• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PELAYANAN INFORMASI OBAT PADA PASIEN DI INSTALASI FARMASI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI PELAYANAN INFORMASI OBAT PADA PASIEN DI INSTALASI FARMASI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA SKRIPSI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

i

EVALUASI PELAYANAN INFORMASI OBAT PADA PASIEN DI INSTALASI FARMASI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Porfirios Menga Renggo

NIM: 168114101

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” 1 Petrus 5:7

“Sedikit Lebih Beda Lebih Baik Dari Pada Sedikit Lebih Baik”

Pandji Pragiwaksono

KARYA INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:

Tuhan Yesus Kristus sang pemberi kehidupan yang menuntun setiap perjalanan hidup saya sampai sekarang ini, kedua orang tua saya bapak Mikhael Menga dan

mama Hildegardis Woga yang senantiasa memberikan saya semangat dan doa yang tulus, adik-adik tercinta, semua keluarga besar, teman-teman, sahabat yang

(3)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan perlidungan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul”Evaluasi Pelayanan Informasi Obat Pada Pasien Di Instalasi Farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta”.

Banyak pihak yang terlibat dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin berterima kasih kepada:

1. apt. T.B. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Ph.D. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan ketegasan dari awal bimbingan hingga penyusunal skripsi ini selesai.

2. Dr. apt. Yosef Wijoyo, M.Si. dan apt. Putu Dyana Christasani, M.Sc. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberi arahan dan masukan selama penyusunan skripsi.

3. Kepala Puskesmas Depok I dan Kepala Puskesmas Kalasan beserta staf yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini. Apoteker dan pasien sebagai responden yang bersedia meluangkan waktunya untuk terlibat dalam penelitian ini.

4. Dekan dan semua staf Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan semua administrasi terkait penelitian.

5. Bapak Mikhael Menga, mama Hildegardis Woga, adik Putri dan Wati atas dukungannya dan kasih sayang yang tidak ada batasannya. Teman-teman: Aldy, Juan, Rito, Oba deco, Kasindra, Ify, FSMC 2016 serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak dan mengharapkan saran ataupun kritik yang membangun.

Yogyakarta, 16 Desember 2020 Penulis

(4)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…………....……….. vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x ABSTRAK ... xi ABSTRACT ... xii PENDAHULUAN ... 1 METODE PENELITIAN ... 3

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

LAMPIRAN ... 29

(5)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel I. Karakteristik Demografi Responden………13 Tabel II. Pembagian kerja responden di Puskesmas………..14 Tabel III. Teknis pelayanan informasi obat………...17 Tabel IV. Hasil wawancara dengan Responden terkait informasi obat………….25

(6)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman…….30

Lampiran II. Surat Izin Puskesmas Depok I……….….31

Lampiran III. Surat Izin Puskesmas Kalasan……….32

Lampiran IV. Surat Permohonan Menjadi Responden………..33

Lampiran V. Lembar Pesetujuan Menjadi Responden………..34

Lampiran VI. Daftar Panduan Wawancara Responden (Apoteker)………...35

Lampiran VII. Daftar Panduan Wawancara Responden (Pasien)………..37

Lampiran VIII. Hasil Wanwancara Dengan Responden (Apoteker)……….39

(7)

xi ABSTRAK

Untuk menunjang pelayanan kesehatan yang optimal dan bermutu di Puskesmas, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan secara jelas dan terperinci mengenai pelayanan informasi obat yang diberikan pada paien yang mengacu pada standar yang telah ditetapkan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperinmental dengan rancangan cross sectional. Pengambilan data menggunakan metode wawancara mendalam. Data merupakan informasi yang diberikan oleh 5 responden. Data disajikan secara deskriptif dibandingkan dengan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian, rincian informasi obat yang diberikan oleh Apoteker kepada pasien adalah waktu penggunaan obat, lama penggunaan obat, cara penggunaan obat, efek samping obat, interaksi obat, cara penyimpanan obat dan cara pemusnahan obat. Ada beberapa informasi yang belum diterima oleh pasien yaitu mengenai interaksi obat, cara pemusnahan obat dan sama sekali belum mendapatkan leaflet tentang informasi obat. Teknis PIO yang dilakukan yaitu melakukan penyuluhan dan menjawab pertanyaan dari pasien maupun dari tenaga kesehatan. Dokumentasi sudah dilakukan dan sesuai dengan standar. Sumber informasi yang digunakan berupa pustaka primer dan tersier.

Kata kunci: Instalasi Farmasi Puskesmas, Standar Pelayanan Kefarmasian, Pelayanan Informasi Obat.

(8)

xii

ABSTRACT

To support optimal and quality health services at Puskesmas, the government issued a Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No.74 of 2016 concerning Standard of Pharmaceutical Services at Puskesmas. The purpose of this study is to explain clearly and in detail the drug information services provided to patients who refer to predetermined standards. This research is a descriptive non-experimental study with a cross-sectional design. Collecting data using in-depth interviews. Data is information provided by 5 respondents. Data presented descriptively compared to Standard Pharmaceutical Services at Puskesmas. Based on the research results, the detailed drug information provided by the pharmacist to the patient is the time to use the drug, the length of time to use the drug, how to use the drug, drug side effects, drug interactions, how to store the drug and how to destroy the drug. There is some information that has not been received by patients, namely about drug interactions, how to destroy drugs, and absolutely no leaflet about drug information. The PIO technique that is carried out is conducting counseling and answering questions from patients and health workers. Documentation has been done and by standards. Sources of information used are primary and tertiar y libraries.

Keywords: Puskesmas Pharmacy Installation, Pharmaceutical Service Standards, Drug Information Services.

(9)

1

PENDAHULUAN

Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat (Permenkes No. 75 tahun 2014). Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes No 75 tahun 2014). Sedangkan menurut Permenkes No 74 tahun 2016 Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

Pelayanan kefarmasian adalah salah satu bagian dari pelayanan kesehatan di Puskesmas. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk mendukung tiga fungsi pokok pelayanan kesehatan di Puskesmas, yaitu sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, dan pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang meliputi pelayanan kesehatan individu dan pelayanan kesehatan kelompok masyarakat. Pelayanan Kefarmasian bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menuntaskan masalah terkait obat dan masalah kesehatan pada umumnya. Pelayanan kefarmasian memiliki peranan dalam upaya kesehatan untuk menghilangkan gejala dari suatu penyakit, mencegah penyakit, serta dapat menyembuhkan penyakit. Sebaliknya, pelayanan kefarmasian yang kurang optimal dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Oleh sebab itu, pelayanan kefarmasian yang tepat, objektif, dan komprehensif sangat diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kefarmasian adalah wujud dari asuhan kefarmasian yang bertujuan untuk menjaga mutu sediaan farmasi dan

(10)

2

menunjang keberhasilan terapi yang dijalani oleh pasien dalam pengobatan (Prihandiwati dkk, 2018).

Belum semua pasien tahu dan sadar akan apa yang harus dilakukan tentang obat-obatnya. Oleh karena itu, untuk mencegah penyalahgunaannya dan adanya interaksi obat yang tidak dikehendaki, pelayanan informasi obat dirasa sangat diperlukan. Apoteker dapat berkontribusi untuk meningkatkan hasil dari pengobatan yang dijalankan oleh pasien dengan cara memberikan edukasi dan konseling pada pasien untuk menyiapkan dan memotivasi pasien agar mentaati aturan penggunaan obat dan kegiatan monitoring. Edukasi dan konseling merupakan hal yang paling efektif ketika diselenggarakan di dalam ruangan ataupun tempat yang menjamin privasi dan memiliki kesempatan untuk menjaga rahasia komunikasi (Yamada and Nabeshima, 2015).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Novitasari, 2016 ada beberapa masalah yang ditemukan saat melakukan pelayanan informasi obat yakni dokumentasi yang belum sesuai, evaluasi sumber informasi yang digunkan sebagai acuan dalam pelayanan informasi obat belum dilakukan serta sarana fisik seperti ruang pelayanan informasi obat yang dilengkapi dengan sumber informasi dan teknologi komunikasi belum.

Penelitian ini mempunyai tujuan umum yaitu untuk memaparkan secara jelas dan terperinci mengenai pelayanan informasi obat yang diberikan pada pasien di Instalasi Farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta dengan mengacu pada standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 74 tahun 2016. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kelengkapan informasi yang diberikan Apoteker pada pasien di instalasi farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta dengan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 dan mengidentifikasi permasalahan yang ditemukan dalam teknis pelayanan informasi obat yang diberikan pada pasien di instalasi farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta.

