• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bawean, dan Madura Kangean. Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bawean, dan Madura Kangean. Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Propinsi Jawa Timur memiliki beberapa wilayah kebudayaan. Sutarto (2004: 1) membagi Propinsi Jawa Timur menjadi 10 (sepuluh) wilayah kebudayaan, yaitu wilayah kebudayaan Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pendalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kangean. Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan ini pada umumnya menempati wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas jika dibandingkan dengan wilayah budaya lain.

Setiap wilayah kebudayaan mempunyai kekayaan sastra lisan. Misalnya, Osing (Using) mempunyai kekayaan sastra lisan yang berupa prosa lisan (mite, legenda, dan dongeng) dan puisi lisan (bangsalan, sanepan, batekan, syair, dan mantra) (Saputra, 2007: 74). Wilayah kebudayaan Arek mempunyai kekayaan lisan yang berupa cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng, cerita lucu), puisi rakyat (pantun, syair, mantera, tembang, dan parikan) (Sutarto, 2004: 7).

Penelitian ini akan membahas tentang salah satu kekayaan budaya lisan yang ada di wilayah kebudayaan Arek, yakni tradisi macapatan dalam tradisi tingkeban. Tradisi macapatan di wilayah kebudayaan Arek ini memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan tradisi macapatan di daerah lain. Macapatan di wilayah kebudayaan Arek menggunakan bahasa Jawa dengan dua dialek yang

(2)

14

berbeda dalam pertunjukannya, yakni dialek Jawa Tengah dan dialek Jawa Timur. Dalam pertunjukannya, pelantun melantunkan tembang macapatan dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Jawa Tengah, setelah melantunkan beberapa bait tembang, pelantun menjelaskan maksud tembang yang dilantunkannya dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Jawa Timur.

Macapatan dalam upacara tingkeban merupakan tradisi lisan di Desa Wilayut, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo. Adapun upacara tingkeban merupakan rangkaian acara yang bertujuan untuk mendoakan ibu yang sedang hamil dan bayi yang berada dalam kandungannya. Tradisi tersebut biasanya dilaksanakan ketika kandungan seseorang berusia enam atau tujuh bulan.

Tembang macapat yang ditembangkan dalam tradisi tingkeban tersebut adalah Surat Yusup. Masyarakat pendukung tradisi tersebut mempunyai harapan dengan menembangkan macapat tersebut, anak yang ada dalam kandungannya akan mempunyai wajah yang tampan dan cantik seperti tokoh utama dalam cerita tersebut yakni Nabi Yusuf dan Dewi Juleka.

Penelitian sastra lisan melalui macapatan Surat Yusup dianggap perlu dilakukan karena tradisi tersebut merupakan salah satu kekayaan budaya nasional yang perlu dikembangkan. Usaha untuk pembinaan kebudayaan penting untuk dilakukan dengan mempertimbangkan kelangsungan hidup kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Menurut Baried (1994: 94), usaha pembinaan dan pemantapan kebudayaan nasional harus dilakukan dengan mempertimbangkan kelangsungan hidup kebudayaan daerah yang ada di Indonesia dan memantapkan

(3)

15

serta membina hubungan yang harmonis di antara berbagai suku bangsa dan golongan sosial agar integrasi sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk dapat dipertahankan kelangsungannya.

Tembang Surat Yusup dipilih untuk penelitian ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: Pertama, berdasarkan informasi dari pelantun macapatan Suparman (pelantun macapatan yang dijadikan informan dalam penelitian ini), Surat Yusup merupakan tembang yang paling disukai masyarakat pendukung tradisi tingkeban tersebut dan selalu dipilih masyarakat pendukung tradisi tersebut untuk dilantunkan, sedangkan tembang macapat yang lain akan dilantunkan jika ada permintaan dari penonton. Kedua, berdasarkan penelitian kepustakaan, cerita Yusuf tersebut sangat popular, sebab cerita tersebut mempunyai teks tertulis yang jumlahnya cukup banyak, baik berbentuk prosa maupun macapat. Cerita Yusuf tersebut terlihat dalam Katalogus Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Katalogus Naskah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan Katalogus Naskah Museum Sonobudoyo (Muslim, 2009).

Tradisi macapatan dalam tradisi tingkeban di Jawa Timur selain terdapat di Desa Wilayut Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo, terdapat juga di Desa Ngabar Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto. Peneliti memilih tradisi yang terdapat di Desa Wilayut dengan alasan bahwa tradisi yang ada di Desa Ngabar sudah pernah diteliti oleh Muslim (2009), sedangkan yang di Desa Wilayut belum pernah diteliti sebelumnya. Di samping itu, tradisi yang ada di Mojokerto tersebut dilakukan untuk berbagai acara, seperti ngruwat desa, jagong manten, dan

(4)

lain-16

lain, sedangkan tradisi macapatan yang ada di Desa Wilayut hanya digunakan untuk tradisi tingkeban saja.

Penelitian tentang macapatan dalam tradisi tingkeban yang sudah pernah dilakukan di Mojokerto berfokus kepada teksnya yakni bentuk resepsi sastra sedangkan penelitian tentang macapatan dalam tradisi tingkeban yang akan dilakukan ini tidak hanya berfokus kepada teksnya tetapi juga kepada proses-proses yang terjadi dalam pertunjukannya seperti pembuatan komposisi, dan penurunan/transmisi kepada penerusnya.

