• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nina Cornelia Santoso, Edmon Makarim, dan Ditha Wiradiputra. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nina Cornelia Santoso, Edmon Makarim, dan Ditha Wiradiputra. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Tying Agreement dalam Hukum Persaingan Usaha (Analisis Putusan KPPU

Nomor 07/KPPU-I/2013 Tentang Dugaan Pelanggaran Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 Terkait Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan

Implementasi e-POS di Bandar Udara Soekarno-Hatta)

Nina Cornelia Santoso, Edmon Makarim, dan Ditha Wiradiputra Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424

Email : ninacornelia8@gmail.com

Abstrak

Salah satu perjanjian yang dilarang karena dapat menimbulkan persaingan tidak sehat adalah tying agreement. Dikarenakan ada tying agreement yang menimbulkan dampak positif, maka tidak seluruh tying agreement otomatis melanggar hukum persaingan usaha. Penelitian ini membahas mengenai tying agreement khususnya dalam Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, dimana KPPU menyatakan Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan tenant-nya termasuk ke dalam tying agreement yang dilarang. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan jenis data sekunder berdasarkan penelusuran kepustakaan, ditunjang dengan data primer melalui wawancara. Berdasarkan analisis diperoleh kesimpulan bahwa Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha termasuk tying agreement yang dilarang dan bahwa beberapa hal dalam Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013 belum sesuai dengan hukum persaingan usaha yang berlaku.

Tying Agreement in Antitrust Law (Analysis of Commission’s Decision No. 07/KPPU-I/2013 Regarding Alleged Violations of Law Number 5 Year 1999 Related to the Provision of Telecommunication Networks and Implementation of e-POS in

Soekarno-Hatta Airport) Abstract

One of the agreements prohibited in Antitrust Law because it can lead to unfair competition is tying agreement. Because there are tying agreements that have positive impacts, therefore not all tying agreements will automatically violate Antitrust Law. This research discusses tying agreement, particularly in the Commission's Decision No. 07/KPPU-I/2013, where the Commission stated that Lease and Business Concession Agreement between PT. Angkasa Pura II with its tenants is a prohibited tying agreement. The author used the method of normative juridical research with secondary data based on literature searches, supported by primary data through interviews. Based on the analysis it was concluded that the Lease and Business Consession Agreement was a prohibited tying agreement and that some parts of the Commission's Decision No. 07/KPPU-I/2013 were not in accordance with the applicable Antitrust Law.

(2)

Pendahuluan

Persaingan merupakan salah satu hal yang akan terus ada dan tidak akan hilang dari dunia usaha. Akan sangat merugikan apabila pasar dikuasai oleh satu atau beberapa pelaku usaha saja, karena mekanisme pasar akan terganggu dan pada akhirnya akan merugikan konsumen. Untuk mencegah pemusatan kekuatan ekonomi yang merugikan, diperlukan aturan hukum dalam bidang persaingan usaha. Di Indonesia aturan hukum persaingan usaha baru lahir saat UU No. 5 Tahun 1999 disahkan. UU No. 5 Tahun 1999 mengatur berbagai bentuk perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh pelaku usaha, salah satunya tying

agreement yang diatur dalam pasal 15 ayat 2. Tying agreement adalah perjanjian yang

memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.1 Tying agreement dapat membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri pembeli, penjual, atau pemasok.2 Tying agreement menjadi hal yang serius apabila pelaku usaha yang bersangkutan mempunyai market power terhadap barang utama (tying product). Dengan adanya market

power, pelaku usaha itu dapat menyalahgunakan kemampuan pasarnya sehingga pembeli,

penjual, atau pemasok lain tidak mempunyai pilihan untuk memilih barang lainnya (tied

product) dari sumber lain. Hal ini menjadi perhatian karena dalam hukum persaingan usaha

diatur bagaimana interaksi yang wajar dan efisien dalam perekonomian.

Pada awalnya dalam hukum persaingan usaha Indonesia pelanggaran terhadap tying

agreement dianalisis secara per se illegal, dimana tidak perlu dilihat apakah ada akibat atau

dampak yang signifikan dari tying agreement tersebut. Namun saat ini dengan adanya Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011, KPPU telah menyatakan bahwa dalam menganalisis tying

agreement digunakan pendekatan rule of reason dengan mempertimbangkan dampak dari tying agreement tersebut. Dengan demikian tidak secara otomatis seluruh tying agreement

dilarang, karena ada tying agreement yang memberikan dampak positif.3 Salah satu kasus

tying agreement yang menarik untuk dibahas adalah kasus yang menyangkut PT. Angkasa

Pura II (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk pada tahun 2013. Kasus ini bermula

                                                                                                                         

1 Indonesia (a), Undang Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817, Ps. 15 ayat 2.

2 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1999), hlm. 69.

3 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (a), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011, hlm. 19.

(3)

pada tanggal 30 Maret 2011, dimana PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. menandatangani perjanjian kerjasama “Penyediaan Layanan Electronic Point of Sales (e-POS) di Bandar Udara Soekarno-Hatta” dimana PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. akan menyediakan fasilitas e-POS di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pada tanggal 18 Juli 2011, PT. Angkasa Pura II mengeluarkan Surat Edaran yang menyatakan bahwa tenant wajib untuk menggunakan fasilitas e-POS, dimana setiap bulannya tenant wajib membayar Rp 1.350.000,00. Kewajiban ini selanjutnya dituangkan dalam perjanjian-Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan para tenant. KPPU menilai bahwa dengan mewajibkan para tenant untuk menggunakan dan membayar layanan e-POS, maka PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. telah membuat tying

agreement sebagaimana dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999.4

Pada prinsipnya, penyelenggaraan Bandar Udara di Indonesia dilakukan oleh negara dan tertutup bagi swasta. Saat ini penyelenggara Bandar Udara ada dua, yakni Badan Usaha Bandar Udara dan Unit Penyelenggara Bandar Udara. Badan Usaha Bandar Udara yang ada saat ini berbentuk BUMN, salah satunya PT. Angkasa Pura II (Persero). Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penyelenggara Bandar Udara dapat menyediakan pelayanan jasa kebandarudaraan yang meliputi jasa kebandarudaraan (jasa aeronautika) dan jasa terkait Bandar Udara (jasa non aeronautika).5 Pada pasal 233 ayat 4 UU No. 1 Tahun 2009, ditentukan bahwa pelayanan jasa terkait bandar udara dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.6 Dengan demikian PT. Angkasa Pura II sebagai pengelola Bandar Udara Soekarno-Hatta dapat memberikan hak konsesi kepada WNI dan/atau badan hukum Indonesia untuk berusaha di Bandar Udara Soekarno-Hatta, melalui penyewaan ruangan/counter dengan imbalan pembayaran sewa serta konsesi usaha. Hal yang menjadi masalah adalah apakah PT. Angkasa Pura II berhak mewajibkan tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk membeli fasilitas e-POS.

