51
DINAMIKA EVAPOTRANSPIRASI AKIBAT
PERUBAHAN IKLIM
(EVAPOTRANSPIRATION DYNAMIC IN CLIMATE CHANGE )
Indah Susanti1, Fanny Aditya Putri, Bambang Siswanto, Sri Kaloka, dan Laras Tursilowati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional 1e-mail: indahpl@gmail.com
RINGKASAN
Salah satu aspek penting yang harus ditinjau untuk dapat memahami dampak perubahan iklim pada hidrologi adalah perubahan evapotranspirasi. Parameter evapotranspirasi menunjukkan banyaknya air yang hilang dari permukaan bumi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data model Global Land Data Assimilation System (GLDAS) dengan resolusi spasial 0,25 derajat dan resolusi temporal bulanan untuk rentang waktu Januari 2000–Agustus 2018. Untuk mengetahui kecenderungan pengaruh meteorologi terhadap tingkat evapotranspirasi, maka dilakukan analisis musiman. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa tingkat evapotranspirasi di Indonesia menunjukkan variasi spasial yang tinggi. Terdapat daerah-daerah tertentu yang memiliki tingkat evapotranspirasi yang sangat rendah, seperti di Jawa dan Nusa Tenggara. Selain Jawa dan Nusa Tenggara, Papua juga merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat evapotranspirasi rendah. Di lain pihak, secara spasial, Kalimantan dalam cakupan wilayah yang luas, menunjukkan tingginya tingkat evapotranspirasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Tingkat evapotranspirasi juga menunjukkan variasi temporal yang cukup besar. Antara periode Desember-Januari-Februari (DJF) dan Juni-Juli-Agustus (JJA), menunjukkan perbedaan tingkat evapotranspirasi yang cukup besar. Perbedaan ini terlihat terutama untuk Sumatera dan Kalimantan yang menunjukkan adanya evapotranspirasi besar pada periode MAM. Apabila ditinjau menurut deret waktu, evapotranspirasi di Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini merupakan indikasi adanya perubahan potensi air di permukaan yang dapat diuapkan ke atmosfer sebagai akibat adanya perubahan iklim. Perubahan karakter permukaan yang disebabkan oleh adanya urbanisasi, cenderung menyebabkan berkurangnya evapotranspirasi suatu daerah. Peningkatan evapotranspirasi dapat menjadi salah satu opsi untuk mitigasi suhu perkotaan melalui peningkatan unsur-unsur alami.
1 PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara tropis dengan kompleksitas dinamika atmosfer yang tinggi. Perubahan iklim yang tengah terjadi, telah menambah kompleksitas tersebut dan mengubah pola-pola suhu dan curah hujan yang ada. Implikasi lanjutan dari hal tersebut adalah memberi pengaruh besar pada bidang sumber daya air, pertanian, kehutanan dan kesehatan masyarakat. Berbagai pengaruh tersebut terjadi melalui serangkaian proses yang melibatkan banyak komponen di bumi. Shaver et al. (2000), Oerlemans (2005), Dong et al. (2013) dan Xie et al. (2013),
menyatakan bahwa perubahan iklim yang paling nyata dapat dilihat dari tingkat curah hujan dan kenaikan suhu global hingga 3 °C. Perubahan iklim tersebut memberi tekanan besar pada kondisi hidrologi yang merupakan modal penting untuk menjamin ketersediaan pangan dan sumber daya air untuk populasi global yang tumbuh cepat (Nistor dan Porumb-Ghiurco, 2015).
Salah satu aspek penting yang harus ditinjau untuk dapat memahami dampak perubahan iklim pada hidrologi adalah perubahan evapotranspirasi. Nistor dan Porumb-Ghiurco (2015) menyatakan bahwa evapotranspirasi
52
memiliki dampak signifikan pada keseimbangan air regional dan merupakan parameter penting untuk mempelajari iklim, hidrologi dan pertanian. Selain itu, perubahan evapotranspirasi sangat penting untuk memahami dampak perubahan iklim pada keseimbangan air resapan. Evapotranspirasi berkontribusi sekitar 15% pada uap air di atmosfer. Tanpa uap air dari evapotranspirasi, awan dan hujan tidak akan terbentuk. Evapotranspirasi merupakan gabungan dari proses evaporasi dan transpirasi.
Evaporasi dalam konteks
evapotranspirasi, mengacu pada air yang menguap ke atmosfer.