1.2 Rumusan Masalah

Studi ini akan merevitalisasi sastra lisan dengan pendekatan sastra lisan Albert B. Lord. Aspek-aspek kelisanan yang terdapat dalam teori sastra lisan Albert B. Lord meliputi: komposisi, transmisi, pertunjukan, formula, tema, dan fungsi.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Bagaimana pertunjukan, komposisi, dan transmisi macapatan Surat Yusup?

b. Bagaimana formula dan tema yang terdapat dalam teks macapat Surat Yusup.

(5)

17 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini meliputi tujuan teoretis dan pragmatik. Rincian kedua tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.

a. mengungkapkan pertunjukan, komposisi, dan transmisi macapatan Surat Yusup.

b. mengungkapkan formula dan tema yang terdapat dalam teks macapat Surat Yusup.

c. mengungkapkan fungsi macapatan Surat Yusup bagi masyarakat. 1.3.2 Tujuan Pragmatik

Secara pragmatis, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada usaha-usaha penggalian dan pengungkapan warisan nenek moyang yang berupa kekayaan budaya lisan.

b. Untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional. 1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang menggunakan objek material teks Serat Yusuf yang sudah pernah dilakukan adalah penelitian yang berjudul “Tembang in Two Traditions Performance and Interpretation of Javanese Literature” ( Arps, 1992). Penelitian tersebut berfokus pada aspek bentuk kesusasteraan, khususnya cara aspek-aspek formal tersebut berfungsi dalam tindakan bahasa. Penelitian tersebut menggunakan dua tradisi di Jawa sebagai objek penelitiannya, yakni tradisi

(6)

18

pembacaan tembang di Yogyakarta dan di Banyuwangi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa cara pertama yang dilakukan orang Jawa dalam membaca karya tembang adalah dengan menikmati jenis suara, menafsirkan kata-kata, menginterpretasikan isinya, dan menghubungkan isinya dengan kenyataan. Dasar untuk menghubungkan karya tembang dengan kenyataan adalah interpretasi secara harfiah. Di Banyuwangi, interpretasi secara harfiah dengan lengkap tidak dapat dicapai karena kekurangan pengetahuan tentang kosakata arkais lontar Yusuf.

Penelitian yang dilakukan oleh Bernard Arps tersebut berbeda dengan penelitian ini. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan ethnography of speaking yaitu pendekatan yang menggabungkan beberapa pendekatan seperti budaya, sastra, dan musik, sedangkan penelitian ini menggunakan satu pendekatan yakni pendekatan sastra.

Penelitian lain yang menggunakan objek material macapatan Surat Yusup adalah penelitian “Surat Yusup Mangunprawira: Telaah Filologi dan Analisis Resepsi” (Muslim, 2009). Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa Surat Yusup (SY) karya Mangunprawira merupakan salah satu naskah lama berbahasa daerah (Jawa). Naskah ini merupakan karya pujangga lokal yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab tetapi disesuaikan penggunaannya dengan keperluan bahasa Jawa (Pegon). SY merupakan naskah yang berisi teks tertulis dan dalam penyampaiannya dilisankan atau dinyanyikan, dalam istilah lazim disebut macapatan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa SY merupakan bentuk resepsi penulis terhadap ayat-ayat suci Alquran 12 yang berbentuk saduran. Penelitian

(7)

19

tersebut mengungkapkan bahwa secara garis besar, cerita yang terdapat dalam SY sama dengan yang terdapat di dalam QS. 12, meskipun terdapat perbedaan dalam penyebutan nama tokoh dan alur cerita.

Meskipun penelitian tersebut menggunakan objek material yang sama tetapi penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini karena penelitian tersebut difokuskan pada proses transformasi teks Surat Yusup dari bentuk tulisan ke dalam bentuk lisan, sedangkan penelitian ini difokuskan pada sastra lisannya.

Pembicaraan dan penelitian tentang sastra lisan yang menggunakan pendekatan sastra lisan Albert B. Lord sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian-penelitian tersebut tidak hanya menggunakan pendekatan formula Albert B. Lord, tetapi juga menggunakan pendekatan lain seperti pendekatan puitika dan konvensi. Berikut ini adalah tinjauan tentang hasil-hasil penelitian tersebut.

“Puitika dalam Nandai Radin Kuning: Sastra Lisan Serawai, Bengkulu” (Lubis, 2011) mengungkapkan tentang nandai yaitu jenis seni vokal tradisional yang dibawakan oleh tukang nandai dan dipertunjukkan pada malam hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tukang nandai sebelum menjadi tukang nandai melalui proses transmisi dengan belajar pada orang tua dan abangnya. Pertunjukan Nandai Radin Kuning (NRK) dibagi dalam pembukaan, pertunjukan, istirahat, dan penutup. Komposisi teks tidak baku dan dapat berkembang sesuai dengan konteks dan keinginan tukang nandai. Teks NRK terdiri atas 13 episode, 565 bait, dan 4107 larik. Tema mayor NRK menceritakan Radin Kuning yang hilang karena

(8)

20

suatu musibah dan ditemukan orang Aceh kemudian dibawa ke Kota Aceh. Radin Kuning mengalami banyak petualangan sebelum kembali ke desanya dan bertemu dengan keluarganya. Konvensi yang terdapat dalam NRK terdiri atas pembuka, isi, sisipan, dan penutup. Formula dalam teks NRK yakni epitet, waktu, peralihan tokoh, pembuka cerita, penekanan cerita, awal satu kisah, akhir satu kisah, peristiwa, penutup cerita, paralelisme, dan repetisi. Frase-frase dalam formula ini merupakan stock in trade yang ada dalam pikiran tukang nandai.

