• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian Terhadap Masalah yang Relevan Sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, penelitian yang relevan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian Terhadap Masalah yang Relevan Sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, penelitian yang relevan dengan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Terhadap Masalah yang Relevan Sebelumnya

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, penelitian yang relevan dengan

penelitian ini yaitu: Venesianty Jafar Tuna tahun 2005 tentang Analisis Kohesi Cerpen “Ibu” Karya Sumartono. Penelitian ini terfokus dalam kajian tentang

kohesi pada cerpen “Ibu” karya Sumartono, yang sarana-sarana kohesi itu terdiri

dari prominal, subsitusi, elipsis, konjungsi, dan leksikal. Metode dan teknik

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan

teknik dokumentasi. Hasil analisis yang diuraikan pada bab pembahasan

mennguraikan jumlah penggunaan pada kohesi yang terdiri atas promina,

subsitusi, elipsis, konjungsi dan leksikal.

Berdasarkan hasil penelitian relevan oleh Venesianty Jafar Tuna. Penelitian

tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan

yang terdapat pada penelitian Venesianti Jafar Tuna dan penelitian ini yaitu

sama-sama mengkaji tentang kohesi, metode yang digunakan pun sama-sama, yaitu

menggunakan metode deskriptif dan tekhnik dokumentasai, dan sama-sama

menggunakan karya sastra sebagai objek penelitian. Perbedaan dari penelitiannya

Venesianty Jafar Tuna dengan penelitian ini adalah penelitian tersebut

mengangkat judul tentang kohesi, sedangkan penelitian ini terfokus pada kohesi gramatikal saja. Objek yang digunakan pada penelitian diatas adalah cerpen “Ibu”

Karya Sumartono sedangkan penelitan ini menggunakan novel autobiografi “Habibie dan Ainun”.

(2)

2.2 Kajian Teori

2.2.1 Pengertian Kohesi

Kohesi adalah suatu konsep semantik yang menampilkan hubungan makna

antar unsur teks, dan menyebabkannya dapat disebut teks. Kohesi terjadi apabila

interpretasi salah satu unsur teks tergantung dari unsur lainnya. Unsur yang satu

berkaitan dengan yang lain. Unsur tersebut benar-benar dapat dipahami tanpa

yang lain. Kaitan makna yang ini disebut kohesi. Menurut Halliday dan Hasan

(dalam Zaimar dan Harapan 2009:115), kohesi adalah keterkaitan semantis antar

unsur pembentuk wacana. Kohesi merupakan konsep semantik yang juga merujuk

kepada perkaitan kebahasaan yang didapati pada suatu ujaran yang membentuk

wacana.

Kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh

penggunaan unsur bahasa.Yayat Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa kohesi

merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah

kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Sedangkan

Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik (2006: 88) menyatakan bahwa kohesi

adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsur

bahasa. (Gutwinsky dalam Yayat Sudaryat, 2008: 151) menyatakan bahwa kohesi

mengacu pada hubungan antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran

gramatikal maupun tataran leksikal. Contoh (Rani, dkk 2006: 88):

“Perkuliahan Bahasa Indonesia acapkali sangat membosankansehingga tidak mendapat perhatikan sama sekali dari mahasiswa. Hal Itu disebabkan bahkan kuliah yang disajikan dosen sebenarnya merupakan masalah yang sudah diketahui oleh mahasiswa atau merupakan masalah yang tidak diperlakukan mahassiswa. Di samping itu, mahasiswa sudah mempelajari Bahasa Indonesia sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar atau sekurang-kurangnya sudah mempelajari Bahasa Indonesia selama dua belas tahun, mersa sudah mampu menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, memilih atau menentukan bahan

(3)

kuliah yang akan diberikan kepada mahasiswa merupakan kesulitan tersendiri bagi paa pengajar Bahasa Indonesia”.

