• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PENCERNAAN TIKUS PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN DAN FRAKSI POLIFENOL LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN HISTOPATOLOGI PENCERNAAN TIKUS PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN DAN FRAKSI POLIFENOL LAMTORO MERAH (Acacia villosa)"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PENCERNAAN TIKUS

PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN

DAN FRAKSI POLIFENOL

LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

LIA RAHMI WURAGIL

B04103179

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

LIA RAHMI WURAGIL. B04103179.

Gambaran Histopatologi Pencernaan Tikus pada Pemberian Fraksi Asam Amino non-Protein dan Fraksi Polifenol Lamtoro Merah (Acacia villosa). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan WIWIN WINARSIH.

Acacia villosa merupakan tanaman leguminosa pohon yang berbentuk semak dari keluarga Mimosoideae. Acacia villosa memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 22-28% sehingga berpotensi sebagai sumber protein pakan ternak. Selain mengandung protein tinggi, A. villosa mengandung bahan antinutrisi diantaranya tanin dan asam amino non-protein. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ pencernaan tikus yang diberi fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol Acacia villosa secara intragastrik. Sebanyak 18 ekor ti kus putih jenis Sprague-Dawley dibagi dalam tiga kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol (diberi aquadest), kelompok diberi fraksi AANP dan kelompok yang diberi fraksi polifenol (Rahmawati 2006; Pujian 2006). Studi histopatologi yang dilakukan dengan cara mengamati sediaan alat pencernaan (lambung, usus halus, sekum) di bawah mikroskop. Lesio atau kelainan histopatologi yang ditemukan dibandingkan derajat keparahannya antar kelompok perlakuan dan disajikan secara deskriptif. Perubahan histopatologi yang ditemukan pada setiap organ pencernaan dikelompokkan menjadi tiga derajat keparahan yaitu ringan (+), sedang (++) dan berat (+++) yang disajikan secara deskriptif. Secara umum hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa lambung mengalami kongesti, he morrhagi, deskuamasi epitel dan edema submukosa; usus halus mengalami kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan hiperplasia sel epitel; serta sekum mengalami kongesti, hemorrhagi, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan edema submukosa. Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi disimpulkan bahwa fraksi AANP lebih toksik dibandingkan polifenol terhadap lambung, sedangkan terhadap usus halus dan sekum kedua fraksi memiliki efek yang hampir sama.

Kata kunci : Acacia villosa, organ pencernaan, asam amino non-protein dan polifenol

(3)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PENCERNAAN TIKUS

PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN

DAN FRAKSI POLIFENOL

LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

LIA RAHMI WURAGIL

B04103179

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Penelitian : Gambaran Histopatologi Pencernaan Tikus pada Pemberian Fraksi Asam Amino Non-Protein dan Fraksi Polifenol Lamtoro Merah (Acacia villosa)

Nama : Lia Rahmi Wuragil

NIM : B04103179

Disetujui oleh,

Dr. drh. Eva Harlina, MSi Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan

(5)

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Sebuah penghargaan yang tak terlupakan penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :

• Kedua orangtua tercinta Drs. Sumar dan Siti Aisyah yang selalu memberikan do’a, dukungan, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis, serta kakak-kakakku tersayang Nurul Hidayat, Fajar Adhima, Buyung Bahari, Irfan Afandi dan Jenawati.

• Dr. Drh. Eva Harlina, MSi sebagai dosen pembimbing pertama atas segala bimbingan, didikan, perhatian, waktu serta kesabaran yang telah diberikan kepada penulis.

• Dr. Drh. Wiwin Winarsih, Msi sebagai dosen pembimbing kedua atas segala waktu, bimbingan, perhatian serta kesabaran yang telah diberikan kepada penulis.

• Drh. Ekowati Handharyani, MS Ph. D sebagai dosen penguji atas segala masukan yang diberikan kepada penulis.

• Drh. Adi Winarto Ph. D atas bantuannya dalam pengambilan gambar preparat. • Drh. R. Kurnia Achjadi MS atas segala bimbingan, masukan dan nasihat yang

diberikan kepada penulis.

• Staf Patologi (Pak Ndang, Pak Kasnadi dan Pak Soleh) yang telah membantu. • Teman seperjuangan penelitian (Lilis, Wiwik, Faiq) dan Patology’s crew • Pondok Sakha’s crew (Pritta, Widia, Ramlah, Elia, Dhiosi dan Siti).

• DKM An-Nahl atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis. • Teman-teman angkatan 40 “Gymnolaemata”, angkatan 41, 42 dan 43. • Ikhwahfillah.

(6)

Terima kasih atas segala dukungan, semangat dan ukhuwah yang diberikan. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2007

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jayapura, Irian Jaya pada tanggal 5 Juli 1984, anak kelima dari lima bersaudara dari Bapak Drs. Sumar dan Ibunda Siti Aisyah. Pada tahun 1997 penulis lulus dari Sekolah Dasar Al-Hilaal I Ambon, Maluku dan tahun 2000 lulus dari SLTP Negeri 1 Curug, Tangerang. Pada tahun 2003 lulus dari SMU Negeri 7 Tangerang dan kemudian tahun 2003 penulis diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis aktif di kelembagaan DKM An-Nahl dan Himpro Ruminansia. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) pada semester 6 dan asisten praktikum mata kuliah Patologi Sistemik II pada tahun ajaran 2007-2008.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA

Acacia villosa ... 3

Asam Amino Non-Protein (AANP) ... 5

Polifenol ... 7

Sistem Pencernaan ... 8

Lambung ... 9

Usus Halus ... 11

Usus Besar... 13

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Evaluasi Histopatologi Lambung... 21

Hasil Evaluasi Histopatologi Usus Halus ... 23

Hasil Evaluasi Histopatogi Sekum ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN ...33

DAFTAR PUSTAKA...34

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi Kimia Acacia villosa ... 4 2. Hasil evaluasi histopatologi lambung pasca pemberian fraksi

asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa ... 21 3. Hasil evaluasi histopatologi usus halus pasca pemberian fraksi

asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa ... 23 4. Hasil evaluasi histopatologi sekum pasca pemberian fraksi

asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa ... 26

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Acacia villosa ... 4

2. Struktur kimia asam amino non-protein ... 6

3. Histologi lambung ... 10

4. Histologi usus halus ... 12

5. Histologi sekum ... 13

6. Kongesti lambung tikus ... 16

7. Hemorraghi usus halus tikus ... 17

8. Deskuamasi sel epitel usus halus tikus ... 17

9. Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus ... 18

10. Akumulasi sel radang pada usus halus tikus ... 19

11. Edema submukosa lambung tikus ... 19

12. Hiperplasia sel epitel usus halus tikus ... 20

13. Kongesti lambung tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa ... 21

14. Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus sedang (++) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa ... 24

15. Akumulasi sel radang pada usus halus tikus sedang (++) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa ... 24

16. Hiperplasia sel epitel usus halus tikus sedang (++) (panah) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa ... 25

17. Deskuamasi sel epitel usus halus tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa ... 29

18. Edema pada submukosa sekum tikus sedang (++) (panah) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa ... 30

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum

tikus kelompok kontrol ... 39 2. Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum

tikus kelompok AANP ... 40 3. Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum

tikus kelompok polifenol ... 41

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hijauan merupakan pakan terpenting bagi ternak dan dibutuhkan dalam jumlah besar, karena itu penyediaan hijauan baik kualitas dan kuantitasnya sangat diperlukan untuk menentukan produktivitas ternak. Hijauan pakan ternak dapat berupa rumput-rumputan dan leguminosa.

Hijauan berupa rumput-rumputan memiliki kadar protein yang rendah sekitar 3-4%, sehingga perlu diadakan penambahan bahan pakan lain. Hijauan leguminosa pohon dapat digunakan sebagai pakan ternak karena mengandung protein yang tinggi untuk menunjang kualitas protein yang rendah.

Hijauan leguminosa pohon yang telah banyak digunakan sebagai pakan ternak diantaranya adalah jenis Acacia, Calliandra tetragona (kaliandra putih) dan Calliandra calothyrus (kaliandra merah). Tanaman Acacia merupakan tanaman leguminosa yang telah lama dikembangkan karena kemampuannya yang tumbuh cepat dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai daerah di Indonesia. Genus Acacia dibagi menjadi dua subgenera yaitu Acacia dan Aculeiferum dengan 230 spesies.

