• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANCANGAN INSTALASI PENGOLAHAN EFLUEN CAIR TANGKI SEPTIK DI PT FH TANGERANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANCANGAN INSTALASI PENGOLAHAN EFLUEN CAIR TANGKI SEPTIK DI PT FH TANGERANG"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PERANCANGAN INSTALASI PENGOLAHAN

EFLUEN CAIR TANGKI SEPTIK

DI PT FH TANGERANG

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

Miranti Suspi Meitha Harahap

104216043

FAKULTAS PERENCANAAN INFRASTRUKTUR

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

(2)
(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tugas Akhir

: Perancangan Instalasi Pengolahan Efluen

Cair Tangki Septik di PT FH Tangerang

Nama Mahasiswa

: Miranti Suspi Meitha Harahap

Nomor Induk Mahasiswa

: 104216043

Program Studi

: Teknik Ligkungan

Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 8 September 2020

Jakarta, 13 September 2020

MENGESAHKAN

Pembimbing I Nama : Evi Siti Sofiyah, Ph.D

NIP : 116103

Pembimbing II Nama : Ir. Johannes Matahelemual

NIP : -

MENGETAHUI,

Ketua Program Studi

Dr. Eng. Ari Rahman, S.T., M.Eng.

NIP 116043

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul Perancangan Instalasi

Pengolahan Efluen Cair Tangki Septik di PT FH Tangerang ini adalah benar-benar

merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung materi yang ditulis oleh

orang lain kecuali telah dikutip sebagai referensi yang sumbernya telah dituliskan

secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya

bersedia menerima sanksi dari Universitas Pertamina sesuai dengan peraturan yang

berlaku.

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan

kepada Universitas Pertamina hak bebas royalti noneksklusif (non-exclusive

royalty-free right) atas Tugas Akhir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak

bebas royalti noneksklusif ini Universitas Pertamina berhak menyimpan, mengalih

media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkatan dua (database), merawat,

dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Medan, 11 September 2020

Yang membuat pernyataan,

(5)

ABSTRAK

Miranti Suspi Meitha Hrp. 104216043. Perancangan Instalasi Pengolahan Efluen

Cair Tangki Septik di PT FH Tangerang.

Tugas akhir ini mengenai perancangan instalasi pengolahan air limbah (IPAL)

untuk mengolah air efluen tangki septik PT FH di Tangerang. Tujuan dari

perancangan ini adalah merencanakan suatu rangkaian unit pengolahan yang tepat

agar air efluen dapat memenuhi baku mutu. Cakupan perancangan meliputi

pembuatan layout IPAL, pembuatan detailed engineering design (DED), dan

perencanaan anggaran biaya. Pada awal perancangan, ditentukan tiga alternatif

solusi yang kemudian dievaluasi dengan menggunakan metode Kepner Tregoe

Decision Analysis (KTDA) dan Adverse Consequences untuk menentukan alternatif

solusi yang terbaik. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa rangkaian unit yang terpilih

pada perencanaan IPAL ini terdiri dari sumur pengumpul, biofilter anaerob-aerob,

bak pengendap akhir, dan unit desinfeksi. Rangkaian IPAL terpilih menghasilkan

efluen dengan kualitas parameter TSS, BOD, COD, serta total koliform yang

diestimasi dapat memenuhi baku mutu sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.

Perancangan IPAL menghasilkan dimensi yaitu:

sumur pengumpul (0,7 m x 0,7 m x 1,5 m), biofilter anaerob (4,2 m x 2,1 m x 2,4 m), biofilter aerob (4 m x 2,2 m x 2,4 m), bak pengendap akhir (2,5 m x 1,2 m x 2,4 m), dan desinfeksi (1,9 m x 1,5 m x 0,8 m).

(6)

ABSTRACT

Miranti Suspi Meitha Hrp. 104216043. The Design of a Water Treatment System

for The Liquid Effluent from Septic Tanks at PT FH Tangerang.

This project is about designing a wastewater treatment plant (WWTP) to treat septic

tank effluent of PT FH in Tangerang.

The objective of the design is to create suitable

treatment units in order to meet the quality standards of the effluent. The scopes of

the project includes of arranging a WWTP layout, designing a detailed engineering

design (DED), and planning the budget. Three alternative solutions were

determined at the beginning process of designing. The alternatives are evaluated

using the Kepner Tregoe Decision Analysis (KTDA) and Adverse Consequences

method to select the best solution. The results of the evaluation shows that the best

configuration of the WWTP consists of sump well, an anaerobic-aerobic biofilter,

a final settling tank, and a disinfection unit. The selected configuration shows that

the final effluent with the quality parameters of TSS, BOD, COD, and total coliform

are estimated meeting the environmental quality standards according to the

Regulation of the Minister of Environment and Forestry Number 68 of 2016 about

Domestic Wastewater Quality Standards. The dimensions of each unit are: sump

well (0,7 m x 0,7 m x 1,5 m), anaerobic biofilter (4,2 m x 2,1 m x 2,4 m), aerobic

biofilter (4 m x 2,2 m x 2,4 m), final settling tank (2,5 m x 1,2 m x 2,4 m), and

disinfection (1,9 m x 1,5 m x 0,8 m).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan rahmat, karunia serta

lindungan-Nya sehingga saya dapat melaksanakan mata kuliah Tugas Akhir hingga

akhirnya dapat menyelesaikan laporan tugas akhir dengan judul Perancangan

Instalasi Pengolahan Efluen Cair Tangki Septik di PT FH Tangerang. Selama

pelaksanaan tugas akhir ini, saya dibantu oleh berbagai pihak sehingga saya dapat

menyelesaikannya laporan tugas akhir ini. Maka dari itu saya ingin mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan saya kesempatan untuk menjalani

kehidupan dan belajar.

2. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan berupa doa,

semangat, serta motivasi tanpa henti.

3. Kedua pembimbing saya yaitu Ibu Evi Siti Sofiyah, Ph.D dan Bapak Ir.

Johannes Matahelemual yang selalu memberi motivasi, dukungan, saran, dan

masukan yang membantu saya selama proses pelaksanaan tugas akhir.

4. Bapak dan ibu Dosen Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Pertamina

yang telah memberikan ilmu serta bimbingan selama masa perkuliahan.

5. Seluruh teman-teman angkatan 2016 Program Studi Teknik Lingkungan.

6. Serta pihak lainnya yang telah membantu saya dalam penyelesaian laporan

tugas akhir ini.

Semoga laporan Tugas Akhir ini ini bermanfaat bagi saya dan pembacanya

khusunya mengenai pengolahan air limbah.

Medan, 11 September 2020

(8)

Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN ... i LEMBAR PERNYATAAN ... ii ABSTRAK ... iii ABSTRACT ... iv KATA PENGANTAR... v Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix Daftar Singkatan ... ix BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 2 1.3. Batasan Masalah ... 2 1.4. Tujuan Perancangan ... 2 1.5. Manfaat Perancangan ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Air Limbah Domestik ... 4

2.2. Karakteristik Air Limbah ... 4

2.3. Baku Mutu Air Limbah Domestik ... 5

2.4. Proses Pengolahan Air Limbah ... 6

2.4.1. Pengolahan secara fisika ... 6

2.4.2. Pengolahan secara kimia ... 6

2.4.3. Pengolahan secara biologis ... 7

2.5. Pengolahan dengan Tangki Septik ... 8

2.6. Unit Pengolahan Air Limbah ... 9

2.6.1. Sumur pengumpul ... 9

2.6.2. Lumpur aktif (activated sludge) ... 9

2.6.3. Rotating biological contactor (RBC) ... 10

2.6.4. Trickling filter ... 11

2.6.5. Lahan basah buatan arah horizontal (constructed wetland) ... 12

2.6.6. Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor (UASB) ... 13

2.6.7. Biofilter anaerob-aerob... 13

2.6.8. Desinfeksi ... 17

2.7. Proses Perancangan ... 18

(9)

3.2 Pertimbangan Perancangan ... 21

3.3 Analisis Teknis ... 21

3.4 Peralatan dan Bahan ... 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

Debit dan Kualitas Air Limbah ... 23

Alternatif Solusi Unit Pengolahan IPAL ... 23

Evaluasi Alternatif Solusi Unit Pengolahan ... 26

4.3.1 Penilaian Kategori Musts (Wajib Terpenuhi) ... 26

4.3.2 Penilaian Kategori Wants ... 28

Perancangan dan Perhitungan DED ... 33

4.4.1 Perancangan Sumur Pengumpul ... 34

4.4.2 Perancangan Biofilter Anaerob-Aerob ... 35

4.4.3 Perancangan Bak Pengendap Akhir ... 40

4.4.4 Perancangan Bak Desinfeksi ... 41

Profil Hidrolis ... 44

Rencana Anggaran Biaya ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan... 47

5.2 Saran ... 47

Daftar Pustaka ... 48

(10)

