ANALISIS HUKUM DAN KELEMBAGAAN PENEGAKAN
HUKUM DI BIDANG PERIKANAN
LUTFI BRILLIANT WANDA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMAN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFOMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hukum dan Kelembagaan Lembaga Penegakan Hukum di Bidang Perikanan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2012 Lutfi Brilliant Wanda C44080035ABSTRAK LUTFI BRILLIANT WANDA, C44080035. Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan. Dibimbing oleh AKHMAD SOLIHIN dan THOMAS NUGROHO. Permasalahan illegal fishing mengakibatkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia tidak mampu dimanfaatkan secara optimal. Kerugian dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya aspek ekonomi yakni kerugian secara finansial, aspek sosial berupa penyebaran penyakit berbahaya dan aspek ekologis seperti over fishing dan destructive fishing. Lembaga penegak hukum yang berwenang yang menjadi objek peneltian adalah Polisi Perairan, TNI AL, dan PSDKP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan, menganalisis tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya, dan memberikan rekomendasi efektifitas penegakan hukum. Penelitian ini menggunakan analisis kelembagaan, analisis hukum dan analisis SWOT. Penelitian menghasilkan bahwa bahwa tiga lembaga penegakan hukum yaitu Polair, TNI AL dan PSDKP menjalankan fungsi penegakan hukum sesuai dengan dasar hukum tersendiri. Variabel kewenangan Polair diamanahkan dengan 4 dasar hukum, TNI dengan 5 dasar hukum, dan PSDKP dengan 3 dasar hukum. Variabel kewilayahan menjabarkan bahwa ketiga lembaga memiliki wewenang berbeda pada wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEEI. Prioritas strategi penegakan hukum dengan dua urutan terbesar dari penelitian adalah peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing dan menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih. Kata Kunci : illegal fishing, destructive fishing, penegakan hukum, dasar hukum
ABSTRACT LUTFI BRILLIANT WANDA, C44080035. Analysis of Legal Institutional and law enforcement in the field of Fisheries. Supervised by AKHMAD SOLIHIN and THOMAS NUGROHO. Problem of illegal fishing and marine fisheries sector resulting in Indonesia is unable to be utilized optimally. Losses can be viewed from several aspects, including economic loss aspect i.e. financially, social aspects of the spread of dangerous disease, and ecological aspects such as over fishing and destructive fishing. Law enforcement agencies in authority who become the object of this research is Police, TNI AL, and PSDKP. The aims of this research are to find out main task and function of institutional law enforcement in the fields of fisheries, analyze conflict authority between the law enforcement agency in the fields of fisheries based on legal basis, and give recommendations the effectiveness of law enforcement. There researchs uses institutional analysis, legal analysis and SWOT analysis. The result of this research is there are three the law enforcement agency that is Police, TNI AL and PSDKP that carries on the function of law enforcement in accordance with the legal basis of its own. Variable authority Police is given with four the basic law, TNI AL with 5 the basic law, and PSDKP with 3 the legal basis. Territoriality variable describe that all three institutions has authority different in the territorial waters of the interior, the waters of the archipelago, the sea territorial, and ZEEI. Priority strategy law enforcement with two largest order of the research is an increase regional and international cooperation in eliminating illegal a fishing and destruktive a fishing and increase the number of patrolly boats and the addition of advanced technology. Keywords: illegal fishing, destructive fishing, law enforcement, legal basis
. ©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menerbitkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS HUKUM DAN KELEMBAGAAN PENEGAKAN
HUKUM DI BIDANG PERIKANAN
LUTFI BRILLIANT WANDA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMAN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012Judul Penelitian : Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum dibidang Perikanan Nama Mahasiswa : Lutfi Brilliant Wanda NRP : C44080035 Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Disetujui Komisi Pembimbing Ketua, Anggota, Akhmad Solihin, S.Pi, M.H Thomas Nugroho, S.Pi, M.Si NIP. 19790403 200701 1001 NIP. 19700414 200604 1 020 Diketahui,
Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Dr. Ir. Budy Wiryawan MSc. NIP. 19621223 1987031 001 Tanggal ujian: 31 Agustus 2012 Tanggal Lulus:
PRAKARTA
Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2012
hingga Juli 2012 dengan judul analisis hukum dan kelembagaan penegakan
hukum di bidang perikanan.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Akhmad Solihin, S.Pi, M.H selaku pembimbing 1 dan Thomas Nugroho,
S.Pi, M.Si selaku pembimbing 2 dalam penyusunan skripsi mulai dari
awal hingga akhir;
2. Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si selaku Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc selaku dosen penguji tamu;
3. Ir. Yusirwan Djamin, S.Ag, MM dan Zubaidah Tuzzahroh, S.Pd, MM
orang tua tercinta yang selalu menemani dengan dukungan terbaik;
4. Kasubdis Kumlater Diskumal Bapak Yuli Dharmawanto, SH, Kaurmin
Subdit Gakkum Dit Polair Baharkam Polri Bapak Agus Budi, dan bang Edwin dan bang Samsu dari Ditjen Pengawasan SDKP Kementerian
Perikanan dan Kelautan yang telah bersedia sebagai sumber informasi atau
memberikan segala informasi yang diperlukan;
5. Aktivis Kementerian Kebijakan Kampus, BEM KM IPB Kabinet
Berkarya, BEM FPIK IPB Kabinet Ekspansi Biru, Beasiswa Aktivis IPB
2011 dan Dompet Dhuafa, Asisten PAI IPB, rekan-rekan Al-Hurriyah
yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian;
6. Keluarga besar PSP 45;
7. Serta semua pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang
telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 14 September
1990 dari Bapak Ir. Yusirwan Djamin, S.Ag, MM dan Ibu
Zubaidah Tuzzahroh, S.Pd, MM. Penulis merupakan putra
pertama dari empat bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus
dari SMA Negeri 49 Jakarta dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB. Penulis terpilih untuk masuk Mayor Teknologi dan Manajemen
Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa kuliah, penulis aktif dalam mengikuti organisasi. Periode
Tahun 2011-2014 penulis menjadi Ketua 2 Ikatan Alumni SMAN 49 Jakarta (ILUSMA49), tahun 2010-2011 penulis menjadi President Bakti Nusa IPB Beasiswa Aktivis Mahasiswa Nusantara Lembaga Pengembangan Insadi-Dompet Dhuafa (Bakti Nusa LPI DD), tahun 2011-2012 penulis menjadi Menteri Kementrian Kebijakan Kampus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM, tahun 2010-2011 penulis menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB, tahun 2009-2010 penulis menjadi Kepala Bagian Kajian Departemen AKPK Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB, dan tahun 2008-2009 penulis menjadi Kepala Departemen Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB IPB. Penulis juga aktif menjadi Asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) TPB IPB pada tahun 2010-2012, Asisten Dosen Metode Operasi Penangkapan Ikan (MOPI) PSP FPIK IPB tahun 2011-2012, dan menjadi Penyuluh Bantuan Sosial Gubernur Jawa Barat tahun 2011-2012. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum dibidang Perikanan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan
pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan tangkap, Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL...xi DAFTAR GAMBAR ...xii DAFTAR LAMPIRAN ...xiii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ...1 1.2 Permasalahan ...2 1.3 Tujuan Penelitian ...2 1.4 Manfaat Penelitian ...3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kelembagaan ...4 2.2 Penegakan Hukum ...8 2.3 Wilayah Laut Indonesia ...12 2.3.1 Wilayah Laut dan Hak Kedaulatan Penuh ...12 2.3.2 Wilayah Laut dan Hak Berdaulat ...13 2.3.3 Wilayah Laut tanpa Kedaulatan Wilayah ...14 2.4 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) ...15 2.5 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM) ...19 2.6 Landasan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan ...19 2.6.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia ...19 2.6.2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ...21 2.6.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ...23 2.6.4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ...29 2.6.5 Keputusan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan ...29 ix2.6.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan...31 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...33 3.2 Metode pengumpulan dan Pengolahan Data ...33 3.2.1 Metode Pengumpulan Data ...33 3.2.2 Pengolahan Data ...33 3.3 Metode Analisis Data ...34 3.3.1 Analisis Kelembagaan ...34 3.3.2 Analisis Hukum ...34 3.3.3 Analisis Kebijakan ...36 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kelembagaan ...39 4.1.1 Polair ...39 4.1.2 TNI AL ...39 4.1.3 KKP ...40 4.2 Analisis Hukum ...42 4.2.1 Variabel Kewenangan ...42 4.2.2 Variabel Kewilayahan ...46 4.3 Analisis Kebijakan ...49 4.3.1 Analisis Strenght, Weakness, Opportunities, dan Threats (SWOT) ...50 4.3.2 Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) ...69 5 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ...73 4.1 Saran ...74 DAFTAR PUSTAKA ...75 LAMPIRAN ...77 x
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Faktor internal dan eksternal...17 2 Faktor Strategi Internal (IFAS) ...18 3 Faktor Strategi Eksternal (EFAS) ...18 4 Tabel SWOT ...18 5 Variabel kewenangan ...35 6 Variabel kewilayahan ...36 7 Tupoksi lembaga penegakan hukum ...41 8 Analisis Variabel Kewenangan ...43 9 Analisis Variabel Kewilayahan ...47 10 Perkembangan Alokasi Anggaran PSDKP tahun 2001 hingga tahun 2011 ...53 11 Alokasi Anggaran PSDKP berdasarkan Satuan Kerja tahun 2011 ...54 12 Jumlah Unit POKMASWAS di 17 Provinsi ...56 13 Matriks IFE efektivitas penegakan hukum ...58 14 Matriks EFE efektivitas penegakan hukum ...62 15 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan ...66 16 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan ...70 xiDAFTAR
