• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Ekspor Udang Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Ekspor Udang Indonesia"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi dan Ekspor Udang Indonesia

Udang merupakan salah satu komoditas ekspor andalan bagi Indonesia. Usaha budidaya udang berkembang di Indonesia sekitar tahun 1964. Dimulai dari Sulawesi Selatan, budidaya udang terus berkembang, tersebar di Jawa Tengah dan Timur, Pulau Sumatera bagian utara dan selatan, Kalimantan Barat, Selatan, dan Timur serta Nusa Tenggara Barat. Sebelumnya produksi udang Indonesia berasal seluruhnya dari penangkapan langsung di alam. Dengan semakin meningkatnya usaha budidaya udang, pada tahun 2005 jumlah udang yang ditangkap langsung dari alam tinggal sekitar 40% dari total produksi udang Indonesia. Untuk seluruh dunia, pada tahun 1999, budidaya memproduksi sekitar 814250 metrik ton udang, dan ini meliputi kira-kira seperempat dari total produksi udang dunia (Rosenberry 1999). Proporsi ini meningkat pada tahun 2004 menjadi 46% (FAO 2006).

Terdapat tiga tipe usaha budidaya udang di Indonesia, yaitu tambak tradisional, semi intensif, dan intensif. Budidaya semi intensif dan intensif mencakup 25% dari total area budidaya udang, tetapi produksinya mencakup 65% total produksi udang dan 80% ekspor udang Indonesia. Produksi udang meningkat selama periode 2003-2007 sebesar 16,39% dari 192,466 ton pada 2003 menjadi 352,220 ton pada 2007. Tabel 1. menunjukkan produksi udang Indonesia menutut spesies. Dalam kurun waktu 1964-2000, terdapat dua spesies udang yang mendominasi produksi, yaitu P. monodon dan P. marguiensis. Akan tetapi sejak tahun 2005, produksi L. vannamei terus meningkat, walaupun spesies ini bukan berasal dari Indonesia. Produksi L. vannamei di Indonesia meningkat 5 kali lipat pada kurun waktu 2000-2005 (Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia).

Pemerintah telah menetapkan udang pada urutan ke-6 dalam komoditas ekspor non migas. Ekspor udang mengalami peningkatan selama periode 2003-2007 karena tidak adanya kuota. Tahun 2004 Indonesia mengekspor sebesar 122,9 ribu metrik ton, mengalami peningkatan sebesar 37% selama dekade 1994-2004, dengan nilai total US$840 juta. Peningkatan volume ekspor mendorong pada peningkatan nilai produksi udang, yaitu USD850,222 juta pada 2003 menjadi USD 1,048 miliar pada 2007. Nilai ekspor udang pada 2007 mencapai hampir 50% dari nilai ekspor perikanan sebesar USD

(2)

2,3 miliar. Laju pertumbuhan produksi rata-rata untuk Indonesia antara tahun 2004-2008 diperkirakan sebesar 4% per tahun. Seluruh data di atas diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan.

Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia telah menargetkan produksi sebesar 540.000 ton untuk P. monodon dan L. Vannamei (Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia). Akan tetapi, ada beberapa masalah yang dapat menghambat peningkatan produksi, diantaranya adalah penurunan kualitas benih akibat inbreeding dan kualitas induk yang tidak terstandardisasi dengan baik, degradasi lingkungan, dan pencemaran air. Selain itu, penggunaan pakan yang berlebih serta padat tebar yang tinggi, juga penggunaan antibiotik secara tidak bijaksana menyebabkan penyakit udang semakin menyebar dan menyebabkan penurunan produksi. Residu antibiotik yang digunakan petani untuk mengatasi penyakit juga menyebabkan produk udang Indonesia banyak yang tidak memenuhi standar beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor.

Tabel 1. Produksi udang Indonesia menurut spesies (dalam Ton)

Spesies 2001 2002 2003 2004 2005 P. monodon 103.603 112.840 133.636 131.399 134.686 P. marguiensis 25.862 24.708 35.249 33.797 27.088 Metapenaeus sp. 19.093 21.634 22.881 19.929 13.731 L. vannamei - - - 53.217 103.874 Mysidopsis sp. 610 415 700 226 164 Total 149.168 159.597 192.466 238.568 279.543

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia

Perkembangan dan Siklus Hidup Udang Putih (Litopenaeus vannamei)

Udang putih tergolong dalam famili udang penaeid (Penaeidae). Udang penaeid merupakan anggota dari filum terbesar dalam kingdom binatang, yaitu Arthropoda, yang dikarakterisasi oleh jointed appendages dan eksoskleton/kutikula yang mengalami molting secara periodik (Bailey-Brock & Moss 1992). Siklus hidup udang putih ini dapat dilihat pada Gambar 1.

(3)

Gambar 1. Siklus hidup udang putih (Litopenaeus vannamei) (dengan seijin Dr. Agung Setiarto, Universitas Diponegoro Semarang)

Siklus hidup udang penaeid terdiri dari beberapa tahapan berbeda yang ditemukan pada habitat yang bervariasi. Larva mendiami permukaan laut yang kaya akan plankton. Juvenil lebih menyukai air payau di daerah pesisir, sementara udang dewasa biasanya ditemukan pada kedalaman laut dan kadar garam yang lebih tinggi. Larva udang putih melalui 3 tahapan perkembangan, yaitu nauplii, zoea, dan mysis, kemudian bermetamorfosis menjadi post larva (PL).