Kata Penghubungkan informasi antarkalimat dalam wacana di atas

digunakan kata hal itu, di samping itu, dan akibatnya. Kata-kata pengikat ide itu

dapat dilihat dengan jelas. Oleh sebab itu, kata-kata itu disebut penanda katon

atau pengikat formal. Selanjutnya, istilah yang digunakan untuk mengacu penanda

katon pengikat formal itu disebut Piranti Kohesi

2.2.1.1 Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal adalah kohesi yang terbentuk oleh tata bahasa. Menurut

Halliday dan Hasan (dalam Zaimar dan Harapan 2009:117) kohesi gramatikal

dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori, yaitu referensi, subsitusi, elipsis,

konjungsi.

1. Kohesi Referensi

Referensi menampilkan hubungan antara bahasa dan dunia. Dalam setiap

bahasa yang tidak dipahami berdasarkan dirinya sendiri, melainkan merujuk

(mengacu) pada hal untuk pemahamannya, informasi yang diberikannya

rergantung pada hal lain. Ini adalah salah satu alat kohesi, yaitu yang disebut

referensi. Dalam hal ini, informasi yang didapat kembali itu adalah identitas

sesuatu yang diacu, yang bersifat khas.

Kohesi terletak pada kontinuitas acuan. Ketika hal yang sama masuk ke

dalam wacana untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnnya. Suatu unsur

yang mempraanggapkan, mempunyai makna yang sesuai dengan hal lain yang

(4)

dengan hal lain yang diacu. Untuk dapat memahami referensi, terlebih dahulu kita

perlu mengenal sistem rujukannya, yaitu referensi tekstual (endofora) dan

referensi situasional (eksofora). Sebelum penjelasannya, terlebih dahulu di sini

akan dikemukakan bagan referensi menurut Halliday dan Hasan: 1976(dalam

Zaimar dan Harapan, 2009:18):

REFERENSI

Refernesi Tekstual Referensi Situasional (endofora) (eksofora)

Anafora Katafora

Acuan tetap acuan Berfariasi

a. Kohesi Referensi Situasional (Eksofora)

Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap antiseden di luar bahasa, yaitu pada konteks situasi. Contoh: “Itu matahari”. Kata itu pada tuturan tersebut

mengacu pada sesuatu diluar teks, yaitu „benda yang berpijar yang menerangi

alam ini‟(Rani dkk, 2006:99).

Teks ada unsur yang tidak dipahami apabila tidak dibantu oleh informasi

(sesuatu) yang lain. Teks itu tidak dipahami berdasarkan dirinya sendiri,

melainkan harus mengacu pada sesuatu yang lain. Apabila yang diacu itu berada

di luar teks, maka biasanya disebut referensi situasional. Hal ini terdapat dalam

(5)

juga hal-hal yang berada di sekitar tempat berlangsungnya komunikasi (Zaimar

dan Harapan, 2009:118).

b. Referensi Tekstual (Endofora)

Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di

dalam bahasa (ekstratekstual), seperti manusia, hewan, alam sekitar pada

umumnya, atau acuan kegiatan. Referensi endofora adalah pengacuan terhadap

anteseden yang terdapat di dalam teks (intertekstual) dengan menggunakan

pronomina, baik pronomina persona, pronomina demonstrativa, maupun

pronomina komparatif. Pengacu dan yang diacu adalah koreferensial (halliday dan

Hasan:1979, lyons:1985, Dardjowidjojo, 1986, Malmkjaer, 1991 dalam Rani dkk,

2006:98).

Berdasarkan arah acuannya, referensi endofora dibedakan menjadi dua

macam, yaitu referensi anafora dan katafora (Halliday dan Hasan dalam Rani,

dkk,2006:98). Referensi anafora adalah pengacuan oleh pronomina terhadap

antiseden yang terletak di kiri. Sebaliknya, referensi katafora adalah pengacuan

pronomina terhadap anteseden yang terletak di kanan. Dalam analisis wacana,

referensi katafora dianggap sebagai tanduk si penutur. Contoh: (Rani, dkk,

2006:98) “Yang merah yang aku senangi” maksud dari kata yang merah hanya

dapat ditafsirkan dengan melihat tuturan sebelumnya. Akan tetapi, jika ada

kalimat: Ton, di lemari ada celana, kemeja, rok, dan jilbab. Itu boleh kamu pakai.

