• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mukha>barah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mukha>barah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP SISTEM BAWON

DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN DALAM HUKUM POSITIF

A. TINJAUAN HUKUM ISLAM (Mukha>barah dan Ujra>h)

1. Definisi dan Hukum Mukha>barah

Mukha>barah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah atau tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap tanah. Perbedaan antara pemilik muzara>’ah dan mukha>barah hanya terletak dari benih tanamannya. Dalam muzara>’ah, benih tanaman berasal dari pihak penggarap.

Pada umumnya, kerjasama mukha>barah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti jagung, padi, dan kacang. Namun, tidak menutupi kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murahpun dilakukan kerjasama muzara>’ah. Hukum mukha>barah sama dengan muzara>’ah, yaitu mubah (boleh). Landasan hukum mukha>barah adalah sabda Nabi SAW.:

َق ,ُرِباَخُي َناَك ُهَّنَأ ٍسواَط ْنَع

ِنَم ْحَّرلا ِدْبَع اَبَأ اَي ُهَل ُتْلُقَف وٌرْمَع َلا

ملسو هيلع الله ىلص َّىِبَّنلا َّنَأ َن ْوُمُع ْزَي ْمُهَّنِإَف َةَرَباَخُمْلا ِهِذَه َتْكَرَت ْوَل

َنْبا ىِن ْعَي َكِلاَذِب ْمُهُمَلْعَأ ىِن ْرِب ْخَأ :وٌرْمَع ْىَأ َلاَقَف ِةَرَباَخُمْلا ِنَع ىَهَن

ٍساَّبَع

ُحَنْمَي َلاَق اَمَّنِإ اَهْنَع َهْنَي ْمَل ملسو هيلع الله ىلص َّيِبَّنلا َّنَأ

ملسم هاور( اًم ْوُل ْعَم ا ًج ْر َخ اَهْيَلَع َذُخْؤَي ْنَأ ْنِم ُهَل ٌرْي َخ ُها َخَأ ْمُكُد َحَأ

(

Artinya: ‚Dari Thawus r.a. bahwa ia suka bermukha>barah. Amru berkata: ‚lalu aku katakana kepadanya: ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukha>barah ini, nanti mereka mengatakan

(2)

bahwa Nabi Saw. telah melarang mukha>barah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. Tidak melarang mukha>barah itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik dari pada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu.‛ (HR. Muslim).

Ulama’ Malikiyah mendefinisikannya dengan persekutuan

atau kerjasama dalam mengolah dan menanam lahan.24

لا ىِف ُةَك ْرِّشلَأ

ِعْرُّز

Artinya : ‚Perserikatan dalam pertanian.‛

Ulama’ Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut yakni penyerahan suatu lahan kepada orang (buruh tani) yang mengolah dan menanaminya, sedangkan hasil tanamannya dibagi antara mereka berdua (pemilik lahan dan pengolah)25

ْنَم ىَلا ِض ْرَلأْا ُعْفَد

اَمُهَنْيَب ُع ْرَّزلا َو اَهْيَلَع ُلَم ْعَي ْوَأ اَهُع َر ْزَي

Artinya: ‚Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.‛

Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai ‚paruhan sawah‛. Penduduk Irak menyebutnya ‚al-mukhaba>rah‛, tetapi dalam al-mukhaba>rah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.

Sementara itu, Imam Syafi’I mendefinisikan:26

ِلِماَعْلا َنِم ُرْذَبْلا َو اَهْنِم ُخُر ْخَي اَم ِضْعَبِب ِض ْرَ ْلأا ُلَمَع

24 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 275.

25 Ibid., 275.

(3)

Artinya: ‚Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan oleh penggarap.‛

Dalam mukhaba>rah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara>’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik. Jadi muzara>’ah itu yaitu kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerjasama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerjasama ini disebut al-mukhaba>rah.

Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair Ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:

ملسم هاور( .ِة َرَبا َخُمْلا ِنَع ىَهَن ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر َّنَأ

)الله دبع نب رباج نع

Artinya: ‚Rasulullah SAW yang melarang melakukan mukha>bara>h. (HR. Muslim dari Jabir Ibn Abdillah)

Al-Mukhabara>h dalam sabda Rasulullah itu adalah al-muzara>’ah, sekalipun dalam al-mukhabara>h bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.

Menurut mereka, obyek akad dalam muza>ra’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada dan tidak jelas ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi, sejak semula tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya. Obyek akad

(4)

yang bersifat belum ada dan belum jelas ukurannya inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah dengan penduduk Khaibar dalam hadis yang diriwayatkan al-jama’ah, menurut mereka bukan merupakan akad al-muza>ra’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-muqasamah yaitu, ketentuan pajak yang harus dibayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali panen dalam prosentase tertentu.

Kerjasama dalam bentuk muzara>’ah menurut kebanyakan ulama fiqih hukumnya mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipa hami dari keumuman firman Allah SWT yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:

َلَماَع ملسو هيلع الله ىلص ِالله َل ْوُس َر َّنَأ

ُجُر ْخَي اَم ِرْطَشِب َرَبْيَخ ِلْهَأ

مو ىراخبلا هاور( . ٍرَمَث ْوَأ ٍع ْرُز ْنِم اَهْنِم

.)ئآسنلاو دواد وبأو ملس

Artinya: ‚Bahwasannya Rasulullah SAW memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan.‛ (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, at-Tarmizi, dan Imam ahmas ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar) 2. Rukun dan Syarat Mukha>barah

Jumhur ulama yang membolehkan akad mukha>barah

mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah.

Rukun mukha>barah menurut mereka sebagai berikut: a. Pemilik tanah

(5)

c. Objek mukha>barah, yaitu antara manfaat tanag dan hasil kerja petani

d. Ijab dan kabul. Contoh: ‚saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua.‛ Petani penggarap menjawab: ‚Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasil dibagi dua.‛ Jika hal ini telah terlaksana, maka akad ini telah sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan bahwa penerimaan (Kabul) akad muzara>’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu.27

Adapun syarat-syarat mukha>barah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:

a. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus

sudah baligh dan berakal.

b. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas,

sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.

c. Syarat alat pertanian yang digunakan, syarat yang digunakan

dalam mengolah lahan seperti binatang untuk membajak tanah, dan berbagai peralatan yang biasa digunakan dalam menggarap lahan pertanian, statusnya adalah sudah ikut masuk kedalam akad dengan sendirinya, bukan merupakan

(6)

suatu yang dimaksudkan dan dikehendaki dalam akad. Jika tidak, maka akad mukha>barah tidak sah.

d. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut: 1) Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh

digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad mukha>barah tidak sah.

2) Batas-batas tanah itu jelas

3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.28

3. Bentuk – Bentuk Al-Mukha>barah

Menurut Muhammad dan Abu Yusuf, al-mukha>barah

memiliki empat bentuk, tiga diantaranya adalah sah, sedangkan yang satunya lagi tidak sah. Bentuk-bentuk al-mukha>barah yang dimaksud sebagai berikut:29

a. Modal lahan dan benih dari salah satu pihak, sedangkan pekerjaan penggarapan lahan dan binatang untuk mengolah lahan dari pihak yang lain. Bentuk al-mukha>barah ini adalah boleh, sehingga disini pemilik lahan dan benih statusnya berarti mempekerjakan pihak penggarap, sedangkan binatang yang digunakan untuk membajak lahan itu memang menjadi tanggungan pihka penggarap sebagai konsekuensidirinya

28 Ibid., 278-279.

29 Wahbah az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu 6”, (Depok: Gema Insani, 2011),

(7)

dipekerjakan untuk menggarap lahan, sebab binatang tersebut adalah alat untuk melakukan pekerjaannya.