Saat telur menetas menjadi nauplii, larva belum mengambil makanan dari luar, hanya menghabiskan sisa cadangan makanan dari telur (egg yolk). Selanjutnya pada tahap zoea larva memakan fitoplankton dan kemudian dilanjutkan dengan zooplankton. Pada tahap mysis dan selanjutnya, udang dapat memakan berbagai organisme kecil lain seperti Artemia. Untuk berkembang menjadi dewasa, udang putih harus melalui beberapa siklus molting (Treece & Yates 1988). Molting merupakan proses pelepasan eksoskleton yang terjadi secara periodik. Jika terjadi pertumbuhan, udang harus melepaskan penghubung longgar antara epidermis dan eksoskleton kemudian melepaskan diri dari eksoskleton yang kaku tersebut. Selanjutnya udang mengambil air untuk mengembangkan eksoskleton baru yang fleksibel dan secepatnya mengeraskannya dengan mineral dan protein. Pada akhir tiap tahapan molting, air digantikan oleh jaringan dan eksoskleton mengeras. Akibatnya proses molting ini menghasilkan

juvenil dewasa telur naupli zoea mysis post larvae

(4)

penambahan ukuran badan yang diskontinyu. Beberapa tahapan perkembangan yang dilalui oleh larva udang putih ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tahapan perkembangan larva udang putih

Tahapan Waktu dalam

tahapan

Ukuran di akhir tahapan

Telur ±14 jam (28oC) diameter ± 220 µm Nauplii (N) NI, NII,

NIII, NIV, NV

36-51 jam (28oC) Panjang: 0.43-0.58 mm, lebar: 0.18-0.22 mm Zoea I (PI) 36-48 jam (28oC) Panjang total: 1.0 mm

Panjang caudal (ekor): 0.3 mm Zoea II (PII) 36-48 jam (28oC) Panjang total: 1.28-2.01 mm

Panjang caudal (ekor): 0.72-0.87 mm Zoea III (PIII) (P3) 36-48 jam (28oC) Panjang total: 2.4- 2.59 mm

Panjang caudal (ekor): 0.93-1.40 mm Mysis I (MI) (M2) 24 jam (28oC) Panjang total: 3.5 mm

Panjang caudal (ekor): 1.2 mm Mysis II (MII) 24 jam (28oC) Panjang total: 3.3-4.2 mm

Panjang caudal (ekor): 1.2-1.4 mm Mysis III (MIII) 24 jam (28oC) Panjang total: 3.9-4.7 mm

Panjang caudal (ekor): 1.3-1.5 mm Postlarva I (PLI) 24 jam (28oC) Panjang total: 4.2-5.0 mm

Panjang caudal (ekor): 1.4-1.6 mm Sumber : Treece 1985

Komunitas Bakteri pada Hewan Akuatik

Komunitas bakteri sering ditemukan berasosiasi dengan organisme lain. Komunitas ini berkembang pada bagian tertentu dari tubuh organisme yang biasanya memiliki karakteristik khusus, misalnya tersedianya substrat bagi pertumbuhan mikroorganisme yang melimpah. Komunitas mikroba yang secara normal mengkolonisasi organisme ini biasa disebut mikrobiota. Mikrobiota hidup berinteraksi dengan inangnya. Jenis-jenis penyusun mikrobiota dapat memiliki efek negatif, positif, ataupun netral bagi inangnya.

(5)

Pada hewan akuatik, mikrobiota yang hidup berasosiasi pada tubuhnya selalu berhubungan dengan air dari lingkungan sekitarnya. Hal ini berbeda dengan pada hewan terestrial yang mikrobiotanya relatif terisolasi dari lingkungan sekitar dan kondisi habitatnya lebih stabil. Akibatnya, mikrobiota pada hewan akuatik bersifat tidak stabil dan biasanya hanya menetap sementara. Air yang masuk ke dalam saluran pencernaan terus menerus membilas dan mengintroduksi spesies-spesies bakteri dari luar. Karena itu, komposisi mikrobiota yang hidup berasosiasi dengan hewan akuatik dapat mencerminkan komposisi mikroorganisme di air yang ada di sekitarnya.

Komunitas bakteri diduga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan dan kemampuan bertahan hidup hewan akuatik. Hal ini dibuktikan dengan misalnya pada udang L. vannamei yang ditumbuhkan pada air yang kaya akan material organik (termasuk di dalamnya mikroba). Ternyata pertumbuhannya lebih baik jika dibandingkan dengan yang ditumbuhkan pada air yang mengalami perlakuan untuk menghilangkan kandungan bahan organiknya, yaitu sebesar 416% untuk larva, 48-89% untuk juvenile, dan 33% untuk broodstock (Leber & Pruder 1988, Moss et al. 1992, Moss 1995). Adanya perbaikan pertumbuhan ini diduga berkaitan dengan komunitas bakteri yang ada dalam kolam pemeliharaan, karena udang yang tumbuh pada air yang banyak mengandung bahan organik memiliki jumlah bakteri aerob yang lebih kecil tetapi keragamannya lebih besar dibandingkan dengan udang yang tumbuh dalam air yang tidak mengandung bahan organik (Moss et al. 2000).

Hasil yang sama juga teramati pada bivalvia. Air laut yang disaring dengan filter berukuran 0,2 μm tidak baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva Argopecten purpuratus, dan hasil yang terbaik didapatkan jika menggunakan filter berukuran 5 μm (Riquelme et al. 1997). Bivalvia kemungkinan tidak dapat dengan efisien mempertahankan partikel berukuran kurang dari 1 μm (Bayne 1983). Air yang disaring dengan filter 5 μm diketahui mengandung partikel dan agregat bakteri yang terdiri dari 4-5 sel yang mungkin dapat ditangkap oleh larva dan memacu pertumbuhan. Prieur et al. (1990) melaporkan bahwa Crassostrea gigas tidak tumbuh dalam periode 7 hari kultur tanpa adanya bakteri. Sementara pada Pecten maximus, filtrat yang diperoleh dengan filter berukuran antara 0,22-1,0 μm dapat memacu pertumbuhan larva (Samain et al. 1987).

