• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. kawasan hutan dan non hutan. Pada mulanya lahan-lahan di tanah air umumnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. kawasan hutan dan non hutan. Pada mulanya lahan-lahan di tanah air umumnya"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Kritis dan Penyebarannya

Lahan kritis di Indonesia telah mencapai 25 juta ha yang terdapat di kawasan hutan dan non hutan. Pada mulanya lahan-lahan di tanah air umumnya merupakan hutan tropika yang subur dan lebat. Lahan hutan yang subur itu dapat kita jumpai dimana-mana mulai dari daerah pesisir hingga di areal pegunungan. Selain sebagai sumber diperolehnya hasil hutan yang beraneka ragam jenisnya, hutan merupakan habitat dari kehidupan baik tumbuhan maupun binatang yang beranekara ragam. Bertambahnya penduduk menyebabkan bertambahnya pula kebutuhan mereka (Suseno, 2002).

Masalah lahan kritis sebetulnya tidak bisa dipisahkan dengan kualitas pengelolaan lahan dan/ atau tanaman. Dan memang telah banyak bukti menunjukkan bahwa lahan yang tidak dikelola sebagaimana mestinya pasti mengalami kemunduran kesuburannya. Pemunduran itu selain melalui pengurasan unsur hara melalui pembakaran pada waktu pembukaan lahan, juga sering terjadi melalui erosi tanah oleh air hujan, angin dan/ atau di beberapa negara disebabkan oleh adanya salju. Pemunduran oleh kedua penyebab tersebut nyata-nyata menurunkan produktivitas tanah (Suseno, 2002).

Kehilangan unsur hara sesungguhya memang menurunkan produktivitas lahan. Bila suatu lahan produktivitasnya rendah maka lahan itu akan ditinggalkan dan selanjutnya secara perlahan-lahan berubah menjadi semak belukar. Lahan seperti ini tergolong tidak produktif. Lahan yang tidak produktif dan telah

(2)

mengalami kerusakan secara fisik, kimia dan biologis merupakan istilah yang digunakan untuk lahan kritis (Suseno, 2002).

Lima proses utama yang terjadi timbulnya tanah terdegradasi, yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, dan pencucian unsur hara. Khusus untuk tanah-tanah tropika basah terdapat tiga proses penting terjadinya degradasi tanah, yaitu: 1) degradasi fisik berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan erosi dipercepat, 2) degradasi kimia berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur lainnya, 3) degradasi biologis berhubungan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah (Menius, 2006)

Tanah-tanah lahan kering tropika basah merupakan tanah yang rentan degradasi, selain disebabkan faktor alami juga akibat campur tangan manusia. Degradasi tanah, ditandai dengan kondisi banjir saat musim hujan dan kekeringan cukup parah saat musim kemarau. Hal itu menunjukkan bahwa tanah tidak mampu lagi mengatur kelembaban, sehingga cepat mengering dan jenuh bila kondisi curah hujan berubah (Menius, 2006).

Penyebaran lahan kritis dan penyebabnya : a. Lahan Kritis di Kawasan Pantai

Kawasan pantai akan menjadi lahan kritis, jika terjadi pengikisan pantai oleh gelombang laut (abrasi) yang kuat. Abrasi dapat menyebabkan lapisan sedimen (endapan) akan hancur dan lenyap. Peristiwa ini terjadi pada muara sungai yang pantainya terbuka dengan gelombang laut yang

(3)

besar, seperti di daerah muara sungai Progo (DI. Yogyakarta) dan muara sungai Cimanuk (Jawa Barat).

b. Lahan Kritis di Kawasan Dataran Rendah

Lahan Kritis di kawasan dataran rendah terjadi akibat adanya genangan air atau proses sedimentasi (pengendapan) bahan yang menutupi lapisan tanah yang subur.Genangan air terjadi karena tanahnya lebih rendah dari daerah sekitarnya, sehingga waktu hujan lebat terjadi banjir dan air menggenang. Lahan Kritis di dataran rendah dapat dijumpai pada daerah sekitar Demak (jawa Tengah), Lamongan, Gresik, Bojonegoro, dan Tuban (Jawa Timur).

c. Lahan Kritis di Kawasan Pegunungan/Perbukitan

Lahan kritis di kawasan pegunungan terjadi akibat adanya longsor, erosi atau soil creep (tanah merayap). Lapisan tanah yang paling atas (top soil) terkelupas, sisanya tanah yang tandus bahkan sering merupakan batuan padas (keras). Hal ini sering terjadi di kawasan pegunungan dengan lereng terjal dan miskin tumbuhan penutup. Lahan kritis di kawasan pegunungan banyak dijumpai pada pegunungan yang hutannya telah rusak. Lahan kritis kawasan pegunungan di Indonesia antara lain di pegunungan Kendeng Utara (Jawa Timur) dan sekitar gunung Ciremai (Jawa Barat).