b. Modal lahan dari salah satu pihak, sedangkan binatang, benih dan penggarap lahan dari pihak lain. Bentuk al-mukha>barah ini juga boleh, dan status pihak penggarapdisini berarti adalah menyewa lahan dengan biaya sewa sebagian dari hasil panen lahan yang digarap.

c. Modal lahan, binatang dan benih dari salah satu pihak, sedangkan penggarapan dan pengolahan lahan dari pihak yang lain. bentul al-mukha>barah ini juga boleh, dan status pemilik lahan disini berarti adalah mempekerjakan pihak penggarap dengan upah sebagian dari hasil panen lahan yang digarap. d. Modal lahan dan binatang dari salah satu pihak, sedangkan

modal benih dan penggarap lahan dari pihak yang lain. Ini adalah bentuk al-mukha>barah yang tidak sah menurut zhahir riwayat. Karena seandainya diasumsikan bahwa akad tersebut adalah penyewaan lahan, maka persyaratan binatang yang dibutuhkan untuk membajak dan mengolah lahan menjadi tanggungan pihak pemilik lahan, adalah merupakan akad sewa tersebutdan menjadikannya tidak sah. Karena tidak mungkin menjadikan posisi binatang tersebut mengikuti lahan, atau dengan kata lain tidak mungkin menjadikan penyediaan fasilitas berupa binatang pembajak sebagai konsekuensi atau prasyarat didalam menyewakan suatu lahan, karena perbedaan

(8)

fungsi dan kemanfaatan (kegunaan) antara lahan dan binatang yakni fungsi dan kegunaan lahan adalah untuk menumbuhkan, sementara binatang fungsi dan kegunaannya adalah bekerja dan membajak lahan, dan seandainya diasumsikan bahwa akad tersebut adalah akad yang mempekerjakan pihak penggarap, maka adanya ketentuan modal benih menjadi tanggungannya adalah merusak akad tersebut, karena tidak dimungkinkannya menjadikan penyediaan benih oleh pihak yang dipekerjakan untuk menggarap lahan sebagai konsekuensi atau prasyarat dirinya dipekerjakan. Berdasarkan hal ini, maka suatu akad al-muza>ra’ah tidak sah jika ada ketentuan fasilitas peralatan untuk

menggarap lahan, atau binatang pembajak, atau

pekerjaanmenggarap lahan menjadi tanggungjawab pihak pemilik lahan. Begitu juga, akad akad al-mukha>barah tidak sah jika ada ketentuan bahwa semua hasil panennya adalah untuk salah satu pihak saja, atau ada ketentuan bahwa pemanenan dan penebahan, atau mengangkut, merawat dan menjaga hasil panen adalah menjadi tanggungjawab pihak penggarap karena semua itu tidak memiliki kaitan dengan kepentingan tanaman atau dengan kata lain tidak termasuk hal-hal yang dibutuhkan dalam pengolahan dan penggarapan lahan.

(9)

Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-mukha>barah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya sebagai berikut:30

a. Petani bertanggungjawab mengeluarkan niaya benih dan niaya pemeliharaan pertanian itu

b. Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.

c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. d. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah

pihak. Apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing. Apabila kebiasaan tanah itu diairi dengan air hujan, maka masing-masing tidak boleh dipaksa untuk mengairi tanah itu dengan irigasi. Apabila tanah pertanian itu biasanya diairi melalui irigasi, sedangkan dalam akad disepakati menjadi tanggungjawab petani, maka petani bertanggungjawab mengairi pertanian itu dengan irigasi.

e. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya, karena jumhur ulama berpendapat bahwa akad upah mengupah bersifat mengikat kedua belah pihak dan boleh diwariskan. Oleh sebab itu, menurut mereka kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad ini.