(6)

Pembentukan dan Dinamika Komunitas Bakteri Pada Hewan Akuatik

Berbeda dengan pada hewan yang ada di darat, mikrobiota pada hewan akuatik hidupnya selalu berhubungan dengan air yang ada di lingkungan sekitarnya. Manusia dan hewan terestrial mengalami perkembangan embrionik dalam amnion, sementara larva dari hewan akuatik harus menghadapi kondisi lingkungan luar pada tahap awal ontogenetiknya. Pada larva invertebrata akuatik yang merupakan filter feeder, terjadi aliran air yang terus-menerus memasuki saluran pencernaannya. Hal ini memperbesar kemungkinan jenis bakteri dalam air mempengaruhi komposisi mikrobiota yang mengkolonisasi saluran pencernaan. Sebagai contoh, jenis-jenis bakteri yang sama ditemukan baik pada air laut maupun saluran pencernaan udang Penaeus japonicus (Moriarty 1990).

Menurut Moriarty (1990), sebagian besar mikroba hanya menempati saluran pencernaan sementara saja. Komposisi mikrobiota dalam saluran pencernaan selalu berubah dengan dinamis seiring masuknya bakteri-bakteri asal air dan makanan. Kelompok bakteri yang sama, tipikal sistem akuatik, berada dalam komposisi mikrobiota. Kemungkinan proliferasi terjadi dalam saluran pencernaan dan sedikit perbedaan pada jumlah atau spesies inisial dalam air atau pakan menentukan spesies mana yang akan mendominasi mikrobiota. Pada ikan Rainbow Trout, hasil perhitungan jumlah bakteri sangat bervariasi, menunjukkan bahwa mikrobiota tidak mengkolonisasi saluran pencernaan secara permanen (Spanggaard et al. 2000). Usus ikan tidak memiliki mikrobiota yang stabil walaupun saluran gastrointestinal ikan merupakan ekosistem yang sangat berbeda dari lingkungan air sekitarnya. Hasil yang berbeda didapatkan oleh Sakata et al. (1980), yang tidak mendapatkan kesamaan antara kelompok bakteri yang diisolasi dari air, usus ikan, maupun pakannya.

Pada hewan akuatik, bagian dalam tubuh yang biasanya dihuni oleh bakteri adalah saluran pencernaan dan insang. Menurut Lavilla-Pitogo et al. (1992), kolonisasi bakteri pada udang terjadi khusus pada organ-organ saluran pencernaan dan jarang ditemukan pada eksoskleton. Bakteri Vibrio vulnificus ditemukan pada hemolimfe dan saluran pencernaan udang windu P. monodon (Sung & Song 1996), sementara pada tahapan zoea dan mysis larva L. vannamei, V. harveyi ditemukan pada saluran pencernaan

(7)

(Soto-Rodriguez et al. 2003). Pada ikan Rainbow Trout, penggunaan Fluorescens In Situ Hibridization (FISH) pada cryo-section saluran pencernaan menunjukkan bahwa bakteri mikrobiota dominan berada dalam lumen, bukan pada dinding saluran pencernaan (Spanggaard et al. 2000). Hal ini menyebabkan mikrobiota tidak mengkolonisasi saluran pencernaan secara permanen karena akan terus ikut terbuang bersama kotoran dan terus digantikan oleh yang baru. Pada ikan Mas, terjadi fluktuasi dari hari ke hari dalam komposisi mikrobiota yang diisolasi dari kotorannya (Sugita et al. 1987).

Besarnya pengaruh lingkungan terhadap komposisi mikrobiota pada larva hewan akuatik juga disebabkan oleh belum sempurnanya perkembangan sistem pencernaan dan sistem imun (Timmermans 1987, Vadstein 1997), sehingga jenis-jenis bakteri yang hidup di air atau dari pakan bebas masuk ke saluran pencernaan dan menetap. Tidak ada penghalang berupa asam lambung maupun garam empedu yang merupakan barrier bagi masuknya bakteri dari luar. Grizes et al. (1997) menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang dominan dan persisten mengkolonisasi usus larva Seabream (Dicentrarchus labrax) dan Seabass (Sparus aurata) selama tahap perkembangannya. Pada Rainbow Trout, variasi komposisi mikrobiota yang ditemukan pada larva juga dipengaruhi oleh lokasi dan waktu pengambilan sampel yang berbeda (Spanggaard et al. 2000).

Selain transmisi secara horisontal dari lingkungannya, hewan akuatik mendapatkan mikrobiota yang berasosiasi dengannya secara vertikal antar generasi, yaitu dari induknya. Bakteri pengoksidasi sulfur yang merupakan simbion pada insang Calyptogena magnifica (Bivalvia: Vesicomyidae) diketahui ditransmisi secara vertikal melalui telur bivalvia (Hurtado et al. 2003). Suatu kelompok α-Proteobacteria yang berasosiasi dengan 7 genus sponge laut yang diambil dari beberapa lokasi berbeda ternyata tidak ditemukan pada air laut di sekitarnya dan diduga ditransmisi secara vertikal melalui larva (Enticknap et al. 2006).

Keragaman Komunitas Bakteri Yang Berasosiasi Dengan Hewan Akuatik

Komposisi mikrobiota pada hewan akuatik berbeda dengan pada hewan terestrial. Hal ini disebabkan berbedanya kondisi habitat pada saluran pencernaan keduanya. Jika pada manusia dan hewan terestrial yang mendominasi mikrobiota adalah kelompok bakteri gram positif anaerobik obligat atau fakultatif (Gournier-Chateau et al. 1994), pada

(8)

hewan akuatik mikrobiota didominasi oleh kelompok bakteri gram negatif anaerob fakultatif. Baik pada Crustacea, Bivalvia, ataupun ikan air laut, genus yang dominan adalah Vibrio dan Pseudomonas (Moriarty 1990, Sakata 1990, Prieur et al. 1990). Sementara itu, pada ikan air tawar, genus yang dominan adalah Aeromonas, Plesiomonas, dan berbagai enterobacteriaceae (Sakata 1990). Pada ikan Bandeng (Chanos chanos), jenis-jenis bakteri yang ditemukan dari saluran pencernaannya adalah Moraxella, Aeromonas, Citrobacter, Carnobacterium, Streptococcus, Bacillus, Pseudomonas, Pleisomonas, Staphylococcus, Flavobacterium, Vibrio, dan Serratia (Aslamyah 2006). Selain itu juga ditemukan genus yang belum pernah dilaporkan diisolasi dari saluran pencernaan, yaitu Micrococcus, Proteus, Planococcus, dan Kurthia. Keempat genus tersebut umumnya ditemukan pada tanah atau sedimen perairan.