(11)

3

METODE PENELITIAN

A. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif non eksperimental dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan melakukan pengamatan langsung atau observasi, wawancara dan dokumentasi.

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah permasalahan teknis dalam pelayanan informasi obat dan pelayanan kefarmasian yang lazim yang diperlukan pasien di Puskesmas, meliputi: Waktu Penggunaan Obat, Lama Penggunaan Obat, Cara Penggunaan Obat, Efek Samping Obat, Interaksi Obat, Cara Penyimpanan Obat dan Cara Pembuangan Obat.

C. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Permasalahan Teknis Dalam Pelayanan Informasi Obat

Meliputi Apoteker tidak memberikan informasi-informasi yang lazim yang harus didapatkan oleh pasien pada saat melakukan pelayanan informasi obat, tidak menerbitkan leaflet dan tidak melakukan dokumentasi.

2. Waktu Penggunaan Obat

Meliputi berapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah di waktu pagi, siang, sore atau malam. Dalam hal ini termasuk apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan.

3. Lama Penggunaan Obat

Apakah obatnya digunakan selama keluhannya masih ada atau obatnya harus dihabiskan meskipun sudah sembuh. Obat antibiotika harus dihabiskan untuk mencegah timbulnya resistensi.

(12)

4 4. Cara Penggunaan Obat

Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu. (contoh: penggunaan insulin dengan benar, cara pengelolaan antibiotik dengan benar, dll.)

5. Efek Samping Obat

Efek samping yang akan timbul dari penggunaan obat, misalnya berkeringat, mengantuk, tinja berubah warna, air kencing berubah warna, dan sebagainya

6. Interaksi Obat

Hal-hal lain yang mungkin timbul, misalnya interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu dan kontraindikasi obat tertentu dengan diet rendah kalori, kehamilan dan menyusui serta kemungkinan terjadinya efek obat yang tidak dikehendaki.

7. Cara Penyimpanan Obat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat. Simpan obat di tempat sejuk dan terhindar sinar matahari langsung atau ikuti aturan pada kemasan. Jauhkan obat dari jangkauan anak-anak.

8. Cara Pembuangan Obat

Cara yang benar untuk membuang obat adalah dengan membuka seluruh kemasannya, kemasannya dirusak dan menghilangkan semua informasi pribadi pada label resep lalu dapat dibuang di tempat sampah. Obat-obatan dalam bentuk tablet sebaiknya dihancurkan kemudian dikuburkan dalam tanah. Obat-obatan yang berbentuk cair sebaiknya dilarutkan atau diencerkan dengan air lalu dapat dibuang di tempat sampah.

(13)

5

D. Populasi, Sampel Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah Semua Apoteker yang bekerja di Instalasi Farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman dan semua pasien yang datang berobat dan mendapatkan pelayanan informasi obat.

2. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Apoteker yang bertugas di Puskesmas dan yang sudah memiliki SIPA dan melakukan pelayanan informasi obat kepada pasien dan pasien yang datang berobat dan mendapatkan pelayanan informasi obat dari Apoteker yang memenuhi kriteria Inkulusi dan Ekslusi. Sampel penelitian selanjutnya disebut responden.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini mengunakan teknik Purposive Sampling. Purposive Sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pemilihan sekelompok subjek dalam purposive sampling, didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan kata lain unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang diterapkan berdasarkan tujuan penelitian (Mamik, 2015). Teknik dan langkah dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Apoteker di Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta dan pasien yang datang berobat kemudian mendapatkan pelayanan informasi obat dari Apoteker dan disesuaikan dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Pemilihan Puskesmas sebagai tempat penelitian yaitu berdasarkan wilayah yang masih aman atau zona hijau untuk angka Covid-19.

4. Kriteria Inklusi

Apoteker yang bertugas memberikan pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta dan pasien yang datang berobat dengan usia ≥ 17 tahun dan yang telah mendapatkan pelayanan informasi

(14)

6

obat dari Apoteker yang bertugas di instalasi Farmasi Puskesmas dan bersedia menjadi responden dengan menandatangani inform consent.

5. Kriteria Ekslusi

Apoteker yang bertugas memberikan pelayanan kefarmasian di Puskesmas tetapi sedang cuti atau sedang sakit dan Apoteker yang tidak mau diwawancarai, kemudian pasien yang tidak bersedia untuk diwawancarai dan pasien yang tidak mendapatkan pelayanan informasi obat.

E. Instrumen Penelitian

Alat pengumpulan data berupa daftar panduan wawancara yang disusun berdasarkan pedoman pelayanan informasi obat di Puskesmas dengan mengacu pada Permenkes No. 74 tahun 2016. Panduaan wawancara terdiri dari: pertanyaan mengenai identitas responden, pertanyaan mengenai profesi Apoteker, pertanyaan mengenai pelayanan informasi obat yang diberikan oleh Apoteker. Beberapa pertanyaan dalam panduaan wawancara ini mengadopsi penelitian yang dilakukan oleh Novitasari (2016).

F. Tempat, Waktu Penelitian dan Tata Cara Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Isntalasi Farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2020.

1. Tahap pra penelitian

Tahap prapenelitian adalah jalannya penelitian yang meliputi:

a. Persiapan, penentuan lokasi dan pengajuan ijin

Persiapan yang dilakukan adalah studi literatur kemuadian membuat proposal penelitian dan ujian proposal. Penentuan lokasi penelitian bertujuan untuk menetapkan lokasi yang akan digunakan untuk melakukan penelitian. Setelah itu melakukan perijinan.

Perijinan dilakukan dengan mengajukan proposal penelitian ke Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Yogyakarta yang dilampiri dengan surat pengantar

(15)

7

dari Fakultas Farmasi Unversitas Sanata Dharma Yogyakarta. Surat ijin dari Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Sleman di tujukan ke Puskesmas Kabupaten Sleman yang dilampiri dengan surat pengantar dari Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk perijinan tempat pengambilan data. Setelah mendapatkan perijinan dari Puskesmas dilakukan pengambilan data.

b. Pembuatan daftar panduan wawancara

Daftar panduan wawancara memuat pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan pada responden terkait penelitian. Adapun pokok-pokok pertanyaan memuat tentang pelayanan kefarmasian mengenai pelayanan informasi obat yang diberikan oleh Apoteker kepada pasien berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang mengacu pada Permenskes RI No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jenis informasi yang dimuat dalam daftar panduan wawancara antara lain: sintem kerja yang dilakukan, sarana yang mendukung, kegiatan pelayanan informasi obat yang dilakukan di Puskesmas, sumber informasi yang digunakan, evaluasi yang dilakukan terhadap sumber pustaka, dokumentasi, waktu penggunaan obat, lama penggunaan obat, cara penggunaan obat, efek samping obat, interaksi obat, cara penyimpanan obat dan cara pemusnahan obat.

c. Pengujian Instrumen Penelitian 1) Uji validitas

Uji validitas bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh pertanyaan di dalam kuesioner telah mencakup kawasan atau ruang lingkup yang akan diukur. Uji validitas panduan wawancara dilakukan untuk mengetahui tujuan dari lingkup informasi yang ingin diketahui yaitu sejauh mana pertanyaan-pertanyaan yang tercantum dalam panduan wawancara dapat mencakup seluruh isi obyek yang hendak diukur. Jenis uji validitas yang digunakan adalah validitas konten atau validitas isi yaitu memastikan jika instrumen yang dipakai telah mencakup semua hal yang perlu diukur. Uji validitas isi kuesioner dilakukan berdasarkan analisis rasional oleh professional judgment. Professional judgment yaitu melakukan konsultasi validitas dengan seorang Apoteker dan sekaligus dosen pembimbing. 2) Uji reliabilitas

(16)

8

Suatu instrumen pengukuran dikatakan reliabel apabila instrumen tersebut dipergunakan secara berulang akan menunjukkan hasil pengukur yang sama. Reliabilitas menunjukkan konsistensi kuesioner terhadap jawaban responden dalam beberapa kali pengujian pada kondisi yang berbeda dengan menggunakan kuesioner yang sama (Wahyudi, 2010).

