)

Poerbatjaraka adalah anak zamannya, yang memiliki metode Barat dalam menerangi karya-karya sastra Jawa.

Bab yang terakhir, yaitu Bab IV, akan membahas salah satu aspek dari kegiatan Java-Instituut, yaitu didirikannya museum Sanaboedaya pada tahun 1935. Seperti yang dikatakan Mirzoeff, dan Jessica Evans aspek ini adalah salah satu aspek yang menunjukkanJava-Instituutsebagai bagian dari orientalisme. Hal ini bukannya tanpa kaitan apa pun dengan studi-studi ilmiah dalamJava-Instituut, namun semakin menegaskan bagaimana Java-Instituut menjadi sebuah pembangunan mengenai Jawa, secara imajiner, sebuah dunia yang tak berubah dan semakin membedakan dengan Barat yang rasional.

J. Sistematika Penulisan

Secara menyeluruh kerangka ini akan dibicarakan dalam beberapa bab yaitu : Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Ruang Lingkup D. Tujuan Penelitian E. Manfaat Penelitian F. Tinjauan Pustaka

G. Kerangka Pikir dan Pendekatan H. Hipotesis

(41)

Bab II.Awal Studi Jawa dan BerdirinyaJava-Instituut A. Pengantar.

B. Latar Belakang Historis

B.1. Perang Jawa dan Masa Depan Kerajaan Jawa B.2. Dari Perang Jawa HinggaCultuurstelsel

B.3. Pembangunan Pengetahuan Barat Mengenai Jawa B.4. Max Havelaar dan Representasi Dunia Timur

C. Politik Etis

C.1. Dari Tagore hingga Terciptanya Elit Modern

C.2. Kongres Bahasa dan Kebudayaan 1918 dan BerdirinyaJava-Instituut

Bab IIIDiscourse PemikiranJava-Instituut A. Pengantar.

B. Abad Kemajuan Pribumi

C.Java-Instituutsebagai Representasi Orientalisme C.1. BerdirinyaJava-Instituut

C.2.Java-Instituutsebagai Konstruksi Kebudayaan dan Masa Lalu Jawa D. Gaya PemikiranJava-Instituut

E. Pemikiran Pribumi Jawa: Ranggawarsita dan Poerbatjaraka E.1. Ranggawarsita dan Hidupnya

E.2. Poerbatjaraka dan Pendidikan Barat

E.3 Poerbatjaraka sebagai Anak Zaman Kemajuan

E.4. Ranggawarsita dan Poerbatjaraka: Antara Batas-Batas Kemajuan Barat BAB IV Museum Sanaboedaja : Representasi , dan Identitas Kebangsaan Jawa

A.Pengantar

B. Visual Kolonialisme: Proyek Museum Benda-Benda Pribumi C. Konsep Bangunan Rumah Jawa

D. Museum Sanaboedaja: Transformasi Ruang, dan Bangunan Rumah Jawa E. Sistem Penataan Benda-Benda Museum Sanaboedaja dan Reprensentasi Jawa

F. Museum Sanaboedaja: Transformasi Tata Kota Jawa sebagai Representasi Jawa

(42)

BAB II

AWAL STUDI JAWA DAN BERDIRINYAJAVA-INSTITUUT

A. Pengantar

Bab ini akan membahas mengenai sejarah studi-studi Jawa dari periode cultuurstelsel hingga periode Politik Etis, dan berdirinya Java-Instituut sebagai

representasi dari kegiatan orientalisme. Pandangan Java-Instituut sebagai representasi dari orientalisme sangat penting untuk memahami eksistensi Java-Instituut sebagai sejarah penguasaan pengetahuan atas pribumi dalam

kolonialisme.

Sebelum memasuki ruang pemikiran Java-Instituut, pertama akan dipaparkan mengenai akar dari studi mengenai Jawa, yaitu Javanologi. Pemahaman mengenai Javanologi akan memudahkan untuk memahami Java-Instituut sebagai sebuah pemikiran mengenai Jawa. Sebagai studi sejarah

pemikiran tulisan ini tidak akan melepaskan kondisi sosial-politik di Jawa, sehingga sejarah pemikiran ini memiliki konteks sosial-politik sebagai tempat berpijak. Melalui pemahaman ini, dapat terlihat kejadian-kejadian politik di Jawa yang mendorong studi-studi mengenai Jawa.