(Romenah, 2007)

Taksonomi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L)

Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 cm, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindiris, dan bila terluka mengeluarkan getah. Taksonomi dari tanaman jarak pagar (J. curcas L) adalah sebagai berikut :

(4)

Divisi : Spermatophita Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha

Spesies : Jatropha curcas L (Hambali et al., 2006)

Daun tanaman jarak pagar adalah tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau 5. Daunnya lebar dan berbentuk jantung atau bulat telur melebar dengan panjang 5-15 cm. Helai daunnya bertoreh, berlekuk dan ujungnya meruncing. Tulang daun menjari dengan jumlah 5-7 tulang daun utama. Panjang tangkai daun antara 4-15 cm. Bunga tanaman jarak pagar majemuk berbentuk malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal dan berumah satu (putik dan benang sari dalam satu tanaman). Bunga betina 4-5 kali lebih banyak dari bunga jantan. Bunga jantan maupun bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan yang tumbuh di ujung benang atau ketiak daun. Buah tanaman jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bola telur dengan diameter 2-4 cm. Panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buah berwarna hijau ketika muda serta abu-abu kecoklatan atau kehitaman ketika masak (Hambali et al., 2006). Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat kehitaman dengan ukuran panjang 2 cm dan tebal 1 cm, biji inilah yang banyak mengandung persentase minyak sekitar 20-30 % (Susilo, 2006).

(5)

Persyaratan Tumbuh

Penyebaran tanaman terletak antara 400 LS sampai 500 LU, dengan ketinggian yang optimal adalah 0-2000 meter dari permukaan laut. Diperlukan iklim yang kering dan panas terutama pada saat berbuah. Suhu rendah pada waktu tanam dan pembungaan akan sangat merugikan karena akan tumbuh jamur. Tanaman jarak pagar tumbuh baik di daerah tropis dan subtropis. Suhu optimum adalah 200 C sampai 350 C (Alamsyah, 2006). Tanaman jarak pagar tergolong tanaman hari panjang, yaitu tanaman yang memerlukan sinar matahari langsung dan terus-menerus sepanjang hari. Tanaman tidak boleh terlindung tanaman lainnya, yang berakibat menghambat pertumbuhannya. (Purwantoro, 2007).

Faktor utama yang berpengaruh terhadap tanaman adalah intensitas hujan, hari hujan per-bulan, dan panjang bulan basah. Intensitas hujan yang tinggi dalam bulan basah akan mengakibatkan timbulnya serangan cendawan dan bakteri baik pada bagian atas maupun di dalam tanah. Curah hujan yang optimal adalah 300-1200 mm/thn yang tersebar 4-6 bulan yaitu pada saat tanaman berbunga dan berbuah membutuhkan bulan kering minimal 3 bulan. Tanaman jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu menahan air dan tanah sehingga tahan terhadap kekeringan serta berfungsi sebagai tanaman penahan erosi. Tanah tidak diperlukan subur, tetapi lebih sesuai bila struktur tanahnya ringan. Umumnya produksi maksimum dicapai pada tanaman yang tumbuh di tanah lempung berpasir dan mempunyai pH 5-6,5. Sangat peka terhadap genangan air, karena itu drainasenya harus baik (Purwantoro, 2007).

(6)

Beberapa Jenis Bahan Organik

Pupuk Kandang

Pupuk kandang termasuk ke dalam pupuk organik karena dalam proses pembuatannya berlangsung di alam dan dicirikan dengan kelarutan unsur haranya yang rendah di dalam tanah. Sangat penting untuk mengetahui jenis atau macamnya pupuk kandang. sebab pemakaian pupuk atau perlakuan-perlakuan yang harus dilakukan sebelum pupuk dipakai, agar bermanfaat sebagai cara untuk mengembalikan unsur hara yang telah terangkut atau meningkatkan tersedianya unsur-unsur hara di dalam tanah guna keperluan pertumbuhan tanaman (Sutejo, 1994).