(10)

5. Berakhirnya Akad Al-Mukha>barah

Para ulama fiqh yang membolehkan akad al-mukha>barah mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila: 31

a. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu, menurut jumhur ulama, petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi petanisetempat. Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman, seperti pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggungjawab bersama pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase pembagian masing-masing.

b. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang

yang berakad wafat, maka akad al-mukha>barah berakhir, karena mereka berpendapat bahwa akad al-ij>arah tidak boleh diwariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-mukha>barah itu dapat diwariskan. Oleh sebab itu, akad tidak berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang berakad.

c. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pemilik tanah maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh

(11)

melanjutkan akad al-mukha>barah itu. Uzur dimaksud antara lain adalah:32

1) Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi, apabila tumbuh-tumbuhan itu telah berbuah, tetapi belum layak panen maka tanah itu tidak boleh dijual sampai panen.

2) Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu perjalanan keluar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.

6. Zakat Muzara>’ah dan Mukha>barah

Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati (jika telah sampai batas nisab). Maka dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik sawah/ladang dan penggarap)membayar zakat bila telah nisab.

Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara>’ah yang wajib zakat ialah pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Dalam mukha>barah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), kerena dialah hakikatnyayang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari

(12)

keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab, sebelum pendapatan dibagi dua.

Menurut Yusuf Qardawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan yanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki bagian yang cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam Syafi’i, berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karena itu wajib secara bersama-sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasaq: masing-masing mengeluarkan 10% dari bagiannya.33

7. Hikmah Muzara>’ah dan Mukha>barah

Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki tanah subur untuk ditanami tapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerjasama antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binatangnya dengan tetap mendapatkan bagiannya masing-masing, maka yang

33 Yusuf Qardawi, Fiqh al-zakat (Hukum Zakat), penerjemah: Salman Harun (et al),

(13)

terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.34

8. Rekayasa Legalitas

Rekayasa legalitas (hi>lah) disini adalah menyiasati agar kebuntuan hukum akad muza>ra’ah dan mukha>barah bisa terpecahkan, sehingga memiliki legalitas hukum dan bisa menjadi solusi dari desakan hajat aktivitas komersial.

Dalam akad mukha>barah, dimana benih, tenaga, dan alat kerja dari pihak ‘a>mil, dan pihak ma>lik hanya bermodal lahan, maka ada dua rekayasa untuk menyiasati akad mukha>barah menjadi sah dan panen bisa dibagi hasil.

1) Pertama, ‘a>mil menyewa sebagian lahan ma>lik, 50% misalnya, dengan upah berupa 50% dari benihnya, untuk digunakan menanam sebagian benih miliknya. Kemudian ‘a>mil memberikan 50% jasanya untuk menanam dan merawat benih milik ma>lik secara gratis.

2) Kedua, ‘a>mil menyewa sebagian lahan ma>lik, 50% misalnya, dengan upah berupa 50% dari benihnya untuk digunakan menanam sebagian benih miliknya, dan dengan 50% dari jasanya untuk menanam dan merawat benih milik ma>lik.

Dengan siasat di atas, maka ma>lik dan ‘a>mil telah berkongsi (syirkah) pada tanaman dan manfaat lahan dengan nisbah 50:50.

34 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010),

(14)

Sebab, dari seluruh benih yang ditanam, 50% adalah milik ‘a>mil dan 50% adalah milik ma>lik, demikian juga dari seluruh manfaat lahan, 50% adalah milik ‘a>mil dan 50% adalah milik ma>lik. Sehingga ketika panen, masing-masing memiliki hak dengan margin profit 50:50.35

9. Pengertian dan Dasar Hukum Ujrah

Ujrah adalah upah yang diberikan kepada pekerja dari pengusaha atau majikan atas jasa yang dilakukan oleh pekerja atau buruh. Upah dalam bahasa arab disebut Ujrah yang berasal dari kata ajrun yang berarti Al-‘iwadu (ganti). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud upah atau ujrah adalah mengambil ganti atas pengambilan manfaat tenaga orang lain dengan syarat tertentu.36

Menurut terminologi syara’, ujrah adalah keharusan melakkan sesuatu secara mutlak sebagai bayara tertetu atas satu pekerjan tertentu.37

Istilah upah dalam sehari-hari diartikan leh fukaha yaitu yaitu member upa kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati oaring yang sakit atau menggali sumur ampai memancarkan mata air. Jadi ujrah bukan hanya

35 Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 323.

