commit to user 60
BAB III ANALISIS DATA
Analisis adalah inti dari sebuah penelitian. Penelitian ini mengkhususkan mengenai simbol-simbol dalam film. Film merupakan hasil proses kreatif para sineas yang memadukan berbagai unsur seperti gagasan sistem nilai, hidup, keindahan, norma, tingkah laku manusia, dan kecanggihan teknologi.
Scene adalah gabungan dari shot yang menggambarkan peristiwa yang berkesinambungan. Shot hanya menyampaikan sangat sedikit informasi. Setelah peneliti mengumpulkan beberapa scene, tahap berikutnya ialah melakukan metode analisis semiotik. Semiotik yang diterapkan ialah menempatkan film sebagai unsur utama dengan mengambil “teks” berguna untuk naskah dalam format audio visual serta terkandung makna.
Hal-hal yang berkaitan dengan film yaitu rangkaian gambar, dialog para pemain, pencahayaan, dan musik pengiring. Gambar-gambar membentuk rangkaian cerita sehingga penonton dapat menangkap pesan dari film tersebut.
Begitu pula dalam film Sang Pencerah, film ini berusaha menyampaikan pesan
nilai moral kepada penontonnya, peneliti menggunakan analisis semiotik Roland Barthes. Pemaknaan analisis semiotik Roland Barthes mempunyai dua tingkatan makna yaitu signifikasi tahap pertama (denotasi) dan signifikasi tahap kedua (konotasi).
commit to user
A. Makna Denotasi dan Makna Konotasi
Scene-scene yang menunjukkan adanya nilai moral dalam film Sang
Pencerah yaitu sebagai berikut :
Gambar 1 Scene 1 Shot 2
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana seseorang membakar menyan, yaitu menyan berwarna hitam ditaruh diatas tempat yang terbuat dari tanah liat berwarna hitam berbentuk bulat. Lalu menyan tersebut dibakar dengan menggunakan api. Kemudian timbul asap dan bebauan khas menyan. Setelah itu, diletakkan diatas tikar anyaman terbuat dari pandan berwarna kuning.
Pengambilan gambar secara Medium Shot (MS), high angle dan
pencahayaan low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan
commit to user
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar dimana seseorang membakar menyan. Tujuan dibakarnya menyan ialah untuk meminta kepada Allah supaya terkabul apa yang diminta. Menyan yang digunakan berwarna hitam mempunyai makna tingkatan paling tinggi (Hasil Wawancara dengan Mbah Dalang). Dengan cara menyan ditaruh diatas tempat yang terbuat dari tanah liat bernama bokor (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto), berbentuk bulat mempunyai makna membulatkan tekad sesuai apa yang diharapkan. Bokor berwarna coklat karena terbuat dari tanah liat dan dibakar. Kemudian menyan tersebut dibakar dengan menggunakan api. Setelah itu, bokor yang sudah diberi menyan dan dibakar, diletakkan diatas tikar yang terbuat dari pandan (tilam lampus). Pandan (tilam lampus) menggambarkan bahwa manusia akan mati, berwarna kuning karena kalau pandan sudah kering memang berwarna kuning sehingga sudah menjadi kodrat dari Allah (Hasil Wawancara dengan Mbah Dalang). Makna diatas sebenarnya kepercayaan dari Tradisi Jawa tepatnya di Jogjakarta saat itu. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Menurut penulis, seseorang dalam film Sang Pencerah tersebut
menyalakan menyan untuk pelengkap dalam berdoa. Seseorang yang berada di Film Sang Pencerah tinggal di kampung Kauman, sekitar Masjid Besar Kauman yang berada di lingkup Keraton Jogjakarta. Tetapi agama Islam pada
commit to user
saat itu terkesan masih sesat atau tidak sesuai dalam Al-Qur‟an. Karena sebagian besar warga Kauman masih melakukan tradisi-tradisi yang berbau Islam. Tradisi ini dulu digunakan sebagai strategi dakwah supaya agama Islam lebih mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Namun, sampai sekarang tradisi ini menjadi suatu keharusan dan kepercayaan didalam agama Islam karena masyarakat salah paham dalam menerima pengetahuan (Tim Abdi Guru, 2006:139). Di dalam agama Islam berdoa kepada Allah tidak perlu melalui pelengkap atau pun perantara, karena hal itu termasuk syirik bahwa mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, seperti yang sudah terkandung dalam QS. Yunus ayat 18.
Sebenarnya pada saat jaman dahulu orang tidak mengenal parfum. Seperti kuburan dan tempat-tempat yang dianggap keramat dulu mempunyai bau yang tidak enak. Jadi, tempat yang dianggap keramat dan kuburan diberi menyan supaya harum (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto). Adegan ini menunjukkan nilai moral ibadah yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam.
Pengambilan gambar secara Medium Shot (MS) menggambarkan suatu
kejelasan bahwa menyan masih digunakan untuk pelengkap dalam memohon
permintaan. Sudut pandang kamera secara high angle dalam gambar ini
digunakan agar penonton dapat melihat jelas sebenarnya menyan tidak memiliki kekuatan untuk memperlancar harapan agar terkabul.
commit to user
Gambar 2 Scene 1 Shot 3
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar seseorang mencuci tangan dengan air yang diberi bunga. Air dan bunga tersebut ditaruh di wadah yang terbuat dari tanah liat berwarna coklat berbentuk bulat. Bunga yang digunakan ialah bunga mawar yang berwarna merah dan putih. Setelah itu wadah yang sudah berisi air dan bunga diletakkan diatas tikar yang terbuat dari pandan berwarna kuning dan diletakkan bersebelahan dengan menyan. Kemudian mencuci tangan dengan cara kedua tangan dimasukkan ke dalam wadah tersebut.
Pengambilan gambar secara Medium Shot, high angle dan pencahayaan
Low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan efek suara.
Efek suara yang ada, yaitu bunyi suara musik rebana dan lantunan bacaan ayat suci Al-Qur‟an.
commit to user
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar seseorang mencuci tangan dengan air yang diberi bunga dengan tujuan supaya tidak terjadi sengkala dan godaan jin, setan tidak mendekat. Air dan bunga tersebut ditaruh di wadah yang terbuat dari tanah liat yang dibakar bernama bokor, berbentuk bulat mempunyai makna membulatkan tekad sesuai apa yang diharapkan. Bokor berwarna coklat karena terbuat dari tanah liat dan dibakar (Hasil Wawancara dengan Mbah Dalang). Bunga yang digunakan ialah bunga mawar berwarna merah dan putih yang memiliki makna bagaimana keberanian menghadapi hidup yang dilandasi dengan kesucian hati (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto). Setelah itu wadah yang sudah berisi air dan bunga diletakkan diatas tikar yang terbuat dari pandan (tilam lampus). Pandan (tilam lampus) menggambarkan bahwa manusia akan mati, berwarna kuning karena kalau pandan sudah kering memang berwarna kuning sehingga sudah menjadi kodrat dari Allah dan diletakkan bersebelahan dengan menyan. Kemudian mencuci tangan dengan cara kedua tangan dimasukkan ke dalam wadah tersebut (Hasil Wawancara dengan Mbah Dalang). Makna diatas sebenarnya kepercayaan dari tradisi Jawa tepatnya di Jogjakarta saat itu. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
commit to user
Menurut penulis, seseorang dalam film Sang Pencerah menjelaskan
jika mencuci tangan dengan air dan bunga supaya tidak terjadi halangan.
Seseorang yang berada di Film Sang Pencerah tinggal di kampung Kauman,
sekitar Masjid Besar Kauman yang berada di lingkup Keraton Jogjakarta. Tetapi agama Islam pada saat itu terkesan masih sesat atau tidak sesuai dalam Al-Qur‟an. Karena sebagian besar warga Kauman masih melakukan tradisi-tradisi yang berbau Islam. Tradisi ini dulu digunakan sebagai strategi dakwah supaya agama Islam lebih mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Namun, sampai sekarang tradisi ini menjadi suatu keharusan dan kepercayaan didalam agama Islam karena masyarakat salah paham dalam menerima pengetahuan (Tim Abdi Guru, 2006:139). Di dalam agama Islam berdoa kepada Allah tidak perlu melalui pelengkap atau menyamakan dengan Allah, karena hal itu termasuk syirik bahwa mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, seperti yang sudah terkandung dalam QS. Yunus ayat 18. Adegan ini menunjukkan nilai moral ibadah yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam.
Pengambilan gambar secara Medium Shot (MS) menggambarkan suatu
kejelasan bahwa air bunga masih digunakan untuk menghindarkan sengkala.