Yang dimaksud dengan itu adalah celana dan kemeja dan bukan rok dan jilbab

karena dari pengetahuan tentang dunia bahwa Tono sebagai laki-laki tidak

(6)

pengetahuan tentang dunia ini pun juga menentukan referensi itu sekaligus

menentutukan makna tuturan.

Referensi endofora yaitu referensi kepada sesuatu (anteseden) yang berada

di dalam teks. Dengan kata lain, sesuatu yang diacu dapat ditemukan di dalam

teks. Jika yang diacu (antiseden) lebih dahulu dituturkan atau ada pada kalimat

yang lebih dahulu sebelum pronomina dinamakan anafora sedangkan antiseden

yang ditemukan sesudah pronomina dinamakan katafora. Baik referensi yang

bersifat anafora maupun katafora menggunakan pronomina persona, pronomina

penunjuk, dan pronomina komparatif. Pronomina persona adalah deiktis yang

mengacu pada orang secara berganti-ganti bergantung pada “topeng” yang

diperankan oleh partisipan wacana.

Pronomina yang berfungsi sebagai alat kohesi adalah pronomina persona

pertama, persona kedua, dan persona ketiga, baik tunggal maupun jamak, baik

anafora maupun katafora. Pronomina demonstratif adalah kata deiktis yang

dipakai untuk menunjuk (menggantikan) nomina. Dilihat dari segi bentuknya,

promina demonstrasi dibedakan antara promina demonstrasi tunggal, seperti ini

dan itu, promina demonstrasi turunan, seperti berikut dan sekian, pronomina

demonstrasi gabungan seperti di sini, di situ, di sana, di sana sini, pronomina

demonstrasi reduplikasi, seperti begitu-begitu (Kridalaksana, dkk 1985 dalam

Rani, dkk, 2006:102). Pronomina komperatif adalah deiktis yang menjadi

bandingan bagi antisedennya. Kata-kata yang termasuk kategori pronomina

komparatif antara lain: sama, persis, identik, serupa, selain, berbeda, dan

(7)

Ada dua jenis referensi dalam teks, yaitu referensi pronomina dan referensi

demonstratif. Referensi pronomina persona 1 tunggal, berbentuk bebas, yaitu saya

dan referensi ponomina persona 1 jamak yaitu kami Sumarlan:2005( dalam Darma

2009:37)

2. Kohesi Subsitusi

Subsitusi adalah penyulihan suatu unsur wacana dengan unsur lain yang

acuannya tetap sama. Dalam hubungan antarbentuk kata atau bentuk lain yang

lebih besar daripada kata, seperti frase atau klausa (Halliday dan Hasan 1978

dalam Rani, Dkk,2006: 105). Subsitusi adalah penggantian suatu unsur dalam teks

oleh unsur lain. Seperti dalam referensi, dalam subsitusi juga dikenal sistem

rujukan, meskipun terutama rujukan tekstual saja (endofora) baik yang berupa

anafora maupun katafora. Sistem rujukan situasional jarang ada dalam kategori

ini. Hal ini mudah dipahami karena subsitusi adalah penyulihan (penggantian)

suatu unsur bahasa sebabnya sering ada kesulitan dalam membedakan referensi

dengan subsitusi. Untuk itu, perlu dikemukakan persamaan dan perbedaan di

antara kedua kategori kohesi ini ( dalam Zaimar dan Harapan, 2009: 124), yaitu:

a) Subsitusi lebih mengemukakan hubungan kata-kata (baik gramatikal maupun

leksikal), sedangkan referensi mengemukakan hubungan makna. Dengan

demikian, subsitusi adalah hubungan antar unsur linguistik, misalnya

hubungan antar kata, frase, atau klausa. Itu berarti subsitusi merupakan

hubungan yang ada pada tataran lexico-Grammatikal, yaitu tataran tata

bahasa dan kosa kata, jadi tataran bentuk linguistik. Padahal, referensi berada

(8)

b) Subsitusi adalah hubungan antarunsur yang berada dalam teks, sesuatu yang

digunakan untuk menggantikan pengulangan. Dalam persyaratan wacana

yang baik, selalu ada pengulangan. Suatu unsur teks seringkali diulang-ulang

untuk memperjelas makna. Itulah sebabnya maka diperlukan unsur-unsur

bahasa yang lain untuk menggantikan pengulangan kata, antara lain dengan

unsur gramatikal agar tidak membosankan, dan wacana tampak lebih

bervariasi, tidak memberikan kesan”berat” sedangkan dalam referensi, yang

penting adalah bahwa baik unsur yang mengacu maupun unsur yang diacu mempunyai referen (acuan) yang sama dalam dunia”nyata”.

c) Subsitusi memiliki kemiripan dengan referensi karena keduanya secara

potensial bersifat anaforis pada dasarnya, referensi merupakan hubungan

semantik. Dalam referensi, suatu unsur bahasa dapat mengacu ke unsur

bahasa yang sudah disebut sebelumnya (anafora) atau keunsur bahasa yang

dituturkan sesudahnya (katafora) maupun keluar teks (eksofora) (Zaimar dan

Harapan,2009: 124).

3. Kohesi Elipsis

Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana, artinya tidak

hadir dalam komunikasi tetapi dapat dipahami. Pengertian itu tentunya didapat

dari konteks pembicaraan, terutama konteks tekstual. Dalam elipsis, ada unsur

yang hilang, dan unsur itu merupakan celah dalam struktur yang harus diisi dari

bagian lain teks itu. Jadi elipsis mengacu pada kalimat, klausa, frasa ataupun kata

yang hadir dalam teks sebelumnya, yang kemudian menjadi sumber bagi

(9)

Yayat Sudaryat (2008: 155) mengatakan elipsis merupakan penghilangan

satu bagian dari unsur kalimat. Sebenarnya ellipsis sama dengan subtitusi, tetapi

elipsis disubtitusi oleh sesuatu yang kosong. Elipsis biasanya dilakuakan dengan

menghilangkan unsur-unsur wacana yang telah disebutkan sebelumnya.

Sedangkan pendapat harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana,2005:280) elipsis

(penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan

kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan dapat diperkirakan wujudnya

dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa.

Menurut Halliday dan Hasan (dalam Zaimar & Harapan 2009:127) elipsis

ini sama betul dengan subsitusi, hanya saja, bila dalam subsitusi ada unsur bahasa

yang menggantikan dalam elipsis sama sekali tidak ada. Jadi dikatakan bahwa

elepsis adalah subsitusi kosong. Ducrot dan Todorov (dalam Tarigan, 1985: 144)

menyatakan elipsis merupakan penghilangan salah satu unsur penting dalam

konstruksi sintaksis yang lengkap. Contoh:

Tuhan selalu memberikan kekuatan, ketenangan, ketika saya menghadapi saat-saat yang menentukan dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih.

Kalimat kedua yang berbunyi terima kasih merupakan elipsis. Unsur yang

hilang adalah subjek dan predikat. Kalimat tersebut selengkapnya berbunyi:

Tuhan selalu memberikan kekuatan, ketenangan, ketika saya menghadapi

saat-saat yang menentukan dalam penyusunan skripsi ini. Saya mengucapkan terima

kasih.

4. Kohesi Konjungsi

Konjungsi adalah partikel yang dipergunakan untuk menggambungkan kata

(10)

atau paragraf dengan paragraf Kridalaksana (dalam Zaimar dan Harapan,

2009:130). Konjungsi berfungsi untuk merangkaikan atau mengikat beberapa

proposisi dalam wacana agar perpindahan ide di dalam wacana itu terasa lembut.

Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan

untuk merangkaikan ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun

antarkalimat.

Klasifikasi kohesi konjungsi berdasarkan hubungan proposisi yang

diwujudkan dalam dua kalimat. Pengklasifikasi piranti kohesi tersebut

berdasarkan jenis hubungan yang diciptakan:

1) Piranti Penambahan

Penambahan berguna untuk menghubungkan bagian yang bersifat

menambahkan informasi dan pada umumnya digunakan untuk merangkaikan dua

proposisi atau lebih. Kata yang digunakan yaitu dan, juga, baik, maupun, lagi

pula, selain, itu, tambahan pula. Contoh:

Tingkah lakunya menawan. Tutur katanya sopan. Murah senyum, jarang marah, dan tidak pernah berbohong. Juga tidak mau mempercakapkan orang lain. Selain itu, ia suka menolong sesama teman. Dan dia penyabar.

2) Piranti Penegasan

Piranti ini digunakan untuk usaha menyampaikan proposisi kepada

penerima, pengirim pesan agar dapat dipahaminya. Kata yang digunakan yaitu:

bahkan, malahan, lebih-lebih, apalagi (Rani, dkk, 2006). Contoh:

Demikian juga dengan pilihan kata penggunakan struktur kalimat, antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki cara yang berbeda-beda. Bahkan, dapat terjadi bahwa bahasa-bahasa orang yang satu daerah juga banyak memiliki perbedaan.

(11)

3) Piranti Pertentangan (Kontras).

Piranti pertentangan terjadi apabila ada dua ide atau proposisi yang

menunjukkan kebalikan atau kekontrasan. Piranti yang digunakan yaitu tetapi,

padahal, meskipun, biarpun, sekalipun, namun, walaupun, sedangkan, sebaliknya,

kendatipun, kendatipun demikian, biarpun demikian/begitu, sungguhpun,

demikian/begitu, meskipun demikian/ begitu (Rani, dkk, 2006:120). Contoh:

Nyamuk berseliweran, pengemis, pelacur, pencoleng, dan gelandangan berkeliaran.

Namun, di kampung kumuh tersebut sedang dibangun sekolah mewah”.

4) Piranti Pilihan

Piranti Pilihan digunakan menyatakan pilihan antara dua hal. Konjungsi

yang digunakan yaitu : atau, entah...entah. contoh:

Fitri bingung ingin mencari pekerjaan atau menenurskan studinya. 5) Piranti Waktu

Piranti waktu merupakan proposisi yang menunjukkan suatu hubungan

kesejajaran atau urutan waktu (Rani, dkk, 110). Konjungsi yang digunakan yaitu:

Sesudah, setelah, sebelum, sehabis, sejak, selesai, ketika, tatkala, sewaktu,

sementara, sambil, seraya, selama, hingga, sampai kemudian, sesudah itu,

selanjutnya, sebelum itu, akhirnya”. Contoh:

Yanti bangun tidur pukul 05.00, kemudian ambil air wudhu. Setelah itu dia menunaikan sholat subuh dengan khusyuk. Lalu tak lupa ia mengaji.

6) Piranti Syarat

Piranti syarat merupakan proposisi yang menunjukkan suatu hubungan

syarat. Kata yang digunakan yaitu: jika, kalau, asalkan, bila, manakala,

seharusnya (Zaimar dan Harapan, 2009135). Contoh:

(12)

7) Piranti Misalan atau Contohan

Piranti misalan atau contohan berguna untuk menghubungkan bagian yang

satu dengan bagian lain yang menunjukkan contoh atau misalan. Kata yang

digunakan yaitu: Andaikan, seandainya, umpamanya, misalnya, contohnya (Rani,

dkk, 2006: 124). Contoh:

Departemen Tenaga Kerja bisa juga menyidik seseorang hingga jadi terdakwa di meja hijau. Contohnya, Hakim Kuastin Efendi dari Pengadilan Negeri Medan telah memvonis Nyonya Tio Kaso, 4 tahun, dengan hukuman denda p 10 ribu atau kurungan selama tujuh hari pada 6 Maret silam. Padahal, yang menyidik Nyonya Tio itu adalah M. Puba, seorang pegawai pada Dinas Tenaga Kerja Medan.