(43)

untuk mengetahui pada dasar apa Java-Instituut berdiri, dan pada lapisan masyarakat mana ide-ideJava-Instituut berkembang, sehingga akan dapat dilihat adanya pergeseran-pergeseran dalam studi-studi Jawa selama periode cultuurstelsel hingga periode Politik Etis dengan berdirinya Java-Instituut.

Pergeseran-pergeseran ini akan memperlihatkan akar Java-Instituut pada studi Jawa yang telah dimulai pada abad XVIII, dan akan memperlihatkan Java-Instituutsebagai anak dari zamannya. Bab ini akan diuraikan dalam sejumlah sub-bab yang disusun secara kronologis untuk memudahkan pemahaman mengenai studi Jawa dari periodecultuurstelselhinggaPolitik Etis dengan berdirinya Java-Instituut.

B. Latar Belakang Historis

B.1. Perang Jawa dan Masa Depan Kerajaan Jawa

Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai kondisi-kondisi sebelum terjadinya Perang Jawa, dan kondisi-kondisi yang menyertai kerajaan-kerajaan Jawa setelah terjadi Perang Jawa. Kondisi-kondisi ini membawa pada pemahaman mengenai hubungan yang kompleks antara raja dengan Belanda yang di dalamnya terdapat pegawai-pegawai Belanda yang membawa kepentingan pemerintah, dan yang juga memiliki kepentingan pribadi.

Di dalam bukunya yang berjudul “Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743”, Remmelink mencoba memetakan bagaimana hubungan

(44)

Jawa, dan juga kesulitan para peneliti Jawa dalam menjawabnya.29 Ia

membandingkannya dengan teori mengenai kharisma raja oleh B. Anderson yang memandang kekuasaan raja sebagai cahaya yang memancar dari pusat, semakin jauh dari pusat semakin lemah kekuasaannya.30 Selain dengan teori Anderson,

Remmelink juga membandingkan dengan teori konsensus Ricklef yang menggambarkan kemampuan raja untuk melakukan konsensus dengan cara memanipulasi kepentingan-kepentingan di bawahnya, dengan cara memamerkan kemampuan perang dan dukungan supranaturalnya.31

Beberapa sistem kontrol yang sering dilakukan raja antara lain, dengan meminta tahanan yaitu istri dan anak-anak dari pejabat-pejabat yang ingin dikontrol, yang sering kali dilakukan pada masa krisis atau perang. Sistem kontrol yang lain dapat dilihat misalnya, padaGarebeg Mulud yang mengharuskan setiap bupati untuk menghadap raja sebagai tanda kesetiaan dengan memberikan sejumlah pajak; ketidak-hadiran seorang bupati akan dibayar dengan penurunan pangkat. Kontrol raja terhadap kekuasaannya juga dilakukan dengan mewajibkan anak-anak pejabat untuk bertugas di kraton. Kewajiban ini menjaga kesempatan untuk meneruskan jabatan ayahnya.32 Metode-metode tersebut termasuk juga melalui perkawinan politik yang tidak efektif, dan sering terjebak dalam keruwetan ikatan raja dengan pejabat di bawahnya. Metode-metode tersebut hanya akan memberi kesimpulan bahwa raja dengan sejumlah metode tersebut, baik dengan kharismanya yang lemah, maupun kegagalan konsensus yang

29 Willem Remmelink, 2002:Perang Cina Dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743, Jendela,

Yogyakarta. hal. 6-7

(45)

dibuatnya, tidak akan memberikan pemahaman yang memadai mengenai hubungan raja dengan pejabat di bawahnya.

Remmelink berpendapat bahwa hubungan antara raja dengan perangkat di bawahnya didasarkan pada jabatan dan nilai-nilai tradisi. Remmelink menolak hubungan kekuasaan berdasarkan kompetensi parapriyayi yang mendasarkan diri pada hierarki birokratis, karena perselisihan yang terdapat dalam kerajaan Jawa bukanlah sebuah perselisihan secara birokratis, namun semata-mata merupakan masalah status yang menentukan posisinya dalam politik.33 Jabatan diperoleh

melalui nilai-nilai tradisi yang menjadi dasar status para priyayi dan merupakan kekuasaan Raja untuk memberikan anugerah tersebut. Kekuasaan raja ditentukan oleh kemampuannya untuk mempertahankan monopoli pemberian jabatan ini.34