Keragaman mikrobiota juga dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Dalam studi yang dilakukan di kolam-kolam hypersaline di pantai San Francisco, California, diketahui bahwa jenis-jenis bakteri yang berasosiasi dengan Artemia franciscana berfluktuasi mengikuti kadar salinitas. Pada kadar salinitas yang rendah, jumlah bakteri dan keragamannya lebih tinggi, genus yang ditemukan adalah Acinetobacter, Aeromonas, Citrobacter, Vibrio, bakteri enterik, serta Pleisomonas dan Pseudomonas. Saat kadar salinitas tinggi, jumlah bakteri maupun keragamannya turun drastis, genus yang ditemukan adalah yang lebih halofilik, yaitu Vibrio spp. (Straub & Dixon 1993).

Untuk kelompok sponge, suatu kelompok α-Proteobacteria yang berkerabat dekat ditemukan pada 7 genus sponge laut yang diambil dari beberapa lokasi. Isolat-isolat ini menunjukkan kemiripan sekuens >99% pada gen 16S rRNA-nya, dan berkerabat dekat dengan Pseudovibrio denitrificans (Enticknap et al. 2006). Sponge juga diketahui berasosiasi dengan kelompok Cyanobacteria, sebagian besar adalah dari kelompok Synechococcus dan Prochlorococcus serta Oscillatoriales. Beberapa sponge laut dari ordo Dictyoceratida diketahui berasosiasi dengan spesies Cyanobacteria Oscillatoria spongeliae dalam jumlah besar di mesohyl (bagian dalam) dari sponge (Ridley et al. 2005). Dari beberapa spesies sponge yang diteliti, hanya satu spesies yang memiliki bakteri γ-proteobacteria (masuk dalam kelompok Rhodobacter berdasar gen 16S rRNA) dalam jumlah yang signifikan, dan hanya satu spesies yang memiliki Cyanobacteria jenis lain (Synechocystissp. ).

(9)

Mikrobiota utama yang berasosiasi dengan larva udang, terutama pada tahap nauplii dan zoea, mempunyai keragaman yang tinggi (Vandenberghe et al. 1999). Kelompok Vibrio bukan kelompok yang dominan pada nauplii P. indicus dan juga pada tahap awal perkembangan larva L. vannamei (Vandenberghe et al. 1998; Vandenberghe et al. 1999). Sementara itu, dari kelompok Vibrio yang ditemukan, jenis yang dominan adalah V. alginolyticus, baik pada larva sehat maupun sakit (Vandenberghe et al. 1999). Hasil ini berlawanan dengan Hameed (1993) yang menemukan bahwa kelompok yang dominan selama tahap perkembangan larva sejak telur sampai post-larvae pada P. indicus adalah Vibrio.

Pengaruh Pakan Pada Komposisi Mikrobiota

Anggota penyusun mikrobiota juga dapat dibawa oleh pakan, terutama jenis pakan alami/hidup. Jenis pakan alami dapat mempengaruhi komposisi mikrobiota hewan yang memakannya. Pada larva Seabream dan Seabass dari hatchery di Yunani dan Spanyol, komposisi mikrobiota tampaknya menggambarkan komposisi bakteri dalam pakan hidup yang diberikan (Grisez et al. 1997). Pada kelompok yang diberi pakan berupa rotifera, jenis yang dominan adalah V. aunguilarum, V. tubiashi, dan bakteri non Vibrio. Sementara, untuk kelompok yang diberi pakan Artemia, yang dominan adalah V. alginolyticus, V. proteolyticus, V. harveyi, dan V. natriegens.

Menurut Liu et al. (1994), populasi bakteri yang berasosiasi dengan larva P. monodon berubah dari dominan gram positif menjadi dominan gram negatif, saat diintroduksi dengan nauplii Artemia sebagai pakan pertama untuk larva P. monodon stadia zoea III. V. alginolyticus dan Vibrio spp. yang diisolasi dari tangki penetasan Artemia ternyata berasosiasi dengan isolat dari tangki pemeliharaan larva tahap mysis, zoea, maupun post-larva, menunjukkan bahwa Vibrio ini tetap berasosiasi dengan tahap perkembangan berikutnya (Lopez-Torres & Lizarraga-Patida 2001). Akan tetapi, kemungkinan Vibrio spp. tersebut berasal dari tangki pemeliharaan, bukan berasosiasi dengan cyst Artemia. Diketahui bahwa bakteri dominan yang berasosiasi dengan cyst Artemia adalah kelompok Gram Positif (Lopez-Torres &Lizarraga-Patida 2001). Bakteri dapat memproduksi senyawa organik yang berkembang menjadi lapisan film pada

(10)

permukaan yang terekspos pada air laut (Duan et al. 1995). Lapisan film tersebut terdiri dari polisakarida, terutama glukosa dan galaktosa (Rodriguez & Bhosle 1991) yang dapat melindungi bakteri terhadap pencucian dan klorinasi dinding tangki pemeliharaan. Bakteri tertentu dapat berkembang selama proses pemeliharaan dalam tangki, walau suplai air, udara, maupun pakan selalu dikontrol.