Untuk menanggapi dugaan KPPU, PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan merupakan usaha menjalankan amanat Permen BUMN No. PER-05/MBU/2008 sebagaimana telah diubah dengan Permen

                                                                                                                         

4 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Putusan Perkara Tentang Dugaan Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 Terkait Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi e-POS di bandar Udara Soekarno-Hatta, Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, hlm. 8.

5 Indonesia (b), Undang Undang Tentang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun 2009,

TLN No. 4956, Ps. 232 ayat 1.

(4)

BUMN No. PER-15/MBU/2012, yakni demi tercapainya sinergi antar BUMN untuk mewujudkan sebesar-besarnya manfaat ekonomi bagi Negara dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.7 PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk sebagai BUMN berusaha untuk mencapai sinergi satu sama lain dalam hal penyediaan e-POS.

Setelah melewati proses persidangan yang panjang, akhirnya pada tanggal 8 Mei 2014, KPPU memutuskan dalam Putusan Nomor 07/KPPU-I/2013 bahwa PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999 sehingga dijatuhi denda.8 Namun putusan KPPU ini belum memiliki kekuatan hukum tetap karena PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. sedang mengajukan keberatan atas putusan KPPU tersebut di Pengadilan Negeri Bandung.9 Selain itu, dalam putusannya KPPU merekomendasikan kepada Kementerian BUMN untuk meninjau kembali Permen BUMN No. PER-05/MBU/2008 sebagaimana telah diubah dengan Permen BUMN No. PER-15/MBU/2012, agar pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa BUMN tetap memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha dalam UU No. 5 Tahun 1999.10

Berdasarkan uraian diatas, Penulis tertarik untuk memahami lebih lanjut mengenai tying

agreement yang dilarang dalam hukum persaingan usaha, khususnya dalam Putusan KPPU

Nomor 07/KPPU-I/2013. Dengan menganalisis putusan tersebut, diharapkan akan diperoleh kesimpulan apakah Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta termasuk ke dalam tying agreement yang dilarang dalam hukum persaingan usaha, serta apakah putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013 memang sesuai dengan hukum persaingan usaha yang berlaku. Untuk dapat lebih memahami mengenai fasilitas e-POS sebagai aplikasi telematika, Penulis juga akan mengkaji industri telematika dan konvergensi telematika secara umum. Selain itu karena tying agreement pada dasarnya dapat berjalan dengan efektif dan memberikan pengaruh kepada persaingan jika pelaku usaha memiliki market power, maka Penulis memandang kemungkinan adanya

                                                                                                                         

7 Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara, Permen

BUMN No. PER-15/MBU/2012, Ps. 2 ayat 4.

8 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Op. Cit., hlm. 102-103.

9 Agustina Melani, “Kuasa Hukum AP II dan Telkom Anggap Keputusan KPPU Tak Tepat”,

http://bisnis.liputan6.com/read/2047414/kuasa-hukum-ap-ii-dan-telkom-anggap-keputusan-kppu-tak-tepat, diunduh pada 28 Agustus 2014.

(5)

keterkaitan antara ruangan/counter yang disewakan dengan fasilitas esensial sebagaimana diatur dalam essential facilities doctrine, yang juga akan dikaji dalam pembahasan.

Penelitian ini memiliki pokok permasalahan : 1) bagaimanakah ketentuan tying

agreement yang dilarang dalam hukum persaingan usaha? ; 2) apakah implementasi hak

konsesi dalam bentuk Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang diintegrasikan dengan penyelenggaraan jaringan dan aplikasi e-POS termasuk ke dalam tying agreement yang dilarang dalam hukum persaingan usaha? ; 3) apakah putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013 terkait tying agreement antara PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. telah sesuai dengan penerapan hukum persaingan usaha yang berlaku di Indonesia?

Tinjauan Teoritis

Pada dasarnya tying agreement adalah suatu penjualan dari sebuah produk (tying

product) dengan kondisi si pembeli harus membeli produk kedua (tied product). Jadi dalam tying agreement, si penjual dari suatu produk mengondisikan penjualan produknya dengan

kesepakatan si pembeli juga ikut membeli produk kedua.11 Tying agreement diatur pada pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999, yakni :

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.12

Dalam menganalisis suatu pelanggaran terhadap tying agreement, sebaiknya dimulai dengan mendefinisikan pasar bersangkutan untuk membantu memahami produk dan pasar serta memudahkan pembuktian. Meskipun pasar bersangkutan bukanlah unsur pasal 15, tetapi ada keterkaitan pasar bersangkutan dengan unsur “pelaku usaha (Pihak) lain.”13 Pasar bersangkutan dalam UU No. 5 Tahun 1999 didefinisikan pasar yang berkaitan dengan

                                                                                                                         

11 Edmon Makarim (a), Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kajian Kompilasi), (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 611.  