Acacia berdasarkan karakteristik dan morfologinya terbagi menjadi beberapa spesies diantaranya Acacia villosa, Acacia boliviana dan Acacia angustissima. A. villosa lebih banyak tumbuh di daerah penyangga hutan. Tanaman ini masuk ke Indonesia perta ma kali pada tahun 1920 yang berasal dari Curacao (West Indies). Tanaman ini termasuk leguminosa pohon yang berbentuk semak dari keluarga Mimosoideae. A. villosa memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, sehingga sangat berpotensi sebagai sumber protein untuk hijauan yang berkualitas rendah. Kadar protein A. villosa adalah 22-28% sehingga sangat berpotensi sebagai sumber protein pakan ternak (Wina & Tangendjaja 2000).

Selain mengandung protein tinggi, A. villosa mengandung bahan antinutrisi diantaranya tanin dan asam amino non-protein (AANP). AANP yang terkandung dalam A.villosa dan A. anguistissima adalah ADAB (2-Amino-4-acetylaminobutyric acid).

(13)

Pemberian daun Acacia villosa pada domba dengan konsentrasi 100% menyebabkan efek toksik (Bariata 2001). Pada hewan laboratorium yaitu tikus, A. villosa menyebabkan kerusakan pada hati dan ginjal (Herdiana 2004). Pemberian Acacia villosa dan kaliandra dengan kadar 10-60% walaupun tidak menunjukkan adanya gejala keracunan tetapi menyebabkan perubahan histopatologi pada seluruh organ (Ardyanti 2006).

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran histopatologi organ pencernaan tikus yang diberi fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol Acacia villosa secara intragastrik.

Manfaat Penelitian

1. Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran gambaran histopatologi organ pencernaan tikus akibat pemberian fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol A. villosa.

2. Berdasarkan gambaran histopatologi diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penggunaan A. villosa sebagai pakan ternak.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Acacia villosa

Acacia villosa merupakan tanaman kelompok leguminosa pohon atau semak. A. vilosa masuk ke Indonesia pada tahun 1920, berasal dari Curacao, Indes Barat, bagian Amerika Tengah. Di daerah Nusa Tenggara Timur, tanaman ini dikenal dengan nama lamtoro merah dan di daerah Jawa disebut mlanding sebrang. Tanaman leguminosa ini biasanya tumbuh secara liar dan tidak memerlukan perawatan yang intensif (Wina & Tangendjaja 2000). Tanama n ini memiliki taksonomi sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Subkingdom: Tracheobionta; Subkelas: Rosidae; Ordo: Febales; Famili: Leguminosae; Subfamili: Mimosidae; Genus: Acacia; Spesies: Acacia villosa (Perez et al. 1999).

(a)

(b) (c)

Gambar 1 A. villosa: daun (a), bunga (b) dan batang (c). Sumber: Perez et al. (1999)

(15)

A. villosa adalah tanaman semak yang tidak berduri dengan cabang dan batang berwarna merah. Tanaman ini memiliki daun majemuk, setiap sirip terdiri dari 2-10 pasang dengan panjang 4-9 cm. Bunga A. villosa pendek, kadang mengelompok yang terdiri dari 20-40 bulir bunga, berkelamin dua, serta berwarna putih yang kemudian berubah menjadi kekuningan. Buah berbentuk pipih dan lonjong, berwarna coklat mengkilap dan berbiji 1-8 dengan bentuk biji bulat telur berwarna coklat (Jukema & Danimihardja 1997).

A. villosa yang terdapat di Indonesia terdiri atas dua varietas, yaitu Acacia villosa yang berdaun besar dan berdaun kecil. Kedua A. villosa memiliki perbedaan dilihat dari jumlah sirip daun. A. villosa berdaun kecil memiliki jumlah sirip daun sebanyak 6-12 pasang sedangkan yang berdaun besar memiliki jumlah sirip daun sebanyak 16 pasang (Jukema & Danimihardja 1997).

A. villosa tersebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi. A. villosa menyukai iklim yang agak kering, tetap tumbuh dengan baik pada pertengahan curah hujan tahunan serendah 200-500 mm dan kelembaban nisbi 55-70 %. Namun tanaman ini kurang tumbuh dengan baik pada temperatur rendah (Jukema & Danamihardja 1997).

Tabel 1 Komposisi Kimia Acacia villosa

Komposisi % Bahan Kering (BK)

Bahan Kering 40.22 Protein Kasar 29.61 Neutral Detergent Fiber (NDF) 27.32 Acid Detergent Fiber (ADF) 21.50 Lignin 7.77 Abu 5.04 Ca 1.49 P 0.23 Sumber: Bansi (2001)

(16)

A. villosa memiliki kandungan senyawa antinutrisi yang meliputi senyawa fenol 6.6%, tannin 3.71%, saponin 0.52% dan asam amino non-protein (AANP) 2.88% (Jukema & Danimihardja 1997).

Di wilayah perkebunan A. villosa digunakan sebagai pohon pelindung dan sebagai pupuk hijau dari tanaman budidaya. A. villosa juga sebagai salah satu tanaman alternatif yang digunakan untuk merehabilitasi tanah yang terdegradasi, hutan gundul serta sebagai tanaman hias (Jukema & Danamihardja 1997).

Asam Amino Non-Protein (AANP)

Asam amino non-protein adalah senyawa yang memiliki formasi atau bentuk komponen yang sederhana, yang analog dengan asam amino pembentuk protein. Asam amino non-protein pada tumbuhan telah ditemukan lebih dari 250 macam dan terbanyak ditemukan pada tanaman leguminosa. Karena struktur asam amino non-protein analog dengan struktur kimia dari asam amino pembentuk protein, maka AANP sering mengganggu fungsi asam amino penyusun protein. Pada beberapa spesies leguminosa, seperti A. villosa, Leucaena pulverulenta dan Mimosa sp. diketahui memiliki kandungan asam amino bebas bukan protein (Tangendjaja 1992).

Asam amino non-protein yang terkandung di dalam leguminosa misalnya mimosine dan 3, 4- dihidroxypyridine (3, 4- DHP). Mimosine merupakan asam amino aromatik yang secara signifikan bersifat toksik. AANP terdapat pada Leucaena leucocephalla (lamtoro) dan Mimosa pudica (putri malu) (D’Mello 1991). Mimosine memiliki struktur yang analog dengan tyrosine dan fenilalanine, dan diketahui dapat menggantikan asam amino tersebut. Mimosine menyebabkan hilangnya enzim dan aktifitas fungsional protein (Widyastuti 2001). Senyawa mimosine dapat menyebabkan gangguan pada organ reproduksi, teratogenik serta efek kehilangan rambut dan wool bahkan kematian pada domba. Isomer asam amino non-protein yaitu 3, 4 dihidroxypyridine (3, 4 DHP) dapat menyebabkan kehilangan nafsu makan, goiter dan reduksi konsentrasi tyrodine dalam darah (D’ Mello 1991). Akibat keracunan mimosine juga menyebabkan kebengkakan pada kaki, kepincangan, lesio pada mulut dan esofagus serta katarak mata. Mimosine banyak terkandung pada Leucaena muda (Cheeke 2000).

(17)

Mimosine diabsorbsi di dalam usus kecil seperti halnya asam amino yang lain. Namun mimosine menimbulkan efek terhadap jaringan yaitu antimitotik, termasuk menyebabkan terjadinya depilator (hilangnya rambut) dan dermatitis. Mimosine diekskresikan dalam urin sebagai mimosine bebas atau dalam bentuk dekarboksilasi, mimosinamine (Chekee 2000). Walaupun mimosine bersifat toksik, namun mimosine juga memiliki peranan dalam mengatur pemenuhan serat pada kambing angora (Reis et al. 1999).

Asam amino non-protein yang terdapat dalam tanaman A. villosa yaitu ADAB (2-amino-4 acetylaminobutyric acid) dan DABA (2, 4-diaminobutyric acid). Komponen asam amino non-protein tertinggi dalam A. villosa adalah ADAB. Senyawa ADAB pada level 15- 20 mg/g dapat menimbulkan efek toksik pada domba (Rasmussen et al. 1993). Pemberian DABA secara intragastrik pada tikus Sherman jantan menyebabkan kelemahan kaki, tremor, konvulsi dan kematian (Foster 1990). Struktur kimia AANP yaitu DABA dan ADAB disajikan pada Gambar 2.

