• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (gross violation of human rights) apabila:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (gross violation of human rights) apabila:"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam hukum internasional, sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (gross violation of human rights) apabila: 1) Negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak asasi warganya. Atau, 2) Negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindakan kejahatan internasional (international crime) atau kejahatan serius (serious crime) berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan genosida (crimes of genocide), kejahatan perang (crimes of war) dan atau kejahatan agresi (agression).

Berdasarkan 2 poin di atas maka secara teoritis dapat disimpulkan bahwa setiap subyek hukum yang berkewajiban untuk menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia, berpotensi pula untuk melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Peristiwa pelanggaran HAM dapat terjadi di mana saja di muka bumi ini, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Hal itu dilakukan oleh negara melalui aparat-aparatnya, oleh individu ataupun kolaborasi antara keduanya. Sejarah telah mencatat tentang pelanggaran HAM oleh negara, dimana kebanyakan pelanggaran HAM justru dilakukan oleh negara, baik secara langsung melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparatnya terhadap warga negaranya sendiri maupun warga negara lain, dan juga secara tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan baik di tingkatan nasional maupun

(2)

internasional yang berdampak pada tidak dipenuhinya hak-hak asasi warga negaranya sendiri atau hak-hak asasi warga negara lain.

Sebagai contoh empiris dari teori di atas yang terjadi dewasa ini adalah konflik di Negara Suriah, yang kemudian penulis pilih sebagai judul untuk penulisan skripsi ini. Adapun posisi kasusnya secara garis besar adalah sebagai berikut:

Kerusuhan di Suriah dimulai di Kota Selatan Deraa pada bulan Maret 2011 ketika penduduk lokal berkumpul untuk menyerukan tuntutan pembebasan 14 mahasiswa yang ditangkap dan dilaporkan disiksa oleh pasukan keamanan Suriah setelah menulis di dinding, slogan terkenal dari pemberontakan rakyat di Tunisia dan Mesir: "Orang-orang ingin kejatuhan rezim”. Para demonstran juga menyerukan demokrasi dan kebebasan yang lebih besar.

Aksi ini awalnya berjalan damai walau pun diikuti oleh begitu banyak demonstran dan berkeliling kota setelah sholat Jum’at. Aksi ini diadakan pada tanggal 18 Maret, namun justru disambut oleh pasukan keamanan dengan melepaskan tembakan yang menewaskan 4 (empat) orang. Hari berikutnya, mereka menembaki pelayat di pemakaman korban. Dalam hitungan hari, kerusuhan di Deraa telah berputar di luar kendali pemerintah setempat. Pada akhir Maret, tentara dengan kendaraan lapis baja di bawah komando Maher al Assad diturunkan ke kerumunan para pengunjuk rasa. Puluhan orang tewas, ketika tank menembaki kawasan pemukiman dan pasukan menyerbu rumah serta menangkap warga yang dianggap demonstran. Rangkaian tindakan represif aparat justru itu gagal menghentikan kerusuhan di Deraa, namun justru memicu protes

(3)

anti-pemerintah di kota-kota lain di Suriah, di antaranya Baniyas, Homs, Hama dan pinggiran kota Damaskus. Tentara kemudian mengepung mereka yang dianggap sebagai penyebab kerusuhan. Pada pertengahan Mei, jumlah korban tewas telah mencapai 1.000 orang.

Pergolakan politik di Suriah telah berlangsung lebih dari satu tahun serta menimbulkan berbagai macam konflik dan perang saudara diantara sesama warga Suriah, dan diantara pihak oposisi Suriah dengan pihak militer dan pemerintah di bawah pimpinan Presiden Bashar Al-Assad. Serangkaian tindakan kekerasan fisik maupun mental juga terjadi di Suriah dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini, mulai dari pembunuhan, pengeboman, penculikan, penembakan, pemerkosaan, penyiksaan dan lain sebagainya. Namun di tengah-tengah situasi sosial-politik yang terus memburuk di Suriah, Presiden Bashar Al-Assad ternyata masih dapat mempertahankan rezim kekuasaannya karena dukungan dari pihak militer dan aparat birokrasi pemerintah yang masih loyal dan cukup kuat.