12 Indonesia (a), Op. Cit., Ps. 15 ayat 2.

13 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (c), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2009,

(6)

jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.14

Pada awalnya untuk dapat membuktikan pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999 tentang

tying agreement, KPPU menggunakan pendekatan per se illegal, dimana tidak perlu dilihat

apakah ada akibat yang signifikan yang ditimbulkan akibat perilaku tying tersebut. Namun pasal ini dikritik karena tidak memedulikan posisi dominan, dimana pelaku usaha yang dituduh melakukan tying agreement dapat membantah bahwa perilaku tersebut merugikan konsumen, konsumen dapat mencari alternatif produk lain karena ia tidak memiliki posisi dominan. Dengan demikian ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa tying agreement harus dilihat kasus per kasus, apakah pelaku usaha yang melakukan tindakan tersebut memiliki posisi dominan atau tidak, apakah tying agreement yang dilakukan merupakan bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dimilikinya, apakah kebebasan konsumen dalam memilih barang dan atau jasa telah dihalangi dengan adanya tying agreement.15

Saat ini, KPPU menyatakan bahwa dalam melaksanakan ketentuan pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999, diperlukan penafsiran yang tidak kaku, dengan kata lain menggunakan pendekatan rule of reason.16 Hal ini karena pada dasarnya tidak secara otomatis tying

agreement menimbulkan dampak negatif, akan tetapi juga dapat memberikan dampak

positif.17 Pembuktian adanya tying agreement harus dilakukan dengan mempelajari latar belakang perjanjian tersebut, serta menganalisis dampak yang timbul dari pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak-hak yang lahir dari tying agreement tersebut.18 Dengan demikian pelaku usaha tidak dapat dihukum hanya karena membuat tying agreement, apabila

tying agreement tersebut ternyata memberikan dampak positif.19

Dalam kasus Siegel v. Chicken Delight, Imc., 448.F. 2d 43 (9th Cir. 1971), cert. Denied, 405 U.S., 955, 92.S.Ct.1172 (1972), pengujian berikut dilakukan untuk menentukan apakah

suatu tying agreement ilegal atau tidak :

                                                                                                                         

14 Indonesia (a), Op. Cit., Ps. 1 angka 10. 15 Edmon Makarim (a), Op. Cit., hlm. 630-632.

16 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (a), Op. Cit., hlm. 5-6. 17 Ibid., hlm. 19.

18 Ibid., hlm. 21-22. 19 Ibid., hlm. 19.  

(7)

1. Tes tersebut melibatkan dua jenis produk yang berbeda, dimana produk pertama (tying product) tidak dapat diperoleh kecuali apabila produk kedua (tied product) juga ikut dibeli.

2. Produk pertama (tying product) memiliki kekuatan pasar yang cukup bernilai untuk mengendalikan persaingan dalam pasar produk kedua. Dengan kata lain, tying

agreement tidak akan berarti apabila pelaku tidak memiliki posisi dominan di dalam

pasar karena konsumennya dapat mencari alternatif produk lain.

3. Sejumlah perdagangan yang substansial terganggu karena adanya tindakan tying

agreement tersebut.

4. Terjadinya akibat dari tujuan anti persaingan pada pasar produk kedua.20

Sedangkan menurut KPPU, tying agreement dinyatakan telah memenuhi kriteria pasal 15 ayat 2 jika terpenuhi kriteria berikut :

1. Perjanjian tertutup yang dilakukan harus menutup volume perdagangan secara substansial atau mempunyai potensi untuk melakukan hal tersebut. Berdasarkan pasal 4, ukuran yang digunakan adalah apabila akibat dilakukannya perjanjian tertutup ini, pengusaha memiliki pangsa 10% atau lebih;

2. Perjanjian tertutup dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar, dan kekuatan tersebut dapat semakin bertambah karena strategi perjanjian tertutup yang dilakukan. Ukuran kekuatan pasar adalah sesuai dengan pasal 4 yaitu memiliki pangsa pasar 10% atau lebih;

3. Dalam perjanjian tying, produk yang diikatkan dalam suatu penjualan harus berbeda dari produk utamanya;

4. Pelaku usaha yang melakukan perjanjian tying harus memiliki kekuatan pasar yang signifikan sehingga dapat memaksa pembeli untuk membeli juga produk yang diikat. Ukuran kekuatan pasar adalah sesuai dengan pasal 4 yaitu memiliki pangsa pasar 10% atau lebih.21

Pelaku usaha yang melakukan tindakan tying pada dasarnya harus memiliki kekuatan pasar yang besar. Kekuatan pasar atau market power yang dimaksud adalah kemampuan pelaku usaha untuk menetapkan harga melebihi biaya marjinal dari kegiatan produksi yang dilakukan, sehingga keuntungan yang dinikmati adalah keuntungan di atas level harga persaingan atau keuntungan normal.22 Tanpa posisi dominan atau kekuatan pasar yang besar,

tying agreement tidak akan berhasil, karena konsumen dapat mencari alternatif produk lain

untuk menggantikan tying product. Dalam Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011, dinyatakan bahwa pelaku usaha sudah dikatakan melakukan tindakan tying jika memiliki pangsa pasar 10% atau lebih.23 Dengan demikian pelaku usaha tidak perlu memiliki posisi dominan (50%

                                                                                                                         

20 Edmon Makarim (a), Op. Cit., hlm. 613-614.

21 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (a), Op. Cit., hlm. 21.

22 A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat: Per-se Illegal atau Rule of Reason. Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 113-114.

(8)

atau lebih pangsa pasar) untuk melakukan tying agreement, asalkan telah memiliki pangsa pasar 10% maka unsur kekuatan pasar dalam tying agreement telah terpenuhi.

Mengenai kebandarudaraan, UU No. 1 Tahun 2009 mengatur bahwa penyelenggara Bandar Udara dapat menyediakan berbagai kegiatan pengusahaan Bandar Udara yang bersangkutan. Pada pasal 232, disebutkan mengenai pelayanan jasa kebandarudaraan di Bandar Udara (umum), yang meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan dan pelayanan jasa terkait Bandar Udara.24 Selanjutnya pada pasal 233 ayat 4 UU No. 1 Tahun 2009, ditentukan bahwa pelayanan jasa terkait bandar udara dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.25 Pasal 245 UU No. 1 Tahun 2009 menentukan bahwa besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.26 Dalam PP No. 6 Tahun 2009 disebutkan bahwa penyewa ruangan yang melakukan kegiatan usaha, selain dikenakan tarif sewa ruangan, dikenakan pungutan tambahan (konsesi) sebesar 5% x total pendapatan kotor.27 Selain itu dalam pasal 41 Permenhub No. KM 35 Tahun 2009 disebutkan bahwa penyewaan ruangan untuk kegiatan usaha selain dikenakan tarif sewa ruangan juga dikenakan pungutan tambahan (konsesi) yang pelaksanaannya diatur dalam perjanjian sewa antara penyelenggara Bandar Udara dengan penyewa.28 Dengan demikian penyelenggara Bandar Udara dapat melakukan komersialisasi atas pelayanan jasa terkait bandar udara, misalnya dengan menyewakan ruangan/tanah dengan imbalan biaya sewa dan konsesi.