“Mai’o dalam Tradisi Sasadu Masyarakat Sahu Telaah Pendekatan Puitika sastra Lisan” (Djumati, 2011) juga menggunakan pendekatan formula Albert B. Lord. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penelitian macapatan dalam tradisi tingkeban ini. Penelitian ini tidak hanya menggunakan pendekatan formula tetapi juga pendekatan puitika dan konsep konvensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi pertunjukan Mai’o dinyanyikan oleh para tukang Mai’o, pemain musik, dan para penari Salai. Sebelum menjadi tukang mai’o proses yang dilalui adalah melalui proses transmisi dengan belajar kepada orang tua dan orang-orang yang menguasai syair Mai’o. Konvensi pertunjukan Mai’o terdiri atas pertunjukan, istirahat, pertunjukan, dan penutup. Komposisi teks tidak baku dan dapat berkembang sesuai dengan konteks dan keinginan tukang Mai’o. Terdapat teks mai’o Raoraso, Mai’o Kore-kore, Mai’o Ado-ado atau Goto-goto, Mai’o Witi-witi, mai’o Liongo, dan mai’o Kepelu. Unsur-unsur yang terdapat dalam teks Mai’o terdiri atas unsur suara dan lagu, unsur musik tradisional, unsur tarian adat, unsur pakaian adat, unsur makanan dan minuman adat.

(9)

21

“Memuja Mantra Sabuk Mangir dan Jarang Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi” (Saputra, 2007) mengungkapkan mantra yang merupakan salah satu puisi lisan masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur. Penelitian ini didasarkan atas paradigma folklor modern, yakni memandang sastra lisan dari dua perspektif, yakni dari teks dan konteksnya. Dari teksnya, kedua mantra tersebut dianalisis dengan menggunakan teori sastra lisan, sedangkan dari konteksnya dianalisis dengan menggunakan teori antropologis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa formula pada mantra SM terdapat dalam perbandingan antarvarian teks dan masing-masing varian. Dalam perbandingan antarvarian teks terdapat formula sintaksis, formula repetisi yang bervariasi, dan formula repetisi tautotes. Formula pada mantra JG terdapat dalam perbandingan antarvarian dan masing-masing varian teks. Dalam perbandingan antarvarian teks terdapat formula sintaksis dan formula repetisi tautotes.

“Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban” (Hutomo, 1987) mengungkapkan salah satu jenis sastra lisan di Jawa Timur yakni kentrung. Penelitian ini mengungkapkan guna atau fungsi dari kentrung pada umumnya dan cerita Sarahwulan pada khususnya. Tulisan tersebut juga mengungkapkan pesan atau nilai budaya yang ditanamkan oleh dalang kentrung kepada para pendengarnya.

Studi ini berbeda dengan penelitian macapatan dalam tradisi tingkeban karena studi ini berkaitan dengan beberapa konsep, baik yang berasal dari folklor maupun sastra. Teori sastra lisan Albert B. Lord yang digunakan dalam penelitian ini hanya sebagian saja, yakni teori formula dan konsep tema. Hasil penelitian

(10)

22

menunjukkan bahwa formula dan tema yang terdapat di dalam cerita Sarahwulan tidak identik dengan pengertian yang diberikan oleh Lord.

1.5 Landasan Teori

Kajian ini dilakukan dalam upaya memahami aspek-aspek kelisanan yang terdapat dalam puisi lisan yang ada di Desa Wilayut Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo yang berupa macapat. Teori dan konsep dasar yang digunakan dalam kajian ini dibatasi pada teori dan konsep yang relevan dengan objek kajian. Hal tersebut dibatasi pada teori dan konsep sastra lisan Albert B. Lord. Peneliti menggunakan pendekatan sastra lisan Albert B. Lord dalam membahas penelitian ini dengan alasan bahwa pendekatan tersebut tidak hanya membahas teks puisi lisan tetapi juga membahas pertunjukan/pertunjukan, komposisi, transmisi, dan fungsi sastra lisan.

Konsep puisi lisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep menurut Albert B. Lord dalam bukunya yang berjudul The Singer of Tales (1981). Menurut Lord (1981), puisi lisan adalah puisi yang dipresentasikan secara lisan dan terdapat proses komposisi selama pertunjukan.

Oral Poetry is poetry that was written to be recited. Oral, however, does not mean merely oral presentation. Oral epics are performed orally, it is true, but so can any other poem be performed orally. What is important is not the oral pertunjukan but rather the composition during oral pertunjukan (Puisi lisan adalah puisi yang ditulis untuk dibawakan. Lisan, bagaimanapun, tidak hanya berarti presentasi lisan. Epik lisan ditampilkan secara lisan, hal tersebut benar, akan tetapi puisi lainnya juga ditampilkan secara lisan. Yang penting adalah bukan hanya pertunjukan secara lisan akan tetapi lebih kepada pembuatan komposisi selama pertunjukan (Lord, 1981: 5).