Selama terjadi pergolakan politik, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 29.000 warga Suriah tewas dalam tahun terakhir. Ini belum termasuk korban tewas dari tentara maupun polisi pemerintah. Bahkan warga Suriah yang tidak tahan melihat negerinya terkoyak dan menginginkan kehidupan yang lebih baik justru memilih kabur ke luar negeri seperti Lebanon dan Turki. Mereka memilih meninggalkan tanah air mereka, sementara warga yang bertahan harus beradaptasi dengan teror, desing peluru, darah, ledakan bom, penculikan, pembunuhan dan kekejian lainnya.

(4)

Situasi keamanan Suriah yang semakin memburuk dan telah menyebabkan terjadinya tragedi kemanusiaan itu kemudian disoroti oleh dunia internasional, bahkan oleh Negara-negara yang selama ini dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Suriah seperti Russia, China, dan Iran juga mulai menekan pemerintah Suriah untuk tidak bertindak represif dan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga negaranya sendiri. Di lain pihak, dunia internasional juga terus berikhtiar untuk mengupayakan perdamaian atau meminimalisir gencatan senjata diantara faksi-faksi yang berkonflik di Suriah, dan antara pihak oposisi dengan pihak pemerintah yang dilindungi oleh militer. Mantan Sekretaris Jenderal PBB yang kini bertugas sebagai Utusan Khusus PBB untuk Liga Arab, Kofi Annan, Senin tiba di Doha, Qatar, untuk bertemu dengan Emir Qatar, Sheikh Hamed bin Khalifa al-Thani, dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Qatar, Sheikh Hamd bin Jasim al-Thani. Dalam pertemuan tersebut, Kofi Annan menjelaskan bahwa pembicaraannya dengan Presiden Assad terfokus pada penghentian aksi kekerasan, perizinan untuk akses bantuan kemanusiaan, dan membuka dialog politik. Namun ia juga mengakui bahwa misinya belum meraih kemajuan untuk mengakhiri krisis Suriah dalam dua kali pertemuan dengan Presiden Assad di Damaskus.

Upaya-upaya untuk menghentikan kekerasan fisik yang terjadi di Suriah oleh pihak-pihak internasional, khususnya PBB dan Liga Arab, tampaknya masih menghadapi jalan terjal dan panjang akibat belum dicapainya kesepakatan damai atau gencatan senjata antara pihak pemerintah yang didukung militer dengan faksi-faksi oposisi bersenjata Suriah. Apalagi diduga kuat bahwa terdapat

(5)

kelompok-kelompok teroris, ekstrimis, dan radikal yang ikut mengambil peran dalam kerusuhan dan bentrokan di Suriah dalam kurun waktu setahun ini. Namun upaya-upaya Liga Arab (khususnya Qatar) dan PBB (Kofi Annan) untuk secara serius berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik di Suriah patut didukung dan disukseskan oleh semua pihak.

Rezim Suriah selalu menegaskan bahwa mereka tidak menghadapi kubu oposisi, tetapi sekelompok teroris yang sedang membuat kacau negara. Rezim ini juga curiga bahwa aksi protes di Suriah didalangi oleh pihak Barat. Sedangkan Dewan Nasional Suriah (Suriah National Council/SNC) telah meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk segera menggelar sidang dengan tujuan membahas pembantaian yang menewaskan 60 orang di kota Homs oleh pasukan Pemerintah Suriah. Bentrok senjata juga terjadi antara pasukan pemerintah dengan Tentara Pembebasan Suriah (FSA) pasukan oposisi, juga mulai menjalar ke Damaskus. lalu berjumlah 80 orang yang sebagian besar berada di kota Idlib, 60 jenazah yang sebagian terdiri dari perempuan dan anak-anak juga ditemukan di Distrik Al-Adawiyah di kota Homs. Perbedaan pendapat yang sangat tajam antara rezim Suriah di bawah pimpinan Presiden Bashar al-Assad dengan pihak oposisi yang tergabung dalam Dewan Nasional Suriah/SNC telah menyebabkan terjadinya pertumpahan darah dan tragedi kemanusiaan paling menyedihkan dalam sejarah Suriah sepanjang abad ke 21 ini. Tuntutan mundur dari pihak oposisi kepada Presiden Assad pun hingga saat ini masih belum dapat dipenuhi akibat masih kuatnya dukungan pihak militer dan birokrasi terhadap rezim Assad. Dengan dalih menumpas kelompok teroris, pihak militer pun bertindak represif dan keras terhadap faksi-faksi oposisi Suriah. Sementara pertempuran terus berlangsung