Mengenai industri telematika, pada dasarnya terdiri dari tiga lapisan, yakni aplikasi dan konten, network dan access, dan resources.29 Seiring dengan perkembangan, muncul konvergensi telematika, yang dipahami sebagai perpaduan teknologi dan rantai nilai (value

                                                                                                                          24 Indonesia (b), Op. Cit., Ps. 232. 25 Ibid., Ps. 233 ayat 4.

26 Ibid., Ps. 245.

27 Indonesia (c), Peraturan Pemerintah Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Perhubungan, PP No. 6 Tahun 2009, LN No. 19 Tahun 2009, TLN No.

4973, Lampiran hlm. 28.

28 Kementerian Perhubungan, Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara,

KM No. 35 Tahun 2009.

29 Edmon Makarim (b), Hukum Persaingan dan Industri Telematika,

http://www.mastel.or.id/files/EM%20-%20Competition%20%26%20Telecommunication.pdf, diunduh pada 8 Januari 2015.  

(9)

chain) dari penyediaan dan pelayanan telematika.30 Dengan konvergensi, dua atau lebih produk atau layanan yang sebelumnya diselenggarakan oleh beberapa entitas perusahaan yang terpisah kemudian diselenggarakan oleh satu entitas perusahaan yang sama.31 Jadi aplikasi dan konten, network dan access, dan resources yang sebelumnya diselenggarakan oleh beberapa entitas yang berbeda dapat diselenggarakan oleh entitas yang sama.

Mengenai essential facilities doctrine, Organisation For Economic Co-Operation and

Development (OECD) menyatakan bahwa : “An "essential facilities doctrine" specifies when the owner(s) of an "essential" or "bottleneck" facility is mandated to provide access to that facility at a "reasonable" price.”32 Dengan demikian essential facilities doctrine terjadi ketika pemilik dari fasilitas yang “esensial” diberikan mandat untuk menyediakan akses ke fasilitas tersebut dengan harga yang “wajar” (ada kewajiban untuk berbagi). Tujuan doktrin ini adalah untuk mencegah pemilik monopoli pada suatu pasar memperluas monopolinya ke pasar lain. Pada dasarnya ada beberapa definisi yang berbeda tentang esensialitas, yakni suatu fasilitas dikatakan esensial apabila fasilitas tersebut esensial bagi publik (masyarakat); esensial bagi persaingan; esensialitas sama dengan kekuatan pasar; dan esensial karena preferensi konsumen.33 Tanggung jawab essential facilities doctrine dalam tying agreement muncul ketika ada penolakan untuk memasok konsumen yang tidak menyetujui tying agreement.34

Metode Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian deksriptif.35 Berdasarkan tujuannya, penelitian ini dapat digolongkan menjadi penelitian evaluatif.

                                                                                                                         

30 Indonesia (d), Rancangan Undang-undang Tentang Konvergensi Telematika, Ps. 1 angka 1. 31 Danrivanto Budhijanto,Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi dan Konvergensi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm. 266.

32 Organisation For Economic Co-Operation and Development, “The Essential Facilities Concept”,

http://www.oecd.org/competition/abuse/1920021.pdf, 1996, p. 7, diunduh pada 8 Januari 2015.

33 Christopher M. Seelen, “The Essential Facilities Doctrine: What Does It Mean To Be Essential?”,

http://scholarship.law.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1517&context=mulr, 1997, p. 1120-1127, diunduh pada 8 Januari 2015.

34 Dina Ansari, “The EC Essential facilities doctrine, the Microsoft Case and the Treatment of Trade Secrets,” (Thesis, Commercial and Business Law Programme with a European Emphasis, University of

Linkoping), 2009, p. 9.  

35 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

(10)

Berdasarkan penerapannya, penelitian ini dapat digolongkan menjadi penelitian berfokus masalah.36 Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan. Namun apabila diperlukan untuk memperoleh data lebih lanjut, maka akan melakukan wawancara kepada pihak terkait.

Data sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, yaitu yang terdiri dari peraturan perundang-undangan seperti UU No. 5 Tahun 1999, UU No. 1 Tahun 2009, Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penelitian ini; bahan hukum sekunder, yang terdiri dari artikel ilmiah, buku, makalah, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang berkaitan dengan tying agreement; serta bahan hukum tersier, yang terdiri dari buku pegangan yang berkaitan dengan industri kebandarudaraan dan telematika. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan-bahan pustaka, yakni bahan-bahan yang berkaitan dengan

tying agreement serta kasus PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk.

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, maka pengumpulan data akan ditunjang dengan wawancara kepada pihak-pihak terkait. Dalam hal ini Penulis menelusuri dan meneliti serta menganalisis bahan-bahan pustaka yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Berdasarkan sifat penelitian yang deskriptif maka data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, yang akan menghasilkan data deskriptif analitis.37

Pembahasan

Pasar bersangkutan dalam putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013 didefinisikan oleh Majelis Komisi secara terlalu sederhana. Majelis Komisi menyatakan pasar produknya sebagai layanan e-POS, sedangkan pasar geografisnya ruang usaha yang disewakan kepada 400 (empat ratus) tenant di wilayah Bandar Udara Soekarno Hatta.38 Dari sisi pasar produk, Majelis Komisi tidak mempertimbangkan produk pesaing dan substitusi dari e-POS. Dari sisi pasar geografis, pada kenyataannya ada layanan e-POS maupun produk pesaing dan produk substitusinya yang tersedia diluar 400 tenant di wilayah Bandar Udara Soekarno-Hatta.