Pada teknik akuakultur, beberapa metode telah digunakan untuk memperbaiki kualitas mikrobiologis dari pakan hidup, seperti disinfeksi dengan senyawa kimia (GomezGil-RS et al. 1994) dan perendaman dalam air tawar (Rodriguez et al.1991). Secara fisik, radiasi digunakan untuk menurunkan jumlah bakteri yang berasosiasi dengan pakan hidup. Pada Turbot, kemampuan bertahan hidup lebih besar pada kelompok larva yang diberi pakan rotifera (Brachionus plicatilis) yang diiradiasi dengan ultra violet, di mana kandungan bakterinya turun sebesar 88%. Hal ini diduga karena laju kolonisasi bakteri pada saluran pencernaan larva berkurang karena rendahnya jumlah bakteri inisial pada rotifera (Munro et al. 1999).

Selain cara fisik dan kimia, cara lain yang digunakan untuk mengurangi kandungan bakteri pada pakan hidup dapat dilakukan dengan pemberian mikroalga. Pada A. franciscana, pemberian mikroalga Tetraselmis sp. mampu menurunkan proliferasi bakteri dan mengintroduksi spesies baru dari kultur alga sehingga menghasilkan mikrobiota yang lebih stabil dengan keragaman tinggi, yang kemudian dapat ditransfer secara langsung kepada mikrobiota larva Halibut (Hipoglossus hipoglossus) yang memakannya (Olsen et al. 2000). A. franciscana berumur 2 hari memiliki jumlah total bakteri 24000 ± 10700 CFU/hewan dengan proporsi Vibrio dan bakteri hemolitik berturut-turut sebesar 58% dan 10% dari total. Mikrobiota didominasi oleh V. alginolyticus (30 dari 40 isolat yang diuji). Setelah 4 jam inkubasi dengan Tetraselmis sp., jumlah bakteri turun rata-rata sebesar 75% dan V. alginolyticus menjadi kurang dominan. Keragaman relatif mikrobiota juga meningkat dari 0,17 menjadi 0,40. Setelah 24 jam inkubasi, jumlah total bakteri semakin turun sementara prevalensi Vibrio menurun dan mikrobiota didominasi oleh genus lain. Keragaman relatif bertambah menjadi 0,82.

Bagaimana mikroalga dapat mempengaruhi mikrobiota pada hewan yang digunakan sebagai pakan hidup sampai saat ini belum jelas. Salah satu hipotesis adalah mikroalga menyebabkan perubahan dalam komposisi dan menurunkan jumlah bakteri pada pakan

(11)

hidup dengan cara mengeluarkan isi saluran pencernaan yang merupakan substrat bagi proliferasi bakteri. Umumnya Artemia diberi pakan berupa minyak ikan, suatu substrat yang kaya nutrisi, sehingga memicu proliferasi bakteri tertentu dalam saluran pencernaan. Selain itu, alga diketahui juga memproduksi senyawa antibakteri, seperti dilaporkan untuk Tetraselmis sp.( Austin et al. 1992). Mikroalga mempunyai efek positif bagi pertumbuhan larva ikan selama pemberian pakan pertama dengan meningkatkan kualitas nutrisi pakan dan faktor mikrobialnya. Penambahan mikroalga pada tangki pemeliharaan dapat mengubah komposisi mikrobiota yang berasosiasi dengan larva, tergantung spesies dan tahap perkembangan alga yang digunakan (Salvesen et al. 2000).

Hasil yang berbeda diamati pada Macrobrachium rosenbergii yang diberi pakan hidup berupa nauplii A. salina. Jenis bakteri Aeromonas liquefaciens dan V. anguilarum umum ditemukan pada larva M. rosenbergii tetapi tidak terdapat pada nauplii A. salina (Colorni 1985). Hal ini menunjukkan bahwa larva M. rosenbergii memiliki kemampuan untuk mempertahankan komposisi mikrobiota normal dalam saluran pencernaannya dari pengaruh introduksi bakteri asal makanan.

Jenis pakan buatan juga dapat mempengaruhi komposisi mikrobiota pada hewan akuatik. Pada larva Seabass, pemberian pakan buatan menyebabkan jumlah total bakteri jauh lebih banyak dibandingkan yang diberi pakan hidup. Selain itu, keragaman mikrobiota juga lebih besar pada kelompok yang diberi pakan hidup Artemia (Gatesoupe et al. 1997). Pemberian diet dengan defisiensi besi juga dapat menurunkan jumlah total bakteri dan meningkatkan keragamannya. Hal yang sama juga teramati pada studi yang dilakukan oleh Garatun-Tjeldsto et al. (1989) pada larva ikan Cod di mana pemberian pakan buatan terlalu dini dapat menyebabkan larva gagal bermetamorfosis dan ditemukan sejumlah besar bakteri pada lumen ususnya. Lepasnya komponen larut air dari partikel pakan diduga dapat menyebabkan proliferasi bakteri (Garatun-Tjeldsto 1994). Akan tetapi, pada Japanese Flounder dan Rockfish, jumlah bakteri mencapai maksimum selama periode pemberian pakan hidup, lalu justru menurun setelah diberi pakan buatan (Tanasomwang & Muroga, 1988; 1989).

Jenis pakan juga mempengaruhi komposisi mikrobiota berdasarkan kemampuan hidrolitiknya. Jenis pakan tertentu dapat menseleksi jenis bakteri tertentu yang memiliki kemampuan untuk menggunakannya sebagai substrat. Pada larva Seabass yang diberi

(12)

pakan buatan terdapat sejumlah besar Vibrio yang menghasilkan siderofor, protease, fosfolipase, dan amilase, yang hanya diproduksi oleh 25-60% mikrobiota pada kelompok yang diberi pakan hidup. Sebaliknya, lipase adalah produk ekstraselular utama pada kelompok yang diberi pakan hidup (sebesar 80% dari total isolat) tetapi jarang diproduksi pada kelompok yang diberi pakan buatan (<10%) (Gatesoupe et al. 1997).