Sudut pandang kamera secara high angle dalam gambar ini digunakan agar
penonton dapat melihat jelas sebenarnya air bunga tidak memiliki kekuatan terhindar dari sengkala.
commit to user
Scene 3
Gambar 3a Shot 8 Gambar 3b Shot 9
Gambar 3c Shot 11 Gambar 3d Shot 13
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar 3a, dimana diadakan tedak siten dengan disajikan banyak aneka jenis makanan. Makanan tersebut ditaruh diatas tampah yang terbuat dari bambu dan berlambarkan daun pisang. Aneka makanan tersebut seperti nasi putih yang dibentuk kerucut atasnya diberi cabe merah dan dililit kacang panjang kemudian disekelilingnya ada telur ayam rebus, kulupan. Ditampah lainnya berisi makanan apem, ketan putih, jenang
merah putih, pisang raja, jajanan pasar. Pengamb3ilan gambar secara Medium
commit to user
Pada gambar 3b, saat akan prosesi menginjak jadah bayi (Muhammad Darwis) memakai jarik yang dililit dibadan dari pinggang sampai bawah lutut lalu diberi stagen. Jarik tersebut bermotif dan berwarna coklat. Sang ayah (Kyai Abu Bakar) memakai atasan berlengan panjang bermotif garis-garis berwarna coklat muda dan hitam. Sedangkan bawahannya memakai jarik warna coklat tua dan hitam yang bermotif. Kyai Abu Bakar juga memakai blangkon berwarna coklat tua dikepala. Untuk ibu (Siti Aminah) dikepala memakai kain polos berwarna coklat. Baju yang dipakai Siti Aminah atasan mengenakan baju berlengan panjang berwarna biru kemudian bawahan mengenakan jarik bermotif berwarna coklat tua. Tradisi tedak siten juga dihadiri warga Kauman baik laki-laki atau perempuan. Warga Kauman yang laki-laki memakai baju atasan kain berlengan panjang, warnanya pun setiap orang berbeda dan polos. Bawahan memakai jarik yang umumnya bermotif berwarna coklat. Warga Kauman perempuan memakai baju atasan kain berlengan panjang, umumnya polos, setiap perempuan warnanya berbeda. bawahannya juga memakai jarik yang umumnya berwarna coklat.
Bayi (Muhammad Darwis) dituntun Kyai Abu Bakar dan Siti Aminah untuk menginjak jadah putih yang ditaruh di masing-masing lemper berjumlah tujuh dan berlambarkan daun pisang. Lemper berbentuk bulat dan berwarna
coklat. Pengambilan gambar secara Very Long Shot dan straight angle.
Gambar 3c, pada waktu bayi (Muhammad Darwis) dituntun Kyai Abu Bakar dan Siti Aminah menaiki tangga satu persatu dari urutan bawah hingga
commit to user
urutan yang paling atas. Tangga tersebut terbuat dari tebu wulung.
Pengambilan gambar secara Long Shot (LS) dan straight angle.
Setelah itu pada gambar 3d, bayi (Muhammad Darwis) dimasukkan ke dalam kurungan oleh Kyai Abu Bakar dan Siti Aminah. Kurungan berbentuk melengkung seperti kurungan ayam yang terbuat dari bambu berwarna kuning. Didalam kurungan tersebut terdapat mainan dan buku. Diluar kurungan dihiasi roncean bunga melati dan janur kuning berbentuk bunga-bunga. Pengambilan
gambar secara Medium Close Up (MCU) dan straight angle. Pencahayaan Low
key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan efek suara. Efek
suara yang ada, yaitu bunyi musik rebana.
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar 3a, dimana diadakan tedak siten dengan disajikan banyak aneka jenis makanan. Makanan tersebut ditaruh diatas tampah yang terbuat dari bambu yang memiliki makna deling: dikandelne elinge yaitu bagaimana ingatan kita kepada Sang Pencipta Alam dan berlambarkan daun pisang supaya bersih. Aneka makanan tersebut seperti nasi putih yang dibentuk kerucut mempunyai makna piramida kehidupannya semakin tua kedepannya semakin bagus atau mendekatkan kita kepada Allah diatasnya ada cabe merah untuk tolak bala dan dililit kacang panjang memiliki makna supaya panjang umur (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto). Kemudian disekelilingnya ada telur ayam rebus maknanya hanya sebagai rangkaian dari kulupan, kulupan memiliki makna supaya adem ayem tentrem. Ditampah lainnya berisi makanan apem memiliki makna minta
commit to user
ampunan, ketan putih, jenang merah putih, pisang raja memiliki makna supaya kedepannya hidupnya sejahtera, jajanan pasar mempunyai makna supaya kalis alangan yaitu supaya tidak ada halangan (Hasil Wawancara dengan Mbah
Dalang). Pengambilan gambar secara Medium Shot (MS) agar penonton dapat
melihat jelas makanan yang disajikan untuk tedak siten. Sudut pandang kamera
high angle agardapat melihat dengan jelas makanan yang digunakan pada saat
tedak siten tidak memiliki kekuatan.
Pada gambar 3b, bayi (Muhammad Darwis) dituntun Kyai Abu Bakar dan Siti Aminah untuk menginjak jadah putih yang ditaruh di masing-masing lemper berjumlah tujuh memiliki makna mengenalkan anak dengan bumi karena jadah berasal dari bumi dan berlambarkan daun pisang supaya bersih (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto). Lemper berbentuk bulat memiliki makna membulatkan tekad sesuai apa yang diharapkan, berwarna coklat karena terbuat dari tanah liat dan dibakar (Hasil Wawancara dengan Mbah Dalang).
Pengambilan gambar secara Very Long Shot supaya penonton dapat melihat
jelas suasana dan latar belakang saat Kyai Abu Bakar dan Siti Aminah menuntun bayi (Muhammad Darwis) dalam tedak siten. Sudut pandang kamera
secara straight angle karena dalam kegiatan berjalan diatas jadah merupakan
hal yang sudah biasa dilakukan di tradisi.
Gambar 3c, pada waktu bayi (Muhammad Darwis) dituntun Kyai Abu Bakar dan Siti Aminah menaiki tangga satu persatu dari urutan bawah hingga urutan yang paling atas. Tangga tersebut terbuat dari tebu wulung memiliki makna anteping kalbu yaitu melewati tangga-tangga kehidupan hati harus kuat
commit to user
dan supaya nanti bayi (Muhammad Darwis) dapat menggapai cita-cita dengan setinggi-tingginya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto). Pengambilan
gambar secara Long Shot (LS) supaya penonton dapat melihat jelas objek dan
latar belakang dari suasana saat menaiki tangga. Sudut pandang kamera secara
straight angle menunjukkan bahwa saat prosesi menaiki tangga merupakan
kesan yang wajar.
Setelah itu pada gambar 3d, bayi (Muhammad Darwis) dimasukkan ke dalam kurungan oleh Kyai Abu Bakar dan Siti Aminah memiliki makna memasuki lingkungan pergaulan itu ada batasnya tetapi batas itu jangan sampai membatasi pergaulan tersebut, tetap melihat kanan kirinya. Kurungan berbentuk melengkung seperti kurungan ayam yang terbuat dari bambu berwarna kuning yang memiliki makna deling: dikandelne elinge yaitu bagaimana ingatan kita kepada Sang Pencipta Alam. Didalam kurungan tersebut terdapat mainan dan buku maknanya ialah mempunyai keyakinan lambang untuk masa depan. Diluar kurungan dihiasi roncean bunga melati dan janur kuning berbentuk bunga-bunga berfungsi sebagai hiasan. Pengambilan
gambar secara Medium Close Up (MCU) agar penonton lebih terfokus
rangkaian prosesi saat bayi (Muhammad Darwis) masuk ke dalam kurungan.
Sudut pandang kamera secara straight angle agar penonton melihat saat prosei
bayi (Muhammad Darwis) memasuki kurungan menunjukkan kesan wajar. Makna diatas sebenarnya kepercayaan dari tradisi Jawa tepatnya di Jogjakarta saat itu. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung
commit to user
bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Menurut penulis, Kyai Abu Bakar dan Siti Aminah sedang melaksanakan tradisi tedhak siten. Kyai Abu Bakar adalah seorang khatib di masjid Besar Kauman dan Siti Walidah adalah istri beliau. Kyai Abu Bakar masih mengikuti tradisi Islam sesuai yang dianut oleh Kyai Penghulu Masjid Besar Kauman Jogjakarta yaitu Kyai Cholil Kamaludiningrat. Kepercayaan mengenai agama Islam tidak sesuai yang diajarkan dalam Al-Qur‟an. Pada saat itu sebagian besar warga kampung Kauman masih mengikuti ajaran Syeh Siti Jenar yang setiap berdoa atau meminta permintaan selalu menggunakan sebuah tradisi. Tedhak siten merupakan tradisi turun tanah yaitu ketika anak pertama berumur pitung lapan (245 hari) yang sedang berjalan berjalan kaki. Tujuannya untuk mengenalkan alam dan kehidupan disekitarnya (Gesta Bayuadhy, 2015:32).