(6)

antara pihak pemerintah dan kubu oposisi, rakyat Suriah yang tidak berdosa dan tidak mengerti persoalan justru banyak yang menjadi korban, baik yang mengungsi ke luar negeri maupun yang tewas akibat perang tersebut.

Pelanggaran HAM merupakan setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang, termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang menjamin oleh Undang-Undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Nilai-nilai yang ada dalam Deklarasi HAM juga terdapat dalam Konvensi Jenewa 1949. Bahwa siapapun, bahkan jika seorang musuh yang tertawan, tetap harus diperlakukan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia. Ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak individu sebagai pihak yang dilindungi. Dugaan kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata non internasional di Suriah merupakan bentuk penentangan terhadap Konvensi Jenewa 1949.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji kejahatan kemanusiaan perang saudara dalam konflik bersenjata non internasional di Suriah ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dengan membuat penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul: “Tinjauan Konvensi

Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah.”

(7)

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan?

2. Bagaimana dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Konvensi Jenewa 1949?

3. Bagaimana upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut::

1. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan.

2. Untuk mengetahui dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Konvensi Jenewa 1949.

3. Untuk mengetahui upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah.

1.4. Manfaat Penelitian:

1. Mengetahui tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM berat dalam konflik di Suriah dari perspektif Konvensi Jenewa.

2. Mengetahui mekanisme hukum yang berlaku terhadap para Pelaku Pelanggaran HAM dalam konflik Suriah.

(8)

1.4. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis, baik dari internet maupun kepustakaan dapat diketahui bahwa belum ada penelitian mengenai kajian yang sedang penulis kaji, oleh sebab itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan bukan plagiat sehingga apabila di kemudian hari diketemukan judul yang sama maka itu akan menjadi tanggungjawab penuh penulis.

1.5. Tinjauan Kepustakaan

Hak Asasi Manusia (HAM) berkaitan dengan konsep dasar tentang manusia dan hak. Konsep tentang manusia, dalam Bahasa Inggris disebut human being. Pada umumnya ketika kita mendengar kata manusia, maka secara otomatis kita berpikir tentang sosok makhluk yang memiliki cita rasa, akal budi, naluri, emosi, dan seterusnya. Wujud konkret ini adalah orang.1

HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. HAM dapat dirumuskan sebagai hak yang ada dan melekat pada diri manusia yang apabila hak tersebut tidak ada, maka mustahillah seseorang itu hidup sebagai manusia. Meskipun HAM sudah diakui secara universal, akan tetapi hal ideal tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas HAM dalam segala bentuk dan macam tingkatannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat, masih saja dilakukan di dunia ini. Meskipun secara kuantitatif peristiwa pelanggaran-pelanggaran itu hanya sebagian kecil saja

1Hamid Awaludin, HAM , Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012, hlm. 60

(9)

dibandingkan peristiwa penghormatan dan perlindungan HAM, artinya masih banyak yang menghormati daripada melakukan pelanggaran terhadap HAM.2

1. Adanya abuse of power dalam kerangka asosiasi dengan pemerintah; Secara etimologis, istilah pelanggaran hak asasi manusia, merupakan terjemahan dari gross violations of human rights yang pada dasarnya merupakan tindak pidana sebagaimana tindak pidana pada umumnya yang bersifat melawan hukum (unlawful) dan sama sekali tidak ada alasan pembenarnya. Palanggaran hak asasi manusia yang berat terdapat beberapa unsur, yaitu:

2. Kejahatan tersebut dianggap merendahkan martabat manusia dan pelanggaran asas-asas kemanusiaan yang mendasar;

3. Perbuatan tersebut dikutuk secara internasional; 4. Dilakukan secara sistematis dan meluas.3

Menurut Sumaryo Suryokusumo4

1) Maksud dan Rencana, yakni kejahatan mengenai HAM berat mengandung arti adanya maksud dan rencana dari pihak yang berwenang. Berhubung ada suatu maksud, maka pelanggaran HAM berat secara sistematik itu tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi sebaliknya hal itu merupakan tanggapan terhadap sikap yang direncanakan.

bahwa ada 3 (tiga) unsur dalam menentukan sesuatu pelanggaran sebagai pelanggaran berat:

2) Kuantitas, unsur kedua ini berkaitan dengan banyaknya korban dan banyaknya pelanggaran yang terjadi. Sebagaimana dicantumkan di dalam Piagam Afrika khususnya dalam Pasal 58 misalnya, dinyatakan bahwa yang dimaksud

2I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2003, hlm 89

3

Harry Purwanto, Persoalan di sekitar Hak Asasi Manusia yang Berat di Indonesia, Yogyakarta: Mimbar Hukum No. 38/VI/2001 UGM, hal. 62.

4

Sumaryo Suryokusumo, Yurisdiksi Pengadilan HAM Nasional, Makalah disampaikan dalam kelas khusus pidana internasioal FH-UGM pada tanggal 8 Mei 2008, hal. 7-8

(10)

dengan pelanggaran berat adalah “pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya korban lebih dari satu dan bisa juga melibatkan sejumlah tindakan pelanggaran”.

3) Jenis dari Hak yang dilanggar. Dalam definisi tentang pelanggaran berat menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak hidup, integritas atau kebebasan perorangan merupakan syarat dalam menentukan sesuatu pelanggaran sebagai pelanggaran berat. Sifatnya yang “berat” itu menunjukkan sesuatu yang dipandang dari sudut moral merupakan patut sekali dicela dan oleh karena itu akan tergantung hak mana yang dilanggar, sifat pelanggaran dan kedudukan dari pelanggaran itu sendiri.

Pelanggaran hak asasi manusia dalam masa perang merupakan bentuk dari kejahatan kemanusiaan (Crimes Against Humanity). Kejahatan kemanusiaan merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:5

1) Pembunuhan; 2) Pemusnahan; 3) Perbudakan;

4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5) Memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

6) Penyiksaan;

5 Ach. Tachir, Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Supremasi Hukum. Vol. 2, No. 2, Desember 2013, hal. 290-291.

(11)

7) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan strerilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;

8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam Jurisdiksi Mahkamah;

9) Penghilangan paksa; 10) Kejahatan apartheid;;

11) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Dalam Hukum Humaniter Internasional, Konflik Bersenjata dibedakan menjadi tiga yaitu:6

1) Konflik Bersenjata Internasional, perang melawan pemerintah penjajah (fighting against colonial domination), Perang melawan pemerintah pendudukan (alien occupation), dan perang melawan pemerintah yang menjalankan rezim rasialis (against racist regimes) dapat dikatakan sebagai perang kemerdekaan (war of national Liberation).

6 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committe of The Red Cross,1999 : 22-26.

(12)

2) Konflik Bersenjata non Internasional, perang di dalam negeri (perang saudara) atau peperangan yang terjadi dalam satu wilayah negara.

3) Internal Disturbance and Tensions, Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai kekacauan dalam negeri atau internal tension adalah apabila jika terjadi kerusuhan berskala besar, tindakan terorisme dan sabotase yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka, serta adanya penyanderaan.

Dalam penelitian ini yang dibahas adalah konflik bersenjata non internasional. Dalam hal Konflik bersenjata non Internasional, diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949 yang menyatakan :

"Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak peserta agung, tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :

Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan, atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagai manapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu."

Dalam Protokol Tambahan II 1977 juga tidak ada pengertian ataupun definisi yang pasti tentang konflik bersenjata non internasional. Namun dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 lebih menekankan pada para pihak peserta agung

(13)

untuk memperlakukan para korban akibat konflik bersenjata secara manusiawi dan tanpa diskriminasi.