Di dalam hal ini raja memegang monopoli kehormatan dari priyayi, sehingga di hadapan raja yang menjadi sumber daya bukan tanah tetapi individu yang terikat pada status dan jabatannya. Oleh karena itu, penghitungan, penentuan kekuasaan pada suatu wilayah didasarkan pada jumlah cacah jiwa, karena tanah ikut pada jumlah jiwa. Status terkait dengan kemakmuran ekonomi yang akan diperoleh para priyayi. Priyayi mengejar kehormatan yang diberikan raja, karena kehormatan menentukan nilai nominal dirinya yang ditetapkan dalam jabatannya yang akan memberikan keuntungan ekonomi, dan juga akan menentukan posisinya dalam percaturan politik.35

Hubungan-hubungan antara raja dengan priyayi di bawahnya yang digambarkan oleh Remmelink menjadi terputus sejak selesainya Perang Jawa.

(46)

Belanda tidak hanya melakukan aneksasi-aneksasi wilayah mancanegara, tetapi juga membentuk sebuah korps bupati yang tunduk pada Belanda.36 Kekuasaan

Raja menjadi terputus baik pada monopoli kehormatan yang dijalankannya, maupun sumber daya yang menjadi kekuatannya. Belanda telah berhasil, pertama, memecah-mecah kekuasaan menjadi kekuasaan yang tersebar dan dipenuhi oleh intrik-intrik keluarga kerajaan di dalam kraton, dan kedua, Belanda berhasil membuat Raja dan bupati-bupati menjadi tergantung pada Belanda, yang terlihat dengan adanya kompensasi untuk tanah-tanah dimancanegara yang dianeksasi.

Pasca Perang Jawa adalah masa disusunnya dan ditetapkannya perjanjian-perjanjian baru. Perjanjian tersebut diserahkan pada tiga komisaris yaitu, P. Merkus, H.G. Nahuys van Burgts, dan J.I. van Sevenhoven.37 Ketiga komisaris

tersebut mengatur:

1. Penyerahan daerah-daerahmancanegara kepada Belanda, 2. Penetapan batas-batas baru,

3. Penetapan batas-batas yang jelas antara Yogyakarta dengan Surakarta, 4. Pembentukan korps bupati di bawah Pemerintahan Belanda dan memberi

statusherediter (turunan), sehingga memisahkannya dengan raja, 5. Pengaturan pembayaran kompensasi tanah dimancanegara.

Penetapan perjanjian-perjanjian setelah Perang Jawa tersebut mengakibatkan ketergantungan kerajaan terhadap Belanda.

Ketergantungan-ketergantungan raja terhadap Belanda dapat dilihat dalam penyewaan-penyewaan tanah raja, atau para pangeran kepada

pengusaha-36J.H. Vincent Houben, 2002:Keraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870,

Bentang, Yogyakarta. hal.39-40

(47)

pengusaha asing. Hubungan kepentingan ini sangatlah kompleks yang perlu dijaga di antara keduanya.38 Hal itu disebabkan karena raja, pangeran, danpriyayisecara

finansial sangat tergantung pada penyewaan-penyewaan tanah untuk membiayai gaya hidup yang sangat mahal. Di sisi lain bahwa pegawai-pegawai Belanda seperti asisten residen, penerjemah, adalah penghubung raja dengan pengusaha-pengusaha swasta, fungsi tersebut diperankan oleh pegawai seperti asisten residen atau penerjemah sebab gaji mereka sangat kecil. Hubungan-hubungan yang sangat kompleks antara raja dengan pegawai pemerintah yang di dalamnya terdapat asisten residen, penerjemah dengan pengusaha swasta, menghasilkan intrik-intrik di kalangan orang Belanda sendiri dan melahirkan pemecatan-pemecatan oleh pemerintah Belanda, seperti J.A. Wilkens seorang penerjemah yang dipecat karena kasus penyewaan tanah.39

Melalui deskripsi mengenai kondisi-kondisi di dalam kerajaan setelah Perang Jawa, Houben tidak hanya menggambarkan hubungan yang kompleks tersebut beserta kekuasaan Belanda yang semakin besar di dalam kerajaan, tetapi juga menegaskan bahwa cultuurstelsel tidak pernah terjadi di vorstenlanden. Mengenai hal ini Sartono juga menegaskan bahwa sistem tanam paksa tidak pernah terjadi di vorstenlanden.40 Di wilayah vorstenlanden tidak terjadi sistem

tanam paksa, melainkan penyewaan tanah. Dalam buku-buku sejarah kolonial penyewaan tanah dimulai pada tahun 1870, namun Houben menyatakan bahwa penyewaan tanah telah berlangsung sebelum tahun 1870. Hal ini dibuktikan