Interaksi Mikrobiota Dengan Inang

Peran mikrobiota dan interaksinya dengan inang pada hewan akuatik belum jelas. Ada dugaan bahwa bakteri dapat menjadi sumber nutrisi langsung bagi inangnya, dengan kata lain bakteri yang masuk dalan saluran pencernaan akan dicerna. Beberapa ikan memiliki kebiasaan grazing (menelan sedimen) yang kemungkinan dilakukan untuk mendapatkan mikroorganisme yang bisa menjadi sumber nutrisi untuknya. Pertumbuhan Cherac quadricarinatus air tawar yang dipelihara pada kolam tanah lebih baik dibandingkan dengan spesies yang dipelihara pada kolam tanah lebih baik dibandingkan dengan yang dipelihara dalam tangki (Xue et al. 1999). Perbedaan ini disebabkan kemampuan ikan yang dipelihara dalam kolam tanah untuk memperoleh tambahan nutrisi yang diperlukan dari bahan detritus di dasar kolam, atau dapat juga detritus yang ditelan ini merupakan sumber inokulum bagi pembentukan mikrobiota saluran pencernaan. Pada beberapa sistem, bakteri heterotrof dan yang berasosiasi dengan detritus merupakan sumber nutrisi yang dominan bagi udang (McIntosh 1999).

Selain sebagai nutrisi langsung, mikrobiota dapat membantu nutrisi inangnya dengan cara membantu pencernaan pakan. Peranan bakteri dalam pencernaan ini juga ditunjukkan oleh terstimulasinya berbagai enzim pencernaan seperti serin protease, kolagenase, amilase, selulase, laminarinase, dan lipase pada udang yang ditumbuhkan pada air yang kaya akan material organik (Moss et al. 2001). Hasil penelitian Aslamyah (2006) menunjukkan kontribusi mikroba yang mampu menghasilkan enzim-enzim ekstraselular pada aktivitas α-amilase, protease, dan lipase saluran pencernaan ikan Bandeng (Chanos chanos) berturut-turut sebesar 12,25; 8,63; dan 5,42 U/g/menit. Hal ini menunjukkan bahwa selain enzim pencernaan yang diproduksi oleh inang, enzim ekstraselular yang diproduksi oleh mikrobiota juga dapat berperan dalam pencernaan di usus inang. Hasil berlawanan dilaporkan oleh Pollack dan Montgomery (1999) yang

(13)

menyatakan bahwa bakteri yang dominan pada usus Surgeonfish justru menurunkan aktivitas enzimatik inang dan pada saat yang bersamaan memproduksi enzim lipase yang aktif.

Jenis-jenis penyusun mikrobiota pada hewan akuatik diketahui memang memiliki kemampuan untuk memproduksi enzim-enzim ekstraselular. Vibrio dan Enterobacter pada usus Grey Mullet diketahui memproduksi enzim protease, amilase, kitinase, dan lesitinase yang mungkin memiliki kontribusi pada proses pencernaan (Hamid et al. 1979). Enzim protease bakteri menjadi penting pada ikan yang tidak memiliki lambung seperti Grey Mullet, atau pada larva ikan yang lambungnya belum berkembang. Pada Bandeng (Chanos chanos), dari 18 isolat asal saluran pencernaan yang berhasil diisolasi, 4 isolat bersifat amilolitik aerob, 3 isolat amilolitik anaerob, 5 isolat proteolitik aerob, 2 isolat proteolitik anaerob, 2 isolat lipolitik aerob, serta 2 isolat lipolitik anaerob. Selain itu, inokulasi dengan Carnobacterium sp., probiotik yang mampu memproduksi enzim amilase, diketahui dapat meningkatkan aktivitas amilase dalam saluran pencernaan ikan Bandeng serta meningkatkan penggunaan karbohidrat pakan sebesar 50% dan menurunkan penggunaan protein pakan sebesar 20% oleh juvenile ikan Bandeng (Aslamyah 2006).

Selain kontribusinya pada pencernaan inang, enzim-enzim dan produk ekstraselular lain dari bakteri mikrobiota juga berperan dalam virulensi patogen. Enzim fosfolipase terlibat dalam toksisitas beberapa produk ekstraseluler dari patogen (Chung et al. 1991, Fouz et al. 1993). Pada Aeromonas salmonicida, protease merupakan salah satu faktor virulensi yang penting, demikian juga pada Aeromonas hydrophila dan Aeromonas sobria (Tajima et al. 1983, Shieh 1987). Sementara itu, V. anguilarum memproduksi zincmetalloprotease dalam virulensinya (Norqvist et al. 1990). A. hydrophila juga memproduksi suatu metalloprotease yang bersifat letal pada Rainbow Trout (Rodriguez et al. 1992) tetapi diduga peranannya tidak langsung merusak sel inang, tetapi dengan membebaskan besi dari transferrin (Hirst & Ellis 1996). Siderofor merupakan faktor virulensi pada V. anguilarum yang berperan dalam kompetisi untuk mendapatkan besi (Pybus et al. 1994). Siderofor juga dapat memberikan efek probiotik karena suplai besi yang berlebihan dapat menurunkan ketahanan inang terhadap penyakit (Gatesoupe 1997).

(14)

Bakteri-bakteri penyusun mikrobiota juga menghasilkan produk lain yang menguntungkan bagi inangnya. Sebagian produk berupa nutrien esensial yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh inang atau senyawa yang dapat dimetabolisir oleh inang. Beberapa bakteri diketahui dapat menghasilkan vitamin B12 (Sugita et al. 1991). Produksi poliamin oleh Vibrio spp. dapat mempercepat pematangan saluran pencernaan dan ekspresi enzim-enzim pencernaan (Yamamoto et al. 1979). V. pelagius yang berasal dari larva Turbot (Schophthalmus maximus) diketahui dapat menghasilkan asam lemak eikosapentaenoat (20:5 n-3) sebesar 9% dari total asam lemaknya (Ringo et al. 1992a), demikian juga Vibrio spp. dari air tawar (Ringo et al. 1992b). Calyptogena magnifica (Bivalvia: Vesicomyidae) bahkan tergantung pada bakteri pengoksidasi sulfur simbion pada insangnya untuk kebutuhan nutrisinya (Hurtado et al. 2003).