Daftar Tabel

Tabel 2.1. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri ... 6

Tabel 2.2. Kriteria Desain Lumpur Aktif ... 9

Tabel 2.3. Kriteria desain RBC ... 10

Tabel 2.4. Kriteria Desain Trickling Filter ... 11

Tabel 2.5. Kriteria Desain Lahan Basah Buatan Arah Horizontal ... 12

Tabel 2.6. Kriteria Desain Reaktor UASB ... 13

Tabel 2.7. Perbandingan Luas Permukaan Spesifik Media Biofilter ... 15

Tabel 2.8. Kriteria Desain Biofilter Anaerob-Aerob ... 15

Tabel 2.9. Perbandingan Analisis Kelebihan dan Kekurangan Tiap Unit Biologis ... 16

Tabel 2.10. Matriks Evaluasi Alternatif Solusi dengan KTDA ... 19

Tabel 2.11. Matriks Adverse Consequences ... 19

Tabel 4.1 Perbandingan Kualitas Air Efluen Tangki Septik dan Baku Mutu ... 23

Tabel 4.2. Pemilihan Teknologi untuk Alternatif Solusi ... 24

Tabel 4.3. Persentase Penyisihan Tiap Unit Pengolahan ... 27

Tabel 4.4. Hasil Penyisihan Tiap Alternatif ... 27

Tabel 4.5. Hasil Rekapitulasi Preliminary Sizing Setiap Unit ... 28

Tabel 4.6. Pembobotan Kategori Wants ... 28

Tabel 4.7. Keterangan Penilaian pada Kategori Wants ... 29

Tabel 4.8. Persentase Minimum Penyisihan Polutan ... 29

Tabel 4.9. Penilaian Kemampuan Penyisihan Tiap Parameter ... 30

Tabel 4.10. Hasil Rekapitulasi Perhitungan Lumpur ... 30

Tabel 4.11. Hasil Rekapitulasi Kebutuhan Daya ... 31

Tabel 4.12. Hasil Rekapitulasi Evaluasi Alternatif dengan KTDA ... 31

Tabel 4.13. Penilaian pada Metode Adverse Consequences... 32

Tabel 4.14. Hasil Rekapitulasi Penilaian pada Metode Adverse Consequences ... 32

Tabel 4.15. Mass Balance Alternatif 3 (Biofilter Anaerob-Aerob) ... 33

Tabel 4.16. Data Perencanaan Sumur Pengumpul ... 34

Tabel 4.17. Data Perencanaan Biofilter Anaerob ... 36

Tabel 4.18. Data Perencanaan Biofilter Aerob ... 37

Tabel 4.19. Data Perencanaan Bak Pengendap Akhir ... 40

Tabel 4.20. Data Perencanaan Klorinasi ... 41

Tabel 4.21. Profil Hidrolis ... 44

(11)

Daftar Gambar

Gambar 2.1. Mekanisme Lapisan Biofilm pada Media ... 7

Gambar 2.2. Potongan Melintang Tangki Septik ... 8

Gambar 2.3. Detail Tampak Samping dan Depan Rotating Biological Contactor atau RBC ... 11

Gambar 2. 4. Potongan Melintang Constructed Welands Aliran Horizontal di Bawah Permukaan 12 Gambar 2.5. Skema Pengolahan dengan Biofilter Anaerob-Aerob ... 15

Gambar 2.6. Tahapan Proses Perancangan ... 18

Gambar 3.1. Diagram Alir Metodologi Perancangan ... 20

Gambar 4.1. Rencana Rangkaian IPAL dan Mass Balance ... 33

(12)

Daftar Singkatan

Lambang/Singkatan

Arti Keterangan

IPAL

Instalasi Pengolahan Air Limbah

KTDA

Kepner Tregoe Decision Analysis

TSS

Total Suspended Solids

BOD

Biochemical Oxygen Demand

COD

Chemical Oxygen Demand

WWTP

Wastewater Treatment Plant

RBC

Rotating Biological Contactor

UASB

Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor

DED

Detailed Engineering Design

RAB

Rencana Anggaran Biaya

(13)
(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Tugas akhir ini membahas tentang Perancangan Instalasi Pengolahan

Efluen Cair Tangki Septik

di PT FH Tangerang. Laporan tugas akhir ini terdiri dari lima bagian dan dilengkapi dengan daftar pustaka. Pada bagian pendahuluan ini, akan dijelaskan latar belakang yang menjadi alasan pemilihan judul perancangan, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan perancangan, serta manfaat dari perancangan yang dilakukan.

1.1. Latar Belakang

Air limbah domestik merupakan air limbah yang berasal dari aktivitas hidup sehari-hari manusia dan mengandung berbagai konstituen yang berhubungan dengan pemakaian air tersebut (Mara, 2003). PT FH merupakan suatu perusahaan yang bergerak di bidang farmasi untuk memproduksi berbagai jenis obat-obatan. Pada industri farmasi ini, air limbah domestik umumnya dihasilkan dari kegiatan aktivitas para pegawai seperti penggunaan toilet, wastafel mapupun dapur. Air limbah domestik merupakan salah satu sumber yang dapat mencemari badan air jika tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air. Hal ini terjadi karena umumnya limbah domestik mengandung beban polutan yang dapat mempengaruhi kualitas air seperti nitrat, fosfat, zat organik dalam chemical oxygen demand (COD) dan biological oxygen demand (BOD), kekeruhan, serta bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit (Santoso, 2015). Jika dilakukan analisis berdasarkan jumlahnya pada badan air, air limbah rumah tangga berkontribusi terhadap pencemaran air sekitar 75%, air limbah perkantoran dan komersial sebesar 15%, dan air limbah industri memberikan kontribusi sebesar 10% (Said, 2018). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa air limbah perkantoran merupakan salah satu penyebab pencemaran pada badan air. Dengan demikian, pengolahan air limbah merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dan menjadi penting untuk dilakukan.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, dinyatakan bahwa setiap usaha yang menghasilkan air limbah domestik wajib mengolah air limbah domestiknya tersebut dengan memenuhi baku mutu yang ditetapkan untuk beberapa parameter seperti pH, BOD, COD, total suspended solid (TSS), minyak dan lemak, amonia, dan total coliform. Cara yang dapat dilakukan untuk mengolah air limbah domestik agar memenuhi baku mutu adalah dengan membangun suatu instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Sistem pengolahan air limbah domestik eksisting pada PT FH adalah dengan mengalirkan buangan domestiknya ke tangki septik. Namun saat ini belum ada pengolahan lanjutan untuk mengolah efluennya sehingga efluen cair tangki septik langsung dialirkan ke saluran drainase yang menuju badan air terdekat. Tangki septik yang dirancang dan dirawat dengan baik umumnya hanya memiliki persentase pengolahan sebesar 50% untuk penyisihan padatan dan 30% - 40% untuk penyisihan BOD (Tilley, at al., 2014). Air limbah domestik tanpa pengolahan memiliki konsentrasi tipikal untuk parameter TSS sebesar 120-400 mg/l dan BOD sebesar 110-350 mg/l (Tchobanoglous et al., 2014). Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan dengan tangki septik saja berpotensi untuk menghasilkan kualitas efluen yang belum memenuhi baku mutu. Seperti halnya jika mengacu pada PermenLHK Nomor 68 Tahun 2016, dinyatakan bahwa kadar maksimum TSS dan BOD pada efluen pengolahan air limbah domestik adalah sebesar 30 mg/L. Selain itu, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan

(15)

septik perlu diresapkan melalui bidang/sumur resapan dan jika tidak memungkinkan karena beberapa hal seperti ketidaksesuain muka air tanah, keterbatasan luas area yang tersedia, dan kapasitas minimum dan maksimum pemakai tangki septik, maka dapat dibuat suatu filter atau pengolahan lanjutan untuk mengelola cairan tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa efluen cair yang keluar dari tangki septik tidak dapat dibuang ke badan air sebelum diolah terlebih dahulu. Perancangan pengolahan efluen cair tangki septik menjadi penting untuk dilakukan agar efluen dapat mematuhi baku mutu dan juga menjaga kualitas lingkungan. Efluen cair tangki septik direncanakan akan diolah pada suatu rangkaian instalasi pengolahan terpusat. Hal ini disebabkan karena pada kondisi eksisting, terdapat total tangki septik sekitar 18 unit. Dengan total tangki tersebut, tidak memungkinkan untuk dibangunnya unit pengolahan seperti resapan di tiap-tiap unit tangki septik karena akan membutuhkan lahan yang lebih besar.

Sehingga pada proses perancangannya diusahakan semaksimal mungkin untuk menggunakan lahan yang kecil dikarenakan kondisi lahan eksisting yang terbatas. Selain mengenai penggunaan lahan yang terbatas dan kemampuan penyisihan agar kualitas dapat memenuhi baku mutu, aspek tambahan yang menjadi perhatian dalam menentukan pengolahan air limbah adalah aspek ekonomis baik untuk pembangunan maupun operasional, serta kemudahan dalam perawatan dan operasional (Hartaja, 2017).

1.2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dibahas dalam perancangan ini adalah:

1. Bagaimana mendesain unit pengolahan efluen cair tangki septik yang tepat dan dapat memenuhi baku mutu air limbah domestik sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016?