                                                                                                                          36 Ibid., hlm. 5.

37 Ibid., hlm. 67.

(11)

Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta memenuhi unsur-unsur pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999. Unsur yang memuat persyaratan pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok dapat dilihat pada bagian konsesi usaha dan cara pembayaran, dimana diatur bahwa tenant wajib mengadakan catatan yang benar dan jelas mengenai pendapatannya dan wajib menginput ke program e-POS. Selain itu pada bagian hak dan kewajiban di dalam perjanjian juga dicantumkan kewajiban terkait dengan penyediaan peralatan program e-POS.39  Meskipun PT. Angkasa Pura II memenuhi unsur pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999 dan dapat dikatakan telah membuat tying agreement, namun tidak serta merta seluruh tying agreement dikatakan ilegal. Untuk dapat menyatakan suatu tying agreement ilegal, maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu, yakni :  

1. Melibatkan dua jenis produk yang berbeda, dimana produk pertama (tying product) tidak dapat diperoleh kecuali apabila produk kedua (tied product) juga ikut dibeli;40

Jasa penyewaan ruangan dan jasa e-POS merupakan dua jasa yang berlainan antara satu dengan yang lain, karena tanpa e-POS pun penyewaan ruangan di Bandar Udara Soekarno-Hatta dapat dilakukan dan dapat berjalan, dan begitu juga sebaliknya.

2. Produk pertama (tying product) memiliki kekuatan pasar yang cukup bernilai untuk mengendalikan persaingan dalam pasar produk kedua;41

Kekuatan pasar pada dasarnya adalah kemampuan pelaku usaha untuk menetapkan harga melebihi biaya marjinal dari kegiatan produksi yang dilakukan, sehingga keuntungan yang dinikmati adalah keuntungan di atas level harga persaingan atau keuntungan normal. Sebagai BUMN penyelenggara Bandar Udara dalam pasar yang tertutup untuk swasta, kekuatan pasar PT. Angkasa Pura II cukup besar. Ditambah lagi dengan fakta bahwa Bandar Udara Soekarno-Hatta sebagai Bandar Udara yang dikelola PT. Angkasa Pura II merupakan Bandar Udara terbesar di Indonesia dan tersibuk kedelapan di seluruh dunia.42 Sebagai penyelenggara Bandar Udara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

                                                                                                                          39 Ibid., hlm. 47-48.

40 Edmon Makarim (a), Op. Cit., hlm. 613-614. 41 Ibid.

42 Maria Yuniar dan Putriadityowati, “More Flights for Soekarno-Hatta Airport”

http://en.tempo.co/read/news/2014/05/22/056579611/More-Flights-for-Soekarno-Hatta-Airport, diunduh pada 28 September 2014.

(12)

ada maka PT. Angkasa Pura II dapat menetapkan tarif jasa kebandarudaraan berdasarkan kesepakatan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa dengan terlebih dahulu mensosialisasikan kepada pengguna jasa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum tarif tersebut diberlakukan.43 Dengan demikian PT. Angkasa Pura II tidak memiliki pesaing yang berarti dalam hal penyewaan ruangan di Bandar Udara. Tanpa adanya pesaing yang berarti, konsumen (tenant) tidak memiliki banyak alternatif dalam penyewaan ruangan di Bandar Udara.

3. Sejumlah perdagangan yang substansial terganggu karena adanya tindakan tying

agreement tersebut;44

Dalam perdagangan tying product (jasa penyewaan ruangan), karena PT. Angkasa Pura II sendiri sudah memiliki kekuatan pasar yang besar tanpa ada pesaing yang berarti, maka kewajiban membeli e-POS bagi tenant berpotensi untuk memperbesar kekuatan pasarnya. Selain itu tenant juga tidak dapat mengakses jasa penyewaan ruangan tanpa membeli POS. Dalam perdagangan tied product (POS), diperlukan perbandingan antara jumlah e-POS (dan produk pesaing serta substitusinya) sebelum Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha dengan jumlah e-POS (dan produk pesaing serta substitusinya) setelah perjanjian tersebut. Namun dilihat dari jumlah investasi e-POS yang mencapai Rp 8,2 milyar, maka PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. akan memperoleh keuntungan yang besar dari kewajiban pembelian e-POS ini. Dari sisi perdagangan e-POS juga akan berpengaruh terhadap jumlah e-POS yang tersedia di pasar. 4. Terjadinya akibat dari tujuan anti persaingan pada pasar produk kedua.45

Meskipun meniadakan persaingan bukan merupakan tujuan dibuatnya perjanjian kerjasama penyediaan e-POS, namun dengan adanya kewajiban membeli fasilitas e-POS milik PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., maka di Bandar Udara Soekarno-Hatta penyedia jasa e-POS lain tidak dapat masuk ke dalam pasar tersebut.

Berdasarkan syarat-syarat diatas, diperoleh kesimpulan bahwa syarat-syarat ilegalitas terpenuhi, meskipun apabila dimungkinkan lebih baik dilakukan penelitian yang lebih dalam lagi untuk memastikan pemenuhan syarat-syarat tersebut. Untuk lebih memastikan ilegalitas

                                                                                                                         

43 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Op. Cit., hlm. 16. 44 Ibid.  

45 Normin S. Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Proyek

Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, 1994), hlm. 11-12.

(13)

tying agreement, digunakan pendekatan rule of reason.46 Mengenai latar belakang Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan tenant yang mewajibkan tenant membeli fasilitas e-POS, hal ini karena tenant yang melakukan kegiatan usaha di lingkungan Bandar Udara Soekarno-Hatta telah mencapai 600-900 tenant, maka PT. Angkasa Pura II berinisiatif mewajibkan tenant memakai fasilitas e-POS, agar transaksi yang dilakukan tenant dapat diawasi secara real time oleh PT. Angkasa Pura II.47 Jadi latar belakang dibuatnya Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan tenant yang mewajibkan tenant membeli fasilitas e-POS adalah untuk mengawasi transaksi real time tenant untuk mencegah informasi yang tidak benar mengenai jumlah transaksi, yang berpengaruh kepada jumlah konsesi yang diterima PT. Angkasa Pura II. Tujuan PT. Angkasa Pura II memang bukan untuk memperluas kekuatan pasarnya ke pasar e-POS, namun dengan mewajibkan tenant membeli e-POS dengan biaya yang dibebankan kepada tenant, PT. Angkasa Pura II mengalihkan tanggung jawab pembayaran e-POS kepada

tenant, padahal inisiatif e-POS berasal dari PT. Angkasa Pura II.