36 Ibnu Mas‟ud dan Zainul Abidin, Fiqh Madzab Syafi’I Buku 2 Edisi lengkap,( Bandung:

CV Pustaka Setia,2007), 138.

(15)

terbatas pada barang yang hilang namun dapat diartikan setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseoarang.38

Sementara al-Maghribiy39 mendefinisikannya sebagai berikut:

ُكْيِلْمَت

ةَم ْوُل ْعَم

اًنَم َز

اًم ْوًل ْعَم

ِضوَعِب

ٍم ْوُلْعَم

‚Pemilikan terhadap sesuatu yang jelas untuk waktu yang jelas dengan imbalan yang jelas‛

Di dalam surat al-Baqarah ayat 233 disebutkan tentang izin terhadap seorang suami memberikan imbalan materi terhadap perempuan yang menyusui anaknya. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi:

ْنِإ َو

ْمُتْد َرَأ

ْنَأ

ا ْوُع ِض ْرَت ْسَت

ْمُكَد َلَ ْوَأ

َلَف

َحاَنُج

َلَع

ْمُكْي

اَذِإ

ْمُتْمَّلَس

اَم

ْمُتْيَتَآ

ِف ْوُر ْعَملاِب

.

.

Artinya : ‚Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

pembayaran menurut yang patut…. (QS. Al-Baqarah : 233)40

Dalam riwayat Ibnu Majah, Nabi Saw bersabda:

نَع

ُدْبَع

الله

َرَمُع

َلاَق

ُل ْوُس َر

َالله

ُه َر ْجَأ َرْيِجَلأْااوُطْعُأ

َلْبَق

ْنَا

َفِجِي

ُهُق َرَع

‚Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering‛.41

10.Rukun dan Syarat Ujrah (upah)

38 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalat, Cet 1, (Jakarta: Kencana, 2010), 141

39

Muhammad bin 'Abd al-Rahman al-Maghribiy, Mawahib al-Jalil Juz V, 389.

40Depertemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya (Surabaya:CV. Karya Utama, 2002),

47.

41 Abi bakar Ahmad bin husain bin Al-Baihaqi, Sunna Qubra, Juz VI, (Bairut: Darul kitab,

(16)

Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk suatu sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang

membentuknya.42 Menurut ulama kontemporer rukun yang

membentuk akad ada empat:

a. Para pihak yang membentuk akad (balig dan berakal) b. Ijab dan qabul

c. Objek Pekeraan

d. Tujuan akad

Hukum yang disebut di atas harus ada untuk terjadinya akad.43

a. Syarat Ujrah (Upah)

1) Adanya kerelaan di antara kedua belah pihak yang berakad

untuk melakukan ujrah apabila salah seorang diantra keduanya terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah (batal).

2) Objek ujrah suatu yang dihalalkan oleh syara’, ini berarti

agama tidak memperbolehkan mengupah seseorang untuk

disuruh melakukan maksiat ataupun membunuh orang.44

Penjelasan objek kerja dalam penyewaan tenaga kerja adalah sebuah tuntutan untuk menghindari ketidak jelasan. Hal ini karena ketidak jelasan dapat menyebabkan perselisihan dan

42

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (jakarta: PT Raja grafindo persada:

2007),95-96

43 Musthafa Ahmad az-Zarqa‟, al-Fiqh al-Islami Fi Saubihi al-Jadid;al-Madkhol al-Fiqhi

al-Amm.(Damaskus: Matabi‟ Alifba‟ al-Adib, 1967), 312.