NH2

NH2 CH2 CH2 CH COOH

2,4 diaminobutyric acid (DABA) (a)

NH2

CH3 CO NH CH2 CH2 CH COOH 2-amino-4-acetylaminobutyric acid (ADAB)

(b)

Gambar 2 Struktur kimia asam amino non-protein: (a) DABA (2,4 diaminobutyric acid) dan (b) ADAB (2-amino-4-acetylbutyric acid). Sumber: ILCA (1991).

(18)

Pada hewan ruminansia, ADAB akan dirubah menjadi DABA oleh mikroba rumen dan bersifat beracun bagi ternak. Dalam tubuh, DABA akan menghambat sintesis protein dalam hati (Odenyo et al. 2003).

Gejala keracunan ADAB yang diamati pada domba yang diberi pakan A. angustissima mirip seperti keracunan pada pemberian Lathyrus, diantaranya yaitu terjadi perubahan yang besar dalam konsumsi pakan; kerusakan sistem syaraf pusat akut dan diikuti dengan kematian lebih dari 50%; kolaps, mulut berbusa, terjadi kerusakan hati, paru-paru tersumbat dengan adanya busa putih dan bronkhi terlihat membesar, paru-paru mengalami edema serta perdarahan submukosa pada duodenum, ileum dan sekum (Odenyo et al. 1997).

Polifenol

Polifenol merupakan kelompok bahan kimia yang ditemukan pada tanaman, yang memiliki karakteristik mengandung lebih dari satu kelompok fenol per molekul. Secara umum subdivisi polifenol terdiri atas tanin dan phenylpropanoid seperti lignin dan flavonoid (Hollman 2005). Salah satu subdivisi polifenol yang memiliki pengaruh besar dalam penentuan nilai nutrisi hijauan leguminosa adalah ta nin (Haslam 1989 dalam Reed 1994).

Tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki bobot molekul besar tetapi larut dalam air dan dapat mempresipitasi protein (Bryant et al. 1992). Presipitasi protein terjadi karena polifenol mengandung gugus hidroksil serta dapat membentuk kompleks dengan protein (Lemmens et al. 1992). Polifenol merupakan kelompok bahan kimia yang ditemukan pada tanaman.

Tanin dibagi menjadi dua grup, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terkondensasi jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan tanin terhidrolisis (Wina, Susana dan Tangendjaja 1998). Tanin yang terhidrolisis mudah dihidrolisa secara kimia dan terdapat pada beberapa legume seperti Acacia spp. Tanin terhidrolisis merupakan senyawa toksik karena dapat diserap tubuh, namun kadarnya sangat sedikit dalam A. villosa. Kelompok tanin ini adalah asam galat dan asam tanin yang dilaporkan dapat menyebabkan edema esofagus dan lambung, ulserasi hemorraghi, nekrosis, erosi, hipersekresi mucin dari mukosa dan penebalan mukosa lambung dan duodenum (Sell et al. 1985).

(19)

Tanin memiliki kemampuan untuk bereaksi dengan protein dan mengendapkannya sehingga menimbulkan gangguan pada metabolisme enzim atau protein (Robinson 1991). Tanin bersifat astringensia yaitu sensasi rasa sepat karena pembentukan kompleks antara tanin dengan glikoprotein saliva. Tanin dapat mempengaruhi asupan, kecernaan pakan serta efisiensi produksi. Efek ini tergantung kepada kandungan dan jenis tanin yang tercerna, serta tingkat toleransi hewan terhadap tanin, yang dipengaruhi oleh anatomi trakstus digestivus, kebiasaan makan, ukuran tubuh dan mekanisme detoksifikasi. Nilai nutrisi A. villosa menjadi berkurang karena kandungan tanin di dalamnya (Wina et al. 1993).

Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan terdiri atas organ-organ berbentuk tabung yang didalamnya terdapat lumen. Organ-organ utama pembentuk sistem pencernaan secara garis besar adalah rongga mulut, faring, esophagus, lambung dan usus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk menerima, menampung dan mencerna makanan serta mengabsorbsi zat-zat makanan. Jenis makanan maupun zat-zat tertentu yang masuk ke dalam saluran pencernaan dapat mempengaruhi fungsi dari organ pencernaan (Grove 1996, diacu dalam Xu & Cranwell 2003).

Banyak zat toksik atau racun masuk ke saluran cerna bersama makanan, baik sebagai obat atau sebagai zat kimia lain. Sebagian toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali jika zat toksik tersebut diserap oleh saluran cerna. Secara umum untuk mengetahui suatu zat bersifat toksik atau tidak dilakukan dengan memberikan zat tersebut secara peroral pada hewan coba. Zat tersebut diberikan dengan sonde secara intragatrik (Lu 1995).

Pemberian zat kimia secara oral merupakan sarana yang lazim dilakukan agar zat tersebut masuk ke dalam tubuh. Walaupun saluran cerna berada dalam tubuh, namun pada dasarnya berada di luar tubuh, sehingga zat kimia yang ada di dalam saluran cerna dapat menimbulkan efek hanya pada permukaan sel mukosa yang melapisi saluran tersebut, kecuali jika terjadi absorbsi oleh saluran cerna. Bahan yang dapat membakar (kaustik) atau zat iritan primer, seperti basa atau asam kuat maupun fenol, pada kadar yang memadai dapat menyebabkan

(20)

terjadinya efek nekrosis secara langsung pada mukosa saluran cerna (Loomis 1978).

Lambung

Lambung merupakan organ pencernaan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan, pencampuran dan tempat awal proses pencernaan protein dan lemak. Fungsi lambung sebagai organ cerna bersifat mekanik yaitu melalui gerakan lapisan otot lambung, sedangkan secara kimia yaitu dengan sekresi dari kelenjar-kelenjar lambung. Selain itu lambung juga berperan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon peptida (Xu & Cranwell 2003).

Lambung berperan sebagai tempat penyerapan yang penting, terutama untuk asam-asam lemah yang berada dalam bentuk ion-ion yang larut lipid dan mudah berdifusi. Sebaliknya basa-basa lemah akan sangat mengion dalam getah lambung yang bersifat asam sehingga tidak mudah diserap. Perbedaan daya absorbsi ini juga dipengaruhi oleh adanya plasma yang beredar (Lu 1995).

Lambung tikus disusun oleh dua kompartemen yaitu lambung kelenjar yang tersusun oleh epitel silindris sebaris dan lambung tidak berkelenjar yang tersusun oleh epitel kubus berlapis. Lambung terbagi menjadi tiga daerah yaitu cardia, fundus dan pylorus (Frandson 1992).

Dinding lambung tersusun oleh beberapa lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna dan lapisan serosa (Xu & Cranwell 2003). Mukosa lambung tersusun dari lipatan-lipatan longitudinal (rugae) yang terdiri atas lapis muskularis, lamina propria yang mengandung kelenjar serta gastric pit (Wilson 1994). Pada permukaan luminal lambung dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris. Sel-sel epitel silindris melakukan invaginasi ke dalam lamina propria membentuk gastric pit. Pada bagian dasar dari gastric pit terdapat isthmus, yang berlanjut ke dalam pintu masuk satu atau lebih kelenjar lambung (Cunningham 1992). Sel epitel silindris dan gastric pit mensekresikan cairan mukus untuk menjaga lambung dari asam dan enzim-enzim proteolitik, sedangkan pada bagian dasar gastric pit terdapat kelenjar yang hampir memenuhi lapisan mukosa lambung (Xu & Cranwell 2003). Daerah submukosa lambung terdiri atas

(21)

(a) serat kolagen, jaringan lemak putih, pembuluh darah, dan plexus nervus submukosa (Dellmann & Eurell 1998).

Terdapat perbedaan struktur kelenjar dari setiap daerah lambung. Pada daerah cardia, kelenjar berbentuk tubular pendek, sedangkan pada daerah fundus terdapat susunan kelenjar berbentuk tubular panjang meluas sampai gastric pit (Simpson 2000, diacu dalam Xu & Cranwell 2003).

Permukaan epitel lambung secara kontinu mengalami deskuamasi dan regenerasi pada bagian dasar gastric pit dan leher kelenjar lambung oleh adanya proses mitosis. Sel yang baru secara perlahan akan terdorong ke atas untuk menggantikan sel-sel yang mati (Xu & Cranwell 2003).

a

b

c

Gambar 3 Histologi Lambung: (a) lapisan epitel, (b) kelenjar dan (c) lapis submukosa. Sumber: histology-world.com (2006).