38ibid.,hal.122 39ibid.,hal. 223

40 Sartono Kartodirdjo, Djoko Suryo, 1991,Sejarah Perkebunan Di Indonesia, Aditya Media,

(48)

dengan peran yang dilakukan oleh para pegawai pemerintah seperti asisten residen, dan penerjemah. Sebagai contoh J.W. Winter, dan C.F Winter menjadi perantara bagi Sunan dengan warga Eropa dalam hal penyewaan tanah.41

Hubungan-hubungan antara Sunan dengan para penerjemah merupakan hubungan simbiotik yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Di satu sisi Sunan diuntungkan dengan adanya penyewaan tanah, di sisi lain penerjemah memilki penghasilan tambahan sebagai perantara penyewaan tanah.

Hubungan-hubungan simbiotik yang dipenuhi dengan kompleksitas itulah yang juga hidup di dalamnya kegiatan-kegiatan pengetahuan yang dilakukan oleh para penerjemah seperti C.F. Winter. Kemajuan pengetahuan harus didasari oleh terciptanya hubungan yang saling menguntungkan di kedua belah pihak. Seperti seorang penerjemah yang merupakan gambaran dari dunia ‘persesuaian’ dalam istilah Houben, yang menggambarkan hubungan antara raja dengan pemerintah Belanda, yang dari hubungannya memungkinkan terjadinya penulisan-penulisan transkripsi teks-teks Jawa, atau studi cerita-cerita Jawa. Munculnya

studi-studi mengenai Jawa tidak hanya didesak oleh pengetahuan praktis untuk memerintah Jawa setelah Perang Jawa, tetapi juga lahir karena kondisi-kondisi ekonomis raja yang tergantung pada Belanda, dan hilangnya otoritas raja terhadap para priyayi. Kondisi-kondisi tersebut mendorong raja hanya menjadi penguasa secara simbolik dengan memelihara tradisi-tradisi untuk kelangsungan kekuasaannya. Kondisi-kondisi ini mendorong persaingan politik antara kerajaan-kerajaan Jawa tidak lagi melalui perang, tetapi melalui penulisan-penulisanbabad,

(49)

serat seperti yang disebutkan oleh Tsuciya, untuk meneguhkan legitimasi secara

tradisi.42

B.2. Dari Perang Jawa HinggaCultuurstelsel

Perang Jawa dapat disebut sebagai akhir perlawanan terbesar yang dilakukan oleh bangsawan kerajaan di Jawa. Dari sudut kerugian perang, perang ini mengakibatkan korban yang sangat besar dari kedua belah pihak, di pihak Belanda terdapat 15.000 korban, dengan 8000 orang Eropa, dan 7000 serdadu pribumi, sedangkan di pihak rakyat Jawa terdapat 200.000 yang terbunuh akibat perang ini. Selain dampak yang besar dalam korban perang, Perang Jawa ini menimbulkan kebijakan-kebijakan baru dan menentukan masa depan empat kerajaan Jawa. Di dalam hal ini Ricklef mengajukan permasalahan: apakah dominasi yang telah diperoleh dapat memberikan keuntungan atau tidak?43

Perang Jawa dapat dipandang sebagai pintu masuk pemerintah Belanda untuk semakin melakukan eksploitasi ekonomi, dan dapat mengendalikan empat kerajaan Jawa yang sangat rentan mengalami konflik. Segera setelah perang berakhir, Van Den Bosch yang baru dilantik mengajukan cultuurstelsel (tanam paksa) untuk diberlakukan di tanah jajahan. Melalui kebijakan ini Van Den Bosch membawa pemerintah kolonial kembali ke dalam visinya untuk memperoleh komoditas dari tanah tropis.44

42 Kenji Tsuciya, ‘Javanology And The Age Of Ranggawarsita: An Introduction To

Nineteenth-Century Javanese Culture’,Reading South East Asia, Vol. I, New York, Cornell University Ithaca. hal. 93.

43 M.C. Ricklefs, 2005:Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi Ilmu Semesta,

Yogyakarta. hal. 259.