8) Piranti Tujuan

Piranti tujuan terjadi sebagai pewujudan untuk menyatakan tujuan yang

ingin dicapai. yang digunakan yaitu: agar, supaya, untuk. Contoh:

Pemerintah hendaknya membangun sekolah, agar rakyat menjadi pandai. 9) Piranti Konsesif

Dalam memberikan penjelasan, adakalanya, pengirim pesan mengakui

sesuatu kelemahan atau kekurangan yang terjadi di luar jalur yang dibicarakan.

Pengakuan itu disadari oleh pengirim pesan, tetapi yang bersangkutan. Pengakuan

itu dapat dinyatakan dengan kata memang atau tentu saja. Proposisi pengakuan itu

disadari oleh pengirim pesan, tetapi yang bersangkutan tidak dapat mengatasi hal

yang diakui itu( Rani, dkk, 2006:126). Contoh:

Apabila terdapat bahasa Indonesia logat yang bersifat geografis atau horisontal atau lebih dapat bersifat etnis, tedapat pula bahasa Indonesia logat yang bersifat sosial atau vertikal atau besifat profesi. Para pemuda, misalnya, memakai bahasa Indonesia yang tercampur dengan istilah dan ungkapan yang khusus mereka pahami sendiri, sedangkan orang lain, terlebih orang-orang tua, sukar sekali atau tidak dapat memahami bahasa pemuda semacam itu. Memang, dapat dipahami bahwa kelompok-kelompok sosial tertentu seperti wartawan, dokter, pedagang, makelar, nelayan, pelaut, seniman-seniwati, dan kelompok sosial yang lain mempeergunakan banyak istilah dan ungkapan profesi tertentu sehingga menyebabkan orang lain di luar kelompok mereka sukar memahami bahasa Indonesia mereka.

(13)

Kata piranti lainnya yang digunakan yaitu: biarpun, meskipun, sekalipun, walaupun, sungguhpun, kendatipun.

10) Piranti Pemiripan.

Kata yang digunakan yaitu: seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti,

sebagai, laksana ( Zaimar dan Harapan, 2009:236). Contoh:

Kedua sejoli itu merasa seakan-akan dunia milik mereka. 11) Piranti Kausal/Sebab-Akibat.

Terjadi apabila salah satu proposisi menunjukkan penyebab terjadinya suatu

kondisi tertentu yang merupakan akibat atau sebaliknya. Kata yang digunakan

yaitu: Oleh sebab itu, oleh karena itu, sehingga, maka, sampai-sampai, karena itu,

oleh sebab itu, konsekuensinya. Contoh:

Adik sakit sehingga tidak masuk sekolah. 12) Piranti Penjelasan.

Dalam menyampaikan pikiran, perasaan, peristiwa, keadaan, dan sesuatu

hal, adakalanya, seorang penyampai merasa belum puas dalam penyampaiannya.

Ia merasa apa yang disampaikan belum seluruhnya dipahami oleh penerima,

untuk itu perlu ada penjelasan agar apa yang disampaikan dipahami oleh

penerima. Kata yang digunakan yaitu: yang dimaksud, Artinya. Contoh:

Faktor yang keempat, yaitu saluran. Yang dimaksud saluran dalam pembicaraan ini adlah alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam suatu kegiatan bertutur.