Tradisi ini dulu digunakan sebagai strategi dakwah supaya agama Islam lebih mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Namun, sampai sekarang tradisi tedhak siten menjadi suatu keharusan didalam agama Islam karena masyarakat salah paham dalam menerima pengetahuan. Sebenarnya didalam agama Islam jika memiliki permintaan atau pun berdoa tidak perlu dengan menggunakan perantara dan pelengkap, karena itu bisa dianggap syirik bahwa mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, seperti yang terkandung dalam
commit to user
QS. Yunus ayat 18. Adegan ini menunjukkan nilai moral ibadah yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam.
Scene 6
Gambar 4a Shot 20 Gambar 4b Shot 21
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene ini dimulai dengan gambar 4a, dimana para warga Kauman berarak-arakan membawa dua tandu yang terbuat dari bambu, berisi makanan ke tempat dimana warga Kauman dan para Kyai Masjid Besar Kauman akan tahlilan di makam. Makanan tersebut seperti, tandu pertama berisi nasi putih ukuran besar berbentuk kerucut yang diatasnya diberi cabe merah dan bawang merah serta dililit kacang panjang. Disekililing tumpeng diberi aneka jenis makanan seperti kulupan, telur ayam rebus, ayam panggang, sambel goreng, tahu, tempe, apem, jajanan pasar. Kemudian di keempat sudut ada tumpeng berukuran sedang. Tandu yang kedua berisi sayur mayur seperti wortel, timun, daun bawang, daun seledri.
Warga Kauman yang membawa tandu umumnya laki-laki. Namun warga Kauman tersebut tidak memakai baju hanya memakai kain jarik yang dililit dengan stagen dari pinggang sampai mata kaki. Kain jarik bermotif dan
commit to user
berwarna coklat. Kemudian dikepala memakai blangkon yang bermotif
berwarna putih. Pengambilan gambar secara Group Shot dan High Angle.
Kemudian pada gambar 4b, dimana Kyai Cholil Kamaludiningrat membawa tasbih selaku Kyai Penghulu Masjid Besar Kauman yang memimpin tahlilan dengan para Kyai Masjid Besar Kauman seperti Kyai Abu Bakar, Kyai Lurah Noor dan Kyai yang lain serta warga Kauman. Kyai Masjid Besar Kauman memakai gamis panjang berwarna putih dan dikepalanya memakai blangkon bermotif berwarna coklat. Para Kyai duduk bersila sambil mengucap lafal Laillahilallah dengan didepannya terdapat menyan, air bunga setaman, dan makam. Menyan tersebut ditaruh ditempat yang berwarna coklat dan terbuat dari tanah liat. Sedangkan air bunga setaman berisi air dan bunga
mawar merah putih. Pengambilan gambar secara Group Shot dan High Angle.
Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan efek suara. Efek suara yang ada, yaitu bunyi suara lantunan ayat suci Al-Qur‟an.
Signifikasi tahap kedua (konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar 4a, dimana para warga Kauman berarak-arakan membawa dua tandu terbuat dari bambu memiliki makna deling: dikandelne elinge yaitu bagaimana ingatan kita kepada Sang Pencipta Alam, yang berisi makanan ke tempat dimana warga Kauman dan para Kyai Masjid Besar Kauman akan tahlilan di makam. Makanan tersebut seperti, tandu pertama berisi nasi putih ukuran besar berbentuk kerucut mempunyai makna piramida kehidupannya semakin tua kedepannya semakin bagus atau mendekatkan kita kepada Allah diatasnya ada cabe untuk tolak bala
commit to user
yang ditempatkan dibakul yang diatasnya diberi cabe merah dan bawang merah untuk tolak bala serta dililit kacang panjang memiliki makna supaya panjang umur (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto). Disekililing tumpeng diberi aneka jenis makanan seperti kulupan memiliki makna supaya adem ayem tentrem, telur ayam rebus maknanya hanya sebagai rangkaian dari kulupan, ayam panggang dikirim kepada leluhur, sambel goreng, tahu, tempe untuk lauk pauk makanan, apem memiliki makna minta ampunan, jajanan pasar mempunyai makna supaya kalis alangan yaitu supaya tidak ada halangan. Kemudian di keempat sudut ada tumpeng berukuran sedang. Tandu yang kedua berisi sayur mayur seperti wortel, timun, daun bawang, daun seledri (Mbah
Dalang). Pengambilan gambar secara Group Shot agar terlihat jelas oleh
penonton bahwa warga Kauman sedang melakukan aktivitas berarak-arakan sambil membawa dua tandu yang berisi makanan. Sudut pandang kamera
secara High Angle agar penonton dapat melihat bahwa warga Kauman yang
berarak-arakkan membawa dua tandu berisi makanan untuk tahlilan tidak memiliki kekuatan.
Kemudian pada gambar 4b, dimana Kyai Cholil Kamaludiningrat membawa tasbih selaku Kyai Penghulu Masjid Besar Kauman yang memimpin tahlilan dengan para Kyai Masjid Besar Kauman seperti Kyai Abu Bakar, Kyai Lurah Noor dan Kyai yang lain serta warga Kauman. Para Kyai duduk bersila sambil mengucap lafal Laillahilallah yang artinya Allah hanya satu, tidak ada sesembahan kecuali Allah, dengan didepannya terdapat menyan, air bunga setaman, dan makam (Hasil Wawancara dengan Mbah Dalang). Menyan
commit to user
tersebut ditaruh ditempat yang bernama bokor, berwarna coklat dan terbuat dari tanah liat karena dibakar. Sedangkan air bunga setaman berisi air dan bunga mawar merah putih memiliki makna bagaimana keberanian menghadapi hidup yang dilandasi dengan kesucian hati (Hasil Wawancara dengan Joko
Daryanto). Pengambilan gambar secara Group Shot agar penonton melihat
aktivitas para Kyai Masjid Besar Kauman dan warga Kauman yang sedang tahlilan dimakam dengan berbagai perantara. Sudut pandang kamera secara
High Angle agar penonton dapat melihat jelas bahwa apa yang dilakukan Kyai
Cholil Kamaludingrat selaku Penghulu Masjid Besar Kauman dan Kyai yang lainnya serta warga Kauman nampak tidak memiliki kekuatan apapun saat melakukan tahlilan dengan berbagai perantara. Makna diatas sebenarnya kepercayaan dari tradisi Jawa tepatnya di Jogjakarta saat itu. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Menurut penulis, Kyai Cholil Kamaludinigrat, Kyai Lurah Noor dan para Kyai yang lain serta warga Kauman tahlilan menggunakan menyan untuk pelengkap dalam memohon suatu permintaan begitu pula dengan air bunga setaman mawar merah dan putih. Tahlilan dilakukan langsung didepan makam orang yang sedang didoakan, supaya doa-doanya bisa segera terkabul. Para Kyai dan warga Kauman masih mengikuti ajaran Syeh Siti Jenar yang setiap berdoa selalu ada tradisi maupun perantara dan pelengkap. Tradisi ini dulu
commit to user
digunakan sebagai strategi dakwah supaya agama Islam lebih mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Namun, sampai sekarang tradisi ini menjadi suatu keharusan dan kepercayaan didalam agama Islam karena masyarakat salah paham dalam menerima pengetahuan (Tim Abdi Guru, 2006:139). Hal tersebut sebenarnya masih dianggap sesat oleh agama Islam karena tidak tertulis dalam Al-Qur‟an. Di dalam agama Islam tahlilan itu dilakukan dengan berdoa langsung kepada Allah tanpa melalui suatu perantara dan pelengkap, karena itu bisa dianggap syirik bahwa mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, sesuai yang terkandung dalam QS. Yunus ayat 18. Adegan ini menunjukkan nilai moral ibadah yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam.
