Jurnal Kesehatan Masyarakat
FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA ANAK BALITA DI
KELURAHAN CILEMBANG KECAMATAN CIHIDEUNG KOTA TASIKMALAYA
TAHUN 2016
Rini Andriani*
*Jurusan Kesehatan Masyarakat
*Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Abstrak
Pneumonia merupakan penyakit terbesar penyebab kematian balita. Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Cilembang pada tahun 2015 terdapat 307 penderita pneumonia balita. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko pneumonia yang meliputi faktor anak, lingkungan, dan perilaku. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol. Populasi yaitu balita yang berkunjung ke Puskesmas Cilembang bulan Februari-Juli 2016, sebanyak 102 balita menderita pneumonia. Sampel kasus berjumlah 51 balita diambil secara random. Sampel kontrol berjumlah 51 balita diambil melalui pencocokan jenis kelamin. Variabel yang diteliti terdiri dari status gizi, riwayat pemberian ASI eksklusif, status imunisasi, riwayat BBLR, luas ventilasi kamar tidur, kepadatan hunian kamar tidur, kelembaban kamar tidur, pencahayaan alami kamar tidur, keberadaan lubang asap dan sekat dapur, tingkat pendidikan ibu, penghasilan keluarga, kebiasaan merokok anggota keluarga dalam rumah, dan penggunaan obat nyamuk bakar. Instrumen penelitian ini yaitu Hygrometer, Luxmeter, Rollmeter, Kuesioner dan Kartu Menuju Sehat. Analisis data menggunakan uji Chi-squre dengan α = 0,05 dan CI:95%. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan kejadian pneumonia balita adalah luas ventilasi kamar (p=0,018;OR=6,758), kepadatan hunian kamar (p=0,010;OR=7,538), kelembaban kamar (p= 0,010;OR=7,538), tingkat pencahayaan alami kamar (p=0,011;OR=12,196), penghasilan keluarga (p=0,041;OR=2,932), dan kebiasaan merokok anggota keluarga dalam rumah (p=0,018;OR=6,758). Disimpulkan bahwa luas ventilasi kamar tidur, kepadatan hunian kamar tidur, kelembaban kamar tidur, pencahayaan alami kamar tidur, penghasilan keluarga, dan kebiasaan anggota keluarga merokok di dalam rumah merupakan faktor risiko pneumonia pada balita dengan nilai p < 0,05. Oleh karena itu perlu diperhatikan kepada masyarakat untuk menambah ventilasi tetap maupun insidentik sebagai sarana pertukaran udara dan pencahayaan yang cukup agar mengurangi kelembaban udara dalam rumah. Kata Kunci : Faktor Risiko, Pneumonia, Balita
Kepustakaan : 39 (2002-2016) Abstract
Pneumonia is the biggest cause of infant mortality disease. Based the annual report Cilembang health center in 2015 there were 307 patients with pneumonia toddlers. This study aimed to analyze the risk factors for pneumonia that children, include environment factors, and behavior. The design study is a case-control. The population is a toddler visit the health center Cilembang February-July 2016, a total of 102 infants suffering from pneumonia. Sample cases amounted to 51 toddlers taken at random. Control sample amounted to 51 toddlers were taken through matching sex. Variable that investigated that is nutritional status, history of exclusive breastfeeding, immunization status, a history of low birth weight, mother's education level, income of family, ventilation spacious bedrooms, density of occupancy bedrooms, moisture bedrooms, natural lighting bedrooms, chimney and bulkhead home kitchen, habits of family members smoke in the house, and use of mosquito coils, This research instrument that is Hygrometer, Luxmeter, Rollmeter, Questionnaires and Card Towards Healthy. Data analysis using Chi-squre test with α = 0.05 and 95% CI. The results showed the factors that have a relationship with the incidence of pneumonia toddler is ventilation spacious bedrooms (p = 0.018; OR = 6.758), density of occupancy bedrooms (p = 0.010; OR = 7.538), moisture bedrooms (p = 0.010; OR = 7.538 ), natural lighting bedrooms (p = 0.011; OR = 12.196), income of family (p = 0.041; OR = 2.932), and family members smoke in the house (p = 0.018; OR = 6.758) and). It was concluded that the ventilation spacious bedrooms, density of occupancy bedrooms, moisture bedrooms, natural lighting bedrooms, income of family, and habits of family members smoke in the house, are risk factors for pneumonia in toddler with a value of p <0.05. Therefore, it should be noted for pubic to add permanent vents and insidentik as a means of air exchange and sufficient lighting in order to reduce the humidity in the house.