(14)

Piranti tersebut digunakan untuk mengantarkan bagian yang masih

menimbulkan keraguan. Kata yang digunakan adalah jangan-jangan, barangkali,

mungkin, kemungkinan besar dan sebagainya (Rani, dkk, 2006: 125) contoh:

Tidak banyak tokoh yang tampil dua kali dalam kulit muka majalah Tempoh. Yustedjo Tarik termasuk dalam jumlah sedikit itu. Kali pertama, ketika ia membawa mendali emas dari Asian Games di New Delhi 1982. Kali keduannya, padaa pekan ini. Mungkin, karena Yustedjo mempunyai daya tarik kuat untuk menjadi berita.

14) Piranti Ringkasan dan Simpulan

Piranti ini beguna untuk mengantarkan ringkasan dari bahwa bagian yang

berisi urasian. Biasanya, ringkasi berupa simpulan yang ditarik dari sejumlah data

yang telah diungkapkannya. Kata-kata yang biasanya digunakan untuk

mengantarkan ringkasan dan simpulan misalnya singkatannya, pendeknya, pada

umumnya, jadi kesimpulannya, dengan ringkasnya dan sebagainya ( Rani, dkk,

2006:123). Contoh:

Hukum tidak hanya untuk orang kaya. Semua orang mempunyai derajat yang sama di depan hukum. Hukum tidak memandang kaya atau miskin, pria atau wanita, tua atau muda, pembesar atau rakyat jelata, dan ABRI atau bukan ABRI. Jadi, hukum berlaku untuk siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

Ada dua jenis konjungsi menurut Sumarlan: 2005 ( dalam Darma, 2009: 39)

yaitu konjungsi sekuensial dan konjungsi optatif. Konjungsi sekuensi menyatakan

hubungan makna urutan antara tuturan sebelum konjungsi dansesudahn konjungsi misalnya “ Terima kasih Pak, lalu adalah konjungsi sekuensial. Konjungsi optatif

menyatakan hubungan makna harapan, yaitu harapan si penerima pesan,

misalnya: semoga orang yang meninggal itu tergolong khusnul khotimah.”

Konjungsi semoga merupakan konjungsi optatif.

(15)

Novel merupakan suatu ragam sastra yang memberikan gambaran

pengalaman manusia, yang disusun berdasarkan peristiwa, tingkah laku tokoh,

waktu dan plot, suasana dan latar Watt (dalam Tuloli, 2000:17). Dalam arti luas

adalah cerita berbentuk prosa dalam bentuk luas. Ukuran yang luas di sini dapat

berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang

kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun “ukuran luas” di sini juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas

hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya temanya, sedang karakter, seting,

dan lain-lainnya hanya satu saja (Sumardjo dan Saini, 1986:29). Novel merupakan

salah satu ragam sastra yang yang diciptkan pengarang berdasarkan pengalaman

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini adalah menerapkan sistem penilaian ujian essay secara otomatis berbasis web secara online menggunakan metode GLSA, menghasilkan

Fungsi kawasan sesuai dengan Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) ada 4 fungsi kawasan. Fungsi kawasan tersebut yaitu kawasan

8 Sebab pikirnya: "Jika Esau datang menyerang pasukan yang satu, sehingga terpukul kalah, maka pasukan yang tinggal akan terluput." 9 Kemudian berkatalah Yakub:

Melangsungkan pernikahan dibawah umur di Jorong Galagah Nagari Alahan Panjang dilakukan dengan motif untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,

Penelitian ini lebih menekankan pada kesadaran merek & citra merek karena kedua komponen tersebut pada dasarnya memiliki hubungan yang sama-sama kuat & keduanya merupakan

Kebera- daan patogen CVPD pada bibit tidak cukup dengan melihat gejala saja karena bakteri mungkin sudah ada, tetapi belum menampakkan gejala, apalagi gejala

Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan keterampilan menulis karangan eksposisi dengan penerapan strategi pembelajaran Writing in the Here and Now (menulis di sini dan

Pada penelitian ini semua hasil isolasi DNA yang diperoleh, dielektroforesis pada agarosa 1 % (Gambar 1). DNA total sapi yang dielektroforesis umumnya terlihat band