2. Bagaimana mengolah efluen dari tangki septik dengan penggunaan lahan yang terbatas, mudah dalam operasional, serta ekonomis?

1.3. Batasan Masalah

Perancangan ini berfokus pada batasan masalah yang meliputi:

1. Perancangan IPAL dilakukan untuk mengolah air efluen tangki septik pada industri farmasi PT FH.

2. Debit perancangan didapatkan dari data sekunder yang bersumber dari PT FH.

3. Peraturan mengenai baku mutu yang menjadi acuan perancangan unit pengolahan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.

4. Fokus parameter kualitas air limbah yang akan diolah adalah parameter yang melebihi baku mutu.

5. Hasil dari perancangan berupa gambar teknis yang meliputi layout plan IPAL dan detailed engineering design (DED) beserta rencana anggaran biaya (RAB).

1.4. Tujuan Perancangan

Tujuan yang ingin dicapai dalam perancangan ini adalah:

1. Merancang instalasi pengolahan air limbah untuk mengolah efluen cair tangki septik dengan menentukan unit pengolahan yang tepat agar dapat memenuhi baku mutu sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 68 Tahun 2016.

(16)

2. Membuat detailed engineering design (DED) unit pengolahan efluen cair tangki septik beserta rencana anggaran biaya (RAB).

1.5. Manfaat Perancangan

Manfaat yang didapatkan dari perancangan IPAL ini adalah:

1. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi PT FH dalam membangun instalasi pengolahan air limbah untuk mengolah limbah domestik yang dihasilkan.

2. Pengaplikasian hasil perancangan rangkaian IPAL ini diharapkan dapat menjadi upaya bagi PT FH dalam mengolah air limbah domestiknya agar dapat memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan.

3. Dapat menjadi sumber informasi terkait proses pengolahan air limbah serta rangkaian instalasi IPAL khususnya air keluaran dari tangki septik.

(17)
(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat hal-hal yang berkaitan dengan informasi mengenai perancangan instalasi pengolahan air limbah. Terdiri dari beberapa sub-bab yang menjelaskan dan menguraikan teori, definisi, alur pemikiran, maupun informasi seperti acuan baku mutu dan kriteria desain yang bersumber dari literatur seperti buku, tugas akhir, jurnal ilmiah, maupun penelitian terdahulu yang dapat menjadi landasan ilmiah dalam menemukan solusi.

2.1. Air Limbah Domestik

Air limbah merupakan limbah cair yang berasal dari sisa penggunaan air oleh manusia untuk melakukan berbagai kegiatan yang mengandung bermacam unsur berbahaya bagi lingkungan dan manusia jika tidak dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke badan air. Secara umum, air limbah dapat berasal dari berbagai sumber seperti air limbah domestik, industri, infiltrasi, dan stormwater (Tchobanoglous et al., 2014). Pada sektor industri, dihasilkan juga air limbah domestik sesuai pernyataan Fauzi (2018) yang menjelaskan bahwa penggunaan air di sektor industri dibagi menjadi 3 kategori yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. Ketiga jenis air tersebut diantaranya yaitu air proses untuk mengolah bahan baku menjadi suatu produk, air utilitas untuk mendukung kegiatan produksi seperti pendingin dan pemanas, serta air limbah domestik.

Air limbah domestik merupakan air buangan yang berasal dari kotoran manusia (tinja dan urin), pembilasan toilet, mandi, cucian, dan juga dapur (Mara, 2003). Berdasarkan sumber buangan tersebut air limbah domestik dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu greywater dan blackwater. Jenis air limbah greywater berasal dari wastafel, mandi, dapur, dan cucian, sedangkan blackwater berasal dari buangan toilet (Morel dan Diener dalam Paulo et al., 2012)

2.2. Karakteristik Air Limbah

Air limbah mengandung berbagai konstituen dari berbagai sumber pencemar. Akibat sumber yang beragam, maka perlu dilakukan karakterisasi air limbah sesuai kandungannya. Karakteristik air limbah dapat dikelompokkan berdasarkan sifatnya yaitu, berdasarkan sifat fisiknya seperti total padatan tersuspensi, unsur kimianya yang terbagi atas parameter organik seperti BOD, COD, minyak & lemak, dan parameter anorganik seperti pH dan amonia, serta unsur biologinya seperti total koliform (Tchobanoglous et al., 2014). Berikut penjelasan setiap karakteristik.

a) Total Suspended Solids (TSS)

Total padatan tersuspensi merupakan parameter air limbah yang mendeskripsikan jumlah material organik dan anorganik tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi dalam air buangan perlu untuk dihilangkan karena padatan tersuspensi dapat meningkatkan deposit lumpur dan menyebabkan kondisi anaerobik jika air buangan tanpa pengolahan dibuang secara langsung ke badan air (Tchobanoglous et al., 2014).

b) Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Parameter BOD merupakan faktor yang menunjukkan kandungan organik pada air limbah. Nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi material organik yang mudah terurai. Air limbah dengan nilai BOD tinggi jika dibuang

(19)

langsung ke badan air dapat menyebabkan penurunan sumber oksigen yang tersedia sehingga dapat memicu kondisi septik (Tchobanoglous et al., 2014)

c) Chemical Oxygen Demand (COD)

Parameter COD juga merupakan faktor pengindikasi polutan organik pada air limbah. Namun, nilai COD menunjukkan jumlah oksigen yang ekuivalen dengan total zat organik yang dapat dioksidasi secara kimia menggunakan dikromat dalam kondisi asam (Tchobanoglous et al., 2014). Sama seperti BOD, tingginya konsentrasi COD pada air limbah yang dibuang ke badan air dapat mengganggu kehidupan akuatik karena deplesi oksigen yang dapat menyebabkan kematian ikan dan menyebabkan bau (Henze & Comeau, 2008).

d) Minyak dan Lemak

Minyak dan lemak dapat mencemari perairan karena kehadirannya dapat mengakibatkan konsentrasi oksigen terlarut di air rendah karena minyak dan lemak dapat menghambat difusi udara pada permukaan air. Selain itu minyak dan lemak dapat mengurangi penetrasi sinar matahari dari luar yang masuk ke dalam perairan sehingga mempengaruhi aktivitas fotosintesis (Suyasa, 2015).

e) Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan parameter yang menyatakan tingkat keasaman atau jumlah ion hidrogen dalam suatu cairan. Selain itu, pH juga dapat menjadi indikator yang menunjukkan tingkat kesulitan pada proses pengolahan air limbah. Air limbah dengan pH 7 (netral) menunjukkan kondisi dengan kinerja pengolahan yang optimum. Nilai pH perlu diperhatikan karena dapat merubah kadar keasaman air dari tempat air limbah tersebut dibuang seperti sungai. Perubahan kondisi yang tidak sesuai dapat mempengaruhi kehidupan dan metabolisme organisme air, proses biokimiawi di air, serta tingkat toksisitas senyawa kimia (Sulistia & Septisya, 2019).

f) Amonia (NH3)

Amonia merupakan senyawa kimia yang larut dalam air. Air limbah yang mengandung kadar amonia tinggi perlu dilakukan pengolahan karena menunjukkan tingginya kandungan nutrien berupa nitrogen. Selain itu, kadar amonia yang tinggi dapat menyebabkan penurunan jumlah oksigen terlarut, menyebabkan eutrofikasi, serta efek toksik (Henze & Comeau, 2008). Amonia (NH3)

bersifat toksik bagi biota perairan seperti ikan karena kemampuannya untuk masuk ke dalam tubuh ikan melalui air yang kemudian ketika di dalam tubuh, amonia (NH3) dapat terionisasi dan

menyebabkan kerusakan sel (Levit, 2010).

g) Total Koliform

Total koliform merupakan salah satu kelompok bakteri koliform yang digunakan sebagai organisme indikator. Jika pada air limbah terdeteksi adanya total koliform dan nilainya melebihi baku mutu, maka dapat diindikasi adanya kehadiran patogen penyebab penyakit pada air tersebut (Tchobanoglous et al., 2014).

2.3. Baku Mutu Air Limbah Domestik

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dijelaskan bahwa baku mutu air limbah adalah batas atau kadar maksimum suatu unsur pencemar yang dapat ditenggang keberadaannya dalam air limbah

(20)

suatu usaha atau kegiatan sebelum dibuang ke sumber air. Peraturan mengenai air limbah domestik di Kota Tangerang di bahas pada Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan untuk tingkat provinsi mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pengembangan Pengelolaan dan Pengendalian Pencemaran Air Limbah Domestik Regional. Namun, kedua peraturan tersebut tidak mengatur standar baku mutu air limbah domestik untuk daerahnya secara tersendiri. Sehingga baku mutu yang dijadikan sebagai pedoman dalam pengolahan air limbah domestik dapat mengacu pada standar baku mutu nasional berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Terdapat berbagai parameter beserta konsentrasi yang telah ditetapkan dan menjadi acuan dalam perancangan sistem pengolahan air limbah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri

Parameter Satuan Kadar Maksimum

pH - 6-9

BOD mg/L 30

COD mg/L 100

TSS mg/L 30

Minyak & Lemak mg/L 5

Amoniak mg/L 10

Total Coliform Jumlah/100mL 3000

Debit l/orang/hari 100

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2016)

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa setiap parameter memiliki batasan untuk dapat secara aman dibuang ke badan air. Seperti contohnya parameter organik sebagai BOD dibatasi konsentrasinya sebesar 30 mg/L dan COD 100 mg/L. Nilai ini membuat limbah yang mengandung parameter organik dengan nillai melebihi baku mutu harus diolah sebelum dibuang ke badan air.