Scene 7
Gambar 5a Shot 24 Gambar 5b Shot 28 Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar 5a, seorang bapak dan ibu warga Kauman sedang melakukan tradisi doa dibawah pohon beringin. Bapak dan ibu warga Kauman tersebut duduk bersila dengan beralaskan tanah
commit to user
kemudian sedikit merunduk tangan ditaruh tepat didepan muka dengan mengucapkan “kakang kawah adi ari-ari” dan didepannya disajikan aneka jenis makanan. Aneka jenis makanan yang ditaruh diatas tampah yang terbuat dari bambu dan dilambari daun pisang. Makanan tersebut seperti nasi putih berbentuk kerucut diatasnya ada cabe yang ditempatkan dibakul, kulupan, telur ayam rebus, ketan putih, apem, kelapa, pisang raja. Sedangkan saat berdoa ibu
warga Kauman tersebut menyebut “kakang kawah adi ari-ari”.
Bapak memakai baju atasan kain berlengan panjang bermotif garis-garis berwarna coklat, bawahan memakai kain jarik bermotif berwarna coklat, dikepalanya memakai blangkon berwarna hitam coklat. Untuk ibu memakai atasan kain polos berwarna biru muda, bawahan memakai kain jarik yang diberi stagen. Jarik bermotif berwarna coklat. Namun ibu warga Kauman sambil menyelempangkan kain dibadannya, kain tersebut berwarna putih dan
coklat. Dengan pengambilan gambar secara Very Long Shot dan straight angle.
Kemudian gambar beralih pada gambar 5b, setelah selesai berdoa bapak ibu warga Kauman meninggalkan sesajen makanannya dibawah pohon beringin. Saat kembali lagi, bapak dan ibu warga Kauman kaget kalau sesajen makanannya yang ditaruh dibawah pohon beringin hilang. Namun, bapak tersebut menegaskan ke ibunya bahwa jika sesajen makanan hilang berarti doa
tersebut diterima. Dengan pengambilan gambar Two Shot dan straight angle.
Pencahayaan low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini
commit to user
rebana dan tembang jawa. Dialog yang terjadi antara seorang bapak dan ibu adalah sebagai berikut:
Ibu : “Lho.. lho.. Pakne-pakne sesajen kita kok ilang to pakne?, pasti
ada yang mencuri ini.”
Bapak : “Nek ngono kuwi berarti sesajine kita ditompo Mbokne.”
Ibu : “Matur nuwun mbah. Matur nuwun, matur nuwun.”
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar 5a, seorang bapak dan ibu warga Kauman sedang melakukan ritual doa dibawah pohon beringin artinya bahwa pohon beringin menjadi tempat yang sakral dan mempunyai kepercayaan terhadap pohon beringin. Dan menyajikan aneka jenis makanan yang ditaruh diatas tampah yang terbuat dari bambu yang memiliki makna deling: dikandelne elinge yaitu bagaimana ingatan kita kepada Sang Pencipta Alam dan berlambarkan daun pisang supaya bersih. Makanan tersebut seperti nasi putih berbentuk kerucut mempunyai makna piramida kehidupannya semakin tua kedepannya semakin bagus atau mendekatkan kita kepada Allah diatasnya ada cabe untuk tolak bala yang ditempatkan dibakul (Joko Daryanto), kemudian kulupan memiliki makna supaya adem ayem tentrem, telur ayam rebus maknanya hanya sebagai rangkaian dari kulupan, ketan putih tujuannya untuk memberitahu amongnya (saudara ghaibnya), apem memiliki makna minta ampunan, kelapa maknanya supaya bisa mendapat derajat pangkat, pisang raja memiliki makna supaya kedepannya hidupnya sejahtera jajanan pasar mempunyai makna supaya kalis alangan yaitu supaya tidak ada halangan
commit to user
(Mbah Dalang). Sedangkan saat berdoa ibu warga Kauman tersebut menyebut
“kakang kawah adi ari-ari”. Sebelum kita lahir kawahe pasti pecah dulu, itu
kakangnya. Baru kawah pecah kita lahir, habis lahir ari-arinya ikut keluar itu adiknya. Artinya orang Jawa punya pandangan kita tidak sendiri, kita meskipun
sendiri punya saudara kiblat papat limo pancer. Jadi, kita punya saudara empat
ning etan, kulon, lor, kidul lan tengah. Tengahnya itu kita sendiri. Hal itu
dianggap mempermudah bapak dan ibu warga Kauman dalam meminta doa,
karena dibantu dengan yang dianggap sing ngemong jiwa ragane bapak ibu
tersebut sehingga doa dikabulkan Allah (Joko Daryanto). Pengambilan gambar
secara Very Long Shot agar menekankan suasana saat berdoa melakukan ritual
dengan cara menyajikan makanan dan bertempat dibawah pohon beringin
kepada penonton. Sudut pandang kamera secara straight angle supaya
penonton mengetahui pada saat itu sesajen merupakan sesuatu hal yang wajar. Kemudian gambar beralih pada gambar 5b, setelah selesai berdoa bapak ibu warga Kauman meninggalkan sesajen makanannya dibawah pohon beringin. Saat kembali lagi, bapak dan ibu warga Kauman kaget kalau sesajen makanannya yang ditaruh dibawah pohon beringin hilang. Namun, bapak tersebut menegaskan ke ibunya bahwa jika sesajen makanan hilang berarti doa
tersebut diterima. Dengan pengambilan gambar Two Shot agar penonton
mengetahui pemahaman mengenai pengertian sesajen pada saat itu, penonton bisa lebih merasa tertarik dengan pembicaraan bapak dan ibu warga Kauman yang mempercayai hilangnya makanan sesajen karena doa diterima. Sudut
commit to user
saat itu hilangnya makanan sesajen pertanda bahwa doa diterima dan dikabulkan sudah menjadi kepercayaan pada warga Kauman merupakan hal yang wajar. Makna diatas sebenarnya kepercayaan dari tradisi Jawa tepatnya di Jogjakarta saat itu. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Menurut penulis, warga Kauman dalam berdoa tidak cukup diucapkan melalui mulut dan hati. Rasanya kurang afdhal atau kurang besar tekadnya dalam berdoa apabila tidak diwujudkan dalam berbagai simbol yang terdapat dalam sesajen (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto). Tetapi, kenyataannya makanan sesajen itu hilang bukan pertanda diterima doanya melainkan diambil oleh Muhammad Darwis saat bapak dan ibu warga Kauman meninggalkan tempat tersebut sebentar. Muhammad Darwis merasa apa yang dilakukan bapak ibu warga Kauman tidak sesuai dengan Al-Qur‟an. Karena warga Kauman yang beragama Islam menganut aliran Syeh Siti Jenar dan Kyai Cholil Kamaludinigrat sebagai Kyai Penghulu Masjid Besar Kauman juga menganut paham tersebut. Tradisi ini dulu digunakan sebagai strategi dakwah supaya agama Islam lebih mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Namun, sampai sekarang tradisi ini menjadi suatu keharusan dan kepercayaan didalam agama Islam karena masyarakat salah paham dalam menerima pengetahuan (Tim Abdi Guru, 2006:139).
commit to user
Bapak ibu warga Kauman mempunyai kepercayaan bahwa dengan semua itu disajikan keinginannya akan diterima. Namun, menyajikan makanan sebagai perantara doa itu tidak memiliki kekuatan sama sekali apalagi bertempat di bawah pohon beringin. Ini dikarenakan pada saat itu bapak ibu warga Kauman masih awam, yang mempunyai Sumber Daya Manusia yang rendah, sehingga berdoa meminta dipohon dan diberikan aneka makanan bisa disebut syirik. Didalam agama Islam berdoa langsung kepada Allah tanpa melalui perantara dan pelengkap, karena itu bisa dianggap syirik bahwa mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, sesuai yang terkandung dalam QS. Yunus ayat 18. Adegan ini menunjukkan nilai moral yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam.
Gambar 6 Scene 8 Shot 30
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana Muhammad Darwis dan Kyai Abu Bakar sedang bercakap-cakap diteras rumah. Kyai Abu Bakar menggunakan baju gamis berwarna putih dan memakai blangkon
commit to user
bermotif berwarna coklat putih, sedangkan Muhammad Darwis atasan memakai baju kejawen garis-garis berwarna coklat muda berlengan panjang, bawahan memakai jarik bermotif berwarna coklat putih dan dikepala Muhammad Darwis menggunakan blangkon bermotif berwarna hitam putih.
Muhammad Darwis duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu, Kyai Abu Bakar berdiri seketika marah sambil memukul kepala Muhammad Darwis dengan tangan kanannya. Dikarenakan Muhammad Darwis ingin meluruskan pemahaman tentang sesaji bahwa tidak ada di dalam Al-quran dan Sunah Rasul. Tetapi Kyai Abu Bakar mempertahankan pendapat bahwa Al-Quran itu dipelajari dengan hati bukan dengan akal.