(11)

23

Lebih lanjut Lord menjelaskan bahwa seorang penyair lisan membuat komposisi pada waktu pertunjukan, dengan mengandalkan pada simpanan pengetahuan ‘formula lisan’ yang dia ciptakan ketika praktik dan juga ketika mendengarkan penyair lain. Meskipun sebagian sumber plot dan bahasanya berasal dari sumber tertulis. Berdasarkan pernyataan Albert B. Lord tersebut, Finnegan (1977) menjelaskan bahwa puisi lisan yang kemudian ditulis dan disirkulasikan berabad-abad dalam bentuk tertulis tetap disebut puisi lisan.

Dengan demikian, macapat dapat dikategorikan sebagai puisi lisan karena macapat merupakan puisi Jawa yang cara membawakannya dengan menembangkannya (secara lisan) dan terjadi proses komposisi selama pertunjukan macapat.

Lord (1981:22) juga menjelaskan perbedaan antara puisi lisan dan puisi tertulis. Perbedaan tersebut diungkapkan sebagai berikut.

There are two factors in oral composition that are not present in a written tradition. We must remember that the oral poet has no idea of a fixed model text to serve as his guide. He has models enough, but they are not fixed and he has no idea of memorizing them in a fixed form. Every time he has a song sung, it is different. Secondly, there is a factor of time. The literate poet has leisure to compose at any rate he pleases. The oral poet must keep singing. His composition, by its very nature, must be rapid. Individual singers may and do vary in their rate of composition, of course, but it has limits because there is an audience waiting to hear the story (Komposisi lisan memiliki dua faktor yang tidak terdapat dalam komposisi tulis. Kita harus ingat bahwa penyair lisan tidak memiliki ide tentang model teks yang pasti yang digunakan sebagai panduan. Penyair lisan memiliki cukup banyak model, tetapi model tersebut tidak pasti dan penyair lisan tidak memiliki ide untuk mengingatnya dalam bentuk yang pasti. Setiap waktu dia mendengar nyanyian yang berbeda. Kedua, faktor waktu. Penyair tulis memiliki waktu kapan pun untuk membuat komposisi. Penyair lisan harus tetap bernyanyi. Komposisinya harus cepat. Penyanyi individu bisa membuat

(12)

24

komposisi secara bervariasi, tetapi waktunya terbatas karena penonton menunggu ceritanya).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ada dua hal yang membedakan antara komposisi dalam tradisi lisan dan tradisi tulis, yaitu teks dan waktu. Dalam tradisi lisan, seorang penyanyi lisan tidak memiliki model teks yang pasti yang digunakan untuk mengingat cerita lisan, sedangkan tradisi tulis memiliki model teks yang pasti. Faktor yang kedua adalah penyair lisan memiliki waktu yang terbatas untuk membuat komposisi, sedangkan penyair sastra tulis memiliki waktu yang tak terbatas untuk membuat komposisi.

Penyair lisan yang tidak memiliki ide untuk membuat komposisi dalam waktu cepat ketika pertunjukan akan menggunakan bentuk formula yang dikembangkan oleh generasi sebelumnya. Seperti yang diungkapkan oleh Lord (1981: 22) sebagai berikut.

If the singer has no idea of the fixity of the form of a song, and yet has to pour his ideas into a more or less rigid rhytmic pattern in rapid composition, what does he do? to phrase the question a little differently, how does the oral poet meet the need of the requirements of rapid composition without the aid of writing and without memorizing a fixed form? His tradition comes to resque. Other singers have met the same need, and over many generations there have been developed many phrases which express in the several rhythmic patterns the ideas most common in the poetry. These are the formulas of which Parry wrote (jika penyanyi tidak memiliki ide bentuk lagu yang pasti, dan dia harus menuangkan idenya ke dalam pola berirama yang kurang lebih kaku dalam komposisi yang cepat, apa yang akan dia lakukan? Dengan perkataan lain, bagaimana penyair puisi lisan jika menemui kebutuhan untuk memenuhi persyaratan komposisi secara cepat tanpa bantuan tulisan dan tanpa

mengingat bentuk yang pasti? Tradisinya datang untuk

menyelamatkannya. Penyanyi-penyanyi yang lain juga menemui kebutuhan yang sama, dan sudah beberapa generasi telah mengembangkan frasa-frasa yang mengekspresikan ide-ide yang

(13)

25

paling umum dalam puisi dalam pola yang berirama. Inilah yang disebut Parry sebagai formula).