Pupuk kandang ternyata mempunyai pengaruh yang positif terhadap sifat fisis dan kimiawi tanah, mendorong kehidupan (perkembangan) jasad renik. Dengan kata lain pupuk kandang mempunyai kemampuan mengubah faktor-faktor yang menjamin kesuburan tanah (Adianto, 1993).

Pemberian makanan yang penuh nutrisi yang baik bagi ternak yang dipelihara dan kemudian mengembalikan kotorannya sebagai pupuk kandang ke dalam tanah, berarti memberi zat-zat makanan yang baik kepada tanaman yang tengah diusahakan. Hal ini karena terdapatnya kenyataan, bahwa lebih baik susunan makanan ternak itu akan lebih baik pula nilai pupuk kandangnya. Kotoran ternak yang diberi makanan yang banyak mengandung N, P, K akan lebih tinggi karena kandungan N, P, K itu akan terdapat pula pada pupuk kandangnya. Kadar rata-rata unsur hara pada ternak di Indonesia terutama pada pupuk kandang yang matang tidak lebih dari 0,3 % N, 0,1 % P, dan 0,3 % K (Adianto, 1993).

(7)

Pupuk kandang dapat dikatakan selain mengandung unsur makro (nitrogen, fosfor, kalium, dsb) juga mengandung unsur-unsur mikro (kalsium, magnesium, serta sejumlah kecil mangan, tembaga, borium, dll) yang kesemuanya membentuk pupuk, menyediakan unsur-unsur atau zat-zat makanan bagi kepentingan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pupuk kandang didalam tanah mempunyai pengaruh yang baik terhadap sifat fisis tanah. Pengurain-penguraian yang terjadi mempertinggi humus. Sebagai kita ketahui humus sangat berpengaruh baik terhadap sifat fisis tanah, mempertahankan struktur tanah, menjadikan tanah mudah diolah (ringan pengolahannya) dan terisi oksigen yang cukup. Pupuk kandang dianggap pupuk lengkap karena selain menimbulkan tersedianya unsur-unsur hara bagi tanaman, juga mengembangkan kehidupan mikroorganisme (jasad renik) di dalam tanah (Sutejo, 1994).

Pupuk Kompos

Kompos merupakan zat akhir suatu proses fermentasi tumpukan sampah / serasah tanaman dan adakalanya termasuk bangkai binatang. Pembuatan kompos pada hakikatnya ialah menumpukkan bahan-bahan organik dan membiarkannya terurai menjadi bahan-bahan yang mempunyai perbandingan C/N yang rendah sebelum digunakan sebagai pupuk. Karena bahan-bahan organik yang dipergunakan bagi pembuatan kompos tidak begitu jauh berbeda dengan bahan-bahan organis pembuat pupuk hijau (Murbandono, 1993).

Tumpukan bahan-bahan mentah (serasah, sisa-sisa tanaman, sampah dapur, dll) menjadi kompos dikarenakan telah terjadi pelapukan, penguraian atau dengan perkataan lain telah terjadi perubahan-perubahan dari sifat fisik semula menjadi sifat fisik baru (kompos). Perubahan-perubahan ini sebagian besar adalah

(8)

karena kegiatan-kegiatan jasad renik, sehubungan pula dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Apa yang telah terikat oleh jasad renik demi mencukupi kebutuhan hidupnya kelak akan dikembalikan lagi apabila jasad-jasad renik tersebut mati (Murbandono, 1993).

Bahan-bahan mentah pembentuk kompos tentunya mengandung berbagai zat. Kalau kandungan zat-zat tertentu seperti lignin dan senyawa-senyawa sejenisnya ternyata cukup banyak maka penguraian akan berlangsung lambat. Bahan mentah pembentuk kompos sebaiknya dipotong-potong sehingga merupakan bagian-bagian yang kecil. Kenyataannya makin halus atau makin kecil bagian-bagian tersebut akan makin cepat terjadinya pelapukan-pelapukan dan penguraian-penguraiannya (Sutejo, 1994).