Pengambilan gambar secara Long Shot (LS), straight angle, dan
pencahayaan low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan
efek suara dan dialog. Efek suara yang ada, yaitu bunyi suara burung.
Dialog yang terjadi antara Kyai Abu Bakar dan Muhammad Darwis adalah sebagai berikut:
Kyai Abu Bakar : “Semua itu ada tempatnya,sesuai aturan, gitu lho!.”
Muhammad Darwis : “Tapi bukan aturan menurut Al-Qur‟an dan Sunah Rasul pak.”
Kyai Abu Bakar : “Hus, ngawur kamu !,” (sambil memukul kepala
Muhammad Darwis),” menghayati Al-Qur‟an dan Sunah Rasul dengan hati bukan dengan akal tok, sok keblinger kamu. Kadang orang itu terpleset bukan
commit to user
karena dia itu bodoh tapi karena dikuasai akalnya saja.”
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar Kyai Abu Bakar dan Muhammad Darwis sedang bercakap-cakap di teras rumah. Kyai Abu Bakar marah sambil memukul kepala Muhammad Darwis dengan tangan kanannya. Saat itu Kyai Abu Bakar berkata kepada Muhammad Darwis, “Hus, ngawur kamu!,”(sambil memukul kepala Muhammad Darwis),” menghayati Al-Qur‟an dan Sunah Rasul dengan hati bukan dengan akal tok, sok keblinger kamu. Kadang orang itu terpleset bukan karena dia itu bodoh tapi karena dikuasai akalnya saja”. Dalam hal ini, Kyai Abu Bakar marah terhadap Muhammad Darwis karena bertentangan pemikiran tentang sesaji. Namun kemarahan Kyai Abu Bakar sampai menimbulkan pemukulan terhadap Muhammad Darwis.
Menurut penulis, adegan ini dilihat dari sudut pandang Muhammad Darwis bahwa meluruskan kebenaran sesajen yang tidak sesuai dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul kepada Kyai Abu Bakar. Namun tindakan Kyai Abu Bakar sebagai sosok Kyai dan ayah dalam keluarga kurang tepat. Karena Kyai Abu Bakar menjawab pertanyaan Muhammad Darwis dengan nada tinggi dan memukul kepala Muhammad Darwis. Pada saat itu Kyai Abu Bakar mempunyai kepercayaan ajaran Syeh Siti Jenar. Setiap memohon permintaan atau pun berdoa harus dilakukan dengan tradisi-tradisi, yang dianggap keharusan dalam Agama Islam. Pemukulan timbul karena adanya perasaan marah. Marah merupakan luapan isi hati yang sedang merasa kesal diakibatkan
commit to user
berbeda pemikiran dengan lawan bicaranya. Apabila tidak bisa mengendalikan amarah akan timbul perlakuan kasar seperti tingkah laku kasar atau kata-kata kasar (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K).
Di dalam Hadits Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu „Utsaimin, 2/123-124 menyatakan pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan, sehingga tidak diperkenankan seorang Ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpada ada keperluan. Namun, bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasullullah memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. Jadi, Kyai Abu Bakar menurut Hadits dalam Agama Islam melakukan pemukulan terhadap Muhammad darwis kurang tepat, karena Muhammad Darwis bukan melakukan kesalahan tidak mau melaksanakan ibadah shalat melainkan meluruskan sesajen tidak dituliskan didalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Muhammad Darwis memiliki niat yang baik untuk meluruskan pengetahuan Agama Islam. Adegan ini menunjukkan nilai moral tingkah laku yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam.
Hendaknya Kyai Abu Bakar sebagai seorang Kyai dan ayah dalam keluarga memberikan penjelasan dengan baik, sabar dan pelan-pelan tanpa adanya pemukulan kepada Muhammad Darwis. Sebaiknya Kyai Abu Bakar
commit to user
menjadi pendengar yang baik tentang pemikiran Muhammad Darwis. Karena apabila Kyai Abu Bakar langsung tersulut amarah itu menandakan beliau tidak mengajarkan kesabaran kepada Muhammad Darwis (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K). Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Pengambilan gambar secara Long Shot (LS) menggambarkan suatu
interaksi yang kurang baik dan tidak saling menghargai antara Kyai Abu Bakar dan Muhammad Darwis, serta memperlihatkan subjek dan latar belakang.
Sudut pandang kamera secara straight angle dalam gambar ini digunakan agar
penonton dapat melihat jelas suatu interaksi yang tidak saling menghargai perbedaan pemikiran, serta tidak memberikan kesan dramatis melainkan kesan wajar.
Gambar 7 Scene 10 Shot 33
commit to user
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana Kyai Cholil Kamaludiningrat memasuki Masjid Besar Kauman diikuti oleh para marbot masjid. Didalam masjid Besar Kauman juga ada beberapa warga Kauman yang sedang menggelar tikar, sebagian warga yang berada di masjid Besar merupakan kaum laki-laki. Warga Kauman yang mengetahui kedatangan Kyai Cholil Kamaludiningrat langsung menyembah kepada Kyai tersebut. Karena Kyai Cholil Kamaludiningrat ialah Kyai Penghulu di Masjid Besar Kauman. Jikalau ada warga Kauman yang tidak mau menyembah maka akan diperingatkan oleh warga kauman yang lainnya, salah satunya yang menentang Muhammad Darwis.
Saat berada di masjid Besar Kauman, Kyai Cholil Kamaludingrat mengenakan gamis panjang berwarna putih, dikepalanya memakai blangkon berwarna coklat, serta ditangan kanannya sambil membawa tasbih. Sedangkan Muhammad Darwis dan warga Kauman yang lainnya memakai baju berlengan panjang ada yang polos ada juga yang bergaris-garis, motif dan warnanya pun berbeda-beda. Dikepalanya juga memakai blangkon bermotif dan berwarna beda.
Pengambilan gambar secara Knee Shot (KS), low angle, dan pencahayaan
low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan efek suara dan dialog. Efek suara yang ada, yaitu instrument musik.
Dialog yang terjadi antara salah satu warga Kauman dan Muhammad Darwis adalah sebagai berikut:
commit to user
Warga Kauman : “Ssst, Wis ngaturke sembah”.
Muhammad Darwis: “(menjawab dengan mimik muka)”.
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana Kyai Cholil Kamaludiningrat memasuki Masjid Besar Kauman diikuti oleh para marbot masjid. Didalam masjid Besar Kauman juga ada beberapa warga Kauman yang sedang menggelar tikar, sebagian warga yang berada di masjid Besar merupakan kaum laki-laki. Warga Kauman yang mengetahui kedatangan Kyai Cholil Kamaludiningrat langsung menyembah kepada Kyai tersebut. Karena Kyai Cholil Kamaludiningrat ialah Kyai Penghulu di Masjid Besar Kauman. Jikalau ada warga Kauman yang tidak mau menyembah maka akan diperingatkan oleh warga kauman yang lainnya, salah satunya yang menentang Muhammad Darwis. Salah satu warga Kauman berkata kepada Muhammad Darwis “Ssst, Wis ngaturke sembah”. Dalam hal ini, warga Kauman mengingatkan Muhammad Darwis untuk segera ngaturke sembah pada Kyai Cholil Kamaludinigrat.
Menurut penulis, adegan ini dilihat dari sudut pandang Muhammad Darwis bahwa Muhammad Darwis mempunyai keyakinan untuk menghormati Kyai Cholil Kamaludiningrat selaku Kyai Penghulu Masjid Besar Kauman tidak perlu dengan cara ngaturaken sembah. Tetapi para warga Kauman menyembah terhadap Kyai Cholil Kamaludiningrat. Namun, Muhammad Darwis tidak sesuai dengan pemikiran warga Kauman yang lain. Karena menghormati seseorang tidak harus dilakukan dengan cara menyembah. Karena menyembah
commit to user
itu hanya dilakukan kepada Allah. Memberikan penghormatan kepada seseorang cukup dilakukan dengan bersikap yang baik dan sedikit menganggukkan kepala disertai dengan senyuman.