Selanjutnya Lord (1981) menjelaskan tentang transmisi dalam puisi lisan dalam buku The Singer of Tales tersebut. Penelitian mengenai transmisi dilakukan Albert B. Lord terhadap seorang penutur cerita yang belajar dari penutur cerita lain yang terlatih. Zogic belajar sebuah nyanyian dari Makic ketika mereka sedang berdiskusi. Kedua versi nyanyian tersebut dipublikasikan dalam koleksi Parry Volume I. Kedua versi tersebut menunjukkan cerita yang sama tetapi kata demi kata dan baris demi baris tidak sama. Berdasarkan penelitian tersebut Lord (1981: 28) menyimpulkan sebagai berikut.

what is importance here is not the fact of exactness or lack of exactness, but the constant emphasis by the singer on his role in the tradition. It is not the creative role that we have stressed for the purpose of clarifying a misunderstanding about oral style, but the role of conserver of the tradition, the role of the defender of the historic truth of what is being sung; for if the singer changes what he has heard in its essence, he falsifies truth (dalam hal ini yang penting bukan ketepatan atau kekurangtepatan, tetapi perhatian yang yang dilakukan oleh penutur cerita secara terus-menerus terhadap tradisi. Untuk mengklarifikasi kesalahpahaman tentang gaya lisan, penekanan kita tidak pada peranan kreatif tetapi pada pemelihara tradisi, peranan pemelihara kebenaran sejarah apa yang dinyanyikan; karena jika penutur cerita mengubah esensi yang didengar berarti menyalahi kebenaran.

Selanjutnya, Lord (1981) juga menjelaskan langkah-langkah yang dilalui penutur cerita dalam mempelajari seni menuturkan cerita, yakni:

1) periode pertama adalah mendengarkan dan menyerap. Pada periode ini penutur cerita mendengarkan orang lain yang sedang menuturkan cerita. Pada saat itu, dia sudah memutuskan untuk menuturkan cerita sendiri atau hanya sekedar keinginan untuk mendengarkan cerita dari sesepuhnya. Sebelum dia benar-benar memulai

(14)

26

menuturkan cerita sendiri, disadari atau tidak, dia sudah meletakkan sebuah fondasi. Dia sudah mempelajari cerita dan mulai mengenal pahlawan dan nama-namanya, tempat-tempat yang jauh, dan kebiasaan-kebiasaan pada masa lalu. Dia menjadi sangat familiar dengan tema-tema puisi dan perasaannya menjadi semakin tajam ketika sering mendengar cerita dan mendengarkan orang-orang di sekitarnya membicarakan cerita tersebut;

2) Periode kedua adalah periode aplikasi. Pada periode ini penutur cerita mulai menuturkan cerita dengan atau tanpa alat musik. Hal tersebut dimulai dengan menetapkan elemen dasar bentuk ritme dan melodi nyanyian dan alat musik. Hal tersebut merupakan kerangka untuk ungkapan idenya. Pada tahap ini, calon penutur cerita juga mempelajari formula.

Pada periode ini sangat penting untuk belajar dari seorang guru untuk mempelajari bahasa khas puisi.

3) Periode ketiga adalah ketika penutur cerita menuturkan cerita di hadapan penonton yang kritis. Pada tahap ini kemungkinan penutur cerita belum bisa memberi “ornament” pada ceritanya. Seiring dengan banyaknya pengalaman sebagai penutur cerita, kecakapannya akan berkembang. Sehingga penutur cerita tersebut bisa membuat komposisi atau mengubah komposisi sendiri.

Selanjutnya Lord (1981: 29) menyebutkan bahwa gambaran yang lebih jelas mengenai transmisi yaitu dua orang penutur cerita tidak akan menyanyikan lagu yang persis sama; dalam transmisi ada perubahan, tambahan, dan kesalahan.

(15)

27

Lord (1981: 123) juga menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam transmisi meliputi: (1) mengatakan hal yang sama dengan lebih sedikit atau lebih banyak baris, hal ini disebabkan metode penutur cerita tentang komposisi baris dan jalinan baris bersama, (2) perluasan ornamen, penambahan detail deskripsi (3) perubahan urutan cerita, (4) tambahan materi bukan dari teks yang diberikan oleh guru, tetapi terdapat dalam teks penutur cerita lain di daerah tersebut, (5) penghilangan materi, dan (6) penggantian dari satu tema ke tema lainnya.

“The Singer of Tales” juga memaparkan pendapat Lord mengenai formula. Lord (1981: 30) mendefinisikan formula sebagai berikut.

the definition of the “formula” is “a group of words which is regularly employed under the same metrical conditions to express a given essential idea.

Berdasarkan kutipan tersebut, definisi formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki (pokok). Lord juga mengemukakan definisi ekspresi formulaik sebagai berikut.

By formulaic expression I denote a line or half line constructed on the pattern of the formulas (1981:4)

ekspresi formulaik adalah larik atau paro larik yang disusun berdasarkan pola formula.

Formula yang digunakan oleh seorang pelantun puisi lisan timbul dari sebuah proses belajar yang dilakukannya sejak masa muda. Pada masa “pre-singing” seorang pemuda yang sedang belajar melantunkan puisi lisan telah mengenal beberapa pola dasar formula, seperti pengulangan suara dan kata-kata.

(16)

28

Namun demikian, pola-pola tersebut belum terbentuk dengan tepat. Pola-pola tersebut akan terbentuk dengan tepat pada masa berikutnya. Dapat dikatakan pada masa tersebut ide formula masih dalam proses-jadi. Formula itu baru muncul ketika pelantun tersebut melantunkannya secara terus-menerus (Lord, 1981:32— 33).

Formula muncul dari frasa-frasa yang diperoleh seorang pelantun dari pelantun lain atau hasil kreasi baru seorang pelantun, frasa-frasa tersebut timbul dalam ingatan pelantun, dan digunakan secara teratur oleh pelantun tersebut (1981:43).