Istilah reliabilitas dalam penelitian kualitatif dikenal dengan istilah dependabilitas. Pengujiannya dapat dilakukan secara internal, yaitu pengujian dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada (Anufia dan Alhamid 2019). Tingkat dependabilitas yang tinggi pada penelitian kualitatif dapat diperoleh dengan melakukan suatu analisis data yang terstruktur dan berupaya untuk menginterpretasikan hasil penelitian dengan baik sehingga peneliti lain akan dapat membuat kesimpulan yang sama dalam menggunakan perspektif, data mentah dan dokumen alalisis penelitian yang sedang dilakukan (Afiyanti, 2008).

G. Tahap Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Metode yang dilakukan untuk pengumpulan data adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun, serta melakukan pengamatan langsung dalam bentuk rekaman suara dan mencatat hal-hal yang disampaikan oleh Apoteker saat memberikan pelayanan informasi obat pada pasien. Wawancara mendalam (in-depth interview) merupakan wawancara yang dilakukan secara langsung dimana peneliti bertatap muka dengan informan atau orang yang diwawancarai (Sayidah, 2018). Untuk menjamin kebenaran mengenai hasil wawancara, peneliti membuat surat pernyataan mengenai keberhasilan wawancara yang ditandatangani oleh responden serta bukti rekaman suara dan dokumentasi saat dilakukan wawancara. 2. Pengolahan Data

Tahap dalam pengelolaan data meliputi: Editing, Coding, dan Tabulating. Editing yang dilakukan berupa pengeditan cuplikan wawancara menyesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan. Coding merupakan pemberian kode penamaan

(17)

9

dari responden untuk memudahkan pembahasan. Sedangkan yang dimaksud dengan tabulating adalah proses pembuatan tabel dari hasil pengamatan untuk memudahkan pembahasan.

Data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis secara tematik dengan membaca tabel-tabel, grafik atau angka yang tersedia lalu dilakukan penguraian. Gambar dan grafik menggambarkan tingkat kehadiran responden, ketersediaan dan kelengkapan pelayanan informasi obat berdasarkan Permenkes No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Berdasarkan analisis tematik yang digunakan untuk mengalisis, maka nantinya hasil penelitian akan dibagi menjadi 3 bagian yaitu: sumber daya manusia, teknis pelayanan informasi obat, dan hasil evaluasi informasi obat pada pasien diinstalasi farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta.

(18)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan teknik tematik yang digunakan untuk mengalisi data, maka hasil dari penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: sumber daya manusia, teknis pelayanan informasi obat dan hasil evaluasi informasi obat pada pasien di instalasi farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta.

A. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia dalam pembahasan ini untuk menggambarkan secara deskriptif Apoteker di instalasi farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta dari karakteristik demografi responden (Apoteker) dan kehadiran responden di instalasi farmasi Puskesmas.

1. Karakteristik demografi responden (Apoteker dan pasien)

Karakteristik yang diamati dalam penelitian ini, untuk Apoteker yaitu: usia, nomor SIPA, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan lama masa kerja. Sedangkan untuk pasien yaitu: usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, hubungan dengan pasien dan pekerjaan.

Responden (pasien) yang diwawancarai berjumlah 3 orang yang terdiri dari 2 laki-laki dan 1 perempuan dengan umur berkisar antara 21-45 tahun, pendidikan terakhir pasien ada yang SMA dan Strata I. Dari 3 orang pasien yang diwawancarai 2 orang merupakan pasien itu sendiri/diri sendiri dan 1 orang yang merupakan keluarga dari pasien, pekerjaan dari pasien bermacam-macam ada yang berprofesi sebagai guru, petani dan pelajar.

Reponden (Apoteker) yang diwawancarai berjumlah 2 orang. Penjelasan mengenai karakteristik demografi responden (Apoteker) akan diuraikan sebagai berikut:

a. Karakteristik berdasarkan usia

Apoteker A berusia 31 tahun dan Apoteker B berusia 40 tahun. Hal ini menunjukan responden masih cukup muda dan masih memungkinkan untuk

(19)

11

mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan pola pikir, sehingga mampu berpikir kritis dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul mengenai pelayanan informasi obat di instalasi farmasi Puskesmas. Secara teoritis kedua responden masih berada di usia yang produktif.

Menurut Ukkas (2017) rentang usia produktif adalah 15-60 tahun, pada rentang usia ini produktifitas kerja sesorang akan meningkat. Hal ini dikarenakan pada tingkat usia produktif sesorang memiliki kreatifitas yang tinggi terhadap pekerjaan sebab didukung oleh pengetahuan dan wawasan yang lebih baik serta mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diberikan. Di usia yang masih produktif ini, diharapkan responden dapat memberikan pelayan informasi obat yang efisien kepada pasien di instalasi farmasi Puskesmas.

b. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin

Semua responden (Apoteker A dan Apoteker B) yang bekerja di instalasi farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman adalah perempuan. Pada umumnya kekuatan fisik yang dimiliki oleh seorang perempuan tidak sama dengan kekuatan fisik yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Menurut Ayuningsasi dan Sasmitha (2017) dalam bekerja perempuan cenderung menggunakan perasaan. Akan tetapi dalam keadaan tertentu terkadang produktivitas perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki, misalnya pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Perkembangan kesetaraan gender membuat laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam melakukan pekerjaan. Banyak pekerja wanita yang memasuki lapangan pekerjaan diberbagai profesi, dalam hal ini profesi Apoteker (Prastiwi dan Rahmadanik, 2020).

c. Karakteristik berdasarkan pendidikan

Menurut Maria, Pongtuluran, dan Maringan (2016) tingkat pendidikan yang tinggi dari seorang karyawan diharapkan memiliki pengetahuan umum dan pengertian yang luas tentang seluruh lingkungan kerja, juga memiliki kompetensi lebih dalam hal persaingan. Oleh sebab itu tingkat pendidikan diharapkan dapat

(20)

12

melahirkan sumber daya manusia berkualitas sehingga berdampak pula pada pencapaian prestasi kerja karyawan itu sendiri.

Responden (Apoteker A dan Apoteker B) telah memenuhi dasar pendidikan sebagai Apoteker yaitu profesi Apoteker. Meskipun demikian seorang Apoteker harus memiliki semangat untuk belajar sepanjang waktu karena ilmu farmasi khususnya akan berkembang setiap saat. Oleh karena itu seorang Apoteker di tuntut untuk terus mengasa kemampuan dan pengetahuannya sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien (Purnomo, Sampurno dan Rachmandani, 2011).

d. Karakteristik berdasarkan lama masa kerja

Responden (Apoteker A dan Apoteker B) memiliki pengalaman yang cukup memadai di dalam dunia kefarmasian. Responden B memiliki pengalaman yang cukup yaitu dengan lama masa kerja 10 tahun dan responden A 5 tahun. Pengalaman kerja yang cukup lama yang dimiliki oleh seorang Apoteker biasanya memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan Apoteker yang baru saja berkecimpung didalam dunia kefarmasian.

Semakin lama seseorang bekerja dalam suatu institusi atau lembaga maka semakin tinggi pula produktivitasnya karena bertambah pengalaman dan keterampilan dalam menyelesaikan tugas yang dipercayakan kepadanya. Masa kerja yang semakin lama akan menyebabkan semakin cepat dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan kefarmasian (Galistiani, Kusuma, Gibran, dan Hanggara, 2017).

(21)

13

Penjelasan mengenai demografi responden (Apoteker dan pasien) dirangkum dalam tabel berikut ini:

Tabel I. Karakteristik Demografi Responden

Karakteristik Demografi Apoteker

No Nama Apoteker

Usia

(tahun) Nomor SIPA

Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir Lama Masa Kerja 1 A 31 Ada P Profesi Apoteker 5 tahun 2 B 40 Ada P Profesi Apoteker 10 tahun

Karakteristik Demografi Pasien

No Nama Usia (tahun) Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir Hubungan dengan Pasien Pekerjaan 1 P1 21 Perempuan SMA Pasien/diri

sendiri Pelajar 2 P2 33 Laki-laki Strata 1 Keluarga

pasien Guru 3 P3 45 Laki-laki SMA Pasien/diri

sendiri Petani

2. Pembagian kerja Responden di instalasi farmasi Puskesmas

Berdasarkan hasil wawancara dengan Apoteker A dan Apoteker B, kedua Apoteker (Apoteker A dan Apoteker B) memiliki tugas yang sama yaitu memberikan pelayanan informasi obat di instalasi rawat jalan. Kedua responden ini (Apoteker) sama-sama dibantu oleh asisten Apoteker, dimana sudah diberikan tugasnya masing-masing. Puskesmas A misalnya, Apotekernya bertugas dibagian farmasi klinis, sedangkan asisten Apotekernya berugas dibagian logistik Puskesmas tetapi Apoteker tetap sebagai koordinatornya. Untuk Puskesmas B, semenjak pandemi covid ini, terdapat dua tempat pelayanan yaitu di instalasi rawat jalan dan di poli covid. Poli Covid ini khusus untuk pasien-pasien yang memiliki gejala batuk, suhu tubuh tinggi, dll. Apoteker dan asisten apoteker setiap harinya bergantian untuk membagi tugasnya. Dan untuk yang memegang bagian logistik semuanya ditugaskan kepada Apotekernya. Jam kehadiran responden di Puskesmas yaitu mulai dari jam 7:30-14:30 dengan rata-rata kehadiran responden A dan B di instalasi farmasi Puskesmas adalah 6-7 jam.