2.4. Proses Pengolahan Air Limbah

Konstituen yang terkandung pada air limbah dapat dihilangkan dengan menentukan pengolahan yang tepat. Secara umum pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu secara fisika, kimia, dan biologis. Ketiga proses tersebut dapat dilakukan dalam satu rangkaian maupun terpisah (Tchobanoglous et al., 2014).

2.4.1. Pengolahan secara fisika

Pengolahan secara fisika biasanya dilakukan di awal pengolahan karena prosesnya yang mengaplikasikan kemampuan kekuatan secara fisik seperti gravitasi, pengadukan, dan lainnya. Tipe-tipe proses pada pengolahan secara fisika yaitu sedimentasi, penyaringan, flokulasi, filtrasi dan lainnya (Tchobanoglous et al., 2014).

2.4.2. Pengolahan secara kimia

Pengolahan secara kimia terjadi ketika penghilangan konstituen dilakukan dengan menambahkan bahan kimia. Contoh pengolahan secara kimia yang umunya digunakan adalah presipitasi yang dilanjutkan dengan unit penghilangan presipitat, transfer gas dengan bantuan oksigen, adsorpsi, dan

(21)

2.4.3. Pengolahan secara biologis

Pengolahan secara biologis pada air limbah dilakukan untuk mendegradasi senyawa polutan organik dengan menggunakan mikroorganisme. Pengolahan secara biologis dapat dilakukan pada 3 jenis kondisi terkait keberadaan oksigen pada air, yaitu kondisi aerobik (dengan oksigen) yang baik dalam mengolah air limbah dengan kandungan organik yang tidak terlalu besar, anaerobik (tanpa adanya oksigen) yang mampu mengolah air limbah dengan beban organik tinggi, serta kombinasi aerobik-anaerobik. Pengolahan air limbah secara biologis juga dapat dibedakan berdasarkan tipe pengolahan, yaitu biakan tersuspensi, biakan melekat, serta proses pengolahan dengan sistem lagoon (Said, 2008).

a) Biakan Tersuspensi (Suspended Growth)

Proses pengolahan air limbah dengan biakan tersuspensi memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang dibiakkan secara tersuspensi di dalam reaktor untuk menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah. Berbagai contoh proses pengolahan yang menerapkan proses ini adalah lumpur aktif, step aeration, kontak stabilisasi, kolam oksidasi dengan sistem parit, dan lainnya (Said, 2008).

b) Biakan Melekat (Attached Growth)

Proses pengolahan dengan biakan melekat merupakan proses pengolahan biologis dengan memanfaatkan permukaan media seperti batuan, kerikil, plastik, nilon, dan sintesis lainnya untuk menjadi tempat tumbuhnya mikroorganisme. Mikroba akan tumbuh dan membentuk lapisan yang biasanya disebut dengan biofilm. Proses biakan melekat dapat dioperasikan secara aerobik, anaerobik maupun kombinasi antara keduanya. Media filter dapat terletak pada posisi terendam, terendam sebagian, ataupun tidak terendam pada air limbah (Mines, 2014). Suatu sistem biofilm tersusun atas lapisan media filter, lapisan biofilm, lapisan air, dan udara. Lapisan pada biakan melekat dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Mekanisme Lapisan Biofilm pada Media (Said, 2008)

Mekanisme proses penguraian pada sistem biofilm seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.1 secara sederhana terjadi dengan mendifusikan senyawa polutan dan amonia yang terkandung dalam

(22)

air limbah ke lapisan biofilm yang melekat pada permukaan medium. Kemudian dengan menggunakan oksigen terlarut dalam air limbah, senyawa polutan akan diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat pada lapisan biofilm. Untuk tetap dapat menjaga pasokan oksigen tersebutlah digunakan berbagai contoh teknologi yang menerapkan sistem biakan melekat diantaranya adalah biofilter tercelup, trickling filter, aerasi kontak, reaktor kontak biologis (RBC), dan lainnya (Said, 2008).

c) Lagoon atau Kolam

Pengolahan secara biologis tipe kolam atau lagoon dilakukan dengan menumbuhkan mikroorganisme secara alami pada suatu kolam dengan waktu tinggal yang cukup lama untuk dapat mengurai senyawa polutan yang terkandung pada air limbah. Proses aerasi dapat dilakukan untuk mempercepat proses penguraian dan mengurangi waktu tinggal di kolam. Namun proses ini biasanya juga dikategorikan ke dalam pengolahan secara biakan tersuspensi (Said, 2008).

2.5. Pengolahan dengan Tangki Septik

Tangki septik merupakan suatu ruangan kedap air yang terdiri dari satu hingga beberapa kompartemen. Unit ini berfungsi untuk menampung dan mengolah air limbah rumah tangga dengan kecepatan aliran yang lambat sehingga memberi kesempatan untuk terjadi pengendapan terhadap suspensi benda-benda padat dan kesempatan untuk penguraian bahan-bahan organik oleh jasad anaerobik membentuk bahan-bahan larut air dan gas. Tangki septik dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu, tangki septik dengan sistem terpisah dan tercampur. Tangki septik sistem tercampur digunakan untuk menampung buangan air limbah rumah tangga yang meliputi sisa mandi, cuci dan kakus, sedangkan tangki septik sistem terpisah merupakan tangki septik yang digunakan hanya untuk menampung air kakus (Badan Standardisasi Nasional, 2017). Pada tangki septik, terjadi penghilangan parameter polutan seperti padatan dan BOD.

Gambar 2.2. Potongan Melintang Tangki Septik (Tilley, at al., 2014)

Potongan melintang tangki septik secara umum dan proses pengumpulan air limbah dapat dilihat pada Gambar 2.2 diatas. Gambar tersebut menunjukkan tangki septik dengan dua kompartemen yang dilengkapi dengan pipa aliran masuk di sisi kiri, zona sedimentasi dibagian bawah, dan pipa aliran

(23)

terjadi ketika air limbah tertahan di dalam tangki untuk proses pemisahan padatan dengan cairan. Prinsip kerja tangki septik menyerupai tangki sedimentasi dimana padatan yang mengendap akan distabilisasi secara anaerobik. Sedimentasi beroperasi secara optimal jika aliran limbah yang masuk lambat dan tenang, sedangkan proses biologis dapat dioptimalkan dengan kontak yang cepat dan intensif antara air limbah yang baru masuk dengan lumpur yang telah lama terendap. Proses sedimentasi yang optimal dapat menghasilkan efluen yang lebih segar dan tidak berbau, sedangkan pengoptimalan proses biologis dapat meningkatkan proses degradasi padatan tersuspensi dan terlarut (Sasse, 1998). Tangki septik dapat dikategorikan menjadi tahapan awal dalam proses pengolahan air limbah dan diperlukan proses pengolahan lanjutan untuk mengolah efluen beserta lumpur. Hal ini dikarenakan cairan yang keluar dari tangki septik umumnya masih mengandung organik yang tinggi (Tilley, at al., 2014).

2.6. Unit Pengolahan Air Limbah

Berbagai unit dibawah ini menjelaskan fungsi dan juga penerapan teknologi yang digunakan. Selain itu dilengkapi juga kriteria desain tiap unit. Terdapat berbagai unit pengolahan air yang umumnya digunakan seperti sumur pengumpul, unit pengolahan sekunder (lumpur aktif, RBC, trickilng filter, constructed wetland, upflow anaerobic sludge blanket (UASB), dan biofilter anaerob-aerob) serta desinfeksi.

2.6.1. Sumur pengumpul

Sumur pengumpul diletakkan di awal pengolahan sebagai unit pendahuluan dengan tujuan untuk menampung air limbah domestik yang berasal dari berbagai sumber dengan elevasinya yang lebih rendah daripada unit-unit pengolahan selanjutnya. Sumur pengumpul umumnya dilengkapi pompa untuk menyalurkan air ke unit selanjutnya. Untuk perancangannya, terdapat kriteria desain yaitu waktu detensi air limbah dalam sumur pengumpul <10 menit sehingga pada unit ini biasanya tidak terjadi proses pendegradasian polutan. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pengendapan dalam sumur. (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2018).