Inang juga dapat memproduksi metabolit yang menguntungkan bagi bakteri simbionnya. Dengan kondisi aerasi optimum, enzim tyrosinase pada sponge Suberites domuncula diekspresi. Enzim ini mensintesis senyawa difenol dari senyawa monofenol. Senyawa difenol ini digunakan oleh bakteri endosimbion untuk pembentukan energi (Muller et al. 2004).

Komunitas bakteri diduga juga memiliki peran dalam pertahanan inang terhadap patogen. Peningkatan respons imun terlihat pada udang yang dipelihara pada air yang kaya akan bahan organik (Primavera et al. 2000). Mekanisme bagaimana mikrobiota dapat membantu pertahanan diri inangnya diduga karena adanya kompetisi antara mikrobiota dengan bakteri patogen dalam saluran pencernaan, baik untuk tempat pelekatan maupun untuk sumber nutrisi. Adanya kompetisi ini juga mencegah tercapainya quorum sensing, yang merupakan mekanisme umum pengaturan ekspresi gen virulensi pada kebanyakan patogen. Selain itu, bakteri-bakteri mikrobiota juga mampu menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat antibakteri untuk berkompetisi dengan bakteri patogen.

Selain membantu ketahanan inang terhadap penyakit, mikrobiota juga dapat menimbulkan penyakit, dan hal ini berkaitan dengan ketidakseimbangan komposisi mikrobiota di mana bakteri patogen oportunis berkembang mendominasi mikrobiota. Pada studi yang dilakukan Sung et al. (2001) di Taiwan, turunnya keragaman spesies bakteri di kolam pemeliharaan larva P. monodon diikuti dengan berkembangnya penyakit

(15)

yang menyebabkan kematian massal. Banyak spesies Vibrio ditemukan berasosiasi dengan penyakit yang menyebabkan kematian larva secara massal, seperti di Taiwan (Sung et al. 2001), Filipina (Alapide-Tendencia & Dureza 1997), serta ekuador dan Meksiko (Vandenberghe et al. 1999). Akan tetapi banyak juga spesies Vibrio yang diisolasi dari udang yang sehat, dan hal ini menunjukkan sifat oportunistik dari kelompok bakteri ini (Hameed 1993, Ruangpan & Kitao 1991, Vandenberghe et al. 1998; 1999). Menurut Pizzuto dan Hirst (1995), Galur Vibrio yang virulen jarang ditemukan dan virulensi kemungkinan terjadi akibat adanya transfer faktor-faktor virulensi.

Eksplorasi Komunitas Bakteri Berbasis Molekuler

Studi mengenai keragaman mikrobiota pada hewan akuatik masih menemui kendala. Selama ini yang digunakan adalah teknik kultur, di mana teknik ini sangat tergantung pada medium yang digunakan dan kondisi kultur. Medium buatan dan kondisi kultur menguntungkan bagi sebagian bakteri yang umumnya bersifat heterotrof aerobik, sehingga hanya golongan ini yang terwakili. Hanya sebagian kecil bakteri yang teramati dengan mikroskop yang dapat dikulturkan. Misalnya, pada kulit ikan, hanya kurang dari 0,01% dari total bakteri yang dapat dikulturkan (Bernardsky & Rosenberg 1992). Sementara pada usus ikan Rainbow Trout, persentase bakteri yang dapat dikulturkan lebih besar, rata-rata sekitar 50% dari total bakteri yang ada (Spanggaard et al. 2000).

Masalah ini dapat diatasi dengan teknik berbasis molekuler, yaitu dengan analisis DNA atau RNA yang diambil langsung dari lingkungan. Sampai saat ini beberapa gen telah digunakan sebagai penanda molekuler bagi kelompok bakteri, dan yang paling banyak digunakan adalah gen penyandi 16S rRNA. Gen ini bersifat ubikuitus hanya pada kelompok bakteri sehingga dapat menjadi penanda universal yang spesifik untuk kelompok bakteri. Beberapa teknik berbasis molekular yang sering digunakan untuk analisis komunitas bakteri adalah Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE), Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA), Fluorescent in-situ Hybridization (FISH), DNA Microarray, dan yang baru-baru ini berkembang adalah Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) (Marsh et al. 2000). Berbagai teknik berbasis molekular ini akan memberikan gambaran lebih lengkap

(16)

mengenai komunitas bakteri, seperti biomassa viable, struktur komunitas (profil genotipe populasi bakteri), bahkan status fisiologis dan nutrisi serta aktivitas metabolisme.

T-RFLP merupakan alat yang efektif untuk membedakan komunitas bakteri pada berbagai lingkungan. Metode ini merupakan metode yang cepat untuk menemukan perbedaan utama antar komunitas (Blackwood et al. 2003). T-RFLP merupakan modifikasi dari teknik ARDRA yang telah lebih dulu digunakan secara luas untuk analisis komunitas bakteri. T-RFLP dapat digunakan untuk melihat secara kuantitatif perubahan pada komunitas mikroba karena kemelimpahan relatif suatu populasi dalam komunitas dapat dibandingkan antar sampel dengan perlakuan yang berbeda atau diambil pada waktu yang berlainan. Masing-masing TRF mewakili minimal satu spesies bakteri, terlihat sebagai satu puncak, sementara luas daerah di bawah puncak tersebut menunjukkan kemelimpahan relatifnya. Teknik ini telah digunakan untuk analisis komunitas bakteri maupun fungi pada berbagai lingkungan, seperti komunitas mikrobiota pada manusia (Hayashi et al. 2002, Jernberg et al 2005), cairan tanaman kantung semar (Yogiara et al. 2006), selama fermentasi nata de coco (Seumahu et al. 2007) dan pada rizosfer tanaman kapas transgenik dan non transgenik (Hala et al. 2002). Dari beberapa studi tersebut, T-RFLP terbukti merupakan alat yang baik untuk memonitor perubahan sidik jari komunitas mikroba sesuai waktu atau perlakuan.