Pada bagian fundus terdapat kelenjar yang terdiri atas beberapa tipe sel yaitu sel leher mukus, sel parietal, sel chief, sel endokrin dan stem sel. Stem sel ditemukan pada bagian leher dari kelenjar dan bagian dasar gastric pit. Stem sel berbentuk silindris dengan memiliki nukleus berbentuk oval serta berkemampuan untuk melakukan mitosis. Sel kelenjar berbentuk iregular dengan nukleus di dasar dan terdapat granul-granul sekretori dekat permukaan apikal. Granul-granul sekretori ini mengandung mucinogen (Xu & Cranwell 2003). Sitoplasma sel leher mukus bersifat lebih basofilik. Sel leher mukus jika diwarnai dengan pewarnaan (PAS) akan memberikan reaksi secara ekstensif (Dellmann & Eurell 1998).

(22)

Sel parietal memiliki bentuk triangular (segitiga) dengan nukleus berbentuk bola dan beberapa diantaranya mengandung dua nuklei. Sitoplasma sel parietal mengambil warna eosin secara intensif. Sel parietal berfungsi menghasilkan HCl (Xu & Cranwell 2003). Jumlah sel parietal lebih sedikit daripada sel chief (Dellmann & Eurell 1998).

Sel chief memproduksi enzim sehingga disebut sebagai sel zimogenik. Sel chief berbentuk kuboidal atau piramid (Dellman & Eurell 1998). Sitoplasma sel chief bersifat basofilik dengan granul-granul sekretori yang berlokasi pada apikal sitoplasma yang mengandung enzim proteolitik inaktif (Xu & Cranwell 2003).

Peradangan dapat terjadi pada lambung yang pada dasarnya meliputi selaput lendirnya (gastritis). Gastritis yang bersifat kataralis terdiri atas gabungan hiperemi dan pelepasan sel-sel epitel penutup permukaan (deskuamasi). Selain itu terlihat sejumlah sel limfosit atau kadang-kadang infiltrasi neutrofil dalam mukosa atau submukosa. Hiperplasia dapat terjadi apabila peradangan berjalan lama atau kronis (Nabib 1987).

Usus Halus

Usus halus memiliki fungsi sebagai tempat penyaluran makanan dan penyerapan nutrisi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion sehingga tidak mudah diserap, sedangkan basa lemah akan berada dalam bentuk non-ion sehingga mudah diserap. Absorbsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Lu 1995).

Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan ileum. Secara umum, struktur utama dari usus halus adalah membran mukosa, lamina propria, submukosa, jaringan limfatik, serosa dan lapisan muskuler. Sel epitel menutupi seluruh permukaan bebas dari membran mukosa dan berbentuk epitel silindris sebaris (Xu & Cranwell 2003).

Pada lapis mukosa usus halus terdapat suatu bentuk khusus berupa vili-vili. Vili memperluas permukaan area lumen serta mengefisienkan proses absorbsi. Selain itu pada mukosa usus juga ditemukan kripta-kripta usus. Kelenjar-kelenjar yang terdapat pada mukosa memiliki bentuk tubular sederhana.

(23)

Pada daerah di bawah epithelium merupakan lamina propria. Lamina propria mengandung leukosit dan jaringan limfatik berupa nodul-nodul. Ditemukan nodul-nodul limfatik yang beragregasi membentuk Payer’s Patches. Lapis submukosa usus halus terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh limfatik (Xu & Cranwell 2003).

Pada daerah submukosa duodenum terdapat sekelompok kelenjar berbentuk tubular seperti gulungan yang disebut dengan kelenjar Brunner. Kelenjar Brunner mensekresikan cairan mukus ke dalam kripta usus. Cairan mukus ini melubrikasi permukaan epithelium dan melindungi dari asam lambung (Dellmann & Eurell 1998). Pada daerah mukosa bagian dasar vili usus halus terdapat kripta Lieberkuhn. Kripta Lieberkuhn berbentuk lurus maupun tubular seperti struktur kelenjar yang dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris.

Gambar 4 Histologi Usus Halus. Sel epitel (a), sel goblet (b). Sumber: histology-world.com (2006).

Sel epitel yang terdapat dalam kelenjar kripta termasuk stem sel undifferentiated, sel goblet, sel Paneth dan sel endokrin. Sel goblet mensekresikan mukus dan memiliki fungsi yang sama dengan sel goblet pada vili usus. Sel endokrin memproduksi berbagai macam hormon maupun peptida (Xu & Cranwell 2003).

Sel Paneth merupakan sel eksokrin dengan granul-granul sekretori pada apikal sitoplasma. Granul-granul sekretori ini menghasilkan lisosim yang

b a

(24)

memiliki aktivitas antibakterial dan mengontrol mikrobiota. Stem sel yang belum terdiferensiasi memiliki kemampuan mitotik yang tinggi. Sel epitel baru yang tumbuh oleh proses mitosis dari stem sel berpindah ke atas sepanjang vili dan sering menembus ujung vili (Xu & Cranwell 2003). Peradangan pada usus halus (enteritis) yang subakut disertai dengan infiltrasi sel limfosit dan yang kronis bersifat proliferatif bisa terjadi (Nabib 1987).

Usus Besar

Usus besar terdiri dari sekum, kolon dan rektum. Sekum berbentuk kantung silinder yang berlokasi pada bagian proksimal akhir kolon. Fungsi utama dari usus besar adalah absorbsi air, cairan elektrolit dan nutrien yang diproduksi oleh bakteri fermentasi. Dinding usus besar terdiri dari empat lapis yang merupakan karakteristik dari saluran pencernaan (Xu & Cranwell 2003).

Mukosa usus besar tidak memiliki vili namun mengandung kelenjar tubular yang banyak. Permukaan lumen dan kelenjar tubular dilapisi oleh sel epitel silindris yang secara umum menghasilkan enterosit dari usus halus. Brush border pada permukaan apikal enterosit usus besar lebih kecil daripada enterosit usus halus.

Gambar 5 Histologi Sekum. Kripta (panah) Sumber: histology-world.com (2006).

(25)

Pada usus besar terdapat sel goblet yang mensekresikan mukus dan sel endokrin juga ditemukan pada kelenjar tubular. Walaupun sebagian besar penyerapan nutrien dilakukan oleh usus halus, namun untuk penyerapan beberapa nutrien juga dilakukan oleh usus besar. Daerah lumen usus besar merupakan tempat bagi milyaran mikroorganisme (Xu & Cranwell 2003).

Lamina propria dari kolon mengandung populasi sel yang serupa dengan sel di usus halus. Secara normal terdapat sedikit sel radang pada bagian superfisial mukosa. Sel radang tersebut adalah sel plasma dan limfosit (Xu & Cranwell 2003).

(26)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor selama 3 bulan, yaitu dari bulan Maret hingga Juli 2007.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop cahaya, sedangkan bahan penelitian adalah sediaan histopatologi alat pencernaan (lambung, duodenum dan sekum) tikus putih (Rattus rattus) jenis Sprague Dawley yang telah digunakan pada uji toksisitas subkronis fraksi AANP dan fraksi polifenol dengan konsentrasi 21%, dosis 1 ml/hari selama 30 hari yang diberikan secara intragastrik. Sediaan histopatologi terdiri dari 6 buah sediaan kelompok kontrol, 6 buah sediaan kelompok perlakuan AANP dan 6 buah sediaan kelompok perlakuan polifenol.

Metode Penelitian

Hewan percobaan yang digunakan adalah sebanyak 18 ekor tikus putih jenis Sprague-Dawley dibagi dalam tiga kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol (diberi aquadest), kelompok diberi fraksi AANP dan kelompok yang diberi fraksi polifenol A. villosa (Rahmawati 2006; Pujian 2006). Penelitian ini merupakan evaluasi histopatologi sediaan saluran cerna tikus, yaitu lambung, duodenum dan sekum pada pemberian fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol Acacia villosa. Studi hispatologi dilakukan dengan cara mengamati berbagai sediaan histopatologi organ pencernaan tikus di bawah mikroskop dengan menggunakan perbesaran 10x10 hingga 40x10. Hasil evaluasi histopatologi disajikan secara deskriptif .