Keywords: Risk Factors, Pneumonia, Toddler Bibliography: 39 (2002-2016)
PENDAHULUAN
ISPA dengan kategori pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita, diantara 5 kematian balita 1 diantaranya disebabkan oleh pneumonia dan menurut SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) jumlah kematian balita akibat pneumonia tahun 2007 adalah 30.470 balita atau rata-rata 83 orang balita meninggal setiap harinya, oleh karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh nomor 1 (the number one killer of children) (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan Kemenkes 2014 Diketahui bahwa jumlah kasus pneumonia pada balita < 5 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan usia ≥ 5 tahun. Di Jawa Barat berdasarkan survei kematian balita tahun 2012, kematian balita sebagian besar disebabkan karena pneumonia dengan jumlah kasus 189.688 (44,2%). Period prevalence pneumonia di Jawa Barat pada tahun 2013 meningkat yaitu sebesar 0,72 (2,43%) dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 0,2 (1,9%). (Riskesdas, 2013)
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya tahun 2015, penyakit pneumonia pada balita cukup tinggi dengan jumlah kasus sebesar 2.612 kasus atau 87,49% di tingkat Puskesmas.
Puskesmas Cilembang merupakan
Puskesmas peringkat pertama dengan jumlah kasus pneumonia tertinggi yaitu sebesar 815 kasus, terutama pada kelompok umur <5 tahun yaitu sebesar 573 kasus dimana kasus pada perempuan 254 kasus dan laki-laki 319 kasus (Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, 2015).
Puskesmas Cilembang merupakan salah satu willayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, yang mempunyai jumlah penduduk 33.103 jiwa yang tersebar di 3 Kelurahan yaitu Kelurahan Yudanegara, Cilembang dan Argasari. Menurut laporan tahunan Puskesmas Cilembang tahun 2015, Kelurahan Cilembang merupakan Kelurahan yang paling tinggi kasus pneumonia pada balita sebanyak 307 kasus.
Faktor-faktor risiko kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) akibat pneumonia pada anak balita diantaranya umur, jenis kelamin, gizi kurang, riwayat BBLR, defisiensi vitamin A, tidak memberikan ASI dan Imunisasi, pemukiman kumuh dan padat, polusi udara dalam kamar, pendidikan ibu serta kemiskinan (Kemenkes RI, 2012).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol. Subyek penelitian terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan sampel masing-masing kelompok sebanyak 51. Data kasus pneumonia balita diambil dari register penyakit puskesmas Cilembang dari bulan februari-juli tahun 2016 dengan teknik pengambilan sampel secara systematic random samping, sedangkan kelompok kontrol diambil secara purposive sampling yaitu dengan mengambil balita tetangga kasus melalui pencocokan umur dan jenis kelamin. Variabel bebas yang diteliti terdiri dari luas ventilasi kamar, kepadatan hunian kamar, kelembaban kamar, pencahayaan alami kamar, keberadaan lubang asap dan sekat dapur, anggota keluarga merokok dalam rumah, penggunaan obat nyamuk bakar, status gizi, riwayat ASI eksklusif, status imunisasi, riwayat BBLR, pendidkan ibu, dan penghasilan orang tua. Pada penelitian ini dilakukan pengendalian variabel meliputi jenis lantai dan dinding, jenis bahan bakar, vitamin A, dan umur. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara, observasi serta pengukuran. Analisis data yang digunakan antara lain univariat dan bivariate dengan uji statistik Chi Square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia pada Anak Balita Karakteristik Balita
Jenis kelamin laki-laki 54 balita (52,9%), perempuan 48 balita (47,1%). Balita yang mempunyai status gizi baik 61 balita (59,8%), dan status gizi kurang 41 (40,2%). Balita yang mendapatkan ASI eksklusif 60 balita (56,8%), dan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif 42 balita (42,2%). Balita yang mempunyai status imunisasi lengkap 83 balita (81,4%), dan status imunisasi tidak lengkap 19 (18,6%). Balita yang mempunyai riwayat berat badan lahir normal (≤2500 gram) 85 balita (83,3%), dan berat badan lahir rendah (> 2500 gram) 17 balita (16,7%).