Bagi berlangsungnya proses pelapukan dan penguraian diperlukan suhu yang mencukupi, dalam hal ini suhu yang optimal yaitu antara 300 C sampai 450 C. Kelembaban akan sangat berpengaruh dalam mempercepat terjadinya perubahan dan penguraian bahan-bahan pembentuk kompos, dalam hal ini kelembaban tidak terlalu rendah seringkali diusahakan penambahan zat kapur atau abu dapur, dengan demikian kelembaban (pH) yang dapat diperlukan dapat tercukupi. Air sangat diperlukan dalam proses pelapukan bahan-bahan pembentuk kompos, apabila tumpukan-tumpukan bahan mengalami kekurangan air, akan timbul banyak cendawan. Hal demikian dapat merugikan, selain itu proses pelapukannya akan berlangsung kurang sempurna dan sangat lambat (Sutejo, 1994).

(9)

Gambut

Tanah gambut adalah tanah yang kandungan bahan organiknya sangat tinggi dan tebalnya lebih dari 40 cm yang dalam istilah Ilmu Tanah disebut Histosol. Berdasar ditemukannya di alam tanah gambut dibedakan menjadi gambut pantai dan gambut pedalaman, sedang berdasar ketebalannya dibedakan menjadi gambut dangkal (kurang dari 1 m), gambut sedang (1-3 m) dan gambut dalam (lebih dari 3 m). Tanah gambut juga dapat dibedakan berdasar atas tingkat dekomposisi bahan organiknya menjadi gambut kasar (Fibrist), gambut sedang (Hemist) dan gambut halus (Saprist). Kecuali itu bahan tanah mineral di bawah gambut pun berbeda-beda, ada yang terdiri dari tanah halus (lempung liat), tanah sulfat asam, tanah halus dengan sulfat asam, ataupun tanah yang kasar (pasir) (Hardjowigeno, 1997).

Hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa tidak semua tanah gambut cocok untuk pengembangan pertanian. Karena itu dalam pengembangan lahan gambut baru untuk pertanian suatu penelitian awal terhadap potensi tanah melalui survei dan pemetaan tanah perlu dilakukan. Dari survei ini diketahui daerah mana saja yang cocok untuk tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, dan lain-lain, serta daerah mana saja yang tidak cocok untuk pertanian sehingga harus tetap dibiarkan sebagai kawasan hutan. Data inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk perencanaan tata ruang yaitu sebagai dasar untuk penentuan lokasi areal yang direncanakan untuk pertanian padi sawah, palawija, hortikultura, perkebunan, daerah pemukiman, daerah resapan air, hutan lindung, dan sebagainya (Hardjowigeno, 1997).

(10)

Masalah penting dan utama pemanfaatan gambut adalah usaha meningkatkan kesuburan lahan gambut ditentukan oleh : 1) ketebalan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, 2) keadaan tanah mineral di bawah gambut, 3) kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi proses pembentukan maupun proses pematangannya. Gambut yang bertumpu di atas tanah kuarsa lebih miskin dibandingkan gambut yang dipasok air hujan. Masalah lain di lahan gambut adalah imbangan antara bahan organik mineral, larutan tanah dan udara tanah yang tidak selaras (Setiadi, 1997).

Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)

Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi simbiotik antara akar tumbuhan tingkat tinggi dan miselium cendawan tertentu. Nama mikoriza pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan Jerman Frank pada tanggal 17 April 1885. Tanggal ini kemudian disepakati oleh para pakar sebagai titik awal sejarah mikoriza. Menurut Nuhamara (1993) dalam Subiksa (2006), mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu autobion/tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebaranya. Mikoriza tersebar dari artic tundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan 80% jenis tumbuhan yang ada.

(11)

Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar (tipe) yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Namun ada juga yang membedakan menjadi 3 kelompok dengan menambah jenis ketiga yaitu peralihan dari 2 bentuk tersebut yang disebut ektendomikoriza. Pola asosiasi antara cendawan dengan akar tanaman inang menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza dengan endomikoriza. Pada ektomikoriza, jaringan hipa cendawan tidak sampai masuk kedalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk "hartig net dan mantel dipermukaan akar. Sedangkan endomikoriza, jaringan hipa cendawan masuk kedalam sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesicle dan sistem percabangan hipa yang disebut arbuscule, sehingga endomikoriza disebut juga vesicular-arbuscular micorrhizae (VAM) (Subiksa, 2006).