Menyembah kepada manusia dalam rangka memberikan penghormatan dan bukan karena ibadah adalah kemusyrikan. Jadi hukum menyembah kepada manusia dalam rangka menghormati maka hukumnya adalah dosa dan maksiat (Hasil Wawancara dengan Mbah Dalang). Di dalam Agama Islam mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan, seperti yang terkandung dalam QS. At-Taubah ayat 31. Adegan ini menunjukkan nilai moral tingkah laku yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Pengambilan gambar secara Low angle menggambarkan agar para
penonton melihat bahwa Kyai Cholil Kamaludiningrat nampak memiliki
kekuasaan. Sudut pandang kamera secara Knee Shot agar dapat
memperlihatkan ke penonton secara jelas bahwa warga Kauman ngaturaken sembah kepada Kyai Cholil Kamaludiningrat.
commit to user
Gambar 8 Scene 11 Shot 32
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana Muhammad Darwis yang sedang menjemur pakaian bertemu dengan pemuda Kauman. Muhammad Darwis menjemur kain lebar berwarna coklat. Tempat jemuran tersebut terbuat dari bambu. Terletak dipinggir sendang, disaat warga Kauman yang lain sedang mengikuti padusan.
Muhammad Darwis mengenakan pakaian berlengan panjang berwarna coklat bermotif garis-garis serta bawahan jarik bermotif berwarna coklat putih. Dikepala Muhammad Darwis pun memakai blangkon yang bermotif. Pemuda Kauman juga mengenakan atasan berlengan panjang berwarna coklat, bawahan jarik berwarna coklat putih.
Kemudian pemuda Kauman mengobrol dengan Muhammad Darwis. Pemuda Kauman mengajak Muhammad Darwis untuk padusan, namun Muhammad Darwis menolak untuk mengikuti padusan. Warga Kauman yang mengikuti padusan yang perempuan memakai jarik bermotif berwarna coklat untuk menutup tubuh, sedangkan laki-laki dewasa atasannya bertelanjang dada
commit to user
sedangkan bawahannya mengenakan jarik bermotif berwarna coklat. Untuk anak-anak kecil ada yang padusan tanpa memakai kain, terutama anak laki-laki.
Pengambilan gambar secara Medium Shot (MS), straight angle, dan
pencahayaan low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan
efek suara dan dialog. Efek suara yang ada, yaitu bunyi suara percikan air, teriakan anak-anak, suling. Dialog yang terjadi antara Muhammad Darwis dan pemuda Kauman adalah sebagai berikut:
Pemuda Kauman : “Heh ora padusan to kowe ?”
Muhammad Darwis : “Nggo opo?”
Pemuda Kauman : “Woo ora sah posomu.”
Muhammad Darwis : “Sopo sing ngomong?.”
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar Muhammad Darwis sedang menjemur pakaian bertemu dengan pemuda Kauman, kemudian pemuda Kauman itu berkata, “Heh ora padusan to kowe?” Muhammad Darwis, “Nggo opo?” Pemuda Kauman, “Woo ora sah posomu”. Dalam hal ini, Pemuda Kauman mengajak Muhammad Darwis mengikuti padusan.
Menurut penulis, adegan ini dilihat dari sudut pandang Muhammad Darwis yang mempunyai pendirian untuk tidak mengikuti tradisi warga Kauman yang melenceng dari Al-Qur‟an. Tetapi pemuda Kauman mengajak Muhammad Darwis untuk mengikuti padusan dan Muhammad Darwis tetap
commit to user
tidak mengikuti padusan, karena tidak mempercayai tradisi itu. Sedangkan warga Kauman mempercayai jika tidak mengikuti padusan puasanya tidak sah.
Padusan merupakan tradisi untuk membersihkan diri sebelum bulan puasa.
Membersihkan diri bukan hanya luarnya saja melainkan hatinya juga harus
bersih. Padusan tidak harus dilakukan bersama-sama di sendang ataupun kali.
Pada jaman dahulu memang dilakukan di sendang ataupun kali karena orang jaman dahulu masing-masing belum memiliki kamar mandi. Warga Kauman pada saat itu tidak mau bertanya kepada leluhurnya, tapi hanya diterima mentahnya saja. Sampai sekarang padusan menjadi sebuah tradisi disebabkan salahnya perbedaan pendapat, pemikiran, dan makna (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto). Di dalam Agama Islam kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar, seperti yang terkandung pada QS. Ali‟Imran ayat 110. Adegan ini menunjukkan nilai moral tingkah laku yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Pengambilan gambar secara Medium Shot (MS) menggambarkan suatu
interaksi yang jelas bahwa pada saat itu padusan masih menjadi tradisi sebelum
puasa. Sudut pandang kamera secara straight angle dalam gambar ini
digunakan agar penonton dapat melihat jelas bahwa padusan tradisi yang wajar pada saat itu.
commit to user
Gambar 9
Scene 86 Shot 144
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana marbot masjid Besar Kauman dan warga Kauman berbondong-bondong sambil masing-masing warga membawa obor untuk membongkar paksa dan membakar Langgar Kidul milik KH. Ahmad Dahlan.. Marbot Masjid Besar Kauman dan warga Kauman yang membongkar dan membakar Langgar kebanyakan tidak memakai baju atau bertelanjang dada sedangkan bawahan mengenakan jarik bermotif berwarna putih coklat. Dan dikepala memakai blangkon yang bermotif berwarna putih coklat.
Warga Kauman juga membawa obor yang terbuat dari bambu berbentuk seperti tabung panjang untuk tempat menyalakan api. Warga Kauman juga mengikat tali ke Langgar untuk membongkar paksa.
Saat kejadian pembongkaran dan pembakaran Langgar Kidul KH. Ahmad Dahlan sedang pergi ke rumah paman Muhammad Fadlil.
Pengambilan gambar secara Very Long Shot, high angle, dan
commit to user
efek suara. Efek suara yang ada, yaitu bunyi suara instrument musik, orang berteriak, tangisan, dan pengucapan lafal AllahuAkbar.
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar marbot masjid Besar Kauman dan warga Kauman berbondong-bondong sambil masing-masing warga membawa obor untuk membongkar paksa dan membakar Langgar Kidul milik KH. Ahmad Dahlan.
Menurut penulis, adegan ini dilihat dari sudut pandang KH Ahmad Dahlan yang tetap mempunyai pendirian dalam berpikir untuk meluruskan ajaran agama Islam di Kauman sesuai yang dituliskan dilama Al-Qur‟an. Tetapi, marbot masjid besar dan warga Kauman melampiaskan amarah kepada KH. Ahmad Dahlan mengenai ajaran agama Islam dengan cara membongkar paksa dan membakar Langgar Kidul. Karena menurut marbot masjid dan warga Kauman, ajaran agama Islam KH. Ahmad Dahlan melenceng dari kebiasaan warga Kauman. Serta di Langgar Kidul, KH. Ahmad Dahlan sering melakukan kegiatan disitu bersama murid dan warga Kauman yang mau mengikuti ajaran Islam KH Ahmad Dahlan, seperti membaca Al-Qur‟an, berdoa bersama dan mempelajari ilmu yang ada di Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.
Pembongkaran paksa dan membakar Langgar Kidul timbul karena adanya perasaan marah. Marah merupakan luapan isi hati yang sedang merasa kesal diakibatkan berbeda pemikiran dengan lawan bicaranya. Apabila tidak bisa mengendalikan amarah akan timbul perlakuan kasar seperti tingkah laku
commit to user
kasar atau kata-kata kasar (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K). Membongkar paksa dan membakar Langgar Kidul dimaksudkan Kyai Cholil Kamaludiningrat, Kyai Lurah Noor, dan warga Kauman sebagai suatu bentuk protes kepada KH Ahmad Dahlan. Karena tidak bisa menerima keberadaan Langgar Kidul milik KH Ahmad Dahlan yang setiap harinya digunakan untuk menyebarkan ajaran agama Islam yang melenceng dari kebiasaan warga Kauman (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K). Tujuan utama dari Kyai Cholil Kamaludiningrat, Kyai Lurah Noor, dan warga Kauman adalah apabila Langgar Kidul milik KH. Ahmad Dahlan sudah dibongkar paksa dan dibakar, berarti tempat sarana KH Ahmad Dahlan untuk menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadits sudah tidak ada lagi.
Namun, yang dilakukan warga Kauman dibawah pimpinan Kyai Cholil Kamaludiningrat seorang Kyai Penghulu Masjid Besar Kauman, Kyai Lurah Noor memberikan contoh yang kurang baik. Sebaiknya Kyai Cholil Kamaludiningrat, Kyai Lurah Noor dan warga Kauman dalam perbedaan pemikiran ajaran agama Islam sebaiknya dilakukan musyawarah bersama untuk mendapatkan sebuah kesepakatan. Tindakan yang dilakukan Kyai Cholil Kamaludiningrat dan warga Kauman menunjukkan kartasis negatif. Karena menomor satukan amarah yang tidak menyelesaikan permasalahan (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K).