Karakteristik Lingkungan Balita
Balita yang tinggal dengan luas ventilasi kamar tidur memenuhi syarat 13 balita (12,7%) dan tidak memenuhi syarat 89 balita (87,3%). Balita yang tinggal dengan kepadatan hunian kamar tidur tidak padat 14 balita (13,7%) dan tidak memenuhi syarat 88 balita (86,3%). Balita yang tinggal dengan kelembaban kamar tidur memenuhi syarat 14 (13,7%) dan tidak memenuhi syarat 88 balita (86,3%). Balita yang tinggal dengan pencahayaan alami kamar tidur memenuhi syarat 11 balita (10,8%) dan tidak memenuhi syarat 91 balita (89,2%). Balita yang tinggal dengan ada lubang asap dapur 54 balita (52,9%) dan tidak ada lubang asap dapur 48 balita (47,1%). Balita yang tinggal dengan ada sekat dapur 54 balita (52,9%) dan tidak ada sekat dapur 48 balita (47,1%). Ibu balita yang berpendidikan menengah 52 orang (51,0%), berpendidikan dasar 42 orang (41,2%), dan ibu berpendidikan tinggi 8 orang (7,8%). Orang tua yang berpenghasilan > UMR (> Rp. 1.641.280,-) 26 orang (25,5) dan penghasilan ≤ UMR (≤ Rp. 1.641.280,-) 76 orang (74,5%).
Karakteristik Perilaku Merokok dan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar
Balita yang tidak mempunyai anggota keluarga dengan kebiasaan merokok di dalam rumah 13 balita (12,7%) dan yang mempunyai anggota keluarga dengan kebiasaan merokok di dalam rumah 89 balita (87,3%). Balita yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar 70 balita (68,6%) lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan obat nyamuk bakar 32 balita (31,4%).
Hubungan antara Faktor Anak dengan Kejadian Pneumonia
Tabel 1 menunjukkan tidak ada hubungan antara status gizi, riwayat ASI eksklusif, status imunisasi dan riwayat BBLR dengan kejadian pneumonia pada balita (p berturut-turut=0,106, 0,546, 0,611, 0,595 ; α=0,05). Hal ini menunjukkan status gizi, riwayat ASI eksklusif, status imunisasi, dan riwayat BBLR tidak mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.
Balita yang mempunyai status gizi kurang berpeluang mengalami pneumonia 2,1 kali dibanding dengan balita yang mempunyai status
gizi baik (95% CI:0,93-4,714). Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berpeluang mengalami pneumonia 1,38 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif (95% CI:0,67-3,053). Balita yang mempunyai status status imunisasi tidak lengkap berpeluang mengalami pneumonia 1,48 kali dibanding dengan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap (95% CI:0,54-4,048). Balita yang mempunyai riwayat berat badan lahir rendah berpeluang mengalami pneumonia 1,53 kali dibanding dengan balita yang berat badan lahir normal (95% CI:0,534-4,405).
Hubungan antara Faktor Orang Tua dengan Kejadian Pneumonia
Tabel 2 menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu (rendah, menengah) dengan kejadian pneumonia pada balita dengan (p=0,793, 0,704 ; 0,05) Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan ibu rendah maupun menengah tidak mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Variabel Tingkat penghasilan orang tua menunjukkan ada hubungan tingkat penghasilan rendah dengan kejadian pneumonia (p=0,041; 0,05), hal ini menunjukkan penghasilan orang tua mempengaruhi kejadian pneumonia.
Hasil uji statistik, menunjukkan ibu balita berpendidikan rendah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia sebesar 1,67 kali dibandingkan ibu balita berpendidikan tinggi (95% CI: 0,352-7,833), pada ibu berpendidikan menengah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia 1,8 kali dibandingkan ibu balita berpendidikan tinggi (95% CI: 0,389-8,323). ibu balita berpenghasilan rendah berpeluang balitanya mengalami pneumonia 2,93 kali dibandingkan yang berpenghasilan tinggi (95% CI: 1,136-7,568).
Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Kejadian Pneumonia
Tabel 2 menunjukkan ada hubungan antara luas ventilasi kamar tidur, kepadatan hunian kamar tidur, kelembaban kamar tidur, pencahayaan alami kamar, didapat nilai (p berturut-turut=0,018, 0,010, 0,010, 0,011 ; 0,05), hal ini menunjukkan luas ventilasi kamar tidur, kepadatan hunian kamar tidur, kelembaban kamar tidur, pencahayaan alami kamar tidur mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Variabel keberadaan
lubang asap dan sekat dapur menunjukkan tidak ada hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita didapat nilai (p berturut-turut= 0,321, 0,165 ; 0,05), hal ini menunjukkan keberadaan lubang asap dan sekat dapur tidak mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.
Berdasarkan hasil uji statistik, menjelaskan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat berpeluang balitanya mengalami pneumonia 6,74 kali dibandingkan dengan luas ventilasi kamar memenuhi syarat (95% CI: 1,41-32,173).
Balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian kamar yang padat berpeluang balitanya mengalami pneumonia 7,54 kali dibandingkan dengan kepadatan hunian kamar yang tidak padat (95% CI: 1,592-35,692). Balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban kamar yang tidak memenuhi syarat berpeluang balitanya mengalami pneumonia 7,54 kali dibandingkan
dengan kelembaban kamar yang memenuhi syarat (95% CI: 1,592-35,692). Balita yang tinggal di rumah dengan pencahayaan alami kamar tidak memenuhi syarat berpeluang balitanya mengalami pneumonia 12,2 kali dibandingkan dengan pencahayaan alami kamar memenuhi syarat (95% CI: 1,489-99,295). Balita yang tinggal di rumah dengan tidak mempunyai lubang asap dapur berpeluang mengalami pneumonia 1,61 kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan mempunyai lubang asap dapur (95% CI : 0,734-3,517). Balita yang tinggal di rumah dengan tidak mempunyai sekat dapur berpeluang mengalami pneumonia 1,89 kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan mempunyai sekat dapur (95% CI : 0,859-4,147).
Tabel 1
Tabel 1. Hubungan Faktor Anak dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita
Variabel Pneumonia Bukan Pneumonia Total OR (95% CI) p n % n % n % Status Gizi 2,103 (0,93-4,714 0,106 Gizi kurang 25 49 16 31,4 41 40,2 Gizi baik 26 51 35 68,6 61 59,8
Riwayat Pemberian ASI eksklusif
1,383
(0,67-3,053) 0,546 Tidak mendapatkan ASI
eksklusif 23 45,1 19 37,3 42 41,2
Mendapatkan ASI eksklusif 28 54,9 32 62,7 60 58,8
Status Imunisasi 1,478 (0,540-4,048) 0,611 Tidak lengkap 11 21,6 8 84,3 19 18,6 Lengkap 40 78,4 43 15,7 83 81,4 Riwayat BBLR 1,533 (0,534-4,405) 0,595 Normal (≥2500 gram) 10 19,6 7 13,7 17 16,7 Rendah (<2500 gram) 41 80,4 44 86,3 85 83,3 *bermakna pada α=0,05
Hubungan antara Faktor Perilaku dengan Kejadian Pneumonia
Tabel 3 menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan anggota keluarga merokok di dalam rumah dengan kejadian pneumonia pada balita dengan (p=0,018;0,05) Hal ini menunjukkan kebiasaan merokok anggota keluarga di dalam rumah mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Berdasarkan hasil uji statistik, menjelaskan balita yang memiliki keluarga dengan kebiasaan merokok di dalam rumah mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak balita yang tinberpeluang balitanya mengalami pneumonia sebanyak 6,74 kali dibandingkan yang tidak ada anggota keluarga merokok dalam rumba dengan kejadian pneumonia pada balita (95% CI: 1,411-32,173).
Variabel penggunaan obat nyamuk bakar menunjukkan tidak ada hubungan balita yang menggunakan obat nyamuk bakar dengan kejadian pneumonia (p=0,286; 0,05), hal ini menunjukkan penggunaan obat nyamuk bakar tidak mempengaruhi kejadian pneumonia.