Seperti ditunjukkan pada Gambar 2., pada teknik T-RFLP yang diukur adalah polimorfisme ukuran dari panjang potongan enzim restriksi pada ujung produk PCR yang telah dilabel (disebut TRF, Terminal Restriction Fragment) yang kemudian dibaca pada mesin Automated DNA Sequencer. Sistem elektroforesis kapiler pada sequencer menghasilkan data dengan resolusi dan presisi yang tinggi dalam penentuan panjang TRF. Hal ini menyebabkan interpretasi data T-RFLP relatif mudah jika dibandingkan dengan teknik lain seperti DGGE.

(17)

Gambar 2. Prosedur dalam analisis T-RFLP

Umumnya, gen penyandi small-subunit (SSU) rRNA yang digunakan sebagai marker filogenetik untuk T-RFLP sehingga hasil analisis T-RFLP dapat digunakan untuk investigasi dalam kisaran luas berbagai kelompok berbeda yang hidup dalam ekosistem di alam, termasuk Bacteria, Eukarya, dan Archaea. Akan tetapi, gen fungsional juga dapat digunakan sebagai marker molekular dalam T-RFLP untuk mentargetkan kelompok yang memiliki fungsi tertentu dari mikroorganisme secara spesifik (Lueders & Friedrich 2003). Marker gen fungsional yang menyandikan enzim tertentu pada jalur metabolisme dapat mengungkapkan fungsi dari mikroorganisme yang terdeteksi dalam lingkungannya. T-RFLP juga dapat memberikan profil komunitas untuk gen fungsional seperti resistensi terhadap logam berat, fiksasi nitrogen, denitrifikasi, dan metanogenesis.

Walaupun memiliki kelebihan dalam segi kepraktisan dan kecepatan, teknik ini juga memiliki keterbatasan. Karena hanya menggunakan ujung 5’ dari gen 16S rRNA, resolusi yang dihasilkan T-RFLP lebih rendah dibandingkan teknik lain yang menggunakan keseluruhan gen. Kesulitan dalam identifikasi anggota komunitas bakteri sering terjadi. Selain itu, adanya bias dalam proses isolasi DNA dan PCR menyebabkan hasil yang didapat tidak konsisten, terutama jika yang digunakan sebagai marker adalah gen fungsional (Lueders & Friedrich 2003).

Digesti dengan enzim restriksi

Produk PCR gen 16S rRNA dengan primer terlabel pada ujung 5’

TRF (Terminal Restriction Fragment)

1 filotipe

Peak heigth/area Jumlah Relatif

1 TRF

5’ 3’

Ukuran TRF (bp) Identitas

Automated DNA sequencer

(18)

ARDRA merupakan teknik yang cukup rumit dalam pengerjaan jika dibandingkan dengan TRFLP. Akan tetapi, teknik ini lebih diskriminatif karena teknik ini menggunakan seluruh produk amplifikasi gen 16S rRNA untuk analisis, sehingga resolusi yang dihasilkan juga lebih baik.. ARDRA juga dianggap lebih handal untuk mengetahui jenis apa saja yang berada dalam komunitas bakteri. Hal ini disebabkan gen 16S yang diklon dapat disekuens untuk identifikasinya.

Kelemahan metode ARDRA adalah dalam segi kepraktisan dan biayanya. Waktu yang dibutuhkan relatif lama dengan melalui urutan pekerjaan yang banyak dan berulang. Teknik ini memerlukan proses kloning gen 16S rRNA, yang kemudian diikuti dengan analisis panjang fragmen hasil restriksi dan sekuensing untuk penentuan identitas. Jumlah pustaka gen 16S rRNA yang dibutuhkan juga besar untuk dapat menggambarkan komunitas secara lengkap. Karena itu untuk penerapannya sebagai alat monitoring komunitas bakteri pada suatu lingkungan menjadi tidak praktis.

Gambar

Gambar 1.  Siklus hidup udang putih (Litopenaeus vannamei) (dengan seijin Dr. Agung  Setiarto, Universitas Diponegoro Semarang)
Tabel 2.  Tahapan perkembangan larva udang putih
Gambar 2.  Prosedur dalam analisis T-RFLP

Referensi

Dokumen terkait

2 Politeknik Negeri Banjarmasin; Politeknik Negeri Batam; Politeknik Negeri Bali; 3 Politeknik Negeri Banyuwangi; Politeknik Negeri Fakfak; Politeknik Negeri Jakarta; 4

 pendekatan dari dari masyarakat masyarakat ke ke hukum. 'enurut 'enurut ociological ociological @ @u urisprudence risprudence hukum yang baik haruslah hukum yang

Jaringan infrastruktur hijau menurut Benedict dan McMahon (2006) adalah sistem kawasan alami dan ruang terbuka yang saling terkait dan menjaga nilai ekosistem, menjaga

Berbagi Pesan dapat bermakna setiap orang bertindak sebagai mediator atau agen di media sosial, yakni menyebarkan informasi yang valid terkait dengan tema kesehatan..

Hasil total nilai koefisien aliran permukaan berdasarkan intepretasi foto udara yaitu sebesar 47,21 % pada tahun 1992 dan 54,15 % pada tahun 1999, karena pada

Hasil penelitian menunjukkan adanya trend peningkatan jumlah rumah tangga nelayan yang dikepalai perempuan hidup dengan karakteristik sosial ekonomi yang sangat

Perbedaan Rata-Rata Kadar Kreatinin Dengan Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Dan Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Terlihat bahwa terdapat

Adapun yang dimaksud dengan obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan-bahan