Di dalam agama Islam menahan amarah merupakan perilaku yang diperintahkan oleh Allah. Sebagai balasannya, dijanjikan mendapat pahala yang amat besar seperti yang terkandung dalam HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud,
commit to user
dan Ibnu Majah. Jadi, para Kyai Masjid Besar dan warga Kauman kurang tepat apabila tidak bisa menahan amarah hingga membongkar dan membakar langgar KH Ahmad Dahlan. Adegan ini menunjukkan nilai moral tingkah laku yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Pengambilan gambar secara Very Long Shot menggambarkan suatu
interaksi yang memberikan penekanan pada suasana atau latar belakang tetapi masjid dan para warga Kauman tetap dapat dikenali. Sudut pandang kamera
secara high angle dalam gambar ini digunakan agar penonton dapat melihat
jelas suatu interaksi bahwa sesungguhnya para warga Kauman tidak mempunyai kekuatan untuk membakar dan membongkar Langgar Kidul.
Gambar 10
commit to user
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana saat KH Ahmad Dahlan pertama kali mengajar dikelas sekolah milik Belanda. Beliau memutuskan bergabung dengan kelompok Budi Utomo, semenjak itu KH. Ahmad Dahlan merubah cara berpakaiannya.
Disaat mengajar di kelas sekolah milik Belanda KH. Ahmad Dahlan mengenakan pakaian kejawen, atasan berlengan panjang berwarna coklat muda disaku atasannya terdapat rantai, bawahan yang dikenakan memakai jarik bermotif berwarna coklat tua bercampur coklat muda. Blangkon yang dikenakan KH. Ahmad Dahlan berwarna hitam dan alas kaki memakai sendal selop berwarna hitam polos.
Sedangkan murid-murid sekolah milik Belanda didalam kelas yang sama memakai seragam yang berbeda-beda. Salah satu murid ada yang memakai atasan seperti model baju kejawen namun berwarna coklat muda polos, bawahan panjang celana panjang berwarna putih. Ada beberapa yang memakai blangkon ada yang tidak, rata-rata yang mengenakan blangkon bermotif berwarna coklat tua dan putih, hitam dan putih. Salah satu murid yang lain ada yang memakai baju kejawen berlengan panjang bermotif garis-garis berwarna coklat muda dan coklat tua, bawahan memakai jarik bermotif berwarna coklat tua.
KH. Ahmad Dahlan mengucapkan salam pertama di kelas sekolah milik Belanda para murid tidak ada yang menjawab salam. Untuk salam yang kedua
commit to user
tetap tidak ada yang menjawab, namun salah satu murid buang angin. Murid yang lain pun tertawa.
Pengambilan gambar secara Knee Shot (KS), straight angle, dan
pencahayaan low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan
efek suara dan dialog. Efek suara yang ada, yaitu bunyi suara kentut. Dialog yang terjadi antara KH. Ahmad Dahlan dan murid-murid sekolah milik Belanda adalah sebagai berikut :
KH. Ahmad Dahlan : “Assalamualaikum Wr.Wb.”
Murid-murid Kwekschool : “(siswa tidak ada yang menjawab).”
KH. Ahmad Dahlan : “Assalamualaikum Wr. Wb.”
Salah satu murid : “Tuuuutttttttttt (suara buang angin), ”sambil
diikuti ketawa murid-murid yang lain.
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar KH Ahmad Dahlan pertama kali mulai mengajar di salah satu kelas sekolah milik Belanda. Saat itu KH. Ahmad Dahlan mengucapkan salam kepada murid-murid sekolah milik Belanda, “Assalamualaikum Wr. Wb.” Salah satu murid : “Tuuuutttttttttt (suara buang angin),”sambil diikuti ketawa murid-murid yang lain. Dalam hal ini, KH. Ahmad Dahlan mengucapkan salam untuk mengawali pelajaran dikelas sekolah milik Belanda. Namun, sampai salam yang kedua, hanya dijawab dengan suara buang angin salah satu murid sekolah milik Belanda.
Menurut penulis, adegan ini dilihat dari sudut pandang KH Ahmad Dahlan yang tetap tenang dalam memulai pelajaran di kelas sekolah milik
commit to user
Belanda dengan mengucapkan salam. Tetapi murid-murid sekolah milik Belanda tidak menghargai KH. Ahmad Dahlan sebagai Kyai dan guru, serta tidak memahami arti dari sebuah salam. Mereka menganggap itu sebagai lelucon sehingga murid-murid yang lain tertawa.
Sekolah milik Belanda merupakan sekolah yang berisi dari golongan anak bangsawan dan anak orang Belanda. Saat KH. Ahmad Dahlan mengucapkan salam, murid-murid dikelas hanya terdiam dan salah satunya buang angin. Karena pada saat itu golongan bangsawan dan Belanda orang tuanya belum memahami betul bagaimana sebenarnya Agama Islam. Jadi murid-murid di sekolah milik Belanda pun juga tidak memahami karena pola asuh dari orang tuanya tidak menanam kan agama Islam sejak lahir (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K). Salah satu murid yang buang angin mungkin juga tidak ditanamkan sejak lahir moral yang baik. Karena moral merupakan suatu penilaian baik atau buruknya tingkah laku. Buang angin salah satu tingkah laku yang kurang baik karena dilakukan disaat KH. Ahmad Dahlan mengucapkan salam (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K). Pada saat itu KH. Ahmad Dahlan hanya tersenyum dan sabar memberikan suatu penjelasan kepada murid-murid sekolah milik Belanda.
Di dalam Agama Islam hukum menjawab salam yang pertama fardhu kifayah dibebankan atas kelompok, jika salam diucapkan kepada sekelompok orang, asalkan sudah ada yang menjawab maka terlepas kewajiban bagi yang lain. Kedua fardhu a‟in yaitu diwajibkan atas individu atau jika salam diucapkan kepada satu orang. Apabila ada yang mengucap salam seharusnya
commit to user
dibalas dengan baik pula. Seperti yang sudah terkandung dalam QS. An-Nisa ayat 86. Jadi, murid-murid sekolah milik Belanda kurang sesuai dalam menjawab salam karena tidak membalas salam dengan baik pula. Adegan ini menunjukkan nilai moral tingkah laku yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Pengambilan gambar secara Knee Shot (KS) menggambarkan suatu
interaksi saat KH Ahmad Dahlan mengajar di kelas sehingga tidak akan keluar
dari frame. Sudut pandang kamera secara straight angle dalam gambar ini
digunakan agar penonton dapat melihat jelas suatu interaksi yang memberikan kesan wajar saat KH Ahmad Dahlan sedang mengajar murid sekolah milik Belanda.
Gambar 11
commit to user
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana KH Ahmad Dahlan dan Muhammad Sangidu sedang berjalan kaki melewati pemukiman warga. Disepanjang kanan dan kiri jalan beberapa warga sedang beraktifitas didepan rumahnya masing-masing. Ada yang sedang menumbuk bumbu masakan dan adapula yang sedang berjalan sibuk dengan kegiatan yang sedang dilakukan. Jalanan di sekitar pemukiman warga masih berpasir dan berbatuan kerikil.
Saat itu, KH. Ahmad Dahlan sedang mengenakan baju kejawen juga sambil membawa Al-Qur‟an ditangan kirinya. Atasan berlengan panjang berwarna coklat muda polos, bawahan memakai jarik bermotif berwarna coklat muda. Alas kaki memakai sendal selop berwarna hitam. Dikepalanya memakai blangkon bermotif berwarna coklat tua dan putih. Sedangkan Muhammad Sangidu memakai atasan coklat berlengan panjang berwarna coklat tua, bawahan jarik berwarna coklat muda polos. Tidak memakai alas kaki. Blangkon yang digunakan bermotif cenderung berwarna merah tua.
Tiba-tiba warga yang tidak percaya dengan ajaran KH. Ahmad Dahlan langsung mencela beliau dengan sebutan “Kyai Kafir” sambil menari dan menabuh rebana. Warga yang tidak percaya tersebut, memakai baju atasan polos lengan panjang. Setiap orang warnanya berbeda-beda, ada yang berwana biru tua, coklat muda, dan biru muda. Bawahan mengenakan jarik bermotif, warnaya pun juga berbeda-beda. Antara lain berwarna coklat muda, coklat tua, dan putih coklat. Blangkon yang dipakai juga berbeda-beda warna, ada yang berwarna hitam dan putih, ungu muda, biru muda dan putih. Sama-sama tidak
commit to user
memakai alas kaki. Rebana yang dibawa warga berwarna putih dan coklat, berbentuk bulat, terbuat dari kayu dan kulit sapi.