(22)

14

Semakin lama responden berada di intalasi farmasi Puskesmas diharapakn untuk memenuhi kebutuhan pasien akan pelayanan kefarmasian. Selain itu Apoteker juga diharapkan untuk selalu hadir disetiap jam kerja untuk bertanggung jawab dan mengawasi setiap pelayanan kefarmasian di instalasi farmasi Puskesmas tersebut.

Tingkat pemahaman pasien dalam menerima atau memahami informasi yang disampaikan oleh responden adalah salah satu faktor yang menentukan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh responden untuk menyampaikan informasi obat. Semakin cepat pasien dapat memahami informasi yang disampaikan oleh responden tentunya juga waktu yang dibutuhkan oleh responden untuk pelayanan informasi obat akan semakin cepat. Oleh karena itu, responden dituntut untuk menyampaikan informasi obat dengan bahasa yang mudah dimengerti atau mudah diterima oleh pasien.

Berikut ini adalah tabel pembagian kerja di Puskesmas.

Tabel II. Pembagian kerja responden di Puskesmas Responden Bagian Kerja Lama Kehadiran Pembagian Kerja

A Rawat Jalan 6-7 jam

- PIO

- Koordinator - Penanggung jawab

logistik B Rawat jalan dan

Poli Covid

6-7 jam - - PIO Koordinator - Penanggung jawab

logistik

B. Teknis Pelayanan Informasi Obat 1. Teknis pelayanan informasi obat di instalasi farmasi Puskesmas

Teknis pelayanan informasi obat di instalasi farmasi Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta dilayani oleh responden (Apoteker) dan di bantu oleh asisten Apoteker. Teknis pelayanan informasi obat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian penyerahan obat dan konsultasi obat.

(23)

15 a. Penyerahan obat

Pelayanan informasi obat di bagian peyerahan obat dilayani oleh Apoteker A dan Apoteker B dan dibantu oleh asisten responden pada jam kerja. Selain memberikan informasi mengenai obat, renponden juga memberikan leaflet yang telah diterbitkan yang berisi tentang informasi obat kepada pasien. Akan tetapi, tidak semua pasien yang mendapatkan pelayanan informasi obat mendapatkan leaflet. Hanya pasien dengan kondisi penyakit yang sesuai dengan isi leaflet yang biasanya mendapatkan leaflet tersebut. Informasi yang tertera pada leaflet antara lain mengenai obat-obatan tertentu dengan penggunaan khusus serta informasi yang memang sangat dibutuhkan oleh pasien.

Sumber informasi yang digunakan oleh kedua responden (Apoteker A dan Apoteker B) dalam memberikan pelayanan informasi obat antara lain ISO, MIMS, Medscape dan referensi-referensi lain dari internet. Evaluasi sumber informasi yang digunakan dalam pelayanan informasi obat oleh responden yaitu meng-update aplikasi Medscape secara berkala, serta memperbarui edisi-edisi buku-buku teks seperti ISO dan MIMS. Apoteker A dan Apoteker B selalu meng-update referensi-refernsi yang diperoleh dari internet apakah referensinya ini sudah edisi terbaru atau masih edisi yang lama sehingga layak digunakan untuk menjadi acuan dalam melakukan pelayanan informasi obat.

Setelah selesai memberikan pelayanan informasi obat, kedua responden biasanya melakukan dokumentasi yang masih tersimpan hingga saat ini. Dokumentasi yang dilakukan telah sesuai berdasarkan pedoman pelayanan informasi obat di Puskesmas yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 yang memuat tentang tanggal dan waktu pertanyaan dimasukan, metode penyampaian pertanyaan, identitas penanya, kontak personal penanya, status penanya, data pasien, pertanyaan yang diajukan, jenis pertanyaan yang diajukan, jawaban atas pertanyaan, referensi yang digunakan, lama penelusuran informasi, Apoteker yang menjawab pertanyaan, tanggal dan waktu penyampaian informasi, dan metode penyampaian jawaban.

(24)

16

Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan Apoteker A dan Apoteker B terkait dengan dokumentasi pelayanan informasi obat:

Apoteker A.

“Ya mas ada. Dukumentasinya nanti menurut yang permenkes 74 tahun 2016. Kayak misalnya dijawab langsung atau tidak. Refensinya apa kayak gitu-gitu itu selalu kita tulis mas. Cuman kadang itu kita nggak langsung bikin dokumentasinya pas selesai PIO, karenankan pasiennya banyak ya mas jadi kalau misalkan kayak gitu itu kita biasanya minta tanda tangan dulu. Nanti kalau sudah selesai pelayanan baru kita isi dokumentasinya.” Apoteker B.

“Iya mas, kita selalu melakukan dokumentasi saat pemberian informasi obat kepada pasien, kita punya ceklistnya yang harus kita isi. Jadi kita selalu mengisis form ceklist tersebut dan untuk arsip dokumentasinya kita simpan dilemari arsip kita sendiri. Jadi disini kita punya lemari khusus untuk menyimpan dokumentasinya itu mas.”

b. Konsultasi obat

Pelayanan konsultasi obat di Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta masih belum bisa terlaksana dengan baik karena belum tersedia ruangan khusus untuk pasien yang datang untuk berkonsultasi dengan Apoteker terkait pengobatan. Hal ini disebabkan karena memang keterbatasan jumlah ruangan yang ada di Puskesmas. Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan Apoteker A dan Apoteker B.

Apoteker A:

“Kalau itu, di Puskesmas sini belum ada ruangan khusus. Jadi untuk PIO itu kita disini masih gabung sama ruangan penyerahan obat.”

Apoteker B:

“Nahh, ini yang menjadi kendala kami ya mas disini, untuk pelayanan informasi obat kan harusnya ada ruangan khusus terutama untuk konseling, tetapi disini belum tersedia karena keterbatasan ruangan. Jadi untuk konselingnya itu kami berikan di ruangan ini. Kami sebisa mungkin memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasiennya.”

Berdasarkan hasil penelitian, belum terdapat sarana fisik berupa ruangan konsultasi yang disediakan oleh Puskesmas untuk mendukung pelayanan informasi obat. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016, harus terdapat ruangan khusus untuk melakukan konseling kepada pasien. Jika tidak

(25)

17

memungkinkan maka ruangan konsultasi obat dapat digabungkan dengan ruangan yang lain tetapi harus terdapat pemisahan yang jelas. Akan tetapi berdasarkan pengamatan yang dilakukan belum terdapat pemisahan khusus antara fungsi ruangan.

Berikut adalah tabel yang berisi teknis pelayanan informasi obat di Puskesmas.

Tabel III. Teknis pelayanan informasi obat Responden Waktu

Konseling Kegiatan lain

Sumber Informasi Evaluasi Sumber Informasi Dokumentasi A Dilayani pada jam kerja - Memberikan leaflet - Memberikan penyuluhan - Menjawab pertanyaan dari tenaga medis lain - ISO - MIMS - Medscape - Sumber

lain Dilakukan Dilakukan

B Dilayani pada jam kerja - Memberikan leaflet - Memberikan penyuluhan - Menjawab pertanyaan dari tenaga medis lain - ISO - MIMS - Medscape - Sumber

lain Dilakukan Dilakukan

C. Hasil Evaluasi Informasi Obat

Berdasarkan hasil penelitian, Apoteker A dan Apoteker B menyampaikan informasi obat yang lazim yang diberikan kepada pasien yaitu terkait dengan waktu penggunaan obat, lama penggunaan obat, cara penggunaan obat, efek samping obat, interaksi obat, cara penyimpanan obat dan cara pembuangan obat. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai 2 Apoteker dan 3 orang pasien.