Mengenai dampak dari persaingan, dalam persidangan PT. Angkasa Pura II menerangkan bahwa dengan fasilitas e-POS, PT. Angkasa Pura II dapat melakukan

monitoring terhadap transaksi yang dilakukan tenant secara real time sehingga PT. Angkasa

Pura II memperoleh informasi yang transparan.48 Saksi PT. Ananda Media Utama menerangkan bahwa pihaknya merasakan kemudahan dalam pelaporan konsesi kepada PT. Angkasa Pura II, karena PT. Angkasa Pura II dapat mengawasi transaksi secara real time dan pihaknya tidak perlu menyiapkan cash register untuk diserahkan kepada PT. Angkasa Pura II.49 Saksi PT. Mitra Adi Perkasa (PT. Sari Coffee Indonesia/Starbucks) menyatakan bahwa pihaknya tidak menggunakan fasilitas e-POS sebagaimana telah diperjanjikan, namun tidak ada sanksi yang diberikan oleh PT. Angkasa Pura II.50 Hal yang sama juga dikemukakan saksi PT. Dunkindo Lestari.51 Dengan demikian kewajiban pembelian e-POS ini juga memberikan dampak positif kepada tenant, tidak hanya kepada PT. Angkasa Pura II.

                                                                                                                         

46 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (a), Op. Cit., hlm. 5-6. 47 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Op. Cit., hlm. 16. 48 Ibid., hlm. 18.

49 Ibid., hlm. 27-28. 50 Ibid., hlm. 23. 51 Ibid., hlm. 26.  

(14)

Akan tetapi apabila dilihat dari dampaknya terhadap persaingan, adanya kewajiban membeli e-POS merupakan salah satu bentuk pembatasan akses pasar dimana tenant yang ingin berjualan di Bandar Udara Soekarno-Hatta harus membeli e-POS terlebih dahulu, baru ia memperoleh akses ke ruangan di Bandar Udara Soekarno-Hatta tersebut. Bagi pelaku usaha lain di pasar e-POS pun hal ini merupakan suatu bentuk hambatan, dimana tenant sudah diikat untuk membeli e-POS dari PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., sehingga pelaku usaha lain tidak bebas menawarkan produk sejenis e-POS kepada tenant yang ada di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dengan demikian walaupun ada dampak positif bagi PT. Angkasa Pura II dan tenant, dengan adanya kewajiban bagi tenant untuk membeli e-POS PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., maka terdapat pembatasan akses terhadap jasa penyewaan ruangan bagi

tenant dan sekaligus pembatasan akses bagi pelaku usaha pesaing PT. Telekomunikasi

Indonesia Tbk. untuk menawarkan produk sejenis e-POS di pasar Bandar Udara.

Berdasarkan uraian dan analisis diatas, Penulis memandang bahwa meskipun ada syarat ilegalitas yang apabila dimungkinkan sebaiknya dilakukan penelitian lebih dalam, tetapi karena PT. Angkasa Pura II memiliki kekuatan dalam pasar jasa penyewaan ruangan, maka dengan mewajibkan tenant membeli e-POS, terjadi hambatan baik bagi pelaku usaha yang ingin menjadi tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta maupun bagi pelaku usaha penyedia fasilitas sejenis e-POS yang ingin menawarkan produknya kepada tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dengan demikian Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha termasuk ke dalam tying agreement yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. Selain itu apabila dianalisis menggunakan pendekatan rule of reason, ada dampak perjanjian yang merugikan bagi persaingan (terutama bagi pelaku usaha yang berminat masuk ke pasar e-POS di Bandar Udara Soekarno-Hatta), dan tenant juga dikenakan biaya yang pada akhirnya akan menambah pendapatan PT. Angkasa Pura II.

Dalam putusan, PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. juga dinyatakan melanggar pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999. Pertimbangannya adalah bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. turut serta sebagai pihak dalam Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha di Bandar Udara Soekarno-Hatta; dimana perjanjian ini tidak dapat dipisahkan dengan perjanjian antara PT. Angkasa Pura II dengan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. tentang penyediaan dan pengembangan layanan sistem informasi dan telekomunikasi PT. Angkasa Pura II yang menempatkan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. sebagai penyedia jasa

(15)

telekomunikasi, pengembangan program layanan e-POS, dan menerima tagihan atas jasa layanan e-POS kepada tenant.52

Apabila dianalisis berdasarkan fakta persidangan, pada dasarnya tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta bukan diwajibkan untuk membeli fasilitas e-POS yang disediakan pelaku usaha manapun, melainkan diwajibkan untuk hanya membeli e-POS yang disediakan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Hal ini karena adanya perjanjian e-POS antara PT. Angkasa Pura II dengan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. dimana PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. akan menyediakan fasilitas e-POS sebanyak 400 terminal unit untuk tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Perjanjian e-POS ini jugalah yang mendasarkan adanya penagihan yang dilakukan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. kepada tenant atas fasilitas e-POS. Jadi penagihan, pengembangan, dan sosialisasi e-POS yang dilakukan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. merupakan bagian dari kewajibannya untuk menyediakan fasilitas e-POS; menjaga kualitas pelayanan; memelihara dan memperbaiki gangguan perangkat fasilitas e-POS yang dimuat dalam perjanjian e-e-POS. Kewajiban-kewajiban ini tentunya memiliki akibat terhadap PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., dimana apabila PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. tidak melakukannya, maka kemungkinan besar PT. Angkasa Pura II akan menganggap PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. telah melanggar perjanjian.