Namun ada beberapa kriteria-kriteria tentang konflik bersenjata non internasional adalah sebagai berikut.7

a) Pertikaian terjadi di wilayah pihak peserta agung;

b) Pertikaian terjadi antar angkatan bersenjata pihak peserta agung dengan kekuatan bersenjata pihak yang memberontak (dissident);

c) Kekuatan bersenjata pihak yang memberontak ini harus berada di bawah satu komando yang bertanggung jawab;

d) Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara sehingga dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut;

e) Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol II 1977.

Hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama selain konvensi-konvensi lain yang telah disebutkan terdahulu.

Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa terhadap setiap bentuk pelanggaran yang terjadi dalam konteks perang, negara harus mengambil langkah-langkah hukum; menyiapkan pengadilan untuk menuntut, mengadili dan menghukum pelaku, tidak terbatas hanya pada pelanggaran berat konvensi.8

7Ibid, hal. 27.

8Sriwiyanti Eddyono. Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP. ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 2007, hal. 16.

(14)

di samping bertanggungjawab untuk mengadili dan menghukum pelaku, negara juga berkewajiban untuk memberi kompensasi jika diminta oleh korban. Atas pemberian kompensasi ini, tidak hanya terhadap kejahatan perang tapi pelanggaran lainnya di mana korban merasa dirugikan.

Hukum atau Konvensi Jenewa mempunyai empat perjanjian pokok. Keempat Konvensi Jenewa 1949 tersebut adalah:

I. Genewa convention for the amelioration of the condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field.

II. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea.

III. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War.

IV. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War.

Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan:

I. Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict (Protocol I);

II. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, And Relating to the Protection of Victims of Non International Armed Conflict (Protocol II);

Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai

(15)

penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, Sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non internasional.

Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang sama pada Keempat Konvensi Jenewa 1949, yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional.9

Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tidak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tidak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip atau perlakuan non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku suratnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan, perhambaan, larangan penyimpangan Dengan demikian maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia.

9

Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Seri Bahan bacaan Khusus HAM untuk Pengacara. Bandung: Alumni, 2005, hal. 82.

(16)

berkaitan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang semestinya, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat 1 (d) Konvensi Jenewa 1949.10

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu pihak agung penandatangan, tiap pihak dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata merea serta mereka tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.”

Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada pihak “peserta agung’ untuk tetap menjamin perlindungan kepada tiap individu dengan mengesampingkan status belligerent menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu.

11

Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga:12

10Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk

Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2002, hal. 18.

11Scott Davidson, Hak Asasi Manusia. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 28. 12

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 53.

(17)

a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan.

b. Penyanderaan.

c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama yang menghina dan merendahkan martabat.

d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

Walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa:

1. Dengan adanya Pasal 3 ini, tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa senjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3.

2. Pasal 3 tidak mengurangi hak pemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut Undang-Undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata di dalam negeri negara peserta, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.

Ketentuan mengenai lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dari Konvensi III mengenai Perlakuan terhadap Tawanan Perang, yang berbunyi: Konvensi ini akan berlaku bagi orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 sejak mereka jatuh dalam kekuasaan musuh hingga

(18)

saat pembebasan dan pemulangan mereka terakhir. Bilamana timbul keragu-raguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bersifat perbuatan permusuhan dan telah jatuh dalam tangan musuh termasuk dalam golongan-golongan yang disebut dalam Pasal 4, maka orang-orang demikian akan memperoleh perlindungan dari konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka ditentukan oleh pengadilan yang kompeten”.13

1. Spesifikasi Penelitian

Dari ketentuan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat jatuhnya orang-orang yang dilindungi konvensi ke tangan musuh (ditawan) adalah saat dimulai berlakunya pemberian perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis karena dari hasil penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran secara menyeluruh.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah kajian kepustakaan tentang ilmu hukum empiris untuk mendukung penelitian ini.