GAMBAR Halaman 1 Zona ratifikasi UNCLOS 1982 ...13 2 Kerangka formulasi strategi ...15 3 Analisis SWOT ...16 4 Kerangka pemikiran ...33 5 Diagram venn tupoksi lembaga penegakan hukum ...41 6 Matriks IE ...64 xii
DAFTAR
LAMPIRAN Halaman 1 Alamat Polair daerah tingkat provinsi di seluruh Indonesia ... 78 2 Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat provinsi di seluruh Indonesia ...80 3 UPT Satker dan Pos PSDKP ...82 4 Jumlah personil patroli pada kapal PSDKP tahun 2007 hingga 2011 ...86 5 Daftar kapal PSDKP dan lokasi penempatannya ...87 6 Daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki oleh Polair ...89 7 Alokasi Anggaran PSDKP berdasarkan kegiatan tahun 2011 ...91 8 Jumlah masing-masing tindak pidana perikanan tahun 2007 hingga 2011 ...92 xiii1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persoalan illegal fishing di Indonesia mengakibatkan sektor kelautan dan perikanan tidak mampu dimanfaatkan secara optimal. Apabila dilihat dari segi ekonomi, kerugian yang diperoleh oleh pemerintah Indonesia cukup besar jumlahnya. Kerugian negara akibat praktik illegal fishing diperkirakan mencapai Rp 30 triliyun dalam setahun. Handoko (2004) dalam Nikijuluw (2008) mengatakan bahwa jumlah devisa yang hilang akibat perikanan illegal fishing berkisar $1,9 miliar atau sekitar 19 Triliun Rupian setiap tahunnya. Praktik illegal fishing juga menimbulkan dampak sosial, yaitu penyebaran virus HIV AIDS. Nelayan asing yang masuk ke perairan Indonesia tidak terdata dengan benar, mereka masuk dan dapat membawa virus mematikan yang menyebarkannya di wilayah yang mereka singgahi. Secara ekologi terdapat kerugian berupa rusaknya lingkungan dan ancaman over fishing. Hal ini dikarenakan, pemerintah belum mampu mengontrol praktik-praktik illegal fishing secara efektif. Terjadinya illegal fishing di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah kurangnya sarana dan prasarana lembaga penegak hukum. Selain itu, penegakan hukum juga dihadapkan pada tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum atau ego-sektoral penegakan hukum. Penegakan hukum di bidang perikanan melibatkan tiga lembaga sebagaimana yang dimandatkan oleh undang-undang, yaitu Kepolisian, Tentara Negara Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), dan Pengawas Sumberdaya Kelautan dan Periakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP). Penanganan illegal fishing juga telah dicoba untuk diselesaikan dengan menggunakan beberapa dasar hukum. Dasar hukum tersebut dapat berupa undang- undang, peraturan menteri dan keputusan menteri. Dasar hukum tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Lembaga-lembaga penegak hukum dan beberapa dasar hukum yang ada belum berlaku optimal. Lembaga belum menjalankan fungsinya dengan baik, dan dasar hukum belum dijalankan dengan optimal oleh lembaga penegak hukum. Berdasarkan paparan tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan”. 1.2 Permasalahan Permasalahan yang menjadi dasar pada penelitian ini antara lain: 1) Bagaimana tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan? 2) Apakah terdapat tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya? 3) Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menciptakan penegak hukum yang efektif di bidang perikanan? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Mengetahui tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan; dan 2) Menganalisis tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya; dan 3) Memberikan rekomendasi untuk mewujudkan penegakan hukum yang efektif.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak penegak hukum dibidang perikanan mengenai strategi yang tepat untuk pengawasan perikanan: 1) Manfaat bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan penegakan hukum di bidang perikanan; 2) Manfaat bagi dunia pendidikan diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengawasan perikanan; dan 3) Manfaat bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat menjadi pengetahuan baru bagi peneliti.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kelembagaan Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal ikhwal tentang lembaga, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Hal penting tentang lembaga tersebut meliputi (Purwaka 2008): 1) Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga dalam rangka mencapai tujuan; 2) Tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan landasan hukum yang rasional; 3) Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagiamana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum dengan argumentasi yang rasional; 4) Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi rasional; 5) Sumberdaya manusia yang dibutuhkan sebagai pelaksana kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasar hukum serta dengan argumentasi yang rasional; 6) Sumberdaya manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembagal; 7) Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional; 