2.6.2. Lumpur aktif (activated sludge)

Lumpur aktif adalah unit pengolahan secara biologis dengan biakan tersuspensi pada suatu reaktor yang menggunakan mikroorganisme aerob untuk mengolah polutan organik dan konstituen lainnya. Karena menggunakan mikroorganisme aerob, unit lumpur aktif dilengkapi dengan proses pengadukan dan aerasi untuk menjaga pasokan udara. Mikroorganisme akan membentuk partikel flokulan sehingga diperlukan unit sedimentasi akhir untuk memisahkan fasa cair dan padatan pada efluen dari tangki aerasi. Lumpur yang terkumpul pada bak sedimentasi akhir dapat diresirkulasi ke tangki biologis (Tchobanoglous et al., 2014). Kriteria desain unit dapat dilihat pada abel berikut. Tabel 2.2. Kriteria Desain Lumpur Aktif

Proses Tipe Reaktor Waktu Tinggal Lumpur (hari) F/M (kg BOD/ Kg MLVSS. hari) Volumetric loading (kg BOD/m3. hari) MLSS (mg/L) Waktu Detensi (jam) RAS (Qr/ Q) Konvensional Plug flow 3-15 0,2-0,4 0,3-0,7 1000-3000 4-8 0,25-0,75 Complete-mix CMAS 3-15 0,2-0,6 0,3-1,6 1500-4000 3-5 0,25-1,00 Extended Aeration Plug flow 20-40 0,04-0,10 0,1-0,3 2000-5000 20-30 0,50-1,50

(24)

Proses Tipe Reaktor Waktu Tinggal Lumpur (hari) F/M (kg BOD/ Kg MLVSS. hari) Volumetric loading (kg BOD/m3. hari) MLSS (mg/L) Waktu Detensi (jam) RAS (Qr/ Q) Sequencing

Batch Reactor Batch 10-30 0,04-0,10 0,1-0,3

2000-5000 15-40 - Oxidation Ditch Plug flow 15-30 0,04-0,1 0,1-0,3 3000-5000 15-30 0,75-1,50 Sumber: Tchobanoglous, Burton, & Stensel (2003)

2.6.3. Rotating biological contactor (RBC)

RBC atau reaktor kontak biologis merupakan unit pengolahan biologis yang biasanya diawali oleh unit pengolahan primer seperti tangki septik, clarifier, filter anaerobik, dan lainnya. Proses yang terjadi pada RBC yaitu biakan melekat secara aerob dimana pertumbuhan biomassa terjadi dengan proses penempelan pada permukaan piringan. Prinsip kerja RBC yakni piringan berputar secara terus menerus untuk menyediakan proses kontak biomassa dengan air limbah yang mengandung polutan organik dan dilanjutkan dengan proses kontak udara agar dapat menyerap oksigen (Soedjono, Wibowo, Saraswati, & Keetalar, 2010). Beberapa kriteria yang diperhatikan dalam perancangan RBC dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Kriteria desain RBC

Parameter Nilai Satuan

Beban organik 10-15 gr BOD/m

2.hari (domestik)

10-50 gr BOD/m2.hari (industri)

Beban hidrolis 50 – 100 l/m

2/hari (BOD influen = 200 mg/l)

10-20 l/m2/hari (BOD influen = 500-1000 mg/l)

Jarak antara piringan 3 – 5 cm

Diameter piringan 1,5 – 3 m

Waktu detensi 2 – 4 jam

Produk lumpur 0,4 – 0,5 Kg/Kg BOD removal

Kecepatan putaran cakram 1 – 2 rpm

Diameter cakram 1 – 3,6 m

Kedalaman bak 40% Dari diameter cakram

Temperatur pengoperasian 15 – 40 oC

Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya (2018)

Tabel 2.3 memaparkan beberapa kriteria desain dari perencanaan RBC. Terdapat parameter penting terkait beban pengolahan yang harus diperhatikan pada parameter desain RBC, yaitu beban organik dan beban hidrolis. Beban hidrolis pada Tabel 2.3 dibedakan berdasarkan konsentrasi BOD influen. Selain mengacu pada konsentrasi BOD, kriteria nilai beban hidrolis pada RBC umunya berkisar antara 30-160 l/m2/hari (Tchobanoglous, Burton, & Stensel, 2003).

(25)

Gambar 2.3. Detail Tampak Samping dan Depan Rotating Biological Contactor atau RBC (Mines, 2014)

Potongan RBC dengan tampak samping dan tampak depan dapat dilihat pada Gambar 2.3. Pada potongan tampak samping, terlihat detail bagian pada RBC yang terdiri atas piringan media, shaft, dan motor untuk memutar shaft. Tampak depan terlihat piringan media, kedalaman bak yang dapat merendam 35-40% piringan, dan pipa distribusi udara (Mines, 2014).

2.6.4. Trickling filter

Unit pengolahan sekunder dengan trickling filter merupakan jenis pengolahan biologis biakan melekat dengan tipe media yang tidak terendam. Berbeda dengan tipe filter tradisional yang menggunakan pasir, reaktor pada trickling filter menggunakan media seperti batuan, kerikil, atau bahan plastik yang dapat menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme. Proses pengolahannya yaitu dengan mengalirkan air limbah dari atas dengan bantuan sprinkler yang berputar untuk medistribusikan air secara kontinu. Kemudian terjadi proses pengolahan ketika air mengalir melalui media dan kontak dengan biofilm. Desain trickling filter dapat diklasifikasikan berdasarkan laju beban hidrolik ataupun beban organik (Tchobanoglous, Burton, & Stensel, 2003). Kriteria desain trickling filter dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.4. Kriteria Desain Trickling Filter

Karakteristik Desain Satuan Tingkat Rendah Tingkat Sedang Tingkat Tinggi Tingkat Tinggi Sangat Tinggi (Roughing)

Tipe media - Batu Batu Batu Plastik Plastik/ Batu

Beban hidrolik m3/m2.hari 1-4 4-10 10-40 10-75 40-200

Beban organik kg BOD/m3.hari 0,07-0,22 0,24-0,48 0,4-2,4 0,6-3,2 >1,5

Rasio resirkulasi

- 0

0-1 1-2 1-2 0-2

Penyaring

lalat - banyak sedang sedikit sedikit sedikit

Sloughing - terkadang terkadang kontinu kontinu kontinu

Kedalaman m 1,8-2,4 1,8-2,4 1,8-2,4 3,0-12,2 0,9-1,6 Efisiensi penyisihan BOD % 80-90 50-80 50-90 60-90 40-70 Kualitas

efluen Proses nitrifikasi ya sebagian tidak tidak tidak

Daya kW/103 m3 2-4 2-8 6-10 6-10 10-20

(26)

2.6.5. Lahan basah buatan arah horizontal (constructed wetland)

Lahan basah buatan merupakan lahan basah yang dibangun sedemikian rupa agar serupa dengan lahan basah alami. Sistem pengolahan air limbah ini dibangun dengan dasar lapisan atau saluran yang diisi pasir atau media seperti kerikil, batu, dan tanah yang kemudian diatasnya ditanami tanaman makrophyta. Selain itu, lapisan terluar dilapisi dengan material kedap air seperti tanah liat atau geotekstil agar air tidak tembus (Soedjono et al., 2010). Terdapat dua jenis sistem pengolahan pada lahan basah buatan yang dibedakan berdasarkan jenis pengaliran airnya. Jenis pertama adalah sistem aliran permukaan (free water system) dimana air mengalir di atas permukaan tanah dan Jenis kedua adalah sistem aliran permukaan bawah (subsurface flow system). Pada sistem ini terbagi menjadi 2 jenis sesuai arah alirannya yaitu arah horizontal (horizontal subsurface flow) dan arah vertikal (vertical subsurface flow) (Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2017). Prinsip kerja lahan basah buatan yaitu influen dialirkan melewati media filter untuk menyaring padatan dan menyisihkan polutan organik dengan bantuan bakteri yang menempel pada media filter (Tilley, at al., 2014).

Gambar 2. 4. Potongan Melintang Constructed Welands Aliran Horizontal di Bawah Permukaan (Tilley, at al., 2014)

Potongan melintang constructed wetlands dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar tersebut menunjukkan susunan dan juga komponen yang terdapat pada constructed wetlands seperti pipa aliran masuk dan keluar, media, dan kemiringan dasar sebesar 1% untuk memudahkan proses disribusi air (Tilley, at al., 2014). Berikut beberapa kriteria desain yang menjadi pertimbangan saat proses perancangan lahan basah buatan.

Tabel 2.5. Kriteria Desain Lahan Basah Buatan Arah Horizontal

Parameter Nilai Satuan

Diameter media di area pengolahan 5 – 20 mm Diameter media di inlet dan outlet 40 – 80 mm

Porositas media 40 %

Kedalaman lahan basah 30 – 60 cm (tipikal=40 cm)

Kemiringan dasar 0,5 – 1 %

Lapisan bak tanah liat /

geomembran Jika permeabilitas tanah >10

-6 m/s

Laju konstanta (KBOD) 0,15 m/hari

Laju beban hidrolik 0,01-0,03 m3/m2.s

(27)

Media yang umumnya memenuhi kriteria porostitas media Pada Tabel 2.5 adalah kerikil. Sebelum media disusun pada bak, harus dipastikan sudah bersih dan bebas debu untuk menghindari penyumbatan saat proses pengolahan. Selain berbagai parameter di atas, salah satu parameter lain yang penting untuk diperhatikan adalah jenis tanaman. Berbagai jenis tanaman hidup yang dapat digunakan seperti Phragmites australis (reed) biasanya memiliki akar yang dalam dan lebar serta dapat tumbuh di area yang basah dan kaya nutrisi (UN-HABITAT, 2008).