Berdasarkan uji statistik balita dengan anggota keluarga menggunakan obat nyamuk
bakar berpeluang mengalami pneumonia sebanyak 1,74 kali dibandingkan dengan balita
dengan anggota keluarga tidak menggunakan obat nyamuk bakar (95% CI : 0,743-4,052).
Tabel 2. Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita
Variabel Pneumonia
Bukan
Pneumonia Total OR
(95% CI) p n % n % n %
Luas Ventilasi Kamar Tidur
6,738
(1,41-32,173) 0,018 Tidak memenuhi syarat 49 96,1 40 78,4 89 87,3
Memenuhi syarat 2 3,9 11 21,6 13 12,7
Kepadatan Hunian Kamar Tidur
7,538
(1,592-35,692) 0,010
Padat 49 96 39 76,4 88 86,3
Tidak Padat 2 4 12 23,6 14 13,7
Kelembaban Kamar Tidur Balita
7,538
(1,592-35,692) 0,010 Tidak Memenuhi Syarat 49 96 39 76,4 88 86,3
Memenuhi Syarat 2 4 12 23,6 14 13,7
Pencahayaan Alami Kamar Tidur
Balita 12,196
(1,498-99,295) 0,011 Tidak Memenuhi Syarat 50 98 41 80,4 91 89,2
Memenuhi Syarat 1 2 10 19,6 11 10,8
Keberadaan Lubang Asap Dapur
1,607
(0,734-3,517 0,321
Tidak Ada 27 53 21 41,2 48 47,1
Ada 24 47 30 58,8 54 52,9
Keberadaan Sekat Dapur
1,887 (0,859-4,147) 0,165 Tidak ada 28 54,9 20 39,3 48 47,1 Ada 23 45,1 31 60,7 54 52,9 Pendidikan Ibu 1,67 (0,352-7,883) 1,8 (0,389-8,323) 0,794 Dasar (SLTP ke bawah) 21 41,2 21 41,2 42 41,2 Menengah (SLTA) 27 59,2 25 49,0 52 59,8 Tinggi (Diploma/Akademi/Perguruan Tinggi) 3 5,9 5 9,8 8 7,8
Tingkat Penghasilan Orang Tua
2,93 (1,136-7,568) 0,041 ≤ UMR (<Rp. 1641.280,-) 43 84,3 33 64,7 76 74,5 >UMR (>Rp. 1.641.280,-) 8 15,7 18 35,3 26 25,5 *bermakna pada α=0,05 PEMBAHASAN
Faktor Lingkungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita
1. Luas Ventilasi Kamar Tidur
Luas ventilasi merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat menjadi faktor risiko penyakit pneumonia, mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu sebagai sarana untuk menjamin kualitas dan kecukupan sirkulasi udara yang keluar dan masuk dalam ruangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang peraturan rumah sehat menetapkan
bahwa luas ventilasi alamiah yang permanen minimal adalah 10% dari luas lantai. Ventilasi yang memenuhi syarat dapat menghasilkan udara yang nyaman dengan temperatur 18-30ºC dan kelembaban 40-60%.
Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian Padmonobo (2012) bahwa mempunyai hubungan yang signifikan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian pneumonia nilai p value 0,037. Balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi kamar tidak memenuhi syarat berpeluang 2,218 kali terjadi pneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat
.
2. Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Tingkat kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas kamar yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni
Kamar. Luas kamar yang sempit dengan jumlah penghuni yang banyak menyebabkan
rasio penghuni dengan luas kamar tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari satu orang ke orang lainnya.
Berdasarkan Kepmenkes RI nomor 829/Menkes/SK/VII/ 1999 menyatakan bahwa satu kamar tidur sebaiknya tidak lebih dari dua
orang kecuali anak di bawah lima tahun dan juga merujuk pada referensi yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan Tahun 2014, secara ideal satu ruang kamar tidur dengan luas minimal 8 m2 dihuni oleh dua orang.
Kepadatan hunian rumah merupakan salah satu faktor penting yang mempunyai asosiasi dengan kejadian pneumonia karena keberadaan banyak orang dalam satu rumah akan mempercepat transmisi mikroorganisme bibit penyakit dari seseorang ke orang lain. Bakteri penyebab pneumonia yang banyak macam dan mudah menyebar di lingkungan hunian yang padat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugihartono (2012) di Kota Pagar Alam menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita. Anak balita dengan tingkat kepadatan tinggi beresiko 6,218 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita dengan tingkat kepadatan yang ideal. Hasil yang sama mengenai hubungan hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita dengan OR : 6,90 dan OR:2,70 (Sinaga, dkk, 2008;Yuwono, 2008).