8) Jejaring kerja antar lembaga sebagaimana dapat dipahami melalui penafsiran dan penalaran terhadap lendasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional; dan 9) Hasil kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional. Hal penting tentang lembaga pertama sampai dengan keenam merupakan aspek statik (static aspects) dari kelembagaan yang disebut tata kelembagaan, sedangkan hal penting tentang lembaga ketujuh, kedelapan dan kesembilan merupakan aspek dinamik (dynamic aspects) dari kelembagaan yang disebut sebagai kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan (Purwaka 2008). Struktur kelembagaan dari suatu organisasi kelembagaan terdiri dari dua substruktur utama, yaitu tata kelembagaan dan kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan. Masing-masing substruktur kelembagaan tersebut mengandung komponen-komponen kapasitas potensial (potensial capacity), daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (absorptive capacity) (Purwaka 2008). Mekanisme kelembagaan adalah tata kelembagaan dalam keadaan bekerja atau bergerak. Oleh karena itu mekenisme kelembagaan bersifat dinamis, sedang tata kelembagaan bersifat statis. Tata kelembagaan terdiri dari (Purwaka 2008): 1) Kapasitas potensial (potensial capasity), yaitu kemampuan potensial dari tata kelembagaan yang harus dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Kapasitas potensial mencangkup: (1) Perumusan landasan hukum yang terdiri dari peraturan perundang- undangan yang diberlakukan sebagai aturan main kelembagaan; (2) Penetapan tujuan, perumusan strategi, untuk mencapai tujuan, dan perumusan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta perumusan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dari unsur-unsur kelembagaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan (4) Penempatan sumberdaya yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Daya dukung (carrying capacity), yaitu kemampuan tata kelembagaan untuk mendukung suatu aktivitas tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Daya dukung kelembagaan meliputi: (1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap utaian tugas pokok dan fungsi, dan landasan hukum kelembagaan yang berlaku, serta usaha pemberian argumentasi yang rasional terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut; (2) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional; (3) Penempatan sejumlah sumberdaya buatan sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional; dan (4) Pemberian beban tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kapasitas terpasang atau kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan yang ditempatkan, serta tujuan yang ingin dicapai. 3) Daya tampung (absorptive capasity), yaitu kemampuan menyerap dan/atau mengantisipasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi tanpa harus mengubah jati diri kelembagaan yang sudah ada. Daya tampung disebut juga daya lentur kelembagaan meliputi: (1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap perubaha lingkungan yang terjadi, serta pemberian argumentasi yang rasioanal terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut; dan (2) Upaya penyerasian, penyelarasan dan penyesuaian antara kondisi kelembagaan yang ada (existing condition) dan perubahan lingkungan kelembagaan.
Kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan yang merupakan tata kelembagaan dalam keadaan bergerak atau bekerja meliputi (Purwaka 2008):
1) Kapasitas potensial mekanisme kelembagaan untuk melakukan dan mengembangkan komunikasi, interaksi dan jejaring kerja kelembagaan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, sebagai perwujudan dari oprasionalisasi kapasitas potensial tata kelembagaan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung kelembagaan; 2) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi; 3) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan dalam mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi yang berdampak pada organisasi kelembagaan; dan 4) Optimalisasi sisa tata kelembagaan yang belum dikonversikan menjadi mekanisme kelembagaan melalui upaya penafsiran, penalaran dan argumentasi rasional untuk didaya gunakan menjadi kapasitas potensial, daya dukung dan daya tampung dalam kerangka interaksi kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan yang dinamis. Menurut Purwaka (2008) kapasitas yang harus ada dalam tata kelembagaan harus dituangkan dalam wujud sebagai berikut: 1) Visi, misi, tujuan dan objek; 2) Bentuk lembaga; 3) Struktur organisasi; 4) Uraian tugas pokok dan fungsi; 5) Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang diperlukan; dan 6) Kualitas dan kuantitas sumberdaya buatan yang diperlukan. Keberlanjutan suatu kegiatan yang mensyaratkan pentingnya partisipasi banyak pihak, mutlak memerlukan kerangka hukum (legal framework), agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Berkaitan dengan kerangka hukum, perlu diperhatikan pentingnya struktur hukum (legal structure), pelaksanaan mandat hukum (legal mendate) dan penegakan hukum (legal enforcement) (Purwaka 2008).