3. Alat pengumpul data sekunder

Data sekunder berupa data yang didapat dari studi kepustakaan dan pemberitaan terkait kasus yang diteliti melalui media internet dimana penulis

13 Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Global dalam

(19)

berusaha mempelajari buku-buku yang terkait dengan beragam teori yang mendukung pisau analisis dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Sebagai penelitian yang bersifat yuridis empiris maka analisis akan dilakukan secara deskriptif dimana peraturan perundang-undangan yang ada akan dibenturkan dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Penulis melakukan pencatatan kronologis kasus dan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan terkait permasalahan tersebut.

1.5 Sistematika Penulisan

Penelitian ini bersifat deskriptif dimana penelitian mempunyai tugas untuk menggambarkan secara jelas dan cermat mengenai hal-hal yang dipersoalkan dan menerangkan kondisi-kondisi yang mendasasi terjadinya peristiwa atau persoalan. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer, sekunder dan tersier yang mendukung fakta yang relevan atau aktual yang diperoleh untuk membuktikan atau menguji kebenaran atau ketidakbenaran suatu masalah yang menjadi obyek penelitian.

Penelitian ini bersifat konkrit (In Concreto) yang dilakukan untuk menemukan dari suatu perkara yang konkrit. Penelitian ini juga merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya sesuai diterapkan secara in concreto guna menyelesaikan suatu perkara hukum dan dimanakah bunyi peraturan hukum dapat ditemukan. Selain itu penelitian ini juga terkait interested topic yang menarik minat peneliti, evaluative, fact finding, problem finding, dan berupa studi kasus atas suatu kasus yang telah terjadi.

(20)

Sistematika penulisan penelitian adalah sebagai berikut:

Bab 1 pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 Tinjauan Umum terhadap Pelanggaran HAM pada Kejahatan Kemanusiaan meliputi:

a. Pengertian HAM

b. Kejahatan Kemanusiaan

c. Sejarah Singkat Konvensi Jenewa 1949 dan Hubungannya terhadap Konflik Bersenjata Non Internasional

Pada Bab 3 ini berisi tentang Dimensi Pelanggaran HAM Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 yaitu:

a. Bentuk-Bentuk Pelanggaran HAM Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 b. Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak dan Perempuan

c. Perjalanan Konflik dan Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pelanggaran HAM terhadap Anak dan Perempuan dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

Bab 4. Upaya Hukum Internasional dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah, meliputi:

a. Upaya-Upaya yang telah Dilakukan dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah

b. Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak dan Perempuan di Suriah Ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949

(21)

c. Perbuatan-Perbuatan dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak dan Perempuan di Suriah yang Dapat Dibawa ke Pengadilan HAM Internasional

Bab 5 Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan dari hasil uraian pada bab sebelumnya serta saran-saran berkaitan dengan penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

menciptakan suatu pemikiran yang baru karena kita memiliki pengetahuan- pengetahuan yang didapat dari bahasa(Kosasih, 2013). Bahasa sebagai alat kontrol sosial di

Berdasarkan hasil tindakan pada siklus I menunjukkan bahwa hasil belajar yang didapat belum mencapai indikator yang ditentukan untuk hasil belajar (≥50% dari

Hasil pengukuran logam Pb dalam susu asal sapi perah Kelurahan Kebon Pedes yang menggunakan tiga jenis pakan yaitu rumput lapangan, klobot jagung serta

Alasan peneliti memilih lokasi penelitian di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah 1) karena perusahaan yang terbuka akan memudahkan peneliti untuk mendapatkan

Akronim yang lazim dipakai antara lain : btw (by the way), imho (in my humble opinion), fwiw (for what is worth), fyi (for your information), rtfm (read the friendly manual).

 Semua kriteria pelayanan MIS memerlukan perbaikan dengan menghasilkan nilai di bawah 0 atau belum baik, serta secara keseluruhan pelayanan MIS menghasilkan

dapat diimplementasikan jika ada kelebihan anggaran. MoSCoW merupakan sebuah aturan untuk mengelompokkan kebutuhan perangkat lunak sehingga pihak pengembang mengetahui

Jumlah perusahaan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Untuk mempertahankan perusahaan Sumber Daya Manusia dalam sebuah perusahaan menjadi perhatian yang sangat