Formula merupakan frase-frase, klausa-klausa, dan kalimat-kalimat yang khas. Formula yang stabil akan menjadikan ide-ide puisi lisan yang umum dengan mengemukakan kata kunci dari nama-nama aktor, tindakan, waktu, dan tempat yang utama. Pola-pola dan sistem-sistem dalam puisi lisan banyak menggunakan “tata bahasa khusus” atau “tata bahasa puisi” (grammar of poetry), yakni berupa “tata bahasa super impos” atau “tata bahasa yang berlapis” (grammar of superimposed). Selain itu, “tata bahasa puitik” dari puisi lisan juga merupakan “tata bahasa parataksis” (grammar of parataxis), yakni konstruksi kalimat, klausa, atau frase koordinatif yang tidak menggunakan kata penghubung. “Tata bahasa” tersebut sering memanfaatkan frase-frase yang membentuk formula (1981:34— 36).

Analisis tekstual, khususnya analisis formula, menurut Lord (1981: 45), harus dimulai dengan pengamatan yang cermat terhadap frase-frase yang mengalami

(17)

29

perulangan. Hal tersebut dilakukan untuk menemukan formula dengan berbagai variasi polanya. Benang merah dari analisis formula menunjukkan bahwa tidak ada larik atau paro larik yang tidak membentuk pola formulaik. Larik dan paro larik yang disebut formulaik tersebut tidak hanya mengilustrasikan pola-polanya sendiri, tetapi juga menunjukkan contoh sistem puisi lisan. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa tidak ada puisi lisan yang tidak formulaik.

Demikian juga dengan macapat “Surat Yusup” yang menjadi objek kajian ini, mempunyai bentuk atau pola formula yang yang cukup dominan sehingga perlu dikaji formula dan ekspresi formulaiknya.

Selanjutnya Lord memaparkan tentang definisi tema dalam puisi lisan. Adapun definisi tema adalah sebagai berikut.

Tema ialah repeated incidents and descriptive passages in the song (peristiwa-peristiwa yang diulang dan bagian deskriptif dalam nyanyian) atau the group of ideas regularly used in telling a tale in the formulaic style of traditional song (kumpulan ide yang secara teratur digunakan untuk menceritakan cerita dengan gaya formulaik nyanyian tradisional (Lord, 1981: 68).

Jadi, dalam mendeskripsi peristiwa yang diulang, yang merupakan bagian yang harus ada di dalam epos, dipergunakan kelompok-kelompok kata tertentu yang siap pakai sedemikian rupa caranya sehingga dapat dilahirkan cerita dengan lancar. Menurut Lord (1981:68 dan 71), ada dua macam tema, yakni tema mayor dan tema minor. Adapun yang dimaksud dengan tema mayor ialah tema besar, sedangkan tema minor ialah bagian kecil dari tema mayor. Misalnya, adegan persidangan raja dengan para punggawanya merupakan tema mayor dan di dalam

(18)

30

adegan ini masih terdapat adegan-adegan kecil, misalnya adegan raja menerima surat; raja memerintahkan mengirim bala tentara, dan sebagainya.

Secara implisit, Lord menyebutkan bahwa tradisi lisan itu memiliki beberapa fungsi dalam masyarakat. Pernyataan Lord tentang fungsi-fungsi tradisi lisan terungkap dalam kutipan berikut.

The tradition, what we might term the intuitions of singers as a group and as an individuals who are preserving the inherited stories from the past – the tradition cannot be said to ignore the ephitet, to consider it as mere decoration or even to consider it as mere metrical convenience. The tradition feels a sense of meaning in the ephitet, and thus a special meaning is imparted to the noun and to the formula. Of course every adjective and ephitet can be said to do this, but I am not thinking in this case about the surface denotative meaning of the adjective, but rather of the traditional meaning, and I would even prefer to call it the traditionally intuitive meaning. … This meaning comes to it from the special, peculiar purpose of oral epic song at its origin, which was magical and ritual before it became heroic (1981, 66).

Kutipan berikut ini juga mengungkapkan pendapat Lord mengenai fungsi tradisi lisan.

I think we are safe in assuming that the repetition was there in two forms originally, not for the sake of meter, nor for the sake of convenience in building a line, but rather for the sake of redoubled prayer in its hope of surer fulfillment. The metrical convenience or even better, the metrical necessity is probably a late phenomenon, indispensable for the growth of epic from what must have been comparatively simple narrative incantations to more complex tales intended more and more for entertainment. This was a change concomitant with the gradual shift toward the heroic and eventually the historic (1981:67).

Berdasarkan pernyataan di atas, fungsi tradisi lisan bagi masyarakat antara lain: a) sebagai kritikan terhadap masyarakat, b) sebagai hiburan, c) sebagai pemelihara cerita masa lampau, d) sebagai pesan religi, e) sebagai magic, f) sebagai ritual, g) sebagai cerita sejarah, dan h) sebagai cerita heroik.

(19)

31 1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data sastra lisan berbeda dengan teknik pengumpulan data sastra tulis. Pengumpulan data dan informasi sastra lisan, terutama dengan teknik perekaman (audio maupun audio-visual), pemotretan, pengamatan secara cermat, pencatatan, dan wawancara mendalam (Sudikan, 2001:173). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik perekaman (audio maupun audio-visual), pemotretan, pengamatan secara cermat, pencatatan, dan wawancara.