1. Hasil wawancara dengan responden (Apoteker) a. Hasil evaluasi terkait waktu penggunaan obat

Berdasarkan hasil penelitian, Apoteker A dan Apoteker B telah menyampaikan informasi terkait dengan waktu penggunaan obat kepada pasien yang datang untuk mendapatkan pelayanan dari Apoteker yaitu mengenai durasi waktu minum obat dalam sehari dan dijelaskan mengenai setiap berapa jam

(26)

18

obatnya harus dikonsumsi oleh pasien, diminum ketika pagi hari, siang, sore atau malam dan juga dijelaskan mengenai obatnya diminum sebelum makan, sesudah ataupun bersamaan dengan makan. Berikut adalah hasil wawancara dengan kedua responden (Apoteker).

“Apoteker A: Kalau untuk itu kita kasi informasi yang seperlunya yang dibutuhkan ya mas, jadi misalnya kalau pasien dapat merformin harus minumnya misalnya habis 2 suapan makan atau apa nanti kita jelaskan. Terus misalnya sebelum atau sesudah makan itu berapa menit seperti itu mas. Kemudian juga obatnya ini diminum pagi siang atau malam itu kita jelaskan juga mas. Kalau untuk antibiotik itu kita selalu buatkan jamnya”. “Apoteker B: Untuk waktu penggunaan obatnya ya kita jelaskan mengenai waktu minum obat itu misalkan diminum tiap berapa jam, atau waktu minum obat misalnya baik digunakan di pagi hari, siang, sore atau malam, yang paling penting itu diminum sebelum atau sesudah makan. Dan di etiketnya juga sudah kita tulis”.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 saat melakukan konseling kepada pasien, Apoteker harus menyampaikan informasi terkait dengan waktu penggunaan obat. Informasi yang lazim yang diperlukan oleh pasien terkait dengan waktu penggunaan obat yaitu berapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah diwaktu pagi, siang, sore atau malam. Dalam hal ini apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan (Depkes RI, 2008). Berdasarkan hasil penelitian dengan kedua responden (Apoteker), keduanya telah menyampaikan informasi terkait dengan waktu penggunaan obat yang dibutuhkan oleh pasien yang meliputi obat yang didapatkan oleh pasien diminum pada saat pagi, siang, sore atau malam dan obatnya diminum sebelum atau sesudah makan atau bersamaan dengan makan dan berapa kali obat digunkana dalam sehari.

b. Hasil evaluasi terkait dengan lama penggunaan obat

Berdasarkan hasil penelitian, Apoteker A dan Apoteker B menyampaikan informasi mengenai lama penggunaan obat kepada pasien yaitu tentang kapan obat harus digunakan, sampai kapan obatnya digunakan, dan kapan obat tersebut harus dihentikan penggunaannya. Berikut adalah hasil wawancara dengan kedua responden (Apoteker).

“Apoteker A: Kalau yang itu mas untuk pasien yang rutin misalnya kena diabetes atau hipertensi kita tekakankan untuk setiap hari minum obat,

(27)

19

kemudian kita minta untuk datang kontrol kesini lagi. Tapi kalau misalkan yang obatnya yang prn (prorenata) itu misalnya obatnya ibuprofen itu diminum pas pusing saja kalau misalkan tidak pusing tidak usa diminum lagi. Kayak gitu. Kemudian untuk yang antibiotik misalkan ini dimunum 5 hari kayak gitu”.

”Apoteker B: Terkait dengan lama penggunaan obatnya kalau yang antibiotik itu kan ya harus dihabiskan ya mas. Kemudian untuk obat-obat yang lain seperti obat penurun panas ya kita sarankan untuk menggunakannya pada saat panas saja, kemudian jika sudah terasa sembuh ya boleh dihentikan penggunaannya”.

Menurut PMK No.74 tahun 2016 salah satu informasi yang penting saat melakukan konseling kepada pasien adalah informasi terkait dengan lama penggunaan obat. Informasi yang dibutuhkan oleh pasien terkait dengan lama penggunaan obat yaitu apakah selama keluhan masih ada atau obatnya harus dihabiskan meskipun sudah terasa sembuh. Obat antibiotika harus dihabiskan untuk mencegah timbulnya resistensi (Depkes RI, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Apoteker A dan Apoteker B telah menyampaikan informasi terkait lama penggunaan obat kepada pasien yang meliputi pada saat kapan obat harus digunakan dan kapan obat harus dihentikan penggunaannya.

c. Hasil evaluasi terkait dengan cara penggunaan obat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Apoteker A dan Apoteker B menyampaikan informasi mengenai cara penggunaan masing-masing obat terutama untuk sedian obat yang membutuhkan cara penggunaan khusus. Berikut adalah cuplikan hasil wawancara dengan Apoteker A dan Apoteker B.

“Apoteker A: Kalau untuk cara pengunaan obat sendiri, kita lihat dulu sediaan obat yang didapatkan pasien. Jadi misalkan suppo itu kita tanyakan dulu sudah pernah pakai ini sebelumnya atau tidak. Kalau misalkan belum pernah kita ada kasi leaflet sambil kita jelaskan cara pakainya gitu mas. Kita jelaskannya seperti itu mas, kalau pasiennya sudah merasa jelas biasanya saya meminta pasien untuk mengulangi lagi. Dipastikan pasiennya benar-benar mengeri. Terus nanti kita kasi leaflet kalau misalkan nanti di rumah lupa”.

“Apoteker B: Ya kalau untuk cara penggunaan obatnya itu ya mas ya. Kita lihat dulu obat apa yang di dapat oleh pasiennya misalkan pasiennya dapat suppo ya kita jelaskan cara penggunaannya sambil kita menunjukan

(28)

20

gambarnya juga. Setelah kita menjelaskan kita juga memberikan leafletnya terkait dengan cara penggunaan supponya itu”.

Menurut PMK No.74 tahun 2016, cara penggunaan obat adalah informasi yang harus diberikan kepada pasien pada saat Apoteker melakukan konseling. Cara penggunaan obat yang benar akan menetukan keberhasilan dalam pengobatan. Oleh karena itu pasien harus mendapatkan penjelasan dari Apoteker mengenai cara penggunaan obat yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat tetes mata, salep mata, obat tetes hidung, obat semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan krim/salep rektal dan tablet vagina (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian dari kedua responden (Apoteker) telah menyampaikan informasi terkait dengan cara penggunaan obat terutama obat dengan cara penggunaan khusus.

d. Hasil evaluasi terkait dengan efek samping obat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Apoteker A dan Apoteker B menyampaikan informasi terkait dengan efek samping obat yaitu tentang nama sediaan yang diterima oleh pasien, kemudian efek samping yang mungkin timbul setelah penggunaan obat tersebut dan langkah apa yang harus dilakukan oleh pasien ketika efek samping obat itu muncul. Berikut adalah cuplikan hasil wawancara dengan Apoteker A dan Apoteker B.

“Apoteker A: Kalau efek samping biasanya kita beritahunya yang umum saja misalnya obat NSAID pereda nyeri, misalnya itu kita anjurkan untuk pasiennya minum obatnya sesudah makan ya bu takutnya nanti perutnya sakit gitu. Jadi kita nggak omong yang ESOnya gini kayak gitu kadang itu terlalu gimana ya mas, takutnya nanti pasiennya takut menggunkan obatnya. Jadi kita agak perhalus bahasanya kayak gitu mas”.

“Apoteker B: Terkait dengan efek samping obat balik lagi tergantung dari jenis obatnya ya mas, misalnya obatnya CTM, ya kita jelaskan obatnya ini efek sampingnya ngantuk jadi kita anjurkan untuk tidak berkendara dulu setelah menggunakan obat ini seperti itu mas. Jadi selalu kita jelaskan ya mas ya agar pasien tidak kaget ataupun bingung, dan tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya begitu mas”.