(17)

mengakibatkan rusaknya suatu akad. Jika ada seorang menyewa orang pekerja atau buruh tanpa menyebutkan objek kerjanya, seperti menjahid, mengembala, mencangkul, dan sebagainya, maka akadnya tidak sah. Perlunya penjelasan objek kerja bagi para tenaga kerja kolektif dengan menunjukan atau menentukan, atau dapat pula dengan penjelasan jenis, tipe, dan sifat. Apabila seseorang menyewa pekerja untuk menggali sumur, maka harus dijelaskan kepada mengenai lokasi, kedalaman, dan lebar sumur tersebut, karena penggalian sumur berbeda-beda sesuai kondisi itu.

3) Tidak boleh dan dilarang ujrah itu dilakukan pada sesuatu

yang sifatnya fardhu ‘ain. Seperti menyewa seseorang untuk berperang atau atau mengerjakan sholat lima waktu, sebab manfaat (pahala) tidak jatuh untuk si mustajir tetapi untuk orang yang mengerjakannya.

4) Upah dalam akad ujrah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang

bernilai harta, penegasan upah sewa dalam akad merupakan sesuatu yang harus diketahui, hal ini untuk mencegah terjadinya perselisihan dikemudian hari. Kedua belah pihak yang bertransaksi harus menjelaskan hak dan kewajiban di

(18)

antra keduabelah pihak untuk menghindari adanya perselisihan dan guna mempertegas akad.45

11.Upah yang Dihalalkan dan Diharamkan

a. Upah yang Dihalalkan

1) Upah Jasa Menyusui

Membayar orang lain untuk menyusui hukumnya boleh dengan upah yang jelas atau berupa makanan dan pakain. Selain itu syaratnya juga jelas mengenai masa waktu menyusui, mengetahui anak yang disusui dan mengetahui tempat melakukan jasa tersebut.46

2) Upah tukang bekam

Berbekam artinya mengeluarkan darah dari kepala seseorang dengan cara menghirupnya dengan bantan semacam alat.

3) Upah bekerja sebagai buruh tani

Diperbolehkan seorang muslim bekerja sebagai buruh tani, seperti bekerja dalam pembuatan batu bara, bercocok tanam

4) Upah bekerja sebagai pegawai

45 Dmayuddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),

157.

(19)

Seoarng muslim diperbolehkan bekeja sebagai pegawai, baik pegawai negeri atau swata selam dia mampu memikul pekerjaannya dan menunaikan kewajibannya. Tetapi seorang muslim tidak boleh mencalonkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukn ahlinya, lebih-lebih menduduki jabatan hakim.47

b. Upah yang Diharamkan

1) Upah dari hasil mentato

Yang dimaksud upah dari hasil mentato adalah menusuk-nusuk jarum atau sebangsanya dipunggung telapak tangan atau anggota tubh wanita atau pria kemudian memberikan celak atau kapur pada bekas tusukan tersebut sehingga kulitnya berubah menjadi warna hijau

2) Upah tarian dari seni tubuh

Islam tidak dapat menerima apa yang disebut dengan pekerjaan tarian dan semua pekerjaan yang dapat menimbulkan ghairah seperti nyanyian porno dan lain-lain.

3) Upah dri hasil minuman keras dan narkotika

(20)

Islam mengharamkan setiap persekutuan dalam hal arak, baik yang membuat, membagikannya, dan

meminumnya.48

B. TINJAUAN BAGI HASIL DALAM HUKUM POSITIF

(Undang-Undang No. 2 Tahun 1960)

Pengertian perjanjian bagi hasil menurut seorang penulis bernama Jenny yang dikutip oleh A.M.P.A Scheltema (1982:1) mengemukakan sebagai berikut ‚Bagi Hasil dalam pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi yaitu modal kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah tersebut dan pula dalam bentuk natural dengan perkembangan usaha tani.‛

Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dari orang lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.

Perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil semula diatur didalam hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik tanah dan petani penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak.

(21)

Perjanjian bagi hasil itu merupakan suatu perjanjian yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat pedesaan, yang sebagian besar dari mereka umumnya adalah petani. Namun pengusahaan tanah dengan bagi hasil di setiap daerah di Indonesia itu berbeda-beda nama dan pengaturanya.

Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, pada tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam penjelasan umum poin (3) disebutkan:

‚Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang agraria diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud‛:

1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.

2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik

dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya

(22)

tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.

3. Dengan terselenggaranya maka akan bertambah bergembiralah para

petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi ‚sandang pangan‛ rakyat.

Kemudian dalam rangka perimbangan bagi hasil yang sebaik-baiknya antara kepentingan masing-masing pihak pemilik tanah dan penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri

dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor

714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di atas dikemukakan pada poin kedua menetapkan sebagai berikut: Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik.

Menurut Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, cara pembagian imbangan bagi hasil adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang mengatur mengenai besarnya bagian hasil tanah sebagai berikut :

1. 1 (satu) bagian untuk penggarap dan 1 (satu) bagian untuk pemilik bagi tanaman padi yang ditanam di sawah.

(23)

2. 2/3 (dua pertiga) bagian untuk penggarap serta 1/3 (satu pertiga) bagian untuk pemilik bagi tanaman palawija di sawah dan padi yang ditanam di ladang kering.

Sedangkan dalam ayat (2) pasal tersebut mengatur Hasil yang dibagi adalah hasil bersih, yaitu hasil kotor sesudah dikurangi biaya-biaya yang harus dipikul bersama seperti benih, pupuk, tenaga ternak, biaya menanam, biaya panen dan zakat.

Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211 Tahun 1980 Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 adalah sebagai berikut: 1. Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga

tanam dan panen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 dinyatakan dalam bentuk hasil natura padi gabah, sebesar maksimum 25 persen dari hasil kotor yang besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam Daerah kabupaten atau kecamatan yang bersangkutan dalam bentuk rumus seperti berikut:

Z = 1/4X Dalam mana :

Z = biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen.

(24)

1. Jika hasil yang diperoleh penggarap tidak melebihi hasil produksi rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka hasil kotor setelah dikurangi biaya yang dihitung dengan rumus, dibagi dua sama besarnya antara penggarap dan pemilik tanah dalam bentuk rumus 1 : Hak penggarap = Hak pemilik = X-Z = X-1/4X

2. Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagai berikut:

Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut rumus diatas.

Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian penggarap dan 1 bagian pemilik atau dalam bentuk rumus II:

Hak penggarap =Y-Z + 4(X-Y) = Y-1/4Y + 4(X-Y) Hak pemilik = Y-Z + 1(X-Y) = Y-1/4Y +X-Y

Dimana Y = hasil produksi rata – rata daerah Kabupaten/ Kecamatan yang bersangkutan.

1. Jika di suatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada kenyataanya lebih besar dari apa yang ditentukan dalam rumus 1 dan rumus 11 di atas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih menguntungkan penggarap.

2. Ketetapan Bupati /walikota mengenai besarnya imbangan bagi hasil

tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik, serta hasil produksi rata-rata disetiap hektar di Kabupaten/Kacamatan yang

(25)

bersangkutan diberitahukan kepada DPRD Kabupaten/kota setempat.

3. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.2 tahun 1960 Pasal 7

zakat sisihkan dari hasil kotor yang mencapai nisob, untuk padi ditetapkan sebesar 14 kwintal.

4. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 8

pemberi ‘srama’ oleh calon penggarap kepada pemilik tanah dilarang.

5. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 9,

pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik tanah dan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.49

Contoh rumus I :

Disuatu daerah tingkat II, Oleh Bupati/Walikotamadya tetapkan bahwa hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah sebesar 2000 Kg Gabah, dan dari hasil oengolahan ternyata hasil yang diperoleh hanya sebesar 1800 Kg. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

Hak Penggarap = Hak Pemilik = X – Z / 2 = X-1/4X / 2 1800-Z / 2 = 1800-450 / 2 = 1350/2 = 675 Kg Hasil akhir : 1. Untuk penggarap = 450+675 = 1125 Kg 2. Untuk pemilik = 675 Kg Contoh Rumus II : 49

Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, Vol. V, (Dar al-Fikr,

(26)

Disuatu Daerah Tingkat II, oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah ditetapkan hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah sebesar 1800 Kg Gabah, ternyata setelah diolah, hasil produksi mencapai 3000 Kg Gabah. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut ;

Langkah pertama, yaitu sampai hasil produksi rata-rata diselesaikan dengan rumus I, yang mana masing-masing pihak memperoleh bagian sebagai berikut :

Untuk penggarap = 1125 Kg

Untuk pemilik = 675 Kg

Langkah kedua, adalah pembagian sisa dari hasil produksi rata-rata, yaitu 3000 – 1800 = 1200 Kg. sisanya ini dibagi dengan rumus II. Rumus :

Hak Penggarap = Y-Z/2 + 4(X-Y)/5 = Y-1/4X / 2 + 4(X-Y) / 5

Hak Pemilik = Y-Z/2 + 1(X-Y)/5 = Y-1/4X / 5 + X-Y/5

Hak Penggarap = 1125 + 4(1200)/5 = 1125 + 960 = 2085 Kg

Hak Pemilik = 675 + 1(1200)/5 = 675 + 240 = 915 Kg

Hasil Akhir:

Hak Penggarap = 1125 Kg + 960 Kg = 2085 Kg

Hak Pemilik = 675 + 240 Kg = 915 Kg

Dalam perkembangannya, perjanjian bagi hasil kemudian mendapat pengaturan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang lahir berdasarkan pada hukum adat

(27)

di Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai Pengertian perjanjian bagi hasil yaitu :

3. Terdapat hubungan hukum antara pemilik tanah lahan dengan pihak

penggarap tanah, sehingga timbul hak dan kewajiban para pihak. 4. Pemilik tanah dalam perjanjian bagi hasil memberi izin kepada

orang lain sebagai penggarap untuk mengusahakan lahan dan hasilnya dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah di sepakati bersama.

5. Penggarap juga berkewajiban untuk mengerjakan atau

mengusahakan lahan tersebut sebaik-baiknya.

Jadi Perjanjian Bagi Hasil menurut Hukum Adat pada dasarnya adalah suatu perjanjian yang timbul dalam masyarakat Hukum Adat antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan umumnya perjanjian tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk tertulis tetapi hanya bersifat lisan dengan dasar saling percaya.50

50 Chairun Pasaribu, “Hukum Perjanjian Dalam Islam”, (Jakarta: Sinar Grafika,1994)

Referensi

Dokumen terkait

Disamping itu saat pembagian hasil panen, petani penggarap tidak menghadirkan pemilik lahan atau sawah. Pemilik lahan hanya menerima pemberian petani penggarap

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Petani Pemilik Terhadap Kehidupan Rumah Tangganya (Studi Kasus di Subak Lange, di Kawasan Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar

Mengenai syarat bolehnya melaksanakan akad murabahah setelah berakhirnya akad wakalah, dan barang telah menjadi milik sah dari pihak bank dalam akad murabahah dengan kuasa

Berdasarkan hasil penilitian yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dampak alih fungsi lahan sawah petani pemilik terhadap kehidupan rumah tangganya di

Tujuan penelitian adalah Untuk mengetahui apakah Notaris dapat menjadi pihak ketiga menyelesaikan perselisihan antara pemilik tanah dengan pemilik modal dalam menjalankan

a) Akad yang digunakan adalah akad mud}a>rabah muthlaqah... b) Mud}a>rabah muthlaqah adalah akad antara pihak pemilik modal dengan pengelola untuk memperoleh keuntungan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perjanjian kerjasama bagi hasil akad mukhabarah terhadap pelaksanaan maro sawah antara petani penggarap dengan pemilik tanah menurut Fikih

Ditinjau dari hukum Islam penerapan akad mukhabarah dalam praktik kerjasama yang terjadi di Kelurahan Matakali dari keempat pemilik lahan yang penulis wawancarai hanya satu yang belum