Tabel 3. Hubungan Faktor Perilaku dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita
Variabel Pneumonia Bukan Pneumonia Total OR
(95% CI) p
n % n % n %
Kebiasaan Anggota Keluarga
Merokok Dalam Rumah 6,738
(1,41-32,173) 0,018
Ada 25 49 16 31,4 41 40,2
Tidak ada 26 51 35 68,6 61 59,8
Penggunaan Obat Nyamuk
Bakar 1,736
(0,743-4,052) 0,286
Menggunakan 38 74,5 32 62,7 70 68,6
Tidak menggunakan 13 25,5 19 37,3 32 31,4
*bermakna pada α=0,05 3. Kelembaban Kamar Tidur
Kelembaban di dalam ruangan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
pneumonia. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan faktor etiologi pneumonia yang berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi ini dapat tumbuh dengan baik jika kondisi yang optimum. Virus, bakteri dan jamur penyebab pneumonia untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya membutuhkan suhu dan kelembaban yang optimal, pada suhu dan kelembaban tertentu memungkinkan pertumbuhannya terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati, tetapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat, Hal ini yang membahayakan karena semakin sering anak berada di dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut,
akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit pneumonia.
Berdasarkan PMK RI No 1077 tahun 2011 kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur ruangan sebesar 18 – 130 ºC dengan kelembaban udara sebesar 40- 60%. Kelembaban berkaitan dengan tempat hidup virus dan bakteri, sehingga sangat dianjurkan menambah ventilasi alami sebagai sarana pertukaran udara dan diharapkan dapat mengurangi kelembaban udara yang terlalu tinggi.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Luvitasari (2014) di wilayah kerja Puskesmas Pati I Kabupaten Pati menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban rumah dengan kejadian pneumonia. Anak balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 8,7 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban rumah memenuhi
syarat.
4. Pencahayaan Alami Kamar Tidur
Salah satu penyebab kurangnya pencahayaan alami yang masuk dalam rumah terutama pada kamar balita adalah karena daerah pemukimannya termasuk padat penduduk sehingga batas antara rumah yang satu dengan yang lain sangat sempit sehingga
memperkecil kemungkinan sinar matahari untuk bisa masuk ke dalam rumah. Hasil ini dapat diterima, karena cahaya sangat berpengaruh pada proses pertumbuhan bakteri, umumnya cahaya merusak sel mikroorganisme yang tidak berklorofil. Sinar ultraviolet dapat menyebabkan terjadi ionisasi
komponen sel yang berakibat menghambat pertumbuhan atau menyebabkan kematian. Bakteri Streptococcus sensitif terhadap pencahayaan sehingga tidak dapat tumbuh dan berkembang di dalam ruangan yang memiliki kualitas pencahayaan yang memenuhi syarat.
Hasil penelitian yang sejalan dengan penelitian ini yaitu penelitian Yudiastuti (2015) di Denpasar Selatan menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pencahayaan alami dengan kejadian pneumonia pada anak balita. Anak balita yang tinggal di rumah dengan pencahayaan alami tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,25 kali terkena pneumonia dibandingkan anak balita dengan pencahayaan alami yang memenuhi syarat.
5. Penghasilan Orang Tua
Menurut Kartasasmita (2010) menyatakan bahwa faktor lain yang
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pneumonia adalah sosial ekonomi keluarga, sedangkan menurut Juli Soemirat (2011) sosial ekonomi yang rendah dengan tinggal di lingkungan yang padat, nutrisi yang kurang, gaya hidup, pekerjaan juga dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Bayi yang lahir di keluarga yang tingkat sosial ekonominya rendah maka pemenuhan kebutuhan gizi dan pengetahuan tentang kesehatannya juga rendah sehingga akan mudah terjadi penularan penyakit termasuk pneumonia.
Hasil Penelitian ini relevan dengan penelitian Sinaga (2008) di Kota Medan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penghasilan orang tua dengan kejadian pneumonia. Orang tua balita yang berpenghasilan rendah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia sebesar 10,01 kali dibandingkan orang tua yang berpenghasilan tinggi.