(29)

21

Menurut PMK No. 74 tahun 2016 ketika melakukan konseling kepada pasien, informasi terkait dengan efek samping obat harus dijelaskan oleh Apoteker. Efek yang akan timbul dari penggunaan obat, misalnya berkeringat, mengantuk, kurang waspada, tinja berubah warna, air kencing berubah warna, dan sebagainya (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian informasi terkait dengan efek samping obat telah dijelaskan oleh Apoteker A dan Apoteker B. Informasi yang diberikan oleh kedua responden (Apoteker) meliputi efek samping yang akan muncul setelah penggunaan obat dan cara untuk pengatasannya.

e. Hasil evaluasi terkait dengan interaksi obat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Apoteker A dan Apoteker B menyampaikan interaksi obat kepada pasien yang memang mendapatkan obat-obat yang memungkinkan terjadinya interaksi obat-obat. Informasi yang disampaikan kepada pasien apabila terdapat interaksi obat yaitu menyampaikan nama obat yang memiliki interaksi, memberikan saran kepada pasien tentang apa yang harus dilakukan, serta hal-hal yang harus dihindari. Berikut merupakan cuplikan hasil wawancara dengan Apoteker A dan Apoteker B.

“Apoteker A: Kalau tentang itu ya mas, kita biasanya ngasi tau kalau memang itu ada interaksi. Jadi biasanya kan kalau misalkan ada interaksi kita sudah telpon dokternya. Jadi misalkan keluar tu kayak ciprofloxacin sama simvastatin itukan ada interaksinya jadi kita langsung konsul dulu sama dokternya. Dokter ini ada interaksinya ni, gimana tetap dikasi atau gimana nanti kalau misalkan dokternya bilang ini memang harus dikasi berartikan harus dimonitoring pasiennya kayak gitu. Tapi kalau misalkan dokternya juga bilang oh iya ya mbak ada interaksi berarti pengobatan yang ini ditunda dulu aja mbak misalnya kayak gitu. Jadi kita sudah konfirmasi dulu ke dokternya. Tapi kalau misalkan itu sudah muncul sendiri. Misalkan di pasiennya setelah minum obat itu ada interaksinya biasanya kan pasiennya kembali kesini lagi kan. Nanti kita masuknya di MESO. Jadi nanti mereka akan ditelusur obat mana yang menyebabkan seperti itu, Begitu mas”.

“Apoteker B: Kalau untuk interaksinya itu eh misalnya obat asam urat ya biasanya saya tanya dulu ke pasiennya masih ada nyeri nggak, kalau masih ada nyeri ya saya anjurkan untuk minum dulu obat anti nyerinya dulu nanti kalau nyerinya sudah hilang baru boleh minum obat asam uratnya. Karena obat asam urat dan obat nyeri itu kan ada interaksinya kalau diminum secara bersamaan. Jadi itu juga ya tergantung kondisi pasiennya ya mas ya.

(30)

22

Berdasarkan petunjuk teknis standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas yang mengacu pada PMK No. 74 tahun 2016 ketika melakukan konseling kepada pasien, Apoteker harus menyampaikan informasi terkait dengan interaksi obat. Informasi yang diberikan terkait dengan interaksi obat adalah interaksi obat dengan obat lain atau interaksi dengan makanan tertentu (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan berdasarkan wawancara, kedua responden telah menyampaikan informasi terkait dengan interaksi obat. Adapun informasi yang diberikan oleh kedua responden (Apoteker) adalah nama obat yang memiliki interaksi dan hal-hal yang harus dihindari.

f. Hasil evaluasi terkait cara penyimpanan obat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Apoteker A dan Apoteker B menyampaikan informasi tentang cara penyimpanan obat yaitu tentang jenis sediaan obat yang didapat oleh pasien dan bagaimana cara untuk menyimpan obat tersebut. Biasanya informasi yang diberikan oleh responden (Apoteker) yaitu berupa informasi yang umum saja misalnya simpan disuhu ruang dan tidak boleh terkena sinar matahari langsung, ataupun ada obat-obat yang penyimpanannya harus dikulkas. Berikut cuplikan hasil wawancara dengan Apoteker A dan Apoteker B.

“Apoteker A: Kalau penyimpanan obat itu mas, misalkan pasiennya dapat sirup kayak gitu biasanya kita kasi tau bu ini disimpan di suhu ruangan tapi tidak terkena sinar matahari, seperti itu mas”.

“Apoteker B: Kalau untuk penyimpanannya ya balik lagi tadi kita lihat dulu jenis obat yang di dapat oleh pasiennya. Kalau misalkan obatnya tablet misalnya ya kita anjurkan untuk menyimpannya di suhu ruangan saja dan terhindar dari sinar matahari langsung. Ataupun obat yang perlu simpannya di kulkas ya kita sarankan agar pasiennya bisa menyimpan obatnya di kulkas. Jadi selalu kita informasikan ya mas ya”.

Menurut PMK No. 74 tahun 2016 pada saat Apoteker memberikan konseling kepada pasien, informasi terkait dengan cara penyimpanan obat harus dijelaskan sehingga obat yang dipeoleh pasien tidak mudah rusak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kedua responden (Apoteker) telah menyampaikan cara penyimpanan obat yang benar kepada pasien. Adapun informasi yang

(31)

23

diberikan oleh kedua responden (Apoteker) adalah jenis obat dan cara penyimpanannya.

g. Hasil evaluasi terkait cara pemusnahan obat

Berdasarkan penelitian, Apoteker A dan Apoteker B menyampaikan informasi mengenai cara pemusnahan obat yaitu tergantung jenis obat yang didapatkan oleh pasien, misalkan pasiennya mendapatkan sirup atau tablet, disini responden menjelaskan langkah-langkah yang tepat untuk memusnakan obat tersebut sehingga tidak disalah gunakan. Berikut cuplikan hasil wawancara dengan Apoteker A dan Apoteker B.

“Apoteker A: Kalau yang itu ya mas, kalau misalkan yang sirup antibiotik kan kadang sisa kan ya. Nanti biasanya kita kasi tau ini diencerkan dulu penggunakan air kemudian dibuang di tempat sampah, etiketnya di lepas dulu kemudian baru dibuang. Tapi kalau yang tablet itu kan kan ed (expired date) nya itu panjang kalau itu kami anjurkan ke pasien untuk menghancurkannya kemudian dikubur dalam tanah. Kayak gitu mas”. “Apoteker B: Kalau untuk cara pembuangan obatnya ya mas itu sering sekali saya sampaikan kepada pasiennya untuk tidak membuang obatnya ini sembarang. Kalau yang misalnya obatnya tablet ya saya jelaskan untuk menguburkan dalam tanah kemudian kalau obatnya berbentuk sirup ya saya jelaskan untuk buangnya itu di air mengalir seperti itu mas. Kemudian saya juga jelaskan untuk etiketnya itu dilepas dulu baru di buang”.

Menurut Aulia, Nasyanka, dan Na’imah (2020) tata cara pembuangan obat yang tepat dan benar adalah penghancuran obat kemudian ditimbun dalam tanah untuk obat padat sedangkan obat cair dibuang dengan cara mengencerkan obat tersebut dan dicampurkan dengan bahan lainnya dengan tanah atau pasir. Selanjutnya, untuk menghindari penyalahgunaan obat maka etiket harus dilepas sebelum membuang obat tersebut. Kemasan box atau dus dan tube sebaiknya digunting atau dipotong dahulu sebelum dimusnahkan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa Apoteker A dan Apoteker B telah menyampaikan informasi terkait dengan cara pembuangan obat yang benar. Adapun informasi yang diberikan oleh kedua responden adalah jenis obat dan cara yang tepat untuk membuang obat tersebut.

(32)

24

2. Hasil wawancara dengan responden (Pasien)

Responden (pasien) yang diwawancarai sebanyak 3 orang. Jumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden yaitu sebanyak 11 pertanyaan. Dari ketiga responden yang diwawancarai dan dari 11 pertanyaan yang diajukan kepada responden terdapat 3 pertanyaan yang menurut pasien belum pernah mendapatkan informasi tersebut dari Apoteker yaitu pada pertanyaan nomor 2 tentang apakah pernah mendapatkan leaflet terkait informasi obat, kemudian pertanyaan nomor 9 tentang interaksi obat dan pertanyaan nomor 11 tentang cara pemusnahan obat.

Pertanyaan nomor 2 mengenai apakah pernah mendapatkan leaflet terkait dengan informasi obat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Apoteker, Apoteker hanya memberikan leaflet kepada pasien yang mendapatkan obat dengan penggunaan khusus. Obat-obat dengan penggunaan khusus seperti obat suppositoria, inhaler, insulin, obat tetes mata dan lain-lain. Semua responden (pasien) yang diwawancarai sama sekali belum pernah mendapatkan leflet dari Apoteker. Hal ini dikarenakan responden (pasien) mendapatkan obat yang tidak memerlukan penggunaan khusus.