(27)

Pengamatan Histopatologi

Kategori pengamatan lambung, usus halus dan sekum adalah sebagai berikut: - Kongesti

• Ringan (+) : Pembendungan dengan persentase 20%. • Sedang (++) : Pembendungan dengan persentase 20-50%. • Berat (+++) : Pembendungan dengan persentase lebih dari 50%.

Gambar 6 Kongesti lambung tikus. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

- Hemorrhagi

• Ringan (+) : Perdarahan satu sampai dua fokus.

• Sedang (++) : Perdarahan multifokus pada lapis tunika mukosa.

• Berat (+++) : Perdarahan multifokus pada lapis tunika mukosa dan submukosa.

(28)

Gambar 7 Hemorraghi usus halus tikus. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

- Deskuamasi epitel

• Ringan (+) : Deskuamsi epitel pada satu sampai dua vili. • Sedang (++) : Deskuamasi epitel lebih dari dua vili. • Berat (+++) : Deskuamsi epitel hampir di seluruh vili.

(29)

- Proliferasi Sel Goblet

• Ringan (+) : Proliferasi sel goblet pada satu atau dua vili dan beberapa kripta.

• Sedang (++) : Proliferasi sel goblet pada lebih dari tiga vili dan beberapa kripta.

• Berat (+++) : Proliferasi sel goblet hampir di seluruh vili dan kripta.

Gambar 9 Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

- Akumulasi Sel Radang

• Ringan (+) : Terdapat satu fokus sel radang. • Sedang (++) : Terdapat dua fokus sel radang. • Berat (+++) : Terdapat multifokus sel radang.

(30)

Gambar 10 Akumulasi sel radang usus halus tikus (panah). Pewarnaan HE, bar 30 µm.

- Edema

• Ringan : Edema submukosa ringan. • Sedang : Edema submukosa sedang. • Berat : Edema submukosa berat.

Gambar 11 Edema pada submukosa lambung tikus (panah). Pewarnaan HE, bar 30 µm.

(31)

- Hiperplasia sel epitel

• Ringan (+) : Terjadi satu fokus hiperplasia.

• Sedang (++) : Terjadi dua atau tiga fokus hiperplasia. • Berat (+++) : Terjadi multifokus hiperplasia.

Gambar 12 Hiperplasia sel epitel usus halus tikus (panah). Pewarnaan HE, bar 30µm.

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Evaluasi Histopatologi Lambung

Secara umum pemberian fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol Acacia villosa menimbulkan efek patologis pada lambung tikus berupa kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel dan edema submukosa. Hasil pemeriksaan histopatologi lambung disajikan secara deskriptif pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil evaluasi histopatologi lambung tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa

Perubahan Histopatologi

Kelompok

Kontrol AANP Polifenol

Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Kongesti 66.67 + 100 ++ 100 + Hemorrhagi 66.67 + 100 + 66.67 + Deskuamasi Epitel 0 - 0 - 16.67 ++ Edema Submukosa 0 - 16.67 + 0 -

Kongesti terjadi pada lapis tunika mukosa dan submukosa. Kejadian kongesti lambung pada kelompok kontrol sebesar 66.67%. Seluruh kelompok AANP dan polifenol mengalami kongesti dengan jumlah kejadian sebesar 100%.

Gambar 13 Kongesti lambung tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

(33)

Pada kelompok AANP mengalami kongesti lambung dengan derajat sedang (++), sedangkan kelompok polifenol derajat ringan (+).

Hemorrhagi terjadi pada lapis tunika mukosa dan submukosa lambung. Pada kelompok kontrol terjadi hemorrhagi dengan jumlah kejadian sebesar 66.67% dan derajat ringan (+). Persentase kejadian hemorrhagi pada kelompok AANP lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan kelompok polifenol (66.67%), walaupun dengan derajat yang sama yaitu ringan (+).

Pada lambung kelompok kontrol dan kelompok AANP tidak ditemukan deskuamasi epitel, namun ditemukan pada kelompok polifenol sebesar 16.67% dengan derajat sedang (++).

Edema pada lambung terlihat sebagai perluasan lapis submukosa. Pada kelompok AANP ditemukan edema dengan jumlah kejadian sebesar 16.67% dengan derajat ringan (+), sedangkan pada kelompok polifenol tidak ditemukan edema submukosa. Berdasarkan data pada Tabel 2 maka kelompok AANP memiliki kerusakan lamb ung yang lebih berat dibandingkan dengan kelompok polifenol. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi AANP lebih bersifat toksik daripada fraksi polifenol terhadap lambung tikus.

Hasil Evaluasi Histopatologi Usus Halus

Hasil pemeriksaan histopatologi usus halus tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa secara umum menunjukkan adanya kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan hiperplasia sel epitel.

Berdasarkan data pada Tabel 3, pada setiap kelompok ditemukan kongesti. Persentase kejadian kongesti usus halus kelompok kontrol sebesar 83.33% dengan derajat ringan (+), pada kelompok AANP sebesar 33.33%, sedangkan pada kelompok polifenol lebih besar yaitu 83.33%. Kedua kelompok perlakuan tersebut mengalami kongesti dengan derajat sedang (++).

(34)

Tabel 3 Hasil evaluasi histopatologi usus halus tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa

Perubahan Histopatologi

Kelompok

Kontrol AANP Polifenol

Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Kongesti 83. 33 + 33. 33 ++ 83.33 ++ Hemorrhagi 50 + 100 + 66.67 + Deskuamasi Epitel 0 - 33.33 ++ 33.33 + Proliferasi Sel Goblet 0 - 50 + 83.33 ++ Akumulasi Sel Radang 0 - 16.67 + 33.33 ++ Hiperplasia Sel Epitel 0 - 33.33 ++ 33.33 +

Hemorrhagi yang terjadi lebih banyak ditemukan pada lapis tunika mukosa yaitu pada vili dan lamina propria dan terjadi pada semua kelompok perlakuan. Persentase kejadian hemorrhagi usus halus pada kelompok kontrol sebesar 50%, kelompok AANP sebesar 100% dan kelompok polifenol sebesar 66.67%. Dengan demikian persentase kejadian pada kelompok AANP lebih besar dibandingkan kelompok polifenol walaupun dengan derajat yang sama yaitu ringan (+).

Persentase kejadian deskuamasi epitel pada kelompok AANP sebesar 33.33% dengan derajat sedang (++), sedangkan kelompok polifenol sebesar 33% dengan derajat ringan (+).

Proliferasi sel goblet pada usus halus kelomp ok perlakuan terlihat pada bagian vili. Kelompok AANP mengalami proliferasi sel goblet sebesar 50% disertai derajat ringan (+), sedangkan pada kelompok polifenol lebih tinggi dari kelompok AANP yaitu 83.33% dengan derajat sedang (++).

(35)

Gambar 14 Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus sedang (++) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Pada lapis lamina propria usus halus ditemukan adanya akumulasi sel radang. Persentase kejadian akumulasi sel radang pada kelompok AANP sebesar 16.67% dengan derajat ringan (+), sedangkan pada kelomp ok polifenol lebih besar yaitu 33.33% dengan derajat sedang (++).

Gambar 15 Akumulasi sel radang pada usus halus tikus sedang (++) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

(36)

Hiperplasia sel epitel usus halus ditemukan pada seluruh kelompok perlakuan. Persentase kejadian hiperplasia sel epitel usus halus pada kelompok AANP dan polifenol sebesar 33.33% dengan derajat yang berbeda.

Gambar 16 Hiperplasia sel epitel usus halus tikus sedang (++) (panah) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30µm.

Hiperplasia epitel usus halus kelompok AANP lebih berat yaitu dengan derajat sedang (++), sedangkan polifenol dengan derajat ringan (+). Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa fraksi AANP dan fraksi polifenol menyebabkan efek toksik yang hampir sama pada usus halus tikus.

Hasil Evaluasi Histopatologi Sekum

Hasil pemeriksaan histopatologi sekum secara umum menunjukkan adanya kongesti, hemorrhagi, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan edema submukosa.

(37)

Tabel 4 Hasil evaluasi histopatologi sekum tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa

Berdasarkan data pada Tabel 4, kongesti sekum terjadi pada setiap kelompok perlakuan. Persentase kejadian kongesti pada kelompok kontrol sebesar 33.33% dengan derajat ringan, kelompok AANP sebesar 33.33% dengan derajat sedang (++), dan kelompok polifenol sebesar 66.67% dengan derajat ringan (+).