Faktor Perilaku dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita
Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Di Dalam Rumah
Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya membahayakan bagi yang merokok (perokok aktif), tetapi juga bisa membahayakan bagi orang - orang yang ada disekitarnya yang disebut perokok pasif, yang disekitarnya termasuk bayi, anak-anak juga ibunya.
Bahaya yang ditimbulkan oleh rokok terhadap perokok aktif besar, tetapi lebih besar lagi bahaya bagi perokok pasif. Satu batang rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon monooksida, nitrogen oksida, hydrogen cyanide, amoniak, acrolein, acetilen, benzaldehyde, urethane, benzene, methanol, dan lain-lain. Secara umum bahan-bahan ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu komponen gas dan komponen padat atau
partikel, komponen partikel dibagi nikotin dan tar Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah risiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat
timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa, semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2002).
Hasil penelitian yang relevan adalah hasil penelitian Sugihartono di wilayah kerja Puskesmas Sidorejo tahun 2011 yang menyimpulkan bahwa keberadaan perokok di dalam rumah mempunyai hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita, didapat nilai p = 0,002 dan (OR=5,743; 95% CI 1,784 – 18,490). Begitu juga hasil penelitian Tulus Aji Yuwono di wilayah kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap tahun 2008 yang menyimpulkan bahwa kebiasaan merokok mempunyai hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita, didapat nilai p=0,022 dan OR=2,7; 95% CI 1,14 – 6,33. KESIMPULAN
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Kelurahan Cilembang Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya adalah luas ventilasi kamar tidur balita, kepadatan hunian kamar tidur balita, kelembaban kamar tidur balita, pencahayaan alami kamar tidur balita, kebiasaan merokok anggota keluarga di dalam rumah, tingkat penghasilan keluarga.
SARAN
Bagi Pemerintah Kota Tasikmalya dengan melihat kondisi lingkungan rumah yang belum memenuhi syarat hendaknya diprogramkan perbaikan dalam rangka pengendalian pneumonia misalnya dengan stimulasi atau arisan pondasi.
Bagi petugas Puskesmas khususnya bidang Kesehatan Lingkungan untuk lebih sering diberikan penyuluhan/peningkatan pengetahuan mengenai Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP)/Sanitasi rumah, terutama untuk pencegahan penyakit pneumonia.
Bagi masyarakat yang mempunyai balita hendaknya untuk menambah ventilasi alami sebagai sarana pertukaran udara dan diharapkan dapat mengurangi kelembaban udara dalam rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Hartati, (2011). Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta. Tesis. Universitas Indonesia.
Kasjono S., Penyehatan Pemukiman, Gosyen Publishing, Yogyakarta, 2011.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pneumonia Pada Balita volume 3, Buletin Jendela Epidemiologi, Jakarta, 2010.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Jakarta, 2012.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (2014), Pneumonia, Jakarta : Kemenkes RI
Luvitasari, (2014). Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pati I Kabupaten Pati. Jurnal Kesehatan masyarakat Universitas Diponogoro.
Machmud, (2009). Pengaruh Kemiskinan Keluarga Pada Kejadian Pneumonia Balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Padmonobo, (2012). Hubungan Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Kabupaten Berebes. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. .
Rasyid, (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Anak Balita di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar. Jurnal Kesehatan Komunitas.
Riskesdas, (2013). Persyaratan Rumah Sehat. Jakarta: Kemenkes RI.
Sartika, (2012). Faktor Lingkungan Rumah dan Praktik Hidup orang tua yang berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita di
Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia.
Sinaga, (2009). Analisis Kondisi Rumah Sebagai Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Puskesmas
Suyono, Budiman., Ilmu Kesehatan Masyarakat Dalam
Konteks Lingkungan, Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 2010.
Sugihartono, (2012). Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia.
Widodo, (2007). Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan Pneumonia Pada Anak Balita di Puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Yudiastuti, (2015). Pemberian ASI dan Lingkungan Fisik Rumah sebagai Faktor Risiko Pneumonia Pada Balita di Puskesmas II Denpasar Selatan. Tesis. Universitas Udayana.
Yuwono, (2008). Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Tesis. Universitas Diponogoro.