Teknik perekaman audio dengan menggunakan tape recorder digunakan untuk merekam suara pelantun macapatan yang sedang menembangkan macapat. Adapun macapat yang direkam yakni macapat Surat Yusup. Perekaman dengan menggunakan tape recorder tersebut dilakukan dengan tujuan agar hasil yang didapat bisa lebih jelas, memperkecil adanya kemungkinan gangguan suara-suara lainnya.

Teknik perekaman audio-visual dengan menggunakan handycam digunakan untuk merekam suara pelantun macapatan dan mengambil gambar hidup ketika pertunjukan macapatan Surat Yusup dalam tradisi tingkeban.

Pemotretan dilakukan untuk mendokumentasikan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam pertunjukan macapatan Surat Yusup dalam tradisi tingkeban.

Pengamatan dan pencatatan dilakukan untuk mengamati dan mencatat berbagai peristiwa yang terkait dengan pertunjukan seperti tanggapan penonton

(20)

32

dan gerak-gerik penonton. Pengamatan juga ditujukan kepada peristiwa-peristiwa di luar pertunjukan (situasi di luar pertunjukan dan tanggapan si empunya rumah).

Wawancara dilakukan untuk menggali data dan informasi tentang latar belakang pelantun macapatan, pengalaman pelantun macapatan dalam proses belajar macapat, dan proses transmisi macapat Surat Yusup.

1.6.2 Metode Analisis Data

Menurut Sudikan (2001: 201), analisis data merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengumpulan data, khususnya dalam penelitian sastra lisan. Data dan informasi yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti secara berkelanjutan ditafsirkan maknanya.

Data dianalisis dengan menggunakan teori sastra lisan Albert B. Lord. Aspek-aspek yang terdapat dalam teori sastra lisan Albert B. Lord meliputi sastra lisan, pertunjukan, komposisi, transmisi, formula, tema, dan fungsi. Analisis pertunjukan dilakukan dengan cara mengamati secara langsung pertunjukan macapatan Surat Yusup dan mengonstruksi berbagai informasi dari narasumber yang berfokus pada proses belajar macapatan Surat Yusup oleh pelantun macapatan. Analisis komposisi dilakukan dengan cara mengamati perubahan yang terjadi di antara dua teks Surat Yusup hasil rekaman selama pertunjukan pada waktu yang berbeda. Analisis transmisi dilakukan dengan cara mengonstruksi berbagai informasi dari narasumber dan mengamati secara langsung penurunan macapatan Surat Yusup selama pertunjukan. Analisis formula dilakukan dengan cara pengamatan yang cermat terhadap kata-kata, frase-frase, klausa-klausa, dan

(21)

33

kalimat-kalimat yang mengalami perulangan, untuk menemukan formula dengan berbagai variasinya. Analisis tema dilakukan dengan cara pengamatan yang cermat terhadap kejadian-kejadian mengalami perulangan untuk menemukan tema cerita. Analisis fungsi dilakukan dengan cara mengamati kata-kata, frasa-frasa, kalimat-kalimat, dan klausa-klausa yang diungkapkan pelantun dalam macapatan Surat Yusup.

1.6.3 Tahapan-tahapan Penelitian

Danandjaya (2004: 193) mengungkapkan ada tiga tahap yang harus dilalui oleh seorang peneliti di tempat penelitian. Tahap-tahap itu adalah 1) tahap prapenelitian, 2) tahap penelitian di tempat sesungguhnya, dan 3) cara pembuatan naskah folklor bagi pengarsipan. Adapun tahapan-tahapan penelitian untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Prapenelitian/persiapan penelitian

a. Mengumpulkan bahan-bahan acuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian melalui studi pustaka dan wawancara;

b. Observasi awal di lapangan untuk mencari informan yang bisa menyanyikan tembang macapat dalam tradisi tingkeban;

Untuk menemukan informan yang baik, peneliti menggunakan kriteria yang diungkapkan oleh Spradley (2007: 68). Ada lima persyaratan1 minimal dalam memilih informan yang baik, yakni (1) enkulturasi penuh; (2) keterlibatan langsung; (3) suasana budaya yang tidak

1 Baca penjelasan masing-masing persyaratan dalam James P. Spradley, Metode Etnografi,

(22)

34

dikenal; (4) waktu yang cukup; dan (5) non-analitis. Berdasarkan kriteria di atas, peneliti memilih Bapak Tiwongso, dan masyarakat Desa Wilayut sebagai informan dengan alasan mereka memenuhi kriteria di atas.

c. Melakukan wawancara dengan informan dan masyarakat yang dilakukan dengan dua cara, yakni terarah dan tidak terarah dalam mengumpulkan data awal dan membuat kesepakatan untuk pengambilan data penelitian.