Persentase kejadian kongesti lebih tinggi terjadi pada kelompok polifenol dibandingkan kelompok AANP, namun derajat keparahan lebih tinggi pada kelompok AANP. Hemorrhagi terjadi pada seluruh kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol persentase kejadian sebesar 16.67% dengan derajat ringan (+), kelompok AANP sebesar 50% dengan derajat ringan (+), sedangkan pada kelompok polifenol sebesar 33.33% dengan derajat ringan (+). Kejadian hemorrhagi sekum pada kelompok AANP lebih tinggi dibandingkan kelompok polifenol.

Proliferasi sel goblet ditandai dengan meningkatnya jumlah sel goblet dari normalnya. Proliferasi sel goblet sekum ditemukan pada kelompok fraksi AANP dan fraksi polifenol dengan persentase dan derajat yang sama yaitu 16.67% dan derajat ringan (+).

Persentase kejadian akumulasi sel radang pada kelompok AANP sebesar 16.67%, dan kelompok polifenol sebesar 50% dengan derajat yang sama yaitu sedang (++). Akumulasi sel radang terdapat pada lamina propria.

Perubahan Histopatologi

Kelompok Perlakuan

Kontrol (K) AANP (A) Polifenol

Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Kongesti 33.33 + 33.33 ++ 66.67 + Hemorrhagi 16.67 + 50 + 33.33 + Proliferasi Sel Goblet 0 - 16. 67 + 16. 67 + Akumulasi Sel Radang 0 - 16.67 ++ 50 ++ Edema Submukosa 33.33 + 83.33 ++ 83.33 ++

(38)

Edema pada sekum terjadi pada lapis submukosa yang ditandai dengan adanya peregangan ruang submukosa. Persentase kejadian edema pada kelompok kontrol adalah sebesar 33.33% dengan derajat ringan (+). Kelompok AANP dan polifenol menunjukkan persentase dan derajat keparahan edema yang sama, yaitu 83.33% dengan derajat sedang (++). Berdasarkan data pada Tabel 3 di atas maka dapat disimpulkan bahwa fraksi AANP dan fraksi polifenol memiliki efek toksik yang hampir sama pada sekum tikus.

Kongesti merupakan pembendungan darah di dalam pembuluh darah. Secara mikroskopik terlihat pembuluh kapiler dan vena berdilatasi dan berisi darah (Smith et al. 1972). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan lambung, usus halus dan sekum tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol mengalami kongesti. Hal ini terjadi disebabkan oleh efek toksin AANP dan polifenol A. villosa. Kongesti pada kelompok kontrol dapat terjadi karena tikus yang digunakan bukan SPF (Spesific Pathogenic Free) sehingga dimungkinkan telah terjadi peradangan.

Kongesti pada pemberian AANP dan polifenol diduga disebabkan oleh kegagalan ventrikel jantung dalam memompa darah. Kegagalan jantung disebabkan oleh efek toksik A. villosa yang menyebabkan dege nerasi hingga nekrosa otot jantung (Himmah 2007). Adanya gangguan aliran darah dari jantung menyebabkan pembuluh darah melebar dengan aliran darah yang melambat. Hal ini mengakibatkan darah membendung di jaringan sehingga berkumpul membentuk pembendungan di pembuluh darah. Apabila kongesti terjadi secara kronik menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada dinding vena (Smith et al. 1972). Kongesti yang berlebihan dapat menimbulkan perdarahan sehingga cairan akan bercampur dengan sel darah merah (Kusumawidjaja 1996).

Hemorrhagi merupakan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun di jaringan atau rongga tubuh (Smith et al. 1972). Hemorrhagi terjadi pada lambung, usus halus dan sekum tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol. Perdarahan juga dialami kelompok kontrol yang diduga disebabkan oleh peradangan maupun infeksi. Hal ini dimungkinkan karena tikus yang digunakan bukan SPF (Spesific Pathogenic Free). Perdarahan lebih banyak ditemukan pada lapis mukosa. Penyebab hemorrhagi diduga disebabkan oleh efek

(39)

toksin fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa. Toksin menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga sel darah keluar dari pembuluh darah (Saleh 1995).

Menurut Sell et al. (1985) tanin terhidrolisis dapat menyebabkan ulserasi hemorrhagi pada mukosa lambung dan duodenum. Berdasarkan penelitian Odenyo et al. (1997), senyawa asam amino non-protein ADAB yang terkandung dalam Lathyrus sp menimbulkan efek hemorrhagi pada submukosa duodenum dan ileum domba. Kehilangan darah secara kronik tidak menunjukkan perdarahan yang masif. Namun perdarahan yang terus berlanjut akan mengakibatkan kekurangan zat besi dan dapat menyebabkan anemia (Smith et al. 1972). Adanya perdarahan pada saluran pencernaan tikus dapat mengakibatkan penyerapan dan aliran nutrisi terhambat.

Deskuamasi epitel merupakan lepasnya lapisan epitel pada mukosa jaringan. Deskuamasi epitel terjadi pada mukosa lambung dan usus halus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa. Adanya deskuamasi epitel lambung dan usus halus diduga disebabkan oleh efek AANP dan tanin yang dapat merusak mukosa lambung dan usus halus. Tanin terhidrolisis seperti yang terkandung dalam A. villosa dapat menimbulkan erosi pada lapis mukosa saluran pencernaan (Sell et al. 1985). Brooker et al. (1999) melaporkan bahwa tanin menyebabkan perubahan pada mukosa usus halus domba yang ditandai dengan rusaknya vili sehingga terbentuk struktur vili yang abnormal. Epitel yang lepas terdiri dari kumpulan sel yang telah mati (nekrosa). Hal ini terjadi karena sel-sel epitel tersebut tidak dapat dipertahankan lagi pada permukaan mukosa lambung dan usus halus.

(40)

Gambar 17 Deskuamasi sel epitel usus halus tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Edema merupakan pengumpulan cairan abnormal pada kompartemen ekstrasel yang ditandai dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan penimbunan cairan di sela-sela jaringan atau rongga serosa (Spector 1993; Soleh 1995). Edema terjadi pada lambung dan sekum tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa. Kejadian edema tertinggi ditemukan di sekum tikus. Edema yang terjadi diduga disebabkan efek toksik AANP dan polifenol. Berdasarkan penelitian Himmah (2007), AANP dan polifenol A. villosa dapat menyebabkan kerusakan jantung yang mengakibatkan pemompaan darah tidak sempurna. Akibatnya, terjadi pembendungan atau darah tidak mengalir sehingga permeabilitas kapiler meningkat. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan edema pada jaringan.

(41)

Gambar 18 Edema pada submukosa sekum tikus sedang (++) (panah) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Jaringan yang mengalami edema akan terlihat sebagai ruangan yang meluas dan terisi oleh cairan (Smith et al. 1972). Edema terjadi melalui dua mekanisme yaitu perubahan hidrostatik/onkotik dan perubahan permeabilitas pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah menyebabkan meningkatnya jumlah cairan ekstrasel (Spector 1993).

Cairan edema dapat berupa transudat dan eksudat. Transudat memiliki kandungan protein rendah, tidak berisi sel dan terlihat melebarnya ruang antar sel atau lumen organ, sedangkan eksudat lebih banyak mengandung protein dan sel radang serta cairan bersifat eosinofilik (Damjanov 2000). Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi cairan edema yang terbentuk adalah transudat karena tidak berisi sel radang dan terbentuk pelebaran ruang submukosa. Cairan transudat terbentuk karena adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga protein mudah lolos ke jaringan melalui celah-celah yang muncul diantara sel-sel endotel. Penyebab utama terbentuknya celah antar endotel adalah kontraksi aktif sel endotel yang disebabkan oleh aksi perantara kimia seperti histamin (Spector 1993).

Salah satu komponen pertahanan usus halus dan usus besar adalah sel goblet, yang menghasilkan mukus dan berfungsi untuk mengeluarkan benda atau

(42)

zat asing yang masuk (Ardyanti 2006). Mukus yang disekresikan adalah glikoprotein kompleks yang mengandung 4 sub-unit glikoprotein dengan berat molekul tinggi dan tidak larut dalam air. Mucin akan mengalami dehidrasi membentuk gel dan menjadi selimut mukus yang melindungi epitel usus halus dan usus besar (Setiawati 1992; Ganong 2003). Proliferasi sel goblet ditandai dengan meningkatnya jumlah sel goblet dari normalnya.

Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi ditemukan proliferasi sel goblet di usus halus dan sekum tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa (Gambar 14). Adanya proliferasi sel goblet kemungkinan disebabkan oleh aksi usus halus dan sekum untuk mengeluarkan senyawa AANP dan polifenol yang memiliki efek toksik. Respon usus terhadap senyawa toksik yaitu dengan cara memperbanyak sel goblet sehingga dapat menghasilkan banyak mukus yang akhirnya dapat mengencerkan bahan toksik tersebut. Menurut Sell et al. (1985), tanin terhidrolisis seperti yang terkandung dalam A. villosa dapat menyebabkan hipersekresi mucin dari mukosa usus halus.

Peradangan merupakan reaksi terhadap cedera atau kerusakan organ atau jaringan yang melibatkan perubahan sel, humoral dan vaskular (Damjanov 2000). Pertahanan tubuh terhadap benda asing terbagi menjadi dua bentuk yaitu respon humoral dan respon seluler terutama leukosit. Peradangan adalah mekanisme pertahanan melalui kontak antara antigen dengan sel-sel radang. Apabila masih terdapat senyawa iritan pada jaringan maka senyawa tersebut dapat dihancurkan sehingga terjadi perbaikan sel yang telah mengalami kerusakan (Smith et al. 1972).

Salah satu bentuk tanggap adanya peradangan pada suatu jaringan yaitu ditunjukkan dengan terakumulasinya sel radang (Spector 1995). Peradangan pada usus halus dan sekum tikus terlihat dengan adanya akumulasi sel radang di lamina propria. Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi jenis sel radang yang ditemukan adalah sel limfosit, sel plasma dan eosinofil dengan didominasi oleh sel limfosit. Adanya akumulasi sel radang diduga terjadi akibat efek toksik AANP dan polifenol yang mengiritasi mukosa usus halus dan sekum sehingga menimbulkan peradangan. Akibat kerusakan mukosa menyebabkan terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Akibat selanjutnya adalah protein dan

(43)

sedikit eritrosit masuk ke dalam jaringan. Leukosit juga masuk ke dalam jaringan dengan jumlah yang lebih banyak daripada keadaan normal.

Hiperplasia terjadi hanya pada jaringan yang mampu melakukan pembelahan sel dan terjadi pada berbagai jaringan dalam berbagai keadaan maupun bersifat fisiologis (Price & Wilson 1995). Hiperplasia sel epitel terjadi pada usus halus tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa. Hal ini terlihat dengan adanya penebalan mukosa akibat bertambahnya sel epitel vili (Gambar 16). Adanya rangsangan oleh senyawa toksik menyebabkan respon kompensasi dari mukosa usus halus untuk melindungi mukosa dengan cara memperbanyak sel epitel.

Hiperplasia ditandai dengan pertambahan sel dalam bentuk regenerasi jaringan yang telah mengalami kerusakan (Smith et al. 1972). Menurut penelitian Sell et al. (1985), pemberian tannin Sorghum yang tinggi pada tikus menyebabkan penebalan mukosa duodenum. Penebalan mukosa menimbulkan perubahan pada bentuk vili usus halus.

(44)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemberian fraksi asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa secara intragastrik menyebabkan terbentuknya lesio histopatologi yang berupa kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel dan edema submukosa pada lambung; kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan hiperplasia sel epitel usus halus; kongesti, hemorrhagi, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan edema submukosa pada sekum.

2. Fraksi AANP lebih toksik daripada polifenol pada lambung, sedangkan pada usus halus dan sekum kedua fraksi memiliki efek yang hampir sama.

Saran

1. Perlu dilakukan pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol secara in vivo pada tikus dengan waktu yang lebih lama untuk mengetahui perubahan histopatologi lebih lanjut.

2. Perlu diukur kadar fraksi AANP dan polifenol yang terserap oleh tubuh maupun yang terbuang sehingga dapat diketahui tingkat metabolisme kedua senyawa tersebut.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonimous]. 2005. Acacia villosa

http://www.It is.Usda.gov/servlet/singleRpt? [15 Desember 2007]

[Anonimous]. Digest

http://www.Humdigest 2.Google.com. [22 Januari 2007]

[Anonimous]. 2006. histology

http://www.histology-world.com/photomicrographs/stomach1.jpg [29 Agustus 2007]

Ardyanti FJ. 2006. Perbandingan gambaran histopatologi, gambaran darah dan kimia darah kambing pasca pemberian daun lamtoro merah (Acacia villosa) dan kalliandra (Calliandra calothyrsus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bansi H. 2001. Potensi lamtoro merah (Acacia villosa) dan kaliandra putih (Calliandra tetragona) sebagai pakan sumber protein baru bagi ternak ruminansia [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Bariata NC. 2001. Gambaran histopatologi toksisitas pakan hijauan mlanding sebrang (Acacia villosa) dosis tinggi pada domba Garut. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Brooker JD, O'Donovan L, Skene I, Sellick G. 1999. Mechanism of tannin ressistence and detoxification in the rumen. Di dalam: Brooker JD, editor. Tannin in Livestock and Human Nutritions. Proceedings of an International Workshop; Adelaide, May 31-June 2 1999. Australia.

Bryant JP, Richard PB, Clausen TP. 1992. Chemically mediated interaction between woody and browsing mammal. Journal Range Manage. Vol 45: 18-24.

Chekee PR. 1989. Toxicants of Plant Origin. Vol 3. Proteins and Amino Acids. United States: CRC Press.

Cunningham. 1992. Textbook of Veterinary Physiology. United States of America: W. B. Saunders Company.

Damjanov I. 2000. Histopatologi: Buku Teks dan Atlas Berwarna. Pendit BU, penerjemah. Jakarta: Widya Medika. Terjemahan dari: Histopathology: A Colour Atlas and Textbook.

Dellman HD & Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-5. New York: Lippincott Williams & Wilkins.

(46)

D’Mello. 2003. Amino Acid in Animal Nutrition. Ed ke-2. London UK

Foster JG. 1990. Flatpea (Lathyrus sylvestris). A Comphrehensive Review, Advances in Agronomy. Volume 43. hlm 241-313.

Frandson RD. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srimsamdono B, Penerjemah. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Djauhari W, Dewi I, Minarma S, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.

Grove. 1996. Gastrointestinal. Di dalam: Xu, Cranwell PD. 2003. Gastrointestinal and Nutrition the Neonatal Pig. United Kingdom: Nottingham University Press.

Herdiana E. 2004. Pengaruh pemberian lamtoro merah (Acacia villosa) terhadap histopatologi hati tikus (Rattus rattus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Himmah FE. 2007. Kajian histopatologi otak, jantung dan paru-paru tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein dan polifenol daun lamtoro Merah (Acacia villosa) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Hollman PC. 2005. Polyphenols and disease risk in epidemiologic studies. Http//www. Id.wikipedia.org/wiki/polifenol. [2 Agustus 2007].

ILCA Forege Germplasm Catalogue. 1991. Multipurpose Trees and Large Shrubs. Vol 1. Ethiopia: ILCA.

Johnson DR. 2006. Anantomy 8.

http//www.Leeds.Ac.Uk/chb.[9 Januari 2007]

Jukema J, Danimihardja. 1997. Plants resources of south-east Asia. Bogor: Prosea. No. 11. hlm 56-60.

Kusumawidjaja. 1996. Patologi khusus. Di dalam: Hirmawan, editor. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lemmens RHJM, Wulijarni NS. 1992. Dye and tannin producing plants. Plants

Resources of South East Asia. No. 3. Porsea. Bogor.

Loomis TA. 1978. Toksikologi Dasar. Ed ke-3. Donatus IA, penerjemah. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Essential of Toxicology.

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Ed ke-2. Jakarta: UI Press.

(47)

Nabib R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Ed ke-2. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Odenyo AA, Osuji PO, Karanfil O. 1997. Microbiological evaluation of Acacia angustissima as a protein supplement for sheep. Animal Feed Science and Technology 65: 99-112.

Odenyo AA et al. 2003. Acacia angustissima: It's antinutrient constituent toxicity and possible mechanism to allivate the toxicity a short review. Animal Feed Science and Technology. 59; 141-147.