Evapotranspirasi merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya air yang hilang dari permukaan bumi. Dingman (2015) menyatakan bahwa air yang hilang dari permukaan bumi adalah sekitar 62% dari seluruh air yang ada di permukaan. Pada kenyataannya, tingkat evapotranspirasi menunjukkan adanya variasi temporal dan spasial yang tinggi, karena evapotranspirasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Evapotranspirasi dipengaruhi oleh perubahan iklim melalui serangkaian proses yang dimulai dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, diikuti oleh dampak pada sirkulasi skala besar dan perubahan distribusi energi dan kelembaban global. Proses skala global ini menyebabkan perubahan atmosfer skala lokal, yang pada gilirannya mempengaruhi keseimbangan air resapan melalui serangkaian proses hidrologi terrestrial, dimana curah hujan diubah menjadi evapotranspirasi aktual, aliran permukaan dan resapan air tanah (Oudin et al., 2005). Faktor-faktor lainnya yang berpotensi mempengaruhi evapotranspirasi adalah pola tutupan lahan (Liu et al., 2009) dan efek peningkatan karbondioksida yang dapat
membatasi laju transpirasi tanaman. Menurut Prudhomme et al. (2014) dan Milly dan Dunne (2016), tingginya tingkat konsentrasi karbondioksida membatasi laju transpirasi tanaman. Laju transpirasi tanaman itu sendiri, sangat dipengaruhi oleh tingkat radiasi netto, adveksi atmosfer, turbulensi udara, luas daun dan ketersediaan air.
Kompleksitas mekanisme terjadinya evapotranspirasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, serta ketersediaan data hasil observasi insitu yang sangat terbatas, dapat mempersulit untuk melakukan estimasi evapotranspirasi. Adanya teknologi penginderaan jauh, membantu melakukan monitoring dan analisis evapotranspirasi di suatu daerah dalam areal yang luas dengan resolusi temporal yang cukup baik. Pada saat ini, NASA telah mengembangkan algoritma untuk memperoleh parameter leaf area index dan radiasi yang memungkinkan untuk memperoleh parameter evapotranspirasi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat dan menganalisis kondisi hidrologi suatu daerah. Makalah ini mengupas dinamika spasial temporal evapotranspirasi tahunan di Indonesia dengan menggunakan data model Global
Land Data Assimilation System (GLDAS).
Hal ini penting karena Indonesia sebagai daerah strategis yang diandalkan untuk memberikan ecosystem services secara optimal dan memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakatnya. Untuk dapat mengkaji pengaruh kondisi atau karakteristik lahan terhadap tingkat evapotranspirasi, maka dilakukan analisis perbandingan antara tingkat evapotranspirasi perkotaan dengan kecenderungan umum yang terjadi di Indonesia. Kajian mengenai evapotranspirasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran tidak hanya menyangkut siklus air, tapi juga pertukaran energi. Hal ini karena dalam
53 proses perubahan fasa air cair menjadi
uap air, diperlukan input energi. Demikian pula saat terjadi perubahan fasa dari uap air menjadi air cair, terjadi pelepasan energi panas laten.
2 METODOLOGI
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data model GLDAS dengan resolusi spasial 0,25 derajat dan resolusi temporal bulanan untuk periode 2000-2018. Untuk mengetahui kecenderungan pengaruh meteorologi terhadap tingkat evapotranspirasi, maka dilakukan analisis musiman untuk periode Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON). Selain itu, juga dilakukan analisis time series untuk dapat mengetehui kecenderungan yang terjadi selama periode yang dianalisis. Untuk dapat menganalisis keterkaitan evapotranspirasi pada neraca energi, digunakan data panas laten dan panas sensibel yang dirata-ratakan secara bulanan dari periode yang sama. Panas laten merupakan energi yang diserap atau dilepaskan oleh suatu zat selama perubahan keadaan fisiknya (fase) yang terjadi tanpa mengubah suhunya. Sedangkan panas sensibel adalah energi yang dibutuhkan untuk mengubah suhu suatu zat tanpa perubahan fasa.
3 HASIL PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa tingkat evapotranspirasi di Indonesia menunjukkan variasi spasial yang tinggi. Hal ini karena adanya perbedaan karakter permukaan dan variasi iklim yang ada. Tingkat evapotranspirasi sangat ditentukan oleh ketersediaan air untuk diuapkan dan kelimpahan radiasi untuk melakukan aktivasi perubahan fase, sehingga proses evapotranspirasi membutuhkan air sebagai materi dasarnya dan energi radiasi untuk menjalankan prosesnya. Disamping itu, terdapat juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi evapotranspirasi seperti kecepatan angin. Pada Gambar 3-1 dapat dilihat bahwa terdapat daerah-daerah tertentu yang memiliki tingkat evapotranspirasi yang sangat rendah, seperti di Jawa dan Nusa Tenggara. Urbanisasi yang terjadi di Pulau Jawa telah menyebabkan berkurangnya tutupan vegetasi dan meningkatkan limpasan permukaan, sehingga prosentase infiltrasi air hujan menjadi rendah dan ketersediaan air untuk diuapkan juga rendah. Nusa Tenggara, terutama Nusa Tenggara Timur, dikenal sebagai daerah terkering di Indonesia karena tingkat curah hujannya yang sangat rendah, sehingga termasuk juga daerah yang memiliki evapotranspirasi rendah.