2.2 Penegakan Hukum Penegakan hukum dalam tataran teoritis, bukan hanya memberikan sanksi kepada orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan perundang-undangan, tetapi perlu pula dipahami bahwa penegakan hukum tersebut berkaitan dengan konsep penegakan hukum yang bersifat preventif. Namun demikian, terminologi penegakan hukum saat ini telah mengarah pada suatu tindakan yakni menjatuhkan sanksi pidana. Penegakan hukum yang ada kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan, dikaitkan dengan suatu tindakan yang akan memberikan sanksi kepada setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pelanggaran hukum ini sama halnya dengan pelanggaran pidana pada umumnya, yang prosesnya sama dengan pidana biasa yang sebelum diajukan ke pengadilan, maka terlebih dahulu didahului oleh suatu proses hukum yang lazim disebut penyidikan (Supriadi dan Alimudin 2011). Ketentuan pidana di bidang perikanan diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 104. Ketentuan pidana tersebut merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Hukuman pidananya tinggi dan berat sebagai salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana di bidang perikanan (Supratomo 2011). Ketentuan pidana terhadap sesuatu pelanggaran merupakan hal mutlak perlu bagi negara hukum. Menurut Supratomo (2011), berdasarkan ketentuan pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Tindak pidana yang menyangkut penggunaan bahan yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan/atau lingkungannya;
2) Tindak pidana sengaja menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang mengganggu dan merusak SDI di kapal perikanan; 3) Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran atau kerusakan SDI dan/atau lingkungannya; 4) Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan; 5) Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah; 6) Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang merugikan masyarakat; 7) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengelolaan ikan yang kurang dan/atau tidak memenuhi syarat; 8) Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan atau pengeluaran hasil perikanan dari atau ke wilayah negara Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan; 9) Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang membahayakan manusia dalam melakukan pengolahan ikan; 10) Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan tanpa SIUP; 11) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIPI; 12) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIKPI; 13) Tindak pidana memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; 14) Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal perikanan tanpa izin; 15) Tindak pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan; 16) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan asing; 17) Tindak pidana tanpa memiliki surat persetjuan berlayar; 18) Tindak pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah; 19) Tindak pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan UU Perikanan; 20) Tindak pidana yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil; dan tindak pidana melanggar kebijakan pengelolaan SDI yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil.
Penegakan hukum secara lebih rinci dijabarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kapal pengawasan perikanan pada Pasal 69 dijelaskan berfungsi untuk melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan RI, kapal juga dapat dilengkapi dengan senjata api. Kapal dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di WPP RI ke pelabuhan terdekat untuk proses lebih lanjut. Penyidik dan.atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 71 memberikan jabaran bahwa akan bibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang perikanan yang merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri. Pengadilan akan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Dijelaskan pada Pasal 73 bahwa penyidik tindak pidana di bidang perikanan di WPP RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau penyidik kepolisian. Penyidik dapat melakukan koordinasi pada forum koordinasi yang dibentuk oleh menteri dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan. Selain penyidik TNI AL, PPNS Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI. Penyidik terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan. Wewenang penyidik perikanan sebagaimana Pasal 73A antara lain menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan, memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya, membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya, menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan, menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan, memeriksa kelengkapan dan
keabsahan dokumen usaha perikanan, memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan, mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan, membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan, melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana, melakukan penghentian penyidikan,dan mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan. Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh jaksa agung hal ini sesuai dengan Pasal 75. Pada Pasal 76A dapat dilihat bahwa benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persejutuan ketua pengadilan negeri, dan pada Pasal 76B ayat 2 ditambahkan apabila berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Sedangkan barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri sesuai yang tercantum dalam Pasal 76B ayat 1. Ditambahkan pada Pasal 76C bahwa benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan dapat dilelang untuk negara. Pelaksana lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uang hasil pelelangan disetor ke kas negara sebagai penerimaan bukan pajak. Aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugas dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP. Sedangkan apabila benda yang dirampas berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan. Seluruh pelanggaran mengenai perikanan yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikananakan dikenakan sanksi pidana dengan pembayaran denda minimal Rp.200.000.000,00 hingga Rp.20.000.000.000,00 dimana besaran denda ini ditentukan dengan melihat jenis pelanggaran yang terjadi.
2.3 Wilayah Laut Indonesia Indonesia menurut Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS ’82) memiliki beberapa rezim laut yang dibedakan berdasarkan derajat dan tingkat kewenangan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan (Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara). 2.3.1 Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh bagi Indonesia atau dapat disebut juga sebutan wilayah kedaulatan Indonesia. Indonesia memiliki kedaulatan mutlak atas ruang udara dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Wilayah ini meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara, dan laut teritorial. 1) Perairan Pedalaman (Internal Waters). Perairan pedalaman merupakan wilayah Indonesia dimana terdapat kedaulatan mutlak dan kapal-kapal asing tidak mempunyai hak lintas. Perairan Indonesia merupakan laut yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal, atau laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup teluk di perairan kepulauan. 2) Perairan Nusantara atau Perairan Kepulauan (Archipelagic Water). Wilayah perairan ini dapat dipahami sebagai laut yang terletak di antara pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis pangkal, tanpa memperhatikan kedalaman dan lebar laut tersebut. Kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan prinsip lintas damai (innocent passage) dan bagi kepentingan pelayaran intenasional kapal asing juga memiliki hak lintas melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) atau sea lanes. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002, Indonesia memiliki tiga ALKI. Hak lintas kapal asing berdasarkan prinsip Lintas Damai dan ALKI memberdakan antara hak dan kewenangan antara perairan pedalaman dan perairan nusantara. 3) Laut Teritorial (Territorial Sea). Laut Teritorial merupakan wilayah perairan di luar perairan kepulauan yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal pantai. Indonesia memiliki kedaulatan penuh terhadapnya. Seperti halnya yang berlaku di wilayah perairan kepulauan, kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan Lintas Damai dan hak lintas berdasarakn ALKI.