Perez D, Chavvaria ER. 1999. Acacia villosa. http//www.acqunacaste.ac.cr.[Agustus 2007]

Price SA, Wilson LM. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Anugerah P, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes.

Pujian A. 2007. Pengaruh pemberian fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol daun lamtoro merah (Acacia villosa) terhadap gambaran histopatologi hati tikus [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Rahmawati. 2007. Pengaruh pemberian fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol daun lamtoro merah (Acacia villosa) terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Rasmussen MA, Allison M, Foster JG. 1993. Flatpea intoxication in sheep and indication of ruminal adaptation. Veterinary and Human Toxicology 35: 123-127.

Reis PJ. 1999. Effects of mimosine and 2,3-dihidroxypyridine on fiber shedding in angora goats. Journal of Animal Science 77.Hal 1224-1229.

Robinson T. 1991. Kandungan Organik TumbuhanTingkat Tinggi. Ed ke-6. K Padmawinato, penerjemah. Bandung: ITB.

Sell DR, Reed WM, Chrisman CL, Rogler JC. 1985. Mucin excretion and morphology of the instestinal tract as influenced by sorgium tannins. Nutrition Reports International. Vol 31(6): 1369-1370.

Simpson. 2000. Gastric. Di dalam: Xu, Cranwell PD. 2003. Gastrointestinal and Nutrition the Neonatal Pig. United Kingdom: Nottingham University Press. .

Smith HA, Jones TC, Hunt RD. 1972. Veterinary Pathology. Ed ke- 4. Philadelphia: United States of America Press.

(48)

Saleh S. 1996. Patologi Umum. Di dalam: Hirmawan, editor. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Setiawati A. 1992. Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-Obat Sitoproteksi. Cermin Dunia Kedokteran 79: 29. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Spector WG. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Soetjipto NS, penerjemah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology

Tangendjaja B, Wina E, Ibrahim T, Palmer B. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan The Australian Centre for International Agriculture Research.

Turnbull JW. 1991. Advanced in Tropical Acacia Research.

Wahyuni A. 2006. Uji toksisitas akut senyawaan asam amino non-protein daun lamtoro merah (Acacia villosa) pada tikus [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Widyastuti T. 2001. Detoksifikasi daun lamtoro (Leucaena leucephala) secara fisik dan kimia serta pemanfaatannya sebagai sumber pigmentasi dalam ransom ayam broiler [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Wilson. 1994. Patofisiologi Saluran Cerna: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ad ke-4. Peter Anugrah, penerjemah. Jakarta: Buku Kedokteran ECG. Terjemahan dari: Pathophysiology, Clinical Concepts of Disease.

Wina E, Susana IWR, Tangendjaja B. 1998. Penurunan kadar asam tartat, isolat tannin terkondensasi dan tannin dalam kaliandra selama inkubasi dalam cairan rumen. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Jilid I. Puslitbangnak-Balitbang Pertanian: Departemen Pertanian. hlm 505.

Wina E, Tangendjaja B, Tamtomo E. 1993. Calliandra calothyrsus: Effects of drying on digestibility. Ilmu dan Peternakan. Vol 6 (1): 32-36.

Wina E, Tangendjaja B. 2000. The possibility of toxic compounds present in Acacia villosa. Buletin Peternakan. Vol 24 (1).

Xu, Cranwell PD. 2003. Gastrointestinal and Nutrition the Neonatal Pig. United Kingdom: Nottingham University Press.

.

(49)

(50)

Lampiran 1 Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum tikus kelompok kontrol

Kode Organ Kongesti Hemorraghi Deskuamasi

Epitel Proliferasi Sel Goblet Akumulasi Sel Radang Edema Hiperplasia Sel Epitel Mk Sm Mk Sm K1 Lambung - + + + - - - - - Usus Halus - + - - - - Sekum + - - - - K2 Lambung + + + - - - - - Usus Halus - + - - - - Sekum + - - - + - K3 Lambung ++ + + - - - - - Usus Halus + ++ + + - - - - - Sekum - - + - - - - K4 Lambung - - - - Usus Halus + - + + - - - - - Sekum - - - - K5 Lambung - + + - - - - Usus Halus ++ - - ++ - - - - - Sekum - - - + - K6 Lambung - - - - Usus Halus - - - - Sekum - - - - Keterangan:

- : Tidak terdapat perubahan histopatologi

+ : Ringan

++ : Sedang

+++ : Berat

Mc : Mukosa (epithelium, lamina propria, lamina muskularis)

(51)

Lampiran 2 Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum tikus kelompok AANP

Keterangan:

- : Tidak terdapat perubahan histopatologi

+ : Ringan

++ : Sedang

+++ : Berat

Mk : Mukosa (epithelium, lamina propria, lamina muskularis)

Sm : Submukosa

Kode Organ Kongesti Hemorraghi Deskuamasi

Epitel Proliferasi Sel Goblet Akumulasi Sel Radang Edema Hiperplasia Sel Epitel Mk Sm Mk Sm A1 Lambung + + - - - - Usus Halus - ++ + - - + - - - Sekum + + - - - - ++ - A2 Lambung ++ + - - - - Usus Halus - - + - - - - Sekum - - - ++ ++ - A3 Lambung - ++ + - - - - + - Usus Halus - - + - - - ++ Sekum ++ + ++ - - - - ++ - A4 Lambung - ++ + - - - - Usus Halus - - + - ++ + - - - Sekum - - - + - ++ - A5 Lambung - + + - - - - Usus Halus ++ +++ + - - + - - ++ Sekum - - + - - - - + - A6 Lambung ++ + - - - - Usus Halus ++ - - - - + + - - Sekum + - - - -

(52)

Lampiran 3 Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum tikus kelompok polifenol

Kode Organ Kongesti Hemorraghi Deskuamasi

Epitel Proliferasi Sel Goblet Akumulasi Sel Radang Edema Hiperplasia Sel Epitel Mk Sm Mk Sm F1 Lambung ++ + - - - - - Usus Halus - ++ + + - ++ ++ - - Sekum - ++ - - - + - - - F2 Lambung - + + - - - - Usus Halus - + + - - ++ - - - Sekum - ++ - - - - ++ ++ - F3 Lambung - + - - - - Usus Halus + - - - - ++ - - + Sekum - + - - - ++ - F4 Lambung - + - - - - Usus Halus - - - - + + - - + Sekum - - + - - - - ++ - F5 Lambung - +++ + - ++ - - - - Usus Halus - ++ ++ + + - - - - Sekum - - + - - - ++ ++ - F6 Lambung - ++ + - - - - Usus Halus + - - - - ++ - - - Sekum - + - - - - ++ ++ - Keterangan:

- : Tidak terdapat perubahan histopatologi

+ : Ringan

++ : Sedang

+++ : Berat

Mc : Mukosa (Epitelium, lamina propria, lamina muskularis)

Gambar

Gambar 3  Histologi Lambung: (a) lapisan epitel, (b) kelenjar dan (c) lapis  submukosa
Gambar 4   Histologi Usus Halus. Sel epitel (a), sel goblet (b).
Gambar 6   Kongesti lambung tikus. Pewarnaan HE, bar 30 µm.
Gambar 8     Deskuamasi sel epitel usus halus tikus. Pewarnaan HE, bar 30 µm.
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

pada penelitian kualitatif ini adalah penerapan bagi hasil revenue sharing.. di BMT Amanah Ummah Suoharjo

Dalam pembelajaran guru belum optimal, masih terpaku pada majalah, tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan sosial emosional anak kelompok B4 di TK Al

Bila hubungan interpersonal antara ibu tunggal dengan anaknya kurang baik misalnya ketidaktepatan ibu tunggal dalam memilih pola komunikasi maka akan sikap atau perilaku anak

Selain dapat meningkatkan kete- rampilan menulis karangan argumentasi, metode Six Thinking Hats juga dapat me- ningkatkan kinerja guru dan aktivitas siswa

HUBUNGAN PENGGUNAAN DAN LAMA PENGGUNAAN JENIS KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN KEJADIAN KEPUTIHAN PADA AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARTASURA

Dengan multiple regression linier sebagai alat pengujian hipotesisnya, penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja berpengaruh positif dan signifikan

Secara umum pengetahuan responden mengenai kawasan tanpa rokok masih kurang, sebagian besar responden mendukung peraturan KTR hanya diterapkan didalam ruangan dan