(50)

Secara prinsipiil cultuurstelsel adalah sistem tanaman wajib yang berupa komoditas ekspor sebagai pengganti pajak tanah yang tidak pernah menemukan hitungan yang tepat berapa jumlah yang harus dibayarkan. Sistem ini mewajibkan setiap desa untuk menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, kemudian hasil dari penanaman tersebut dibeli oleh pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan, sehingga pemerintah memperoleh keuntungan yang besar dalam pembelian komoditas ini.45 Keuntungan yang segera dirasakan adalah

tumbuhnya Amsterdam sebagai pusat dagang yang penting bagi hasil bumi daerah tropis, khususnya gula dan kopi.46

Sebagai sistem kebijakan, pemberlakuan cultuurstelsel membutuhkan pengetahuan mengenai Jawa, baik bahasa maupun masyarakatnya.47 Setiap

kebijakan kolonial juga melibatkan pengajaran pegawai-pegawai untuk berhubungan dan memperkenalkan sistem kebijakan kolonial, seperti penempatan seorang residen. Sama halnya dengan kebijakan cultuurstelsel, kebijakan-kebijakan sebelumnya, seperti pada masa Daendels, juga menunjukkan kebutuhan pengetahuan mengenai bahasa Jawa untuk memperkenalkan sistem landrent,48sehingga pembangunan pengetahuan mengenai Jawa, baik bahasa

maupun masyarakatnya terhubung langsung dengan kebijakan kolonial untuk menguasai pribumi. Kebutuhan pengetahuan tersebut merupakan bagian dari

45ibid. hal. 260-262 46ibid.,hal. 267.

47 H. Kraemer, 1932: ‘Het Instituut Voor De Javaansche Taal Te Soerakarta’, Djawa, Vol.12,

No.6. hal. 273.

48 E.M. Uhlenbeck, 1964:A Critical Survey Of Studies On The Languages Of Java And Madura,

(51)

langkah-langkah praktis dalam menjalankan pemerintahan. Dapat dilihat misalnya, pelatihan-pelatihan paraeleves dalam studi bahasa Jawa.49

Respon dari kebutuhan pelatihan paraeleves untuk studi Jawa dimulai pada tahun 1832. Sebuah Instituut Jawa di Surakarta yang dibuka pada tanggal 29 Oktober 1832 menjadi fase pertama dari permulaan studi-studi bahasa Jawa.50 Pada tahun 1832 Gericke menyewa tempat untuk 9 siswanya selama 3 tahun. Gericke yang menjadi direktur pertama dariInstituut ini memberikan pengajaran dalam ilmu bumi, sejarah Belanda, dan masyarakat Indië selama 6 jam setiap hari.51 Tujuan dari pengajaranInstituut ini adalah :

Verkrijging van grondige kennis van het Javaansch en geschiktheid tot omgang met Inlandsche grooten en den minderen Javaan.52

(Mencapai pengetahuan dasar mengenai bahasa Jawa dan pantas hingga bergaul dengan penduduk pribumi yang besar, dan lebih kurang bangsa Jawa.)

Selain Gericke, Instituut ini didukung oleh C.F. Winter. Carel Frederic Winter seorang ahli bahasa Jawa lahir di Yogyakarta pada tanggal 5 Juli 1799, adalah seorang anak dari seorang ahli bahasa Jawa yang bernama J.W Winter.53

Perannya dalam hubungan politik kolonial dengan pribumi sangat penting, terutama sebagai pengajar bagi pegawai Belanda di Vorstenlanden. Periode cultuurstelsel ini telah mendorong:

1. Pembangunan pengetahuan mengenai penduduk pribumi,

49 Kraemer,op.,cit. hal. 265, 272-273. 50ibid.,hal. 272

51ibid., 52ibid.,

(52)

2. Pengajaran-pengajaran pengetahuan mengenai pribumi yang menjadi jembatan menuju terbentuknyaJavanologi.54

Para eleves yang kemudian menjadi Javanolog memiliki arti penting pada tahap berikutnya. Javanolog seperti C.F.Winter menjadi penghubung utama dengankraton yang merupakan pusat duniaesoteris atau dunia sakral. Posisi C.F. Winter sebagai seorang penerjemah yang sejak kecilnya sudah berkecimpung dalam studi Jawa memainkan peran penting di Surakarta, baik sebagai agen dari studi yang dilakukan olehJavanologi maupun perannya sebagai seorang penulis tradisi sejarah dan genealogi bagi kepentingan para pangeran di Surakarta.55 Salah

satu contoh yang lain adalah bahwa karyanya dalam rangka menyusun standarisasi bahasa Jawa dialek Surakarta sebagai bahasa standard memberikan efek-efek aura bagi kedudukan pangeran-pangeran Jawa.56