Dalam hal ini jamur atau cendawan tidak bersifat parasit, bahkan merupakan gabungan simbiotik yang mutualistik antara cendawan bukan patogen atau patogen lemah, dengan sel akar hidup terutama sel korteks dan epidermis. Lebih dari 200.000 spesies Angiospermae, terdiri dari cabang-cabang hifa yang berada pada bagian dalam akar sel tanaman inang atau lebih dari 90 % dari 300.000 spesies yang berasosiasi dengan CMA pada tanah-tanah alami (Setiadi, 1992).

CMA tergolong dalam kelompok khusus dari populasi mikoriza yang sangat banyak mengkolonisasi rizosfer, yaitu di dalam akar, permukaan akar, dan di daerah sekitar akar (Feronika, 2003). Hifa eksternal yang berhubungan dengan tanah dan struktur infeksi seperti arbuskular di dalam akar menjamin adanya

(12)

perluasan penyerapan unsur-unsur hara dari tanah dan peningkatan transfer hara (khususnya P) ke tumbuhan, sedangkan cendawan memperoleh C organik dari tumbuhan inangnya (Setiadi, 1992).

Simbiosis antara tanaman dan CMA adalah menguntungkan dan penting untuk kelangsungan hidup cendawan karena cendawan mengambil fotosintesis dari tanaman. Tanaman memperoleh keuntungan dengan adanya CMA dapat menyerap lebih banyak fosfat dari tanah dan tumbuh lebih baik dari tanaman yang tidak tertinfeksi (Sasli, 2004).

CMA merupakan cendawan tanah yang digolongkan ke dalam famili

Endogonaceae, jamur ini dapat bersimbiosis dengan akar banyak spesies tanaman.

Dan ciri paling menonjol dari tipe CMA dibanding jenis lainnya adalah kemampuannya bersimbiosis dengan hampir 90 % spesies tanaman. CMA pada umumnya dapat ditemukan pada sebagian besar spesies tanaman tingkat tinggi yang tumbuh pada berbagai habitat dengan berbagai macam iklim. Sebaran spesies CMA bervariasi menurut iklim, lingkungan dan tipe penggunaan lahan (Sasli, 2004).

Penyebaran CMA yang merata, mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan mempunyai potensi yang penting baik secara ekonomi maupun ekologi. Manfaat penggunaan CMA terhadap tanaman kehutanan yang ditanam pada lahan-lahan kritis telah banyak dilakukan. Jenis tanaman yang diinokulasikan dengan CMA mampu meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan kontrol, hal ini hampir setara dengan pemberian pupuk urea 130 kg/ha, TSP 180 kg/ha dan KCL 100 kg/ha. Peranan CMA tersebut secara spesifik dalam membantu pertumbuhan tanaman antara lain membantu memperbaiki nutrisi tanaman, sebagai pelindung

(13)

hayati, serta membantu meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan (Setiadi, 1999).

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan proposal yang diajukan oleh lembaga, kami siap untuk menjadi penyelenggara program Revitaliasi Sarana Kursus dan Pelatihan tahun 2012 dan menggunakan

untuk Reward, Promotion, dan Employee Performance 58 Tabel 4.6 Penilaian Responden Terhadap Variabel Reward 59 Tabel 4.7 Penilaian Responden Terhadap Variabel Promotion 61

kegiatan Program peningkatan manajemen dan pelayanan Administrasi Persentase kinerja perkantoran yang baik Bidang pelaksana Uraian Indikator Kinerja 2016 2017 2018 2019

Sumbangan informasi bagi Bank Syariah untuk menjadi masukan dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi Preferensi Nasabah memilih Bank Syariah khususnya terkait

Kendala yang peneliti tangkap dari hasil wawancara dengan Bapak Purwanto selaku kabag operasional Perum DAMRI adalah “Singkatnya waktu pada saat parkir di terminal

Tekhnologi dalam pembelajaran PAI dapat diartikan sebagai alat, metode atau tatacara yang dipergunakan dalam proses pembelajaran PAI yang secara sistematis oleh guru

Hal ini dapat dikatakan bahwa komposit serat alam kayu bangkirai dengan penambahan konsentrasi NaOH pada perlakuan alkali berpengaruh untuk meningkatkan sifat