Pertanyaan nomor 9 mengenai interaksi obat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Apoteker, informasi terkait interaksi obat diberikan oleh Apoteker kepada pasien kalau obat yang didapatkan oleh pasien benar-benar mempunyai interakasi. Ketiga responden (pasien) yang diwawancarai tidak mendapatkan informasi dari Apoteker terkait dengan interaksi obat. Hal ini dikarenakan tidak semua obat yang didapatkan oleh pasien mempunyai interaksi obat, hanya obat-obat tertentu saja yang mempunyai interaksi obat. Menurut Mulyani (2006) informasi mengenai interaksi obat harus diberikan oleh Apoteker kepada dokter penulis resep dan kepada pasien agar interaksi obat dapat terhindarkan dan pengobatan yang didapatkan oleh pasien bisa lebih optimal.

Pertanyaan nomor 11 mengenai cara pemusnahan obat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Apoteker, informasi mengenai cara pemusnahan obat telah

(33)

25

diberikan. Akan tetapi berdasakan hasil wawancara dengan responden (pasien), ketiga responden ini sama sekali belum pernah mendapatkan informasi terkait dengan cara pemusnahan obat. Hal ini dikarenakan mungkin pada saat ketiga pasien ini mendapatkan pelayanan informasi obat, Apotekernya lupa untuk memberikan informasi terkait cara pemusnahan obatnya, atau Apotekernya merasa tidak perlu lagi karena Apotekernya sudah memberikan informasi ini pada saat melakukan penyuluhan di puskesmas atau pada saat melakukan penyuluhan dimasyarakat. Cara pemusnahan obat yang benar harus disampaikan oleh Apoteker kepada pasien, karena pembuangan obat secara sembarangan dapat memberikan kesempatan orang lain untuk menyalahgunakan obat tersebut. Hasil wawancara dengan responden (pasien) dapat dilihat pada rangkuman tabel berikut ini.

Berikut ini adalah rangkuman dari berbagai jenis informasi yang disampaikan oleh Apoteker A dan Apoteker B dan rangkuman hasil wawancara dengan pasien. Hasil informasi yang disampaikan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel IV. Hasil wawancara dengan Responden terkait informasi obat Hasil wawancara dengan Apoteker

No Komponen Informasi Obat

Apoteker A Apoteker B

Disampaikan Tidak

disampaikan Disampaikan

Tidak disampaikan

1 Waktu Penggunaan Obat  -  -

2 Lama Penggunaan Obat  -  -

3 Cara Penggunaan Obat  -  -

4 Efek Samping Obat  -  -

5 Interaksi Obat  -  -

6 Cara Penyimpanan Obat  -  -

7 Cara Pembuangan Obat  -  -

Hasil wawancara pasien terkait dengan informasi obat

No Nama Pertanyaan (No kode)

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 P1 ×       ×  ×

2 P2 ×       ×  ×

3 P3 ×       ×  ×

Keterangan: = Telah disampaikan , ×= tidak disampaikan.

(34)

26

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Apoteker telah memberikan informasi yang harus didapatkan oleh pasien pada saat melakukan pelayanan informasi obat yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas.

2. Informasi yang belum didapatkan oleh pasien yaitu mengenai interaksi obat, cara pemusnahan obat yang benar dan pernah atau tidak mendapatkan leaflet mengenai informasi obat.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan yaitu perlu adanya peningkatan peran Apoteker dalam edukasi pasien terkait interaksi obat, cara pemusnahan obat yang benar dan pemberian leaflet mengenai informasi obat kepada pasien.

(35)

27

DAFTAR PUSTAKA

Afiyanti, Y., 2008. Validitas Dan Reliabilitas Dalam Penelitian Kualitatif. Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(2), 138-139.

Anufia, B., Alhamid, T., 2019. Instrumen Pengumpulan Data. Ekonomi Islam, 13-14.

Aulia, R., Nasyanka, A.L., Na’imah, J., 2020. Monitoring Pengetahuan Tanya 5O dan Dagusibu Obat yang Benar pada Ibu PKK RT/RW 003/003 Desa Kedanyang, Kebomas, Gresik. Academics in Action Journal, 2(1), 15-16. Ayuningsasi, A.A.K., Sasmitha, N.P.R., 2017. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Pengrajin Pada Industri Kerajinan Bambu Di Desa Belega Kabupaten Gianyar. E-Jurnal EP Unud, 6(1), 69-70.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas, Jakarta.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2008. Modul Tot Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Galistiani, G.F., Kusuma, A.M., Gibran, N.C., Hanggara, S.L., 2017. Pengaruh Keberadaan Apoteker Terhadap Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Wilayah Kabupaten Banyumas. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 7(1), 68-75.

Mamik., 2015. Metodologi Kualitatif. Zifatama Publishing, Sidoarjo, 53.

Maria, S., Pongtuluran, Y., Maringan, K., 2016. Pengaruh Tingkat Pendidikan, Sikap Kerja Dan Keterampilan Kerja Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pt. Wahana Sumber Lestari Samarinda. Jurnal Ekonomi dan keuangan, 13(2), 135-140.

Mulyani, U.A., 2006. Peran Serta Profesi Farmasi Dalam Permasalahan Yang Terkait Dengan Terapi Obat Tuberkulosis Pada Anak. Peneiiti Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan, 102-104.

Novitasari, A.L., 2016. Evaluasi Pelayanan Informasi Obat Pada Pasien Di Instalasi Farmasi RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Prastiwi, I.L.R., Rahmadanik, D., 2020. Polemik Dalam Karir Perempuan Indonesia. Jurnal Komunikasi Dan Kajian Media, 4(1), 2-5.

Prihandiwati, E., Muhajir, M., Alfian, R., Feteriyani, R, 2018. Tingkat Kepuasan Pasien Puskesmas Pekauman Banjarmasin Terhadap Pelayanan Kefarmasian, Journal of Current Pharmaceutical Sciences (JCPS), 1(2), 64.

Purnomo, A., Sampurno., Rachmandani, A.A., 2011. Peran Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Dalam Upaya Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, 1(2), 103-109.

(36)

28

Sayidah, N., 2018. Metodologi Penelitian Disertai Dengan Contoh Penerapannya Dalam Penelitian. Zifatama Jawara, Sidoarjo, 146.

Ukkas, I., 2017. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Industri Kecil kota Palopo. Journal of Islamic Education Management, 2(2), 189-191.

Wahyudi, R., 2010. Uji Validitas Dan Reliabilitas Dengan Pendekatan Konsistensi Internal Kuesioner Pembukaan Program Studi Statistika Fmipa Universitas Bengkulu. Jurusan Matematika FMIPA Universitas Bengkulu.

Yamada, K., Nabeshima, T., 2015. Pharmacist-managed Clinics For Patient Education And Counseling In Japan: Current Status And Future Perspectives. Journal of Pharmaceutical Health Care and Science (JPHCS).

(37)

29

(38)

30

(39)

31 Lampiran II. Surat Izin Puskesmas Depok I

(40)

32 Lampiran III. Surat Izin Puskesmas Kalasan

(41)

33

Lampiran IV. Surat Permohonan Menjadi Responden

SURAT PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth. Calon Responden Penelitian

Di Tempat Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :Porfirios Menga Renggo

NIM : 168114101

Alamat : Jl. Melati No. 6, Timbulrejo, Maguwoharjo, Depok, Sleman.

Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang akan melakukan penelitian untuk (skripsi) dengan judul “Evaluasi Pelayanan Informasi Obat Pada Pasien Di Instalasi Famasi Puskesmas Di Kabupaten Sleman Yogyakarta”.

Penelitian tidak akan menimbulkan dampak bagi responden, semua informasi akan dijaga kerahasiaanya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian. Apabila selama penelitian terdapat hal-hal yang tidak diinginkan maka Anda berhak untuk mengundurkan diri.

Apabila Anda menyetujui maka saya mohon untuk menandatangani lembar persetujuan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya sertakan bersama surat ini. Demikian permohonan ini, atas perhatian, kerjasama dan kesediaanya untuk berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih.

Yogyakarta,...2020 Peneliti

(42)

34

Lampiran V. Lembar Pesetujuan Menjadi Responden

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah membaca dan memahami isi penjelasan pada lembar pertama, saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “Evaluasi Pelayanan Informasi Obat Pada Pasien Di Instalasi Famasi Puskesmas Di Kabupaten Sleman Yogyakarta”.