2.6.6. Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor (UASB)

Unit pengolahan UASB merupakan jenis pengolahan tersuspensi pada reaktor dengan kondisi tanpa kehadiran oksigen. Prinsip kerjanya adalah air limbah masuk ke dalam tangki dari arah bawah kemudian mengalir ke atas. Reaktor UASB dilengkapi dengan selimut lumpur tersuspensi yang dapat melakukan penyaringan dan pengolahan ketika air limbah melewatinya. Selimut lumpur merupakan sebutan untuk area tempat terjadinya pendegradasian senyawa organik oleh mikroorganisme yang terdiri dari butiran mikroba berdiameter 1 sampai 3 mm hasil aglomerasi mikroorganisme yang karena beratnya dapat tidak terikut ke atas ketika air melewatinya dari arah bawah. Pada proses pengolahannya dapat dihasilkan gas sehingga unit ini didesain menyempit di bagian atas reaktor untuk menangkap gas (Tilley, at al., 2014). Untuk kriteria desain reaktor UASB dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut.

Tabel 2.6. Kriteria Desain Reaktor UASB

Parameter Nilai Satuan

Hydraulic Retention Time (HRT) 8-10 jam Solid retention time (SRT) 30-50 hari

Konsentrasi sludge blanket 15-30 kg VSS/m3

Beban organik dalam sludge blanket 0,3-1,0 kg COD/kgVSS.hari Volumetric organic loading 1-3 kg COD/m3.hari

Penyisihan BOD 75-85 %

Penyisihan COD 74-78 %

Kecepatan upflow 0,5-1,2 m/jam

Produksi lumpur 0,15-0,25 kg TS/m3

Produksi gas 0,1-0,3 m3/kg COD yang tersisihkan

Penyisihan nitrogen dan fosfor 5-19 %

Kedalaman reaktor 4,5-5 m

Lebar atau diameter 10-12 m

Kedalaman sludge blanket 2,0-2,5 m

Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya (2018)

2.6.7. Biofilter anaerob-aerob

Biofilter merupakan jenis pengolahan air limbah yang memanfaatkan pembentukan biofilm akibat pertumbuhan mikroorganisme pada media. Air limbah dialirkan ke dalam reaktor yang dikontakkan dengan biofilm yang telah terbentuk dan melapisi keseluruhan permukaan media untuk menguraikan polutan yang ada di dalam air limbah. Proses degradasi akan terjadi ketika senyawa polutan dialiri melewati celah media dan kontak langsung dengan lapisan mikroba. Mikroorganisme yang tumbuh pada lapisan media memiliki kesamaan dengan organisme yang hidup pada pengolahan dengan sistem lumpur aktif. Organisme yang hidup sebagian besar bersifat heterotropik dengan bakteri fakultatif sebagai organisme utama (Said, 2008).

(28)

Teknologi pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob adalah salah satu proses yang mengaplikasikan sistem biofilter dengan mengkombinasikan proses secara anaerob dan aerob. Tujuan dilakukannya penggabungan kedua proses ini adalah untuk meningkatkan persentasi penyisihan polutan pada air limbah. Pada proses biofilter anaerob tanpa udara (tidak memerlukan bantuan blower) terjadi penguraian polutan organik yaitu BOD dan COD serta padatan tersuspensi. Pada proses biofilter aerob terjadi degradasi polutan organik yang tersisa menjadi gas karbon dioksida (CO2) dan air (H2O), serta amonia menjadi nitrat. Dengan demikian proses secara anerob

umunya dilakukan diawal karena kemampuannya yang lebih baik dalam mengolah air limbah dengan kandungan organik tinggi. Penggabungan dua proses biofilter anaerob-aerob dapat meningkatkan kualitas yang lebih baik dengan penggunaan energi yang lebih sedikit (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2017).

Komponen penting yang menjadi kunci utama dalam proses pengolahan pada biofilter adalah media biofilter. Terdapat beberapa kriteria media biofilter diantaranya adalah (Said & Ruliasih, 2005): 1. Luas permukaan spesifik, hal ini menunjukkan besar luas area tiap satuan volume media yang

aktif secara biologis. Semakin besar luas permukaan spesifik media maka semakin banyak jumlah mikroorganisme yang tumbuh pada permukaan media per unit volume.

2. Fraksi volume rongga, menunjukkan ruang atau volume kosong atau terbuka dalam media. Volume rongga yang besar dapat membuat aliran air maupun udara tidak terhalang sehingga dapat meningkatkan kemungkinan kontak antara substrat dengan biomassa yang menempel pada media penyangga. Selain itu, media dengan fraksi volume rongga yang lebih besar memiliki ketahanan terhadap penyumbatan.

3. Diameter celah bebas, kemampuan media untuk meloloskan ukuran diameter terbesar dari berbagai jenis konstituen pada air.

4. Ketahanan terhadap penyumbatan. Penyumbatan mempengaruhi kemampuan filter untuk mengolah air sesuai dengan desain.

5. Terbuat dari bahan tidak mudah terurai, tidak korosif, dan tahan terhadap pembusukan dan kerusakan secara kimia.

6. Keterjangkauan harga per unit luas permukaannya.

7. Memiliki ketahanan mekanik yang baik untuk biofilter berukuran besar. Hal ini berkaitan dengan proses perawatan dan pemeliharaan.

8. Ukuran berat media. Semakin ringan media, maka dapat mereduksi biaya konstruksi.

9. Fleksibilitas. Berkaitan dengan kemudahan konstruksi dengan kemampuan menyesuaikan bentuk reaktor yang beragam.

10. Kemudahan dalam pemeliharaan dan perawatan. 11. Kebutuhan energi kecil.

12. Reduksi cahaya. Khususnya biofilter yang digunakan untuk nitrifikasi umumnya menggunakan media berwarna gelap dan bentuknya harus dapat menghalangi cahaya.

13. Permukaan media bersifat hidrofilik agar mikroorganisme dapat menempel.

Jenis media umumnya dibedakan berdasarkan bahan materialnya seperti batu pecah, kerikil, batu marmer, batu tembikar, bentuk tali, jaring, butiran tak teratur, papan, sarang tawon, dan lainnya (Said & Ruliasih, 2005). Beragam media filter ini memiliki luas permukaan spesifik yang berbeda seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(29)

Tabel 2.7. Perbandingan Luas Permukaan Spesifik Media Biofilter

No Jenis Media Luas Permukaan

Spesifik (m2/m3) 1 Trickling Filter dengan Batu Pecah 100-200 2 Modul Sarang Tawon (Honeycomb Module) 150-240

3 Tipe Jaring 50

4 RBC 80-150

5 Bio-Ball (Random) 200-240

Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011)

Dapat dilihat pada Tabel 2.7 perbedaan luas permukaan spesifik tiap jenis media biofilter. Luas permukaan spesifik merupakan salah satu variabel penting dalam menentukan efisiensi penyisihan dan dimensi reaktor. Semakin besar nilai luas permukaan spesifik maka efisiensi pengolahan semakin besar dan volume reaktor yang dibutuhkan menjadi lebih kecil (Said & Ruliasih, 2005). Media biofilter akan diletakkan di reaktor dengan penambahan blower pada proses aerobik. Untuk skema pengolahan biofilter anaerobik-aerobik dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut.

Gambar 2.5. Skema Pengolahan dengan Biofilter Anaerob-Aerob (Said, 2008)

Skema proses yang terjadi pada biofilter anaerob-aerob dalam dilihat pada Gambar 2.5. Gambar tersebut menunjukkan komponen-komponen yang terdapat pada biofilter. Dimulai dengan bak pengendap awal, kemudian dilanjutkan ke biofilter anaerob dengan media filter. Selanjutnya air limpasannya dialirkan ke biofilter aerob yang dilengkapi aerator untuk membantu proses aerasi. Efluen akan dikumpulkan di bak pengendap akhir sebelum dibuang. Kriteria desain yang digunakan dalam perancangan biofilter anaerob-aerob dapat dilihat pada Tabel 2.8 berikut ini.