Pengambilan gambar secara Long Shot (LS), straight angle, dan
pencahayaan low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan
efek suara dan dialog. Efek suara yang ada, yaitu bunyi suara instrumen musik. Dialog yang terjadi antara warga, KH. Ahmad Dahlan, dan Muhammad Sangidu adalah sebagai berikut:
Warga : “Kyai Kafir, kyai kafir, kyai kafir,” sambil
berjoget-joget dan menabuh rebana
KH. Ahmad Dahlan : “(menahan Muhammad Sangidu untuk melakukan pembelaan dan hanya menggelengkan kepala)”.
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar KH Ahmad Dahlan dan Muhammad Sangidu sedang berjalan kaki. Saat melewati pemukiman tiba-tiba warga Kauman yang tidak setuju dengan ajaran agama Islam KH. Ahmad Dahlan berkata kepada beliau, “Kyai kafir, kyai kafir, kyai kafir,” sambil berjoget-joget dan menabuh rebana. Dalam hal ini, warga Kauman yang tidak menyukai ajaran KH. Ahmad Dahlan mencela beliau dengan mengatakan Kyai kafir.
Menurut penulis, adegan ini dilihat dari sudut pandang KH Ahmad Dahlan yang tetap mempunyai pendirian dalam berpikir untuk meluruskan ajaran agama Islam di Kauman sesuai yang dituliskan dalam Al-Qur‟an. Tetapi warga Kauman mencela KH. Ahmad Dahlan dan ingin menjatuhkan ajaran
commit to user
agama beliau. Karena para warga Kauman tidak menyukai keberadaan KH. Ahmad Dahlan. Serta warga Kauman tidak memahami ajaran agama Islam yang berdasarkan Al-Qur‟an.
Mencela merupakan suatu bentuk ketidaksukaan pada seseorang. Karena biasanya hal itu terjadi hanya melihat dari sisi luar seseorang tersebut. Mengenal seseorang bukan hanya dilihat dari luarnya saja, melainkan dari dalam hatinya (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K). Warga Kauman yang mencela KH Ahmad Dahlan menunjukkan ketidaksukaannya dengan mengucapkan “Kyai Kafir”. Selain itu, KH Ahmad Dahlan memutuskan bergabung dengan kelompok Budi Utomo, semenjak itu KH. Ahmad Dahlan merubah cara berpakaiannya. Dan semenjak bergabung dengan kelompok Budi Utomo, KH. Ahmad Dahlan juga memutuskan untuk mengajar di sekolah milik Belanda yaitu sekolah bangsawan. Semakin banyak warga Kauman yang mencela KH. Ahmad Dahlan dengan sebutan “Kyai Kafir”.
Warga Kauman yang mencela KH. Ahmad Dahlan karena sebenarnya ketidaktahuan warga untuk memahami ilmu agama ke tingkat yang lebih baik lagi. Warga Kauman hanya menilai KH. Ahmad Dahlan dari luarnya saja dan tidak mengetahui maksud dan tujuan KH. Ahmad Dahlan sebenarnya. Yang mencela juga belum tentu dirinya lebih baik dari KH Ahmad Dahlan dan muridnya. Karena suatu saat orang yang mencela KH Ahmad Dahlan dan muridnya bisa lebih buruk lagi (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K).
Didalam Agama Islam sesama umat Islam dilarang memanggil dengan gelar yang mengandung celaan dan siapa yang tidak menyegerakan untuk
commit to user
bertobat maka termasuk dalam orang-orang yang zalim, sesuai yang terkandung dalam QS. Al Hujurat ayat 11. Jadi, warga Kauman tingkah lakunya tidak sesuai yang diperintahkan dalam Al-Qur‟an karena sesama umat Islam mencela KH Ahmad Dahlan dengan sebutan “Kyai Kafir”. Adegan ini menunjukkan nilai moral tingkah laku yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Pengambilan gambar secara Long Shot (LS) menggambarkan suatu
interaksi yang tidak rukun dan tidak menghargai antar sesama umat muslim, yaitu antara KH. Ahmad Dahlan dan warga Kauman serta memperlihatkan
suasana dari adegan tersebut. Sudut pandang kamera secara straight angle
dalam gambar ini digunakan agar penonton dapat melihat jelas suatu interaksi yang terjadi dengan KH. Ahmad Dahlan dan warga Kauman yang tidak terkesan dramatis, melainkan kesan wajar.
Gambar 12
commit to user
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana warga Kauman yang tidak setuju dengan pemikiran dan ajaran KH. Ahmad Dahlan berbondong-bondong mendatangi murid-murid KH. Ahmad Dahlan, seperti Muhammad Sudja, Muhammad Fachrudin dan yang lainnya. Mereka pun bertengkar disekitar pemukiman warga.
Pakaian yang dikenakan warga yang tidak menyukai ajaran KH. Ahmad Dahlan dengan murid-murid KH. Ahmad Dahlan sama. Walaupun motif dan warnanya berbeda. Namun, atasan tetap sama berlengan panjang dan bawahan memakai jarik. Memakai blangkon dan tidak memakai alas kaki.
Pengambilan gambar secara Group Shot, straight angle, dan
pencahayaan Low key. Audio yang digunakan dalam adegan ini menggunakan
efek suara. Efek suara yang ada, yaitu bunyi suara instrument musik dan orang sedang bertengkar.
Signifikasi tahap kedua (Konotasi)
Pada shot pembuka scene ini diawali dengan gambar warga Kauman yang tidak setuju dengan pemikiran dan ajaran KH. Ahmad Dahlan berbondong-bondong mendatangi murid-murid KH. Ahmad Dahlan. Mereka pun bertengkar disekitar pemukiman warga.
Menurut penulis, adegan ini dilihat dari sudut pandang murid KH Ahmad Dahlan yang didatangi warga Kauman karena tidak setuju dengan pemikiran dan ajaran KH. Ahmad Dahlan melampiaskan kemarahan dengan cara bertengkar, mengkeroyok murid-murid KH. Ahmad Dahlan. Karena KH.
commit to user
Ahmad Dahlan ingin mendirikan Muhammadiyah. Apalagi Kyai Cholil Kamaludiningrat serta para kyai lain yang berada di Masjid Besar Kauman juga tidak menyetujui akan berdirinya Muhammadiyah.
Bertengkar sebenarnya itu adu argumen, mencari kebenaran yang sebenarnya. Warga Kauman penasaran dengan apa yang terjadi dengan rencana berdirinya Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan. Jadi warga Kauman sudah tersulut kemarahan terlebih dahulu, tidak bisa berpikir dengan kepala dingin untuk menyelesaikan masalah. Maka bertengkar dianggap warga Kauman merupakan solusi dari masalah tersebut (Hasil Wawancara dengan R. Dewi Novita K).
Didalam Agama Islam apabila tidak menyetujui suatu pemikiran harus dibantah dengan baik sesuai yang terkandung dalam QS. An-Nahl ayat 125. Jadi warga Kauman harus lebih bijak kembali dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Adegan ini menunjukkan nilai moral tingkah laku yang harus diluruskan sesuai dalam Agama Islam. Hal ini merupakan kelemahan dari analisis Semiotik Roland Barthes bahwa makna dari setiap daerah, negara, dan agama berbeda-beda. Tergantung bagaimana daerah, negara dan agama tersebut memaknainya (Hasil Wawancara dengan Joko Daryanto).
Pengambilan gambar secara Group Shot menggambarkan suatu
interaksi yang memperlihatkan adegan sekelompok orang yang bertengkar, antara murid KH Ahmad Dahlan dan warga Kauman. Sudut pandang kamera
commit to user
jelas suatu interaksi bertengkar yang tidak memberikan kesan dramatis, namun kesan wajar.
Gambar 13
Scene 188 Shot 257
Signifikasi tahap pertama (Denotasi)
Scene dimulai dengan pengambilan gambar dimana saat Hisyam sedang dimarahi ibunya dan Dirjo melihat kejadian tersebut langsung bersembunyi dibalik pintu. Hisyam didorong ibunya sampai keluar rumah, Hisyam dimarahi ibunya karena mengikuti ajaran KH. Ahmad Dahlan dan dianggap sebagai kafir.
Saat itu Hisyam sedang memakai baju atasan lengan panjang polos berwarna coklat, bawahan memakai jarik bermotif berwarna coklat muda dan juga memakai blangkon bermotif berwarna coklat tua. Sedangkan ibu Hisyam memakai baju atasan lengan panjang berwarna coklat, memakai bawahan jarik berwarna putih. Dirjo teman Hisyam juga sama memakai baju berlengan panjang hanya memakai motif garis-garis berwarna coklat dan hitam, bawahan