Posisi Instituut di Surakarta menjadi sisi penting bagi Javanologi dalam studi-studi kejawaannya. Dengan berdirinya Javanologi maka terdapat dua pusat penulisan Jawa. Yang pertama adalahInstituut yang dimiliki olehJavanologi, dan kedua adalah kraton sebagai sebagai pusat penulisan-penulisan sastra yang dilakukan oleh pujangga. Hubungan keduanya memberi dampak yang besar bagi Javanologi yang memiliki tradisi kesarjanaan modern dan bagi kraton sebagai

pusat penulisan tradisional. Javanologi melalui posisinya di Surakarta berkembang menjadi lembaga penelitian yang penting mengenai masyarakat

54 Kenji Tsuciya op.,cit. hal.80. 55 Kalf,op.,cit. hal 76.

56 Bernard Arps, 1997: ‘Koning Salomo en het dwerghertje, taalpolitiek, taalonderwijs en de eerste

(53)

Jawa, terutama bahasa Jawa, sedangkan bagi kraton, hadirnya Javanologi merupakan kehadiran metode-metode kesarjanaan Barat dalam penulisan sastra di kraton.57 Dampak yang lain bagi kraton adalah berkembangnya penulisan karya

sastra karena masuknya teknologi percetakan melalui Belanda yang memperkenalkan kertas, tinta, dan sistem pembendelan.58

Berakhirnya Perang Jawa selain memiliki konsekuensi-konsekuensi politik ekonomi di Vorstenlanden juga mendorong bagi berkembangnya kesusastraan Jawa. Seperti dikemukakan di atas, Perang Jawa adalah perlawanan terakhir terhadap pemerintah Belanda sampai abad XX, dan setelah perang tersebut tercipta sebuah keadaan yang terkendali di antara 4 kerajaan di Jawa. Perang tidak lagi menjadi jalan bagi konflik-konflik yang terus terjadi di antara 4 kerajaan tersebut, tetapi telah beralih menjadi persaingan dalam penulisan sastra untuk memperkokoh legitimasi atas pewaris tradisi Jawa.59 Dapat disebutkan antara lain

Serat Centhini yang ditulis atas perintah Pakubuwana V. Para pengganti

Pakubuwana V, adalah pendukung-pendukung kegiatan sastra. Dalam perlindungan raja pula, Ranggawarsita aktif sebagai penulis sastra, yang bersahabat dengan Mangkoenegara IV yang juga seorang penulis sastra.60

Masa hidup Ranggawarsita bersamaan dengan tumbuhnya Javanologi menjadi pusat studi Jawa. Seorangpujangga seperti Ranggawarsita lebih menjadi penghubung antara Javanolog dengan kraton. Pujangga adalah intelektual

57 Sebagai contoh yang baik mengenai kehadiran metode kesarjanaan Barat dalam sastra dikraton

adalah perbandingan Ranggawarsita seorang pujanggakratondan Poerbatjaraka sebagai seorang bangsawan Jawa yang memiliki pengetahuan sastra dari kesarjanaan Barat.

58 Tsuciya,op.cit.hal. 94-95. 59ibid.. hal.93

(54)

tradisional yang tugasnya dapat disebut sebagai penjaga dunia esoteris dari kraton. Ia adalah kunci menuju dunia pengetahuan mengenai pemikiran Jawa.

Pertemuan antara C.F. Winter sebagai Javanolog dengan Ranggawarsita sebagai pujangga merupakan tempat terjalinnya hubungan-hubungan yang kompleks antara raja dengan Pemerintah Belanda. Seperti yang diuraikan oleh Houben di atas, keduanya merupakan wilayah ‘persesuaian’ antarakratondengan pemerintah Belanda.