Tabel 2.8. Kriteria Desain Biofilter Anaerob-Aerob

Parameter Nilai Satuan Sumber

Biofilter Anaerob

(Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat, 2017)

Waktu detensi rata-rata 6 – 8 jam

Tinggi ruang lumpur 0,5 m

Tinggi bed media 0,9 – 1,5 m

Tinggi air di atas bed media 0,2 m

Beban BOD per satuan permukaan media

(30)

Parameter Nilai Satuan Sumber

Beban BOD 0,5 – 4 kg BOD/m3

media

Biofilter Aerob

Waktu tinggal total rata-rata 6 – 8 jam

Tinggi ruang lumpur 0,5 m

Tinggi bed media 1,2 m

Tinggi air di atas bed media 0,2 m

Bak Pengendap Akhir

Waktu tinggal rata-rata 2 – 5 jam

Beban permukaan rata-rata 10 – 50 m3/m2.hari

Rasio resirkulasi 25 – 50 %

Media Tempat Melekat Mikroba (Sarang Tawon) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Material PVC sheet Ketebalan 0,15 – 0,23 mm

Luas Kontak Spesifik 150 – 226 m2/m3

Diameter Lubang 2 x 2 cm x cm

Berat Spesifik 30 – 35 kg/m3

Porositas Rongga 0,98

Berdasarkan Tabel 2.8 di atas, salah satu parameter yang mempengaruhi kinerja dari biofilter adalah beban BOD atau beban organik. Beban organik merupakan senyawa organik pada air limbah yang didegradasi per unit volume per hari. Beban organik mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang berdampak pada proses pengolahan air limbah (Herlambang, 2001).

Setiap teknologi pengolahan sekunder yang telah dijelaskan di atas memiliki kelebihan dan kekurangannya. Rangkuman kelebihan dan kekurangan tiap unit pengolahan biologus dapat dilihat pada Tabel 2.9 berikut.

Tabel 2.9. Perbandingan Analisis Kelebihan dan Kekurangan Tiap Unit Biologis

No Teknologi Kelebihan Kekurangan

1

Lumpur aktif (a), (e)

1. Efisiensi penyisihan BOD cukup tinggi

2. Tahan terhadap fluktuasi beban organik dan hidrolik

3. Memungkinkan penyisihan nutrien

4. Memiliki beragam modifikasi desain

1. Konsumsi energi relatif tinggi 2. Biaya konstruksi dan operasi

tinggi

3. Kebutuhan lahan relatif besar, tergantung tipe unit

4. Membutuhkan personel yang terampil untuk operasi dan pemeliharaan

5. Lumpur dan efluen membutuhkan pengolahan lanjutan

Beban organik = 0,3-1,6 kg BOD/m3.hari (CMAS)

2 RBC (b), (c) 1. Efisiensi penyisihan BOD tinggi

2. Kebutuhan lahan relatif kecil 3. Secara konsep lebih sederhana

daripada lumpur aktif

4. Kebutuhan energi relatif rendah 5. Lumpur yang dihasilkan lebih

sedikit dari lumpur aktif

1. Biaya konstruksi tinggi 2. Sensitif terhadap perubahan

suhu

3. Berpotensi pertumbuhan biofilm yang tidak normal dan peluruhan menyebabkan keagalan mekanis Beban organik = 8-20 gr BOD/m2.hari

(31)

No Teknologi Kelebihan Kekurangan

3 Trickling filter (a), (b)

1. Efisiensi penyisihan BOD tinggi 2. Memerlukan peralatan mekanik

yang sederhana

3. Dapat dioperasikan pada beban organik dan hidrolik yang beragam

1. Biaya konstruksi tinggi 2. Kebutuhan lahan relatif besar,

tergantung tipe unit

3. Membutuhkan personel yang terampil untuk operasi dan pemeliharaan

4. Membutuhkan sumber listrik yang konstan

Beban organik = 0,8-4,8 kg BOD/m3.hari (high rate)

4 Constructed Wetland

(a), (b), (f)

1. Efisiensi penyisihan BOD, padatan tersuspensi, dan patogen tinggi

2. Tidak membutuhkan energi listrik yang besar

3. Biaya operasional rendah 4. Biaya konstruksi rendah

1. Kebutuhan lahan relatif besar 2. Memerlukan penanganan

terhadap tumbuhan

Beban organik = Beban organik = <110 kg BOD/ha.hari 5 Reaktor

UASB (a), (b)

1. Tahan terhadap beban organik dan hidrolik

2. Kebutuhan energi kecil 3. Kebutuhan lahan relatif kecil

1. Pengolahan tidak stabil terhadap fluktuasi beban organik dan hidrolik 2. Efisiensi penyisihan BOD

tidak terlalu tinggi

3. Membutuhkan operasi dan pemeliharaan oleh tenaga yang terampil terkait pengaturan kondisi hidrolik yang tepat 4. Diperlukan sumber listrik yang

konstan

5. Memerlukan pengolahan sekunder lanjutan

6. Menghasilkan lumpur buangan yang cukup besar

Beban organik = 5-20 kg COD/m3.hari

6 Biofilter Anaerob-Aerob (d)

1. Efisiensi penyisihan BOD dan padatan tersuspensi tinggi 2. Tidak memerlukan lahan yang

luas

3. Lumpur yang dihasilkan relatif sedikit

4. Operasional mudah dan murah

1. Berpotensi terjadinya

penyumbatan pada media filter 2. Perlu dilakukan pencucian

filter

3. Efluen dan lumpur perlu diolah lebih lanjut Beban organik = 5-30 kg BOD/m2.hari

Sumber: a. Tilley et al. (2014), b. Sperling (2007), c. Tchobanoglous, Burton, & Stensel (2003), d. Said & Widayat (2019), e. Qasim & Zhu (2018), dan f. Stefanakis (2015)

2.6.8. Desinfeksi

Desinfeksi merupakan proses pengolahan secara kimia yang bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen dalam air limbah yang diolah karena mikroorganisme patogen berpotensi menjadi sumber penyakit bagi manusia. Proses yang umumnya diterapkan adalah dengan pembubuhan bahan kimia di akhir pengolahan. Jenis bahan kimia sebagai disinfektan yang paling sering digunakan karena kebutuhan biaya rendah serta mudah didapatkan adalah klorin seperti

(32)

kalsium hipoklorit atau natrium hipoklorit. Namun penggunaan klorin dapat menghasilkan produk sampingan yang berbahaya jika penakaran dosis yang tidak tepat (Qasim & Zhu, 2018). Maka dari itu untuk dalam perhitungan dosis klor, perlu diperhatikan sisa klor. Pembubuhan disinfektan dapat dilakukan secara gravitasi atau menggunakan bantuan pompa. Kriteria desain pada unit desinfeksi yaitu waktu kontak dalam bak klorinasi umunya selama 30-60 menit (Tchobanoglous et al., 2014). Selain menggunakan bahan kimia, proses desinfeksi juga dapat dilakukan secara fisik seperti penggunaan radiasi sinar ultravioluet (UV), sarana mekanis seperti penggunaan screen dan bak pengendap, serta pemanfaatan radiasi seperti gamma (Mines, 2014). Terdapat beberapa jenis unit pengolahan yang dapat digunakan untuk proses klorinasi di suatu bak kontak, yaitu (1) dapat secara mekanis menggunakan screen, (2) penggunaan baffle, dan (3) lompatan hidrolik yang dibuat oleh downstream weir¸ venturi flume, dan parshall flume (Qasim & Zhu, 2018).

2.7. Proses Perancangan

Proses perancangangan biasanya bersifat samar dan memiliki berbagai kemungkinan jawaban ataupun solusi yang benar sehingga pada prosesnya diperlukan pengulangan dan iterasi. Menyelesaikan permasalahan mengenai desain bersifat kontingen dan dapat terus mengalami perubahan seiring berjalannya proses perancangan. Maka dari itu diperlukan tahapan untuk mengurutkan cara maupun proses berpikir sehingga dapat membantu dalam proses pemecahan masalah (Khandani, 2005).

Gambar 2.6. Tahapan Proses Perancangan (Khandani, 2005)

Terdapat 5 tahapan utama dalam proses perancangan yang dapat diterapkan sesuai Gambar 2.7 yang dimulai dengan pendefinisian masalah, pengumpulan informasi yang berkaitan dengan permasalahan, membuat berbagai alternatif solusi, melakukan analisis dengan berbagai metode untuk membantu dalam pemilihan solusi, dan implementasi solusi akhir.

Proses menganalisis dan evaluasi alternatif solusi dilakukan dengan menggunakan metode Kepner Tregoe Decision Analysis (KTDA). Metode KTDA dapat digunakan untuk berbagai jenis penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan seperti proyek konstruksi dan perancangan teknik. Kepner & Tregoe (1997), metode ini dilakukan dengan pembobotan pada 2 objektif penilaian yaitu kategori musts dan wants. Kategori musts (harus) merupakan indikator yang menunjukkan objektif penilaian yang wajib terpenuhi pada solusi yang terpilih. Suatu alternatif yang tidak dapat memenuhi objektif penilaian pada kategori must dapat langsung dieliminasi dari proses analisis selanjutnya. Pembobotan pada kategori ini adalah sebagai berikut:

(33)

- No Go = Kriteria yang diinginkan tidak terpenuhi

Selanjutnya yaitu kategori wants (ingin) merupakan objektif penilaian mengenai kriteria yang dikehendaki dari solusi yang terpilih. Penilaian ini membantu untuk membandingkan kemampuan dari setiap alternatif solusi. Dalam Pada kategori wants dilakukan pembobotan untuk masing-masing kriteria dengan penilaian terhadap weight (tingkat kepentingan) dan rating (tingkat pemenuhan). Untuk memudahkan penilaian, dapat dibuat matriks penilaian seperti Tabel 2.10 berikut.