Gambar 3-1: Tingkat evapotranspirasi di Indonesia rata-rata bulanan dari 2000–2018, dalam satuan g/m-2s-1
54
Selain Jawa dan Nusa Tenggara, Papua juga merupakah salah satu daerah yang memiliki tingkat evapotranspirasi rendah. Di lain pihak, secara spasial, Kalimantan dalam cakupan wilayah yang luas, menunjukkan tingginya tingkat evapotranspirasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena Kalimantan masih merupakan hutan yang dapat menampung air hujan dan mempertahankan kelembaban wilayah dalam tanah dan vegetasi.
Tingkat evapotranspirasi juga menunjukkan variasi temporal yang cukup besar. Antara periode Desember-Januari-Februari (DJF) dan Juni-Juli-Agustus (JJA), menunjukkan perbedaan tingkat evapotranspirasi yang cukup besar. Perbedaan ini terlihat terutama untuk Sumatera dan Kalimantan yang menunjukkan adanya evapotranspirasi besar pada periode MAM, karena pada periode tersebut terjadi presipitasi maksimum untuk daerah dengan tipe curah hujan ekuatorial. Gambar 3-2 merupakan ilustrasi yang menunjukkan adanya perbedaan tingkat evapotranspirasi antar musim di Indonesia (DJF, MAM, JJA dan SON).
Apabila ditinjau menurut deret waktu, evapotranspirasi di Indonesia
mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi untuk semua musim, seperti pada Gambar 3-3. Periode MAM merupakan periode dengan peningkatan evapotranspirasi tertinggi. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab hal ini terjadi. Pertama, wilayah yang memiliki tipe hujan ekuatorial dengan curah hujan tertinggi di periode MAM yang merupakan dominasi keseluruhan data, menunjukkan tren peningkatan. Kedua, daerah-daerah lain di luar tipe ekuatorial (seperti Pulau Jawa dengen tipe curah hujan monsunal) mengalami pergeseran musim hujan sebagai akibat adanya perubahan iklim, sehingga terjadi peningkatan curah hujan pada periode MAM, yang berarti peningkatan potensi air untuk diuapkan, baik melalui evaporasi tanah dan badan air, maupun melalui transpirasi tanaman.
Pada umumnya periode MAM merupakan periode dimana terjadi evapotranspirasi maksimum. Hal tersebut terjadi hampir diseluruh periode waktu yang dianalisis (2000 – 2018), kecuali pada tahun 2010, dimana rata-rata untuk periode September-Oktober-November (SON) lebih tinggi dibandingkan dengan MAM. Hal ini karena pada periode tersebut terjadi
La-Nina dengan curah hujan yang tinggi dan
potensi air untuk diuapkan menjadi tinggi.
55
Gambar 3-2: Tingkat evapotranspirasi di Indonesia rata-rata musiman untuk DJF, MAM, JJA dan SON dari 2000–2018, dalam g/m-2s-1
56
Gambar 3-3: Tren tingkat evapotranspirasi di Indonesia rata-rata musiman untuk DJF, MAM, JJA dan SON 2000-2018 dalam g/m-2s-1
Gambar 3-4: Rata-rata panas sensibel (atas) dan panas laten (bawah) di Indonesia (dalam
W/m2)
Tinggi rendahnya evapo-transpirasi di suatu daerah, tidak hanya menunjukkan besarnya penguapan yang terjadi tapi juga menunjukkan berapa
besar potensi air yang ada di daerah tersebut. Dalam proses evapotranspirasi, terjadi juga pertukaran energi. Daerah-daerah dengan evapotranspirasi tinggi, cenderung memiliki tingkat energi panas laten yang juga tinggi. Sebaliknya, daerah dengan tingkat evapotranspirasi yang rendah, akan memiliki energi panas laten yang juga rendah, namun menunjukkan tingkat energi panas
sensible yang tinggi. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 3-4. Panas sensibel adalah panas yang menyebabkan terjadinya kenaikan/penurunan temperatur, tetapi fasa (wujud) tidak berubah. Panas laten adalah panas yang diperlukan untuk merubah fasa (wujud) benda, tetapi suhunya tetap. Ketika di suatu daerah tidak ada air atau jumlah air sedikit, maka pada saat energi matahari datang pada permukaan, maka energi tersebut lebih banyak digunakan untuk meningkatkan suhu dibandingkan untuk penguapan air. Hal ini menjadi salah-satu penyebab mengapa daerah perkotaan dengan unsur-unsur buatan cenderung lebih panas dibandingkan dengan daerah lain yang memiliki unsur-unsur alami. Hal ini sejalan dengan apa
y = 2E-07x + 4E-05 y = 5E-07x + 4E-05
y = 3E-07x + 4E-05 y = 3E-07x + 4E-05 3.50E-05 3.70E-05 3.90E-05 4.10E-05 4.30E-05 4.50E-05 4.70E-05 4.90E-05 5.10E-05 5.30E-05 5.50E-05 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
57 yang telah diungkapkan oleh Schmidt
(2010). Schmidt (2010) menyatakan bahwa penurunan evapotranspirasi disebabkan oleh reduksi konsumsi panas laten. Dengan demikian, energi yang ada lebih banyak menjadi panas sensible, yang menyebabkan suhu permukaan menjadi lebih tinggi dan berkontribusi pada terjadinya efek pulau panas dan perubahan iklim global. Selain itu, Santamouris et al. (2001) juga menyatakan bahwa intensitas pulau panas dapat menghasilkan beda suhu di perkotaan sampai 10 ˚C dibandingkan dengan zona perdesaan di sekitarnya.