2.3.2 Wilayah laut dengan hak berdaulat Wilayah laut dengan hak berdaulat adalah wilayah laut dimana suatu negara memiliki hak terhadap kekayaan alam yang dikandung serta memiliki kewenangan untuk mengatur beberapa hal di wilayah tersebut. 1) Zona Tambahan (Contiguous Zone). Zona tambahan ditetapkan sampai dengan 12 mil laut di luar laut teritorial atau sampai dengan 24 mil laut diukur dari garis pangkal pantai terluar. Pada zona ini Indonesia memiliki hak untuk dapat melaksanakan kewenangan tertentu dalam mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea cukai, keuangan/fiskal, kerantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan menjamin pelaksanaan hukum di wilayahnya. 2) Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economi Zone). Konvensi hukum laut 1982 Pasal 55 dan 56 ayat (1a) menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Lebar ZEE tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal pantai terluar. Indonesia di perairan ZEE memiliki hak berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati yang terdapat di kolom perairan. Hak berdaulat lainnya adalah berkenaan dengan kegiatan untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi seperti produk energi dari air, arus, dan angin. Indonesia juga memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan penelitian ilmiah kelautan, serta memberikan izin pembangunan pulau buatan, instalasi, dan bangunan laut lainnya. Pemerintah telah mengeluarkan dasar hukum untuk mengatur wilayah ini yakni pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Zonasi dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Zona ratifikasi UNCLOS 1982
3) Landas Kontinental (Continental Shelf). Landas kontinen merupakan wilayah dimana suatu negara pantai memiliki kewenangan atas kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya. Daerah di bawah permukaan yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinental (continental margin), atau hingga jarak 200 mil dari garing pangkal dari lebar laut teritorial diukur. Negara pentai diperbolehkan untuk menetapkan batasan luar landas kontinental lebih dari 200 mil dengan ketentuan: (1) Lebar maksimum tidak boleh lebih dari 350 mil laut diukur dari garis pangkal; (2) Tidak melebihi 100 mil laut diukur dari garis kedalaman 2500 m; (3) Tidak melebihi lebar 60 mil laut dari kaki lereng kontinen; (4) Garis terluar dengan titik-titik ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik-titik terluar dan kaki lereng kontinen. 2.3.3 Wilayah laut tanpa kedaulatan wilayah Wilayah laut tanpa kedaulatan adalah wilayah dimana negara tidak memiliki kewenangan. Wilayah ini meliputi perairan laut lepas dan kawasan dasar laut dalam Internasional 1) Laut Lepas (High Seas). Laut lepas merupakan bagian laut yang bukan wilayah negara maupun ZEE. Jadi Indonesia tidak memiliki kedaulatan atau hak berdaulat terhadapnya. Laut lepas bersifat terbuka, yakni terdapat kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan pipa di dasar laut, membangun pulau buatan dan instansi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, menangkan ikan hingga riset ilmiah. Kebebasan ini harus memperhatikan kepentingan negara lain di laut lepas dan memperhatikan hak-hak dalam konvensi hukum laut 1982 yang bertalian dengan kegiatan kawasan. 2) Kawasan Dasar Laut Dalam Internasional (Internasional Sea-Bed Area). Dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar yurisdiksi nasional. Kekayaan alamnya diperuntukan bagi warisan umum umat manusia (common heritage of mankind).
2.4 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) Analisis SWOT merupakan suatu metode yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat melihat seluruh kemungkinan perubahan masa depan sebuah organisasi melalui pendekatan sistematik dengan proses intropeksi dan mawas diri ke dalam, baik bersifat positif maupun negatif. Metode ini digunakan untuk meneliti adanya kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) bagi pelaksanaan kebijakan. Sehingga dalam pelaksanaannya, SWOT mengandung prinsip “kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap peluang, dan hilangkan ancaman”. Kerangka formulasi strategis dapat dilihat pada Gambar 2. Pengumpulan Data 1) Faktor internal Analisis data (Matriks SWOT) Pengambilan keputusan 2) Faktor Eksternal Gambar 2 Kerangka formulasi strategis Faktor internal merupakan aspek dari dalam yang mempengaruhi suatu organisasi dalam pengambilan suatu keputusan. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki akan dijadikan suatu kekuatan dalam perumusan suatu kebijakan. Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada digunakan sebagai pertimbangan untuk memperbaiki kinerja yang akan atau sedang dijalankan. Faktor eksternal merupakan aspek diluar organisasi yang mampu memberi pengaruh nyata terhadap proses penyusunan suatu kebijakan. Faktor ini meliputi peluang dan ancaman dari pelaksanaan kebijakan yang diambil. Aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, demografi dan teknologi erupakan hal yang sangat penting dalam perumusan kebijakan yang digunakan untuk pengembangan perikanan tangkap.