Tabel 2.10. Matriks Evaluasi Alternatif Solusi dengan KTDA

No Alternatif Solusi Solusi 1 Solusi 2 Solusi n

A. Musts

1. Kriteria 1 Go … …

2. Kriteria n No Go … …

B. Wants Bobot Rating Nilai Rating Nilai Rating Nilai

1. Kriteria 1 a x ax = m

2. Kriteria 2 b y by = n

3. Kriteria n c z cz = o

Total m + n + o

Pada tahap akhir, alternatif yang memenuhi semua kriteria pada kategori must akan dievaluasi berbagai kemungkinan konsekuensi yang dapat terjadi di masing-masing solusi dengan menggunakan metode Adverse Consequences. Pada metode Adverse Consequences, dilakukan analisis dengan pembobotan untuk case of occurance (kemungkinan terjadi) dan level of seriousness (tingkat keseriusan) pada setiap kemungkinan konsekuensi yang terjadi di tiap alternatif solusi. Kedua kategori pembobotan tersebut akan dikalikan dan hasilnya disebut menjadi threat (ancaman). Alternatif dengan nilai total nilai ancaman terkecil dapat disimpulkan sebagai alternatif yang baik. Pemilihan solusi akhir dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kedua hasil analisis alternatif solusi tersebut yaitu KTDA dan Adverse Consequences. Matriks penilaian pada metode Adverse Consequences dapat dilihat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11. Matriks Adverse Consequences

Adverse Consequences Kemungkinan

Terjadi Tingkat Keseriusan Penilaian Ancaman Alternatif x Total= C1+Cn Konsekuensi 1 A1 B1 C1 = A1xB1 Konsekuensi n An Bn Cn = AnxBn Alternatif y Konsekuensi 1 Konsekuensi n

(34)
(35)

BAB III

KONSEP PERANCANGAN

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan tahapan dan juga konsep-konsep yang berhubungan dengan rencana awal proses perancangan. Terdiri dari beberapa sub-bab yang membahas diagram alir perancangan, pertimbangan perancangan, dan analisis teknis.

3.1 Diagram Alir Perancangan

Proses desain merupakan suatu proses yang didalamnya terdapat urutan peristiwa dan seperangkat pedoman yang membantu dalam menentukan titik awal perancangan yang jelas dan juga tahapan pekerjaan yang dilakukan untuk mencapai hasil akhir dengan tujuan untuk memvisualisasikan suatu produk hasil perancangan atau produk hasil perealisasian suatu imajinasi (Haik & Shahin, 2011). Mengutip dari pengertian diatas, maka tahap awal sebelum proses merancang adalah menentukan tahapan kegiatan sehingga dapat memperjelas perancangan dan mempermudah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Maka dari itu tahapan perancangan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

(36)

Proses perancangan dimulai dengan indentifikasi masalah. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di lokasi eksisiting sebagai dasar dalam pembuatan latar belakang. Pada tahap ini, dilakukan survei secara langsung ke lokasi. Identifikasi masalah dapat menghasilkan kesimpulan mengenai permasalahan yang terjadi sehingga diperlukan solusi yang tepat dengan menetapkan tujuan perancangan.

Setelah itu dilakukan studi literatur untuk mencari informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dapat dijadikan dasar perancangan. Sumber yang digunakan dalam studi litaratur berupa buku, jurnal, tugas akhir, tesis, peraturan, makalah seminar, pedoman teknis, dan lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan. Studi literatur dapat dilakukan untuk mencari informasi mengenai pengetahuan dasar tentang air limbah khususnya limbah domestik, jenis pengolahan beserta teknologi yang dapat digunakan, materi mengenai perhitungan dimensi, peraturan yang menjadi standar baku mutu, dan lainnya yang dapat membantu perancangan.

Selain studi literatur, diperlukan pengumpulan data untuk diolah menjadi suatu pembahasan. Pada perancangan ini, data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa luas lahan. Pengambilan data ini dilakukan dengan datang ke lokasi dan mengukur secara langsung atau dapat dilakukan wawancara dengan pekerja. Data sekunder yang dibutuhkan pertama adalah debit perancangan yang didapat dari hasil pendataan dan neraca air perusahaan. Kedua adalah karakteristik efluen tangki septik yang mencakup konsentrasi tiap parameter. Data ini didapatkan dari hasil pengujian laboratorium sebelumnya yang dilakukan oleh perusahaan. Ketiga adalah kriteria desain tiap teknologi unit-unit pengolahan air limbah domestik yang dapat diterapkan.

Selanjutnya setelah berbagai informasi dan data telah didapatkan, dilakukan analisis untuk dan mengolah data untuk menentukan rencana perancangan seperti penentuan analisis teknis, pembatasan masalah dan pertimbangan dalam perancangan sesuai data yang dimiliki, dan penentuan 3 alternatif solusi dalam perancangan. Berdasarkan 3 alternatif solusi, akan dipilih satu solusi yang paling tepat untuk dirancang. Pemilihan alternatif dilakukan dengan bantuan pembobotan tiap alternatif dan pemilihan dilakukan berdasarkan nilai tertinggi dan hasil pembobotan. Metode yang digunakan untuk evaluasi alternatuf adalah Kepner Tregoe Decision Analysis (KTDA) dan Adverse Consequences. Setalah didapatkan solusi maka selanjtnya dimulai proses perancangan yang akan menghasilkan layout IPAL, gambar detailed engineering design (DED) dari rangakaian IPAL terpilih beserta rencana anggaran biaya (RAB).

3.2 Pertimbangan Perancangan

Hal – hal yang menjadi pertimbangan dalam perancangan instalasi pengolahan efluen cair tangki septik ini meliputi:

1. Selain itu IPAL dirancang untuk mampu mengolah air limbah keluaran dari tangki septik. 2. Memastikan efluen dari instalasi pengolahan dapat memenuhi baku mutu sesuai dengan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.

3. Mempertimbangkan penggunaan lahan dengan minimal. Selain itu perlu diperhatikan juga mengenai kemampuan penyisihan dalam memenuhi baku mutu, keekonomisan baik dalam operasional maupun pembangunan, serta kemudahan dalam pengoperasian dan perawatan.

3.3 Analisis Teknis

Perancangan IPAL layak untuk dilakukan karena setiap kegiatan ataupun usaha yang menghasilkan limbah domestik wajib untuk melakukan pengolahan limbahnya dengan efluen harus memenuhi baku mutu sesuai peraturan yang ditetapkan yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(37)

domestik adalah dengan membangun IPAL dengan pemilihan teknologi yang tepat untuk menyisihkan polutan seperti TSS, BOD, COD, amonia, minyak dan lemak, serta total koliform. Pada tahapan pemilihan teknologi akan dilakukan pembobotan pada tiga alternatif dengan metode Kepner Tregoe Decision Analysis dan Adverse Consequences untuk memilih satu solusi akhir. Proses perancangan akan dilakukan dengan mengacu kepada kriteria desain masing-masing unit pengolahan yang terpilih. Kesesuaian unit yang terpilih dapat mengacu kepada hasil perhitungan kesetimbangan massa untuk mengestimasi kualitas efluen pengolahan dalam memenuhi baku mutu dan untuk melihat proses pengaliran air dapat mengacu pada hasil perhitungan profil hidrolis.

3.4 Peralatan dan Bahan

Perangkat lunak yang digunakan untuk menunjang proses penggambaran layout dan detailed engineering design berupa AutoCAD 2018.

(38)

Gambar

Tabel 2.1. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri  Parameter  Satuan  Kadar Maksimum
Gambar 2.1. Mekanisme Lapisan Biofilm pada Media (Said, 2008)
Tabel 2.3. Kriteria desain RBC
Gambar 2.3. Detail Tampak Samping dan Depan Rotating Biological Contactor atau RBC (Mines,  2014)
+7

Referensi

Dokumen terkait

+ntuk mengatasi penyakit laminitis atau pincang dapat di lakukan dengan cara memperhatikan ke&#34;ersihan lantai kandang supaya tidak licin, memisahkan ternak yang

Pengembangan Model Intuition Based Learning (IBL) dengan Scientific Approach Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Sragen Tahun Pelajaran

Sebag bagian ian be besa sar r tum tumor or se sel l rak raksa sasa sa ter terjad jadi i pa pada da tu tulan lang g pa panja njang ng, , tib tibia ia   proksimal,

Untuk mengetahui upaya yang perlu diiakukan oleh Orang Tua dan Pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak dari tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan

Pengamatan penulis di wilayah Puskesmas Bahu Kecamatan Malalayang, menunjukkan bahwa peran dalam membawa bayi yang akan diimunisasi banyak dilakukan oleh ibu kandung

[r]

 dengan materi, strategi, dan media komunikasi yang tepat dan efektif (cerdas)  secara kooperatif menurut waktu dan bidang tugas yang ditentukan (kerja sama)  penuh

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil uji fitokimia ekstrak methanol daun sukun kering (Artocarpus altilis) mengandung alkaloid, flavonoid, tannin, fenol dan