Perbedaan pemikiran Barat terhadap pemikiran Jawa terlihat jelas pada perbedaan antara sifat-sifat Javanologi dengan kraton. Kraton adalah dunia esoteris yang memiliki penjaga kesakralan kraton yaitu pujangga. Hasil-hasil

karya sastra kraton adalah sebuah pusaka. SedangkanJavanologi sebagai lembaga kajian Jawa adalah sebuah dunia akademis yang hasil-hasil penelitiannya dipublikasikan. Hubungan Javanologi dengan kraton adalah upaya sebuah pembangunan pengetahuan mengenai masyarakat Jawa dalam bidang bahasa. Javanologi dengan metode-metode kesarjanaannya menjadikan pemikiran Jawa sebagai obyek yang dianalisis.61

Aktivitas dunia kesarjanaan Belanda terhadap dunia pemikiran Jawa tercermin dalam hubungan antara Javanolog seperti C.F.Winter dengan Ranggawarsita sebagai seorangpujangga. Di dalam pekerjaannya sebagai peneliti Javanolog C.F Winter dibantu oleh pujangga seperti Ranggawarsita yang

berfungsi sebagai informan. Informan hanya sebagai penghubung ke duniakraton, sebagai orang yang menyediakan data-data, selebihnya pengerjaan studi-studi

(55)

mengenai Jawa ada di tangan Javanolog. Di dalam pandangan Tsuciya peran pujangga adalah keikutsertaan pribumi dalam studi Jawa, dan akhirnya melalui

Java-Instituutpribumi berpartisipasi dalam studi-studi Jawa. Namun, tanpa orang-orang pribumi aktivitasJavanologisama sekali tidak akan pernah berjalan, karena terbatasnya pengetahuan Barat. Javanologi memiliki dunia yang terpisah dengan kraton. Javanolog memiliki metode-metode pengetahuannya untuk membangun

sebuah tradisi pemikiran Jawa, yang berbeda dengan dunia Ranggawarsita sebagai pujangga. Hasil-hasil studi tersebut sepenuhnya menjadi bagianJavanologi untuk

dipublikasikan sebagai penggambaran dunia exoteris.62 Mengenai aktivitas

studi-studi Jawa yang diperankan oleh Javanologi, Tsuciya memandang bahwakraton adalah museum,63 sebuah dunia yang telah ditata oleh Javanologi.Kraton adalah

gudang data yang melalui metode-metode Barat ditransfer dalam dunia yang telah ditata, seperti sebuah museum.

Permasalahan yang dikemukakan oleh Ricklef mengenai: apakah dominasi yang diperoleh dari Perang Jawa dapat menghasilkan keuntungan? memang telah terbukti dengan keuntungan finansial sebanyak 832 juta florins. Namun, di sisi lain seperti yang telah diuraikan di atas, keuntungan tersebut tidak hanya berupa keuntungan finansial, tetapi dominasi budaya yang diperolehJavanologi.

B.3. Pembangunan Pengetahuan Barat Mengenai Jawa

Kegiatan studi-studi Jawa pada paruh pertama, yaitu sebelum Politik Etis dan berdirinya Java-Instituut, merupakan upaya pembangunan pengetahuan

Referensi

Dokumen terkait

Bagi para pelatih dalam proses latihan agar mencoba latihan ladder drill. sebagia varian latihan untuk meningkatkan kemampuan kelincahan

Tujuan dari penelitian merancang dan membuat perangkat keras antarmuka telepon dengan komputer untuk komunikasi telepon IP pada jaringan lokal komputer untuk

Apakah dalam 12 bulan terakhir, Saudara pernah didiagnosis menderita Hipertensi/ Tekanan darah tinggi oleh tenaga

of Spirituality as Identified by Adolescent Mental Health

mengungkapkan / operasi pasar yang dilakukan disesuaikan dengan hari pasaran / sehingga masyarakat dapat langsung membeli beras dari bulog tersebut // Dari data bulog menurut Murino

// Berperahu mengelilingi waduk dan mendatangi rumah makan terapung menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.// Mereka dengan mudah juga bisa mendapatkan ragam ikan segar

Yang bertanda tangan dibawah ini Kelompok Kerja (Pokja) Pemagaran Gedung Kantor Pengadilan Agama Tanjung Selor, pada hari ini RABU , tanggal TIGA bulan JUNI¸ tahun DUA

DESKRIPSI MATA KULIAH : Dibahas latar belakang OMPE, prinsip-prinsip organisasi, teori manajemen, fungsi-fungsi manajemen meliputi: perencanaan, penggorganisasian, penggerakan,