Peluang 3. Mendukung strategi turn around 1. Mendukung strategi agresif Kelemahan Kekuatan 4. Mendukung strategi defensif 2. Mendukung strategi diversifikasi Ancaman Gambar 3 Analisis SWOT (Rangkuti 2005) Keterangan : Kuadran 1 : Pada kuadran satu merupakan situasi yang menguntungkan, dimana lembaga penegak hukum mempunyai peluang dan kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan fungsi pengawasan. Contoh strategi yang dapat diterapkan disituasi ini adalah kerjasama pengadaan kapal patroli oleh lembaga Internasional; Kuadran 2 : Pada kuadran dua merupakan situasi terdapatnya ancaman, namun masih terdapat kekuatan internal yang mendukung dalam menjalankan fungsi pengawasan. Contoh strategi yang dapat diterapkan adalah penempatan kapal patroli pada titik rawan sering terjadi tindak pidana perikanan; Kuadran 3 : Kuadran tiga menggambarkan bahwa lembaga penegak hukum mempunyai peluang, akan tetapi masih terdapat kelemahan- kelemahan yang harus dihadapi. Cocok strategi yang dapat diterapkan adalah penguatan lembaga masyarakat untuk membantu pengawasan;
Kuadran 4 : Kuadran keempat merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan karena dalam dalam menjalankan fungsi pengawasan terdapat berbagai kelemahan yang berasal dari pihak
internal dan juga terdapat ancaman-ancaman dari pihak eksternal. Contoh strategi yang dapat dijalankan adalah menjalankan operasional yang sudah dijalankan selama ini.
Keputusan yang dihasilkan merupakan suatu strategi dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Strategi tersebut mempunyai empat kemungkinan:
1) Strategi SO : Strategi ini memanfaatkan seluruh kekuatan unuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya; 2) Strategi ST : Strategi ini memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk untuk mengatasi ancaman; 3) Strategi WO : Strategi ini bertujuan untuk memanfatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan yang ada; 4) Strategi WT : Strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Tahap pertama adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (ancaman dan peluang). Tabel 1 Faktor Internal dan Eksternal Faktor internal Faktor Eksternal Kekuatan ... ... Kelemahan ... ... Ancaman ... ... Peluang ... ... Tahap kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Menurut Rangkuti (2005) pembuatan matriks dilakukan sebagai berikut: 1) Pada kolom satu tabel diisi dengan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan (matriks strategi internal) serta peluang dan ancaman (matriks strategi eksternal); 2) Beri bobot pada masing-masing faktor pada kolom 2, dimulai dari 0,0 (tidak penting) hingga 1,0 (sangat penting); 3) Pada kolom tiga diisi rating dari masing-masing faktor, dimulai dari 4 (pengaruhnya sangat besar) sampai 1 (pengaruhnya sangat kecil). Untuk
ancaman dan kelemahan adalah sebaliknya. Apabila ancaman dan kelemahan sangat besar, maka diberi nilai 1 sedangkan apabila ancaman dan kelemahannya sangat kecil maka nilainya 4 ; 4) Pada kolom 4 diisi perkalian antara bobot dengan rating; 5) Jumlahkan total skor yang didapatkan dari kolom 4. Nilai total yang dihasilkan akan menunjukkan bagaimana reaksi suatu organisasi atau instansi terhadap faktor internal dan eksternal yang ada. Perhitungan nilai dimulai dari skala 1 sampai dengan skala 4. Tabel 2 Faktor Strategi Internal (IFAS)
Faktor Internal Bobot Rating Bobot x rating 1. Kekuatan ... ... 2.Kelemahan ... ... Tabel 3 Faktor Strategi Eksternal (EFAS)
Faktor Eksternal Bobot Rating Bobot x rating 1. Peluang ... ... 2.Ancaman ... ... Tahap ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel strategi SWOT. Tabel 4 Tabel SWOT IFAS EFAS Oportunities (O) Strengths (S) ... ... Weaknesses (W) ... ... ... ... Threats (T) ... ... Strategi SO Strategi WO Strategi ST Strategi WT
Pada analisis SWOT, semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang diperoleh dalam perhitungan maka kebijakan yang ditetapkan semakin tepat. Hal ini memberikan pengertian bahwa kebijakan tersebut dapat mengatasi adanya kelemahan dan ancaman yang ada. Sebaliknya, bila semakin kecil nilai totalnya, maka kebijakan yang dilaksanakan kemungkinan besar akan memberikan dampak yang tidak memuaskan bagi objek yang menjadi sasaran pelaksanaan kebijakan. 2.5 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM) Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) digunakan untuk membuat perangkat strategi dengan memperoleh daftar prioritas yang ada. QSPM merupakan suatu alat yang membuat para perencana strategi dapat menilai secara objektif strategi alternatif berdasarkan faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal yang telah diketahui terlebih dahulu. Matriks QSPM menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang disasarkan sampai seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap jumlah strategi dapat menyusun suatu rangkaian strategi tertentu. Namun, hanya strategi dari suatu rangkaian tertentu yang dapat dinilai relatif terhadap satu sama lain. Pengembangan QSPM membuat kemungkinan kecil faktor-faktor kunci terabaikan atau diberi bobot secara tidak sesuai. Meskipun dalam mengembangkan QSPM membutuhkan sejumlah keputusan subjektif, hal ini dapat membuat beberapa keputusan kecil sepanjang proses akan meningkatkan kemungkinan keputusan strategis akhir yang baik untuk organisasi (David, 2003). 2.6 Landasan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan 2.6.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Maret 1980 mengeluarkan pengumuman pemerintah tentang Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia (ZEEI). Undang-undang ini didasari atas pentingnya melindungi kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumberdaya alam non hayati, pelindungan dan pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan. Pengembangan ZEEI juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumberdaya alam di zona tersebut. Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia merupakan jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang- undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia (Pasal 2). Hak berdaulat dapat dilihat pada Pasal 4, bahwa Indonesia berhak melakukan kegiatan di ZEEI, antara lain Indonesia berhak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya, pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin. Indonesia berhak atas juridiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau buatan, instalasi, dan bangunan lainnya, penelitian ilmiah mengenai kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut juga diakui dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku. Selain bahwa kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi yang dilakukan harus berdasarkan izin dari Pemerintah RI atau berdasarkan persetujuan Internasional dengan Pemerintah RI dan dilaksanakan menurut syarat- syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut, kegiatan tersebut juga harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintan RI. Eksplorasi dan/atau eksploitasi sumberdaya alam hayati dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah RI untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia hal ini berdasarkan BAB IV tentang kegiatan-kegiatan di ZEEI Indonesia.
Aparatur penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan Pasal 13, dapat melakukan tindakan berupa penangkapan terhadap kapal dan/atau orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEEI yang meliputi tindakan penghentian kapal sampai menyerahkan kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan dimana perkara dapat diproses lebih lanjut. Tindakan penangkapan oleh aparatur penegakan hukum ini harus dilaksanakan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu tujuh hari kecuali bila terdapat keadaan mendesak. Pasal 14 menjabarkan bahwa aparatur penegak hukum adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang yang melanggar tersebut. Pasal 15 menjelaskan bahwa permohonan pembebasan terhadap pihak yang melanggar tersebut dapat dilakukan setiap saat sebelum ada keputusan dari pengadilan negeri yang berwenang. Permohonan dapat dikabulkan apabila sudah menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan. Ketentuan pidana dapat dilihat pada Pasal 16 dicabut, hal ini berdasarkan Pasal 110 ayat (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 2.6.2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain: 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok pada Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas antara lain: 1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; 3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; 4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; 6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; 7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; 8) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; 9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; 11) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; 12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dikatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugasnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan. Tindakan bertujuan untuk membantu tugas Kepolisian Begara Republik Indonesia dalam memberantas tindak kejahatan yang ada. Tindakan tersebut antara lain sebagai berikut: 1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8) Mengadakan penghentian penyidikan; 9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau Mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan 12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2.6.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang juga merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tersebut belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Selain itu, undang-undang ini disahkan juga dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan yang belum memberikan peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal. Pasal 5 menerangkan bahwa Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) merupakan wilayah untuk penangkapan ikan dan budidaya ikan meliputi perairan Indonesia, ZEEI, dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
dapat diusahakan sebagai lahan budidaya ikan. Pengelolaan perikanan di luar wilayah tersebut dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Dijelaskan pada Pasal 8 bahwa setiap orang baik nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, Anak Buah Kapal (ABK) yang melakukan penangkapan ikan, pemilik kapal, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan serta pemilik perusahaan pembididaya ikan, kuasa pemilik perusahaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidaya ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bengunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di WWP Republik Indonesia. Penggunaan alat, cara, bangunan dan bahan-bahan tersebut diperbolehkan hanya untuk penelitian yang diatur dalam peraturan pemerintah. Ketentuan selanjutnya pada Pasal 9 bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan di kapal penangkapan ikan di WPP Republik Indonesia. Ketentuan mengenai API dan/atau alat bantu penangkapan ikan tersebut diatur dengan peraturan menteri. Pada Pasal 12 dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di WPP Republik Indonesia. Setiap orang juga dilarang membudidayakan ikan, membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika dan menggunakan obat-obatan dalam pembudidayakan ikan yang dapat membahakan sumberdaya ikan, lingkungan sumberdaya ikan, dan/atau kesehatan manusia di WPP Republik Indonesia yang lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah. Ketentuan larangan selanjutnya pada Pasal 16 bahwa setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidaya ikan, sumberdaya ikan, dan/atau lingkungan sumberdaya ikan ke dalam dan/atau ke laut WPP Republik Indonesia