4 PENUTUP
Evapotranspirasi di Indonesia cenderung mengalami peningkatan pada periode Maret-April-Mei khususnya Sumatera dan Kalimantan. Hal ini merupakan indikasi adanya perubahan potensi air di permukaan yang dapat diuapkan ke atmosfer sebagai akibat adanya perubahan iklim. Perubahan karakter permukaan yang disebabkan oleh adanya urbanisasi, cenderung menyebabkan menurunnya tingkat evapotranspirasi suatu daerah karena sumber air yang tersedia berkurang dan energi radiasi yang sampai ke permukaan cenderung digunakan untuk meningkatkan suhu udara. Peningkatan evapotranspirasi dapat menjadi salah satu opsi untuk mitigasi suhu perkotaan melalui peningkatan unsur-unsur alami.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada rekan-rakan yang telah membantu memberi wawasan baru dalam proses pembuatan tulisan ini.
DAFTAR RUJUKAN
Dingman, S.L. 2015. Physical Hydrology: Third Edition, Waveland Press, 2015, ISBN 1478628073, 9781478628071
Dong P., Wang C., Ding J. 2013. Estimating
glacier volume loss used remotely sensed images, digital elevation data, and GIS modelling. International Journal of Remote
Sensing 34(24): 8881-8892
Liu X M, Zheng H X, Liu C M. 2009. Sensitivity
of the potential evapotranspiration to key climatic variables in the Haihe River Basin.
Resources Science, 31(9): 1470–1476. Milly, P. C. D and K. A. Dunne 2016. Potential
evapotranspiration and continental drying.
Nature Climate Change volume 6, pages 946– 949.
Nistor MM, Porumb‐Ghiurco GC. 2015. How to
compute the land cover evapotranspiration at regional scale? A spatial approach of Emilia‐ Romagna region. GEOREVIEW Sci. Ann.
Ştefan cel Mare Univ. Suceava Geogr. Ser. 25(1): 38–54.
Oerlemans J. 2005. Extracting a Climate Signal
from 169 Glacier Records. Science 308:
675-677.
Oudin L, Hervieu F, Michel C. 2005. Which
potential evapotranspiration input for a lumped rainfall-runoff model? (Part 2): Towards a simple and efficient potential evapotranspiration sensitivity analysis and identification of the best evapotranspiration and runoff options for rainfall-runoff modeling.
Journal of Hydrology, 303(1–4): 290–306 Prudhomme, C., I. Giuntoli, E. L. Robinson, D.
B. Clark, N. W. Arnell, R. Dankers, B. M. Fekete, W. Franssen, D. Gerten, and S. N. Gosling 2014. Hydrological droughts in the
21st century, hotspots and uncertainties from a global multimodel ensemble experiment,
Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A., 111(9), 3262– 3267.
Santamouris M, Papanikolaou N, Livada I, Koronakis I, Georgakis C, Argiriou A, Assimakopoulos D N. 2001. On the impact of
urban climate on the energy consumption of buildings. Solar Energy, 70, 201-216
Shaver GS., J. Canadel, F.S., Chapin III, J. Gurevitch, J. Harte, G. Henry, P. Ineson, S. Jonasson, J. Melillo, L. Pitelka, L. Rustad 2000. Global warming and terrestrial
58
ecosystems: a conceptual framework for analysis. BioScience 50, 871-882.
Schmidt M. 2010. Ecological design for climate
mitigation in contemporary urban living.
International Journal of Water, 5, 337-352
Xie X., Li Y. X., Li. R. 2013. Hyperspectral
characteristics and growth monitoring of rice (Oryza sativa) under asymmetric warming.
International Journal of Remote Sensing 34(23): 8449-8462.