Saya memahami bahwa penelitian ini tidak bersifat negatif dan merugikan bagi diri saya. Oleh karena itu, saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Yogyakarta,……...2020 Responden

(43)

35

Lampiran VI. Daftar Panduan Wawancara Responden (Apoteker) DAFTAR PANDUAN WAWANCARA UNTUK APOTEKER Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan Terakhir : Profesi Apoteker/ S-2/ S-3

Lama Bekerja (di Puskesmas ini) :………..Tahun

Daftar Pertanyaan Wawancara Untuk Apoteker I. Profesi Apoteker

1. Berapa lama waktu kehadiran di Puskesmas?

2. Berapa lama waktu yang disediakan dalam pelayanan informasi obat?

3. Apakah anda selalu terlibat aktif dalam memberikan pelayanan informasi obat? II. Pelayanan Informasi Obat yang Diberikan Oleh Responden

1. Seperti apa sistem kerja yang dilakukan dalam pelayanan informasi obat di puskesmas ini? Contoh: Pembagian jam kerja, kemudian siapa yang bertugas di bagian logistik.

2. Apa saja sarana fisik yang disediakan untuk mendukung pelayanan informasi obat ?

3. Apa saja kegiatan pelayanan informasi obat yang dilakukan di Puskesmas, sebutkan? Contoh: menjawab pertanyaan dari tenaga medis lain, kemudian menerbitkan leaflet.

4. Apakah sumber informasi yang digunakan dalam pelayanan informasi obat? 5. Bila menggunakan sumber pustaka, bagaimana evaluasi yang dilakukan? 6. Apakah setelah selesai melakukan pelayanan informasi obat dilakukan

dokumentasi?

7. Informasi apa sajakah yang diberikan pada pasien terkait waktu penggunaan obat?

(44)

36

8. Informasi apa sajakah yang diberikan pada pasien terkait lama penggunaan obat?

9. Informasi apa sajakah yang diberikan pada pasien terkait cara penggunaan obat?

10. Informasi apa sajakah yang diberikan pada pasien terkait efek samping obat? 11. Informasi apa sajakah yang diberikan pada pasien terkait interaksi obat? 12. Informasi apa sajakah yang diberikan pada pasien terkait cara penyimpanan

obat ?

13. Apakah setelah memberikan obat kepada pasien, diberitahukan juga tentang cara pembuangan obat?

(45)

37

Lampiran VII. Daftar Panduan Wawancara Responden (Pasien) PANDUAN WAWANCARA UNTUK PASIEN

Identitas Responden (Pasien)

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan Terakhir : SD Akademisi/Diploma

SLTP/ SMP Sarjana

SLTA/ SMA

Hubungan dengan Pasien : Pasien/ Diri Sendiri

Keluarga Pasien Perawat Pasien Lainnya (……….) Pekerjaan : Petani Pedagang Pengusaha Pelajar PNS Lainnya (………..)

(46)

38

Daftar Pertanyaan Wawancara Untuk Pasien 1. Sudah berapa kali Bapak/Ibu datang berobat dipuskesmas ini?

2. Apakah Bapak/Ibu pernah mendapatkan leaflet atau browsur dari Puskesmas yang berisi tentang informasi obat?

3. Apakah Apoteker memberikan informasi terkait dengan waktu penggunaan obat ?

4. Apakah Apoteker memberikan informasi terkait dengan berapa kali obat digunakan dalam sehari?

5. Apakah Apoteker juga memberikan informasi terkait dengan waktu penggunaan obat dalam hal ini apakah diwaktu pagi, siang, sore atau malam? Dan juga apakah Bapak/Ibu mendapatkan informasi tentang obatnya diminum/ digunakan sebelum atau sesudah makan?

6. Apakah Apoteker memberikan informasi terkait dengan lama penggunaan obat? Informasi apa yang Bapak/Ibu terima dari Apoteker terkait dengan lama penggunaan obat?

7. Apakah Apoteker memberikan informasi terkait dengan cara penggunaan obat? Kemudian informasi apa saja yang didapatkan terkait dengan cara penggunaan obatnya?

8. Apakah setelah mendapatkan obat, Apotekernya memberikan informasi tentang efek samping obat yang diterima? Seperti efek yang tidak di inginkan dari penggunaan obat?

9. Apakah Apoteker memberikan informasi terkait dengan Interaksi obat? Contohnya itu apakah Bapak/Ibu diberikan informasi terkait dengan interaksi obat dengan obat, kemudian obat dengan makanan?

10. Apakah Apoteker memberikan informasi terkait dengan cara penyimpanan obat ? informasi apa yang Bapak/Ibu terima dari Apoterker terkait dengan cara penyimpanan obat yang baik?

11. Apakah setelah mendapatkan obat Apotekernya memberikan informasi terkait dengan cara pemusnahan obat yang benar? Contohnya itu dikuburkan atau dibakar dan lain sebagainya?

(47)

39

Lampiran VIII. Hasil Wanwancara Dengan Responden (Apoteker) Hasil wawancara dengan responden (Apoteker) Apoteker A

1. Nama : apt. AF, S.farm

2. Umur : 31 Tahun

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Pendidikan Terakhir : Profesi Apoteker

5. Lama Bekerja (di Puskesmas) : 5 Tahun

Bagian I No Kode

pertanyaan Jawaban

1 1 6-7 jam.

2 2 Waktu yang diperlukan untuk PIO tidak menentu, tergantung tingkat pemahaman dari pasien.

3 3 Responden merupakan satu-satunya Apoteker di Puskesmas sehingga responden selalu terlibat aktif dalam memberikan PIO. Bagian II

No Kode

pertanyaan Jawaban

1 1 Untuk sistem kerjanya bagian farmasi klinik menjadi tanggung jawab responden (Apoteker), sedangkan bagian logistik menjadi tanggung jawab asisten Apoteker tetapi responden (Apoteker) tetap sebagai koordinatornya.

2 2 Sarana fisik yang disediakan untuk melakukan PIO adalah buku-buku referensi yang dapat digunakan sebagai sumber informasi dan di Puskesmas ini belum terdapat ruangan khusus untuk konseling. Ruangan untuk PIO masih gabung dengan ruangan penyerahan obat.

3 3 Selain memberikan PIO kepada pasien, responden juga menerbitkan leaflet untuk obat-obat dengan penggunaan khusus, melakukan penyuluhan, kemudian menjawab pertanyaan dari tenaga medis lain. 4 4 Sumber informasi yang digunakan oleh responden dalam

memberikan PIO adalah Medscape dan literature dari internet. 5 5 Evaluasi sumber informasi yang digumakan yaitu meng-update

Gambar

Tabel I. Karakteristik Demografi Responden……………………………………13  Tabel II. Pembagian kerja responden di Puskesmas……………………………..14  Tabel III
Gambar  dan  grafik  menggambarkan  tingkat  kehadiran  responden,  ketersediaan  dan kelengkapan pelayanan  informasi obat berdasarkan Permenkes No
Tabel I. Karakteristik Demografi Responden  Karakteristik Demografi Apoteker  No  Nama
Tabel II. Pembagian kerja responden di Puskesmas  Responden  Bagian Kerja  Lama Kehadiran  Pembagian Kerja
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak semua komponen informasi mengenai penyakit dan obat asma diterima oleh responden dan harapan responden terhadap pelayanan

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat kepuasan pasien dalam Pelayanan Informasi Obat antara Puskesmas

Diharapkan pihak instalasi Farmasi dapat selalu mempertahankan kualitas pelayanan yang ada sehingga pasien tetap merasa puas pada Item pertanyaan nomor 1(

Hasil: Tingkat kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabanjahe Kabupaten Karo secara keseluruhan adalah

tingkat kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabanjahe Kabupaten Karo sudah mencapai kategori sangat

Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Jalan Peserta BPJS Kesehatan Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan .Skripsi .Program Studi Ekstensi

Saya Eunike Perbina br Sembiring, mahasiswa di Fakultas Farmasi USU akan mengadakan penelitian dengan judul “TINGKAT KEPUASAN PASIEN DAN KUALITAS PELAYANAN KEFARMASIAN DI

Satibi, Fudholi, A., Rokhman, M.R., 2018, Perbaikan Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Untuk Meningkatkan Ketersediaan Obat dan Patient Safety di Era Jaminan Kesehatan