Meskipun seluruh fasilitasi tying (inisiatif perjanjian e-POS, Surat Edaran, Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha) berasal dari PT. Angkasa Pura II, namun seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, perlu diperhatikan isi perjanjian e-POS antara PT. Angkasa Pura II dengan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. yang memperjanjikan bahwa biaya e-POS akan dibebankan kepada tenant dan bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. berhak mendapatkan kepastian penggunaan fasilitas e-POS oleh tenant. Dengan menyetujui isi perjanjian e-POS, sejak awal PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. telah mengetahui bahwa

tenant akan dibebankan biaya untuk membeli fasilitas e-POS dari PT. Telekomunikasi

Indonesia Tbk. dan bahwa ada potensi terjadinya tindakan tying yang merugikan tenant. Namun pada kenyataannya PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. tetap menjalankan perjanjian tersebut dan menagih biaya e-POS kepada tenant. Memang sudah sewajarnya sebagai penjual PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. ingin memperoleh pembayaran dari pembeli, namun ternyata disepakati bahwa pembayaran dilakukan oleh tenant, bukan PT. Angkasa Pura II sebagai pihak yang mempunyai inisiatif penyediaan e-POS.

                                                                                                                          52 Ibid., hlm. 88-91.

(16)

Berdasarkan uraian dan analisis diatas, Penulis berpendapat bahwa walaupun PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. tidak benar-benar dinyatakan sebagai pihak dalam Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha, namun e-POS yang wajib dibeli adalah e-POS yang disediakan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., sehingga perjanjian tersebut memang tidak dapat dipisahkan dengan perjanjian e-POS antara PT. Angkasa Pura II dengan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk.. Sebagai penyedia e-POS, PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. bersama-sama dengan PT. Angkasa Pura II mewajibkan tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk membeli fasilitas e-POS miliknya, bukan milik penyedia e-POS lain. Dalam perjanjian e-POS juga PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. memiliki kesadaran penuh bahwa dengan mewajibkan tenant membeli e-POS dan ia ditugaskan menagih kepada tenant, maka biaya fasilitas e-POS ditanggung oleh tenant, bukan oleh PT. Angkasa Pura II, padahal pada awalnya e-POS diusulkan oleh PT. Angkasa Pura II untuk membantu PT. Angkasa Pura II mengontrol transaksi tenant secara real time. Dengan demikian PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. juga melanggar pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999.

Perlu diperhatikan bahwa dalam konteks industri kebandarudaraan dan industri telematika, keberadaan ruangan/counter di Bandar Udara Soekarno-Hatta dan jasa e-POS sebagai salah satu aplikasi telematika dapat ditarik ke dalam konvergensi telematika.

Resources (ruangan/counter), Network dan Access (jaringan kabel/tetap), serta Aplikasi dan

Konten (e-POS) yang sebelumnya diselenggarakan oleh entitas-entitas yang terpisah menjadi diselenggarakan oleh entitas yang sama, yakni PT. Angkasa Pura II bekerja sama dengan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Berdasarkan wawancara Penulis dengan pihak Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII)53 dan Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki)54, hal ini tidak salah, karena tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan, dan selama Anggaran Dasar menyatakan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan dapat melakukannya, maka diperbolehkan.

Dalam hubungan konvergensi telematika dengan essential facilities doctrine, timbul pertanyaan apakah tying agreement akan menutup akses ke Resources. Resources dalam hal ini berkaitan dengan jasa penyewaan ruangan, yakni ruangan/counter untuk penyediaan jasa non aeronautika di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Ruangan/counter di Bandar Udara Soekarno-Hatta memang bukan merupakan fasilitas yang esensial bagi banyak orang, namun

                                                                                                                         

53 Wawancara Penulis dengan Bapak Irwin Day selaku Sekretaris Jenderal Federasi Teknologi Informasi

Indonesia yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 2014 di Kafe Excelso Kota Kasablanka.

54 Wawancara Penulis dengan Bapak Hari Sungkari Santosa selaku perwakilan Asosiasi Peranti Lunak

(17)

merupakan fasilitas yang esensial bagi pelaku usaha (tenant). Dalam hal ini, tanggung jawab PT. Angkasa Pura II di bawah essential facilities doctrine baru timbul ketika akses bagi pelaku usaha terhadap ruangan/counter ditutup. Apabila dilihat dari kebijakan yang ada, yakni dengan adanya pengikatan ruangan/counter di Bandar Udara Soekarno-Hatta dengan fasilitas

e-POS, maka PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. menutup akses

terhadap ruangan/counter tersebut. Namun apabila dilihat dari faktanya, Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha tidak dilaksanakan secara ketat, sehingga akses terhadap ruangan/counter sampai saat ini masih terbuka. Perjanjian e-POS antara PT. Angkasa Pura II dengan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. juga dibuat untuk jangka waktu 3 tahun (tidak tak terbatas),55 sehingga setelah jangka waktu 3 tahun berakhir, ada kemungkinan PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. tidak lagi mewajibkan fasilitas e-POS.

Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh simpulan sebagai berikut : 1. Tidak seluruh tying agreement dilarang dalam hukum persaingan usaha. Pada awalnya

untuk menganalisis tying agreement KPPU menggunakan pendekatan per se illegal tanpa memperhatikan dampak tying agreement tersebut terhadap persaingan. Namun saat ini, dalam Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan ketentuan pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999, digunakan pendekatan rule of reason. Hal ini dikarenakan ada tying agreement yang memberikan dampak positif. Selain itu ada juga syarat-syarat ilegalitas yang dipaparkan oleh ahli hukum persaingan usaha dan KPPU, dimana syarat-syarat tersebut harus terpenuhi untuk menyatakan suatu tying agreement ilegal. Dengan demikian tying agreement yang dilarang dalam hukum persaingan usaha adalah tying agreement yang setelah dianalisis dengan pendekatan rule of reason terbukti merupakan tying agreement dan yang memenuhi syarat-syarat ilegalitas.

2. Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan tenant di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang diintegrasikan dengan penyelenggaraan jaringan dan aplikasi e-POS merupakan tying agreement yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. Perjanjian tersebut memenuhi unsur-unsur pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999, sehingga dapat dikategorikan sebagai tying agreement. Namun karena tidak semua tying

agreement dapat dikatakan ilegal, maka perlu diuji menggunakan syarat-syarat                                                                                                                          

(18)

ilegalitasnya berdasarkan pendekatan rule of reason. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh kesimpulan bahwa syarat ilegalitas terpenuhi, namun untuk lebih memastikan ilegalitasnya digunakanlah pendekatan rule of reason, dan ternyata Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha meskipun memberikan dampak positif bagi PT. Angkasa Pura II dan tenant, tetapi memberikan dampak negatif bagi persaingan. Tenant yang tidak membeli e-POS tidak memperoleh akses ke ruangan di Bandar Udara Soekarno-Hatta dan pelaku usaha lain yang ingin menyediakan fasilitas sejenis e-POS di Bandar Udara Soekarno-Hatta juga tidak dapat masuk ke pasar tersebut secara bebas. E-POS yang wajib dibeli adalah e-POS PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., sejak awal PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. mengetahui bahwa PT. Angkasa Pura II akan mewajibkan tenant-nya membeli e-POS, maka baik PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. terbukti bersama-sama melanggar pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999.

3. Setelah dilakukan analisis terhadap putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013 terkait tying

agreement antara PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. belum

sepenuhnya sesuai dengan penerapan hukum persaingan usaha yang berlaku di Indonesia. Dalam hal penentuan pasar bersangkutan, Majelis Komisi mendefinisikannya secara terlalu sederhana, baik dalam pasar produk maupun pasar geografisnya. Selanjutnya Majelis Komisi juga tidak menggunakan pendekatan rule of reason sebagaimana diamanatkan Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011 dengan menggali lebih dalam latar belakang dan dampak Perjanjian Sewa Ruangan dan Konsesi Usaha.

Saran

Bagi KPPU, diharapkan konsisten dalam menerapkan pedoman analisis pasal yang telah disusunnya agar tercipta kepastian hukum baik bagi pelaku usaha maupun bagi konsumen. Bagi pelaku usaha, diharapkan lebih berhati-hati dan memperhatikan kesesuaian dengan hukum persaingan usaha. Apabila ada hal-hal yang berpotensi melanggar hukum persaingan usaha maka sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan KPPU untuk menghindari terjadinya pelanggaran. Bagi masyarakat, diharapkan lebih aktif membantu KPPU mengawasi persaingan usaha dengan melaporkan pelanggaran-pelanggaran terhadap persaingan usaha.

Daftar Referensi Buku

(19)

Fuady, Munir. (1999). Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan Sehat). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Makarim, Edmon. (2005). Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kajian Kompilasi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Anggraini, A.M. Tri. (2003). Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat:

Per-se Illegal atau Rule of Reason. Cet. 1. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.

Budhijanto, Danrivanto. (2010). Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi:

Regulasi dan Konvergensi. Bandung: PT. Refika Aditama.

Mamudji, Sri. Et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Pakpahan, Normin S. (1994). Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha.   Jakarta: Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817.

.Undang Undang Tentang Penerbangan. UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun

2009, TLN No. 4956.

. Peraturan Pemerintah Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara

Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Perhubungan. PP No. 6 Tahun 2009, LN

No. 19 Tahun 2009, TLN No. 4973.

. Rancangan Undang Undang Tentang Telematika.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik

Negara tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Permen BUMN No. PER-15/MBU/2012.

Kementerian Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. KM No. 35 Tahun 2009.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(20)

Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan KPPU No.

5 Tahun 2011.

. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2009.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Ansari, Dina. (2009). The EC Essential Facilities Doctrine, the Microsoft Case and the

Treatment of Trade Secrets. Thesis, Commercial and Business Law Programme with a

European Emphasis, University of Linkoping. Publikasi Elektronik

Makarim, Edmon. Hukum Persaingan dan Industri Telematika. Diakses pada 8 Januari 2015 dari

http://www.mastel.or.id/files/EM%20%20Competition%20%26%20Telecommunicatio n.pdf.  

Melani, Agustina. Kuasa Hukum AP II dan Telkom Anggap Keputusan KPPU Tak Tepat. Diakses pada 28 Agustus 2014 dari http://bisnis.liputan6.com/read/2047414/kuasa-hukum-ap-ii-dan-telkom-anggap-keputusan-kppu-tak-tepat.

Organisation For Economic Co-Operation and Development. (1996). The Essential Facilities

Concept. Diakses pada 8 Januari 2015 dari

http://www.oecd.org/competition/abuse/1920021.pdf.

Seelen, Christopher M. (1997). The Essential Facilities Doctrine: What Does It Mean To Be

Essential? Diakses pada 8 Januari 2015 dari

http://scholarship.law.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1517&context=mulr. Yuniar, Maria dan Putriadityowati. More Flights for Soekarno-Hatta Airport. Diakses pada 28

September 2014 dari http://en.tempo.co/read/news/2014/05/22/056579611/More-Flights-for-Soekarno-Hatta-Airport.

Lain-lain

Day, Irwin. Wawancara di Kafe Excelso Kota Kasablanka. 16 Des. 2014.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Putusan Perkara Tentang Dugaan Pelanggaran UU No.

5 Tahun 1999 Terkait Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi e-POS di Bandar Udara Soekarno-Hata. Putusan Nomor 07/KPPU-I/2013, 8 Mei 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Citrix mampu untuk multimedia pada komputer eksisting, jika dilengkapi dengan perangkat multimedia, dan dapat menggunakan aplikasi windows pada komputer non Windows,

Dari hasil keseluruhan penelitian pengembangan ini dapat disimpulkan bahwa hasil analisis data yang diperoleh dari tahap uji coba media komputer pembelajaran tentang basa

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah (KPM) matematis siswa dalam menyelesaikan soal open ended berbasis budaya Jambi pada siswa kemampuan

Hendro Prasetyo di

Proposal harus mencakup rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan sosial (Tabel 4). Informasi tentang status kepemilikan lahan harus dijelaskan dalam

Perlu adanya kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan pemilik atau pengelola bangunan/situs cagar budaya untuk pelestarian bangunan/situs cagar budaya terutama dalam hal

Dari bulbil, biasanya akan diperoleh umbi bahan tanaman dengan komposisi 1-3 yaitu 1 bulbill relatif besar dan 3 bulbil kecil, karena perbedaan ukuran umbi