2. Tahap penelitian/pengambilan data penelitian di lapangan. a. Perekaman pertunjukan macapatan dalam tradisi tingkeban;

b. Wawancara lisan dan tertulis dengan pelantun macapatan dan masyarakat untuk melengkapi data penelitian dan mendokumentasikan sastra lisan. Cara pengambilan data ini dilakukan dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk informan, tentunya yang berkaitan dengan objek penelitian. Untuk menjaring data melalui wawancara, disiapkan beberapa pertanyaan yang masih bersifat umum. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang tradisi macapatan dalam tradisi tingkeban. Pertanyaan disusun berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap fenomena-fenomena objek penelitian agar lebih terfokus pada permasalahan penelitian. Tahap pengamatan dimulai dari persiapan pertunjukan macapatan dalam tradisi tingkeban sampai dengan pelaksanaan dan berakhirnya upacara. Pengamatan lebih difokuskan pada penyampaian teks teks

(23)

35

macapat Surat Yusup sebagai sastra lisan yang berkaitan dengan tradisi tingkeban.

3. Tahap pengarsipan.

Penulis dapat melakukan pengarsipan data-data penelitian dengan cara sebagai berikut.

a. Menransfer data rekaman dalam bentuk kaset;

b. Membuat transkripsi dan terjemahan teks macapat Surat Yusup yang dibantu dengan informan pendamping;

Menurut Baried (1994:63), transkripsi dan transliterasi sering dipakai dengan pengertian yang sama pada penggantian jenis tulisan naskah. Transliterasi diartikan sebagai penggantian tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Penggantian jenis tulisan pada prasasti umumnya memkai istilah transkripsi. Kedua istilah ini dapat dibedakan. Maka, transkripsi diartikan sebagai salinan atau turunan tanpa mengganti macam tulisan (hurufnya tetap sama). Berkaitan dengan pengertian tersebut, penelitian ini lebih difokuskan pada sastra lisan serta pemindahannya dari lisan ke bentuk tulisan. Jadi istilah yang relevan digunakan adalah transkripsi. Sejalan dengan pengertian di atas, Kridalaksana (1983: 170) berpendapat bahwa transkripsi adalah

pengubahan wicara menjadi bentuk tertulis, biasanya dengan

menggambarkan bentuk tiap bunyi/tiap fonem dengan satu lambang. Menerjemahkan sebenarnya tidak sekadar memindahkan arti dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Akan tetapi, lebih untuk sebuah karya

(24)

36

sastra yang banyak menggunakan ungkapan dan simbol yang melatarbelakangi dunia budaya lingkungannya (Abdullah, 1991: 111). Penerjemahan adalah pengalihan amanat antarbudaya dan/ atau antarbahasa dalam tataran gramatikal dan leksikal dengan maksud, efek atau wujud yang sedapat mungkin tetap dipertahankan (Kridalaksana, 1983: 128).

c. Dokumentasi foto pendukung penelitian.

Kegiatan analisis data dilakukan setelah peneliti meninggalkan lokasi penelitian atau lapangan. Setelah data terkumpul, kemudian data dikelompokkan atau diseleksi sesuai dengan permasalahan yang ingin dijawab.

1.7 Sistematika Penelitian

Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I Pendahuluan. Bab ini mengungkapkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat Sidoarjo dan Macapatan. Bab ini mengungkapkan latar belakang sosial budaya masyarakat Sidoarjo yang meliputi lokasi dan lingkungan alam Kabupaten Sidoarjo, religi, dan bahasa masyarakat Sidoarjo. Bab ini juga mengungkapkan macapatan di Kabupaten Sidoarjo.

(25)

37

Bab III Pertunjukan, Komposisi, dan Transmisi Macapatan Surat Yusup. Bab ini mengungkapkan pertunjukan, komposisi, dan transmisi macapatan Surat Yusup.

Bab IV Formula dan Tema dalam Teks Macapat Surat Yusup. Bab ini mengungkapkan berbagai formula dan tema yang terdapat dalam teks macapat Surat Yusup.

Bab V Fungsi Macapatan bagi Masyarakat. Bab ini mengungkapkan berbagai fungsi yang terdapat dalam macapatan Surat Yusup seperti pesan religi dan alat pendidikan.

Bab VI Simpulan. Bab ini mengungkapkan simpulan hasil penelitian macapatan Surat Yusup dalam tradisi tingkeban di Desa Wilayut Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.

Referensi

Dokumen terkait

Teijin Indonesia Fiber Corporation, Tbk Tekstil, Garmen. 103

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa: kecernaan bahan kering dan bahan organik relatif sama antara rumput kumpai segar dengan rumput

Dari pengertian tersebut maka hakekat persaingan dalam kepariwisataan tidak sama dengan persaingan pada sektor-sektor lainnya, karena hakekat persaingan dalam

Pengembangan produk wisata dengan menggunakan teknik tourism opportunity spectrum ini disinyalir dapat meningkatkan atau mengembalikan kunjungan wisatawan

Perseroan mengajukan usul kepada RUPST untuk menyetujui Laporan Tahunan Perseroan Tahun 2020 termasuk didalamnya Laporan Pengawasan Dewan Komisaris, Laporan Direksi mengenai

dari kejadian itu adalah karena anak buah Asano tidak membayar gaji/upah yang cukup ketika Asano belajar pada Pangeran Kira sehingga Pangeran Kira mengajarkan hal yang salah, dan

melaksanakan proses pembelajaran memiliki skor rata-rata 111,87 dan tergolong dalam kategori sangat baik, (2) kinerja guru sesudah bersertifikasi dalam melaksanakan

Proses ini sangat menguntungkan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dengan perendaman sampel akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan